• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA (POLRI)"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN

PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING

PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK

INDONESIA (POLRI)

SKRIPSI

Oleh :

Farah Fadhilah 201210230311119

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN

PSYCHOLOGICAL

WELL-BEING

PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN REPUBLIK

INDONESIA (POLRI)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Farah Fadhilah 201210230311119

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

2. Nama Peneliti : Farah Fadhilah

3. NIM : 201210230311119

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : Januari – Maret 2016

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 29 April 2016

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Hudaniah, S.Psi., M.Si. ( )

Anggota Penguji : 1. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si. ( )

2. Dr. Iswinarti, M.Si ( )

3. Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi ( )

Pembimbing I

Hudaniah, S.Psi., M.Si.

Pembimbing II

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.

Malang, Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Farah Fadhilah

Nim : 201210230311119

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:

Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naska ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan karya/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan hak bebas royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 29 April 2016

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si

Yang menyatakan

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian akhirnya yang berjudul

“Hubungan Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being pada Pensiunan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kelulusan sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak lupa pula shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.

Dalam menjalankan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam hal apapun, baik itu berupa motivasi, bimbingan dan petunjuk kepada penulis. Untuk itulah pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Hudaniah, S.Psi., M.Si dan Ibu Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si, selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta arahan yang sangat berguna hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si selaku dosen wali yang telah membimbing dan memberikan motivasi penulis dari awal perkuliahan sampai penulisan skripsi ini selesai. 4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah banyak mencurhakan ilmunya kepada

penulis selama perkuliahan.

5. Pensiunan POLRI yang tergabung dalam PP POLRI cabang Malang yang telah bersedia menjadi responden penelitian, khususnya kepada Pak Tamno yang banyak membantu peneliti dalam proses penelitian.

6. Ayahanda Dr. Syahrir, M.P dan Ibunda Ir. Wijayanti, M.Si yang telah menjadi sumber inspirasi dan motivasi baik dalam perkuliahan, penyelesaian skripsi dan juga dalam menjalankan kehidupan penulis.

7. Adik-adik penulis, yaitu Moh. Dwi Rahmadi dan Ibnu Jahsy yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat kepada penulis dari awal penulis merantau di Malang untuk berkuliah sampai dengan menyelesaikan tahap akhir yaitu skripsi.

8. Bule’ Sayekti Handayani yang telah membantu ketika penulis mengalami kesulitan dan menyemangati penulis ketika mengalami kejenuhan dalam menyelesaikan skripsi

9. Teman-teman kontrakan, yaitu Kak Iyan, Tifa, Sila, Dini, dan Nida yang telah banyak memberikan banyak bantuan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi. 10. Teman-teman Fakultas Psikologi UMM angkatan 2012 khususnya kelas B yang telah

(6)

11. Miftah, Hasri, Tia, Puput, Rima, dan Eka sebagai teman seperjuangan yang susah dan senang bersama dan selalu membantu penulis ketika mengalami kesulitan dalam perkuliahan serta dalam penyelesaian skripsi.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan rahmat-Nya atas kontribusi yang telah mereka berikan dan selalu penulis haturkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan bagi kita semua. Penulis menyadari jika dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Sehingga diharapkan kritik dan saran yang membangun dapat diberikan kepada penulis. Walaupun demikian, diharapkan isi dari skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi pembaca.

Malang, 29 April 2016

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT PERNYATAAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI ... 5

Psychological Well-being ... 5

Dimensi-dimensi Psychological Well-being ... 5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being ... 6

Partisipasi Sosial ... 8

Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ... 8

Hipotesa ... 9

METODE PENELITIAN ... 10

Rancangan Penelitian ... 10

Subjek Penelitian ... 10

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 10

Prosedur dan Analisa Data Penelitian ... 13

HASIL PENELITIAN ... 14

DISKUSI ... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI... 17

REFERENSI ... 18

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cara Skoring ... 11

Tabel 2. Cara Skoring Bulanan ... 12

Tabel 3. Cara Skoring Tahunan ... 12

Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian ... 12

Tabel 5. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 13

Tabel 6. Karakteristik Subjek Penelitian ... 14

Tabel 7. Korelasi Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being ... 14

Tabel 8. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being ... 14

Tabel 9. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being Berdasarkan Jenis Kelamin ... 15

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blue Print Skala Partisipasi Sosial dan Skala Psychological Well-being ... 22

Lampiran 2. Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas Skala Partisipasi Sosial dan Skala Psychological Well-being ... 26

Lampiran 3. Skala Penelitian ... 34

Lampiran 4. Hasil Analisis Data ... 40

Lampiran 5. Uji Asumsi ... 45

(10)

HUBUNGAN PARTISIPASI SOSIAL DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA PENSIUNAN KEPOLISIAN

REPUBLIK INDONESIA (POLRI)

Farah Fadhilah

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

farahadmirald@yahoo.co.id

Pensiun merupakan masa dimana terjadi banyak perubahan, salah satunya perubahan aktivitas. Tidak semua pensiunan POLRI siap menghadapi perubahan yang terjadi sehingga mereka cenderung merasakan cemas, stress, dan tidak sejahtera secara psikologis. Psychological well-being adalah suatu dorongan untuk menggali potensi individu secara keseluruhan agar mendapatkan hidup yang bermakna, hubungan berkualitas, dan siap untuk menerima tantangan hidup. Salah satu faktor yang membuat pensiunan merasakan psychological well-being adalah partisipasi sosial. Partisipasi sosial adalah partisipasi seseorang dalam kelompok sosial yang dilakukan secara sukarela. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara partisipasi sosial dengan psychological well-being pada pensiunan POLRI. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional yang dilakukan pada 80 pensiunan POLRI dengan menggunakan teknik purposive sampling dan menggunakan instrumen Ryff’s Psychological Well-being Scale dan Social Participation Scale. Teknik analisa data menggunakan korelasi product moment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara partisipasi sosial dengan psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). Jadi, semakin tinggi partisipasi sosialnya, maka semakin tinggi pula psychological well-being seorang pensiunan POLRI.

Kata Kunci : Partisipasi Sosial, Psychological Well-being, Pensiunan POLRI

Pension is a period which is so many alteration things happened. One of them is activity alteration. Not all of POLRI pensioners ready to prepared for the changes, so that they are disposed to feel anxiety, stress, and unhappiness psychologically. Psychological well-being is an urge to explore individuals potential as whole in order to obtain a meaningful life, quality of relationships, and ready to accept the challenges of life. One of the factors that make pensioner feel psychologycal well-being is social participation. Social participation is a person’s participation in social groups voluntarily. The purpose of this study is to discern the relations between social participation with psychological well-being in POLRI pensioners. The research is quantitave correlation performed on 80 POLRI pensioners using purposive sampling techniques and using instruments of Ryff’s psychological well-being scale and social participation scale. The technique of data analysis using product moment correlation. The result showed that there is a positive and significant correlation between social participation with psychological well-being (r = 0,290, p = 0,009 < 0,01). So, the higher the social participation, the higher the psychological well-being of POLRI pensioners.

(11)

Masa pensiun tentu akan dialami oleh orang-orang yang bekerja. Pensiun merupakan suatu fase yang memerlukan beberapa persiapan karena nantinya para pensiunan akan dihadapkan pada kondisi dan situasi yang baru, dimana mereka butuh penyesuaian diri terhadap apa yang mereka hadapi di depan dalam masa pensiun mereka. Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi pada masa pensiun, seperti perubahan aktivitas yang dulunya bekerja menjadi tidak bekerja, terjadi penurunan pendapatan, terjadi perubahan dalam relasi sosial, dan terjadi penurunan kondisi kesehatan karena bertambahnya usia (Santrock, 1998). Oleh karena itu, psychological well-being erat kaitannya dengan pensiunan karena tidak semua pensiunan siap untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut.

Seringkali masa pensiun menimbulkan masalah karena ketidaksiapan dari para pensiunan untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Pensiun juga dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba., tidak sedikit dari calon pensiunan sudah merasa cemas dan khawatir karena tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan dihadapinya di masa mendatang. Menurut Prasojo (2011) kecemasan tersebut juga terjadi karena dalam menghadapi masa pensiun, individu mendapat goncangan perasaan yang begitu berat karena harus meninggalkan pekerjaannya. Selain itu, pensiunan biasanya mengalami suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia, kehilangan semangat, merendahkan diri, dan mudah merasa bosan atau biasanya dikenal dengan depresi mayor (Santrock, 2011).

Masa pensiun tidak selalu berdampak negatif dan menimbulkan masalah, tetapi juga bisa berdampak positif. Ketika pensiunan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi barunya, kemungkinan besar pensiunan akan merasakan cemas, stress, bahkan akan mengalami depresi. Sebaliknya jika pensiunan mampu beradaptasi dan menjalani masa pensiunnya dengan berpikir serta melakukan hal-hal yang positif, maka mereka akan mempunyai mental yang sehat. Orang yang dikatakan memiliki kesehatan mental yaitu orang yang mampu menyesuaikan diri dan aktif dalam lingkungannya, serta memiliki kesatuan kepribadian yang disebut Shek (1992) sebagai psychological well-being. Keadaan sehat secara mental, kebahagiaan, serta kepuasaan hidup sangatlah penting bagi pensiunan untuk dapat menjalani masa tuanya dengan baik.

Perubahan-perubahan yang telah dijelaskan diatas, dialami pula oleh pensiunan POLRI. Pada masa aktif kerja, anggota POLRI patut bangga akan status sosialnya. Mereka dipandang oleh masyarakat sebagai bagian dari instansi hukum tertinggi negara, memakai seragam yang sangat familiar oleh masyarakat, mempunyai pangkat dan jabatan, serta mendapatkan fasilitas-fasilitas tertentu dari negara karena masuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ryff (1995) mengatakan bahwa individu yang mempunyai status pekerjaan yang baik, status ekonomi yang baik dan pendidikan yang tinggi akan mempunyai psychological well-being yang tinggi. Anggota POLRI juga dikenal dengan pekerja dengan jadwal yang padat. Dedikasinya pada negara dan masyarakat membuat mereka rela untuk pergi pagi dan pulang malam, serta meninggalkan keluarga di hari libur demi menjalankan tugas-tugasnya sebagai anggota POLRI. Namun, semua itu akan terlepas ketika mereka memasuki masa pensiun.

(12)

tuntutan kerja, pensiun juga merupakan perubahan karir dari yang meninggalkan sesuatu menjadi memulai sesuatu yang baru (Schlossberg, 2004). Menurut Pasal 30 Ayat (2) UUD Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa usia pensiun maksimum anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah 58 tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 tahun. Menjadi pensiun dapat membuat individu merasa senang karena terbebas dari beban pekerjaan. Namun, disisi lain pensiun dapat menyebabkan tekanan karena telah meninggalkan pekerjaan, pendapatan maupun partisipasi sosial di dunia kerja menurun (Wegman & Mcgee, 2004).

Tidak jarang faktor ekonomi menjadi penyebab rendahnya psychological well-being pada pensiunan. Karena di masa pensiun, individu tidak lagi mendapatkan gaji penuh seperti yang didapatkannya pada saat aktif kerja. Menurut Ryff (1999), individu miskin cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain sebagai orang yang tidak beruntung dan merasa tidak mampu untuk memperoleh sumber daya yang bisa menyesuaikan kesenjangan yang dirasakan. Oleh karena itu, individu yang memiliki status ekonomi yang rendah cenderung memiliki psychological well-being yang rendah, sebaliknya individu yang mempersiapkan dengan baik tabungan pensiunnya dan mempunyai status ekonomi yang baik cenderung memiliki psychological well-being yang baik.

Faktor status sosial pun juga mempunyai pengaruh pada psychological well-bing pensiunan POLRI. Pangkat dan jabatan yang diperoleh pada masa kerja, tidak lagi mereka dapatkan pada saat pensiun. Status sosial erat kaitannya dengan penerimaan diri dan tujuan hidup. Ketika individu tidak mampu menerima dirinya secara keseluruhan dan tidak mempunyai pandangan terhadap tujuan dan arah hidupnya setelah pensiun, maka psychological well-beingnya menjadi rendah. Tidak jarang pensiunan yang merasa tertekan karena perubahan dalam status sosial ketika memasuki masa pensiun.

Dalam menjalani masa pensiun dengan begitu banyak perubahan yang dialami dalam hidupnya, para pensiunan memerlukan dukungan sosial dari orang disekitarnya, dimana dukungan sosial ini merupakan salah satu faktor dari psychological well-being. Menurut Dzuka & Dalbert (2000), dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa yang lebih tua dengan berfokus kepada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan peran penting dalam dukungan sosial. Hal ini berarti bahwa dukungan sosial sangat penting bagi para pensiunan untuk tetap merasa sejahtera secara psikologis di masa tuanya. Dukungan sosial dapat diperoleh melalui partisipasi sosial. Di dalam partisipasi sosial, individu akan mendapatkan dukungan sosial mulai dari lingkup kecil seperti keluarga hingga lingkup besar seperti perkumpulan atau organisasi. Di masa pensiun, dukungan sosial sangat diperlukan oleh para pensiunan.

(13)

antara usia 16 atau 74 yang kelangsungan hidupnya dipantau dari tahun 1983 sampai akhir tahun 1991 menemukan bahwa orang yang melaporkan sering menghadiri atau berpartisipasi dalam acara-acara kebudayaan, diukur dari segi menghadiri teater dan musik pertunjukan, lebih mungkin untuk bertahan hidup (Bygren et al. 1996).

Di Indonesia, partisipasi sosial yang biasanya dilakukan oleh pensiunan ialah partisipasi sosial seperti mengikuti pengajian, paduan suara di gereja, arisan, PKK, ronda malam, posyandu, dan masih banyak lagi. Salah satu tempat dimana para pensiunan yang notabene adalah lansia melakukan partisipasi sosial adalah posyandu lansia. Posyandu lansia adalah tempat pelayanan kesehatan yang diperuntukkan oleh penduduk lansia. Selain pelayanan kesehatan, posyandu lansia ini juga memberikan pelayanan sosial, agama, pendidikan, keterampilan, olahraga, seni budaya, dan pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh para lansia untuk peningkatan kesehatan dan kesejahteraan hidup (Pusat Data dan Informasi, 2014). Untuk para pensiunan POLRI, terdapat organisasi yang menaungi mereka dalam hal partisipasi sosial, yaitu Perkumpulan Pensiunan POLRI (PP POLRI). Di Malang, para pensiunan POLRI yang tergabung dalam PP POLRI rutin mengadakan pertemuan bulanan dalam rangka untuk menjalin silaturahmi dan menjalankan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan organisasi tersebut. PP POLRI cabang Malang yang terdiri dari 5 ranting ini, mempunyai kegiatan masing-masing seperti arisan, pengumpulan uang kas yang akan digunakan untuk membantu teman yang sakit atau yang meninggal, dan masih banyak lagi. Dengan partisipasi sosial, para pensiunan dapat melakukan kontak sosial dan mendapatkan dukungan sosial sehingga psychological well-being mereka menjadi baik.

Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada (2016), partisipasi sosial mengacu pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan seperti menjadi relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, kegiatan politik dan kegiatan rekreasi adalah bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif dalam partisipasi sosial. Hal ini dikarenakan, dengan adanya partisipasi sosial mereka dapat mendapatkan kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan pendapat Santrock (2011) bahwa di masa tuanya, banyak lansia pensiunan yang memilih bekerja tanpa dibayar, seperti menjadi sukarelawan atau menjadi partisipan aktif dalam asosiasi sukarela. Pilihan ini memberikan peluang kepada mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang produktif, menjalin interaksi sosial dan memperoleh identitas positif.

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin mengetahui apakah partisipasi sosial mempunyai hubungan dengan psychological well-being pada pensiunan POLRI. Kenapa harus pensiunan POLRI? Karena pada masa aktif kerja, anggota POLRI mempunyai aktivitas yang cukup padat dalam kesehariannya yang berkaitan dengan masyarakat, selain itu dengan menjadi anggota POLRI mempunyai suatu kebanggaan bagi mereka karena mempunyai status sosial ekonomi yang baik. Namun, pada masa pensiun para pensiunan anggota POLRI mengalami perubahan aktivitas dan juga perubahan status sosial ekonomi. Perubahan-perubahan tersebut yang membuat penulis ingin menjadikan pensiunan POLRI sebagai subjek penelitian. Alasan peneliti melakukan penelitian ini karena peneliti ingin membuktikan apakah penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di luar negeri terjadi juga di Indonesia khususnya pada pensiunan POLRI ataukah sebaliknya tanpa melakukan partisipasi sosial pensiunan POLRI tetap merasakan kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian yang

(14)

Psychological Well-Being

Konsep awal psychological well-being didasarkan pada teori psikologi perkembangan dan psikologi klinis. Teori tersebut menekankan pada potensi yang dimiliki individu untuk dapat memiliki hidup yang bermakna, menjalin hubungan yang berkualitas, dan dapat merealisasikan dirinya untuk menghadapi tantangan hidup (Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002). Selanjutnya Ryff dan Keyes (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara keseluruhan. Ketika seseorang pasrah terhadap keadaan maka psychological well-being menjadi rendah, sebaliknya ketika seseorang berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya maka psychological well-being menjadi tinggi. Selain itu, psychological well-being juga didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu menentukan dan membuat keputusan atas hidupnya sendiri tanpa bergantung pada orang lain, dapat mengatur dan menciptakan lingkungan yang kompatibel dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dapat membuat hidupnya bermakna, dan mampu mengembangkan dirinya (Ryff, 1989). Kondisi-kondisi tersebut dijadikan patokan untuk menentukan dimensi-dimensi psychological well-being.

Dimensi-dimensi Psychological Well-Being

Ryff (1995) menyatakan terdapat enam dimensi yang membentuk psychological well-being, yaitu:

1. Penerimaan diri (self acceptance)

Penerimaan diri adalah kemampuan seseorang untuk menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa sekarang maupun pada masa lalunya. Seseorang yang menilai dirinya secara postif adalah orang yang dapat memahami dan menerima berbagai aspek dalam dirinya, mampu mengaktualisasikan diri, berfungsi secara optimal, dan bersikap positif atas kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya seseorang yang menilai dirinya secara negatif adalah orang yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap kondisinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di masa lalunya, ingin menjadi orang lain atau tidak menerima dirinya dengan apa adanya.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Hubungan positif adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan yang baik dengan orang lain disekitarnya. Seseorang yang memiliki hubungan positif yang tinggi, mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain, memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, mampu menunjukkan empati dan afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sedangkan seseorang yang memiliki hubungan positif yang rendah, akan terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, serta tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain

3. Otonomi (autonomy)

(15)

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang tinggi, akan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan, seperti memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, dan mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sedangkan seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan rendah, akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungannya, dan tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang terdapat pada lingkungan sekitarnya

5. Tujuan hidup (purpose of life)

Tujuan hidup adalah pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, mempunyai keyakinan dalam mencapai tujuan hidupnya dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Seseorang yang memiliki tujuan hidup yang tinggi, akan memiliki tujuan dan arah dalam menjalani kehidupan, merasakan arti dalam kehidupan masa kini dan masa lampau yang telah dijalaninya. Sedangkan seseorang yang memiliki tujuan hidup rendah, akan kehilangan makna hidup, tidak mempunyai cita-cita yang jelas, tidak melihat arti dari kehidupan yang dijalaninya, serta tidak mempunyai harapan dan kepercayaan pada hidup

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Pertumbuhan pribadi adalah kemampuan seseorang untuk berkembang. Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang tinggi, akan memandang dirinya sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan menyadari potensi yang dimiliki dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang rendah, akan mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being yaitu: 1. Usia

(16)

2. Gender

Dalam hasil penelitiannya, Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi, perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki karena kemampuan perempuan dalam berinteraksi dengan lingkungan lebih baik dibanding dengan laki-laki. Sebagian besar keluarga, sejak kecil telah menanamkan sikap agresif, kuat, kasar, dan mandiri pada laki-laki, sedangkan pada perempuan ditanamkan sikap pasif, tidak berdaya, dan sensitif terhadap perasaan orang lain sehingga hal-hal seperti ini terbawa sampai anak menjadi dewasa. Sebagai sosok yang sensitive terhadap perasaan orang lain, perempuan terbiasa untuk membina hubungan baik dengan orang lain untuk menciptakan keadaan yang harmoni. Hal ini yang menyebabkan perempuan memiliki psychological well-being yang tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain karena perempuan dapat mempertahankan hubungan baik dengan orang lain yang disebabkan sikap sensitif yang dimilikinya (Papalia & Feldman, 2008).

3. Status Sosial Ekonomi

Ryff mengatakan bahwa status sosial ekonomi erat kaitannya dengan dimensi penerimaan diri dan tujuan hidup. Perbedaan status sosial ekonomi dalam psychological well-being akan berdampak pada kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Beberapa penelitian mendukung pendapat ini, dimana individu-individu yang mempunyai pendidikan yang tinggi dan status pekerjaan yang baik, akan mempunyai psychological well-being yang tinggi (Ryan & Deci, 2001; Ryff & Singer, 2008). Mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi akan memiliki perasaan yang lebih positif dibandingkan mereka yang mempunyai status sosial dan ekonomi yang rendah.

4. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak pada psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan, menunjukkan bahwa budaya barat (Amerika) menjunjung tinggi nilai individualisme memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur (Korea Selatan) yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

5. Kepribadian

Berdasarkan hasil penelitian dari Keyes, Shmotkin, dan Ryff (2002) menyatakan bahwa trait kepribadian neuroticism, extraversion, dan conscientiousness merupakan prediktor yang kuat untuk dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan tujuan hidup. Trait kepribadian lainnya seperti openness to experience untuk dimensi pertumbuhan pribadi, dan agreeableness untuk dimensi hubungan dengan orang lain.

6. Dukungan Sosial

(17)

Partisipasi Sosial

Prohaska, Anderson dan Binstock (2012) mengungkapkan bahwa definisi keterlibatan sosial atau partisipasi sosial secara umum digunakan untuk merujuk kepada partisipasi seseorang dalam kegiatan suatu kelompok sosial. Mereka mencatat bahwa istilah tidak selalu digunakan secara konsisten dalam sastra, dan kadang-kadang dapat terjadi kebingungan karena terdapat beberapa istilah yang mirip (tapi berbeda) dalam ilmu-ilmu sosial. Contohnya seperti keterlibatan sosial berbeda dengan konsep jaringan sosial, jaringan sosial berfokus pada kelompok, bukan pada kegiatan. Di Indonesia, partisipasi sosial (social participation) lebih dikenal dengan keterlibatan sosial atau partisipasi masyarakat. Istilah partisipasi sosial lebih familiar di luar negeri.

Secara kesuluruhan, konsep utama pada partisipasi sosial ini didasarkan bahwa pada dasarnya partisipasi sosial memerlukan suatu kontak sosial, serta menunjukkan kontribusi sumber daya yang diberikan kepada masyarakat, dan menerima sumber daya dari masyarakat (Levasseur, 2008). Jadi, pada dasarnya dalam partisipasi sosial, terjadi hubungan timbal balik baik secara materi maupun psikologis. Partisipasi sosial dilakukan dengan sukarela dengan bergabung dalam suatu kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut bisa dalam kelompok politik seperti ikut berpartisipasi dalam pemilu, kelompok kesehatan seperti ikut berpartisipasi di puskesmas, dan kelompok sosial seperti mengikuti bakti sosial.

Selain itu, Cicognani dkk (2008) mengatakan bahwa partisipasi sosial sering dijadikan sebagai sarana untuk melakukan pembebasan, pemberdayaan dan pergerakan sosial. Oleh karena itu, partisipasi sosial diyakini memiliki unsur-unsur yang menyenangkan karena dapat meningkatkan hubungan sosial dengan orang lain.

Partisipasi sosial dapat dilihat dari frekuensinya dalam mengikuti aktivitas-aktivitas yang behubungan dengan kehidupan sehari-hari (Gilmour, 2012). Berikut adalah frekuensi partisipasi yang masuk dalam klasifikasi partisipasi mingguan:

1. Kegiatan yang dilakukan diluar rumah bersama dengan keluarga dan teman. 2. Melakukan kegiatan keagamaan yang ada di lingkungan sekitar.

3. Melakukan kegiatan fisik atau olahraga dengan orang lain.

4. Aktivitas rekreasi yang berhubungan dengan orang lain, seperti melakukan hobbi dan juga permainan-permainan lainnya.

Berikut adalah frekuensi partisipasi sosial yang masuk dalam klasifikasi partisipasi bulanan: 1. Kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, kegiatan budaya yang berkaitan dengan

orang lain, menonton konser, dan lain-lain.

2. Mengikuti klub pelayanan kesehatan seperti kegiatan di puskesmas atau rumah sakit. 3. Mengikuti komunitas profesional di lingkungan rumah seperti perkumpulan sesama

rekan kerja, ataupun kegiatan PKK.

4. Turut serta dalam kegiatan suka rela dan kegiatan amal bantuan.

Hubungan Partisipasi Sosial dan Psychological Well-Being

(18)

enerjik, dan produktif, maka mereka akan lebih baik di masa tuanya daripada mereka dijauhkan dari masyarakat (Neugarten dkk, 1968). Hal ini pula yang dialami pensiunan POLRI. Pada masa bekerja, mereka mempunyai jadwal yang padat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sering berhubungan dengan masyarakat, dan aktif untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tugas kepolisian. Ketika mereka telah pensiun, tentunya mereka tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang pernah mereka lakukan selama bekerja, tidak ada lagi tanggung jawab pekerjaan yang mereka harus laksanakan. Oleh karena itu, dengan adanya partisipasi sosial yang mereka lakukan di masa tuanya, akan meningkatkan kesejahteraannya. Bukan hanya dalam kesejahteraan, tetapi juga dalam aspek kesehatan. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian dikemukakan bahwa menjadi sukarelawan dapat mengurangi keringkihan pada orang lanjut usia (Jung dkk, dalam Santrock, 2011). Selanjutnya dalam penelitian lain, relawan lansia melakukukan lebih banyak jam dalam aktivitas sukarela dibandingkan relawan muda. Lansia dengan kemanusiaan dan pemikiran sosial yang tinggi cenderung untuk menjadi sukarelawan, dan terdapat bukti bahwa terjadi hubungan timbal balik antara melakukan kegiatan sukarela dan kesejahteraan. (Howell, 2010). Selain itu, menurut Employment and Social Development Canada, partisipasi sosial mengacu pada keterlibatan sosial masyarakat dan interaksi dengan orang lain. Kegiatan seperti menjadi relawan, bakti sosial (baksos), berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, kegiatan politik dan kegiatan rekreasi semua bentuk partisipasi sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Canada, masyarakat Canada merupakan masyarakat yang sangat aktif dalam partisipasi sosial. Hal ini dikarenakan dengan partisipasi sosial mereka dapat mendapatkan kesejahteraan.

Psychological well-being tidak serta merta terjadi karena adanya partisipasi sosial. Salah satu faktor psychological well-being yang berkaitan dengan partisipasi sosial ialah dukungan sosial. Bagi orang dengan usia lanjut, dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental karena dengan adanya dukungan sosial akan tercipta rasa nyaman dan perasaan dihargai. Dukungan sosial bisa didapatkan dari pasangan, keluarga, teman, dokter, maupun organisasi sosial (Pratiwi, 2000). Dukungan sosial dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa yang lebih tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan peran penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka & Dalbert, 2000). Contoh dalam lingkup kecil bahwa dukungan sosial terdapat dalam partispasi sosial ialah seperti mengikuti arisan keluarga. Dengan adanya dukungan dari keluarga dan tidak adanya diskriminasi oleh pihak keluarga karena usia yang sudah tua dan kondisi fisik yang telah ringkih, pensiunan merasa dihargai dan akan merasa nyaman untuk mengikuti arisan keluarga tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, partisipasi sosial erat kaitannya dengan psychological well-being karena dalam faktor psychological well-well-being terdapat salah satu faktor yang berkaitan dengan partisipasi sosial, yaitu dukungan sosial. Oleh karena itu, dengan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti menjadi sukarelawan atau ikut berperan dalam suatu kegiatan, pensiunan juga akan mendapatkan dukungan sosial sehingga akan meningkatkan psychological well-being pada pensiunan POLRI.

Hipotesa

(19)

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan sebuah penelitian yang identik dengan punggunaan angka-angka dan pengolahannya juga menggunakan analisis statistik sehingga dilakukan interpretasi terhadap angka-angka tersebut (Sugiyono, 2012). Pendekatan kuantitatif umumnya merupakan penelitian yang mempunyai jumlah sampel besar. Berdasarkan karakteristik penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional dimana penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel partisipasi sosial dan variabel psychological well-being.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah pensiunan POLRI di Kota Malang yang tergabung dalam PP POLRI dan mulai pensiun pada usia pensiun yang telah ditetapkan yaitu 58 tahun (bukan pensiun dini). Jumlah subjek dalam penelitian ini ialah 80 orang pensiunan POLRI. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling, yaitu purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang didasarkan pada tujuan tertentu, namun harus memperhatikan kriteria atau ciri-ciri yang dapat menggambarkan populasi. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu keterbatasan waktu, dana, dan tenaga sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar (Arikunto, 2013)

Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah partisipasi sosial, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah psychological well-being. Partisipasi sosial adalah keikutsertaan individu dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat yang dilakukan satu kali atau lebih dengan jangka waktu sebulan ataupun setahun, seperti kegiatan keagamaan, kesehatan, olahraga, dll. Sedangkan psychological well-being adalah upaya individu untuk mengoptimalkam potensi yang ada dalam dirinya yang didasarkan pada penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan, hidup, dan pertumbuhan pribadi agar hidupnya lebih bermakna.

Pada penelitian ini, psychological well-being dapat diukur dengan menggunakan Ryff’s scales of Psychological Well-being (Ryff, 1989). Skala ini berbahasa asli bahasa Inggris, namun telah dialih bahasa oleh peneliti dan beberapa orang teman yang ahli dalam bahasa Inggris menjadi bahasa Indonesia. Skala yang diciptakan Ryff ini menerangkan tentang 6 dimensi, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Skala ini sebenarnya terdiri dari 54 item yang dalam jurnal Amalia dan Fitriana (2015), mengukur psychological well-being pada lansia dengan reliabilitas 0,845 dan validitas >0,30. Namun dalam pelaksanaan try out, peneliti mengurangi 2 item pada masing-masing dimensinya dikarenakan adanya bias budaya sehingga menjadi 42 item. Setelah pelaksanaan try out, didapatkan 28 item yang valid dan layak digunakan dalam penelitian.

(20)

sosial. Dalam skala ini juga dibutuhkan aspek-aspek sebagai tolak ukur dalam pembuatan item-item. Jawaban dari setiap item mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif (Sugiyono, 2014). Alat ini memiliki 6 variasi respon, yaitu dimulai dengan STS (sangat tidak setuju) sampai dengan SS (sangat setuju). Alat ukur ini juga terdiri dari item favorable dan unfavorable, dimana terdapat 13 item favorable dan 15 item unfavorable. Item favorable akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan SS yaitu sangat setuju, skor 5 jika menjawab pilihan S yaitu setuju, begitu seterusnya. Sedangkan item unfavorable merupakan kebalikan dari item favorable, yaitu akan mendapat skor 6 jika menjawab pilihan STS yaitu sangat tidak setuju, akan mendapat skor 5 jika menjawab pilihan TS yaitu tidak setuju, begitu seterusnya.

Tabel 1. Cara Skoring

Variasi Respon Skor Favorable Skor Unfavorable

STS : Sangat Tidak Setuju 1 6

Alat ukur kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Participation Scale (SPS) yang digunakan untuk mengukur partisipasi sosial. Social Participation Scale (SPS) dibuat oleh peneliti dan rekan-rekan payung penelitian partisipasi sosial dengan berpedoman pada teori dari Gilmour (2012) yang terdiri dari 7 jenis kegiatan, yaitu kegiatan yang dilakukan diluar rumah, kegiatan keagamaan, kegiatan olahraga atau aktivitas fisik, kegiatan rekreasi, kegiatan pelayanan kesehatan, kegiatan komunitas professional di lingkungan sekitar, dan kegiatan sukarela atau volunteer. Teori Gilmour ini sebenarnya memiliki 8 aspek, tetapi karena salah satu aspeknya yaitu budaya dan pendidikan memiliki bias budaya maka aspek tersebut tidak digunakan dalam skala ini. Dalam pelaksanaan try out, skala ini terdiri dari 30 item yang terdiri dari dua bagian, yaitu 4 jenis kegiatan dengan frekuensi bulanan dan 3 jenis kegiatan dengan frekuensi tahunan. Setelah try out dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan validasi dan mendapatkan 13 item yang valid dan layak untuk digunakan dalam penelitian.

(21)

Tabel 2. Cara Skoring Bulanan

Variasi Respon Skor Favorable Skor Unfavorable

SS : Sangat Sering / 4 kali dalam

Variasi Respon Skor Favorable Skor Unfavorable

SS : Sangat Sering / 10-12 kali

Setelah peneliti melakukan uji try out pada skala psychological well-being dan partisipasi sosial, dapat diketahui indeks validitas dan indeks reliabilitas masing-masing skala, berikut hasilnya:

Tabel 4. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian

Alat Ukur Jumlah Item

Berdasarkan Tabel 4 diperoleh hasil try out Ryff’s scales of Psychological Well-being dengan 42 item yang diujikan terdapat 28 item yang valid dan 14 item yang gugur dengan indeks validitas 0,294 - 0,704 sedangkan Social Participation Scales dengan 30 item yang diujikan terdapat 13 item yang dinyatakan valid dan 17 item yang gugur dengan indeks validitas 0,303

(22)

Tabel 5. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian

Alat Ukur Indeks Reliabilitas

Ryff’s scales of Psychological Well-being 0,907

Social Participation Scales 0,813

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh Ryff’s scales of Psychological Well-being mempunyai indeks validitas 0,907 dan Social Participation Scales mempunyai indeks validitas 0,813 yang berarti kedua alat ukur tersebut reliabel, dimana alat ukur yang reliabel mempunyai cronbach alpha

≥ 0,60. Menurut Sekaran (1992), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik.

Prosedur dan Analisa Data Penelitian

Prosedur awal dalam penelitian ini ialah penyusunan instrumen penelitian berupa social participation scales dan Ryff’s scales of psychological well-being (telah dialih bahasa kedalam bahasa Indonesia) yang di dalamnya terdapat item-item yang mewakili setiap aspeknya. Kedua instrumen ini digunakan untuk mengungkap variabel-variabel yang akan diukur dalam mendukung pengujian hipotesis dari peneliti. Setelah kedua instrumen siap, maka peneliti selanjutnya melakukan uji try out yang dilaksanakan pada Desember 2015 – Januari 2016 kepada pensiunan POLRI sebanyak 50 orang. Instrumen berupa skala tersebut disebarkan kepada pensiunan POLRI yang menjadi anggota dalam organisasi PP POLRI dan PEPABRI. Terdapat dua metode yang digunakan dalam pengisian skala pada uji try out ini, yaitu pembacaan dan pengisian skala yang dilakukan oleh peneliti dan pengisian skala yang dilakukan oleh subjek sendiri. Kedua metode tersebut tidak ditentukan oleh peneliti, tetapi ditentukan oleh subjek berdasarkan kemampuannya. Jika subjek tidak mampu membaca dan mengisi sendiri maka peneliti akan membacakan sekaligus mengisi pilihan jawaban subjek, tugas subjek hanya menjawab secara verbal saja. Jumlah item skala yang di try out sebanyak 30 item untuk social participation scales dan 42 item untuk Ryff’s scales of psychological well-being, total keseluruhan item dalam pelaksanaan try out adalah 72 item. Setelah melakukan try out, selanjutnya peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan SPSS for windows versi 21 dan mendapatkan 13 item social participation scales serta 28 item Ryff’s scales of psychological well-being yang dinyatakan valid.

Prosedur selanjutnya ialah melakukan penelitian dengan menyebarkan social participation scales dan Ryff’s scales of psychological well-being yang telah diuji validitas dan reliabilitas kepada pensiunan POLRI pada Januari – Maret 2016 di 5 Ranting PP POLRI Cabang Malang, yaitu Ranting Lowokwaru, Ranting Klojen, Ranting Sukun, Ranting Kedungkandang dan Ranting Blimbing. Proses penyebaran skala dilakukan dengan mengikuti perkumpulan rutin yang diadakan setiap bulan pada masing-masing ranting, skala yang dibagikan akan dibawa pulang oleh subjek, dan akan diambil kembali pada pertemuan berikutnya. Selain itu, peneliti bersama sekretaris PP POLRI mendatangi beberapa rumah anggota PP POLRI yang berhalangan hadir pada pertemuan rutin untuk membagikan skala. Skala yang disebar sebanyak 91 skala dan kembali sebanyak 80 skala.

(23)

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada 80 pensiunan POLRI pada 5 ranting PP POLRI di cabang Malang diperoleh beberapa hasil penelitian pada subjek terkait dengan partisipasi sosial dan psychological well-being yang digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 6. Karakteristik Subjek Penelitian

Kategori Jumlah Persentase (%)

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa jenis kelamin laki-laki berjumlah 48 subjek (60%) dan perempuan sebanyak 32 subjek (40%). Selanjutnya, subjek dengan pangkat terakhir perwira berjumlah 38 subjek (47,5%) dan bintara sebanyak 42 subjek (52,5%).

Tabel 7. Korelasi Partisipasi Sosial dengan Psychological Well-being

Koefisien Korelasi (r) Indeks Analisis

Koefisien korelasi (r) 0,290

Koefisien determinasi (r²) 0,084

P (nilai signifikansi) 0,009

Taraf kemungkinan kesalahan 0,01 (1%)

Berdasarkan hasil analisis korelasi pada tabel diatas, didapatkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,290 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara partisipasi sosial dengan psychological well-being. Kemudian, didapatkan juga nilai signifikansi (p) 0,009 < 0,01 yang berarti bahwa kedua variabel menunjukkan hubungan positif yang signifikan dengan taraf kesalahan (alpha) 0,01. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hipotesis penelitian diterima, artinya terdapat korelasi positif antara partisipasi sosial dengan psychological well-being pada pensiunan POLRI, yang berarti semakin tinggi partisipasi sosial, maka semakin tinggi pula psychological well-being, begitupun sebaliknya. Adapun sumbangan efektif variabel partisipasi sosial terhadap psychological well-being sebesar 8,4% yang ditunjukkan koefisien determinasi r2 = 0,084 dan sisanya sebesar 91,6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Tabel 8. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being

Kategori Interval Partisipasi Sosial Psychological Well-being

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%)

Tinggi T-skor > 50 46 57,5 39 48,75

Rendah T-skor < 50 34 42,5 41 51,25

Total 80 100 80 100

(24)

57,5% yang masuk dalam kategori tinggi dan 34 subjek atau 42,5% yang masuk dalam kategori rendah. Sedangkan pada psychological well-being, kategori tinggi lebih sedikit dibandingkan dengan kategori rendah. Terdapat 39 subjek atau 48,75% yang masuk dalam kategori tinggi dan 41 subjek atau 51,25% yang masuk dalam kategori rendah.

Tabel 9. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being Berdasarkan Jenis Kelamin

Kategori Jumlah Partisipasi Sosial Psychological Well-being

Mean Sig Mean Sig

Laki-laki 48 45,94 0,514 127,23 0,539

Perempuan 32 47,13 125,78

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki mempunyai rata-rata partisipasi sosial lebih rendah daripada perempuan dengan nilai signifikansi 0,514 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata partisipasi sosial laki-laki dan perempuan. Hal yang sama juga terjadi pada psychological well-being dimana laki-laki mempunyai rata-rata psychological well-being lebih tinggi daripada perempuan dengan nilai signifikansi 0,539 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata psychological well-being laki-laki dan perempuan.

Tabel 10. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being Berdasarkan Pangkat

Kategori Jumlah Partisipasi Sosial Psychological Well-being

Mean Sig Mean Sig

Perwira 38 47,13 0,438 125,87 0,520

Bintara 42 45,76 127,36

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa perwira mempunyai rata-rata partisipasi sosial lebih tinggi daripada bintara dengan nilai signifikansi 0,438 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata partisipasi sosial perwira dan bintara. Tetapi perwira mempunyai rata-rata psychological well-being lebih rendah daripada bintara dengan nilai signifikansi 0,520 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata psychological well-being perwira dan bintara.

DISKUSI

(25)

Hasil penelitian ini yang menemukan bahwa partisipasi sosial mempunyai korelasi positif dengan psychological well-being didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Jung dkk, (dalam Santrock, 2011) bahwa adanya partisipasi sosial yang dilakukan para dewasa akhir di masa tuanya, akan meningkatkan kesejahteraannya. Bukan hanya kesejahteraan, tetapi juga meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu kontak sosial yang dilakukan dalam berbagai kegiatan yang dilakukan akan membuat para pensiunan merasa lebih baik secara fisik maupun psikologis. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli tentang teori aktivitas, mereka menyatakan bahwa semakin besar aktivitas dan keterlibatan individu usia lanjut, maka semakin puas mereka terhadap kehidupannya. Para peneliti juga menemukan bahwa apabila seseorang aktif, enerjik, dan produktif, maka mereka akan lebih baik di masa tuanya daripada mereka dijauhkan dari masyarakat (Neugarten dkk, 1968). Salah satu cara agar para pensiunan tetap melakukan aktivitasnya dan selalu merasa dekat dengan masyarakat ialah dengan partisipasi sosial. Adapun kegiatan partisipasi sosial yang biasanya dilakukan oleh pensiunan POLRI ialah mengunjungi sanak saudara, mengikuti arisan, mengikuti pengajian atau kegiatan keagamaan, mengikuti senam atau kegiatan olahraga lainnya, melakukan rekreasi, mengikuti posyandu lansia atau pelayanan kesehatan lainnya, serta menghadiri pertemuan rutin bulanan PP POLRI. Hal ini diperkuat oleh Cicognani (2008) yang menyatakan bahwa suatu keterlibatan individu yang di dalamnya terdapat suatu interaksi dengan orang lain, dapat dimulai dalam suatu kelompok kecil hingga pada kelompok besar sehingga peran individu dalam suatu kegiatan kelompok dan frekuensi dalam mengikuti suatu kegiatan dapat mempengaruhi bagaimana partisipasi sosial yang dimiliki individu.

Selanjutnya, berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Gilmour (2012) pada Canadian Senior ialah mayoritas orang-orang tua di Canada (80%) sering berpartisipasi setidaknya dalam satu kegiatan sosial. Banyaknya waktu luang yang dimiliki para pensiunan akan sangat memungkinkan untuk lebih sering mengikuti partisipasi sosial. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam partisipasi sosial ialah partisipasi sosial memerlukan suatu kontak sosial, memberikan kontribusi dan menerima sumber daya yang telah dilakukan (Levasseur, 2008). Dalam hal ini sumber daya yang diterima tidak selalu materi, tetapi kebanyakan dalam hal psikologis. Oleh karena itu, partisipasi sosial dilakukan dengan sukarela, meskipun terkadang untuk mengikuti partisipasi sosial tidak selalu berdasarkan keinginan sesndiri namun bisa saja karena ajakan orang lain.

Partisipasi sosial yang dilakukan oleh Canadian Senior tersebut ialah untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya sehingga dapat mencapai kesejahteraan psikologis. Dengan melakukan partisipasi sosial juga, mereka akan mencegah ataupun mengurangi depresi mayor yang biasanya dialami orang dewasa akhir. Kemudian, menurut Kim dan Moen (2002) pensiun dapat menyebabkan berkurangnya kesejahteraan psikologis, karena individu mengalami kehilangan keterikatan kerja, jaringan sosial, rekan kerja, dan identitas utama mereka. Oleh karena itu, partisipasi sosial sangat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan para pensiunan dimana melalui partisipasi sosial mereka akan mendapatkan jaringan sosial yang baru diluar lingkungan kerja terdahulu.

(26)

keluarga, teman, dokter, maupun organisasi sosial akan meningkatkan psychological well-being (Davis dalam Pratiwi, 2000). Dukungan sosial juga dapat memfasilitasi kesejahteraan di masa dewasa yang lebih tua dengan berfokus pada orang-orang terdekat yang mungkin akan memainkan peran penting dalam pemanfaatan dukungan sosial (Dzuka, J. & Dalbert, C., 2000). Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa partisipasi sosial sangat berperan dalam meningkatkan psychological well-being pada orang tua dewasa akhir, dalam hal ini pensiunan POLRI termasuk didalamnya.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa partisipasi sosial dapat meningkatkan psychological well-being pensiunan POLRI, namun psychological well-being tidak semata-mata muncul karena partisipasi sosial, terdapat faktor lain yang menjadi perantaranya. Hal ini dikarenakan dalam melakukan partisipasi sosial, tentu saja di dalamnya terdapat interaksi sosial yang dilakukan individu dengan orang lain, misalnya dalam cakupan sempit seperti keluarga dan teman, ataupun dalam cakupan luas, seperti suatu perkumpulan dan masyarakat. Interaksi sosial yang dilakukan akan memunculkan dukungan sosial dimana dukungan sosial merupakan salah satu faktor psychological well-being. Terdapat beberapa contoh dukungan sosial yang diberikan dalam partisipasi sosial di perkumpulan PP POLRI, salah satunya para pensiunan tiap bulannya mengumpulkan uang yang nantinya uang tersebut akan dipakai ketika ada salah satu anggota yang tertimpa musibah. Contoh lain ialah pada saat ada anggota yang baru saja bergabung di PP POLRI, pensiunan yang merupakan anggota baru tersebut akan disambut dan diterima dengan baik pada saat pertemuan sehingga menimbulkan rasa nyaman serta perasaan dihargai yang mana hal tersebut merupakan dukungan sosial. Contoh-contoh tersebut merupakan beberapa Contoh-contoh dukungan sosial yang terdapat dalam partisipasi sosial di lingkungan PP POLRI dan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan psychological well-being. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa psychological well-being akan muncul apabila seseorang melakukan partisipasi sosial.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak adanya informasi yang jelas tentang populasi subjek sehingga peneliti mengambil data populasi subjek dari organisasi yang menaungi pensiunan POLRI saja (PP POLRI). Kekurangan yang disadari peneliti pada saat itu ialah pensiunan diluar organisasi tersebut tidak terjamah. Tetapi karena peneliti tidak punya link untuk mencari para pensiunan polri yang berada diluar organisasi tersebut, maka peneliti hanya memakai subjek yang menjadi anggota dalam organisasi itu saja. Selain itu, proses penyebaran skala kurang maksimal karena subjek menolak untuk mengisi skala pada hari pertemuan dikarenakan alasan usia yang sudah tua, tidak bisa berpikir cepat, dan mudah lelah sehingga berdasarkan kesepakatan bersama yang lebih di dominasi oleh subjek maka subjek diperbolehkan untuk membawa pulang skala untuk diisi di rumah dan akan dikembalikan pada pertemuan bulan berikutnya. Kekurangan dengan metode pengisian seperti ini ialah, pada pertemuan berikutnya terdapat beberapa subjek yang tidak membawa skalanya dikarenakan lupa atau belum diisi semua.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

(27)

koefisien korelasi (r) sebesar 0.290. Selain itu, dilihat dari nilai signifikansi, p = 0,009 < 0,01 yang berarti partisipasi sosial memiliki hubungan positif yang signifikan dengan psychological well-being dengan taraf kesalahan (alpha) 0.01. Adapun hasil lain yang didapatkan pada penelitian ini adalah sumbangan efektif variabel partisipasi sosial terhadap psychological well-being yaitu sebesar 8,4% yang ditunjukkan dalam nilai koefisien determinasi (r² = 0.084) dan sisanya sebesar 91.6% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti di dalam penelitian ini.

Implikasi dari penelitian ini ialah bagi pensiunan POLRI diharapkan mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan partisipasi sosial seperti kegiatan keagamaan, olahraga, kesehatan, dll. Hal ini dimaksudkan agar partisipasi sosial yang dilakukan dapat meningkatkan psychological well-being pensiunan POLRI, dimana dalam partisipasi sosial terjadi kontak sosial yang akan memunculkan dukungan sosial. Dukungan sosial yang didapatkan berperan penting dalam kesejahteraan psikologis. Semakin sering mengikuti partisipasi sosial maka semakin baik pula psychological well-beingnya. Jika para pensiunan POLRI memiliki psychological well-being yang baik maka diharapkan mereka akan menjalani hidup dengan fisik dan mental yang sehat. Selain itu, para pensiunan POLRI sebaiknya mendaftarkan dirinya untuk bergabung dalam Persatuan Pensiunan POLRI (PP POLRI) agar dapat mengikuti perkumpulan rutin yang dilakukan setiap bulan sehingga partisipasi sosial tetap dilakukan. Partisipasi sosial akan membantu dalam mengurangi kecemasan dan depresi mayor yang biasanya dialami pensiunan sehingga di masa pensiunnya, pensiunan POLRI akan mendapatkan kesejahteraan psikologis.

Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan sampel yang lebih luas, bukan hanya di PP POLRI saja, tetapi dapat mencakup para pensiunan diluar PP POLRI. Peneliti selanjutnya juga dapat mengganti variabel Y dengan variabel lain yang dapat dihubungkan dengan partisipasi sosial. Selain itu, karena skala partisipasi sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala yang dibuat sendiri oleh peneliti dan rekan-rekan payung, diharapkan agar peneliti selanjutnya untuk menambahkan beberapa item pada aspek-aspek yang hanya mempunyai satu item agar alat ukur ini lebih baik lagi.

REFERENSI

Amalia, S. & Fitriana, E. (2015). Analisa Psikometrik Alat Ukur Ryff’s Psychological Well -being (RPWB) Versi Bahasa Indonesia: Studi Pada Lansia. Diambil dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2015/07/Analisa-Psikometrik-Alat-Ukur-RyffS-Psychological-Well-being.pdf Diakses pada tanggal 21 Oktober 2015

Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur penelitian : Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Bygren, L. O., B. Benson, and S.-E. Johansson (1996). Attendance at cultural events, reading books or periodicals, and making music or singing in a choir as determinants for

survival: Swedish interview survey of living conditions. British Medical Journal, 313, 1577–1580.

(28)

Darmawan, D. (2013). Metode penelitian kuantitatif. Bandung: Rosdakarya

Dzuka, J. & Dalbert, C. (2000). Well-being as a psychological indicator of health in old age: A research agenda. Studia Psychologica, 42, 61-70

Employment and Social Development Canada. (2016). Social participation – Overview. Diambil dari http://well-being.esdc.gc.ca/misme-iowb/d.4m.1.3n@-eng.jsp?did=16 Diakses pada tanggal 9 Mei 2016

Gilmour, Heather. (2012). Social participation and the health and well-being of Canadian Senior. Component of Statistics Canada Catalogue no. 82-003-X Health Reports

Havighurst, R. J. (1961). Human development and education. New York: David McKay Company, Inc.

Howell, N. M. (2010). Volunteering in later life: Research frontiers. The Journals of Gerontology Series B, 65, 461-469

Keyes, C. L., Shmotkin, D., Ryff, C. D. (2002). Optimizing Well-Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology 82, (6), 1007–1022.

Kim, J. E., & Moen, P. (2002). Retirement Transitions, Gender, and Psychological Well-Being: A Life-Course, Ecological Model. Journal of Gerontology: Psychological Sciences 2002, 57, (3), 212–222

Levasseur, M. (2008). Do quality of life, participation and environment of older adults differ according to level of activity?. Health Qual Life Outcomes. 6: 30.

Neugarten, B. L., Havighurst, R., & Tobin, S. (1968). Personality and patterns of aging. In B. Neugarten (Ed.), Middle Age and Aging. Chicago: University of Chicago Press.

Priyatno, D. (2012). Belajar cepat olah data statistik dengan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset.

Prohaska, T. R., Anderson, L. A., & Binstock, R. H. (2012). Public health for an aging society. Baltimore: The Johns Hopkins University Press

Ross, Murray G. (1967). Community organization, principle and practice, Second edition. New York: Harper and Row Publishers.

Ryan, R. M & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of a research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology. 52, 141-166.

(29)

Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4, (4), 99-104

Ryff, C. D. & Keyes, C. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, (4), 719–727

Ryff, C. D., Magee, W. J., Kling, K. C., Wing, E. H. (1999). Forging macro-micro linkages in the study of psychological well-being. In C.D Ryff & V.W Marshall (Eds.), The self and society in aging processes (pp. 247–78). New York: Springer

Ryff, C. D. & Singer, B. (2008). Know they self and become what you are: a eudaimonic approach to psychological well-being. Journals of Happiness Studies, 9, 13-39

Santrock, J. W. (1998). Life-span development (7th ed). New York: McGraw-Hill

Santrock, J. W. (2011). Life-span development. Perkembangan masa hidup edisi ketigabelas jilid II. Jakarta: Erlangga

Schlossberg, N. (2004). Retire smart, retire happy: Finding your true path in life. Washington, D.C: American Psychological Association.

Shek, D. (1992). Meaning in life and psychological well-being: an empirical study using the Chinese version of the purpose in life questionnaire. Journal of Genetic Psychology, 153, 185-190.

Thoits, P. A., and L. N. Hewitt. (2001). Volunteer work and well-being. Journal of Health and Social behavior, 42, 115-131

Turner, J. S., & Helms, D. B. (1995). Human development (5th ed). New York: McGraw-Hill

Sugiyono. (2014). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Papalia, D., Olds, S., Feldman, R. (2008). Human Development. New York: McGraw-Hill

Pratiwi, M. (2000). Gambaran kesejahteraan psikologis pada dewasa muda yang pernah menjadi anak panti asuhan (Studi Kasus SPWB pada 3 orang subjek). Depok: Fakultas Psikologi UI.

Prasojo, B.D. (2011). Kecemasan menghadapi masa pensiun pada pegawai kementrian agama yang istrinya bekerja dan tidak bekerja. Skripsi. Semarang: Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang.

Pusat Data dan Informasi. (2014). Situasi dan Analisis Usia Lanjut. Jakarta: Penulis

Wahyono. (2011). Dinamika fungsi kepolisian dan hubungannya dengan program perpolisian masyarakat.16 (3)

(30)
(31)

LAMPIRAN I

Blue Print

Skala Partisipasi Sosial

(32)

BLUE PRINT

4. Kegiatan rekreasi Melakukan kegiatan

rekreasi dan hobbi

olahraga dan aktifitas fisik

(33)

diluar rumah bersama orang lain

4. Kegiatan rekreasi Melakukan kegiatan

rekreasi dan hobbi bersama orang lain

- 4 1

5. Kegiatan pelayanan kesehatan

Mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan

10 12 2

6. Kegiatan komunitas profesional di lingkungan sekitar

Mengikuti kegiatan komunitas/organisasi di lingkungan sekitar

9 13 2

7. Kegiatan volunteer Mengikuti kegiatan amal dan suka rela

- 11 1

(34)

BLUE PRINT

Skala Psychological Well-being

Sebelum Try Out

No. Dimensi Indikator F UF Jumlah item

1. Penerimaan diri Sikap positif tentang

diri sendiri

4. Penguasaan lingkungan Mampu mengendalikan

dan bertindak dalam

6. Pertumbuhan pribadi Keinginan untuk terus berkembang dan

1. Penerimaan diri Sikap positif tentang

diri sendiri

4. Penguasaan lingkungan Mampu mengendalikan

dan bertindak dalam

6. Pertumbuhan pribadi Keinginan untuk terus berkembang dan memperbaiki diri

13, 19, 24 7, 16, 22 6

(35)

LAMPIRAN II

Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas

Skala Partisipasi Sosial

(36)
(37)
(38)

@13 37.42 44.820 .380 .807

@14 37.72 43.308 .347 .808

@15 39.24 42.921 .378 .806

@19 38.54 40.825 .370 .810

@24 38.94 38.751 .559 .791

@26 37.06 42.751 .528 .798

@27 37.84 38.504 .654 .782

(39)
(40)
(41)
(42)

@33 103.76 280.064 .393 .906

@38 103.62 276.526 .583 .903

@40 103.58 279.555 .468 .904

(43)

LAMPIRAN III

(44)
(45)

IDENTITAS RESPONDEN

Dibawah ini terdapat pernyataan-pernyataan dan pada setiap pernyataan terdapat enam pilihan jawaban, diantaranya:

checklist (√) pada jawaban anda. Periksalah kembali jawaban anda jangan sampai ada yang terlewat.

Selamat Mengerjakan

No Pernyataan STS TS ATS AS S SS

1. Saya tidak takut untuk mengatakan pendapat saya, bahkan ketika pendapat orang lain bertentangan dengan saya

2. Saya hidup untuk hari ini dan tidak berpikir tentang masa depan

3. Ketika saya melihat kisah hidup saya, saya senang dengan hal-hal yang telah banyak berubah

4. Menjaga hubungan yang akrab merupakan hal yang sulit bagi saya

5. Keputusan saya biasanya tidak dipengaruhi oleh apa yang orang lain lakukan

6. Tuntutan kehidupan sehari-hari sering membuat saya tertekan

(46)

No Pernyataan STS TS ATS AS S SS

8. Saya cenderung untuk fokus pada masa sekarang, karena masa depan selalu membawa saya dalam masalah

9. Secara umum, saya merasa percaya diri dan positif tentang diri sendiri

10. Saya sering merasa kesepian karena saya hanya memiliki beberapa teman dekat untuk berbagi keprihatinan saya

11. Saya cenderung khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan tentang saya

12. Saya merasa tidak cocok dengan orang-orang disekitar saya

13. Saya pikir penting untuk memiliki pengalaman yang baru agar saya dapat memahami diri saya dan memahami dunia 14. Saya merasa kebanyakan orang memiliki

kehidupan yang lebih baik daripada saya 15. Saya cukup baik dalam melaksanakan

tanggung jawab saya di kehidupan sehari-hari

16. Saya tidak mengalami banyak peningkatan selama bertahun-tahun seperti yang dialami orang lain

17. Saya cenderung dipengaruhi oleh orang-orang yang mempunyai pendapat yang kuat

18. Saya sering merasa terbebani dengan tanggung jawab saya

19. Saya merasa menjadi pribadi yang berkembang dari waktu ke waktu

20. Sepertinya orang lain memiliki lebih banyak teman daripada saya

21. Saya biasanya melakukan pekerjaan dengan baik dalam mengurus keuangan pribadi

22. Saya tidak menikmati situasi baru yang mengharuskan saya mengubah cara hidup saya yang lama

23. Saya suka membuat rencana untuk masa depan dan berusaha untuk membuatnya menjadi kenyataan

24. Bagi saya, hidup merupakan proses belajar, berubah, dan tumbuh

Gambar

Tabel 10. Kategorisasi Partisipasi Sosial dan Psychological Well-being
Tabel 1. Cara Skoring
Tabel 2. Cara Skoring Bulanan
Tabel 6. Karakteristik Subjek Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan

62 Andriana Siwi Purwandari, Meilani Dwi Astuti &amp; Anik YUliani Evaluasi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP Pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

sikap pada pasien diabetes mellitus tentang upaya

Hal ini disebabkan karena kadar protein protein krupuk kupang sangat tergantung dari pada bahan pengisi , adapun bahan pengisi yang berperan terhadap kadar protein krupuk kupang

Adapun yang dimaksud dengan konseling lintas budaya ( cross-cultural counseling, counseling across cultures, multicultural counseling ) adalah konseling yang

Semen Padang terus berupaya untuk memperkuat budaya kerja unggul, pengelolaan sumber daya manusia yang difokuskan pada program - program peningkatan kapabilitas

Teman-teman seperjuangan stambuk 2001 Teknik Manajemen Pabrik yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan dan yang telah memberikan dukungan dan semangat juga

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan berbagai macam hasil yang berbeda mengenai berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan