• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Landasan Teori

Dalam penelitian ini digunakan analisis struktur bahasa berdasarkan teori linguistik deskriptif struktural. Di antara penganut aliran ini Bloomfield (1953), Nida (1964), Chaer (1994), Samsuri (1978), Ramlan (1987), dan Simatupang (1983). Mereka berprinsip bahwa kajian atau telaah bahasa harus bersifat deskriptif. Artinya, telaah itu berdasarkan bahasa yang diteliti sebagaimana adanya dan bukan yang semestinya ada.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi morfologi bahasa Karo yang ada saat ini. Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

Untuk mengetahui tipe-tipe reduplikasi dalam morfologis bahasa Karo maka diacu dari pendapat Simatupang. Menurut Simatupang (1983:57) reduplikasi morfemis bahasa Indonesia dapat dibagi dalam beberapa tipe, yaitu 1) Tipe R-1 (D + R) : rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatan-perdebatan.

2) Tipe R-2 (D + R) : bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, tindak-lanjut.

3) Tipe R-3 ((D + R) + ber-) : berlari-lari, berteriak-teriak, bercakap-cakap 4) Tipe R-4 ((D + R) + ber-/-an): bersalam-salaman (salam-salaman),

berpacar-pacaran (pacar-pacaran).

5) Tipe R-5 (D + (R + ber-)) : anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait, ganti-berganti.

6) Tipe R-6 ((D + R) + meN-) : melompat-lompat, membawa-bawa, melihat-lihat, membaca-baca, termasuk juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk, terbirit-birit.

7) Tipe R-7 (D + (R + meN-)) : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu-Membantu, kait-mengait.

8) Tipe R-8 (D + (R + meN-/-i)): hormat-menghormati, cinta-mencintai, dahulu-mendahului

9) Tipe R-9 ((D + R) + meN-/-kan): menggerak-gerakan, melambai-lambaikan, membagi-bagikan.

10) Tipe R-10 ((D + R) + meN-/-i): menghalang-halangi, menakut-nakuti, menutup-nutupi

11) Tipe R-11 ((D + R) + se-/-nya): setinggi-tinggi(-nya), sekuat-kuat(-nya), seberat-berat(-nya).

12) Tipe R-12 ((D + R) + ke-/-(-nya)): ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya), kedua-dua(-nya)

13) Tipe R-13 ((D + R) + ke-/-an) : kehitam-hitaman, kehijau-hijauan, keputih-putihan. Bentuk ini hanya terbatas pada kata sifat yang tidak memiliki antonim. (tidak ditemukan bentuk kekering-keringan, kebaru-baruan).

14) Tipe R-14 ((D + R) + -an) : rumah-rumahan, kapal-kapalan, untung-untungan, koboi-koboian.

15) Tipe R-15 (D + (R + -em-)) : kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali, turun-temurun.

16) Tipe R-16 (D + Rp) : tetangga, lelaki, leluhur, seseorang, beberapa, sesuatu, sesekali.

17) Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, semak-belukar.

18) Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab.

Meskipun tipe reduplikasi yang dikemukakan Simatupang (1983: 137) tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan.

Berdasarkan fungsinya reduplikasi dapat dibagi menjadi:

a. Reduplikasi paradigmatis, yaitu reduplikasi yang tidak mengubah kelas kata maupun identitas kata: rumah-rumah, guru-guru, anak-anak (menyatakan jamak).

b. Reduplikasi derivasional, yaitu reduplikasi yang mengubah kelas/jenis/kategori kata, atau mengubah identitas kata: rumah-rumahan, buah-buahan, pukul-memukul, tindak-tanduk, gerak-gerik.

Adapun berdasarkan ada atau tidaknya unsur pengikat sintaksis, reduplikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu

a. Reduplikasi bebas konteks, yaitu reduplikasi yang artinya sudah dapat ditentukan tanpa memperhitungkan konteksnya: tidur-tiduran (tidur-tidur).

b. Reduplikasi terikat konteks, yaitu reduplikasi yang artinya baru dapat ditentukan dengan memperhitungkan konteksnya:

1) Sudah dua malam kami tak tidur-tidur 2) Jagalah adiknya itu baik-baik

Untuk menentukan identitas kata, sama halnya dengan afiksasi, dapat ditempuh tiga cara (tes) yang dikemukakan Verhaar (1985), yaitu melalui (1) tes keanggotaan kategorial kata, (2) tes dikomposisi leksikal, dan (3) tes struktur sintaksis. Contoh:

1) a. Anak saya sudah bekerja.

b. Anak-anak saya sudah bekerja.

Dengan tes pertama sudah diketahui bahwa anak-anak sama jenis katanya dengan anak. Kesimpulannya ialah bahwa R adalah reduplikasi paradigmatik.

2) a. Saya melihat orang di sawah.

b. Saya melihat orang-orangan di sawah.

Meskipun dengan tes pertama dapat dibuktikan bahwa orang dan orang-orangan tergolong ke dalam kelas yang sama, dengan tes kedua diketahui bahwa orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA], sedangkan orang-orang memiliki ciri semantis [+BERNYAWA]. Kesimpulannya ialah bahwa Reduplikasi di atas tergolong reduplikasi yang derivasional.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Reduplikasi sebagai suatu peristiwa yang lazim terdapat dalam bahasa telah banyak dibicarakan meskipun menggunakan berbagai istilah, misalnya bentuk ulang (Keraf, 1991), kata ulang (Keraf, 1984), proses pengulangan (Ramlan, 1979), dan yang lain pada umumnya menggunakan istilah reduplikasi.

Ada pula yang menggunakan istilah bentuk ulang sekaligus menggunakan reduplikasi dengan pengertian yang agak berlainan (lihat Parera, 1988).

Pembicaraan yang telah muncul pada umumnya juga telah memerikan reduplikasi yang terdapat aplikasi yang diperoleh atau yang ditampilkan pun berbeda-beda.

Perbedaan perian mereka itu agaknya bukan semata-mata disebabkan oleh temuan data yang berbeda atau berlainan, melainkan sudut pandang yang mereka gunakan yang berbeda menjadi sebab utama timbulnya perbedaan perian itu.

Lebih-lebih lagi di antara mereka belum memunculkan secara eksplisit kriteria pemerian reduplikasi yang mereka buat, kecuali Ramlan (1979: 41), sehingga membuat kemungkinan berbeda deskripsi periannya semakin besar (lihat Simatupang 1983).

Reduplikasi itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi reduplikasi morfemik, fonologik, sintaktik. Reduplikasi yang pertama itulah yang paling banyak dibicarakan oleh para tata bahasawan, bahkan telah ada yang meneliti secara spesifik sehingga meraih gelar doktor, yaitu Simatupang (1983) yang kemudian hasilnya dipublikasikan menjadi buku seri ILDEP (1983).

Dari penelitian Simatupang tampak bahwa reduplikasi masih tetap menarik untuk dikaji. Selain itu, dalam bahasa daerah dimungkinkan adanya butir-butir yang berbeda dari tipe yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Tipe-tipe reduplikasi yang dimungkinkan tersebut akan dianalisis dalam bahasa Karo, sesuai dengan objek kajian ini.

Dalam membicarakan reduplikasi morfemik, beberapa istilah yang berbeda tetapi dengan maksud yang sama tampak dari beberapa ahli yang diacu.

Misalnya, data membaca-baca, mengukur-ukur, melambai-lambaikan dan yang sejenisnya dapat disebut pengulangan sebagian (Ramlan, 1979), dwilingga berimbuhan (Keraf, 1991) atau ulangan berimbuhan (Keraf, 1984). Hal tersebut terjadi karena penggunaan kriteria pemerian yang berbeda.

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian reduplikasi bahasa Batak Karo oleh Samuel Barus (1981) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Reduplikasi Bahasa Batak Karo dengan Reduplikasi Bahasa Indoesia”. Bambang Pribadi (2000) dalam skripsinya yang berjudul

“Inferensi Morfologi Bahasa Karo dalam Bahasa Indonesia”. Tulisan di atas massih membahas persoalan morfem dengan sangat sederhana, sesuai dengan tingkat kajiannya.

Selain itu, beberapa penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan kajian terhadap bahasa Karo adalah Sahala Manullang (2001) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Pronomina Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Karo”. Siti Sakdiah Tarigan (2003) dalam skripsinya yang berjudul “Aspek dalam Bahasa Karo Tinjauan Sintaksis dan Semantik”. Timotius Meliala (2004)

dalam skripsinya yang berjudul “Penyukuan Kata dalam Bahasa Karo”. Christian H. Sitepu (2004) dalam skripsinya yang berjudul “Pribahasa dalam Bahasa Karo”.

2.2 Konsep Reduplikasi

Reduplikasi merupakan suatu proses dari hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, sehingga pada hakikatnya dapat ditemui reduplikasi fonologis dan reduplikasi gramatikal-dengan pengertian reduplikasi gramatikal mencakup reduplikasi morfemis atau reduplikasi morfologis, dan reduplikasi sintaktis. Bahkan kadang-kadang ada yang mengelompokkan begitu saja reduplikasi menjadi reduplikasi fonologis, reduplikasi morfologis dan reduplikasi sintaktis (lihat Kridalaksana. 1982: 13--144; 1989: 88; Simatupang.

1983).

Reduplikasi fonologis merupakan peristiwa reduplikasi yang dapat berupa perulangan suku, atau suku-suku kata sebagai bagian kata, bentuk dasar dan reduplikasi morfologis ini secara deskriptif siokronik tidak dapat ditemukan dalam bahasa yang bersangkutan. Contoh reduplikasi fonologis dalam bahasa Indonesia antara lain kupu-kupu, kura-kura, biri-biri, betutu, cecunguk dan sebagainya. Reduplikasi seperti ini oleh para ahli bahasa Indonesia sering disebut perulangan semu, kata ulang semu, atau reduplikasi semu (lihat Samsuri 1988: 91;

Keraf 1991: 153; Alisyahbana 1953: 55-56 dalam Simatupang 1983).

Reduplikasi morfologis atau reduplikasi morfemis mengacu pada persoalan morfem yang mengalami perulangan. Hasil reduplikasi ini dapat berupa kata ulang sebagian, kata ulang penuh. Reduplikasi morfologis ini merupakan

salah satu proses morfologis yang lazim dijumpai pada sebagaian besar bahasa di dunia ini terutama bahasa yang bertipe aglutinatif (Lihat Simatupang 1983).

Konsep reduplikasi morfologis pada hakikatnya memiliki kesamaan di antara para ahli bahasa Indonesia, hanya saja di dalam menyebut bentuk dasar dari bentuk ulang dijumpai berbagai macam. Gorys Keraf (1991: 149) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan sebuah bentuk gramatikal yang berujud penggandaan sebagai atau seluruh bentuk dasar sebuah kata. Adapun Ramlan (1979: 38) menyatakan bahwa proses pengulangan atau reduplikasi merupakan pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil perulangan itu berupa kata, dan bentuk yang diulang merupakan bentuk dasar. Samsuri (1988: 14) menyatakan babwa reduplikasi merupakan pengulangan bentuk kata, yang dapat utuh atau sebagian. Sama halnya dengan pendapat Matthews (1978: 127) yang menyatakan bahwa reduplikasi merupakan repetisi yang dapat persial tetapi dapat pula keseluruhan. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan bahwa reduplikasi sebagai proses pengulangan kata baik secara keseluruhan (utuh) maupun secara sebagian.

Dari batasan yang dimunculkan itu secara tegas memperkuat hakikat reduplikasi yang tidak lain merupakan gejala repetisi atau perulangan bentuk.

Bentuk yang diulang itu teryata disebut dengan bermacam-macam dan cara pengulangannya dapat secara utuh dapat pula hanya sebagian sehingga dapat disebut perulangan penuh atau perulangan sebagian.

Reduplikasi haruslah dibedakan dari kata yang berulang, karena kata yang berulang tidak akan menghasilkan kata, tetapi menghasilkan kata-kata. Kata yang

berulang muncul sebagai repetisi itu biasa dijumpai pada peristiwa berbahasa yang dilakukan oleh penjual atau penjaja makanan, koran dan sebagainya; orang yang sedang sakit atau ketakutan, orang yang sedang menjadi suporter olah raga dan sebagainya.

Bentuk tuturan seperti itu tidak termasuk ke dalam reduplikasi meski terjadi peristiwa perulangan atau repetisi bentuk lingual. Misalnya, tahu... tahu..., tempe... tempe..., sakit... sakit..., aduh sakit sekali Bu!, Tolong... tolong..., kebakaran...! kebakaran...!, dan sebagainya (konteksnya sengaja tidak ditampilkan secara formal).

Reduplikasi morfologis dalam bahasa-bahasa tertentu dimungkinkan memiliki bentuk: dasar yang berupa bentuk turunan atau bentuk kompleks.

Artinya, bentuk dasar reduplikasi itu sebelumnya telah memiliki status sebagai kata kompleks, kemudian menjadi unsur proses morfologis lagi untuk membentuk kata baru yang lain sehingga terjadi rekursi. Kembalinya kata menjadi unsur leksikal itu disebut leksikalisasi (Kridalaksana. 1989: 14), dan sebaliknya berubahnya laksem menjadi kata disebut gramatikalisasi. Misalnya,

1. Bentuk berjalan-jalan (diasumsikan bentuk dasarnya berjalan) dapat ditunjukkan prosesnya:

(1) Proses I : : prefiksasi ber- terhadap jalan menjadi berjalan

(2) Proses II: : leksikalisasi berjalan menjadi unsur leksikal yang biasanya disebut leksem

(3) Proses III : reduplikasi bentuk berjalan rnenjadi berjalan-jalan.

2. Bentuk orang-orang dapat ditunjukkan prosesnya:

(1) Proses I : gramatikalisasi leksem orang menjadi kata orang.

(2) Proses II : leksikalisasi orang menjadi leksem orang.

(3) Proses III : reduplikasi orang menjadi orang-orang.

Kadang-kadang bentuk orang-orang dan sejenisnya diasumsikan dibentuk dari leksem (ada pula yang menyebut morfem) yang langsung mengalami proses reduplikasi, tanpa melalui pemunculan menjadi kata lebih dahulu.

Dengan demikian, bila asumsinya demikian pada bentuk orang-orang tidak dijumpai proses leksikalisasi. Namun, bila diterima adanya fakta orang dan sejenisnya pemah muncul sebagai kata, analisis seperti di atas dapat diterima.

Reduplikasi sintaksis merupakan reduplikasi gramatikal yang dassarnya berupa leksem (ada yang menyebut morfem), dan hasilnya berupa klausa (Simatupang 1983)

Jadi, reduplikasi sintaksis ini menghasilkan klausa bukan lagi kata.

Persoalannya, klausa di sini bukan dalam arti bentuk, melainkan dalam semantik.

Perhatikan contoh berikut ini:

3. Tua-tua, orang itu masih mampu naik sepeda.

Bentuk tua-tua dalam konteks itu dapat diparafrasakan menjadi meskipun tua, walaupun tua dan sebagainya sehingga bentuk lengkapnya adalah orang itu (sudah) tua, yang merupakan klausa dengan tua sebagai predikat inti.

Dalam bahasa Indonesia, suatu bentuk reduplikasi tidak dapat ditetapkan begitu saja merupakan bentuk reduplikasi morfologis atau sintaktis tanpa mempertimbangkan konteks pemunculan bentuk reduplikasi itu sendiri, dan berbeda dengan reduplikasi fonologis yang dapat bebas konteks pada umumnya bisa ditetapkan yaitu dengan menguji apakah dijumpai bentuk lingual yang lebih

kecil atau tidak. Bila tidak dijumpai bentuk yang lebih kecil dapat dipastikan bentuk reduplikasi itu merupakan reduplikasi fonologis, bila dijumpai bentuk yang kecil - sebagai bentuk dasamya - dimungkinkan merupakan reduplikasi morfologis atau reduplikasi sintaktis. Mengingat hal yang demikian itu, pada hakikatnya pembicaraan reduplikasi gramatikal tidak dapat dilakukan secara bebas konteks, dan bila dikaitkan dengan makna, makna yang ada pun adalah makna gramatikal.

Berikut ini diberikan beberapa contoh pemerian reduplikasi (tentu saja berupa hasil pemerian, yaitu periannya) yang dapat digunakan untuk menunjukkan betapa perlunya disepakati dan dinyatakan secara formal kriteria pemerian itu. Tentu saja tulisan ini harus dipandang bukan sebagai .perombakan.

apa yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para ahli bahasa yang disebutkan di sini. Begitu pula, tulisan ini tidak harus diikuti, tetapi barus dipandang sebagai pemancing untuk menimbulkan pemikiran perlunya ada ketaatazasan dalam pemerian sesuatu, termasuk permasalahan reduplikasi.

Beberapa contoh pemerian reduplikasi:

Samsuri (1988: 91) menyebutkan tiga macam reduplikasi yaitu reduplikasi atau perulangan utuh, reduplikasi parsial dan reduplikasi semu, sedangkan Keraf (l984:120-121; 1991: 149-50) menyebutkan empat macam reduplikasi atau pengulangan, yaitu pengulangan dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dan perulangan atau ulangan berimbuhan. Selain itu, ia menyebutkan pula istilah perulangan semu (Keraf. 1991: 153).

Kridalaksana (1989: 88 --90) menyebutkan lima macam reduplikasi, yaitu dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dwiwasana, dan trilingga. Adapun

dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1988: 166) menyebutkan empat macam reduplikasi, yaitu pengulangan utuh, salin suara, sebagian, dan disertai pengafiksan.

Lain halnya dengan Parera (1988: 51-55) menyebutkan reduplikasi (menggunakan istilah bentuk ulang) simetris, regresif, progresif. konsonan, vokal, dan reduplikasi atau bentuk ulang reduplikasi. Begitu pula dengan Ramlan (1979:

41-45) yang menyebutkan ada empat macam pengulangan dilibat dari cara mengulang bent uk dasarnya, yaitu pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.

Dari pemerian reduplikasi dalam bahasa Indonesia di atas ternyata hanya satu, yaitu pendapat Ramlan yang secara eksplisit (formal) menggunakan kriteria penggolongan atau penjenisan reduplikasi, sedangkan selebihnya dinyatakan secara implisit. Bila diperhatikan ternyata memang mereka ada yang secara konsisten menggunakan kriteria tertentu saja, tetapi ada pula yang menggunakan beberapa kriteria dalam pemeriannya. Selain itu, ada kecenderungan pengamatannya terpengaruh oleh peristiwa lain yang seharusnya dapat dikendalikan.

2.3 Pengertian Reduplikasi

Reduplikasi merupakan salah satu wujud proses morfologis. Reduplikasi sebagai proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhun, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan fonem (Chaer,1994: 182).

Selanjutnya (Chaer 1995 : 286) mengatakan bahwa reduplikasi merupakan alat

morfologi yang produktif di dalam pembentukan kata. Berdasarkan pendapat Chaer tersebut dapat dikatakan bahwa reduplikasi merupakan suatu proses pengulangan yang terjadi pada bentuk dasar dan berperan aktif di dalam pembentukan kata.

Ramlan (2001:63) mengatakan bahwa reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau pengulangan kata adalah suatu pengulangan atau proses secara morfemis yang mengulang satuan gramatik baik secara utuh, sebagian, perubahan bunyi, maupun penambahan afiks.

2.3.1 Jenis - jenis Reduplikasi

Ramlan (2001 : 69) mengatakan bahwa reduplikasi atau pengulangan kata itu terbagi menjadi empat bagian di antaranya pengulangan secara keseluruhan, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.

1. Pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Contoh :

sepeda sepeda – sepeda buku buku – buku

2. Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya.

Bentuk dasar tidak diulang seluruhnya.Hampir semua bentuk dasar pengulangan golongan ini berupa bentuk kompleks.

Apabila bentuk dasar itu berupa bentuk kompleks, kemungkinan-kemungkinan bentuknya sebagai berikut :

Contoh :

a. Bentuk dasar dengan prfiks meN –

Misalnya : mengambil mengambil–ambil membaca membaca-baca b. Bentuk dasar dengan prefiks di –

Misalnya : ditarik ditarik– tarik ditanami ditanam–tanami disodorkan disodor-sodorkan c. Bentuk dasar dengan prefiks ber –

Misalnya : berjalan berjalan-jalan bermain bermain-main berlarut berlarut-larut d. Bentuk dasar dengan prefiks ter –

Misalnya : tersenyum tersenyum-senyum terbatuk terbatuk-batuk terbentur terbentur-bentur e. Bentuk dasar dengan prfiks ber – an

Misalnya : berlarian berlarian -larian berjauhan berjauhan-jauhan berdekatan berdekatan–dekatan f. Bentuk dasar dengan sufiks an –

Misalnya : minuman minuman -minuman

makanan makan -makanan nyanyian nyanyian –nyanyian g. Bentuk dasar dengan prefiks ke –

Misalnya : kedua kedua-dua ketiga ketiga-tiga keempat keempat-empat

3. Pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks.

Pengulangan ini terjadi bersama- sama dengan proses pembubuhan afiks dan bersama–sama pula mendukung satu fungsi.

Contoh :

Pengulangan dengan pembubuhan sufiks an – Misalnya :

Kereta kereta – kereta keretan-keretaan anak anak – anak anak-anakan

rumah rumah – rumah rumah-rumahan

4. Pengulangan dengan perubahan fonem, kata ulang yang pengulangannya termasuk golongan ini sebenarnya sangat sedikit. Di samping bolak–balik terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, membalik. Dari perbandingan itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak–balik dibentuk dari bentuk dasar balik, diulang seluruhnya dengan perubahan fonem, ialah dari / a / menjadi / o / dan dari / i / menjadi / a / /

Contoh Lain :

gerak gerak – gerik robek robak –robik

Keraf (1991:149) mengatakan bahwa macam-macam kata ulang berdasarkan strukturnya, bentuk ulang dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi empat macam yaitu :

1. Pengulangan Dwipura

Pengulangan dwipura adalah pengulangan yang dilakukan atas suku kata pertama dari sebuah kata. Dalam bentuk pengulangan macam ini, vokal suku kata awal yang diulang mengalami pelemahan karena pengulangan ini menghasilkan satu suku kata tambahan. Sehingga vokal suku kata baru ini diperlemah. Kata-kata yang mengalami pengulangan dwipura antara lain :

tanaman > tatanaman > tetanaman tangga > tatangga > tetangga tamu > tatamu > tetamu

2. Pengulangan Dwilingga

Lingga adalah bentuk dasar. Karena itu, bila sebuah bentuk dasar mengalami pengulangan seutuhnya maka pengulangan ini disebut pengulangan dwilingga.

Lingga yang diulang dapat berupa kata dasar atau kata turunan. Misalnya : rumah > rumah-rumah

buah > buah-buahan anak > anak-anak

3. Pengulangan Dwilingga Salin – Suara

Pengulangan dwilingga salin – suara adalah semacam pengulangan atas seluruh bentuk dasar, namun terjadi perubahan bunyi pada salah satu fonemnya atau lebih.

Misalnya :

gerak – gerik > gerak – gerik porak – porak > porak – parik

4. Pengulangan Dwilingga Berimbuhan

Pengulangan dwilingga berimbuhan adalah salah satu variasi lain dari pengulangan dwilingga, namun pada salah satu atau bentuk lingga atau bentuk dasarnya mendapat imbuhan.Misalnya :

bermain-main memukul-mukul berjalan-jalan

Kridalaksana (89:2007) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5 macam, yaitu:

1. Dwipurwa

Dwipurwa adalah pengulangan suku pertama pada leksem dengan pelemahan vokal.

Contoh: tetangga lelaki

tetamu sesama 2. Dwilingga

Dwilingga adalah pengulangan leksem.

Contoh: rumah-rumah makan-makan

pagi-pagi

3. Dwilingga salin swara

Dwilingga salin swara adalah pengulangan leksem dengan variasi fonem.

Contoh: mondar-mandir bolak-balik

corat-coret 4. Dwiwasana

Dwiwasana adalah pengulangan bagian belakang dari leksem.

Contoh: pertama-tama perlahan-lahan

sekali-kali 5. Trilangga

Trilangga adalah pengulangan anamotope tiga kali dengan variasi fonem.

Contoh: cas-cis-cus dag-dig-dug ngak-ngik-nguk

Badudu (1980:21) mengatakan bahwa jenis-jenis reduplikasi ada 5 macam, yaitu:

1. Pengulangan penuh

Pengulangan penuh adalah semua kata ulang yang di hasilkan oleh perulangan unsurnya secara penuh.

Contoh: gedung gedung-gedung Jalan jalan-jalan Makan makan-makan 2. Pengulangan berimbuhan

Pengulangan berimbuhan adalah semua kata ulang yang salah satu unsurnya berimbuhan:awalan, sisipan atau akhiran.

Contoh: berjalan berjalan-jalan Berlari berlari-lari 3. Pengulangan bunyi

Pengulangan bunyi adalah pengulangan yang terjadi dengan perubahan bunyi banyak pada unsur pertama maupun unsur kedua.

Contoh: cerai cerai-berai sorak sorak-sorai 4. Pengulangan semu

Pengulangan semu adalah pengulangan yang hanya dijumpai dalam bentuk ulang seperti itu. Bila tidak diulang, maka komponennya tidak mempunyai makna, atau mempunyai makna lain yang tidak ada hubungannya dengan kata ulang tersebut.

Contoh: laba-laba ubur-ubur

kupu-kupu

5. Pengulangan dwipurwa

Pengulangan dwipurwa adalah pengulangan yang berasal dari komponen yang mulanya diulang, kemudian berubah menjadi sepatah kata dengan bentuk seperti itu.

Contoh: laki lelaki tangga tetangga

Berdasarkan pendapat Ramlan, Keraf, Badudu dan Kridalaksana dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau kata ulang ada 6 macam yang diketahui, yaitu:

1. Reduplikasi atau kata ulang secara keseluruhan/murni/dwilingga.

2. Reduplikasi atau kata ulang sebagian/dwipurwa.

3. Reduplikasi atau kata ulang perubahan vonem/dwilingga salin swara.

4. Reduplikasi atau kata ulang yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks/berimbuhan/bersambung/dwilingga berimbuhan/dwiwasana.

5. Reduplikasi atau kata ulang trilingga.

6. Reduplikasi atau perulangan semu.

2.4 Bentuk Dasar Reduplikasi

Ramlan (2001 : 65) mengttakan bahwa setiap kata memiliki satuan yang diulang, sehingga sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua kata ulang dengan mudah ditentukan bentuk dasarnya, sehingga dapatlah dikemukakan dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar kata ulang, yaitu sebagai berikut:

a. Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata.

Contoh :

berkata –kata (kata kerja) bentuk dasarnya berkata (kata kerja)

gunung – gunung (kata nominal) bentuk dasarnya gunung (kata nominal) cepat – cepat (kata sifat) bentuk dasarnya cepat (kata sifat)

sepuluh –puluh (kata bilangan) bentuk dasarnya sepuluh (kata bilangan) b. Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.

Contoh :

mengata-ngatakan : bentuk dasarnya mengatakan, bukan mengata menyadar-nyadarkan : bentuk dasar menyadarkan, bukan menyadar berdesak-desakan : bentuk dasarnya berdesakan, bukan berdesak

2.5 Makna Reduplikasi

Ramlan (2001 : 176) mengatakan bahwa makna reduplikasi atau pengulangan kata terbagi menjadi 11 bagian sebagai berikut:

1. Menyatakan makna ‘banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar`.

1. Menyatakan makna ‘banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar`.