• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pemotongan Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Limbah Pada Tempat Pemotongan Hewan (Tph) Kuda Di Kabupaten Jeneponto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pemotongan Dan Persepsi Masyarakat Terhadap Limbah Pada Tempat Pemotongan Hewan (Tph) Kuda Di Kabupaten Jeneponto"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

AYU LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pemotongan dan Persepsi Masyarakat terhadap Limbah pada Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Kuda di Kabupaten Jeneponto adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

(4)

RINGKASAN

AYU LESTARI. Evaluasi Pemotongan dan Persepsi Masyarakat terhadap Limbah pada Tempat Pemotongan Hewan (TPH) Kuda di Kabupaten Jeneponto. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY PRIYANTO dan SALUNDIK.

Pemotongan kuda di Kabupaten Jeneponto masih dilakukan di TPH kuda milik warga karena Kabupaten Jeneponto belum memiliki RPH (Rumah Pemotongan Hewan). Permasalahannya adalah TPH kuda masih dikelola secara tradisional, belum terstandardisasi, dan tersertifikasi.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pemotongan kuda yang dilakukan di TPH mencakup proses pemotongan, fasilitas, produksi karkas dan non karkas, keamanan daging yang dihasilkan, kualitas air yang digunakan, serta mengkaji persepsi masyarakat terhadap TPH kuda dan limbahnya. Evaluasi pemotongan dalam hal good slaughtering practices (GSP) dan pemotongan halal dilaksanakan di 15 TPH kuda. Pengambilan data untuk menghitung angka lempeng total daging kuda dan uji kualitas air dilakukan di 10 TPH. Pengambilan data produktivitas karkas dan non karkas kuda dilakukan dengan penimbangan kemudian dihitung persentasenya. Pengkajian persepsi masyarakat terhadap TPH kuda dan limbah dilakukan melalui survei persepsi dengan 182 orang responden yang bermukim dekat TPH kuda.

Hasil evaluasi menunjukkan TPH kuda belum melaksanakan seluruh persyaratan pemotongan sesuai GSP dan pemotongan halal. Parameter pemotongan yang belum memenuhi syarat yaitu: kualitas sumber daya manusia, supervisi dari lembaga sertifikasi halal, usia petugas penyembelih, penanganan ternak sebelum disembelih, pemeriksaan kuda antemortem dan postmortem, fasilitas pemotongan, penyimpanan dan pengemasan, sarana transportasi daging/karkas, dan sanitasi serta higienitas pemotongan. Fasilitas seluruh TPH yang diamati tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah (nilai <101).

Hasil penghitungan angka lempeng total daging kuda menunjukkan daging dari seluruh TPH yang diamati tidak memenuhi syarat mikrobiologis daging menurut SNI sehingga perlu perbaikan pelaksanaan GSP di TPH. Kualitas air perlu ditingkatkan karena masih ada TPH yang menggunakan air yang tidak memenuhi syarat baku mutu air bersih. Masyarakat yang bermukim di sekitar TPH mayoritas merasa terganggu dengan limbah TPH namun masyarakat bersedia bekerjasama dengan pemilik TPH serta dengan pemerintah terkait dalam upaya memperbaiki kondisi tersebut. Direkomendasikan bagi pemerintah Kabupaten Jeneponto untuk membangun RPH yang berfasilitas lengkap di beberapa wilayah di Kabupaten Jeneponto agar memudahkan pengawasan dari pemerintah dan petugas kesehatan ternak, serta memudahkan konsumen yang ingin melakukan pemotongan atau membeli daging/karkas kuda.

(5)

Waste at Horse Slaughterhouses in Jeneponto Regency. Supervised by HENNY NURAINI, RUDY PRIYANTO and SALUNDIK.

Horse in Jeneponto are commonly slaughtered at private slaughterhouses and not at public slaughterhouse owned by local government. The objectives of this study were evaluate horse slaughtering including slaughtering process, carcass and non carcass productivity, facilities, horse meat microbiology, water quality, also studied community perception towards horse slaughterhouses. Evaluation of good slaughtering practices (GSP), halal slaughtering, and facilities were conducted at 15 slaughterhouses. Data of meat total plate count and water quality were collected from 10 slaughterhouses and examined at laboratorium. Productivity of horses was analyzed by weighing carcass and non carcass component, then presented in percentage. Assessment of community perception was conducted through survey with 182 respondents who lived surrounding the slaughterhouses.

The result showed that horse slaughterhouses did not comply all requirements from the aspects of GSP, halal slaughtering, and facilities compatibility. Those included human resources quality, halal institute supervision, slaughterer age, horse handling method, antemortem and postmortem inspection, slaughtering, storage, and packaging facilities, also transportation and vehicles. Facilities compatibility point from all of the slaughterhouses were uncompatible (<101).

Total plate count analysis result showed that horse meat from 10 observed slaughterhouses did not meet the Indonesia national standart. Water quality also need improvement since there were water samples from slaughterhouses that did not meet the quality standards of clean water. The community surrounding slaughterhouses were aware and disturbed by the presence of slaughterhouses waste but majority of them agreed to cooperate with government and slaughterhouses management in any program to improved the condition. It was recommended to build slaughterhouses with complete facilities, competent human resources which comply all slaughtering requirements. The slaughterhouses should be build at several locations in Jeneponto regency to facilitate the supervision and consumer.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

AYU LESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kajian tempat pemotongan hewan kuda dengan judul Evaluasi Pemotongan dan Persepsi Masyarakat terhadap Limbah pada Tempat Pemotongan Kuda di Kabupaten Jeneponto

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Henny Nuraini, MSi, Dr Ir Rudy Priyanto dan Dr Ir Salundik, MSi selaku komisi pembimbing atas waktu, arahan, bimbingan, dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Terimakasih juga penulis sampaikan pada Dr Tuti Suryati, SPt, MSi atas kesediaan waktunya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis serta atas masukannya dalam penulisan tesis ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penulis selama studi dan penelitian, serta kepada staf sub-Dinas Peternakan Kabupaten Jeneponto, Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto dan Dinas Kesehatan Kota Makassar atas bantuan dan kerjasama selama penelitian penulis.

Ungkapan terima kasih penulis haturkan kepada ayahanda Muhammad Syukri, ibunda Syarpah Syam, adikku Faris Makkawaru Syukri dan Fathur Maulana Syukri, Muh. Maulana Arif, serta seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan perhatian yang diberikan. Terimakasih juga kepada Dr Ir Salundik, MSi selaku Ketua Program Studi Pascasarjana ITP beserta jajarannya atas pelayanan prima selama penulis menempuh studi. Kepada seluruh dosen ITP atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan, rekan-rekan Pasca ITP khususnya angkatan 2013, atas persahabatan dan bantuan selama ini, penulis juga mengucapkan terimakasih. Semoga kelak ilmu yang telah diperoleh berguna bagi banyak pihak. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Bahan 3

Alat 3

Prosedur 3

Evaluasi GSP, Pemotongan Halal, dan Fasilitas di TPH 4

Produksi Karkas dan Non Karkas Kuda 5

Pengujian ALT Daging Kuda dan Kualitas Air TPH 5 Survei Persepsi Masyarakat terhadap TPH Kuda dan Limbahnya 5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 6

Kondisi Umum Tempat Penyembelihan Hewan Kuda 8

Pelaksanaan Pemotongan Halal 9

Pelaksanaan Good Slaughtering Practices 14

Kesesuaian Fasilitas TPH 17

Produktivitas Karkas dan Non Karkas Kuda 24

Angka Lempeng Total Daging Kuda 27

Kualitas Air di TPH 28

Persepsi Masyarakat terhadap Limbah TPH 29

4 SIMPULAN DAN SARAN 36

Simpulan 36

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 42

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil evaluasi pelaksanaan pemotongan halal 10

2 Rekapitulasi hasil evaluasi pelaksanaan GSP 15

3 Kondisi dan koreksi rantai pemotongan di TPH 18

4 Kesesuaian fasilitas TPH kuda 24

5 Rataan bobot dan persentase karkas dan non karkas kuda 25 6 Rataan bobot dan persentase komponen non karkas kuda 25

7 Hasil uji ALT bakteri daging kuda dari TPH 27

8 Hasil uji kualitas fisik air di TPH kuda 30

9 Hasil uji kualitas mikrobiologi air di TPH kuda 30

10 Hasil uji kualitas kimia air di TPH 31

11 Demografi responden 32

12 Persepsi responden terhadap limbah TPH 33

DAFTAR GAMBAR

1 TPH kuda, pasar kuda Tolo’, dan pelabuhan Bungeng 6

2 Pelabuhan di Desa Bungeng 7

3 Pasar kuda Tolo’ 7

4 Kondisi bangunan TPH kuda 8

5 Pengerjaan karkas di lantai TPH kuda 12

6 Kendaraan pengangkut karkas kuda 13

7 Kondisi lantai yang tidak rata di TPH kuda 17

8 Genangan limbah cair dan sampah di sekitar TPH kuda 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Borang evaluasi GSP 42

2 Borang evaluasi pemotongan halal 45

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2013 menunjukkan populasi kuda di Sulawesi Selatan sebanyak 167 919 ekor. Salah satu basis populasi kuda adalah Kabupaten Jeneponto. Badan Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto mencatat populasi kuda tahun 2013 sebesar 61 815 ekor. Makanan dari daging kuda sangat populer di Jeneponto sehingga pemotongan kuda dilakukan setiap hari. Banyaknya kuda yang dipotong di Kabupaten Jeneponto tahun 2013 sebesar 2406 ekor (BPS 2014).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2009 menyatakan bahwa Pemerintah daerah Kabupaten/Kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Pemotongan kuda di Jeneponto dilakukan di Tempat Pemotongan Hewan kuda (TPH kuda) milik warga karena Kabupaten Jeneponto belum memiliki RPH (rumah pemotongan hewan). Pengelolaan TPH kuda masih tradisional, belum terstandarisasi dan tersertifikasi sehingga perlu evaluasi terhadap pemotongan di TPH mengingat posisi TPH kuda sebagai mata rantai yang penting dalam menjamin kualitas daging kuda yang dikonsumsi masyarakat.

Penilaian kondisi TPH dilakukan berdasarkan Good Slaughtering Practises (GSP) dan pemotongan halal. CAC (2004) mendeskripsikan Good Slaughtering Practices (GSP) sebagai seluruh praktik di RPH yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan. Pemotongan halal bertujuan menjamin daging kuda memenuhi kriteria halal sesuai ketentuan Islam, mengingat penduduk Jeneponto sebagai konsumen mayoritas beragama Islam.

Dilakukan pula evaluasi terhadap fasilitas TPH untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian fasilitas yang dimiliki TPH dibandingkan dengan peraturan yang berlaku. Persyaratan yang harus dipenuhi meliputi lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan desain bangunan, serta peralatan.

Penerapan GSP dan pemotongan halal di TPH kuda tidak lepas dari dampaknya terhadap kualitas daging kuda yang dihasilkan. Menurut Kuntoro (2012), kualitas dan keamanan daging ditentukan oleh pelaksanaan penyediaan daging di rumah potong hewan (RPH). Kurangnya higienitas pemotongan dan penanganan kuda beresiko terhadap keamanan daging sehingga perlu pengujian angka lempeng total (ALT) daging kuda yang dihasilkan oleh TPH kuda.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 mensyaratkan lokasi rumah pemotongan hewan harus mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi. Diperlukan pengujian kualitas air karena air banyak digunakan selama proses pemotongan kuda, desinfeksi peralatan dan bangunan TPH, serta dapat mempengaruhi kualitas daging.

(14)

dahulu. Rizal (2014) menyatakan bahwa beragamnya teknik pemotongan dan penanganan karkas berpotensi menyebabkan kelebihan maupun kekurangan produksi karkas maupun non karkas dari RPH. Sehingga perlu kajian produksi karkas dan non karkas kuda berdasarkan metode pemotongan yang selama ini diterapkan.

Singh et al. (2014) menjelaskan bahwa kegiatan dan manajemen rumah potong hewan berpengaruh pada kualitas tanah, air, dan udara di sekitarnya. Pembuangan limbah di area terbuka dan saluran air dapat merusak lingkungan dan menimbulkan penyakit yang dampak terparahnya dirasakan masyarakat yang tinggal dekat rumah pemotongan hewan. Minimnya sarana pengelolaan limbah dan bangunan TPH kuda yang berada di antara pemukiman, diduga dapat menimbulkan gangguan bagi masyarakat di sekitarnya. Hasil penelitian Bello dan Oyedemi (2009) menunjukkan 98% penduduk yang tinggal di dekat rumah potong hewan merasa terganggu dengan adanya rumah potong hewan di lingkungan mereka, sehingga perlu kajian persepsi masyarakat terhadap TPH kuda dan limbah yang dihasilkan.

Diperlukan evaluasi di TPH kuda berdasarkan GSP dan pemotongan halal, kajian produktivitas karkas dan non karkas kuda, uji kualitas mikrobiologi daging kuda, uji kualitas air, serta survei persepsi masyarakat terhadap limbah di tempat pemotongan hewan kuda Kabupaten Jeneponto. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah guna memperbaiki kondisi pemotongan kuda di Kabupaten Jeneponto.

Tujuan Penelitian

Mengevaluasi sistem pemotongan kuda berdasarkan prinsip GSP dan pemotongan halal, mengevaluasi kesesuaian fasilitas, mengkaji produktivitas kuda hasil pemotongan, mengkaji persepsi masyarakat yang tinggal di sekitar TPH kuda terhadap keberadaan TPH dan limbah yang dihasilkan, serta menguji kualitas mikrobiologis, kimia, dan fisik air digunakan di TPH kuda dan ALT daging kuda yang dihasilkan TPH kuda di Kabupaten Jeneponto.

Manfaat Penelitian

Hasil evaluasi pemotongan, fasilitas, dan survei persepsi masyarakat diharapkan menjadi masukan bagi pemilik TPH kuda dalam perbaikan manajemen pemotongan, kesesuaian fasilitas, dan pengelolaan limbah agar memenuhi prinsip GSP dan pemotongan halal serta tidak mengganggu kenyamanan masyarakat sekitarnya. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran produktivitas dan keamanan mikrobiologis daging kuda yang dihasilkan TPH kuda di Kabupaten Jeneponto.

(15)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dalam empat bagian, bagian pertama yaitu evaluasi GSP, pemotongan halal, dan kesesuaian fasilitas pada 15 TPH kuda di Kabupaten Jeneponto. Bagian kedua yaitu penimbangan bobot karkas dan komponen non karkas. Bagian ketiga yaitu pengujian kualitas air TPH kuda dan kualitas mikrobiologis daging kuda pada 10 TPH yang dipilih secara purposive sampling dari 15 TPH yang telah dievaluasi. Bagian keempat yaitu survei persepsi masyarakat yang bermukim di sekitar TPH terhadap keberadaan TPH dan limbah yang dihasilkan.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai bulan Januari 2015 pada 15 TPH kuda di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto dan analisis sampel daging kuda di Laboratorium Dinas Kesehatan Kota Makassar.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah karkas dan non karkas dari 20 ekor kuda yang dipotong untuk evaluasi produksi, 250 gram sampel daging kuda dari masing-masing 10 TPH kuda untuk uji angka lempeng total, media Plate Count Agar (PCA), Broth Pepton Water (BPW), sampel air 1 liter dari 10 TPH kuda, combined reagent, Lactose Broth (LB), dan Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB).

Alat

Peralatan pengujian ALT daging kuda adalah penghitung koloni, inkubator, dan plastik steril,. Peralatan untuk pengujian kualitas air di antaranya thermometer, spektrofotometer, kolorimeter, dan turbiditymeter. Alat yang digunakan untuk penimbangan bobot kuda adalah timbangan.

Prosedur

(16)

Evaluasi GSP, Pemotongan Halal, dan Fasilitas di TPH Kuda

Evaluasi GSP, pemotongan halal, dan kesesuaian fasilitas dilakukan melalui dokumentasi dan observasi. Selanjutnya dilakukan evaluasi dengan borang GSP (Lampiran 1) yang mengacu pada SK Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Ikutannya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Borang pemotongan halal (Lampiran 2) mengacu pada LPPOM-MUI (2012) tentang Pedoman Pengelolaan RPH Halal. Borang evaluasi fasilitas yang digunakan sesuai dengan Seputra (2015).

Borang pelaksanaan GSP dan pemotongan halal di TPH kuda berisi parameter yang diberi bobot nilai berdasarkan kekritisan tiap parameter sesuai Rizal (2014). Penilaian berdasarkan pilihan “ya” untuk parameter yang terlaksana, sedangkan pilihan “tidak” untuk parameter yang tidak terlaksana. Hasil akhir dikategorikan berdasarkan total nilai yang diperoleh. Kategori total nilai terdiri atas: 0.00 sampai 20.00 (sangat buruk), 20.01 sampai 40.00 (buruk), 40.01 sampai 60.00 (sedang), 60.01 sampai 80.00 (baik), 80.01-100.00 (sangat baik).

Borang pelaksanaan kesesuaian fasilitas (Lampiran 3) berisi parameter yang diberi bobot berdasarkan titik kritis dengan total bobot 100. Penilaian (skor) hasil evaluasi yaitu skor 3 jika sesuai dengan persyaratan, skor 2 jika kurang sesuai dengan persyaratan, skor 1 jika tidak sesuai dengan persyaratan, dan skor 0 jika tidak ada atau tidak dilaksanakan. Kategori kesesuaian TPH ditentukan berdasarkan nilai kesesuaian, yaitu : sesuai > 200, kurang sesuai: 101 – 200, dan tidak sesuai : < 101. Kesesuaian fasilitas dihitung dengan persamaan:

Keterangan:

NK = nilai kesesuaian B = bobot

S = skor

Interval kelas kesesuaian dihitung dengan persamaan menurut Supangkat (2007):

Keterangan:

IK = interval kesesuaian

(17)

Produksi Karkas dan Non Karkas Kuda

Penelitian bagian kedua dilakukan penimbangan bobot karkas dan non karkas kuda. Terdapat 20 ekor kuda yang ditimbang berat karkas dan non karkasnya. Bagian non karkas yang ditimbang terdiri atas kepala, ekor, kulit basah, jeroan merah, dan jeroan hijau. Hasil penimbangan kemudian dipersentasekan untuk memperoleh persen karkas dan komponen non karkas terhadap bobot potong kuda keseluruhan.

Pengujian ALT Daging Kuda dan Kualitas Air TPH

Penelitian bagian ketiga terdiri atas pengujian ALT daging kuda berdasarkan metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu pada SNI (2008). Pengujian kualitas air di TPH menggunakan metode Most Probable Number (MPN) berdasarkan Oblinger dan Koburger (1975) dan Standar Nasional Indonesia Air dan Air Limbah (SNI 2000, SNI 2004, SNI 2005, SNI 2008, SNI 2009, SNI 2010, dan SNI 2011).

Pengambilan sampel air dilakukan pagi hari pukul 07.00 sampai pukul 10.00 pagi di 10 TPH kuda yang dipilih secara sengaja (purposive sampling). Pemilihan 10 TPH kuda berdasarkan pertimbangan lokasi dan sumber air yang digunakan. Tempat pemotongan kuda yang dipilih mewakili sumber air dari sumur gali, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kabupaten Jeneponto, dan sumur bor. Pengambilan sampel air dilakukan menggunakan botol steril.

Sebanyak 250 ml air diambil, diuji pH dan suhu di lokasi, kemudian sampel dibawa ke laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto untuk diuji lebih lanjut. Kualitas air yang diuji terdiri atas warna, bau, rasa, kekeruhan, zat padat terlarut, jumlah bakteri koliform. Selain itu diuji ada tidaknya kandungan bahan kimia dalam air yang terdiri atas: fluoride, kromium, sianida, klorida, seng, besi, kadmium, kesadahan, mangan, nitrat, nitrit, dan sulfat. Hasil uji kualitas air dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/ Menkes/ Per/IV/2010.

Pengambilan sampel daging dilakukan pukul 03.00 sampai pukul 06.00 pagi (waktu pemotongan kuda) pada TPH kuda yang telah diteliti sampel airnya (10 TPH). Sampel ditempatkan dalam plastik steril dan dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es batu. Selanjutnya sampel dibawa ke Laboratorium Dinas Kesehatan Makassar. Isolasi bakteri dilakukan dengan metode cawan tuang (pour plate) dan diuji angka lempeng total bakteri pada daging kuda. Hasil uji ALT daging dibandingkan dengan syarat mutu mikrobiologis daging sapi menurut SNI 3932:2008 tentang mutu karkas dan daging sapi.

Survei Persepsi Masyarakat terhadap TPH Kuda dan Limbahnya

(18)

Kuesioner berisi pertanyaan mengenai persepsi masyarakat terhadap limbah TPH kuda yang akan ditanyakan langsung kepada responden melalui wawancara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Takalar di sebelah Utara, Kabupaten Bantaeng di sebelah Timur, Kabupaten Takalar di sebelah Barat, dan Laut Flores di sebelah Selatan. Luas wilayah 749.79 km2 dan terdiri atas 11 kecamatan. Jumlah penduduk tahun 2013 yaitu 351 100 orang (BPS 2014). Ibukota Kabupaten adalah Bontosunggu di Kecamatan Binamu. Sebanyak 15 TPH kuda dalam penelitian ini tersebar di beberapa Kecamatan di Kabupaten Jeneponto yaitu di Kecamatan Bangkala Barat, Turatea, Bangkala, dan Binamu, yang ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 ( ) TPH kuda, ( ) pasar kuda Tolo‟, ( ) pelabuhan Bungeng di Kabupaten Jeneponto

Populasi kuda di Jeneponto tahun 2010 sebesar 35 617 ekor dan mencapai 61 816 ekor pada tahun 2013. Kuda digunakan sebagai penarik delman, pengangkut hasil pertanian, dan sebagai pangan khas daerah diantaranya gantala’ jarang dan coto kuda. Alasan masyarakat suka mengonsumsi daging kuda menurut Kadir (2011) yaitu anggapan daging kuda dapat menambah stamina, rendah kolesterol, mengobati penyakit dalam dan tetanus, serta menambah stamina. Tahun 2012, pemotongan kuda di Jeneponto sebesar 3186 ekor dan tahun 2013 tercatat sebesar 2406 ekor kuda (BPS 2014). Tingginya kebutuhan daging

1 TPH

2 TPH

(19)

kuda masyarakat Jeneponto difasilitasi dengan pelabuhan di Desa Bungeng sebagai tempat lalu lintas kuda dari luar pulau Sulawesi dan Pasar kuda Tolo‟.

Pelabuhan Bungeng yang ditampilkan pada Gambar 2, merupakan tempat lalu-lintas ternak dari luar Jeneponto. Kuda, kambing, dan kerbau yang didatangkan dari wilayah lain diangkut menggunakan kapal kayu. Satu kapal mampu mengangkut puluhan ekor ternak dalam sekali jalan. Dilakukan pemeriksaan identitas kepemilikan dan kesehatan hewan oleh karantina hewan di bawah koordinasi Dinas Peternakan Sulawesi Selatan di Pelabuhan Bungeng.

Gambar 2 Pelabuhan di Desa Bungeng

(20)

Pasar kuda di Tolo‟ ditunjukkan pada Gambar 3 terletak di Tolo‟, Kecamatan Kelara‟, Kabupaten Jeneponto dan berlangsung setiap hari Sabtu dari pukul 06.00 pagi hingga pukul 14.00 siang. Setiap penjual wajib membayar retribusi Rp 2000 kepada Dinas Peternakan yang mencatat dan mengawasi transaksi. Kartu hewan diperbaharui apabila kuda terjual dan harus dilengkapi surat izin pengeluaran ternak bagi kuda yang akan dibawa ke luar wilayah Jeneponto. Kuda yang dijual dapat berasal dari kuda bekas penarik delman maupun kuda peliharaan biasa (pedaging).

Kondisi Umum Tempat Penyembelihan Hewan Kuda

Tempat Pemotongan Hewan (TPH) kuda di Kabupaten Jeneponto jumlahnya banyak namun tidak ada data mengenai jumlah TPH kuda se-Kabupaten Jeneponto. Sulitnya pendataan disebabkan banyak usaha TPH yang bersifat musiman, tidak beroperasi secara teratur, dan lokasinya berada di wilayah pelosok. Tempat pemotongan kuda yang diamati dalam penelitian ini telah didirikan sejak tahun 1990 hingga tahun 2007. Daging kuda dipasarkan ke warung makan, pasar tradisional, dan konsumen yang memesan untuk acara pesta. Pekerja TPH berjumlah 1 sampai 4 orang, terdiri atas petugas penyembelih dan pekerja lain yang membantu proses pemotongan.

Bangunan TPH berbentuk pelataran berlantai semen, tidak berdinding, luas 5 x 5 meter atau lebih, dilengkapi tonggak kayu, saluran pembuangan, dan dipan atau meja untuk meletakkan daging/karkas kuda. Seluruh proses pemotongan dikerjakan di satu area. Bangunan umumnya terletak di pekarangan depan rumah pemiliknya. Tonggak kayu merupakan ciri khas penanda bangunan TPH, terletak di tengah-tengah dan berfungsi sebagai tempat menambatkan kuda yang akan disembelih. Bentuk bangunan TPH ditunjukkan pada Gambar 4.

(21)

Kuda yang dipotong berasal dari kuda bekas penarik delman atau kuda yang memang dipelihara untuk dipotong. Bangsa kuda yang dipotong adalah Kuda Sumba dan Kuda Makassar. Sebelum dipotong, kuda umumnya dipelihara 1 sampai 7 hari sebelum pemotongan jika memasuki waktu lebaran, dimana tingkat pemotongan kuda sangat tinggi. Sebaliknya pada hari-hari biasa kuda dapat dipelihara beberapa bulan sebelum dipotong.

Manajemen pemeliharaan sangat sederhana, kuda diumbar saat siang hari dan dikandangkan kembali saat malam hari. Pakan yang diberikan berupa konsentrat, batang, daun, dan bonggol jagung, daun kacang, serta rumput lapang. Air minum diberikan secara ad libitum. Air yang digunakan TPH berasal dari beberapa sumber yaitu PDAM, sumur gali, dan sumur bor. Limbah pemotongan seperti darah, isi jeroan, dan air pencucian karkas TPH di Jeneponto dibuang ke selokan atau dibuang ke septic tank. Limbah padat dari kotoran kuda, sisa kulit, ekor, dan lain-lain dibuang di tempat sampah atau ditumpuk di sekitar TPH. Evaluasi GSP dan pemotongan halal bertujuan mengkaji proses pemotongan kuda di TPH kuda Kabupaten Jeneponto.

Pelaksanaan Pemotongan Halal

Selain menjelaskan jenis hewan yang halal dan haram disembelih untuk dikonsumsi oleh umat Islam, juga ditetapkan persyaratan kehalalan penyembelihan dari segi personel, peralatan, serta tata cara sebelum, saat, dan setelah penyembelihan. Tata cara penyembelihan sesuai syariat Islam menurut Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah (2010) yaitu: binatang yang akan disembelih direbahkan; kakinya diikat, dihadapkan ke sebelah rusuk kiri agar mudah menyembelih; menghadap ke kiblat (penyembelih dan hewan yang akan disembelih); memotong urat nadi, kerongkongan, sampai putus agar lekas mati; membaca basmalah saat menyembelih; binatang yang berleher agak panjang disembelih di pangkal leher sebelah atas.

Bonne dan Verbeke (2008) menjelaskan titik kritis halal salah satunya pisau harus sangat tajam untuk meminimalkan rasa sakit, terutama bagi penyembelihan tanpa pemingsanan. Pengasahan pisau tidak dilakukan di depan hewan yang akan disembelih dengan alasan kesejahteraan hewan. Penyembelihan ternak dalam Islam dilakukan dengan tangan dan menyebut nama Allah saat menyembelih.

Hasil evaluasi pelaksanaan pemotongan halal disajikan pada Tabel 1. Terdapat 3 TPH dikategorikan baik dan 12 TPH dikategorikan sedang. Seluruh TPH yang diamati menerapkan penyembelihan yang halal. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh penduduk Kabupaten Jeneponto yang 99% beragama Islam (BPS 2014) sehingga pemilik, pengelola TPH dan masyarakat yang menjadi konsumen daging kuda menginginkan daging kuda yang disembelih secara halal.

(22)

Tabel 1 Rekapitulasi hasil evaluasi pelaksanaan pemotongan halal di TPH kuda

Parameter pemotongan halal

Bobot Nilai

Kode TPH

A B C D E F G H I J K L M N O

Sumber daya

manusia 2.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Petugas

penyembelihan

6.00 4.00 4.00 4.50 4.00 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50 4.50

Supervisor halal 5.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Lokasi dan

fasilitas

2.50 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00

Alat penyembelih 3.50 3.00 3.00 3.00 3.00 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 3.50 3.00 3.00 3.50 3.50 3.50

Pra-penyembelihan

3.50 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25

Tanpa pemingsanan

18.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25 10.25

Proses

penyembelihan

17.00 16.00 14.00 14.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00 16.00

Pasca

penyembelihan

11.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25 7.25

Penanganan dan penyimpanan

15.00 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75 10.75

Pengemasan dan pelabelan

10.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

(23)

Setelah kuda benar-benar mati dan proses pengeluaran darah selesai, selanjutnya proses pengulitan dimulai. Jumlah petugas penyembelih memadai, rata-rata TPH kuda memotong 1-3 ekor kuda perhari dengan pekerja yang terdiri atas 1 orang petugas penyembelih dan pekerja lain berjumlah 1-3 orang. Kuda yang dipotong berkisar 1-4 ekor/hari.

Tempat pemotongan hewan kuda juga digunakan memotong sapi atau kambing dan tidak digunakan memotong babi. Tidak terdapat tempat pemotongan dan peternakan babi di Kabupaten Jeneponto sehingga resiko kontaminasi dengan babi dapat dihindari. Kekurangan pelaksanaan pemotongan halal yang harus diperbaiki di TPH yaitu kualitas sumber daya manusia, tidak ada supervisi dari lembaga sertifikasi halal, usia petugas penyembelih tidak memenuhi persyaratan LPPOM MUI, perlakuan terhadap kuda sebelum disembelih, fasilitas pemotongan, penyimpanan dan pengemasan, serta sarana transportasi daging/karkas.

Persyaratan petugas penyembelih adalah lulus pelatihan penyembelihan halal yang diadakan oleh lembaga Islam/lembaga sertifikasi halal yang bekerjasama dengan instansi teknis terkait (LPPOM MUI 2012). Banyaknya usaha TPH tidak dibarengi peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal pemotongan halal. Seluruh petugas penyembelih yang bekerja di TPH dalam penelitian ini belum pernah mengikuti pelatihan pemotongan halal dan belum disertifikasi MUI dan Dinas Peternakan setempat. Selain itu tidak ada supervisor halal di TPH kuda yang bertanggung jawab mengawasi proses yang mempengaruhi status kehalalan produk yang dihasilkan.

Pengetahuan mengenai pemotongan halal diperoleh dari petugas penyembelih yang lebih berpengalaman dan dari pengetahuan pribadi. Pelatihan atau sosialisasi tetap diperlukan meski di TPH tata cara penyembelihan secara Islam telah dipraktekkan. Hal tersebut berdasarkan Estuti (2005) bahwa pelatihan merupakan kunci keberhasilan pemotongan halal. Pelatihan pekerja RPH diarahkan pada pemahaman produksi yang baik dan halal. Jenis pelatihan yang diperlukan antara lain: penyebarluasan kebijakan dan kesadaran pentingnya kehalalan, hukum halal-haram dalam Islam terkait bahan pangan, pengertian dan pemahaman sistem produksi halal, pelatihan sistem dokumentasi, serta pelatihan audit halal.

Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) adalah lembaga yang berwenang dalam supervisi dan sertifikasi kehalalan pemotongan ternak. Pemotongan kuda di TPH tidak disupervisi oleh lembaga yang berwenang, termasuk oleh LPPOM Daerah dan Dinas Peternakan setempat, sehingga tidak ada jaminan kesesuaian proses pemotongan dengan aturan yang berlaku dan jaminan kualitas produk yang dihasilkan.

(24)

oleh petugas yang lain meskipun masih berusia di bawah 18 tahun, selain itu pemilik/pengelola TPH juga tidak mengetahui aturan tersebut.

Kurangnya pemahaman mengenai pemotongan halal juga berdampak pada cara pekerja memperlakukan kuda sebelum disembelih. Perlakuan kasar terlihat saat penggiringan dan penjatuhan kuda. Beberapa penyembelih mengasah pisau di depan kuda. Hal tersebut bertentangan dengan ajaran Islam seperti dijelaskan Regenstein et al. (2013) bahwa Islam menekankan perlakuan yang manusiawi pada hewan sebelum disembelih, di antaranya istirahat dan pemberian air minum yang cukup, menghindari kondisi yang memicu stres, tidak mengasah pisau di depan hewan, dan menggunakan pisau yang sangat tajam untuk menyembelih.

Faktor lain yang perlu dibenahi adalah fasilitas pemotongan yang terbatas, tidak terjamin kebersihannya, dan tidak dirancang khusus untuk menghindari kontaminasi antara daging dengan bahan haram dan najis. Peralatan yang digunakan di TPH kuda antara lain: pisau, ember/baskom, ban bekas mobil untuk menyangga leher kuda yang telah disembelih, tali, gayung/selang air, dan meja atau dipan kayu tempat meletakkan hasil pemotongan. Tindakan desinfeksi yang dilakukan hanya pembilasan peralatan dengan air. Saluran pembuangan limbah yang terbuka, tidak ada perlengkapan personel, tidak ada fasilitas penggantungan karkas, dan keterbatasan fasilitas lainnya, juga merupakan masalah yang harus dibenahi. Penanganan daging/karkas di TPH kuda ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Pengerjaan karkas di lantai TPH kuda

(25)

Daging kuda yang akan dibawa keluar kota dikemas menggunakan kotak gabus/wadah plastik dan ditutup kemudian didistibusikan menggunakan mobil bak terbuka. Daging yang dibeli oleh konsumen langsung di TPH dikemas menggunakan kantong plastik atau karung. Kondisi kemasan dan alat transportasi yang tidak terjaga kebersihannya dapat menyebabkan daging tercemar bahan yang bersifat najis dan haram serta menurunkan kualitas daging kuda. Kendaraan pengangkut karkas/daging kuda ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kendaraan pengangkut karkas kuda

Standar kendaraan pengangkut daging yang baik adalah harus didesain untuk memudahkan proses buka dan tutup, mampu melindungi daging dari suhu ekstrim, dan mencegah gangguan serangga/hama. Kendaraan juga harus mudah dibersihkan dan dikontrol suhunya. Bagian interior kendaraan harus dibuat dari bahan yang sesuai untuk kontak langsung dengan daging contohnya stainless steel atau dilapisi dengan bahan yang bersifat food-grade. Kendaraan sebaiknya tidak digunakan untuk mengangkut selain daging (USDA 2005).

Salah satu bagian penting dalam pengemasan makanan halal adalah logo/label halal. Logo halal akan mempengaruhi keputusan membeli konsumen khususnya yang beragama muslim (Talib dan John 2012). Daging/karkas dari TPH kuda tidak dikemas dengan label/identitas yang menandakan bahwa daging kuda tersebut halal. Kondisi tersebut tidak menghambat pemasaran daging kuda kepada konsumen, karena sejauh ini menurut pengelola/pemilik TPH, belum ada protes ataupun penurunan jumlah pembeli akibat tidak adanya logo/label halal.

(26)

Pelaksanaan Good Slaughtering Practices

Fungsi penerapan Good Slaughtering Practises dan teknologi terkini, memungkinkan produksi karkas yang bersih dan meminimalkan tingkat terjadinya kontaminasi patogenik. Faktor-faktor yang harus harus diperhatikan dalam GSP termasuk fasilitas, penerimaan ternak, pembersihan, eksanguinasi, eviserasi, sanitasi peralatan, pemisahan kepala, trimming akhir, pencucian karkas, manajemen rantai dingin, dan lainnya (Harris & Jeff 2003).

Nilai evaluasi pelaksanaan GSP yang ditunjukkan pada Tabel 2 menunjukkan 3 TPH yang dikategorikan buruk yaitu TPH D, TPH L, dan TPH N, sedangkan TPH lainnya dikategorikan sedang. Parameter GSP yang telah dipenuhi oleh TPH yaitu pemeriksaan dokumen (kartu hewan, surat kesehatan hewan, surat keterangan asal hewan, surat karantina).

Kartu hewan berisi ciri-ciri fisik, umur, jenis kelamin, identitas pemilik, vaksinasi kuda, riwayat pengobatan, dan ditandatangani oleh pihak berwenang (Lurah/Kepala Desa). Kartu diganti dengan surat izin mengeluarkan hasil ternak/daging untuk daging/karkas kuda yang akan dibawa ke luar wilayah Jeneponto. Pengelola TPH umumnya memastikan kuda yang dipelihara dan dipotong adalah kuda yang jelas asal-usul dan identitasnya dan memiliki kartu hewan.

Kartu hewan dan surat izin tersebut bersifat wajib, tujuannya adalah menghindari pemotongan kuda hasil curian namun belum seluruh kuda memiliki kartu hewan utamanya bagi kuda yang tidak melalui proses jual-beli (dipelihara dan dipotong sendiri). Tidak sedikit pula penjualan daging/karkas kuda ke luar Jeneponto tanpa surat izin. Alasan pedagang kuda adalah karena merasa repot mengurus administrasi kartu ataupun surat izin tersebut ke pemerintah setempat.

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penyembelihan kuda dilakukan dengan cara Islami. Kuda yang telah disembelih baru ditangani setelah benar-benar mati dan pengeluaran darah berlangsung sempurna. Rata-rata pekerja TPH menunggu 5 sampai 10 menit setelah penyembelihan kemudian melakukan penanganan selanjutnya. Proses pengulitan dilakukan dengan hati-hati pada TPH kuda yang akan menjual kulit kuda untuk menghindari penurunan nilai jual akibat kerusakan pada kulit. Parameter yang belum memenuhi persyaratan GSP di TPH kuda Kabupaten Jeneponto adalah penanganan ternak sebelum disembelih, pemeriksaan kuda antemortem dan postmortem, penanganan, penyimpanan, dan pengangkutan karkas dan jeroan, sanitasi serta higienitas selama proses penyembelihan.

(27)

Nilai A B C D E F G H I J K L M N O Penerimaan dan

penampungan ternak

7.50 4.00 2.75 3.00 4.00 3.00 3.00 2.75 3.50 4.00 4.00 4.00 2.75 4.00 2.75 4.00

Pemeriksaan antemortem

12.50 9.00 4.50 9.00 0.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 9.00 0.00 9.00 0.00 4.50

Persiapan pemotongan ternak

7.50 3.75 5.00 3.75 3.75 6.25 3.75 5.00 3.75 3.75 3.75 3.75 1.25 6.25 1.25 5.00

Penyembelihan 20.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 12.00 Pengulitan 7.50 5.00 5.00 2.50 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 2.50 5.00 5.00 5.00 Pengeluaran

jeroan

12.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 5.00 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50

Pemeriksaan postmortem

12.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Pembelahan karkas

7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50 7.50

Pelayuan 5.00 1.25 1.25 1.25 0.00 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 0.00 0.00 Pengangkutan 7.50 2.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.50 1.25 0.00 1.25 0.00 0.00 Total 100.00 52.50 45.50 46.50 39.75 51.50 49.00 50.00 49.50 47.50 52.50 51.25 34.75 53.75 36.00 45.50

(28)

Kekurangan lain yang harus dibenahi adalah tidak ada pemeriksaan sebelum dan sesudah penyembelihan (antemortem dan postmortem). Fungsi pemeriksaan antemortem dan postmortem menurut Herenda et al. (2000) adalah: menjamin ternak yang akan disembelih dalam kondisi sehat, normal secara fisiologi, sementara ternak yang tidak normal dipisahkan dan ditangani secara khusus; menjamin daging ternak bebas dari penyakit, utuh, dan tidak mengganggu kesehatan manusia.

Tidak adanya personil pemeriksa kesehatan hewan dan daging (keurmaster) menjadi salah satu penyebab TPH tidak melaksanakan pemeriksaan antemortem dan postmortem. Beberapa TPH bahkan melakukan pemotongan pada kuda yang dianggap sakit atau luka/cedera. Tujuannya menghindari kerugian tanpa mempertimbangkan keamanan dan kesehatan konsumen.

Pelaksanaan GSP yang harus diperbaiki TPH kuda di Jeneponto selanjutnya adalah penanganan kuda. Proses penggiringan dan penjatuhan kuda pada saat akan disembelih masih cenderung kasar. Proses penjatuhan kuda diduga dapat menyebabkan cedera, luka, dan stress pada kuda sesaat sebelum disembelih. Hal tersebut tidak mendukung prinsip animal welfare dan dapat menurunkan kualitas daging kuda.

Adzitey (2014) menyatakan bahwa penanganan ternak yang tidak sesuai sebelum penyembelihan dapat mengakibatkan kematian ternak, kerusakan karkas, penurunan bobot hidup, dan kondisi daging pale soft exudative serta dark firm dry. Buckle et al. (2009) menjelaskan bahwa bila ternak mengalami perlakuan kasar sebelum penyembelihan maka kandungan glikogennya akan rendah, jumlah asam laktat sedikit dan mengakibatkan perubahan pH yang kecil. Nilai pH yang tinggi pada daging (sekitar 6.2–7.2) menyebabkan daging berstruktur tertutup atau padat, berwarna merah-ungu tua, rasa kurang enak, dan lebih memungkinkan perkembangan mikroorganisme.

Standar Nasional Indonesia (1999) menyarankan setiap rumah pemotongan hewan memiliki fasilitas ruang pendingin/ruang pelayuan, dan ruang pembagian karkas serta pengemasan. Bangunan TPH tidak dilengkapi fasilitas tersebut sehingga daging/karkas kuda hanya disimpan di meja/dipan bambu sebelum diangkut ke pasar atau dibawa oleh pembeli. Kendalanya karena ruang pendinganan/pembekuan membutuhkan modal untuk fasilitas pendingin/pembeku dan konsumen daging kuda lebih menyukai daging segar tidak dingin/beku sehingga pengelola TPH kuda merasa tidak membutuhkan fasilitas tersebut.

Menurut Sunarlim dan Setiyanto (2001), pelayuan daging pada suhu dingin di RPH dapat menyebabkan daging empuk tanpa terjadinya kebusukan karena perkembangan bakteri terhambat pada suhu rendah. Daging yang dipasarkan di pasar-pasar tradisional, mengalami pelayuan pada suhu ruang, namun waktu/lamanya tidak tertentu, sehingga mutu yang diperoleh tidak dapat dikontrol. Suhu ruang menyebabkan bakteri cepat berkembang biak sehingga daging rentan terhadap kebusukan.

(29)

Sanitasi yang buruk di TPH dapat mempengaruhi kualitas mikrobiologis karkas/daging. Sofos dan Smith (2009) menyatakan bahwa potensi bahaya bagi produk daging jika tidak menerapkan sanitasi yang baik, di antaranya adalah bahaya fisik, kimia, dan biologi. Kontaminasi pada daging segar dapat terjadi ketika daging terpapar lingkungan selama penyembelihan, pemotongan, dan pengolahan. Sumbernya dapat berasal dari udara, air, tanah, feses, pakan, kulit, rambut, bulu, jeroan, peralatan, dan manusia. Kondisi sanitasi TPH kuda ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kondisi permukaan lantai dan dinding TPH kuda

Dibutuhkan langkah perbaikan untuk meningkatkan kualitas pemotongan kuda di Jeneponto agar sesuai prinsip GSP dan kehalalan. Perbaikan tersebut merangkum hal-hal yang harus dikoreksi dari seluruh proses pemotongan, dimulai dari penanganan ternak sebelum dan sesudah disembelih, hingga sampai ke tangan konsumen. Tindakan koreksi disajikan dalam Tabel 3.

Selain tindakan koreksi, perlu dana dan fasilitas pemerintah untuk membangun RPH kuda yang layak dan memenuhi standar minimal rumah pemotongan hewan, agar masyarakat yang memotong kuda di TPH swasta yang tidak memenuhi persyaratan, dapat memotong pada RPH yang terstandarisasi dan diawasi. Pembangunan RPH direkomendasikan di setiap kecamatan agar mudah dijangkau konsumen dan pengawas dari Dinas Peternakan setempat.

Kesesuaian Fasilitas TPH

(30)

Tabel 3 Kondisi dan koreksi rantai pemotongan di TPH kuda

Peubah Kondisi di TPH Tindakan koreksi

Personil Personil di TPH meliputi pengelola, petugas penyembelihan dan pekerja lainnya, belum pernah mengikuti pelatihan atau sosialisasi, dan belum disertifikasi oleh LPPOM MUI dan lembaga terkait dalam hal kompetensi GSP dan pemotongan halal.

Wajib mempekerjakan sedikitnya satu orang petugas penyembelih halal, dokter hewan atau keurmaster, tenaga ahli pemotong daging, petugas penanggung jawab teknis.

Personil harus mengikuti pelatihan atau tindakan lain untuk mencapai kompetensi yang diperlukan, selain itu harus dikontrol dan disupervisi oleh LPPOM MUI Dilakukan pelatihan dan sertifikasi seluruh SDM baik diadakan oleh MUI maupun Dinas Peternakan setempat.

Tidak ada personil TPH yang merangkap sebagai

pekerja di tempat pemotongan babi. -

Tidak ada supervisor halal yang bertugas untuk memeriksa pemotongan mulai dari pra-penyembelihan hingga pasca penyembelihan.

Perlu supervisor halal pemotongan kuda untuk menjaminkehalalan produk. Supervisor dapat berasal dari personil di tempat pemotongan yang telah memperoleh sertifikasi dan pelatihan terkait pemotongan halal.

Petugas penyembelihan beragama Islam, berbadan dan berjiwa sehat, taat menjalankan ibadah wajib, memahami tatacara penyembelihan sesuai syari‟at Islam, dan jumlahnya memadai.

Terdapat 2 TPH yang mempekerjakan petugas penyembelihan yang berusia di bawah 18 tahun.

Dilakukan sosialisasi mengenai wajibnya penyembelihan dilakukan oleh laki-laki yang sudah berumur di atas 18 tahun (baligh) sesuai syariat Islam.Personil pemotongan kuda harus berusia di atas 18 tahun sesuai peraturan LPPOM MUI 2012.

Fasilitas TPH dan peralatan penyembelihan

Tempat pemotongan hanya khusus untuk kuda dan tidak digunakan untuk hewan haram seperti babi sehingga tidak ada kontaminasi silang antara produk dari kuda dan babi.

-

Tidak ada tindakan desinfeksi dan atau pembersihan di tempat penyembelihan dan sekitarnya sebelum dan sesudah pemotongan

(31)

Peralatan (pisau, ember, gayung, dll.) tidak didensinfeksi dan hanya dicuci menggunakan air, sebelum dan setelah digunakan

Peralatan didesinfeksi menggunakan air dan alkohol/desinfektan yang aman untuk mencegah cemaran benda asing baik yang non halal maupun bersifat najis yang dapat mencemari karkas melalui peralatan pemotongan

Personil tidak dilengkapi sarung tangan, masker, penutup kepala, dan kelengkapan lainnya

Personil diharuskan menggunakan masker, sarung tangan, penutup kepala untuk menghindari kontaminasi antara pekerja dan karkas. Pisau yang digunakan sangat tajam, bukan berasal dari

kuku, gigi/taring, dan tulang. -

Pemeriksaan antemortem

Tidak ada dokter hewan atau petugas kesehatan hewan yang memeriksa kuda sebelum dipotong.

Bupati/Walikota/Kepala Dinas menugaskan dokter hewan atau petugas keswan untuk memeriksa kuda yang akan dipotong.

Tidak ada pemeriksaan kesehatan kuda sebelum pemotongan. Kuda yang diklaim sakit segera dipotong untuk menghindari kerugian TPH.

Petugas keswan di lapangan memeriksa kuda yang akan dipotong secara berkala untuk mencegah pemotongan.kuda yang sakit.

Kuda yang dinyatakan/diduga sakit tidak boleh dipotong atau ditunda pemotongannya, ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Apabila ditemukan zoonosis, maka dokter hewan/petugas keswan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

Persiapan pemotongan

Saat baru tiba di TPH, kuda diturunkan dari alat

angkut dengan hati-hati dan tidak membuat stres. -

Dilakukan pemeriksaan dokumen (kartu hewan, surat kesehatan hewan, surat keterangan asal hewan, surat karantina).

-

Kuda diistirahatkan terlebih dahulu di kandang

minimal 12 jam sebelum disembelih -

(32)

Tabel 3 Kondisi dan koreksi rantai pemotongan di TPH kuda (lanjutan)

Peubah Kondisi di TPH Tindakan koreksi

Kuda tidak dipuasakan kurang lebih 12 jam sebelum pemotongan sehingga rawan kontaminasi isi jeroan terhadap karkas/daging/jeroan

Kuda dipuasakan untuk mencegah kontaminasi dari isi jeroan dan membuat kuda lebih tenang serta mudah ditangani saat akan disembelih.

Kuda digiring dari kandang ke tempat penyembelihan dengan cara yang kasar oleh personil TPH.

Diberikan sosialisasi penanganan kuda yang baik pada personil agar kuda digiring dari kandang dengan cara yang wajar, tidak membuat stres, dan tidak melukai.

Kuda disemprot dengan air (dibersihkan) sebelum masuk ke tempat pemotongan, namun penyemprotan hanya dilakukan pada bagian tubuh bawah kuda

Kuda harus dibersihkan dengan disemprot air ke seluruh tubuh untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel di tubuhnya sehingga meminimalisir kontaminasi saat penyembelihan dan pengkarkasan. Pekerja menjatuhkan kuda dengan cara yang kasar dan

berpotensi mencederai/melukai serta membuat kuda stres sesaat sebelum penyembelihan.

Dilakukan sosialisasi tata cara menjatuhkan kuda yang dapat meminimalkan rasa sakit dan stres. Sosialisasi dilakukan oleh pihak Dinas Peternakan setempat. Kuda harus dijatuhkan dengan meminimalkan rasa sakit dan stres.

Pekerja TPH mengasah pisau di depan kuda yang akan disembelih.

Tidak dilakukan pengasahan pisau di depan kuda yang akan disembelih sesuai dengan ajaran Islam dan prinsip animal welfare.

Penyembelihan Kuda disembelih segera setelah tenang dan diikat dengan aman. Petugas penyembelih mengucapkan “Bismillahi Rahmanirrahim” atau “Bismillahi Allahu Akbar” sesaat sebelum penyembelihan.

-

Penyembelihan berlangsung cepat tanpa mengangkat pisau, dilakukan dari leher bagian depan dan tidak memutus tulang leher. Tiga saluran wajib dipotong.

-

Proses pemisahan kepala dan pengulitan dilakukan setelah kuda benar-benar mati dan pengeluaran darah sempurna, ditandai dengan tidak adanya gerakan tubuh kuda.

(33)

Waktu dari penyembelihan ke proses selanjutnya di

TPH adalah 4 menit hingga 7 menit. -

Pengulitan Pengulitan dilakukan bertahap, kulit dipisahkan mulai dari bagian tengah ke punggung. Beberapa TPH melakukan pengulitan dengan sangat hati-hati untuk menghindari kerusakan karena kulit akan dijual.

-

Pengulitan, pengeluaran jeroan, dan pengerjaan karkas dilakukan di lantai dan di satu area, tidak ada pemisahan antara area penyembelihan dan area pengerjaan karkas.

Dipisahkan antara area penyembelihan, area pengerjaan karkas, dan pengeluaran jeroan untuk menghindari adanya kontaminasi silang. Pada rumah potong yang tidak memiliki fasilitas penggantung (hoist) kuda dipindahkan ke atas keranda/penyangga untuk pengkarkasan. Apabila pengerjaan karkas tetap dilakukan di lantai, harus dipastikan kondisi lantai bersih sebelum digunakan, bebas dari genangan air dan kotoran. Terdapat sisa kotoran dan pakan yang keluar dari anus

dan usus karena saluran pencernaan di leher, anus, dan usus tidak diikat.

Sebaiknya dilakukan pengikatan pada saluran percernaan dileher dan anus, sehingga isi lambung dan feses tidak keluar dan mencemari karkas.

Tidak ada pemisahan antara jeroan merah, jeroan hijau, dan karkas kuda sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang.

Dilakukan pemisahan antara jeroan merah (hati, jantung, paru, limpa, ginjal dan lidah) dan jeroan hijau (lambung, usus, dan esophagus).

Pemeriksaan postmortem

Tidak ada pemeriksaan komponen karkas dan non karkas kuda setelah penyembelihan (pemeriksaan antemortem.

Pemeriksaan postmortem harus dilakukan oleh dokter hewan atau petugas yang ditunjuk dibawah pengawasan dokter hewan. Karkas dan organ yang dinyatakan atau dicurigai berpenyakit, harus segera dipisahkan untuk diperiksa lebih lanjut. Apabila ditemukan penyakit hewan menular dan zoonosis, maka dokter hewan/petugas yang ditunjuk dibawah pengawasan dokter hewan harus segera mengambil tindakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.

(34)

Tabel 3 Kondisi dan koreksi rantai pemotongan di TPH kuda (lanjutan)

Peubah Kondisi di TPH Tindakan koreksi

Pembelahan karkas

Pembelahan karkas disesuaikan dengan permintaan konsumen daging kuda, sehingga tidak ada standar karkas yang baku diterapkan di TPH.

-

Penyimpanan karkas dan non-karkas

Karkas/daging/jeroan halal ditangani terpisah dan

tidak dicampur dengan produk non halal atau najis. -

Karkas yang telah dipotong/dibelah tidak disimpan di ruang yang dingin atau refrigerator. Karkas biasanya hanya diletakkan di dipan bambu/meja kayu sambil menunggu pembeli/pemesan yang datang.

Rumah potong harus dilengkapi dengan ruang atau alat pendingin untuk penyimpanan.

Pengemasan dan transportasi

Daging kuda dikemas dalam kantong plastik, karung, dan kotak gabus yang tidak terjamin kebersihannya

Karkas/daging harus dikemas dalam kemasan yang bersih dan dipastikan bebas dari kontaminasi bahan non-halal dan najis.

Tidak dilakukan pemisahan daging/karkas dengan jeroan.

Pengelola rumah potong harus menyediakan kemasan bersih, tertutup, dan bersifat food grade untuk pengemasan daging/karkas/jeroan.

Kemasan karkas/daging/jeroan tidak memiliki identitas atau label halal untuk menandai kehalalan produk dan spesifik membedakannya dari produk non halal.

Dibutuhkan evaluasi dan supervisi dari lembaga berwenang terkait kehalalan proses dan produk yang dihasilkan oleh TPH kuda.

Daging kuda dan jeroan diangkut menggunakan mobil bak terbuka atau kendaraan bermotor lainnya.

Karkas/daging harus diangkut dengan angkutan yang didesain khusus untuk alat angkut daging. Jeroan diangkut dengan wadah atau alat angkut yang terpisah dengan karkas/daging.

(35)

Secara umum, persyaratan teknis yang harus dipenuhi adalah lokasi, sarana pendukung, konstruksi dasar dan desain bangunan, serta peralatan. Desain dan konstruksi dasar seluruh bangunan dan peralatan di rumah pemotongan hewan harus mampu memfasilitasi pelaksanaan produksi daging dan karkas yang baik serta mencegah terjadinya kontaminasi.

Hal ini penting untuk menjamin pangan asal hewan khususnya daging kuda dari TPH di Jeneponto, memenuhi prinsip aman, sehat, utuh, dan halal. Evaluasi kesesuaian fasilitas menunjukkan bahwa fasilitas 15 TPH yang diamati dalam penelitian ini dikategorikan tidak sesuai (nilai <101). Fasilitas TPH yang tidak lengkap dan tidak memadai, menjadi salah satu penyebab proses pemotongan kuda yang tidak sesuai standar GSP dan pemotongan halal.

Lokasi TPH kuda yang terletak di area pemukiman warga tidak sesuai dengan rencana tata ruang daerah, dengan lahan terbatas dan beresiko mencemari lingkungan. Tempat pemotongan hewan kuda tidak memiliki fasilitas penanganan limbah padat dan cair dan tidak dipagar terpisah. Tata ruang tidak didesain khusus untuk daerah kotor dan daerah bersih, pemeriksaan postmortem,penerangan yang terbatas, tidak berdinding, serta kondisi lantai berlubang-lubang dan tidak rata. Fasilitas pelengkap bangunan utama juga tidak ada di TPH kuda seperti area unloading kuda yang memadai, kandang betina produktif dan kandang isolasi, area loading karkas atau daging, kantor, kantin dan mushola, ruang personil, kamar mandi, insenerator, dan rumah jaga.

Fasilitas pelengkap yang tidak tersedia di TPH kuda seperti peralatan desinfeksi/pembersihan, sarana cuci tangan dan cuci sepatu boot, sarana penyediaan air hangat, alat pengerek karkas, alat fiksasi hewan, timbangan, peralatan dokter hewan (pisau, pengasah, stempel karkas) peralatan pekerja (pakaian, apron, tutup kepala, sepatu boot). Hasil evaluasi kesesuaian fasilitas TPH ditampilkan pada Tabel 4.

Produktivitas Karkas dan Non Karkas Kuda

Karkas menurut SNI (2008) yaitu bagian tubuh ternak yang telah disembelih secara halal sesuai CAC/GL 24-1997, telah dikuliti, dikeluarkan jeroannya, dipisahkan kepala dan kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, organ reproduksi dan ambing, ekor, serta lemak yang berlebih.

Pemotongan kuda di TPH dimulai dengan penyembelihan, kemudian pengulitan dimulai dengan membuat irisan dari anus hingga leher melewati perut dan dada kuda, kemudian dari arah kaki belakang dan depan, hingga kulit terlepas. Selanjutnya pemisahan kepala dan ekor, pengeluaran jeroan dengan membelah tulang pubis lalu pembelahan abdomen serta tulang strenum. Jeroan dikeluarkan dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan atau robek. Tahap terakhir pengkarkasan. Karkas kuda di Jeneponto adalah bagian tubuh kuda tanpa kulit, jeroan, organ reproduksi, ambing, dan ekor.

(36)

Tabel 4 Kesesuaian Fasilitas TPH Kuda

Parameter Bobot Nilai kesesuaian fasilitas TPH

A B C D E F G H I J K L M N O

Lokasi 24.00 12.00 12.00 12.00 12.00 13.00 11.50 13.00 12.00 12.00 12.50 12.50 11.50 14.00 14.00 11.50 Sarana/prasarana

pendukung

18.00 11.50 8.00 9.50 9.00 11.50 7.50 10.00 7.00 7.00 8.00 9.50 8.50 12.00 7.00 8.50 Bangunan utama 54.00 11.50 11.50 11.50 12.00 14.50 12.00 15.00 13.00 12.00 12.00 15.00 13.00 13.00 13.00 13.00 Area penurunan

ternak

12.00 7.00 5.00 8.00 0.00 5.00 0.00 7.00 0.00 0.00 5.00 5.00 0.00 7.00 7.00 0.00 Kandang penampung

ternak

21.00 10.25 9.50 10.50 9.00 9.25 8.75 9.25 8.80 7.50 8.50 7.75 7.75 8.00 8.25 7.50 Kandang betina

produktif

6.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Kandang isolasi 12.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Area pemuatan

karkas/daging

12.00 3.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00 2.00 Kantor 6.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Kantin dan Musholla 3.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Ruang istirahat

karyawan

6.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Kamar mandi, WC 9.00 5.75 4.00 0.00 0.00 5.50 0.00 3.25 0.00 0.00 4.25 4.25 3.75 4.25 3.50 0.00 Insenerator 12.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Sarana penanganan

limbah

(37)

Tabel 5 Rataan bobot dan persentase karkas dan non karkas kuda

Peubah

Jenis kelamin

Jantan

(jumlah kuda = 15 ekor)

Betina

(jumlah kuda = 5 ekor)

Bobot karkas (kg) 124.73 ± 9.45 121.6 ± 6.47 Bobot non karkas (kg) 65.64 ± 10.81 60.08 ± 8.62 Bobot total (kg) 190.37 ± 20.00 175.45 ± 14.45

Persentase karkas (%) 65.72±2.16 67.05±1.92

Persentase non karkas (%) 34.28±2.16 32.95±1.92

Tabel 6 Rataan bobot dan persentase komponen non karkas kuda

Peubah

Jenis kelamin

Jantan

(jumlah kuda = 15 ekor)

Betina

(jumlah kuda = 5 ekor)

kg % kg %

Bobot kepala 15.24 ± 1.90 8.00 ± 0.39 13.20 ± 2.20 7.23 ± 0.61

Bobot kulit 17.46± 3.83 9.07 ± 1.09 15.32 ± 2.78 8.38 ± 0.81 Bobot ekor 1.51 ± 0.16 0.80 ± 0.09 1.53 ± 0.19 0.84 ± 0.08

Bobot jeroan merah 10.71 ± 2.21 5.58 ± 0.65 10.2 ± 1.64 5.60 ± 0.56

Bobot jeroan hijau 14.11 ± 2.58 7.36 ± 0.71 13.6 ± 1.82 7.46 ± 0.44

Bobot darah dalam penelitian ini tidak ditimbang secara langsung karena keterbatasan alat sehingga bobot darah dihitung berdasarkan persentase darah dari sapi menurut Lestari et al. (2010) yaitu untuk sapi jantan sebesar 3.59% dari bobot badan dan untuk sapi betina sebesar 3.54%. Bobot potong kuda diperoleh dari jumlah keseluruhan bobot karkas, kulit, jeroan, kepala, ekor, dan darah.

Produksi daging kuda Sulawesi Selatan merupakan yang tertinggi di Indonesia sebesar 1164 ton di tahun 2013 (KEMENTAN 2014). Persentase karkas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya: ada atau tidaknya pemuasaan dan lama pemuasaan (Hafid dan Rugayah 2010), teknik pemotongan karkas (Rizal 2014), tingkat perlemakan tubuh (Ismail et al. 2014) dan bobot potong (Suryadi 2006).

Hasil penimbangan karkas dan non karkas kuda dalam penelitian ini menunjukkan persentase karkas kuda sebesar 65.72% untuk jantan dan 67.05% untuk betina. Persentase karkas kuda di Jeneponto lebih tinggi dibandingkan persentase karkas hasil penelitian Gonzales et al. (2006) dalam penelitian pada kuda di Meksiko, sebesar 60%, sedangkan berdasarkan Litwinczuk et al. (2008), persen karkas panas kuda sebesar 65% dan karkas dingin sebesar 62.7%. Dibandingkan dengan sapi, persentase karkas kuda lebih tinggi. Hasil penelitian Ismail et al. (2014), persentase karkas sapi bali dan madura rata-rata 51.22%,

(38)

selain itu tidak dilakukan trimming (proses pemisahan lemak subkutan). Bagian kaki kuda termasuk ke dalam karkas karena pemotongan kuda di TPH kuda tidak berdasarkan pemotongan komersial yang umum dilakukan oleh RPH dan menurut SNI. Potongan karkas kuda di Jeneponto disesuaikan permintaan konsumen atau kebiasaan pemotong.

Jenis kelamin kuda yang dipotong adalah 5 ekor kuda betina dengan kisaran umur 3-5 tahun dan 15 ekor kuda jantan dengan kisaran umur 3-7 tahun. Terdapat 7 ekor kuda umur 3-4 tahun (I2), 6 ekor umur 4-5 tahun (I3), dan 7 ekor umur >5

tahun (I4). Hasil penimbangan menunjukkan kuda dengan persentase karkas dan

non karkas tertinggi adalah kuda jantan umur 6 tahun (I4) dengan persentase

karkas sebesar 71.11% dan non karkas sebesar 34.98%. Jumlah kuda jantan lebih banyak dipotong karena pemilik TPH beralasan kuda betina dapat dipelihara lebih lama hingga bunting dan beranak, meskipun pada kenyatannya masih dilakukan pemotongan kuda betina produktif. Selain itu, konsumen lebih memilih kuda jantan karena biasanya posturnya lebih besar dibandingkan kuda betina.

Dibandingkan dengan, persentase non karkas kuda (kulit basah, kepala, jeroan merah, jeroan hijau, dan ekor) lebih rendah yaitu 34.28% untuk kuda jantan dan 32.95% untuk kuda betina, sedangkan persentase non karkas sapi menurut Ismail et al. (2014) adalah 48%. Hal ini diduga disebabkan bagian kaki kuda yang dimasukkan menjadi komponen karkas di TPH Jeneponto sehingga komponen non karkas lebih rendah.

Persentase kepala kuda di TPH Jeneponto sebesar 8% untuk jantan dan betina 7.23%, sedangkan persentase kulit kuda sebesar 9.07% untuk jantan dan 8.38% untuk betina. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Lestari et al. (2010) pada sapi sebesar 6.51% untuk kepala jantan dan 5.42% untuk kepala betina, sedangkan kulit jantan sebesar 8.11% dan kulit betina 6.48%. Produktivitas jeroan merah kuda berkisar antara 5.58-5.60% dan jeroan hijau berkisar 7.36-7.46% sedangkan pada sapi potong silangan lokal menurut Rizal (2014) persentase jeroan merah berkisar 6.12-9.15% dan jeroan hijau 9.15-12.99%.

Persentase non-karkas kuda jantan lebih tinggi dibandingkan kuda betina. Tingginya persentase bagian non-karkas kuda terutama disebabkan oleh bobot kepala dan bobot kulit kuda jantan yang lebih besar persentasenya dibandingkan dengan kuda betina. Persentase kulit kuda jantan terhadap bobot badan sebesar 9.07% sedangkan kulit kuda betina sebesar 8.38%. Soeparno (2005) menjelaskan bahwa jenis kelamin memang memiliki pengaruh yang kecil terhadap pertumbuhan relatif komponen non-karkas, kecuali kepala. Ditambahkan oleh Lestari (2010), berat kulit ternak jantan lebih tinggi dibandingkan ternak betina karena biasanya ternak jantan mempunyai konformasi tubuh yang lebih besar daripada betina, sehingga proporsi kulitnya lebih lebar dibandingkan dengan sapi betina.

(39)

Angka Lempeng Total Daging Kuda

Uji kualitas mikrobiologi daging kuda dilakukan dengan menghitung angka lempeng total (ALT). Hasil uji ALT kemudian dibandingkan dengan syarat mutu mikrobiologis daging sapi menurut SNI (2008). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia, ALT daging sapi sebesar maksimum 1x106. dan ditampilkan pada Tabel 7. Hasil uji sampel daging yang diambil dari 10 TPH di Kabupaten Jeneponto, seluruhnya tidak memenuhi syarat SNI.

Tabel 7 Hasil uji ALT bakteri daging kuda dari TPH di Jeneponto

Kode TPH ALT bakteri (CFU gr-1) Keterangan

H 1.8 x 106 TMS

A 1.0 x 107 TMS

B 8.4 x 106 TMS

I 2.1 x 107 TMS

J 5.7 x 107 TMS

K 8.7 x 107 TMS

C 2.0 x 107 TMS

F 1.4 x 107 TMS

L 2.5 x 107 TMS

E 9.1 x 106 TMS

a

TMS: tidak memenuhi syarat.

Data riset Andy dan Taufik (2010) pada daging kuda di Kabupaten Jeneponto menunjukkan bahwa rata-rata ALT daging kuda setelah penyimpanan 8 jam sebesar 2.9x106 dan termasuk dalam kategori TMS jika dibandingkan dengan SNI (2008). Bakteri yang mungkin mengkontaminasi daging kuda menurut Gill (2005) adalah Salmonella, Yersinia enterocolitica, dan parasit Trichinella (dalam kondisi tertentu).

Hasil uji ALT sampel daging kuda yang tidak memenuhi syarat dapat disebabkan oleh sanitasi peralatan, pekerja, bangunan, dan fasilitas di TPH kuda. Jumlah bakteri daging kuda dapat meningkat pada saat pengemasan, transportasi, dan penjualan di pasar. Tingginya jumlah bakteri pada daging kuda berkaitan dengan buruknya pelaksanaan GSP di TPH kuda yang telah dipaparkan sebelumnya dalam hasil penelitian ini. Secara spesifik dapat diidentifikasi kemungkinan sumber pencemaran bakteri pada daging kuda berdasarkan hasil evaluasi GSP. Penyebabnya antara lain: paparan dengan permukaan lantai dan peralatan yang tidak bersih, sanitasi pekerja, kontaminasi dari isi saluran pencernaan, kontaminasi dari air, dan kontaminasi dari pembuangan limbah TPH.

Gambar

Gambar 2  Pelabuhan di Desa Bungeng
Gambar 4  Kondisi bangunan TPH kuda
Tabel 1  Rekapitulasi hasil evaluasi pelaksanaan pemotongan halal di TPH kuda
Gambar 5  Pengerjaan karkas di lantai TPH kuda
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini fokus pada aspek etika dalam Professional Judgment yang muncul sebagai konsekuensi perubahan dari Rule Based menjadi Priciple Based dalam

Band-band atau kelompok musik death metal di Indonesia menjadi salah satu contoh yang menampilkan ungkapan ilustrasi visual dalam desain sampul kaset dan CD

pada ikan kerapu macan (Epinephelus fuscogatattus ) dan besar pengaruh ekstrak jeruk nipis (Citrus aurantifolia ) terhadap pertumbuhan bakteri Vibrio sp.. pada ikan

Kemudian karyawan koperasi mewawancarai calon peminjam apakah sudah menjadi anggota atau belum menjadi anggota koperasi, jika peminjam belum menjadi anggota koperasi

Gambar dendogram di atas terlihat tiga aksesi yang memiliki jarak euclidius yang berbeda dari garis lainya, sehingga dapat ditentukan tiga aksesi tersebut dan

Penelitian ini meliputi tiga tahap; pertama yaitu pretes yang dilaksanakan diawal pertemuan sebelum belajar dengan menggunakan task based learning

Sebelum para rombongan berjalan menuju rumah keluarga pihak perempuan, terlebih dahulu mereka berkumpul untuk menanti rombongan yang belum datang untuk mengikuti arak-arakan, dan

Hubungan Sikap Dengan Kunjungan Antenatal Care (ANC) Di Kota Surakarta, Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan diketahui bahwa hubungan pengetahuan