• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

3.2 Kedudukan Bahasa Karo

Bahasa Karo adalah salah satu bahasa di daerah Sumatera Utara yang penuturnya disebut masyarakat Karo. Bahasa Karo dipergunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk melakukan aktifitasnya, masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo. Bahasa Karo memang sangat luas daerah pakainya bila dilihat dari segi gografis karena daerahnya tidak saja di Kabupaten Karo, tetapi sampai ke kabupaten Dairi, Langkat, Deli Serdang, dan beberapa daerah lainnya.

Penutur asli bahasa Karo dapat dikatakan mempunyai kesetiaan yang sangat tinggi terhadap bahasa Karo karena walau di manapun mereka berada, bila berkomunikasi dengan sesama sukunya, bahasa Karo selalu digunakan sebagai

medianya. Umpamanya, pada saat mereka mengadakan upacara pun mereka tetap menggunakan bahasa Karo. Penutur asli bahasa Karo sering kali sekali melakukan alih kode pada saat mereka berinteraksi. Bila dalam kelompok komunikasi tersebut ada tambahan yang bukan etnis Karo, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai media. Akan tetapi, bila tidak ada tambahan anggota kelompok tersebut, bahasa Karo akan tetap dipakai.

Sebagai tambahan, dapat diketahui bahwa, penutur asli bahasa Karo yang bertempat tinggal di kota-kota besar di Indonesia pun masih mempergunakan bahasa Karo dalam kehidupan sehari-harinya, kecuali di luar kelompok Karo.

Peneliti pernah memberikan tugas kepada mahasiswa untuk meneliti keberadaan bahasa Karo di rumah tangga suku Karo di Kota Medan. Ternyata 99% dari 200 rumah tangga ditemukan menggunakan bahasa Karo di rumah sebagai media.

Diagram 1. Skema Kekerabatan Suku Karo

1♂ 2♀

3♂ 4♀ 5♀

5♀ 8♂

15♀ 16♀ 17♂ 4♀ 7♂

12♂ 13♂ 14♀ 3♂ 6♀

9♂ 10♀ 11♀

18♀ 19♂ 20♂ 21♀ 22♀ 23♂ 24♂ 25♂ 26♀

27♂ 30♀ 33♂ 36♀ 39♂ 42♂ 45♀ 48♂ 51♀

28♂ 31♂ 34♀ 37♂ 40♀ 43♂ 46♀ 49♂ 52♂

29♀ 32♂ 35♂ 38♀ 41♂ 44♂ 47♀ 50♀ 53♂

Keterangan :

♂ tanda laki-laki, ♀ tanda perempuan, tanda suami isteri, dan tanda anak.

3.3 Daerah Peneletian

Kata payung dalam frasa sebenarnya berasal dari kata Payong. Banyak anggota masyarakat Karo tidak mengerti sejarah kata Payung tersebut. Sebahagian orang menganggap bahwa makna kata Payung pada frasa Kecamatan Payung adalah Payong di dalam bahasa Karo yang artinya ‘payung’, tetapi sebenarnya kata Payong [ρayoη] berasal dari dua kata yaitu payo dan nge [payo ηě] yang

berarti ‘benar’ atau ‘betul’. Desa Payung pada mulanya merupakan ladang seorang Merga Bangun. Merga bangun tersebut adalah penduduk asli Desa Batu Karang. Merga Bangun tersebut meninggalkan Desa Batu Karang berhubung rumah tangganya yang selalu mendapatkan masalah. Akhirnya, dia pindah ke Desa Payung yang pada masa itu belum pernah dihuni dan merupakan hutan. Jadi alasann mereka pindah ke sana adalah untuk menghindar dari masyarakat desa Batu Karang. Setelah itu, penduduk desa Batu Karang tidak mengetahui kemana marga bangun pergi. Namun, pada suatu hari ada sekelompok orang yang berburu babi hutan dan rusa. Tanpa disengaja mereka menemukan pondok keluarga Pak Bangun tersebut. Selesai perburuan, mereka memberitakan hal tersebut kepada penduduk Desa Batu Karang. Karena sudah lebih sepuluh tahun, masyarakat Desa Batu Karang tidak mengetahui keberadaan Merga Bangun tersebut. Setiap orang

yang mendengar berita tersebut berkata payo nge [ payo ŋε]. Akhirnya terjadilah Desa Payung karena sudah banyak masyarakat dari desa lainnya membuka lahan pertanian di sekeliling ladang pak Bangun trsebut. Desa Payung berada di lereng kaki Gunung Sinabung.

Kira-kira pada tahun 1901, Kecamatan Payung dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu

Wilayah Raja Urung Susuk yang berkedudukan di Tiga Nderket, Wilayah Raja Urung Batu Karang yang berkedudukan di Batu Karang, Wilayah Raja Urung Guru Kinayan yang berkedudukan di Batu Karang, dan Wilayah Raja Urung Guru Kinayan yang berkedudukan di Tiga Pancur.

Tiga Pancur termasuk ke wilayah Kecamatan Simpang dan Tiga Nderket adalah wilayah Kecamatan Tiga Nderket. Ketiga wilayah Raja Urung tersebut berada di bawah kekuasaan atau kepemimpinan Pemerintah Sebayak Lingga.

Kemudian setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Bupati Kabupaten Karo yang ditunjuk ialah Rakutta Sembiring. Beliau mengadakan suatu rapat dengan masyarakat Kabupaten Karo tentang daerah-daerah Raja Urung. Rapat tersebut memutuskan agar daeah-daerah Raja Urung tersebut dijadikan menjadi satu wilayah kecamatan yang berkedudukan di Desa Payung dengan alasan lokasinya berada ditengah–tengah wilayah tersebut. Setelah lima bulan lamanya Asisten Wedana berkantor di desa Payung, Kantor Asisten Wedana kemudian dipindahkan ke Desa Tiga Nderket dengan ketentuan bahwa nama tidak berubah yaitu masih tetap Payung. Adapun alasan Bupati untuk memindahkan

kantor Asisten Wedana ke Tiga Nderket, berhubung di Desa Payung sangat sedikit sekali penduduknya, sedangkan di Tiga Nderket sangat banyak penduduk.

Tiga Nderket berasal dari dua kata Tiga dan Nderket [tiga] dan [ndәrkәt].

Tiga artinya ‘pasar’ atau ‘pekan’ dan Nderket adalah suatu pohon kayu.

Berhubung pohon Nderket tersebut sangat tinggi dan rimbun sehingga dibawahnya sangat teduh, maka di sekitar pohon Nderket tersebutlah masyarakat jadikan pasar. Jadi, Tiga Nderket artinya ‘pasar’ di bawah pohon Nderket.

Pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia sedang sibuk dengan terbitnya Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005, yaitu pemekaran daerah-daerah. Wilayah Kecamatan Payung dimekarkan menjadi dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Payung dan Kecamatan Tiga Nderket. Jadi, semenjak itu kantor Kecamatan Payung terletak di antara 205’ lintang Utara dan 97,55 bujur Timur. Keadaannya berada pada 850 – 1.200 meter di atas permukaan laut. Luas Kecamatan Payung adalah 47,24 km2

Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Tiga Nderket,

. Adapun batas-batas Kecamatan Payung adalah :

Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Munte,

Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Tiga Nderket, dan Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Simpang Empat.

Jarak Kecamatan Payung ke Ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe adalah 17 km dan ke Medan 93 km.

Penduduk Kecamatan Payung sebanyak 10.818 orang (5.300 orang laki-laki dan 5.518 orang perempuan) yang terdiri dari 3.071 rumah tangga. Di wilayah

Kecamatan Payung yang telah ditetapkan sebagai daerah pengamatan adalah Desa Selandi yang jumlah penduduknya sebanyak 620 orang dan terdiri dari 205 rumah tangga. Masyarakat Desa Selandi mayoritas memeluk agama yaitu Kristen, Protestan sebanyak 214 orang, Katolik sebanyak 204 orang, Islam sebanyak 197, dan lainnya sebanyak 5 orang. Mata pencaharian masyarakat Desa Selandi adalah bertani, ada yang menanam tanaman keras dan ada juga yang menanam palawija.

Kecamatan Payung Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 120-1600 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah mata air sungai. Kabupaten Karo mempunyai areal seluas 127.25 km2 atau dapat dikatakan 12.725 hektar.

Dapat juga diketahui bahwa daerah Kecamatan Kecamatan Payung Kabupaten Karo adalah 0,9% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Karo. Bila dilihat dari sudut pandang geografis, Kecamatan Payung terletak di antara 2050’ - 3019’

lintang utara dan 97055’ - 980

Kecamatan Payung Kabupaten Karo mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Suhu udara di Kecamatan Payung berkisar antara 13,8

38’ bujur timur.

0C – 25,80C. Musim hujan dan kemarau belakangan ini, semenjak banyaknya pohon kayu ditebang secara liar dan tidak terpadu, mengakibatkan musim kemarau dan hujan tidak dapat lagi diprediksi secara akurat.

BAB IV METODOLOGI

4.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan suatu metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1998 : 82)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi bahasa Karo yang ada saat ini.

Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data lisan dan data tulis. Data bahasa lisan yakni data yang dituturkan oleh penutur asli bahasa Karo, dalam hal ini penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Payung Kabupaten Karo; dengan alasan daerah ini dianggap menggunakan bahasa Karo yang baku. Data tertulis diambil dari (a) Kamus Bahasa Karo Indonesia (2004) oleh Darwin Prinst dan (b) Bahasa Karo (1984) oleh Henry Guntur Tarigan

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kebahasaan menurut Sudaryanto (1988 : 2-3) ada dua macam, yaitu metode simak dan metode cakap yang mana kedua metode ini digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Metode simak digunakan untuk data tulis dan metode cakap untuk data lisan. Kedua metode ini dapat dijabarkan ke dalam teknik dasar dan teknik lanjutan.

a. Observasi (pengamatan)

Mengobservasi yang dimaksud di sini adalah kegiatan mengamati setiap percakapan yang berlangsung antara informan dengan penutur lainnya. Selain mengamati, peneliti sekaligus menyimak penggunaan bahasa yang dituturkan oleh informan untuk memperoleh data-data tentang reduplikasi yang digunakan oleh penutur dalam percakapan tersebut.

b. Pencatatan

Dalam operasionalnya saat pengumpulan data digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar yaitu dengan menyadap kemudian mencatat dengan memilah-milah yang mana yang termasuk reduplikasi. Dalam hal ini penulis sebagai instrumen kunci yang melakukan pengamatan langsung dan mencatat data yang sudah disimak, baik data lisan maupun data tulis.

c. Perekaman

Perekaman terhadap tuturan dapat dipandang sebagai teknik lanjutan dan disebut teknik rekam. Dalam hal ini keikutsertaan penulis bersifat reseptif karena

hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Selanjutnya, apa yang dikatakan informan ditulis kembali dengan cara mengulang-ulang rekaman beberapa kali untuk mendapatkan keakuratan pelafalannya. Dalam memperoleh data bahasa lisan, ditempuh dua cara, yakni data yang diperoleh secara lepas, misalnya merekam suatu percakapan di suatu tempat-tempat tertentu (dalam acara adat-istiadat, perkawinan, kematian, warung kopi, dll); dan data buatan berdasarkan rekaman data lepas berupa seperangkat data bahasa Karo secara tertulis kemudian diverifikasi kepada informan untuk diuji keabsahan data yang diajukan peneliti. Data buatan ini berfungsi mencek data lepas yang diperoleh dari hasil wawancara.

Data bahasa lisan diperoleh dari informan yakni penutur asli bahasa Karo dengan menggunakan metode purposive sampling, artinya bahwa dalam menentukan jumlah dan anggota informan tidak berdasarkan representasi atau generalisasi yang berlaku pada populasi. Kriteria informan yang diacu dalam penelitian ini, terutama (1) penutur asli bahasa yang diteliti; (2) berdomisili di lokasi penelitian; (3) berusia antara 30 sampai dengan 40; (4) sadar dan memahami dengan apa yang diajukan oleh peneliti; (5) sabar, jujur, dan terbuka terhadap setiap pertanyaan yang diajukan; (6) memiliki alat-alat artikulasi yang baik (Samarin, 1988: 55-56; Djajasudarma, 1993:20).

4.4 Metode Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih.

Metode padan dilaksanakan dengan teknik referensial, yaitu teknik yang alat

penentunya ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa itu sendiri. Teknik referensial adalah teknik pilah unsur penentu yang digunakan untuk mencatat dasar dari pembentukan tipe-tipe reduplikasi pada bahasa Karo, misalnya

Nini – nini : (D + R)

Bentuk perulangan nini-nini berkelas kata nomina karena mengacu kepada pada jenis benda atau nomina. Namun, dapat juga ditafsirkan bermakna banyak menjadi nini-nini yang berarti banyak nini.

Selanjutnya digunakan metode agih adalah metode yang alat penentuya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Teknik yang digunakan adalah pembacaan markah yang digunakan untuk menentukan pemarkah yang menandai makna/arti yang ditimbulkan oleh reduplikasi morfemis bahasa Karo sesuai dengan konteks yang terdapat di dalamnya, misalnya bentuk pemena-mena, dapat dikatakan diturunkan dari bentuk pemena, sehingga R yang menghasilkannya ialah Rp

. Akan tetapi, kata itu dapat dianggap diturunkan dari pengulangan penuh bentuk mena. Mengingat adanya kata-kata tertentu yang jika diulang hanya mungkin terdapat dengan afiks, misalnya, erton-ton, pemena-mena, mbagi-bagiken, ikata-kataken (yang langsung diturunkan dari ton, karena bentuk

*erton tidak mungkin), dalam simbolisasinya bentuk, dituliskan sebagai reduplikasi penuh ditambah afiksasi.

BAB V

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Temuan Hasil Penelitian

Istilah “reduplikasi” di sini dimaksudkan sebagai pengulangan suatu akar kata secara utuh:

pagi → pagi-pagi ‘besok’

Kadang-kadang hanya suku kata pertama pada akar katanya saja yang mengalami pengulangan :

pagi → papagi = pepagi ‘besok’

Reduplikasi parsial pada bahasa Karo sangat jarang dan tidak terlalu dominan penggunaannya. Reduplikasi dalam bahasa Karo terutama terjadi pada kata dasar dan akar kata yang termasuk dalam jenis-jenis golongan kata “terbuka”.

Penelaahan akan berbagai fungsi dan pemaknaan sehubungan dengan proses reduplikasi ini bercirikan pada banyaknya keunikan dan jalinan satu sama lain, yang terjadi secara bersamaan. Kata-kata dari berbagai jenis golongan kerap mengalami reduplikasi dengan efek semantik yang sama, sedangkan kata-kata yang segolongan dapat mengandung fungsi dan pemaknaan yang benar-benar berbeda saat mengalami proses pengulangan. Proses reduplikasi kadang juga dapat mengubah status kategorial dari kata tersebut. Pengkajian yang lebih terperinci daripada pengkajian di sini mungkin akan dapat menguraikan kerumitan-kerumitan ini secara lebih baik. Untuk jelasnya, walaupun dengan mengorbankan kelengkapan secara menyeluruh, pembahasan di sini pada dasarnya diarahkan pada aspek-aspek semantik yaitu berdasarkan berbagai

pemaknaan yang muncul sehubungan dengan bentuk-bentuk reduplikasi yang ada.

Sebelum memulai pembahasan ini, terlebih dahulu diawali dengan dua pengamatan awal sebagai berikut :

(i) Untuk sejumlah besar kata, proses reduplikasi merupakan suatu ciri struktural yang melekat. Hal ini didapati dengan berbagai macam istilah, di antaranya adalah “[re]duplikasi leksikal” (Uhlenbeck 1978 : 90), “reduplikasi fonologis”(Kridalaksana 1978 : 19). Reduplikasi ini mencakup bentuk pengulangan monosilabel (satu suku kata) maupun bisilabel (dua suku kata).

Bentuk-bentuk pengulangan monosilabel memperlihatkan penekanan kata sederhana (yaitu pada suku kata praakhir), sedangkan bentuk-bentukl pengulangan bisilabel memperlihatkan karakteristik penekanan kata berulang.

Pekpek ‘pukul’

Momo ‘pengumuman’

Lengleng ‘banjir’

Ngatngat ‘kunyah’

Bisbis ‘tahi mata’

Tengteng ‘layak, tepat’

Ancuk-ancuk ‘puncak’

Kaba-kaba ‘kupu-kupu’

Sura-sura ‘ambisi, cita-cita’

Pala-pala ‘mengupayakan, berusaha (keras)’

Karena tidak dapat diuraikan ke dalam bentukan leksikal yang lebih kecil, bentuk-bentuk kata ini cukup diklasifikasikan sebagai kata dasar. Banyak dari kata-kata ini yang memiliki potensi untuk diturunkan lebih lanjut secara normal, ada juga kata yang ini tidak dapat mengalami proses reduplikasi lebih lanjut.

(ii) Ada sejumlah kata yang dapat mengalami proses reduplikasi, tetapi tanpa disertai perbedaan pemaknaan secara nyata:

Uruk = uruk-uruk ‘bukit’

Kerja = kerja-kerja ‘pesta’

Rebén = rebén-rebén ‘lereng’

Gembura = gembura-gembura ‘gerimis’

Tempa = tempa-tempa ‘sepertinya’

Sapih = sapih-sapih ‘di antara’

Piah = piah-piah ‘sejauh mana, sampai (akhirnya)a’

Tupung = tupung-tupung ‘pada saat, ketika’

Berbagai ragam fungsi dan pemaknaan dari proses reduplikasi ini akan dijelaskan secara rinci.

5.1.1 Onomatope

Ada sejumlah bentuk kata reduplikasi, umumnya monosilabel, yang merupakan bentuk onomatope (menirukan bunyi objek aslinya). Bentuk-bentuk kata semacam ini bukanlah berasal dari suatu bentuk kata tak berulang. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah kata benda dan kata kerja :

Taptap ‘mencuci baju (dengan cara memukul-mukulkannya pada batu di pinggir sungai)

Circir ‘memercikkan, tabur

Tingtingken ‘berdentang-denting (misalnya uang logam), menggerincingkan Giring-giring lonceng kecil

5.1.2 Bentuk Jamak

Pemaknaan ini terutama berlaku pada kata benda berulang yang mungkin berasal dari bentuk kata turunan :

Tulan ‘tulang’ : tulan-tulan ‘tulang-tulang’

Kuta ‘desa’ : kuta-kuta ‘desa-desa’

Sinuan ‘tumbuhan’ : sinuan-sinuan ‘tumbuh-tumbuhan’

Kejadin ‘kejadian’ : kejadin-kejadin ‘kejadian-kejadian’

(1) Éndam gelar-gelarna wari-wari Karo Ini nama-nama nya hari-hari karo

ini adalah nama-nama hari menurut tradisi Karo.

Reduplikasi bermakna jamak ini lazim diterangkan oleh kata bilangan yang mengandung pemaknaan jamak, misalnya

(2) Kerina murid-murid erbaris semua murid-murid berbaris semua murid berbaris

(3) Melala baba kami bulung-bulung bunga kalincayo banyak bawa kami daun-daun bunga kalincayo kami membawa banyak daun bunga kalincayo

Pemaknaan jamak ditambah dengan pemaknaan umum dan variasi juga dijumpai pada sejumlah kata benda berulang berakhiran –en :

Ogé ‘baca’ : ogé-ogén ‘bahan membaca’

Endé ‘nyanyi’ : endé-endén ‘lagu-lagu, nyanyian’

Suan ‘tanam’ : suan-suanen ‘tanam-tanaman’

Asuh ‘jaga (hewan)’ : asuh-asuhen ‘hewan ternak’

Pemaknaan jamak dari suatu kata benda juga dapat “dimasukkan” ke dalam kata kerja atau kata sifat berulang yang digunakan sebagai predikat : (4) Ndai bugis-bugis kami kerina

tadi sehat-sehat kami semua

sebelumnya, kami sehat-sehat semua (5) Iluh na dëm-dëm ibas mata

Air mata miliknya penuh-penuh dalam mata Air matanya tergenang di kedua matanya (6) Lanai ukurta mbué-mbué

Tidak lagi pikiran milik kami banyak-banyak Tidak banyak lagi yang harus kami pertimbangkan.

(7) Kumerket pertawa si megi-megi Terus-menerus tertawa dengar-dengar

Mereka yang mendengarnya tertawa panjang dan nyaring 5.1.3 Imitasi

Pemaknaan ini umumnya terjadi pada kata benda yang berasal dari kata kerja, kata sifat, atau kata benda lain. Pemaknaan Imitasi ini dapat dipergunakan untik menerangkan arti ‘keserupaan’ misalnya

Nipé ‘ular’ : nipé-nipé ulat daun

Turé ‘serambi bambu’ : turé-turé ‘bukit di kaki gunung’

‘di kedua ujung’

‘rumah adat’

Tua ‘tua’ : tua-tua ‘dewasa, sudah tua’

sudah kawin

Nguda ‘muda’ : singuda-nguda ‘wanita muda,’

anak gadis

Tabeh ‘lezat’ : tabeh-tabeh ‘lemak, daging’

berlemak

Turah ‘tumbuh’ : turah-turah ‘alat bor, gurdi’

Palu ‘pukul’ : palu-palu ‘palu, pemukul’

Tutu ‘tumbuk’ : tutu-tutu ‘penumbuk sirih’

Ngalur ‘air’ : ngalur-ngalur ‘palung sungai,’

Berku ‘batok kelapa’ : berku-berku ‘tengkorak’

Bulu ‘bambu’ : buluh-buluh ‘tenggorokan’

Cuan ‘cangkul kecil’ : cuan-cuan ‘tulang belikat’

Kacang ‘kacang’ : kacang-kacang ‘kelentit’

Pinang ‘pinang’ : pinang-pinang ‘buah pelir’

Kundul ‘duduk’ : kundul-kundul ‘bokong’

Tuduh ‘tunjuk’ : tuduh-tuduh ‘jari telunjuk’

Pengulangan pada kata sifat warna juga menghasilkan pemaknaan

“menyerupai” :

Megara ‘merah’ : megara-megara ‘kemerah-merahan’

Mbiring ‘hitam’ : mbiring-mbiring ‘kehitam-hitaman’

Kata sifat berulang juga muncul sebagai kata turunan berimbuhan pe-…

dan pe-… -ken yang mengindikasikan pemaknaan pretensi/ berpura-pura : Senang ‘senang’ : pesenang-senang

bana ‘berpura-pura senang’

Ganjang ‘tinggi’ : peganjang-

ganjangken ‘berlagak hebat’

Ada pula sejumlah kata kerja yang dapat diulang untuk memberikan pemaknaan imitatif/menyerupai :

Bahan ‘buat’ : bahan-bahan ‘menyebabkan atau menjadikan suatu kondisi

sementara’

(8) Bahan-bahan ia jadi anak beru Buat-buat dia menjadi anak beru

Ia dapat dijadikan pengganti sementara anak beru-mu (meskipun sebetulnya ia bukanlah anak beru yang bersangkutan).

5.1.4 Repetisi (Berulang-ulang)

Repetisi merupakan pemaknaan yang paling lazim berkaitan dengan kata kerja berulang. Kata kerja berulang ini dapat berupa kata kerja transitif maupun intransitif, baik kata dasar maupun kata turunan. Untuk kata ulang dengan pemaknaan repetisi yang berawalan er-, ter-, dan N2

Bual ‘bual’ : erbual-bual ‘menceritakan berbagai kisah bualan, mengobrol’

- kata dasarnya biasanya diulang terlebih dahulu, baru setelah itu mengalami penambahan awalan sehingga :

Daram ‘cari’ : terdaram-daram ‘mencari-cari kian kemari’

Ulih ‘kembali’ : mulih-ulih ‘selalu kembali,’

berulang-ulang,

bolak-balik

kawil ‘kait’ : ngkawil-kawil ‘memancing’

ende ‘lagu’ : rendé-rendé ‘menyanyikan sejumlah lagu (bentuk ini merupakan pengecualian di mana pengulangan terjadi pada bentuk kata berimbuhan)’

Pada kata kerja transitif aktif, yang mengalami pengulangan adalah seluruh kata berawalan N- secara utuh, sedangkan akhirannya dipindahkan ke bagian akhir dari akar kata yang mengalami pengulangan.

Sungkun ‘tanya’ : nungkun-nungkun ‘bertanya-tanya’

Tatap ‘pandang’ : natap-natap ‘melihat-lihat’

Ukur ‘pikir’ : ngukur-ngukuri ‘memikirkan’

Apus ‘seka’ : ngapus-ngapusi ‘menyeka berulang-ulang’

Meskipun terjemahan pada contoh berikut tidak semuanya selalu mengandung ekspresi lahiriah akan perbuatan repetitif, hal ini harus dipahami dari masing-masing contoh berikut bahwa perbuatan tersebut terjadi sebanyak lebih dari satu kali, kemungkinan besar juga dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku : (9) La kenca lit pertempuren, la kai pé man ukuren. Bual-bual, tawa-tawa ras

rendé-rendé.

Tidak jika ada pertempuran tidak apa untuk pikiran bual-bual tawa-tawa dan nyanyi-nyanyi

Jika tidak ada pertempuran, tidak ada yang kita pikirkan.

Hanya saling melucu, tertawa-tawa, dan bernyanyi-nyanyi

(10) Dareh ndarat ergulpa-gulpa Darah keluar sembur-sembur Darah tersembur keluar (11) Sapu-sapuna kucing é

usap-usap. dia kucing itu Diusap-usapnya kucing itu

(12) Meriah kal ukur anak kuta ngidah-ngidah bulan é enggo terang Gembira sangat pikiran warga desa lihat-lihat bulan itu sudah jernih

Warga desa kegirangan melihat bulan sudah kembali normal (setelah gerhana bulan)

(13) Tupung wari cerah é enterem kal kami cilas-cilas Sewaktu hari cerah itu banyak sangat kami jemur-jemur

Saat hari sedang cerah, banyak di antara kami yang berjemur-jemur di bawah terik matahari

Pada akar kata berupa kata kerja yang mengalami proses pengulangan, kata benda pelaku yang dihasilkannya juga dapat dimunculkan dalam bentuk berulang :

‘Niding-niding’ memasang : peniding-niding ‘juru’

perangkap ‘perangkap’

‘Ngkawil-kawil’ memancing : pengkawil-kawil ‘nelayan’

lagu-lagu

‘Jagar-jagar’ melucu, : perjagar-jagar ‘pelawak’

bergurau

Makna pengulangan yang dihasilkan kadang-kadang juga melemah bercampur dengan pemaknaan durasi :

Nimai menunggu : nima-nimai menunggu-nunggu Njemba mendorong : njemba-jemba mendorong terus

secara teratur

Ngukuri memikirkan : ngukur-ngukuri merenung

Ngukuri memikirkan : ngukur-ngukuri merenung