• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.6 Simbolisasi Bentuk Reduplikasi

Untuk menentukan tanda-tanda (simbol) yang digunakan untuk menuliskan bentuk-bentuk reduplikasi digunakan simbolisasi Simatupang (1983), reduplikasi dibagi dalam dua kelompok besar :

(1) Reduplikasi morfemis;

(2) Reduplikasi semantis (selanjutnya Rs; s = semantis)

Reduplikasi morfemis selanjutnya dapat diperinci menjadi :

1) Reduplikasi penuh, yaitu yang mengulang seluruh (bentuk) dasar kata. Tanda yang dipakai untuk menuliskannya ialah R (tanda ini digunakan juga untuk memendekkan kata reduplikasi secara umum);

tanda yang dipakai untuk menuliskan dasar yang dikenai oleh R yang bersangkutan untuk menghasilkan bentuk baru ialah D.

2) Reduplikasi parsial, yaitu yang mengulang sebagian (bentuk) dasar kata untuk menghasilkan bentuk baru. Tanda reduplikasi jenis ini ialah Rp

Kemudian, R dan Rp dapat diperinci berdasarkan perubahan lain yang terjadi dan jenis-jenis afiks yang dapat bergabung dengannya.

(p = parsial)

Hal lain yang perlu kiranya dikemukakan di sini ialah bahwa dalam simbolisasi, R penuh didasarkan pada unsur kata yang mengalami pengulangan penuh. Pada kata memukul – mukul misalnya, unsur yang mengalami pengulangan ialah unsur bawahan langsung (IC) – pukul dan bukan memukul. Hal ini ditentukan demi kemudahan saja. Kalau tidak, R yang menghasilkan kata memukul-mukul akan dimasukkan ke dalam golongan Rp, dan ini akan menimbulkan kerumitan dalam simbolisasi. Lagi pula, ada bentuk-bentuk reduplikasi tertentu yng diperkirakan diwujudkan melalui proses pengulangan dan afiksasi secara sekaligus, dan biasanya bentuk-bentuk demikian langsung diturunkan dari bentuk yang dapat dianggap paling dasar, misalnya ke (k) anak- (k) anakan (< (k) anak) dan berton-ton (< ton). Dalam pembicaraan selanjutnya, apabila diperlukan apa yang diperkirakan menjadi dasar langsung dari kata reduplikasi akan ditunjukkan.

Berikut terdapat beberapa contoh utama cara menuliskan bentuk-bentuk reduplikasi :

1. Reduplikasi morfemis (1.1) Reduplikasi penuh (1.2) Reduplikasi penuh dengan perubahan fonem (Rperf

(1.2.1) R

, pef = perubahan fonem di mana f dapat berupa K = konsonan atau V = vokal)

perf

dengan simulfiks :

perk

2. Reduplikasi parsial

) + er-/-en)

(2.1) Rp dengan afiks

Dedaunan : ((D + Rp

3. Reduplikasi semantis

) + -an)

(3.1) Rs

Sopan – santun : ((D + R tanpa afiks

s

(3.2) R

)

s

Menghancur – leburkan : ((D + R) + meN-/-kan) dengan afiks

Untuk reduplikasi yang derivasional dan yang paradigmatis, secara berturut-turut, dipakai tanda R-der (der = derivasional) dan R-par (par = paradigmatis).

BAB III

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELETIAN

3.1 Masyarakat Karo

Masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat etnis Karo adalah penutur asli bahasa Karo. Secara keseluruhan, masyarakat etnis Karo lebih banyak tinggal di luar Kabupaten Karo, tetapi bila dilihat dalam satu daerah kabupaten maka di Kabupaten Karolah yang terdapat jumlahnya paling banyak.

Sesuai dengan kenyataan, walau dimanapun mereka berdomisili bahwa mereka selalu menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi antar sesama etnis Karo.

Kesetiaan mereka untuk menggunakan bahasa Karo memang sangat tinggi.

Masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat mayoritas adalah petani. Mereka menanam sawit, karet, dan palawija.

Mereka tidak ada yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, walaupun mereka tinggal di tepi pantai. Di luar pekerjaan tersebut memang ada juga yang bekerja sebagai PNS, ABRI, dan berdagang.

Secara umum, masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo bertani dengan menanam padi basah dan padi kering, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Hal itu diakibatkan oleh keadaan alamnya yang menunjang, yaitu tanahnya subur dan udaranya sejuk disertai curah hujan yang cukup. Masyarakat Etnis Karo yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan langkat pada umumnya adalah petani karet dan sawit, walaupun ada juga yang menanam, palawija.

Sistem demokrasi atau kegotong-royongan lebih banyak ditemukan bahwa pada masyarakat Karo yang tinggal di daerah Kabupaten Karo daripada mereka yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat karena dikedua kabupaten tersebut tidak ditemukan lagi Aron. Aron artinya ‘sekelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama’, atau dengan kata lain ‘mempunyai kepentingan yang hampir bersamaan’. Aron ini mempunyai anggota dalam satu kelompok antara 10 orang hingga 25 orang. Anggota Aron tidak membedakan jenis kelamin. Cara mereka bekerja adalah dengan sistem bergilir. Maksudnya, tanggal 1 pada bulan itu semua anggota akan bekerja bersama-sama di ladang si A selama 4 jam (4 x 60) untuk satu periode (mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 tengah hari). Selama satu hari mereka mempunyai waktu bekerja dua tahapan, yaitu pagi empat jam (pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00). Bila ladang si A dapat diselesaikan selama satu tahap maka tahap yang lain boleh berpindah ke tempat bekerja lainnya atau keladang anggota yang lain.

Hal ini biasa dilihat dari situasi dan kondisi ladang para anggota kelompok kerja.

Perpindahan tempat bekerja untuk setiap tahap akan diatur oleh ketua kelompok.

Bila dilihat dari sudut pandang agama, masyarakat Karo ada yang beragama Protestan, Katolik, dan Islam. Jumlah penganut masing-masing agama belum pernah diteliti oleh para ahli ataupun ilmuwan. Akan tetapi, secara sepintas dapat diasumsikan bahwa masyarakat Karo yang berdomisili di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat mayoritas adalah Islam, sedangkan di Kabupaten Karo penduduknya mayoritas beragama Kristen.

Masyarakat etnis Karo tidak membenarkan menikah dengan orang yang mempunyai nama keluarga Merga dan Beru yang sama, kecuali Sembiring Milala,

Kembaren, Guru Kinayan, Pelawi, dan Pandia. Umpamanya si Azis Sembiring tidak diperbolehkan menikah dengan seorang wanita yang Beru Sembiring di luar yang terkecuali tersebut. Jadi, dapat dipilih wanita lain yang mempunyai nama keluarga yang berbeda, yaitu sebanyak empat lagi karena semua nama keluarga ada lima jenis. Peraturan ini dibuat karena sistem kekerabatan yang di anut oleh masyarakat etnis Karo adalah patrilinear dan matrilinial sehingga bila ada orang yang mempunyai nama keluarga sama berarti mereka berasal dari satu nenek.

Untuk mengenal anggota masyarakat Karo kita harus mengetahui nama keluarga masyarakat Karo yang disebut Merga. Kata Merga di dalam bahasa Karo artinya Meherga (mahal). Merga akan dimiliki oleh setiap individu suku Karo. Merga selalu diwariskan oleh ayahnya kepada setiap anaknya. Hal ini terjadi semenjak suku Karo lahir ada di dunia ini. Merga ini berbeda istilah di antara anak laki-laki dan anak perempuan. Untuk anak laki-laki disebut Merga dan untuk anak perempuan disebut Beru. Lebih rinci lagi dapat kita ketahui bahwa setiap individu suku Karo mempunyai empat ciri nama keluarga selain nama. Jadi, walaupun tidak dituliskan akan dipanggil setiap berkomunikasi, maka sebenarnya ada lima kata paling sedikit dimiliki oleh seseorang, misalnya Boy Sembiring Milala Bere-bere Perangin-angin Bangun. Boy adalah nama, Sembiring adalah Merga, Milala adalah sub Merga Sembiring, Perangin-Angin adalah Merga dan Bangun adalah Perangin-Angin.

Sembiring Milala diwariskan oleh nenek moyangnya ke generasinya secara turun-temurun. Bere-bere diwariskan oleh ibu kandungnya. Sejalan dengan perolehan nama keluarga bagi setiap anggota masyarakat Karo maka timbullah bahasa atau istilah kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Karo ( Lihat

diagram 1 dan tabel 6). Akan tetapi, sebelum sampai pada diagram tersebut, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu semua Merga suku Karo beserta sub-Merga tersebut berikut desa yang mereka bangun pada masa tempo dulu ( Lihat tabel 1-5). Adapun ciri khas anggota masyarakat Karo yang lima jenis secara umum dapat diuraikan berikut ini.

Tabel 1. Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya

No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya

1. Sembiring Milala

Buluh Naman, Gurusinga Pertumbuken, Sidikalang Kaban

Pergendangen

Sampe Raya, Kuta Mbelin, Kuta Mbaru

Suka, Belinum Juma Raja, Nageri

Tabel 2. Merga Perangin-angin dan Cabang-Cabangnya

No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya

2. Perangin-angin Bangun

Tabel 3. Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 3. Ginting Jadibata

Sugihen, Juhar, Kuta Gugung Raja Tonggal, Tongging Buluh Naman, Sarimunte, Naga

Lau Kapor

Suka, Lingga Julu, Naman, Berastepu

Gurubenua, Kuta Gerat, Munte Cingkes

Tidak punya desa asal, karena

generasi terputus yang disebabkan oleh tidak ada generasinya laki-laki

Rajameahe Lau Petundal Lingga Julu Bukit

Kidupen, Kemkem

Munte, Kuta Bangun, Dokan, Tongging, Bulanjahe, Ajinembah, Raja Tengah Lingga, Tongging

Tabel 4. Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 4. Tarigan Tua

Juhar, Munte, Lingga, Kuta Raja, Tanjung Beringin

Tabel 5. Merga Karo-Karo dan Cabang-Cabangnya No Merga Sub-Merga Desa asal/bangunannya 5. Karo-karo Barus

Barusjahe,Sipitu Kuta, Serdang, Pernampen, Siberteng, Kabung, Juma Padang, Buntu, Basam, Talimbaru Kaban, Sumbul, Lau Lingga, Pernatin, Buluh Naman, Bintang Meriah

Ajijahe, Ajijulu, Ajiuhara Ajimbelang

Kabanjahe, Berastagi,Kinepen, Jandi Meriah, Beganding, Kuta Suah

Kuta Gerat, Kerapat, Kacaribu Sibolangit, Ketaren

Bunuraya, Kandibata, Singgamik

Lingga,Gunung Merlawan, Linggajulu, Kacaribu, Torong, Surbakti

Seberaya Kuta Male

Kuta Nangka, Batukarang, Perbesi Simacem, Kuta Tengah,

Ndeskati, Sukandebi, Sinaman, Rumamis, Semangat, Bulujahe, Sukajulu, Gunung Pinto

Masyarakat etnis Karo menggunakan istilah kekerabatan berikut ini dan istilah tersebut diperoleh sesuai dengan posisi seseorang yang tergambar pada skets yang dimuat pada halaman 56.

Istilah Kekerabatan

1 adalah Abi Sembiring perbulangen ‘suami’ si 2 (Zuri beru Perangin-angin).

3, 4, dan 5 anak ‘anak’ si 1 dan 2.

3 adalah Aci Sembiring, 4 adalah Zari Beru Sembiring, dan 5 adalah Zai Beru Sembiring.

1 adalah bapa ‘ayah’ si 3,4, dan 5.

3 adalah turang ‘abang’ si 4 dan 5.

4 dan 5 adalah turang ‘adik’ si 3.

6 adalah Rani Beru Ginting ndehara ‘istri’ si 3.

7 adalah Aji Tarigan perbulangen ‘suami’ si 4.

8 adalah Ali Karo-karo perbulangen ‘suami’ si 5.

3 adalah silih ‘abang ipar’ si 7 dan 8.

6 adalah eda’kakak ipar’ si 4 dan 5.

1 adalah jinta ‘mertua’ si 6.

2 adalah simetua ‘mertua’ si 6.

5 adalah perngin ‘adik ipar’ si 7.

4 adalah perkaken ‘kakak ipar’ si 8.

7 dan 8 adalah seperibanen ‘sepengambilan’.

1 adalah mama ‘mertua’ si 7.

8 dan 2 adalah mami ‘mertua’ si 7

7 dan 8 adalah kela ‘menantu’ si 1 dan 2.

9,10, dan 11 adalah anak ‘anak’ si 3 dan 6.

9 adalah Uli Sembiring, 10 adalah Ani Beru Sembiring, dan 11 adalah Ami Beru Sembiring.

12, 13, dan 14 adalah anak si 4.

7, 15, 16, dan 17 adalah anak si 5dan 8.

12 adalah Juma Tarigan, 13 adalah Rudi Tarigan, 14 adalah Limah Beru Tarigan, 15 adalah Reo Beru Karo-karo, 16 adalah Siah Beru Karo-karo, 17 adalah Mail Karo-karo.

9 sampai dengan 26 adalah kempu ‘cucu’ si 1dan 2.

1 adalah bulang, laki, bayak, dan bolang ‘kakek’ si 9 sampai dengan 86.

2 adalah nangin, nondong, nini ‘nenek’ si 9 sampai dengan53.

27 sampai dengan 53 adalah ente ‘cucu’ si 1dan 2.

Pada suatu saat apabila ‘cucu’ [әnιε] (27 sd 53) sudah menikah dan mempunyai anak maka semuanya adalah ‘cucu’ entah [әntah] 1 dan 2.

Selanjautnya, dapat dikatakan bahwa nama keluarga setiap orang yang merupakan anggota keluarga masyarakat etnis Karo secara sepintas hanya dilihat satu saja, tetapi yang sebenarnya adalah terdiri dari empat komponen. Contoh, nomor 3 dalam skets adalah Aci Sembiring Milala Bere Perangin-angin Bangun. Nomor 4 adalah Zari Beru Sembiring Milala Bere-bere Perangin-angin Bangun.

Sembiring Milala diwarisi dari ayahnya, nomor 1 dan Bere-bere Perangin-angin Bangun diwarisi dari ibunya, nomor 2. Hal ini menunjukkan bahwa nomor 1 adalah Abi Sembiring Milala, dan nomor 2 adalah Zuri Beru Perangin-angin Bangun. Milala adalah salah satu cabang Sembiring dan Bangun adalah salah satu cabang Perangin-angin.

Nomor 12 dan 13 adalah senina sepemeren ‘sepupu’ 17. Hal ini

kandung. Nomor 14 adalah senina sepemeren ‘sepupu’ dengan 15 dan 16, karena ibu kandung mereka bersaudara kandung. Nomor 33 adalah senina sembuyak bapa ‘bersaudara’ dengan 27 dan 29, karena nomor 9 dan 11 adalah bersaudara kandung. Nomor 10 dan 28 adalah senina sembuyak bapa ‘sepu’ karena ayah mereka bersaudara kandung.

Menurut perundang undangan masyarakat Karo bahwa orang yang Rebu tidak boleh menari bersama di atas satu panggung. Rebu terdapat di antara menantu dan mertua, kakak ipar dan adik ipar,serta perbesanan. Kakak ipar dan adik ipar ialah abang dari istri dan juga istri dari abang istri tersebut. Perbesanan ialah ibu mertua dari anak kita yang laki-laki. Jadi, di kalangan masyarakat Karo semua hubungan tersebut tergolong debu, atau tebu dalam istilah bahasa Karo.

3.2 Kedudukan Bahasa Karo

Bahasa Karo adalah salah satu bahasa di daerah Sumatera Utara yang penuturnya disebut masyarakat Karo. Bahasa Karo dipergunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk melakukan aktifitasnya, masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo. Bahasa Karo memang sangat luas daerah pakainya bila dilihat dari segi gografis karena daerahnya tidak saja di Kabupaten Karo, tetapi sampai ke kabupaten Dairi, Langkat, Deli Serdang, dan beberapa daerah lainnya.

Penutur asli bahasa Karo dapat dikatakan mempunyai kesetiaan yang sangat tinggi terhadap bahasa Karo karena walau di manapun mereka berada, bila berkomunikasi dengan sesama sukunya, bahasa Karo selalu digunakan sebagai

medianya. Umpamanya, pada saat mereka mengadakan upacara pun mereka tetap menggunakan bahasa Karo. Penutur asli bahasa Karo sering kali sekali melakukan alih kode pada saat mereka berinteraksi. Bila dalam kelompok komunikasi tersebut ada tambahan yang bukan etnis Karo, mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai media. Akan tetapi, bila tidak ada tambahan anggota kelompok tersebut, bahasa Karo akan tetap dipakai.

Sebagai tambahan, dapat diketahui bahwa, penutur asli bahasa Karo yang bertempat tinggal di kota-kota besar di Indonesia pun masih mempergunakan bahasa Karo dalam kehidupan sehari-harinya, kecuali di luar kelompok Karo.

Peneliti pernah memberikan tugas kepada mahasiswa untuk meneliti keberadaan bahasa Karo di rumah tangga suku Karo di Kota Medan. Ternyata 99% dari 200 rumah tangga ditemukan menggunakan bahasa Karo di rumah sebagai media.

Diagram 1. Skema Kekerabatan Suku Karo

1♂ 2♀

3♂ 4♀ 5♀

5♀ 8♂

15♀ 16♀ 17♂ 4♀ 7♂

12♂ 13♂ 14♀ 3♂ 6♀

9♂ 10♀ 11♀

18♀ 19♂ 20♂ 21♀ 22♀ 23♂ 24♂ 25♂ 26♀

27♂ 30♀ 33♂ 36♀ 39♂ 42♂ 45♀ 48♂ 51♀

28♂ 31♂ 34♀ 37♂ 40♀ 43♂ 46♀ 49♂ 52♂

29♀ 32♂ 35♂ 38♀ 41♂ 44♂ 47♀ 50♀ 53♂

Keterangan :

♂ tanda laki-laki, ♀ tanda perempuan, tanda suami isteri, dan tanda anak.

3.3 Daerah Peneletian

Kata payung dalam frasa sebenarnya berasal dari kata Payong. Banyak anggota masyarakat Karo tidak mengerti sejarah kata Payung tersebut. Sebahagian orang menganggap bahwa makna kata Payung pada frasa Kecamatan Payung adalah Payong di dalam bahasa Karo yang artinya ‘payung’, tetapi sebenarnya kata Payong [ρayoη] berasal dari dua kata yaitu payo dan nge [payo ηě] yang

berarti ‘benar’ atau ‘betul’. Desa Payung pada mulanya merupakan ladang seorang Merga Bangun. Merga bangun tersebut adalah penduduk asli Desa Batu Karang. Merga Bangun tersebut meninggalkan Desa Batu Karang berhubung rumah tangganya yang selalu mendapatkan masalah. Akhirnya, dia pindah ke Desa Payung yang pada masa itu belum pernah dihuni dan merupakan hutan. Jadi alasann mereka pindah ke sana adalah untuk menghindar dari masyarakat desa Batu Karang. Setelah itu, penduduk desa Batu Karang tidak mengetahui kemana marga bangun pergi. Namun, pada suatu hari ada sekelompok orang yang berburu babi hutan dan rusa. Tanpa disengaja mereka menemukan pondok keluarga Pak Bangun tersebut. Selesai perburuan, mereka memberitakan hal tersebut kepada penduduk Desa Batu Karang. Karena sudah lebih sepuluh tahun, masyarakat Desa Batu Karang tidak mengetahui keberadaan Merga Bangun tersebut. Setiap orang

yang mendengar berita tersebut berkata payo nge [ payo ŋε]. Akhirnya terjadilah Desa Payung karena sudah banyak masyarakat dari desa lainnya membuka lahan pertanian di sekeliling ladang pak Bangun trsebut. Desa Payung berada di lereng kaki Gunung Sinabung.

Kira-kira pada tahun 1901, Kecamatan Payung dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu

Wilayah Raja Urung Susuk yang berkedudukan di Tiga Nderket, Wilayah Raja Urung Batu Karang yang berkedudukan di Batu Karang, Wilayah Raja Urung Guru Kinayan yang berkedudukan di Batu Karang, dan Wilayah Raja Urung Guru Kinayan yang berkedudukan di Tiga Pancur.

Tiga Pancur termasuk ke wilayah Kecamatan Simpang dan Tiga Nderket adalah wilayah Kecamatan Tiga Nderket. Ketiga wilayah Raja Urung tersebut berada di bawah kekuasaan atau kepemimpinan Pemerintah Sebayak Lingga.

Kemudian setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Bupati Kabupaten Karo yang ditunjuk ialah Rakutta Sembiring. Beliau mengadakan suatu rapat dengan masyarakat Kabupaten Karo tentang daerah-daerah Raja Urung. Rapat tersebut memutuskan agar daeah-daerah Raja Urung tersebut dijadikan menjadi satu wilayah kecamatan yang berkedudukan di Desa Payung dengan alasan lokasinya berada ditengah–tengah wilayah tersebut. Setelah lima bulan lamanya Asisten Wedana berkantor di desa Payung, Kantor Asisten Wedana kemudian dipindahkan ke Desa Tiga Nderket dengan ketentuan bahwa nama tidak berubah yaitu masih tetap Payung. Adapun alasan Bupati untuk memindahkan

kantor Asisten Wedana ke Tiga Nderket, berhubung di Desa Payung sangat sedikit sekali penduduknya, sedangkan di Tiga Nderket sangat banyak penduduk.

Tiga Nderket berasal dari dua kata Tiga dan Nderket [tiga] dan [ndәrkәt].

Tiga artinya ‘pasar’ atau ‘pekan’ dan Nderket adalah suatu pohon kayu.

Berhubung pohon Nderket tersebut sangat tinggi dan rimbun sehingga dibawahnya sangat teduh, maka di sekitar pohon Nderket tersebutlah masyarakat jadikan pasar. Jadi, Tiga Nderket artinya ‘pasar’ di bawah pohon Nderket.

Pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia sedang sibuk dengan terbitnya Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2005, yaitu pemekaran daerah-daerah. Wilayah Kecamatan Payung dimekarkan menjadi dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Payung dan Kecamatan Tiga Nderket. Jadi, semenjak itu kantor Kecamatan Payung terletak di antara 205’ lintang Utara dan 97,55 bujur Timur. Keadaannya berada pada 850 – 1.200 meter di atas permukaan laut. Luas Kecamatan Payung adalah 47,24 km2

Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Tiga Nderket,

. Adapun batas-batas Kecamatan Payung adalah :

Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Munte,

Sebelah Barat berbatas dengan Kecamatan Tiga Nderket, dan Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Simpang Empat.

Jarak Kecamatan Payung ke Ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe adalah 17 km dan ke Medan 93 km.

Penduduk Kecamatan Payung sebanyak 10.818 orang (5.300 orang laki-laki dan 5.518 orang perempuan) yang terdiri dari 3.071 rumah tangga. Di wilayah

Kecamatan Payung yang telah ditetapkan sebagai daerah pengamatan adalah Desa Selandi yang jumlah penduduknya sebanyak 620 orang dan terdiri dari 205 rumah tangga. Masyarakat Desa Selandi mayoritas memeluk agama yaitu Kristen, Protestan sebanyak 214 orang, Katolik sebanyak 204 orang, Islam sebanyak 197, dan lainnya sebanyak 5 orang. Mata pencaharian masyarakat Desa Selandi adalah bertani, ada yang menanam tanaman keras dan ada juga yang menanam palawija.

Kecamatan Payung Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 120-1600 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah mata air sungai. Kabupaten Karo mempunyai areal seluas 127.25 km2 atau dapat dikatakan 12.725 hektar.

Dapat juga diketahui bahwa daerah Kecamatan Kecamatan Payung Kabupaten Karo adalah 0,9% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Karo. Bila dilihat dari sudut pandang geografis, Kecamatan Payung terletak di antara 2050’ - 3019’

lintang utara dan 97055’ - 980

Kecamatan Payung Kabupaten Karo mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Suhu udara di Kecamatan Payung berkisar antara 13,8

38’ bujur timur.

0C – 25,80C. Musim hujan dan kemarau belakangan ini, semenjak banyaknya pohon kayu ditebang secara liar dan tidak terpadu, mengakibatkan musim kemarau dan hujan tidak dapat lagi diprediksi secara akurat.

BAB IV METODOLOGI

4.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan suatu metode penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicari berupa pemberian bahasa yang sifatnya seperti potret, paparan seperti apa adanya (Sudaryanto, 1998 : 82)

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan sinkronis, yaitu menjelaskan atau memerikan tipe-tipe reduplikasi bahasa Karo yang ada saat ini.

Dalam penelitian ini juga diusahakan menemukan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam reduplikasi morfemis bahasa Karo. Untuk itu, bukti-bukti reduplikasi didefinisikan dan dibandingkan guna melihat pola-polanya.

4.2 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data lisan dan data tulis. Data bahasa lisan yakni data yang dituturkan oleh penutur asli bahasa Karo, dalam hal ini penulis mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Payung Kabupaten Karo; dengan alasan daerah ini dianggap menggunakan bahasa Karo yang baku. Data tertulis diambil dari (a) Kamus Bahasa Karo Indonesia (2004) oleh Darwin Prinst dan (b) Bahasa Karo (1984) oleh Henry Guntur Tarigan

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kebahasaan menurut Sudaryanto (1988 : 2-3) ada dua macam, yaitu metode simak dan metode cakap yang mana kedua metode ini digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Metode simak digunakan untuk data tulis dan metode cakap untuk data lisan. Kedua metode ini dapat dijabarkan ke dalam teknik dasar dan teknik lanjutan.

a. Observasi (pengamatan)

Mengobservasi yang dimaksud di sini adalah kegiatan mengamati setiap percakapan yang berlangsung antara informan dengan penutur lainnya. Selain mengamati, peneliti sekaligus menyimak penggunaan bahasa yang dituturkan oleh informan untuk memperoleh data-data tentang reduplikasi yang digunakan oleh penutur dalam percakapan tersebut.

b. Pencatatan

Dalam operasionalnya saat pengumpulan data digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar yaitu dengan menyadap kemudian mencatat dengan memilah-milah yang mana yang termasuk reduplikasi. Dalam hal ini penulis sebagai instrumen kunci yang melakukan pengamatan langsung dan mencatat data yang sudah disimak, baik data lisan maupun data tulis.

Dalam operasionalnya saat pengumpulan data digunakan teknik sadap sebagai teknik dasar yaitu dengan menyadap kemudian mencatat dengan memilah-milah yang mana yang termasuk reduplikasi. Dalam hal ini penulis sebagai instrumen kunci yang melakukan pengamatan langsung dan mencatat data yang sudah disimak, baik data lisan maupun data tulis.