• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)

EFEKTlVlTAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN

PROGESTERON INTRAVAGINAL'

DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN

REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH

OLEH

LENTJI RlNNY NGANGI

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(101)

Banyaklah yang telah Kau lakukan, ya Tuhan Allahku,

Perbuatan-Mu yang ajaib dan maksud-Mu untuk kami.

Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Engkau!

Aku mau memberitakan dan mengatakannya,

tetapi terlalu besar jumlahnya untuk dihitung.

(Mazmur 40

:

6)

(102)

ABSTRAK

LENTJI RlNNY NGANGI. Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron intravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi kambing Peranakan Etawah. Dibimbing oleh Mozes R Toelihere, sebagai ketua komisi dan Bambang Purwantara serta I Ketut Sutama, masing- masing sebagai anggota.

Dalam rangka usaha pengembangan ternak kambing PE, maka beberapa faktor yang berkaitan dengan reproduksi khususnya lnseminasi Buatan (IB) perlu mendapat perhatian.

Penelitian ini berlangsung di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor dalam dua tahap. Pada penelitian tahap I digunakan 24 ekor betina umur 1.5 tahun untuk melihat respons estrus terhadap lama waktu implan intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari. Lama implan yang lebih baik digunakan dalam penelitian tahap II. Semua ternak betina percobaan disinkronisasi dengan menggunakan progesteron dalam kemasan Controlled lnternak Drug Release (CIDR-G) yang diimplantasikan secara intravaginal. Untuk deteksi estrus dipakai dua ekor jantan vasektomi. Ternak-ternak percobaan (30 ekor) yang digunakan dalam penelitian tahap II diinseminasi pada dua kisaran waktu, yaitu 14 sampai dengan 23 jam dan 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus.

Analisis hasil kedua perlakuan yang ada dilakukan dengan uji pasangan (uji-t).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama implan ClDR intravaginal yang berbeda (7 dan 14 hari) tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap penampilan reproduksi (onset dan keserentakan estrus serta intensitas estrus) pada ternak kambing PE, namun ada kecenderungan bahwa implan intravaginal progesteron selama 14 hari menunjukkan hasil yang relatif lebih baik. Hasil angka kebuntingan walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan tetapi waktu inseminasi dengan kisaran waktu 14

(103)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

N a m a : Lentji Rinny Ngangi

Status : Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Nomor Pokok Mahasiswa : 971 84

Perguruan Tinggi : lnstitut Pertanian Bogor

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul " Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah" adalah benar hasil penelitian dan penulisan saya.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan seperlunya.

Bogor, 30 Juli 2002 enyatakan,

yaR~i

/
(104)

EFEKTIVITAS LAMA PEMBERIAN IMPLAN

PROGESTERON INTRAVAGINAL

DAN WAKTU INSEMINAS1 TERHADAP PENAMPILAN

REPRODUKSI KAMBING PERANAKAN ETAWAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(105)

Judul tesis : Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron lntravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan Etawah Nama : Lentji Rinny Ngangi

NRP : 97184

Program Studi : Biologi Reproduksi

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof Dr drh Mozes R Toelihere. M

Dr drh Bambanrr Purwantara, MSc

/-

Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Biologi Reproduksi

I

Prof Dr drh Mozes R Toelihere, MSc
(106)

Penulis dilahirkan di Manado Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal

15 Maret 1962 sebagai anak sulung dari hasil perkawinan pasangan suami istri ; ayah bernama Marthin Ngangi

(t)

dan ibu Soes Miladeg Karamoy.

Tahun 1980 penulis masuk Universitas Negeri Sam Ratulangi Manado dan kuliah di fakultas Peternakan jurusan llmu Produksi Ternak. Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (staf pengajar) di fakultas Peternakan Unsrat Manado pada tahun 1988.

Penulis menikah dengan Deyv Pijoh anak dari kel.Pijoh-Mawikere dan dikaruniai putri pertama bernama Linon Ratumbanua Febriany Pijoh

(t).

Tahun 1997 penulis diterima di Program Studi llmu Biologi Reproduksi pada

program Pascasarjana IPB.

(107)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis naikkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Pengasih, karena atas berkat dan pertolongan-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lama implan dan waktu inseminasi dengan judul

"Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron Intravaginal dan Waktu lnseminasi terhadap Penampilan Reproduksi Kambing Peranakan EtawahJ1.

Tak ada kata yang dapat penulis rangkaikan selain ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang besar terhadap guruku yang baik

Profesor Dr drh Mozes R Toelihere, MSc selaku ketua komisi pembimbing,

Dr drh Bambang Purwantara, MSc serta Dr Ir I Ketut Sutama, MRurSc,

masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah rela meluangkan waktu dan mencurahkan tenaga, pikiran untuk membimbing, membuka wawasan serta mengarahkan penulis semenjak dari penyusunan proposal, penelitian sampai dengan penyusunan tesis ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian

Ternak (BALITNAK) Ciawi-Bogor untuk semua bantuan (lokasi maupun

materi penelitian) yang penulis peroleh selama penelitian berlangsung. Rasa terima kasih ini juga penulis tujukan kepada Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat 11 Manado Drs Wempie Fredrik atas bantuan dana yang diberikan kepada penulis.

(108)

terima kasih karena selalu mengiringi penulis dengan doa. Dalam hening dan rindu yang dalam, penulis turut mengenang cinta kasih dari papi (Bpk Marthin Ngangi), papi mertua (Bpk Lodewijk Pijoh) serta putriku tercinta

Linon Ratumbanua Febriany Pijoh yang telah mendahului kita semua.

Dengan penuh cinta kasih dan rasa hormat, penulis persembahkan tesis ini buat suamiku yang tercinta Deyv Pijoh, yang telah merelakan penulis untuk menuntut ilmu sambil selalu membekali penulis dengan doa dan cinta. Rasa syukurku untuk Tuhan karena berkatNya mengalir dengan deras dalam kehidupan ini. Immanuela Tumatenden Pijoh putriku, kau hadir ditengah- tengah proses meraih sukses ini.

Dalam meraih sukses ini penulis banyak menerima cinta dan kasih dari adik-adikku, untuk itu dengan rasa haru yang dalam penulis ucapkan terima kasih kepada Kel Ngangi

-

Maionda (Remmy, Rina serta keponakan

Arnold dan Billy), Kel Ngangi

-

Mawikere (Tommy, Renny serta keponakan

Priscyllia) dan sibungsu Henny WH Ngangi. Rasa bahagia disertai dengan ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada kakak iparku Kei Pijoh-Hansang (Feriij, ses Rita serta keponakan Angel, Toar dan bayu), Deane M Pijoh serta

Kel Moningka

-

Pijoh (Jorgen, Vera serta keponakan Waraney dan Wulan)

yang telah turut mengambil bagian dalam sukses yang penulis peroleh.

lmmanuel

(109)

DAFTAR IS1

Halaman DAFTAR TABEL

...

x i DAFTAR GAMBAR

...

x i i

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

XIII

PENDAHULUAN

...

1

TINJAUAN PUSTAKA

...

9

...

Sejarah Perkenlbangan Kambing PE 9

Siklus Reproduksi Ternak Kambing

...

10

Kontrol Hormonal Siklus Estrus

...

16 Gelombang Folikel

...

18

Sinkronisasi Estrus

...

19

Hormon Progesteron

...

22

Penggunaan Hormon Progesteron Dalam Metode

...

Sinkronisasi Estrus 25

...

lnseminasi Buatan pada Kambing 28

MATERI DAN METODE

...

32

Waktu dan Tempat Penelitian

...

32

Materi Penelitian

...

32

...

Metode Penelitian 33

HASlL DAN PEMBAHASAN

...

Siklus Estrus Alamiah

...

Tanda-tanda Estrus dan Lama Periode Estrus

...

Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron

...

...

Onset dan Keserentakan Estrus

Persentase Estrus

...

...

lntensitas Estrus

Respons Agka Kebuntingan terhadap Waktu Inseminasi

...

...

KESIMPULAN DAN SARAN 55

(110)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tanda-tanda estrus dari ternak kambing PE percobaan

...

37 2. Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada ternak kambing

percobaan

...

40 3. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14

hari terhadap onset dan keserentakan estrus

...

41

4. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap jumlah ternak yang estrus:

...

42

5. Respons intensitas estrus sesudah perlakuan

...

46

6. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal terhadap intensitas estrus kambing PE

...

47
(111)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan prosedur kerja pada percobaan tahap I,II dan Ill

...

34
(112)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pemasangan ClDR pada ternak kambing percobaan

...

64 2. Deteksi estrus dengan menggunakan jantan pengusik yang diberi

apron

...

65

3. Penentuan kambing betina estrus dengan gejala diam dinaiki sebagai patokannya

...

;

...

66

...

4 Pelaksanaan insem-inasi pada ternak kambing percobaan 67

5 Uji-t hasil hasil onset dan keserentakan estrus dari ternak kambing PE setelah implan intravaginal preogesteron selama 7 dan 14 hari

...

68 6. Perkiraan kondisi fisiologis dari ternak percobaan pada saat

perlakuan

...

70 7. Tanda-tanda estrus yang terinventarisir dan total nilai dari

kambing PE percobaan menurut perlakuan

...

71

8. Uji-t intensitas estrus dari ternak kambing PE setelah implan intravaginal progesteron selama 7 dan 14 hari

...

72

9. Uji-t angka kebuntingan dari ternak kambing PE yang diinseminasi dengan kisaran waktu 14-23 dan 27-34 jam setelah

...

onset estrus 75

(113)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging

pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing Peranakan Etawah (PE) sebagai salah satu penghasil daging dan susu perlu ditingkatkan serta

dipercepat perkembangannya. Apabila ditinjau dari segi sosial masyarakat,

pemeliharaan ternak kambing tidak memerlukan modal besar dibandingkan

dengan ternak lainnya, dagingnya dapat dikonsumsi oleh seluruh

masyarakat, serta sangat menguntungkan karena ternak kambing bersifat prolifik atau beranak lebih dari satu ekor per kelahiran (Subandriyo, 1995). Selain itu ternak kambing juga sangat efisien dalam menggunakan hijauan, mempunyai kemampuan tinggi untuk merumput dipadang rumput yang pendek (Tomaszewska dkk, 1991b), mudah beradaptasi dan mempunyai

umur kebuntingan yang singkat serta mempunyai kemampuan untuk tumbuh

dan berkembang biak pada daerah-daerah yang relatif kering.

Kelemahan ternak kambing di Indonesia adalah rendahnya daya tumbuh dan tingkat kematian yang tinggi pada anak sehingga menurunkan

produktivitas induk, padahal kecepatan pertumbuhan sangat menentukan efisiensi dan keuntungan usaha peternakan kambing. Selanjutnya Haryanto dkk (1997) menyatakan bahwa, masalah utama yang harus diatasi pada usaha peternakan kambing adalah meningkatkan produktivitasnya, karena

walaupun kambing termasuk prolifik tetapi secara umum produktivitasnya

(114)

Berkaitan dengan masalah tersebut diatas, yaitu rendahnya produktivitas ternak yang diperkirakan karena pada umumnya kegiatan sub sektor peternakan masih merupakan mata rantai dari kegiatan sistem pertanian yang sebagian besar kegiatannya dikelola oleh petani peternak

kecil dengan modal (ternak, lahan, alat dan teknologi) yang terbatas. Rendahnya produktivitas kambing milik peternak di pedesaan disebabkan

karena antara lain jumlah pemilikan ternak per peternak yang kecil, tingkat kelahiran yang rendah yaitu 1.49 anak per betina dewasa per tahun

(Haryanto dkk, 1997). Kambing PE yang dipelihara oleh rakyat mencapai dewasa, siap kawin dan bunting pada umur antara 2 sampai dengan 2,5 tahun serta melahirkan pada umur antara 3 sampai dengan 3,5 tahun (Haryanto dkk, 1997). Sedangkan diketahui secara normal kambing siap

kawin dan bunting dicapai pada umur antara 11 sampai dengan 13 bulan dan

melahirkan antara umur 16 sampai dengan 18 bulan. Menurut Sutama dkk

(1994) selang beranak atau interval beranak bervariasi tergantung jenis, umur induk, periode laktasi, tingkat beranak dan faktor pakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada kambing dapat terjadi dua kali kelahiran per tahun. Interval beranak dipengaruhi juga oleh sistem pemeliharaan dan dapat

mencapai 240 sampai dengan 350 hari (Sutama dkk, 1994). Pada

kenyataannya banyak ditemukan ditingkat lapangan, ternak melahirkan

hampir sekali dalam setahun bahkan sekali dalam dua tahun, ha1 ini umumnya dikarenakan tatalaksana perkawinan tidak terlalu diperhatikan dan saat induk tidak bertemu dengan pejantan sehingga tidak diketahui saat estrus dan juga deteksi estrus memang sulit dilakukan untuk ternak kambing

(115)

terus menerus, sedangkan perbedaan jumlah anak sekelahiran dikarenakan

jenis ternak dan musim. Penyebab lain yang juga mengakibatkan rendahnya kinerja reproduksi dari kambing-kambing tersebut adalah kemungkinan disebabkan oleh adanya gangguan produksi hormon ataupun sekresi hormon reproduksi.

Dalam rangka usaha pengembangan dan peningkatan populasi ternak kambing Peranakan Etawah tersebut, maka faktor-faktor yang berkaitan dengan reproduksi perlu mendapat perhatian. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan teknologi yang meliputi komponen yang mempengaruhinya yaitu

1) Mempercepat pubertas ; 2) Memperpendek selang beranak ; 3) Menekan

kematian anak pra sapih serta 4) Memperbanyak jumlah anak sekelahiran dan sebagainya (Haryanto dkk, 1997).

Teknologi lnseminasi Buatan (IB) telah diterapkan di Indonesia sejak

tahun 1952 khususnya pada ternak sapi. Namun penerapan di lapangan secara intensif baru dimulai tahun 1973 dengan menggunakan semen beku dari beberapa sapi impor.

Hambatan dan rendahnya tingkat konsepsi hasil I8 (pada ternak

kambing) yang dihadapi dalam pelaksanaannya adalah selain belum

memasyarakatnya teknologi tersebut diseluruh wilayah pedesaan kecuali wilayah Desa Binaan dan Sentra Peternakan, juga disebabkan oleh sulitnya

pengamatan deteksi estrus oleh petani peternak karena faktor intensitas pengamatan yang kurang dari peternak, sementara periode estrus berlangsung sangat singkat dengan gejala yang kurang begitu jelas terlihat.

(116)

didalam pelaksanaannya pada kambing tersebut harus ditekan sekecil

mungkin.

Dalam suatu kelompok ternak, estrus yang tidak serentak merupakan

kendala dalam pelaksanaan IB. Hafez (1993) menyatakan bahwa didalam suatu kelompok ternak betina dengan siklus estrus yang acak, saat terjadinya estrus tidak dapat diprediksi dengan tepat. Kendala tersebut dapat diatasi dengan menggunakan suatu metode yang sudah dilakukan secara meluas yaitu sinkronisasi estrus.

i

Sinkronisasi estrus adalah pengendalian siklus estrus sedemikian

rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara

serentak pada saat yang sama atau dalam waktu dua sampai tiga hari, sehingga IB dapat dikerjakan secara serentak dan ha1 ini dimaksudkan untuk

meningkatkan efisiensi reproduksi.

Dasar fisiologik dari sinkronisasi estrus adalah hambatan pelepasan FSH dan LH dari adenohipofisis dan menghambat pematangan folikel de Graaf atau penyingkiran corpus luteum (CL) secara mekanik, manual atau

fisiologik dengan pemberian progesteron, agen luteolitik (PGF2a), estrogen

atau analognya (Mc Donald, 1989).

Bertolak dari masalah yang telah diuraikan diatas, maka telah

dilakukan penelitian melalui suatu percobaan yang bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana efektivitas lama pemberian implan

(117)

Dasar Pertimbangan

Kemampuan bereproduksi merupakan faktor penting untuk menjaga kelangsungan hidup suatu populasi mahluk hidup. Siklus reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks. Kehidupan hewan betina yang normal antara lain harus mengalami pubertas, estrus dan juga menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat (Toelihere, 1981).

Problema utama, yang dihadapi pada siklus reproduksi kambing Peranakan Etawah adalah rendahnya kualitas dan kuantitas reproduksi.

Dari berbagai pengamatan terlihat bahwa gangguan reproduksi merupakan

hambatan dan penyebab utama didalam perkembangan usaha peternakan kambing Peranakan Etawah. Gangguan reproduksi tersebut diawali oleh kurang memadainya penanganan ternak oleh petani peternak, sehingga timbul gangguan fungsional, kawin berulang dan kemudian mengakibatkan

angka pelayanan per kebuntingan tinggi, rendahnya angka kebuntingan dan

kelahiran serta panjangnya jarak antar kelahiran (Toelihere, 1997).

Dalam program inseminasi buatan ada empat faktor utama yang

menentukan efisiensi reproduksi yang menggambarkan keberhasilan atau optimalisasi pelayanan inseminasi buatan (IB) (Toelihere, 1997). Keempat faktor tersebut adalah : 1) Kesuburan bibit semen pejantan (faktor pejantan)

(118)

berkaitan erat satu sama lain, apabila terdapat salah satu faktor yang rendah nilainya maka akan mempengaruhi efisiensi produksi.

Untuk mengefisienkan pelaksanaan IB maka dilakukanlah sinkronisasi estrus yang merupakan pengendalian siklus sedemikian rupa sehingga periode estrus pada banyak ternak betina terjadi secara serentak pada hari yang sama atau dalam kurun waktu dua sampai tiga hari sehingga pelaksanaan 18 : dapat pula dilakukan secara serentak dan efisiensi

reproduksi dapat ditingkatkan.

Dewasa ini telah dikembangkan metode Controlled Internal Drug Release (CIDR) untuk beberapa jenis ternak antara lain untuk kambing (CIDR-G) oleh sebuah perusahaan swasta New Zealand. Kandungan

progesteron dalam CIDR-G tersebut 0,33 gram identik dengan progesteron

alami pada seluruh mamaiia. Progesteron yang diserap oleh vagina kedalam

aliran darah akan mempertahankan kadar didalam darah, cukup untuk

menekan pelepasan LH dan FSH dari hipofisis untuk jangka waktu program perlakuan yang direkomendasikan. Kadar progesteron darah akan mencapai

kadar tinggi setelah pemasukan CIDR, mendatar selama periode perlakuan dan kemudian turun dengan cepat setelah CIDR-G dilepas dan kembali ke

kadar basal dalam waktu enam jam (InterAg, 1996).

Namun demikian, standar yang optimal untuk lama pemberian CIDR-G yang mengandung progestron 0.33 gram pada kambing PE kemudian diinseminasi dengan waktu yang berbeda informasinya masih kurang

sehingga memerlukan penelitian lanjut. Diharapkan dengan perlakuan yang

(119)

Perurnusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

Apakah terdapat pengaruh perbedaan lama pemberian implan progesteron intravaginal (7 dan 14 hari) dan waktu inseminasi dengan kisaran waktu (sekitar 20 dan 30 jam) setelah onset estrus terhadap onset estrus dan angka kebuntingan.

Tujuan Penelitian

1. Menentukan efektivitas lama pemberian implan progesteron intravaginal untuk sinkronisasi estrus dan pencapaian angka

kebuntingan optimal pada kambing PE.

2. Mengetahui pengaruh lama pemberian implan progesteron intravaginal

terhadap onset estrus, persentase ternak yang estrus dan angka kebuntingan.

3. Menentukan waktu IB yang terbaik dalam pencapaian angka kebuntingan yang optimal.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan

(120)

Hipotesis

1. Lama pemberian implan progesteron intravaginal memberikan respons dalam sinkronisasi estrus dan angka kebuntingan.

(121)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Perkembangan Kambing PE

Kambing merupakan ruminansia kecil berasal dari Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalur utama. Pertama, dari Persia dan Afganistan melalui Turkestan ke Mongolia atau China Utara, yang dinamakan lintasan Sutera yang terjadi sekitar tahun 2000 Sebelum Masehi (SM). Kedua, dari anak benua India, kambing ini menyebar kepulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan seterusnya ke Jepang. Kambing asli lndonesia yang dikenal dengan kambing Kacang tersebar

dipulau-pulau lndonesia terutama Jawa dan Sumatera (Devendra dan Nozawa, 1976).

Rumich (1967), menyatakan bahwa kambing Jamnapari di lndonesia dikenal dengan sebutan kambing Etawah yang diimpor dari India pada permulaan tahun 1920 dan bangsa kambing ini berkembang sangat luas terutama dipulau Jawa. Ciri-ciri kambing Etawah ini adalah mempunyai daun telinga yang panjang dan dapat mencapai 25 sampai dengan 31 cm, dengan tinggi 70 sampai dengan 100 meter dan bobot badan sekitar 40 sampai dengan 45 kg dan kepalanya agak kecil. Jantan mempunyai tanduk, pada betina kadang-kadang juga terdapat tanduk. Profil mukanya cembung terutama pada jantan, leher panjang dan tebal, garis punggung lurus atau cembung, pinggulnya lebar dan ekornya kecil dan tegak (Rumich, 1967). Kambing Etawah dikenal sebagai tipe dwiguna, karena dapat menghasilkan daging maupun susu dengan produksi per hari 2,2 sampai

(122)

Jawa Tengah dan Timur (Sutama, 1995). Adapun maksud dari penyebaran kambing-kambing Etawah ini yaitu supaya terjadi perkawinan silang dengan kambing-kambing lokal (Kacang). Dengan adanya perkawinan silang ini, maka diharapkan hasil persilangan ini akan menghasilkan mutu performans produksi dan reproduksi yang lebih tinggi.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing Kacang (Merkel dan Subandriyo, 1997). Persilangan ini telah berjalan sejak lama akan tetapi tidak diketahui secara jelas seberapa jauh grading up berjalan sehingga terbentuk kambing PE yang mempunyai sifat-sifat diantara parientainya (Rumich, 1967). Perbedaan sifat yang menyolok pada kambing ini adalah libido seksualitasnya yang tinggi (Sitorus dan Triwulaningsih, 1981). Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah merupakan daerah penyebaran dan merupakan sumber utama bibit kambing PE di Indonesia (Sutama, 1995). Lebih lanjut dinyatakannya saat ini kambing PE teiah banyak disebarkan diberbagai daerah dan malahan pada daerah-daerah tertentu sudah sulit ditemukan kam bing Kacang murni (Tomaszewska dkk, 1993).

Siklus Reproduksi Ternak Kambing

Reproduksi dari seekor ternak khususnya betina merupakan suatu proses yang sangat menentukan, sebab dapat mengalami gangguan pada setiap waktu, baik stadium sebelum maupun sesudah siklus estrus atau siklus reproduksinya (Partodihardjo, 1980). Reproduksi adalah suatu

(123)

ternak (Toelihere, 1981 dan Sutama, 1996). Lebih lanjut dikatakan oleh Sitorus dan Triwulaningsih (1981) bahwa penampilan reproduksi dari seekor ternak merupakan suatu ha1 yang sangat penting dalam perbaikan kualitas, karena membantu dalam seleksi untuk mepercepat perbaikan performans. Menurut Setiadi dkk (1985) penampilan reproduksi dipengaruhi oleh iklim dan manajemen seperti pakan, penyakit, pemeliharaan dan penanganan kandang serta umur. Atau dengan kata lain bahwa penampilan kambing merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan.

P u b e r t a s

Pubertas atau dewasa kelamin adalah saat dimana aktivitas reproduksi dapat berlangsung atau suatu periode dalam kehidupan jantan dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi dan ditandai oleh kemampuan pertama memproduksi benih (Mc Donald, 1989). Pubertas adalah keadaan mulai berfungsinya alat kelamin dengan normal dan ditandai dengan mulai terlihatnya tanda-tanda estrus (Frost dkk, 1981) serta ovulasi (Hafez, 1993).

(124)

mengurangi pemberian makanan, akan mengakibatkan pubertas tertunda. Sutama dkk (1994, 1995) melaporkan bahwa pubertas umumnya dicapai pada berat sekitar 55 sampai dengan 60% sedangkan Broers (1993) 60 sampai dengan 70% dari berat badan dewasa, dan ini erat kaitannya dengan kondisi pakan yang dikonsumsi. Ternak kambing PE yang diberi pakan tambahan konsentrat Urea Molases Blok mencapai pubertas 20 hari lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak mendapat pakan tambahan (Tomaszewska dkk, 1 99Ia). Sutama dkk (1 995) melaporkan bahwa berat badan waktu pubertas kambing PE di stasiun percobaan bervariasi 13,5 sampai dengan 22,5 kg (rataan 18,5) atau 56% dari berat badan dewasa. Toelihere (1981) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pubertas diantaranya adalah faktor hereditas dan lingkungan

yang meliputi iklim, temperatur dan pakan.

Estrus dan Ovulasi

(125)

Interval antara saat timbulnya estrus dari satu periode estrus ke periode estrus berikutnya dikenal dengan istilah satu siklus estrus dan sekali dewasa kelamin telah dicapai dan musim bereproduksi telah dimulai maka suatu siklus ritmik yang spesifik akan terjadi pada ternak betina yang tidak bunting (Toelihere, 1981). Siklus estrus pada kambing menurut Sutama (1995) 18 sampai dengan 22 hari atau rataan 19 hari sedangkan InterAg (1996) 21 hari (19 sampai dengan 24) dan ovulasi 25 sampai dengan 30 jam sesudah estrus. Namun menurut Howe (1980) sering juga dijumpai ternak mempunyai siklus yang agak panjang (40 hari) dan pendek (8 hari). Camp

dkk (1983) melaporkan hasil penelitiannya dimana dijumpai siklus estrus

terpendek yaitu (6.5

2

0.5 hari) pada kambing Nubian. Stagnaro dan Bury (1982) menyatakan bahwa pada kambing muda siklus estrusnya lebih pendek daripada kambing tua ; Siklus estrus pada kambing muda (umur 12 sampai dengan 18 bulan) adalah 19.9

2

3.6 hari sedangkan pada kambing tua adalah 20.6 5 3.6 hari. Siklus estrus yang pendek ini menurut Hafez (1993) merupakan ha1 yang abnormal . dan penyebabnya adalah karena terjadinya regresi CL dan ovulasi yang berlangsung prematur. Lebih lanjut dikatakan oleh Camp dkk (1983) abnormal yang terjadi pada siklus estrus ini

tidak diketahui dengan pasti penyebabnya. Walaupun setiap spesies mempunyai cici-ciri khas dari pola siklus estrus, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus estrus dilihat dari gejala yang nampak dari luar pada umumnya dibagi atas 4 fase atau periode (Partodihardjo,l980 ; Toelihere, 1981 ; Salisbury dkk, 1985) yaitu : proestrus, estrus, metestrus dan diestrus.

(126)

atau estrogenik (proesterus dan estrus) serta fase luteal atau progestational (metestrus dan diestrus).

Proestrus merupakan periode persiapan yang ditandai dengan pemacuan pertumbuhan folikel oleh Folicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisa anterior (Salisbury dkk, 1985 dan McDonald, 1989). Folikel yang sedang tumbuh menghasilkan cairan folikel dan estradiol yang lebih banyak. Menurut Elmer dkk (1981), cairan folikel menyebabkan ukuran ovum meningkat. Produksi estrogen yang tinggi menyebabkan perkembangan uterus, vagina, oviduk dan folikel-folikel meningkat, serta rneningkatkan suplai darah kedalarn saluran alat kelamin (Elmer dkk, 1981 ; Salisbury dkk,

1985).

Pada akhir proses proestrus, estrus dimulai (McDonald, 1989). Fase ini rnerupakan aktivitas penerimaan seksual pada betina (Elmer dkk, 1981), dan lama pelayanan bervariasi (McDonald, 1989). Ovulasi terjadi pada fase ini, CL mulai terbentuk pada saat LH dari hipofisa anterior meningkat dan FSH menurun.

(127)

Diestrus adalah periode terakhir dari siklus estrus. CL berkembang dengan sempurna, dan pengaruh hormon progesteron tampak pada dinding uterus (Salisbury dkk, 1985). Perkembangan otot uterus dan ukuran kelenjar uterus meningkat. Kelenjar uterus mengsekresikan cairan yang kental untuk persediaan makanan bagi zigot (McDonald, 1989). Jika terjadi kebuntingan, fenomena ini akan diperpanjang selama kebuntingan dan CL tetap utuh. Kehidupan CL selama kebuntingan dipertahankan oleh LTH yang disekresikan oleh placenta.

Jika ovum tidak dibuahi dan kebuntingan tidak terjadi, CL akan beregresi (Elmer dkk, 1981). Regresi CL (luteolisis) terjadi karena rangsangan bahan luteolitik yang disekresikan oleh hipofisa anterior atau

uterus tidak bunting yaitu PGF2a. Regresi CL berakibat produksi progesteron segera menurun. Penurunan progesteron menyebabkan kenaikan FSH. Pertumbuhan folikel dan siklus yang baru dimulai jika musim kawin masih berlangsung dan pada akhir musim kawin ovarium pada hewan yang tidak bunting menjadi tidak berfungsi, begitu juga organ-organ reproduksi lainnya (McDonald, 1989). Ketika datang musim kawin berikutnya, ovarium aktif lagi dan siklus yang baru dimulai (Elmer dkk, 1981).

Lama estrus kambing menurut Howe (1980) dan Toelihere (1980) serta Hafez (1993) berkisar antara 24 sampai dengan 48 jam. Sedangkan menurut Riera (1982) lama estrus berkisar antara 23 sampai 60 jam dengan rataan 36 jam dan Sutama (1995) adalah 25 sampai dengan 40 jam. Lama estrus dari kambing dipengaruhi oleh bangsa, umur, musim dan kehadiran

(128)

Kontrol Hormonal Siklus Estrus

Secara umum ada beberapa hormon yang langsung mempengaruhi siklus estrus dari seekor ternak betina yang jika berlebihan atau kekurangan salah satu hormon tersebut, maka akan mengalami gangguan pada siklus tersebut. Mekanisme hormonal siklus estrus adalah merupakan interaksi kompleks dari berbagai hormon seperti gonadotropin, Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH), prostaglandin, hormon steroid dan faktor-faktor lainnya yang berperan dalam folikulogenesis, ovulasi dan pembentukan CL (Seidel dan Niswender, 1980).

Estrus merupakan suatu aktivitas ovarium yang dikontrol oleh kelenjar hipofisa anterior. Pada prinsipnya siklus estrus terjadi akibat adanya keseimbangan antara hormon steroid dengan ovarium dan protein serta hormon dari kelenjar hipofisa anterior (Bearden dan Fuquay, 1980). Menurut Lindsay dkk (1982) siklus estrus dikontrol oleh hormon estrogen dan yang berasal dari kelenjar hipofisis yang berfungsi mengontrol kegiatan ovarium.

Kontrol siklus ovarium dilakukan oleh hormon FSH dan LH yang

(129)

Dibawah pengaruh level basal FSH dan LH, sel granulosa folikel

mengsekresikan estrogen utamanya yaitu estradiol 17P. Meningkatnya

konsentrasi estradiol 17P dalam plasma merupakan signal dari ovarium yang meningkatkan respons gonadotropin adenohipofisis terhadap GnRHILHRH. Kepekaan adenohyphophysa terhadap GnRhILHRH lebih ditingkatkan lagi oleh pengaruh progesteron yang disekresikan oleh ovarium atas respons LH yang dikeluarkan selama permulaanlpersiapan LH surge dan oleh efek

priming LHRHIGnRH.

Priming-LHRH untuk LH surge dan adanya peningkatan kepekaan respons adenohyphophysa terhadap LHRH, dua peristiwa "puncak" terjadi pelepasan LH secara optimal (LH surge) dan merupakan bentuk umpan balik

positif karena terjadinya atas rangsangan estradiol 17p-surge yang diakhiri dengan terjadinya ruptur folikel dan ovulasi. Dengan kata lain bahwa LH pada ternak betina akan bekerja sama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen. Sesudah folikel menjadi matang maka peran LH selanjutnya menyebabkan ovulasi dengan

menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Jika kandungan LH dalam darah mencapai puncak tertentu maka akan merespons pelepasan ovum dan selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya proses ovulasi (Hafez, 1993).

Ovulasi atau pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya sel telur secara bersama-sama dengan isi folikel tersebut pada kambing terjadi secara spontan pada tahap mendekati akhir dari sejak masuknya estrus atau sekitar

(130)

dengan 2 ova (Hafez, 1993) atau 1 sampai dengan 4 ova per silkus pada kejadian alami atau 9 sampai dengan 19 jam setelah onset estrus (Nalbandov, 1990).

Menurut Hafez (1993), lamanya estrus dan waktu terjadinya ovulasi juga merupakan faktor internal dan eksternal, onset estrus dan ovulasi akibat

LH surge (interval antara estrus dan ovulasi) panjang atau lamanya sesuai dengan peningkatan jumlah ova yang diovulasikan.

Gelombang Folikel

Bartlewski dkk (1980) menyatakan bahwa para ahli lainnya telah melakukan studi tentang tingkah laku kambing selama siklus estrus dan masing-masing menarik kesimpulan yang kontras tentang pertumbuhan dan gelombang folikel yang ada selama siklus (Schrick dkk, 1993 : pertumbuhan kontinyu dan tidak ada gelombang folikel). Tetapi dilain pihak Ravindra dkk (1994) menyatakan bahwa, secara alami terdapat empat gelombang folikel selama siklus estrus dari kambing (Saanen) yang masing-masing muncul pada hari -2 sampai dengan satu (gelombang I ) , hari kedua sampai dengan lima (gelombang 2), hari keenam sampai dengan sembilan (gelombang 3) dan hari kesepuluh sampai dengan 15 (gelombang 4) dan ovulasi lebih umum terjadi pada gelombang I dan 4 daripada gelombang 2 dan 3 walaupun ovulasi selalu terjadi pada gelombang folikel ke 4 yang terjadi secara spontan dengan satu atau lebih folikel. Pada gelombang 2 dan 3,

(131)

3,4

*

0,8 hari. Fenomena folikel dominan menurut Ginter (1994), pada ternak kambing sulit dideteksi karena kadang-kadang terjadi lebih dari satu folikel besar dalam setiap gelombang dan ha1 ini sudah merupakan ha1 yang umum; Seperti yang disampaikan pula bahwa sering terjadi ovulasi rangkap, dari 20 interval antar ovulasi (siklus) yang diamati, 70% atau 14 kali berovulasi ganda dan 6 kali berovulasi tunggal yang semuanya terjadi pada gelombang ke 4, termasuk fenomena dominan bisa terdapat lebih dari satu, sehingga beranak lebih dari satu pada kambing sudah umum terjadi. Pada gelombang 1 dan 4 merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki kemampuan untuk ovulasi dengan diameter maksimum adalah 8,7

*

0,3 mm untuk gelombang 4, walaupun secara alami setiap gelombang terdapat folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari 0, 4, 8 dan 14. Perbedaan dengan sapi yang mempunyai tiga gelombang dan ovulasi terjadi pada gelombang ke 2, dengan suatu tekanan yang dilakukan oleh folikel dominan terhadap perkembangan folikel lainnya, pada kambing sifat penekanan folikel sangat ringan sehingga pada hari ke satu sampai lima saat luteolisis dan perkembangan folikel besar lain masih berlangsung, terjadi pula perkembangan folikel baru dari gelombang berikutnya.

Sinkronisasi Estrus

(132)

setelah perlakuan dilepas, sehingga lnseminasi Buatan (IB) dapat dilakukan secara serentak (Toelihere, 1985). Sinkronisasi estrus ini mengarah pada hambatan ovulasi dan penundaan aktivitas regresi Corpus Luteum (CL) (Hafez, 1993).

Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan bahwa ada dua tujuan utama dalam melakukan sinkronisasi estrus yaitu : 1) Mendapatkan seluruh ternak yang diberikan perlakuan mencapai estrus dalam waktu yang diketahui dengan pasti sehingga masing-masing ternak tersebut dapat di IB dalam waktu bersamaan; 2) Untuk menghasilkan angka kebuntingan yang sebanding atau lebih baik dibanding dengan kelompok yang tidak mendapat perlakuan yang dikawinkan dengan I 6 atau oleh pejantan. Toelihere (1985) menyatakan bahwa estrus dan ovulasi sedikit banyaknya diserentakkan pada hewan betina untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan individu baru. Selanjutnya dikatakan bahwa sinkronisasi estrus perlu karena umumnya ovum sesudah ovulasi dan umur sperma yang dideposisikan dalam vagina sangat terbatas hanya beberapa jam.

(133)
(134)

a. Dari segi manajemen pakan :

Dengan sinkronisasi estrus manajemen menjadi lebih mudah. Pemberian pakan menurut status kebuntingannya dapat dilakukan dengan baik dan benar, sehingga ternak akan rnendapatkan pakan sesuai dengan kebutuhannya.

b. Dari segi manajemen ternak :

Dengan sinkronisasi estrus dapat diketahui bila saatnya ternak akan dikawinkan dan beranak. Sehingga pada saat itu perhatian dapat dicurahkan pada kelompok tersebut, sehingga pengaturan tenaga kerja dapat lebih efisien.

c. Dari segi produksi :

Dengan sinkronisasi estrus dapat diatur agar ternak dapat beranak pada saat diinginkan, dengan jumlah yang dapat diatur. Jadi jumlah ternak diproduksi sesuai dengan permintaan pasar dan umur ternak yang dipasarkan relatif seragam.

Metode sinkronisasi estrus dan ovulasi yang sering digunakan adalah metode farmakologik dengan menggunakan hormon yang sangat efektif

untuk suatu program perkembangbiakan dalam suatu sentra-sentra peternakan dengan penjadwalan yang telah ditetapkan terlebih dahulu walaupun metocle ini cukup mahal dan untuk itu harus dikonvensi dengan semen pejantan yang teruji keunggulannya.

Hormon Progesteron

(135)

merangsang atau menghambat aktifitas suatu target organ (jaringan) (Reeves, 1987).

Progesteron adalah nama umum dari steroid yang terdiri atas 21 karbon dan memiliki struktur dasar inti pregnane dengan rumusan empat lingkaran (Turner dan Bagnara, 1988). Semua hormon-hormon yang tergolong steroid disintesis dari koenzim A dengan hasil antaranya adalah kolesterol (Djojosoebagio, 1990 ; Stryer, 1995). Jadi progesteron disintesis dari kolesterol dengan bantuan enzim metabolik yang terdapat didalam sel

yang menghasilkan hormon steroid. Reimers (1982) menyatakan bahwa progesteron merupakan hormon reproduksi yang secara dominan disekresikan oleh CL selama fase luteal siklus estrus dan masa kebuntingan. Pada ternak kambing yang bunting progesteron disekresikan oleh plasenta dalam jumlah yang terbatas (Hafez, 1985) dan oleh kelenjar adrenal (Reeves, 1987) yang dialirkan melalui darah karena ikatannya dengan globuli untuk membentuk CL. Toelihere (1979) menyatakan bahwa progesteron tidak disimpan didalam tubuh karena hormon ini dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah didalam jaringan tubuh.

Fungsi progesteron adalah menyiapkan lingkungan uterus untuk implantasi dan memelihara kebuntingan melalui peningkatan sekresi kelenjar endometrium dan menghambat motilitas miometrium (Reeves, 1987)

(136)

(Cole dan Cupps, 1979). Progesteron sangat berpengaruh terhadap proliferasi uterus tepatnya dibagian endometrium. Endometrium menjadi luas dan besar serta kelenjar tubulernya bertambah dalam dan bergelombang. Sebelum progesteron dihasilkan oleh CL, kelenjar-kelenjar endometrium ini hanya berupa invaginasi-invaginasi (legokan kecil) yang dangkal. Karena pengaruh progesteron invaginasi ini maka endometrium akan menjadi dalam dan berkelok-kelok hingga berbentuk seperti spiral. Selanjutnya progesteron akan bekerja secara sinergis dengan estrogen untuk menstimulir ovulasi dengan menggertak pelepasan LH. Progesteron juga menimbulkan tingkah laku estrus dan penerimaan pejantan. Apabila kadar progesteron yang disekresi CL kurang maka ternak akan mengalami ovulasi tapi tidak disertai dengan tanda-tanda estrus atau silent heat. Oleh karena progesteron dapat menghambat sekresi FSH dan LH yang berarti tidak terjadi perkembangan folikel yang menghasilkan ovum, maka progesteron dapat dipakai untuk sinkronisasi estrus.

(137)

estrogen yang semakin banyak hingga mencapai 20 nglml pada sekitar

12 jam setelah onset estrus dan ovulasi 1 atau lebih folikel yang mencapai ukuran diameter siap ovulasi dan ovulasi terjadi pada 20 jam atas rangsangan puncak LH.

Umumnya perlakuan progesteron long term dikarakterisasi dengan penggunaan selama 14 sampai dengan 21 hari (Hafez, 1993), akan tetapi hasilnya kurang memuaskan karena fertilitas yang dihasilkan agak rendah meskipun estrus dapat terjadi secara sinkron. Sebaliknya untuk penggunaan progesteron selama 7 hari dikategorikan short term.

Penggunaan Hormon Progesteron dalam Metode Sinkronisasi Estrus

Program sinkronisasi estrus dengan menggunakan metode progesteron eksogenous akan mengkontrol dua ekspresi yaitu estrus dan terjadinya preovulatory LH surge serta ovulasi.

Prinsip sinkronisasi dengan menggunakan preparat progesteron didasarkan pada perpanjangan atau mempertahankan fase CL sehingga semua ternak berada pada periode luteal (Tomaszewska dkk, 199Ib).

Progesteron merupakan preparat pertama yang dipakai untuk sinkronisasi

estrus dimana hormon tersebut bekerja menghambat sekresi FSH dan LH, sehingga tidak terjadi pertumbuhan gelombang baru dengan cara menekan keluarnya LH melalui mekanisme penghambatan pada hypotalamus-pituitary

(138)

dimulai (Bo dkk, 1995). Progesteron mulanya digunakan untuk sinkronisasi estrus pada sapi. Beberapa metode sinkronisasi dengan menggunakan progesteron antara lain dapat diberikan melalui : 1) Pakanloral (CAP, MAP, MGA) ; 2) lnjeksi setiap hari ; 3) lntravaginal (PRID dan CIDR) serta 4) lmplan secara subcutan. Untuk kemudahan aplikasi dan kesederhanaannya, lebih banyak disukai penggunaan secara intravaginal.

Progestagen (progesteron sintetik) yang digunakan pada domba sama dengan yang digunakan pada kambing. Pemberian tunggal progestagen untuk sinkronisasi estrus, lama perlakuan harus sesuai dengan umur keberadaan CL (16 sampai dengan 18 hari) untuk mendapatkan sinkronisasi

yang efektif pada 2 sampai dengan 3 hari setelah perlakuan dihentikan karena pemberian progestagen akan bereaksi sama dengan CL melalui penekanan pada output gonadotropin dari adenohipofisis, oleh karena itu perlakuan dengan progestagen secara eksogenous tidak akan berpengaruh terhadap fungsi dari CL yang telah terbentuk secara penuh dan perlakuan harus sesuai dengan umur CL (Fukui dkk, 1994).

Controlled Internal Drug Release (CIDR-G) adalah suatu alat

(139)

silicon yang dilapisi nilon dan dicelupkan dalam larutan progesteron, dibentuk disesuaikan untuk diintroduksi kedalam vagina (InterAg, 1996). Tingkat progesteron plasma meningkat setelah pemasukan ClDR dalam vagina, tertinggi pada hari ke 3 kemudian menurun secara bertahap.

Prinsip ClDR adalah sebagai sumber progesteron eksogenous yang akan dikeluarkan dan diserap oleh vagina kedalam darah yang akan memelihara level progesteron dalam darah untuk menekan pengeluaran LH dan FSH dari hypothalamus untuk waktu yang direkomendasikan sesuai

program, level progesteron dalam darah akan meningkat mendekati konsentrasi maksimalnya (2.1 nglml) dalam 24 jam setelah pemasukan alat dan mencapai tingkat tertinggi (4 nglml) pada hari ke 4 untuk kemudian berangsur menurun hingga 1.5 nglml menjelang hari ke 13 dan secara drastis kembali kelevel basal dalam 6 jam setelah perlakuan dilepas dan terjadi pematangan folikel, estrus dan ovulasi.

Menurut InterAg (1996) penggunaan ClDR pada kambing dimaksudkan agar didapatkan hasil yang optimum, CIDR dimasukkan selama 14 sampai dengan 17 hari kemudian diinseminasi 45 jam setelah dilepas (secara laparascopi) atau pada hari ke 15 sampai dengan 16 (inseminasi melalui serviks) atau secara alami. Ginther dan Kot (1994) menyatakan bahwa kondisi ini dapat dijelaskan karena terdapat 4 gelombang folikel selama siklus estrus kambing dan pada gelombang 2 dan 3, masing-masing

gelombang berlangsung (2.5 f 0.2 hari) dan jarak antar gelombang adalah

3.4 k 0.2 hari untuk gelombang 1 dan 4.3 rt 0.2 untuk gelombang 4 dengan

(140)

dengan implan yang dilakukan selama 14 sampai dengan 17 hari, dimanapun posisi reproduksi kambing saat itu maka apabila ClDR dilepaskan maka akan lebih banyak terletak pada posisi gelombang I atau 4 yang merupakan gelombang dengan folikel yang memiliki diameter yang mampu berovulasi

dengan diameter maksimum 8.7 _+ 0.3 mm untuk gelombang pertama dan

9.7

+

0.3 mm untuk gelombang 4. Walaupun secara alami setiap gelombang terdapat folikel-folikel berdiameter 3 mm yang bertumbuh mencapai 6 mm pada hari ke 0, 4, 8 dan 14.

Penggunaan ClDR pada kambing hampir sama dengan pada domba (Fukui, 1994), dimana tingkat kebuntingan dan beranak dari domba yang ditreatment dengan ClDR kemudian diinseminasi dengan semen beku menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan tertinggi pada perlakuan dengan penernpatan ClDR selama 12 hari, yang dideteksi berdasarkan level progesteron yang ada yaitu 91.2%. Sedangkan pemeriksaan dengan

ultrasonografi pada hari ke 61 adalah

85,3%

tidak berbeda nyata dengan tingkat kebuntingan kontrol.

lnseminasi Buatan pada Kambing

lnseminasi Buatan (16) sebagai salah satu bioteknologi reproduksi yang oleh masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan kawin suntik adalah

(141)

keberhasilan bereproduksi suatu kelompok ternak betina. Parameter yang biasa digunakan untuk menilai keberhasilan IB ditinjau dari segi reproduksi ternak adalah Service per Conception (SIC) dan Conception Rate (CR) serta NR. SC adalah jumlah inseminasi (service) yang dibutuhkan oleh seekor ternak betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi), sedangkan CR adalah prosentase ternak betina bunting pada inseminasi pertama dibanding dengan jumlah seluruh betina yang diinseminasi sedangkan Non Return Rate (NR) adalah jumlah ternak yang bunting (tidak kembali estrus pada siklus berikutnya) (Toelihere, 1985).

lnseminasi Buatan pada kambing di Indonesia belum begitu popular seperti halnya pada sapi potong (Haryanto dkk, 1997). Penerapan IB

kambing di Indonesia sampai saat ini masih terbatas dalam taraf uji coba sedangkan hasilnya belum ada yang dilaporkan. Dari berbagai laporan hasil penelitian dari luar negeri menunjukkan angka fertilitas (Conception Rate) yang diperoleh pada kambing Barbari 72 sampai dengan 80% (Prasad, 1981), Angora 67,6 sampai 84% (Ritar dan Salomon, 1983), kambing persilangan Beetal dengan Black Bengal 50,53% (Singh dkk, 1995), kambing Murciano

-

Granadino 73,5% (Roca dkk, 1997). Adanya variasi hasil yang

diperoleh kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah spermatozoa, teknik 16, waktu inseminasi, tipe estrus (alam atau dikontrol), umur induk, stress, kematian embrio dan fetus serta higiene (Evans dan Maxwell, 1987).

(142)

proses fertilisasi terjadi dalam periode waktu yang sangat terbatas (Cortell, 1981").

Pelaksanaan IB pada prinsipnya adalah harus mendahului waktu ovulasi. Waktu ovulasi sulit ditentukan secara rutin, karena itu inseminasi selalu harus dihubungkan dengan waktu permulaan munculnya estrus (Toelihere, 1981). Dikemukakan selanjutnya bahwa inseminasi harus dilakukan pada bagian kedua periode estrus, yaitu antara 12 sampai dengan 18 jam sesudah onset estrus. Waktu ovulasi pada kambing menurut Devendra dan Burns (1983) terjadi pada saat menjelang akhir estrus, sehingga bila ingin dikawinkan secara alami maupun IB maka harus dilaksanakan selambat-lambatnya 12 jam setelah estrus. Foote (1974) mengemukakan bahwa waktu inseminasi yang terbaik adalah 12 sampai dengan 36 jam setelah pertama kali terlihat estrus dengan dosis 0,5 ml dan mengandung 200 juta spermatozoa motil. Pada kebanyakan kambing ovulasi terjadi sekitar 25 sampai dengan 30 jam setelah onset estrus (Haryanto dkk,

1997). Oleh karena itu dalam program IB sering dikombinasikan dengan sinkronisasi estrus untuk memudahkan dan mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan dalam pelaksanaan IB. Pada inseminasi vaginalservik, IB dilakukan 12 sampai dengan 18 jam setelah estrus alami, atau 48 sampai

(143)

Metode sinkronisasi dengan menggunakan hormon progesteron waktu terbaik untuk inseminasi adalah 12 sampai dengan 18 jam setelah masuk periode estrus atau menggunakan teori pagi sore dan apabila akan digunakan dua kali IB. IB yang kedua dilakukan 10 jam setelah IB pertama. Untuk inseminasi yang menggunakan semen beku, sebaiknya inseminasi dilakukan mendekati ovulasi atau 18 jam setelah masuk estrus. Jumlah spermatozoa juga haws lebih banyak karena teknologi IB untuk kambing hanya dapat dideposisikan didepan serviks atau mulut serviks karena saluran reproduksinya yang relatif kecil (Cortell, 1981 b). Volume

yang dibutuhkan untuk IB pada kambing yaitu 0.2 ml yang mengandung 50 sampai dengan 150 juta sperma (Toelihere, 1981). Selanjutnya dikatakan oleh Howe (1980) bahwa seekor kambing pejantan dengan teknik IB dapat melayani 30 sampai dengan 40 ekor betina per hari dengan dosis 0.2 ml.

Untuk memperoleh efisiensi reproduksi yang mencerminkan keberhasilan atau optimalisasi IB, maka ada berapa faktor yang perlu diperhatikan. Lebih lanjut dikatakan oleh Toelihere (1997) bahwa efisiensi reproduksi dapat dirumuskan dalam persamaan : ER (%)

=

[J]x[B]x[l]x[P]. Pada persamaan faktorial seperti ini, nilai ER akan tinggi apabila nilai semua faktor tersebut cukup tinggi. Apabila salah satu
(144)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan Desember 2000 dilokasi Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi

-

Bogor. Kegiatannya meliputi deteksi estrus secara alamiah, penentuan perlakuan lama penggunaan ClDR untuk sinkronisasi estrus, deteksi estrus setelah perlakuan, penentuan waktu terbaik untuk IB dan pemeriksaan kebuntingan yang dilaksanakan satu bulan setelah IB serta evaluasi kelahiran anak.

Materi Penelitian Ternak Percobaan

Ternak percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing betina Peranakan Etawah (PE) berumur 1.5 tahun sebanyak 54

ekor dan dua ekor jantan vasektomi sebagai pengusik.

Ternak percobaan ini ditempatkan didalam kandang koloni dengan ukuran 3 m x 4 m yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Pemberian pakan berupa rumput gajah segar 4-5 kglharilekor dan konsentrat 0.5

-

0.7 kglharilekor. Air minum diberikan secara ad libitum.

Bahan dan Peralatan

Bahan

-

bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

progesteron untuk implan intravaginal* semen beku, alkohol, NaCl fisiologis,

* Dalam bentuk CIDR-G yang mengandung progesteron 0.33 gram buatan InterAg

(145)

kapas, nitrogen cair, tissue dan air panas untuk thawing serta cat pewarna. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah kateter uterus, aplikator (gun) CIDR, alat IB, termometer dan alat thawing.

Metode Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini terdiri atas dua tahap dan terbagi atas beberapa bagian kegiatan yaitu : sinkronisasi estrus, deteksi estrus, IB dan deteksi kebuntingan (Gambar 1).

Tahap I : Efektivitas Lama Pemberian lmplan Progesteron terhadap Estrus

Percobaan tahap I ini merupakan penelitian pendahuluan yang dijadikan sebagai dasar penentuan lama penggunaan ClDR pada tahap II.

Sinkronisasi Estrus

(146)

dengan cara menarik benang plastik yang menggantung pada vulva setelah diimplan sesuai percobaan (1,dan 12).

Tahap l

Tahap ll

Tahap Ill

[image:146.603.82.469.131.667.2]

--

(147)

Gambar 2. Controlled Internal Drug Release-G (CIDR-G)

Deteksi Estrus

[image:147.609.132.464.82.322.2]
(148)

Prosedur penentuan hirarki nilai paling tinggi (nilai hedonik) untuk tanda-tanda estrus (TTE) yang diamati yaitu : (1) lnventarisir TTE yang muncul ; (2) Mengurut TTE berdasarkan kemungkinan TTE yang muncul terdahulu ; (3) Penetapan nilai pada TTE berdasarkan tingkat dugaan akurasi dari TTE ; (4) Pengamatan dan (5) Tabulasi data.

Peubah yang Diamati : I. Onset estrus

Interval waktu antara pelepasan implan progesteron dengan penampakan estrus pertama kali, dihitung dalam satuan jam.

2. Persentase ternak yang estrus

Jumlah ternak yang estrus dibagi jumlah ternak yang diberi perlakuan dikali seratus persen.

3. lntensitas estrus

Dilihat dari tingkat aktivitas dan tanda-tanda estrus yang muncul selama fase estrus berlangsung. Pengamatan dilakukan secara visual dengan menggunakan nilai hedonik (sistem hirarki) kemudian ditransfer kenilai numerik (Tabel 1). Tingkat intensitas dibagi dalam tiga kategori yaitu :

a. lntensitas rendah

Ternak memperlihatkan beberapa TTE yang terinventarisir dengan skor lebih kecil atau sama dengan 15.

b. lntensitas sedang

(149)

c. Intensitas Tinggi

Ternak memperlihatkan TTE yang terinventarisir dengan skor lebih besar atau sama dengan 26 sampai dengan 34.

Tabel 1. Tanda-tanda estrus dari ternak kambing PE percobaan

Tahap 11 : Pengaruh Waktu lnseminasi terhadap Angka Kebuntingan

Ke 30 ekor kambing betina yang digunakan ini dikelompokkan dalam dua kelompok perlakuan inseminasi yaitu W l dan W2 masing-masing dengan kisaran waktu antara 14 sampai dengan 23 jam dan 27 sampai dengan 34 jam setelah onset estrus.

Tanda-tanda estrus Diam dinaiki

Ekor digoyang-goyang Vulva merah bengkak basah Lendir transparan

Mengembik terus menerus Mengintip pejantan

Nafsu makan berkurang Urinisasi

Kegiatan dan Evaluasi Hasil lnseminasi Buatan

lnseminasi dilaksanakan pada kisaran waktu antara 14 sampai

dengan 23 jam dan

27

sampai dengan 34 jam setelah onset estrus masing- masing untuk kelompok W1 dan W2 (Lampiran 4). IB dilaksanakan dengan menggunakan semen beku produksi BPT Ciawi-Bogor dengan dosis 150 juta [image:149.603.111.475.217.413.2]
(150)

spermatozoa motil. Dengan memakai kateter inseminasi semen dimasukkan sejauh mungkin kedalam cervix.

Evaluasi hasil inseminasi identik dengan evaluasi kebuntingan ternak- ternak kambing percobaan, dilakukan dengan melihat kembali estrus tidaknya kambing-kambing betina akseptor pada siklus berikutnya dan kelahiran yang terjadi pada akhir penelitian.

Peubah yang Diamati :

1. Angka persentase kebuntingan (NR %)

Jumlah ternak yang bunting (tidak kembali minta kawin pada siklus berikutnya) dibagi jumlah seluruh ternak yang diperkirakan bunting dikali seratus persen.

2. Angka persentase melahirkan

Jumlah betina yang melahirkan dibagi seluruh betina perlakuan dikali seratus persen

3. Kidding

Size

Jumlah anak yang dilahirkan dalam sekelahiran per induk.

Analisis Statistik

(151)

HASlL DAN PEMBAHASAN

Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus

Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Penentuan saat estrus kambing didasarkan atas kesediaan betina menerima pejantan untuk kopulasi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kambing-kambing PE percobaan yang estrus menampakkan tanda-tanda estrus (TTE) seperti vulva merah bengkak basah (VMBB), menggoyang-goyangkan ekor, mengembik terus menerus (ribut), mengintip pejantan, nafsu makan berkurang, urinisasi dan diam dinaiki. Betina yang estrus akan diam jika didekati dan dinaiki oleh pejantan. Sebagian betina dengan aktif mendekati dan menggosokkan badannya ke tubuh pejantan. Sebaliknya betina yang tidak estrus menolak pejantan untuk kopulasi dan segera lari jika didekati pejantan. Tanda-tanda estrus menggoyang-goyangkan ekor biasanya muncul apabila kambing pejantan pengusik berada didalam kandang kambing PE betina percobaan. Betina yang tidak menampakkan TTE menggoyang-goyangkan ekor, vulvanya akan dicium oleh pejantan pengusik lebih lama, seoleh-olah untuk

memastikan bahwa betina tersebut benar dalam keadaan estrus. Tanda-tanda estrus VMBB yang diperlihatkan oleh kambing betina PE percobaan disebabkan karena meningkatnya suplai darah pada saat proestrus (Mc. Donald, 1989). Meningkatnya suplai darah dibagian vulva ini memberikan efek lebih hangat dibanding dengan vulva kambing yang tidak dalam keadaan estrus. Hasil

pengukuran suhu rectal menunjukkan rataan suhu sebelum estrus

38OC

dan waktu
(152)

Hasil pengamatan rataan lama estrus yang diperoleh dalam percobaan ini berkisar 31.8 jam sedangkan untuk rataan panjang siklus estrus 21.6 hari (Tabel 2).

Tabel 2. Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada kambing PE percobaan

Nomor ternak

Lama estrus

Rataan (jam)

F

1 I I

= Estrus ke 1,2 dan

Panjang lntensitas estrus Siklus ...

(hari) Skor Kategori

tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang

-

tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah tinggi sedang tinggi

-

tinggi sedang tinggi

-

[image:152.607.99.492.180.595.2]
(153)

48 jam seperti yang dinyatakan oleh Toelihere (1980 ) dan Hafez (1993) serta 25 sampai dengan 40 jam (Sutama, 1995).

Lama estrus yang panjang diduga dipengaruhi oleh interval waktu antara awal estrus dengan peristiwa ovulasi dan jumlah ova yang diovulasikan. Semakin panjang interval waktu tersebut semakin panjang lama estrus (Hafez, 1993).

Respons Estrus terhadap lmplan Progesteron

Onset dan Keserentakan Estrus

Data hasil pengamatan onset estrus pada kambing PE betina setelah diberikan implan CIDR-G yang mengandung progesteron 0.33 gram dengan lama implan intravaginal 7 dan 14 hari menunjukkan bahwa semua temak kambing PE betina percobaan telah menampakkan estrus pada kisaran waktu lebih kecil dari 24 dan 24 sampai dengan 48 jam (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh lama implan progesteron intravaginal selama 7 dan 14 hari terhadap onset dan keserentakan estrus

Perlakuan Lama implan

Jumlah temak (e ko r)

Onset estrus estrus setelah spons dicabut

c 24 jam 24

-

48 jam

l2 = lmplan 14 hari

12

Total (ekor) Rataan (%)

Sebagian besar (60.67%) kambing PE percobaan memperlihatkan onset estrus pada kisaran waktu 24 sampai dengan 48 jam setelah penarikan CIDR-G

I, = lmplan 7 hari

12 23

-

5 (41.67) 7 (58.33)

9 14

[image:153.607.88.491.454.622.2]
<

Gambar

Gambar I. Bagan prosedur kerja pada percobaan tahap I, II & 111
Gambar 2. Controlled Internal Drug Release-G (CIDR-G)
Tabel 1. Tanda-tanda estrus dari ternak kambing PE percobaan
Tabel 2. Panjang siklus dan lama estrus alamiah pada kambing PE percobaan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Setelah diadakan penelitian, dengan memanfaatkan metode problem based learning diperoleh hasil, ada peningkatan kreativitas belajar matematika siswa. Tindakan yang

Namun kemudian, sebagai- mana dikemukakan oleh Muhammad Hami- dullah, secara bertahap, berdasarkan wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad, sistem sosial yang

Sedangkan pendapat Momon dan Hartono (2002), untuk kualitas air dalam pembenihan arwana sangat ditentukan oleh sumber perolehan air. Sumber air untuk pembenihan arwana

Penelitian ini bertujuan mengatahui peng- gambaran aktor dalam berita mengenai penda- tang pasca-Lebaran pada Harian “Bali Post” menurut analisis wacana kritis model Theo Van

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan kepala madrasah dan

Tujuan penelitian ini akan diringkas menjadi beberapa poin diantaranya : Untuk mengetahui gambaran tanggapan konsumen Honda BeAt mengenai Product Feature, Brand Name,

penulis akan menciptakan sebuah karya seni yang bersifat fungsional berupa Softcase Drumset dengan berbahan dasar kulit nabati yang nantinya akan diproses

Hukum pidana adat Baduy juga mengenal tindak pidana santet, konsep pertanggungjawaban pelaku yang menderita kelainan jiwa, dan pidana ganti