• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV METODOLOGI

4.4 Metode Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode padan dan metode agih.

Metode padan dilaksanakan dengan teknik referensial, yaitu teknik yang alat

penentunya ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa itu sendiri. Teknik referensial adalah teknik pilah unsur penentu yang digunakan untuk mencatat dasar dari pembentukan tipe-tipe reduplikasi pada bahasa Karo, misalnya

Nini – nini : (D + R)

Bentuk perulangan nini-nini berkelas kata nomina karena mengacu kepada pada jenis benda atau nomina. Namun, dapat juga ditafsirkan bermakna banyak menjadi nini-nini yang berarti banyak nini.

Selanjutnya digunakan metode agih adalah metode yang alat penentuya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Teknik yang digunakan adalah pembacaan markah yang digunakan untuk menentukan pemarkah yang menandai makna/arti yang ditimbulkan oleh reduplikasi morfemis bahasa Karo sesuai dengan konteks yang terdapat di dalamnya, misalnya bentuk pemena-mena, dapat dikatakan diturunkan dari bentuk pemena, sehingga R yang menghasilkannya ialah Rp

. Akan tetapi, kata itu dapat dianggap diturunkan dari pengulangan penuh bentuk mena. Mengingat adanya kata-kata tertentu yang jika diulang hanya mungkin terdapat dengan afiks, misalnya, erton-ton, pemena-mena, mbagi-bagiken, ikata-kataken (yang langsung diturunkan dari ton, karena bentuk

*erton tidak mungkin), dalam simbolisasinya bentuk, dituliskan sebagai reduplikasi penuh ditambah afiksasi.

BAB V

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Temuan Hasil Penelitian

Istilah “reduplikasi” di sini dimaksudkan sebagai pengulangan suatu akar kata secara utuh:

pagi → pagi-pagi ‘besok’

Kadang-kadang hanya suku kata pertama pada akar katanya saja yang mengalami pengulangan :

pagi → papagi = pepagi ‘besok’

Reduplikasi parsial pada bahasa Karo sangat jarang dan tidak terlalu dominan penggunaannya. Reduplikasi dalam bahasa Karo terutama terjadi pada kata dasar dan akar kata yang termasuk dalam jenis-jenis golongan kata “terbuka”.

Penelaahan akan berbagai fungsi dan pemaknaan sehubungan dengan proses reduplikasi ini bercirikan pada banyaknya keunikan dan jalinan satu sama lain, yang terjadi secara bersamaan. Kata-kata dari berbagai jenis golongan kerap mengalami reduplikasi dengan efek semantik yang sama, sedangkan kata-kata yang segolongan dapat mengandung fungsi dan pemaknaan yang benar-benar berbeda saat mengalami proses pengulangan. Proses reduplikasi kadang juga dapat mengubah status kategorial dari kata tersebut. Pengkajian yang lebih terperinci daripada pengkajian di sini mungkin akan dapat menguraikan kerumitan-kerumitan ini secara lebih baik. Untuk jelasnya, walaupun dengan mengorbankan kelengkapan secara menyeluruh, pembahasan di sini pada dasarnya diarahkan pada aspek-aspek semantik yaitu berdasarkan berbagai

pemaknaan yang muncul sehubungan dengan bentuk-bentuk reduplikasi yang ada.

Sebelum memulai pembahasan ini, terlebih dahulu diawali dengan dua pengamatan awal sebagai berikut :

(i) Untuk sejumlah besar kata, proses reduplikasi merupakan suatu ciri struktural yang melekat. Hal ini didapati dengan berbagai macam istilah, di antaranya adalah “[re]duplikasi leksikal” (Uhlenbeck 1978 : 90), “reduplikasi fonologis”(Kridalaksana 1978 : 19). Reduplikasi ini mencakup bentuk pengulangan monosilabel (satu suku kata) maupun bisilabel (dua suku kata).

Bentuk-bentuk pengulangan monosilabel memperlihatkan penekanan kata sederhana (yaitu pada suku kata praakhir), sedangkan bentuk-bentukl pengulangan bisilabel memperlihatkan karakteristik penekanan kata berulang.

Pekpek ‘pukul’

Momo ‘pengumuman’

Lengleng ‘banjir’

Ngatngat ‘kunyah’

Bisbis ‘tahi mata’

Tengteng ‘layak, tepat’

Ancuk-ancuk ‘puncak’

Kaba-kaba ‘kupu-kupu’

Sura-sura ‘ambisi, cita-cita’

Pala-pala ‘mengupayakan, berusaha (keras)’

Karena tidak dapat diuraikan ke dalam bentukan leksikal yang lebih kecil, bentuk-bentuk kata ini cukup diklasifikasikan sebagai kata dasar. Banyak dari kata-kata ini yang memiliki potensi untuk diturunkan lebih lanjut secara normal, ada juga kata yang ini tidak dapat mengalami proses reduplikasi lebih lanjut.

(ii) Ada sejumlah kata yang dapat mengalami proses reduplikasi, tetapi tanpa disertai perbedaan pemaknaan secara nyata:

Uruk = uruk-uruk ‘bukit’

Kerja = kerja-kerja ‘pesta’

Rebén = rebén-rebén ‘lereng’

Gembura = gembura-gembura ‘gerimis’

Tempa = tempa-tempa ‘sepertinya’

Sapih = sapih-sapih ‘di antara’

Piah = piah-piah ‘sejauh mana, sampai (akhirnya)a’

Tupung = tupung-tupung ‘pada saat, ketika’

Berbagai ragam fungsi dan pemaknaan dari proses reduplikasi ini akan dijelaskan secara rinci.

5.1.1 Onomatope

Ada sejumlah bentuk kata reduplikasi, umumnya monosilabel, yang merupakan bentuk onomatope (menirukan bunyi objek aslinya). Bentuk-bentuk kata semacam ini bukanlah berasal dari suatu bentuk kata tak berulang. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah kata benda dan kata kerja :

Taptap ‘mencuci baju (dengan cara memukul-mukulkannya pada batu di pinggir sungai)

Circir ‘memercikkan, tabur

Tingtingken ‘berdentang-denting (misalnya uang logam), menggerincingkan Giring-giring lonceng kecil

5.1.2 Bentuk Jamak

Pemaknaan ini terutama berlaku pada kata benda berulang yang mungkin berasal dari bentuk kata turunan :

Tulan ‘tulang’ : tulan-tulan ‘tulang-tulang’

Kuta ‘desa’ : kuta-kuta ‘desa-desa’

Sinuan ‘tumbuhan’ : sinuan-sinuan ‘tumbuh-tumbuhan’

Kejadin ‘kejadian’ : kejadin-kejadin ‘kejadian-kejadian’

(1) Éndam gelar-gelarna wari-wari Karo Ini nama-nama nya hari-hari karo

ini adalah nama-nama hari menurut tradisi Karo.

Reduplikasi bermakna jamak ini lazim diterangkan oleh kata bilangan yang mengandung pemaknaan jamak, misalnya

(2) Kerina murid-murid erbaris semua murid-murid berbaris semua murid berbaris

(3) Melala baba kami bulung-bulung bunga kalincayo banyak bawa kami daun-daun bunga kalincayo kami membawa banyak daun bunga kalincayo

Pemaknaan jamak ditambah dengan pemaknaan umum dan variasi juga dijumpai pada sejumlah kata benda berulang berakhiran –en :

Ogé ‘baca’ : ogé-ogén ‘bahan membaca’

Endé ‘nyanyi’ : endé-endén ‘lagu-lagu, nyanyian’

Suan ‘tanam’ : suan-suanen ‘tanam-tanaman’

Asuh ‘jaga (hewan)’ : asuh-asuhen ‘hewan ternak’

Pemaknaan jamak dari suatu kata benda juga dapat “dimasukkan” ke dalam kata kerja atau kata sifat berulang yang digunakan sebagai predikat : (4) Ndai bugis-bugis kami kerina

tadi sehat-sehat kami semua

sebelumnya, kami sehat-sehat semua (5) Iluh na dëm-dëm ibas mata

Air mata miliknya penuh-penuh dalam mata Air matanya tergenang di kedua matanya (6) Lanai ukurta mbué-mbué

Tidak lagi pikiran milik kami banyak-banyak Tidak banyak lagi yang harus kami pertimbangkan.

(7) Kumerket pertawa si megi-megi Terus-menerus tertawa dengar-dengar

Mereka yang mendengarnya tertawa panjang dan nyaring 5.1.3 Imitasi

Pemaknaan ini umumnya terjadi pada kata benda yang berasal dari kata kerja, kata sifat, atau kata benda lain. Pemaknaan Imitasi ini dapat dipergunakan untik menerangkan arti ‘keserupaan’ misalnya

Nipé ‘ular’ : nipé-nipé ulat daun

Turé ‘serambi bambu’ : turé-turé ‘bukit di kaki gunung’

‘di kedua ujung’

‘rumah adat’

Tua ‘tua’ : tua-tua ‘dewasa, sudah tua’

sudah kawin

Nguda ‘muda’ : singuda-nguda ‘wanita muda,’

anak gadis

Tabeh ‘lezat’ : tabeh-tabeh ‘lemak, daging’

berlemak

Turah ‘tumbuh’ : turah-turah ‘alat bor, gurdi’

Palu ‘pukul’ : palu-palu ‘palu, pemukul’

Tutu ‘tumbuk’ : tutu-tutu ‘penumbuk sirih’

Ngalur ‘air’ : ngalur-ngalur ‘palung sungai,’

Berku ‘batok kelapa’ : berku-berku ‘tengkorak’

Bulu ‘bambu’ : buluh-buluh ‘tenggorokan’

Cuan ‘cangkul kecil’ : cuan-cuan ‘tulang belikat’

Kacang ‘kacang’ : kacang-kacang ‘kelentit’

Pinang ‘pinang’ : pinang-pinang ‘buah pelir’

Kundul ‘duduk’ : kundul-kundul ‘bokong’

Tuduh ‘tunjuk’ : tuduh-tuduh ‘jari telunjuk’

Pengulangan pada kata sifat warna juga menghasilkan pemaknaan

“menyerupai” :

Megara ‘merah’ : megara-megara ‘kemerah-merahan’

Mbiring ‘hitam’ : mbiring-mbiring ‘kehitam-hitaman’

Kata sifat berulang juga muncul sebagai kata turunan berimbuhan pe-…

dan pe-… -ken yang mengindikasikan pemaknaan pretensi/ berpura-pura : Senang ‘senang’ : pesenang-senang

bana ‘berpura-pura senang’

Ganjang ‘tinggi’ : peganjang-

ganjangken ‘berlagak hebat’

Ada pula sejumlah kata kerja yang dapat diulang untuk memberikan pemaknaan imitatif/menyerupai :

Bahan ‘buat’ : bahan-bahan ‘menyebabkan atau menjadikan suatu kondisi

sementara’

(8) Bahan-bahan ia jadi anak beru Buat-buat dia menjadi anak beru

Ia dapat dijadikan pengganti sementara anak beru-mu (meskipun sebetulnya ia bukanlah anak beru yang bersangkutan).

5.1.4 Repetisi (Berulang-ulang)

Repetisi merupakan pemaknaan yang paling lazim berkaitan dengan kata kerja berulang. Kata kerja berulang ini dapat berupa kata kerja transitif maupun intransitif, baik kata dasar maupun kata turunan. Untuk kata ulang dengan pemaknaan repetisi yang berawalan er-, ter-, dan N2

Bual ‘bual’ : erbual-bual ‘menceritakan berbagai kisah bualan, mengobrol’

- kata dasarnya biasanya diulang terlebih dahulu, baru setelah itu mengalami penambahan awalan sehingga :

Daram ‘cari’ : terdaram-daram ‘mencari-cari kian kemari’

Ulih ‘kembali’ : mulih-ulih ‘selalu kembali,’

berulang-ulang,

bolak-balik

kawil ‘kait’ : ngkawil-kawil ‘memancing’

ende ‘lagu’ : rendé-rendé ‘menyanyikan sejumlah lagu (bentuk ini merupakan pengecualian di mana pengulangan terjadi pada bentuk kata berimbuhan)’

Pada kata kerja transitif aktif, yang mengalami pengulangan adalah seluruh kata berawalan N- secara utuh, sedangkan akhirannya dipindahkan ke bagian akhir dari akar kata yang mengalami pengulangan.

Sungkun ‘tanya’ : nungkun-nungkun ‘bertanya-tanya’

Tatap ‘pandang’ : natap-natap ‘melihat-lihat’

Ukur ‘pikir’ : ngukur-ngukuri ‘memikirkan’

Apus ‘seka’ : ngapus-ngapusi ‘menyeka berulang-ulang’

Meskipun terjemahan pada contoh berikut tidak semuanya selalu mengandung ekspresi lahiriah akan perbuatan repetitif, hal ini harus dipahami dari masing-masing contoh berikut bahwa perbuatan tersebut terjadi sebanyak lebih dari satu kali, kemungkinan besar juga dilakukan oleh lebih dari seorang pelaku : (9) La kenca lit pertempuren, la kai pé man ukuren. Bual-bual, tawa-tawa ras

rendé-rendé.

Tidak jika ada pertempuran tidak apa untuk pikiran bual-bual tawa-tawa dan nyanyi-nyanyi

Jika tidak ada pertempuran, tidak ada yang kita pikirkan.

Hanya saling melucu, tertawa-tawa, dan bernyanyi-nyanyi

(10) Dareh ndarat ergulpa-gulpa Darah keluar sembur-sembur Darah tersembur keluar (11) Sapu-sapuna kucing é

usap-usap. dia kucing itu Diusap-usapnya kucing itu

(12) Meriah kal ukur anak kuta ngidah-ngidah bulan é enggo terang Gembira sangat pikiran warga desa lihat-lihat bulan itu sudah jernih

Warga desa kegirangan melihat bulan sudah kembali normal (setelah gerhana bulan)

(13) Tupung wari cerah é enterem kal kami cilas-cilas Sewaktu hari cerah itu banyak sangat kami jemur-jemur

Saat hari sedang cerah, banyak di antara kami yang berjemur-jemur di bawah terik matahari

Pada akar kata berupa kata kerja yang mengalami proses pengulangan, kata benda pelaku yang dihasilkannya juga dapat dimunculkan dalam bentuk berulang :

‘Niding-niding’ memasang : peniding-niding ‘juru’

perangkap ‘perangkap’

‘Ngkawil-kawil’ memancing : pengkawil-kawil ‘nelayan’

lagu-lagu

‘Jagar-jagar’ melucu, : perjagar-jagar ‘pelawak’

bergurau

Makna pengulangan yang dihasilkan kadang-kadang juga melemah bercampur dengan pemaknaan durasi :

Nimai menunggu : nima-nimai menunggu-nunggu Njemba mendorong : njemba-jemba mendorong terus

secara teratur

Ngukuri memikirkan : ngukur-ngukuri merenung

Pemaknaan durasi juga diekspresikan melalui pengulangan pada kata benda satuan waktu berawalan er- :

Bulan bulan : erbulan-bulan selama berbulan-bulan

5.1.5 Emfasis (Penegasan)

Ada beberapa macam pola yang terlihat di mana proses pengulangan pada kata ditujukan untuk mengekspresikan makna penegasan. Di antaranya adalah : (i) Kata kerja dan kata sifat predikati yang muncul pada lingkup kata negasi

(pemaknaan yang dihasilkan adalah : “tidak… sama sekali”, atau “tidak…

selayaknya”) :

(14) Inem gajah lau telagah ndai, tapi lalap la keri-keri

minum gajah air kolam itu tapi selalu tidak habis-habis

Diminum gajah air kolam itu, namun tidak pernah habis-habis (15) Ola méla-méla

Jangan malu-malu Jangan malu-malu

(16) Véspana la nggeluh-nggeluh

Vespa.miliknya tidak hidup-hidup Skuternya tidak dapat dihidupkan

(17) Ibas perjumpan si la isangka-sangka énda … Pada pertemuan REL tidak PAS. duga-duga ini Pada saat pertemuan yang tak terduga ini … (18) Lanai kubahan tading-tading lembingku é.

Tidak. Lagi saya. Buat tinggal-tinggal tombak.milikku itu Saya tidak akan pernah lagi meninggalkan tombak milik saya

(ii) Makna penegasan ini juga diekspresikan pada kata kerja transitif kausatif berawalan pe- dan ken- yang berasal dari kata dasar berupa kata kerja intransitif dan kata sifat berulang (bentuk-bentuk ini umumnya muncul pada kalimat imperatif) :

(19) Pepalem-palem lebé pusuhndu

Sejuk-sejuk lebih.dahulu hati. Milikmu Tenangkan dulu hatimu

tumbuh-tumbuh pikiran.milikmu Bersikap dewasalah !

(21) Ola sia-siaken pemeré Tuhan Dibata Jangan sia-sia. pemberian Tuhan Allah

Jangan sia-siakan karunia pemberian Tuhan Allah

(iii) Kata sifat berulang yang berfungsi sebagai keterangan cara melakukan umumnya disertai dengan sentuhan pemaknaan pada intensitas perbuatan : (22) Rukurlah kam mbages-mbages

Pikir kamu dalam-dalam Pikirkan masak-masak

(23) Pedas-pedas ikarangkenna kerbo Cepat-cepat kandang dia kerbau

Cepat-cepat ia masukkan kerbau itu ke kandang (24) Panna belona ntabeh-ntabeh

(PAS).makan.dia sirih.miliknya lezat-lezat Ia kunyah sirihnya dengan nikmat

(iv) Kata sifat berulang yang digunakan sebagai predikat dan diikuti oleh sebuah partikel emfasis, menghasilkan pemaknaan “lebih (daripada yang dimaknakan oleh kata sifat dalam bentuk tak berulang)” :

Lama-lama bahwa selesai satu-satu rumah

Untuk menyelesaikan pendirian satu rumah membutuhkan waktu yang lama (lebih lama daripada yang diperkirakan) (26) Akap kéna murah-murah nge kai pé !

Pikir kamu mudah-mudah apa

Kamu selalu berpikir bahwa segalanya mudah ! (lebih mudah daripada yang sesungguhnya)

(v) Banyak kata keterangan dan kata fungsi – khususnya kata depan, kata sambung dan kata tugas—yang mengalami proses pengulangan, kadang bersifat wajib, kadang bersifat tak wajib. Pada umumnya hubungan semantik antara akar kata asal dan bentuk pengulangannya dicirikan oleh pemaknaan intensitas perbuatan yang lebih tinggi :

Lebé ‘pertama’ : lebé-lebé ‘yang paling

pertama’

Nai ‘dahulu kala’ : nai-nai ‘nun dahulu kala’

Ras ‘bersama’ : ras-ras ‘bersama-sama’

Tuhu ‘benar’ : tuhu-tuhu ‘benar-benar’

Gedang ‘panjang’ : gedang-gedang ‘sepanjang’

Sëh ‘hingga’ : sëh- sëh ‘terus-menerus’

Tambah ‘tambah’ : tambah-tambah ‘terlebih lagi’

Ngayak ‘kejar’ : ngayak-ngayak ‘mendekati’

Bagi ‘bagai’ : bagi-bagi ‘sepertinya’

Taren ‘tunda’ : taren-taren ‘sewaktu, sambil’

Menam ‘hampir’ : menam-menam ‘yaris’

Mbera ‘mungkin’ : mbera-mbera ‘semoga’

Mawen ‘kemungkinan’ : mawen-mawen ‘terkadang’

(27) a. Menam jam siwah hampir pukul sembilan

hampir pukul sembilan (umumnya sekitar pukul sembilan kurang seperampat)

b. Menam-menam jam siwah hampir-hampir pukul sembilan

pukul sembilan kurang (beberapa menit saja) (28) a. Man kam lebé

makan kamu lebih.dahulu makanlah kamu lebih dahulu

b. Ia lebé-lebé bengket ngalur-ngalur Lau Biang

Ia pertama-pertama masuk palung. Sungai Lau Biang Dia orang yang pertama kali memasuki lembah Lau Biang

(29) a. Ras kita man !

Bersama kita makan Mari kita makan bersama ! a. Ras-ras kita man !

Bersama-sama kita makan Mari kita makan bersama-sama ! (lebih tegas daripada kalimat (a))

5.1.6 Ketidaktentuan

Pada sejumlah kata tertentu, bentuk pengulangan ini menghadirkan pemaknaan ketidaktentuan, ketidakpastian atau sifat umum. Berbagai jenis akar kata yang menghasilkan pemaknaan ini antara lain :

(i) kata benda lokatif :

(30) … terberita kahé-kahé kolu-kolu ...tersiar hilir-hilir hulu-hulu

… (berita itu) menyebar ke seluruh penjuru (31) I dauh-dauh nari kuidah enggo rëh beru Ginting

Pada jauh-jauh dari saya. Lihat sudah datang wanita Ginting

Dari kejauhan saya dapat melihat bahwa beru Ginting sudah datang

Ada sejumlah kata benda lokatif yang biasanya mengalami proses pengulangan, bila lokasi yang dimaksuda mengandung pemaknaan yang lebih bersifat abstrak daripada harfiah :

(32) I lebé-lebé kelas

Di depan-depan ruang.kelas Di depan kelas

(33) I tengah-tengah anak kuta é

Di tengah-tengah warga desa itu Di antara warga desa tersebut

Contoh terakhir ini bertentangan secara semanatik dengan : (34) i tengah lau

di tengah sungai di tengah sungai (ii) kata sifat :

(35) Adi kuidah ia sakit-sakit, mekuah atéku

Jika saya.lihat dia sakit-sakit kasihan hati.milikku Jika kulihat dia sakit-sakitan, saya merasa kasihan.

(36) Nangkeng-nangkeng pé idalanina kang Naik-naik meski jalan dia

Meski lintasan itu sebagian besar mendaki, ia tetap terus berjalan.

(37) Sip-sip Lau Bengap

Lau Bengap adalah sungai yang tenang (namun dapat menghanyutkan)

(idem : ‘Diam-diam menghanyutkan’) (iii) Sejumlah kata tanya tertentu :

Piga berapa : piga-piga beberapa

Ndingan kapan : ndigan-ndigan terkadang, bilamana

Kai apa : kai-kai apa pun juga

Pada kalimat negatif, bentuk pengulangan menyatakan pemaknaan ketidak tentuan, sedangkan pada kalimat positif, pemaknaannya beralih menjadi sifat inklusif :

(38) Aku la ku ja ku ja

Saya tidak ke mana ke mana Saya tidak pergi ke mana-mana (39) Lawes ia la nadingken tinading kai-kai pé

Pergi dia tidak tinggal peninggalan apa-apa Ia pergi tanpa meninggalkan apa-apa

(40) I ja i ja pé i jah lit juma

Di mana di mana di sana ada ladang

Seluruh penjuru wilayah itu selalu dijumpai ladang

(iv) Penunjang waktu dan satuan pembilang tertentu yang asalnya mengandung pemaknaan tak tentu :

Piga berapa : piga-piga beberapa

Sekali sekali : sekali-sekali (n) sesekali saja Kentisik sejenak : kentisik-kentisik sepintas saja (41) Ibas sada-sada daérah

Di satu-satu daerah Di suatu daerah tertentu

(42) Déba-déba ngenca ieteh gelar perlebéna

Beberapa-beberapa hanya tahu nama pertama milik mereka Hanya beberapa dari mereka yang diketahui nama depannya.

(v) Sejumlah kata kerja intransitif berulang juga dicirikan dengan pengertian tak tentu, “pencampuran” (Rosen 1977 : 4), ataupun ketiadaan arah atau tujuan tertentu : pemaknaan ini cenderung bertumpang tindih dengan makna repetisi maupun jamak,

(43) Gawah-gawah atéku

Jalan-jalan hati milikku Saya hendak berjalan-jalan

(44) Sëh i Lau Kawar, déba ia ridi-ridi, déba ngerakit ...

é maka kundul-kundul ia kerina i tepi dano é.

Sampai di Lau Kawar beberapa mereka mandi-mandi beberapa.

Rakit lalu duduk-duduk mereka semua di tepi danau itu

Setibanya di Lau Kawar, ada yang mandi-mandi, ada juga yang berakit-rakit … kemudian mereka semua duduk-duduk di tepi danau.

(45) Kenca puas ernehen-nehen, mulai me ia erbelanja Setelah puas lihat-lihat mulai dia berbelanja Setelah puas melihat-lihat, ia pun mulai berbelanja 5.1.7 Pemaknaan Lain-lain

Ada sejumlah pola pemaknaan lain yang tidak terlalu dominan selain dari pemaknaan-pemaknaan di atas, yaitu

(i) Pengulangan pada sejumlah frase ukuran tertentu dan frase bilangan menghasilkan pemaknaan “dalam kelompok yang terdiri dari …”.

Pemaknaan ini kadang dianggap juga sebagai pemaknaan distributif, tetapi sebenarnya lebih relevan ke arah pemaknaan repetisi:

Sada-sada satu per satu

Sekalak-sekalak satu per satu (orang) Dua-dua berdua-dua

Telu-telu bertiga-tiga

(ii) Pengulangan pada kata ganti orang disertai oleh sentuhan pemaknaan merendahkan atau meniadakan diri :

Tapi jika kami-kami saja semua anak sekolah tidak hati milik. Kami hangat

Tapi kalau kami-kami saja yang seluruhnya anak sekolah, kami tidak berani

5.1.8 Reduplikasi Parsial

Proses reduplikasi parsial ini merupakan ciri khas dari dialek Singalur Lau dan dialek Karo barat, kecuali dua contoh kata pertama berikut ini, yang berlaku umum bagi semua dialek bahasa Karo. Pada reduplikasi parsial ini yang diulang hanyalah suku kata pertama dari akar katanya. Di sini dijumpai kecenderungan bunyi vokal pada suku kata yang diulang tersebut bervariasi bebas dengan bunyi sihwa. Pemaknaan dari hasil proses reduplikasi parsial ini serupa dengan pemaknaan pada proses reduplikasi menyeluruh :

Beré-beré → beberé ‘marga dari ibu’

Pagi-pagi → papagi = pepagi ‘esok hari’

Pelin-pelin → pepelin ‘hanya sekedar, melulu’

Galang-galang → gagalang = gegalang ‘berbaring’

Gawah-gawah → gagawah = gegawah ‘jalan-jalan’

Giang-giang → gigiang = gegiang ‘berlari-lari’

Ngadi-ngadi → ngangadi ‘mengaso’

Meskipun banyak kata ulang pada kedua dialek tersebut yang diucapkan dalam bentuk reduplikasi parsial seperti di atas, proses reduplikasi parsial ini tidak

terlalu produktif. Sebagai contoh, piga-piga (beberapa) tidak dapat disederhanakan menjadi *pipiga atau *pepiga.

5.1.9 Reduplikasi Aliterasi

Tidak seperti halnya yang dijumpai pada berbagai bahasa daerah di sekitarnya (misalnya bahasa Aceh—lihat Durie 1985a : 43; bahasa Indonesia—

lihat MacDonald 1976 : 32), pada bahasa Karo sangat sedikit bentuk pengulangan.

Pada kedua akar kata yang dipasangkan terdapat selisih bunyi pada salah satu vokal atau konsonannya. Dalam bahasa Karo, reduplikasi purwakanti seperti ini tampaknya hanyalah disebabkan oleh faktor kebetulan saja, di mana dua kata yang berselisih bunyi tersebut muncul secara bersamaan pada suatu struktur kalimat :

Jemolah-jemolé berayun maju dan mundur Melandas-melindes bebas dan tak terhalang

Berikut ini disimpulkan temuan hasil penelitian dalam bentuk tabel.

Tabel 1 Reduplikasi Kata Dasar

No. Kata Dasar Kelas kata Reduplikasi Arti

Kata Benda

Kata Kerja Kata Sifat

1. tulan tulan-tulan tulang

2. kuta kuta-kuta desa

3. sinuan sinuan-sinuan tumbuhan

4. kejadin

kejadin-kejadin

kejadian

5. pagi Pagi-pagi besok

Tabel 2 Reduplikasi Kata Berimbuhan

No. Kata Dasar Kelas kata Reduplikasi Arti

Kata Benda

Kata Kerja Kata Sifat

1. suan suan-suanen

tanam-tanaman

2. asuh asuh-asuhen hewan

ternak

3. ende ende-enden lagu-lagu

4. oge oge-ogen bahan

bacaan

5. nguda

nguda-ngudaan

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian

5.2.1 Bentuk Reduplikasi dalam Bahasa Karo 5.2.1.1 Tipe (D + R)

Tipe ini adalah dasar mengalami reduplikasi.

Tipe ini adalah dasar mengalami reduplikasi.