KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN KEPE-KEPE (
Chaetodon
octofasciatus,
BLOCH 1787) DALAM MENDETEKSI KONDISI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PETONDAN
TIMUR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
HAWIS H. MADDUPPA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
HAWIS H.MADDUPPA. Bioecological Study of Eight band butterflyfish (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) to Detect Condition of Coral Reef Ecosystem in East Petondan Island, Seribu Islands, Jakarta. Under the direction of NEVIATY P.ZAMANI and UNGGUL AKTANI
Monitoring the changes of coral reefs is an important task considering many of the world’s coral reefs have been destroyed or severely degraded. There are reliable ways to indirectly assess the changes of a coral reef and monitor it through time: certain members of an easily identifiable conspicuous family of fish, Chaetodontidae, have been considered to be reliable indicators of reef health. Data of Chaetodon octofasciatus are based on field observation using SCUBA set on the reef slope (3 and 10 meter) and food and feeding habit analysis conduct in the laboratory. The percent coverage of living corals was estimated on the reef slope (3 and 10 meter) at all sites. A 50 m line transect were laid at each site and depth.
By using belt transect the abundance of C. octofasciatus and the occurrence of
each coral genus were counted and recorded in data sheets. Feeding rates were calculated by observing randomly selected species at study area. Ivlev’s electivity index was used to measure feeding selectivity, comparing the utilization of food with respect to its availability. The feeding bites to be larger in rich reef corals with high percentage of live coral. The feeding rates in south, west and north site which have high percentage of live coral is highest comparing to east site which have low percentage of live coral. Based on food and feeding analysis, the fish stomach contain 94,1% coral nematocysts and 0,59% periphytic algae, which
indicated C. octofasciatus as an obligate coralivores.
KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN KEPE-KEPE (
Chaetodon
octofasciatus,
BLOCH 1787) DALAM MENDETEKSI KONDISI
EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PETONDAN
TIMUR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
HAWIS H. MADDUPPA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekobiologi Ikan
Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi
Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta
adala h karya Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2006
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon
octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta
Nama Mahasiswa : Hawis H. Madduppa
NRP : C651040121
Program Studi : Ilmu Kelautan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Ketua
Dr. Unggul Aktani Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. John I. Pariwono
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas segala limpahan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Kajian
Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam
Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur,
Kepulauan Seribu, Jakarta “.
Penelitian dan proses penulisan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas
prakarsa berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc.
selaku komisi pembimbing yang telah membantu memberikan masukan dan
saran dalam penyusunan tesis ini.
2. Yayasan Terumbu Karang Indonesia [TERANGI] beserta seluruh stafnya
yang telah memberikan kesempatan dan dukungan baik moril maupun
materil dalam pelaksanaan penelitian ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah bersedia menjadi
penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian thesis.
4. Ibu Murniati Brodjo, Ibu Siti Nur siyamah (Laboratorium Biomikro
Departemen MSP), dan adek-adek ITK-38 [Anti Yulianti, Rina Novianthy,
Fakhrizal Setiawan dan Elok] yang telah sangat membantu dalam proses
5. Bapak Mae dan nelayan Kepulauan Seribu yang telah membantu dalam
penangkapan ikan di lapangan.
6. Rekan-rekan kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2004 [Riris
Aryawati, Beginer Subhan, Adriani Sunuddin, Hanifah Mutia, Heron
Surbakti, Iwan Setiabudi, La Ode Nurman Mbay, Meutia Samira Ismet,
Ristiana Eryati, Roni Fitrianto, Yunita Ramili] yang telah memberikan
inspirasi dan menjadi teman diskusi.
7. Bapak Sutikno, yang telah membantu dalam pengembangan proposal dan
memberikan pelajaran tentang pengolahan serta analisa statistika.
8. Teman-teman satu kos [Ramadian Bachtiar, Dede Suhendra, dan M.Yadjid]
9. Keluarga [Ayahanda H. Madduppa (Alm) dan Ibunda H. Mennung (Alm),
Kakanda H.Hamdan, Kakanda H.Hamzah, Kakanda Hj.Hasniar, Kakanda
Harman, Kakanda Haedar, Kakanda Hamka (Alm), Adinda Hasdar, tante
Nakirah] yang senantiasa memberikan doa dan restu selama penulis
menempuh pendidikan.
10. Serta orang-orang yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan
penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat Saya sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua
pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
tesis ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu kelautan di masa yang akan datang.
Bogor, Juli 2006
RIWAYAT HIDUP
Hawis Madduppa dilahirkan di Watampone (Sulawesi Selatan) pada tanggal 26 Maret 1979 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah H. Madduppa (Alm) dan ibu H. Mennung (Alm).
Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di TK Aisyah Watampone pada tahun 1984 dan kemudian dilanjutkan di SD Negeri 22 Macege Watampone (1986-1992). Pada tahun 1992-1995 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 2 Watampone, dan pada tahun 1995-1998 dilanjutkan di SMU Negeri 2 Watampone. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1998 dan memilih Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan tamat pada tahun 2003.
Selama di IPB, di bidang organisasi penulis aktif di himpunan profesi HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan) , BEM-C (Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK), klub selam ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Kelautan FDC (Fisheries Diving Club), MBC (Marine Biology Club) , Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO). Di bidang akademis penulis menjadi Asisten Luar Biasa pada beberapa mata kuliah seperti Biologi Laut, Avertebrata Air, Ekologi Perairan, Ekologi Laut Tropis, Dasar-Dasar Akustik, Akustik Perikanan dan Dasar-Dasar Akustik Kelautan. Untuk menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan
Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Laut Sulawesi Pada
Bulan Agustus – September 2001”. Penulis dinyatakan lulus ujian skripsi pada tanggal 17 Januari 2003.Setelah lulus S1, penulis mengikuti pelatihan Marine Science Special Training Course (MST) pada tahun 2003 dan mendapatkan
research fellowship dari kegiatan ini selama satu tahun.
Pada tahun 2004, penulis meneruskan pendidikan pascasarjana di IPB dengan program studi Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan dan menjadi sekretaris umum pada Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melaksanakan
penelitian yang berjudul “Kajian Ekobiologi Ikan Kepe -kepe (Chaetodon
DAFTAR ISI
Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang ... 12
Status ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu ... 13
Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) ... 15
Karakteristik dan Klasifikasi ... 15
Ekobiologi Chaetodontidae ... 16
Biogeografi Ikan Chaetodontidae di Dunia ... 18
Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator ... 19
BAHAN & METODE ... 24
Kondisi lokasi penelitian... 41
Penutupan substrat dasar ... 42
Kepadatan genera karang skleraktinia ... 44
Indeks mortalitas karang ... 46
Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus ... 47
Tingkat pemangsaan oleh ikan Chaetodon octofasciatus ... 48
Selektivitas pemangsaan ... 53
Pola hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang batu ... 58
Analisis makanan dan kebiasaan makan ... 61
Kajian ekobiologi... 66
KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
Kesimpulan ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia di daerah Terumbu
Karang di Kepulauan Seribu Jakarta (Brown 1986) ... 14
2 Daftar beberapa spesies ikan kepe -kepe (Chaetodontidae) beserta tipe kebiasaan makannya... 17
3 Posisi geografis stasiun penelitian... 24
4 Peralatan dan metode untuk pengambilan data parameter perairan ... 26
5 Contoh struktur data penelitian... 40
6 Kondisi perairan ...41
7 Nilai indeks mortalitas karang pada lokasi penelitian ( x ± SE)... ....46
8 Rerata kelimpahan (individu/250m3) Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian, data diambil dengan metode sensus visual (x ± SE)...47
9 Tingkat pemangsaan dari Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter ...49
10 Uji taraf nyata tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada masing- masing kedalaman dan lokasi penelitian...50
11 Indeks pilihan Ivlev Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian di Pulau Petondan Timur ...55
12 Uji taraf nyata pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian terhadap jumlah individu dan % HC (*0.05, **0.01, ***0.10, t.n. tidak nyata) ....59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemik iran ... 5
2 Anatomi polip karang dan kerangka kapur (Veron 1986)... 8
3 Tipe nematokis ... 10
4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber
2000)... 12
5 Jenis ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae)
yang dijadikan spesies indikator dalam penelitian ini ... 15
6 Hubungan phylogenetik diantara genus dari famili Chaetodontidae
(Blum 1989) ... 18
7 Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae)
(modifikasi Blum 1989) ... 19
8 Peta lokasi penelitian: Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta ... 25
9 Tahapan penelitian ... 28
10 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek
garis menyinggung ... 30
11 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek
sabuk... 30
12 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek
fotografi... 31
13 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan menggunakan transek
sabuk dan metode sensus ikan stasioner ... 31
14 Rerata persentase penutupan karang batu (hard coral) di perairan terumbu
karang pada lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter ...42
15 Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada
lokasi penelitian selama periode penelitian di 3 meter ...43
16 Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada
17 Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 3 meter ...45
18 Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan
dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 10 meter ...45
19 Beberapa genera karang batu (hard coral) di lokasi penelitian (1:
Montipora, 2: Fungia, 3: Acropora, 4: Echinopora, 5: Pachyseris, 6:
Pavona, 7: Porites, 8: Seriatopora, 9: Favites, 10: Lobophylia)...46
20 Perbandingan tingkat pemangsaan (gigitan/5 menit) terhadap karang oleh
C. octofasciatus di kedalaman 3 dan 10 meter pada masing- masing stasiun selama penelitian...48
21 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh
Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa
(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Juli 2005 ...51
22 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh
Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa
(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Februari 2006 ...52
23 Perbandingan rerata jumlah gigitan(bites) per 5 menit pada karang oleh
Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa
(% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan April 2006 ...53
24 Perbandingan rerata indeks elektivitas (E) pada bulan (I) Juli 2005, (II)
Februari dan (III) April 2006 di semua kedalaman (3 dan 10 meter) ...56
25 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase
penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 3 meter...60
26 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase
penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 10 meter ...60
27 Jenis-jenis nematokis dan alga perifitik yang ditemukan dalam isi perut ikan
Chaetodon octofasciatus (bar = 10 µm)...63
28 Kandungan zat kapur (A) dan alga uniselular Zooxanthellae (B) di dalam
perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 5 µm)...64
29 Bentuk mulut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus pada saat normal
30 Pemangsaan ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus terhadap beberapa jenis karang yang ada pada lokasi penelitian ...67
31 Hubungan antara rerata kepadatan genus Acropora dengan tingkat
pemangsaan Chaetotodon octofasciatus pada lokasi penelitian...68
32 Perbandingan antara rerata kepadatan karang genus Acropora dengan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambaran lokasi penelitian di setiap stasiun penelitian ... 79
2 Beberapa jenis-jenis karang di Pulau Petondan Timur ... 83
3 Kepadata n Genus Karang... 85
4 Persentase Penutupan Genus Karang ... 88
5 Persentase Penutupan Substrat dasar ... 91
6 Hasil a nalisa makanan Ikan Chaetodon octofasciatus... 92
7 Proses pengumpulan sampel ikan Chaetodon octofasciatus di lapangan... 93
8 Contoh pengolahan hasil transek kuadrat dengan ImageJ ... 94
9 Jenis-jenis Nematokis... 95
10 Jenis-jenis alga perifitik ... 97
11 Analisa statistik dengan Minitab v13 ... 98
PENDAHULUAN
Latar belakang
Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia
termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini
terlihat dari hasil pemantauan kondisi terumbu karang Indonesia yang dilakukan
oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PPO-LIPI) sampai dengan Desember 1999 diperoleh sekitar 6,69% terumbu karang
yang statusnya sangat baik dan 26,59% yang berstatus baik, berstatus sedang
mencapai 37,58% dan berstatus jelek mencapai 29,16% (Moosa 2001). Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu metode monitoring yang murah dan efektif dalam
memprediksi dan mengamati perubahan kesehatan terumbu karang.
Pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang merupakan kegiatan yang
sangat penting dilakukan mengingat banyaknya area terumbu karang dunia yang
telah hancur atau terdegradasi. Terdapat beberapa metode yang telah dipakai
untuk menduga komposisi bentik terumbu karang, misalnya menggunakan transek
garis menyinggung (line intercept transects), namun metode-metode tersebut
memakan banyak waktu dan membutuhkan keterampilan tertentu untuk
mengaplikasikannya. Oleh karena itu, diperlukan cara lain yang bisa dipakai
untuk melengkapi pe ngamatan dan menduga perubahan ekosistem terumbu
karang menurut waktu yaitu dengan mengidentifikasi spesies indikator. Spesies
indikator dapat digunakan untuk menduga kesehatan, keanekaragaman,
produktivitas dan integritas sistem terumbu karang (Smith 2004; Hourigan et al.
Spesies di ekosistem terumbu karang yang bisa dipakai sebagai bioindikator
adalah ikan (Tanner et al. 1994; Markert et al. 2003) karena keberadaan ikan-ikan
terumbu sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang salah satunya
ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hourigan et al. 1988;
Ohman 1998; Lowe-McConnell 1987). Selain itu, ikan terumbu hidup berasosiasi
dengan aneka bentuk dan jenis karang sebagai tempat tinggal, perlindungan dan
mencari makanan (Nybakken 1993; Barnes 1980; Sale 1991). Salah satu bentuk
asosiasi antara ikan dan terumbu yang dapat dilihat adalah ikan pemakan koral
(koralivor) seperti dari famili Chaetodontidae, Balistidae, dan Tetraodontidae
(Reese 1981; Soule & Kleppel 1988; Birkeland 1997; Ohman 1998) dengan
karang terumbu yang menjadi makanannya. P opulasi ikan koralivor sangat
tergantung pada ketersediaan karang hidup yang dapat dilihat dari penutupannya
(Berumen et al. 2005; Fishbase 2004; Nontji 1993; Burges 1978) . Ikan kepe-kepe
dari famili Chaetodontidae merupakan penghuni habitat terumbu karang yang
mudah untuk diamati, umum dijumpai dan diidentifikasi secara langsung
(Nybakken 1993; Barnes 1980). Beberapa spesies yang sudah diteliti adalah
Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, C. unimaculatus
(Hourigan et al. 1988; Ohman et al. 1998), C. lunulatus, C. baronessa (Berumen
et al. 2005), C. austriatus, dan C. trifascialis (Alwany et al. 2003).
Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa kehadiran
yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu
karang sudah mengalami perubahan. Dari penelitian tersebut disarankan perlu
adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku
octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus. Karena kelimpahan Chaetodon octofasciatus di Kepulauan seribu sangat tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Maka penelitian ini
memfokuskan kajian pada Chaetodon octofasciatus yang ditinjau dari aspek
ekologis dan biologis.
Permasalahan
Beberapa permasalahan yang telah teridentifikasi berdasarkan hasil studi pustaka
dalam penelitian ini, yaitu:
1. Belum adanya metode yang murah, mudah dan efektif untuk diaplikasikan di
lapangan dalam mendeteksi perubahan ekosistem terumbu karang mengingat
cepa tnya degradasi ekosistem tersebut
2. Belum ada penelitian tentang pola makan ikan koralivor kaitannya dengan
perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan
Seribu, Jakarta.
3. Belum adanya penelitian tentang efektivitas ikan koralivor untuk dapat
dijadikan indikator untuk kerusakan terumbu karang di Pulau Petondan Timur
Kepulauan Seribu, Jakarta
4. Belum adanya informasi perbedaan jumlah ikan indikator pada masing-masing
kategori kerusakan terumbu karang
5. Masih kurangnya informasi tentang hubungan antara persentase penutupan
karang hidup terhadap keberadaan ikan indikator
6. Belum ada studi mendalam tentang ikan kepe-kepe jenis Chaetodon
Dari permasalahan yang ada maka muncul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang
menyangkut dengan penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana pola makan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus
berdasarkan analisa makanan dan kebiasaan makan serta tingkat pemangsaan
ikan kepe -kepe jenis Chaetodon octofasciatus terhadap karang?
2. Apakah ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus merupakan indikator
untuk ekosistem terumbu karang yang sehat, rusak atau yang sedang
mengalami perubahan?
3. Bagaimana pola hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan
kelimpahan ikan kepe -kepe jenis Chaetodon octofasciatus?
Kerangka pemikiran
Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang
didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus
dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem
terumbu karang Kajian Ekobiologi
Metode terumbu karang: a. Transek sabuk
b. Transek garis menyinggung c. Transek kuadrat
Metode ikan kepe-kepe:
a. Sensus ikan stasioner
b. Analisa makanan dan kebiasaan makan Biologi
- Persentase penutupan karang hidup - Struktur komunitas karang - Indeks Mortalitas Karang (IMK) - Komposisi substrat dasar
Ikan Kepe-kepe:
- Jenis
- Kelimpahan ikan - Tingkat pemangsaan - Makanan & kebiasan makan
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus
belum dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi
Hipotesis
Adapun hipote sis dalam penelitian ini adalah: Kelimpahan ikan kepe-kepe
(Chaetodon octofasciatus) ditentukan oleh besarnya persentase penutupan karang hidup.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui makanan dan kebiasaan makan Chaetodon octofasciatus melalui
analisa isi perut;
2. Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus terhadap
jenis koral yang dikonsumsi;
3. Didapatkannya pola hubungan antara kelimpahan Chaetodon octofasciatus
dengan persentase penutupan karang hidup;
Manfaat
Penelitian ini diharapkan mempunyai berbagai manfaat, yaitu:
1. Mendapatkan indikator kerusakan terumbu karang berdasarkan jumlah
Chaetodon octofasciatus yang sangat murah, mudah dan efektif untuk diimplementasikan di lapangan khususnya di Pulau Petondan Timur
Kepulauan Seribu, Jakarta;
2. Memberikan tambahan informasi mengenai ekobiologi dari ikan indikator ini,
maka memberikan informasi kerusakan terumbu karang yang lebih dini dan
TINJAUAN PUSTAKA
Terumbu Karang
Pengertian Karang dan Simbiotik Alga
Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan
batu kapur yang keras. Ordo Scleractinia dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok karang pembentuk terumbu (reef building) dan kelompok karang bukan
pembentuk terumbu (non reef building). Karang pembentuk terumbu merupakan
karang hermatipik yang memerlukan cahaya matahari untuk hidup, sedangkan
kelompok bukan pembentuk terumbu adalah karang ahermatip ik yang hidup tanpa
cahaya matahari di dasar laut (Veron 1993; Nybakken 1993; Tomascik et al.
1997).
Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang
ahermatipik tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama antara karang
hermatipik dan karang ahermatipik adalah terdapatnya simbiose mutualisma
dengan zooxanthellae, tumbuhan alga bersel tunggal (dinoflagellata uniselular) -
Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut sedangkan hampir semua karang
ahermatipik tidak bersimbiose (Ditlev 1980; Nybakken 1993). Menurut Barnes
(1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan
zooxanthellae.
Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang sedemikian eratnya
hingga sangat menentukan proses metabolisme, kemampuan untuk membentuk
kerangka dan sebaran vertikalnya hewan tersebut. Selain itu zooxanthellae juga
memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam
ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993; Nontji 1984). Oleh karena itu karang
hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan
tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif.
Kebutuhan akan cahaya matahari adalah untuk kepentingan zooxanthellae
(Nybakken 1993).
Struktur Karang
Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Individu karang terdiri dari
polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang ke ras). Polip karang
(Gambar 2), mulutnya terletak di bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai
anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentary dan sisa makanan
dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea
dan endoderm (Veron 1986).
Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir
(mucussac) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan
yang terletak anta ra ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly).
Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi
zooxanthellae (Nybakken 1993), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang
bersimbiose juga berada di dalam jaringan gastroderm.
Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1- 3
mm, sedangkan jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm (Barnes 1980).
Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh
epidermis yang berada di pertengahan bawah polip . Proses sekresi ini
meghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polip Karang menetap. Cawan
tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan
lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat
dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar
4). Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama
sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polip
menja di kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang
akan memangsanya (Barnes 1980).
Nematokis
Filum Coelenterata disebut juga Cnidaria yang dalam bahasa Yunani adalah
sengat. Anggota dari filum ini adalah hydra, ubur-ubur, anemone laut dan koral.
Coelenterata mempunyai rongga pencernaan dan mulut, tetapi tidak ada anus.
lapisan, yaitu epidermis (lapisan paling luar), gastrodermis (lapisan paling dalam
dan membatasi rongga pencernaan), dan mesoglea (lapisan yang terletak di antara
epidermis dan gastrodermis) (Suwignyo et al. 2005).
Pada lapisan epidermis terdiri dari lima macam sel yaitu sel epitel otot, sel
interstisial, sel cnidocyte, sel kelenjar lender, dan sel saraf indera. Di dalam
cnidocyte terdapat nematokis, yaitu suatu struktur seperti kapsul bulat atau
lonjong. Di dalam nematokis terdapat semacam benang atau pipa halus atau duri
melingkar-lingkar, dan pangkalnya menempel pada dasar nematokis. Bila ada
rangsangan dari luar, benang dalam nematokis ditembakkan keluar. Nematokis
paling banyak terdapat di tentakel dan ujung oral (Suwignyo et al. 2005) .
Gambar 3 Tipe nematokis: (A) Perekat; (B) Penggulung; (C) Penusuk
(Suwignyo et al. 2005)
Terdapat tiga macam tipe nematokis berdasarkan fungsinya yaitu (Suwignyo
et al. 2005) :
a. Perekat (glutinant, isorhiza): mempunyai pipa halus yang ujungnya terbuka
dan menghasilkan bahan perekat sebagai pertahanan diri dan untuk
melekatkan diri ke substrat.
A
B
b. Penggulung (volvent, demoneme): berukuran kecil dan berfungsi untuk menggulung mangsa, berbentuk seperti tali lasso.
c. Penusuk (penetrant, stenotele): berukuran besar agak bulat mengandung 3
buah duri besar dan 3 deret duri-duri kecil, dan berfungsi untuk menyuntikkan
racun ke dalam tubuh mangsa
Sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat 9 tipe nematokis yaitu:
1. Atrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tanpa
dasar (basal shaft) atau senapan (barbs).
2. Basitrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat
tetapi sudah mempunyai senapan (barbs) pada dasar.
3. Holotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh non-differensial basal
shaft dan sebuah senapan (barb) disepanjang tubuhnya.
4. Macrobasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh
bentuknya yang bulat memanjang dan terdapat senapan di ujungnya.
5. Microbasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh
bentuknya yang membulat panjang namun kecil dan hanya terdapat
senapan di ujungnya.
6. Microbasic b-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh
bentuknya yang membulat dan berongga, tetapi pemisah antara rongga
dan tabung tubule tidak ada tanda yang jelas.
7. Microbasic p-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh
bentuknya yang membulat dan mempunyai sebuah rongga dan tabung,
8. Spirocyst: tipe cnidae yang didefinisikan oleh bentuknya yang panjang,
spriral, tidak menyengat dan membulat.
9. Heterotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuk tubuhnya yang
panjang membulat dengan garis-garis melintang ditubuhnya.
Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang
Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi
keragaman dan produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu
karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan
berkembangan biak bagi ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu
karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya (Nybakken 1993).
Gambar 4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber 2000)
Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang
meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik (Gambar 4).
Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang
Status Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu
Kondisi ekosistem terumbu karang di daerah tropis khususnya di Indonesia
saat ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan populasi penduduk. Hal ini sesuai
yang dinyatakan oleh Wilkinson et al. (1993) bahwa pada tahun 1993 bahwa 10
sampai 20 tahun mendatang, 30% terumbu karang di dunia akan hancur dan rusak.
Pada tahun 1998, World Resources Institute di Washington mengestimasi bahwa
50% dari terumbu karang di dunia sangat terancam, dan 10% telah hancur dan
rusak (Bryant et al. 1998).
Terumbu karang di Indonesia bagian barat mendapatkan lebih banyak tekanan
dibandingkan dengan terumbu karang di bagian timur Indonesia (Chou 1998).
Khususnya di Kepulauan Seribu yang selama 25 tahun terakhir menanggung
beban limbah dari Jakarta (Cesar 1996). Limbah domestik, limbah industri, dan
penangkapan ikan yang merusak (termasuk bom sianida) merupakan faktor utama
yang membuat terumbu karang di Kepulauan Seribu semakin riskan (Bryant et al.
1998; Chou 1998; Erdmann 1996). Dampak negatif dari beberapa aktivitas
manusia dan alam di daerah terumbu karang di Kepulauan Seribu Jakarta
disajikan pada Tabel 1.
Pemboman (blast fishing), suatu teknik yang menggunakan ledakan untuk
membunuh ikan dan hal ini sangat merusak ekosistem secara ekstrim. Terlebih
lagi kegiatan pemboman ini membunuh ikan target dan non-target serta hewan
invertebrate dari segala jenis kelas dan ukuran, dan juga ledakan merusak dan
menghancurkan struktur terumbu. Kegiatan pemboman ini menghasilkan
hancurnya karang-karang batu (massive) dan juga patahan-patahan karang
kemungkinannya sehubungan dengan hancurnya struktur terumbu dan substrat
dasar (Erdmann 1996).
Tabel 1 Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Jakarta
Faktor Kategori dampak
Kegiatan manusia dan alam Dampak negatif Referensi
Perikanan: menginjak -injak karang
Sukarno et al. (1983),
Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann
Bulu seribu (Acanthaster planci) Memangsa karang secara berlebihan karena tidak predatornya
de Vantier (1996)
Alam
El-nino Memutihkan karang dan kematian karang secara massal
Brown & Suharsono 1990
Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu juga ditegaskan oleh de
Vantier (1996) bahwa penurunan penutupan karang dan kekayaan jenis
disebabkan oleh serangan populasi bintang laut berduri (Acanthaster planci), suhu
tinggi akibat el-nino pada tahun 1991 dan 1993 (Brown & Suharsono 1990),
kualitas air yang tidak baik dan praktek perikanan tangkap yang merusak (racun
juga disebabkan oleh aktivitas reklamasi, jetty, dan bagan (liftnet) (Ongkosongo & Natsir 1994)
Ikan Kepe -Kepe (Chaetodontidae)
Karakteristik dan Klasifikasi
Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang
mudah dikenali diperairan terumbu karang (Gambar 5). Kebanyakan ikan
kepe-kepe ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada
kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah
ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Fishbase
2005) .
Gambar 5 Jenis ikan kepe -kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) yang dijadikan spesies indikator da lam penelitian ini (bar = 1 cm)
Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe -kepe kedalam Famili
Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang
mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi
kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu.
Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu
beberapa kemungkinan fungsi dari war na-warna dramatis dan bentuk pewarnaan
yang umumnya didominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan
kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan
habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi
pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritori
tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari
pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari
predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari
tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji
1993).
Berikut Klasifikasi dari ikan kepe -kepe Chaetodon octofasciatus:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Perciformes
Famili : Chaetodontidae
Genus : Chaetodon
Spesies : Chaetodon octofasciatus
Ekobiologi Chaetodontidae
Ikan kepe-kepe mempunyai variasi makanan mulai dari karang, plankton,
invertebrata, alga, spons, dan beberapa tumbuhan laut lainnya (Fishbase 2005).
Namun, untuk mengetahui perannya sebagai bioindikator kesehatan karang maka
Tabel 2 Daftar beberapa spesies ikan kepe -kepe (Chaetodontidae) beserta tipe
kebiasaan makannya (OC=Obligate corralivores, FC=Facultative
corralivores)
5 Chaetodon citrinellus + Fishbase (2005)
6 Chaetodon collare + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
7 Chaetodon decussatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
8 Chaetodon ephippium + Fishbase (2005)
9 Chaetodon kleinii + Fishbase (2005)
10 Chaetodon lunula + Fishbase (2005)
11 Chaetodon paucifasciatus + Fishbase (2005)
12 Chaetodon plebeius + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 13 Chaetodon rafflesii + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
14 Chaetodon striatus + Fishbase (2005)
15 Chaetodon trifascialis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
16 Chaetodon trifasciatus + Yusuf & Ali (2004), Reese (1977), Fishbase (2005)
17 Chaetodon aureofasciatus + Fishbase (2005)
18 Chaetodon austriacus + Fishbase (2005)
19 Chaetodon lineolatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
20 Chaetodon melannotus + Fishbase (2005)
21 Chaetodon multicinctus + Reese (1977), Fishbase (2005)
22 Chaetodon octofasciatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
23 Chaetodon ornatissimus + Reese (1977), Fishbase (2005)
24 Chaetodon punctatofasciatus + Reese (1977), Fishbase (2005) 25 Chaetodon quadrimaculatus + Reese (1977), Fishbase (2005)
26 Chaetodon reticulatus + Reese (1977), Fishbase (2005)
27 Chaetodon triangulum + Yusuf & Ali (2004), Reese (1977)
28 Chaetodon unimaculatus + Reese (1977), Fishbase (2005)
29 Chaetodon vagabundus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
30 Chelmon rostratum + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
31 Coradian altivelis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005)
32 Coradion chrysozonus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 33 Heniochus acuminatus + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 34 Heniochus plurotaenia + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 35 Heniochus singularis + Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) 36 Megaprotodon striangulus + Reese (1977), Fishbase (2005)
Chaetodontidae hidup dekat dengan substrat dan makan secara diurnal.
Terdapat lima kategori pemangsaan ikan kepe-kepe yaitu pemangsa karang batu
(Nontji 1993; Fishbase 2005). Kebiasaan makan ikan kepe-kepe bervariasi sesuai
dengan wilayah geografis. Di Great Barrier Reef sekitar 80% bersifat koralivor,
Samudera Hindia bagian barat 72% sedangkan di Hawaii kurang dari 60% bersifat
koralivor (Fishbase 2005).
Ikan kepe-kepe biasanya ditemukan secara individual, berpasangan, atau
dalam kelompok kecil (Nontji 1993). Sumber makanan merupakan faktor penentu
utama yang membedakan kehidupan sosial dan sistem pertemanan diantara ikan
kepe-kepe. Ikan koralivor umumnya ditemukan berpasangan sedangkan ikan
planktivor biasanya ditemukan berkelompok (Fishbase 2005; Nontji 1993).
Biogeografi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) di Dunia
Ikan kepe -kepe mempunyai pola distribusi yang tertutup dalam suatu grup dan
pola variasi geografi yang berulang. Spesies ikan ini tersebar di sepanjang wilayah
Indo-Pasifik sebanyak 116 species dan 45 jenis berada di Indonesia (Allen &
Adrim 2003; Fishbase 2005; Nontji 1993; Burges 1978).
Hubungan kekerabatan diantara genus dari famili Chaetodontidae telah
dijabarkan oleh Blum (1989). Hubungan tersebut diperoleh dari analisa cladistik
dari 34 atribut karakteristik osteologi dan anatomi dalam ikan Chaetotontidae.
Hubungan phylogentik tersebut ditunjukan pada Gambar 6.
Distribusi dari spesies Chaetodontidae telah dilakukan oleh Allen (1980).
Penyebaran spesies Chaetodontidae sangat dipengaruhi hubungan
phylogenetiknya. Ikan Chaetodontidae tersebar di seluruh dunia dengan
penyebaran tertinggi di Indo-Pasifik. Khusus untuk jenis Chaetodon octofasciatus
hanya tersebar di wilayah Sri Langka, India, Great Barrier Reef Australia,
Malaysia, Indonesia, New Guinea, Filipina, Rykyu Islands, Sela tan Jepang,
Taiwan, dan Thailand (Blum 1988). Distribusi dari spesies Chaetodontidae
diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) (modifikasi Blum 1989).
Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator
Menurut Markert et al. (2003), terdapat tiga tipe utama bioindikator yaitu (1)
compliance indicator, yang dipilih untuk menduga ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan restorasi dan menjaga kualitas lingkungan, (2)
memberikan tanda kepada manajer untuk melakukan aksi sebelum kondisi
lingkungan menjadi parah.
Konsep penggunaan spesies kunci tertentu sebagai indikator kondisi ekologis
sekarang telah banyak dipakai untuk mendeteksi suatu kondisi lingkungan (Soule
& Kleppel 1988). Ikan kepe-kepe sangat mungkin untuk menjadi indikator
lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat
karang hidup (Hourigan et al. 1988). Reese (1981) merupakan peneliti pertama
yang mengusulkan butterflyfishes yang bersifat koralivor untuk dijadikan sebagai
organisme indikator. Namun, ada dua hal yang harus diperhatikan adalah (1)
biotik indikator yang sensitif lebih berguna untuk mendeteksi polusi pada level
rendah seperti polusi kimia level rendah atau perubahan kecil temperatur atau
tingkat nutrien, (2) tidak semua jenis Chaetodontidae dapat dijadikan spesies
indikator. Misalnya yang bersifat planktivor tidak sensitif terhadap perubahan
terumbu karang, atau omnivor memakan invertebrata selain karang dan alga
sehingga sangat susah untuk mendeteksi kebiasaan makannya yang selalu berubah
dan oportunis (Reese 1995).
Berbagai macam pertanyaan dan keraguan yang timbul terhadap penggunaan
ikan kepe-kepe (butterflyfishes) sebagai biomonitor dan bioindikator. Jawaban
dari pertanyaan tersebut adalah terdapat banyak spesies dari famili
Chaetodontidae yang mempunyai hubungan kuat dengan karang dan mereka
banyak bersifat obligate corralivores (pemangsa karang) (Reese 1981;
Harmelin-Vivien & Bouchon-Navaro 1983). Selain itu, metabolisme atau kebutuhan energi
pemangsa karang tersebut merupakan calon potensial sebagai indikator perubahan
terhadap terumbu karang (Crosby & Reese 1996).
Crosby & Reese (1996) menyatakan empat alasan penting mengapa
Chaetodontidae merupakan indikator bagus yang sangat potensial:
(1) Nama ilmiah dari karang dan ikan bukan merupakan persyaratan utama
yang harus diketahui oleh pengambil data;
(2) Pengumpulan data dapat dilakukan bertahap, misalnya langkah pertama
dapat menghitung jumlah ikan Chaetodontidae di sepanjang transek dan
kemudian langkah selanjutnya dapat menghitung jumlah koloni karang.
Metode ini sangat seseuai apabila kurangnya sumberdaya manusia yang
tersedia;
(3) Chaetodontidae merupakan indikator terbaik yang digunakan dimana ada
perubahan secara waktu (gradual), gangguan kronis yang mana sulit untuk
dihitung atau dilakukan oleh alternative metode lainnya, misalnya
pengumpulan data jaringan dan analisis kualitas air.
(4) Metode bioindikator ini sangat ramah lingkungan (environmentally
friendly), relatif murah, tidak merusak dan tidak membutuhkan teknisi ilmiah yang sangat terampil.
Oleh karena itu, Chaetodontidae yang pemangsa karang merupakan indikator
ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, ikan
kepe-kepe menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga akan
sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu,
karena ikan kepe-kepe sangat teritoria l maka akan sangat mudah memantaunya
Ukuran teritori dari ikan kepe-kepe ditentukan oleh jumlah makanan karang
yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di suatu area terumbu
karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese
1996). Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang
sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem tersebut.
Penelitian tentang Chaetodontidae
Terdapat beberapa penelitian ya ng menggunakan ikan kepe-kepe sebagai
indikator keanekaragaman terumbu karang di Indonesia dan Filipina menunjukkan
hasil yang sangat bagus (Crosby et al. 1996). Beberapa jenis ikan kepe-kepe yang
sudah diteliti sebagai indikator perubahan lingkungan adala h Chaetodon
multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, dan C. unimaculatus (Hourigan et
al. 1988). White (1988) menyatakan jumlah total spesies Chaetodontidae
menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap penutupan karang keras (hard
coral). Sedangkan di Kepulauan Seribu, Adrim et al. (1991) menyebutkan bahwa
Chaetodon octofasciatus memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi terumbu karang akibat tekanan lingkungan. Namun, tidak semua ikan
Chaetodontidae sebagai pemakan karang keras (scleractinian coral), ada juga
memakan octocoral (karang lunak) misalnya Chaetodon melannotus (Alino et al.
1988).
Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa variasi ikan
Chaetodontidae ditentukan oleh bentuk pertumbuhan Acropora bercabang,
non-acr opora bercabang, non-non-acropora massive, non-non-acropora encrusting dan habitat
Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah
mengalami perubahan, sedangkan kehadiran Chaetodon trifasciatus, Chaetodon
trifascialis dan Chaetodon ornatissimus mengindikasikan bahwa kondisi karang belum mendapatkan gangguan yang berarti atau masih relatif baik. Dari penelitian
tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan
makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis
Chaetodon octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan
Chaetodon ornatissimus. Dari penelitian Yusuf dan Ali (2004) menyatakan bahwa
ditemukan kelimpahan yang tinggi dari Chaetodon octofasciatus dan Chaetodon
collare di Pulau Mayar, Malaysia, meskipun penutupan karang di di daerah ini kurang beragam dan sehat.
Adrim dan Hutomo (1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara
ketiga yang mempunyai keanekaragaman ikan kepe-kepe (butterflyfishes) setelah
Great Barrier Reef, Australia (50 spesies), dan Filipina (45 spesies). Namun,
kajian biologis dan ekologis dari kelompok ikan ini masih sangat jarang dan
biasanya hanya merupakan bagian kecil dari berbagai penelitian. Lebih lanjut
Adrim dan Hutomo (1989) menemukan adanya hubungan positif antara persen
penutupan karang hidup dengan jumlah dan jenis ikan Chaetodontidae di Laut
BAHAN & METODE
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Petodan Timur, di dalam kawasan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 8).
Pulau ini mempunyai luas 7,38 ha dan berada di zonasi Rekreasi dan Pariwisata.
Secara administratif berada dalam Kelurahan Pulau Harapan Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Stasiun pengambilan data ditetapkan di empat lokasi seperti disajikan pada Tabel
3.
Tabel 3 Posisi geografis stasiun penelitian
Posisi Geografis Stasiun
Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS)
Barat 106° 35.536” 05° 34.754”
Selatan 106° 35.747” 05° 34.937”
Utara 106° 35.701” 05° 34.730”
Timur 106° 35.101” 05° 34.977”
Penelitian ini berlangsung pada tanggal 25 – 29 Juli 2005, 4 – 8 Februari dan
17 – 22 April 2006. Analisa makanan dan kebiasaan makan ikan Chaetodon
octofasciatus dilakukan di Laboratoriu m Biomikro I Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP). Identifikasi berlangsung dari tanggal 9 Maret
Alat dan b ahan
Peralatan yang digunakan dalam peneltian ini adalah alat selam Self Contained
Underwater Buoyancy Apparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS), kapal, rollmeter 50 m, sabak dan pensil, kamera bawah air, buku identifikasi
karang (Suharsono 2004) dan buku identifikasi ikan (Allen 2000). Peralatan dan
metode untuk pengamatan kondisi perairan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Peralatan dan metode untuk pengambilan data parameter perairan
Parameter Unit Metode/Alat Keterangan
Kecepatan arus m/dt Current-meter in situ
Suhu °C Thermometer Hg in situ
Kedalaman m Deep Gauge in situ
Kecerahan m Secchi disc in situ
Salinitas ppt Refraktometer in situ
Alat dan bahan yang digunakan untuk identifikasi makanan dan kebiasaan
makan adalah sampel usus ikan Chaetodon octofasciatus yang sudah diawetkan di
lapangan, bahan pengawet (alkohol 95%), mikroskop, gelas objek, gelas penutup,
tissue/lap dan buku identifikasi.
Tahapan penelitian
Secara umum, dalam penelitian ini terdapat tiga tahap yaitu: (1)
mengidentifikasi jenis dan kelimpahan ikan indikator koralivor serta memilih
yang paling dominan, (2) mengukur tingkat pemangsaan ikan indikator terhadap
persentase penutupan karang hidup, (3) mengkaji pola hubungan antara kondisi
terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup terhadap
keberadaan dan kelimpahan ikan indikator berdasarkan studi ekobiologinya,
seperti disajikan pada Gambar 9.
Penentuan titik sampel
Kondisi komunitas ikan indikator dan terumbu karang diamati pada empat
stasiun di sekitar perairan penelitian. Pada empat stasiun tersebut diletakkan
transek sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m)
dan reef slope (10 m). Pene mpatan transek ini dilakukan setelah adanya
pemantauan terumbu karang dengan metode manta tow/snorkeling. Setiap lokasi
mempunyai titik koordinat yang diambil dengan alat GPS. Titik koordinat ini
yang menjadi patokan pengambilan data selain patok-patok yang telah
dipancangkan.
Waktu pengambilan data
Pengambilan data dilakukan antara pukul 07.00-17.00. Waktu ini di ambil
sesuai dengan waktu aktif mencari makan ikan Chaetodontidae yakni pada siang
Gambar 9 . Tahapan penelitian
Analisis Ragam
Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan terhadap koral pada masing-masing kategori terumbu
karang
Mengetahui karakteristik habitat terhadap jenis ikan C. octofasciatus
pada masing-masing stasiun
Analisis Deskriptif Analisis Ragam
Mengetahui perbedaan kelimpahan ikan C. octofasciatus dan persentase penutupan karang hidup
Analisis Korelasi
Mengetahui h ubungan antara kelimpahan ikan C. octofasciatus dan persentase
penutupan karang hidup
Hubungan? tidak ada
ada
Mengkaji pola hubungan antara kondisi terumbu karang berdasarkan persentase
penutupan karang hidup terhadap keberadaan dan kelimpahan ikan C.
octofasciatus berdasarkan studi bioekologinya
Membuat pengelompokan kelimpahan ikan C. octofasciatus berdasarkan kategori terumbu karang
Gomez & Yap (1998) Identifikasi jenis dan kelimpahan ikan karang termasuk ikan kepe-kepe pada
masing-masing kategori terumbu karang
Mengukur tingkat pemangsaan ikan C. octofasciatus yang paling
dominan terhadap jenis koral
Ekosistem Terumbu Karang: Mencari lokasi berdasarkan
penutupan karang hidup
Dipilih jenis ikan kepe-kepe koralivor yang paling dominan
Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Dalam pengambilan data primer dibagi menjadi dua yaitu data ikan
indikator dan data terumbu karang. Data primer yang akan diambil adalah:
1. Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus (x1)
2. Tingkat pemangsaan ikan Chaetodon octofasciatus pada jenis koral tertentu
(x2)
3. Jenis karang batu yang dimangsa ikan Chaetodon octofasciatus (x3)
4. Persentase penutupan karang batu atau hard coral (x4)
5. Jenis makanan dari ikan Chaetodon octofasciatus berdasarkan analisa isi usus
(x5)
Metode pengambilan data
Substrat dasar
Metode pengambilan data yang digunakan dalam pengamatan substrat dasar
adalah transek garis menyinggung (line intercept transect) dan transek sabuk (belt
transect) dan transek kuadrat (Quadrat transect) (Stoddart & Johannes 1978;
English et a l. 1997; Rogers et al. 1994). Ketiga metode pengambalian data
tersebut diletakkan pada transek permanen yang menggunakan pancang pada titik
0 meter sampai 50 meter yang dihubungkan dengan tali nylon.
a. Transek Garis Menyinggung (Line Intercept Transect)
Pengambilan data persen penutupan terumbu karang dengan transek garis
menyinggung dengan membentangkan rollmeter sepanjang 50 meter. Transek
crest (3 m) dan reef slope (10 m). Data diambil oleh satu orang penyelam (Gambar 10). Data yang diambil berupa transisi panjang koral yang menyinggung
transek, jenis dan bentuk pertumbuhan koral.
Gambar 1 0 Ilustrasi teknik pengumpulan data substrat dasar dengan menggunakan transek garis menyinggung
b. Transek Sabuk (Belt Transect)
Transek sabuk digunakan untuk mengetahui kelimpahan genus koral
disepanjang 50 meter dengan lebar 50 cm meter kiri dan kanan transek. Transek
sabuk ini juga diletakkan sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m) dan
reef slope (10 m). Pengambilan data dilakukan oleh dua orang penyelam yang masing-masing mengapit transek (Gambar 11).
Gambar 1 1 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek sabuk
c. Transek Kuadrat
Transek kuadrat (1 x 1 meter2) digunakan untuk mengetahui data persen
penutupan terumbu karang. Transek kuadrat yang digunakan dibagi-bagi lagi
menjadi 100 grid dimana setiap grid mewakili 10% penutupan. Transek kuadrat
ini juga diletakkan sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m) dan reef
slope (10 m). Sebanyak 3 transek kuadrat yang diletakkan pada masing-masing kedalaman (3 dan 10 m). Transek kuadrat diletakkan pada meter ke 0, 30, dan 50.
Pengambilan data dilakukan oleh satu orang penyelam. (Gambar 12). Data yang
diambil berupa jenis dan bentuk pertumbuhan koral yang diolah menggunakan
program ImageJ (2003).
Gambar 1 2 Ilustrasi teknik pengumpulan data substrat dasar dengan menggunakan transek kuadrat
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus
a. Menghitung kelimpahan
Pengambilan data ikan Chaetodon octofasciatus berupa jenis (spesies) dan
jumlah (kelimpahan) digunakan metode sensus transek sabuk (Belt Transect
Census) (Brock 1982; English et al. 1997), yang dikombinasikan dengan metode
sensus ikan stasioner (the Stationary Fish Census method) (Rogers et al. 1994).
Dalam pendataan ini akan digunakan penomoran yang dicatat dalam lembar data.
Data diambil di sepanjang transek dengan lebar 2,5 m kanan dan kiri transek garis.
b. Mengukur tingkah laku pemangsaan
Untuk menguji tingkah laku pemangsaan (feeding behaviour) setiap individu
diidentifikasi dan diamati se lama 30 menit setiap transek. Pendataan tingkah laku
makan dibagi dua bagian: (1) tingkat pemangsaan (feeding rates) dan (2) pilihan
jenis karang yang menjadi makanan (food choice), dan pendataan dibagi setiap
interval 5 menit. Untuk setiap interval 5 menit dilakukan pendataan jumlah total
gigitan (bites) ikan dan jenis koral yang dikonsumsi (Crosby & Reese 1996).
c. Analisis makanan dan kebiasaan makan
Untuk menguji tingkah laku pemangsaan (feeding behaviour) maka perlu
dilakukan analisa makanan dan kebiasaan makan (food and feeding habit) yang
menjadi target uji coba yaitu Chaetodon octofasciatus. Sehingga dari hasil analisa
ini akan didapatkan data biologi berupa jenis makanan yang dimangsa oleh ikan
indikator ini. Analisa makanan dan kebiasaan makan ikan dilakukan melalui
pengamatan isi usus ikan tersebut. Dengan mempelajari kebiasaan makanan ikan
atau tabiat makanan ikan pada dasarnya adalah untuk mengetahui kualitas dan
kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sehingga dapat menentukan nilai gizi
alamiah ikan serta melihat juga hubungan ekologis dalam tropic level. Prinsip
yang kemudian dikembangkan adalah dengan mengidentifikasi pencernaan
(makanan yang telah dimakan oleh ikan). Dengan mengetahui jenis dan jumlah
makanan ikan, maka dapat disusun urutan kebiasaan makanan ikan. Urutan
makanan tersebut adalah makanan utama (makanan yang dimanfaatkan dalam
jumlah besar), makanan pelengkap (makanan yang ditemukan dalam pencernaan
sangat sedikit), dan makanan pengganti (makanan yang dikonsumsi jika makanan
utama tidak ada). Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah:
(1) Persiapan ikan kepe strip delapan (Chaetodon octofasciatus)
Kegiatan ini meliputi pengambilan/penangkapan ika n ini di lapangan
dengan mengikuti nelayan. Kegiatan persiapan ini sangat penting artinya karena
berkaitan dengan sampel usus yang akan diidentifikasi. Setelah ikan ini
tertangkap oleh jaring nelayan, maka langsung dilakukan pembedahan terhadap
ikan tersebut kemudian ususnya diambil dan diawetkan. Tindakan ini diambil
agar ikan ini tidak melakukan proses pencernaan, sehingga sampel makanan yang
diidentifikasi dapat lebih akurat. Usus ikan ini ditempatkan pada botol sampel.
(2) Proses identifikasi
Untuk proses identifikasi mengikuti prosedur berikut (Andi et al. 2005):
- sampel usus ikan dibersihkan dari bahan pengawet
- Isi usus dikerik
- Usus dipisahkan dengan daging usus
- Isi usus diencerkan sekitar 20 ml
- Proses pengamatan di bawah mikroskop dengan mengambil satu tetes
dari usus yang sudah diencerkan tersebut
- Pengamatan dilakakukan dengan 3 x ulangan dengan 3 strip lapang
pandang
- Jenis makanan diidentifikasi dan jumlah organisme dicatat.
Untuk metode analisa data makanan dan kebiasaan makan menggunakan:
• Metode Jumlah: metode ini dilakukan dengan cara menghitung organisme
ditemukan dibandingkan dengan lainnya. Jumlah individu yang relatif
kecil dengan ukuran besar belum tentu merupakan makanan utama.
Metode Frekuensi Kejadian: metode ini dilakukan dengan cara mencatat jumlah
ikan yang ususnya kososng dan mencatat keberadaan organisme pada
masing-masing ikan yang ususnya berisi. Metode ini tidak bisa memperlihatkan kuantitas
makanan yang dimakan serta makanan yang tidak dicerna sehingga metode ini
hanya dipakai untuk melihat makanan secara fisik saja.
Analisis data
Substrat dasar
A. Persentase penutupan
Persen penutupan substrat dasar menggunakan rumus dibawah ini (English et
al. 1997):
Keterangan : % penutupan = persentase penutupan karang hidup
A = Panjang total kategori substrat dasar (cm)
B = Panjang transek garis (cm)
B. Kepadatan karang
Kepadatan karang berdasarkan pendataan dengan transek sabuk dihitung
sepanjang transek 50 meter dengan lebar kiri dan kanan sejauh 1 meter, dengan
mengikuti rumus di bawah ini:
A n N = i
ni = jumlah ditemukannya jenis karang i
A = luas area (50 m2)
C. Indeks mortalitas karang (IMK)
Nilai indeks mortalitas karang didapatkan dari persentase penutupan karang
mati dan patahan karang dibagi dengan persentase karang hidup (modifikasi dari
Gomez and Yap, 1988):
B
A = Persentase karang mati dan patahan karang
B = Persentase karang hidup
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus
A. Kelimpahan
Kelimpahan ikan kepe -kepe berdasarkan pendataan dengan visual sensus
dihitung sepanjang transek 50 meter, lebar 5 meter dan tinggi 1 meter (50 x 5 x 1
= 250 m3), dengan mengikuti rumus dibawah ini:
B. Tingkat pemangsaan (feeding rates)
Tingkat pemangsaan dihitung dengan mengobservasi secara acak pada ikan
kepe-kepe terpilih pada area penelitian. Tingkat pemangsaan dari ikan kepe-kepe
dihitung berdasarkan aksi gigitan ikan per satuan waktu. Rumus dari tingkat
pemangsaan sebagai berikut:
a n FR=
Keterangan : FR = Tingkat pemangsaan (feeding rates)
n = jumlah aksi gigitan
a = waktu (5 menit)
C. Selektivitas pemangsaan
Untuk menghitung selektivitas pemangsaan digunakan Indeks Pilihan Ivlev
dengan membandingkan pemanfaatan makanan dengan ketersediaannya. Indeks
ini telah berhasil digunakan untuk menentukan selektivitas mangsa dalam kisaran
yang lebar untuk ikan-ikan air laut dan tawar dan juga invertebrata (Smith 2004;
Alwany et al. 2003). Berikut adalah rumus indeks pilihan Ivlev (Smith 2004):
(
)
ri = proporsi tipe makanan i yang dikonsumsi
pi= proporsi tipe makanan yang tersedia di lingkungan tersebut.
Nilai indeks pilihan Ivlev berkisar antara -1 dan +1. Selanjutnya nilai indeks
> 0.5 : kesukaan tinggi (highly preferred)
0.5 – 0 : ada kesukaan (weak preference)
< 0 : ada penghindaran (avoidence)
D. Makanan dan kebiasaan makan
Untuk analisa data makanan dan kebiasaan makan dengan menghitung
kelimpahan jenis makanan dengan rumus:
xn
Untuk pengujian hasil penelitian maka digunakan analisa statistika. Hal yang
akan diuji adalah:
Ho = µ1 - µ = 0
I. Ho = Tidak terdapat perbedaan kelimpahan ikan antara lokasi penelitian H1 = Terdapat perbedaan kelimpahan ikan antara lokasi penelitian
II. Ho = Tidak terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu antara lokasi penelitian
- Menghitung Mean (rerata) dari suatu sampel:
n = jumlah data dari sampel
- standar deviasi dari sampel:
1
Dimana: s = standar deviasi dari sampel
x = rerata dari suatu sampel
xi = skor data ke -i dari sampel
n = jumlah data dari sampel
- Tingkat signifikan (level of significance): Dalam penelitian ini digunakan
tingkat signifikan sebesar 0,05 (5%) dan 0,01 (1%).
- Besaran nilai r: Nilai r berkisar antara -1 sampai dengan +1. Nilai r yang sama
dengan nol (0) menunjukkan tidak ada hubungan, sedangkan semakin besar
dari nol (positif) atau semakin kecil dari nol (negatif) menunjukkan ada
hubungan. Nilai r yang positif menunjukkan bahwa hubungannya adalah
positif, sedangkan nilai r yang negatif menunjukkan bahwa hubungannya
adalah negatif. Berikut adalah kondisinya:
-0,5 = r = 0,5 : hubungan lemah
r = 0 : tidak ada hubungan
- Koefisien determinasi (r2) : merupakan cara yang paling baik digunakan untuk
menginterpretasi nilai dari r. Koefisien determinasi menunjukkan seberapa
besar variasi dari salah satu variabel yang dijelaskan oleh variabel lainnya.
Dalam penelitian digunakan tiga analisis statistika (Ludwig & Reynolds 1988;
Walpole 1990) , dimana analisa ini dilakukan pada software Minitab v13, yaitu:
a. Analisis ragam (Analysis of varian ce – ANOVA) digunakan untuk melihat
perbedaan jumlah ikan indikator dan persentase penutupan karang hidup pada
masing-masing lokasi penelitian.
b. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat karakteristik ikan indikator pada
masing-masing lokasi penelitian.
c. Analisa regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara jumlah ikan
indikator dengan persentase penutupan karang hidup pada masing-masing
kategori terumbu karang. Keterkaitan antara jumlah ikan indikator dengan
persentase penutupan karang hidup dapat dilihat dari nilai koefisien
determinasi (R2) dari regresinya. Secara matematis plot regresi dapat ditulis
sebagai berikut (Ludwig and Reynolds 1988; Walpole 1990) :
y = f (x) + e y = a + bx + cx2
dimana : y = Kelimpahan ikan Chaetodon octofascatus (peubah bebas)
x = Persentase penutupan karang hidup (peubah tak bebas)
Struktur Data
Data yang didapatkan akan disusun berdasarkan Tabel 5 untuk mendapatkan
perbandingan antara titik sampel selama penelitian.
Tabel 5. Contoh struktur data penelitian
No Jumlah
individu (n)
% Penutupan Karang Batu
Kedalaman Lokasi
1 N1 Z1 3 Barat
2 N2 Z2 3 Barat
3 N3 Z3 3 Barat
4 N4 Z4 10 Barat
5 N5 Z5 10 Barat
6 N6 Z6 10 Barat
. . . . .
. . . . .
19 N19 Z19 3 Utara
20 N20 Z20 3 Utara
21 N21 Z21 3 Utara
22 N22 Z22 10 Utara
23 N23 Z23 10 Utara