• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE

DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER

DI PERAIRAN UTARA PAPUA

LA ELSON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 11 Agustus 2014

(4)

RINGKASAN

LA ELSON. Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR MANIK dan UDREKH.

Teknologi akustik multibeam echosounder sangat baik digunakan untuk mendeteksi dasar laut. Prinsip kerja dari teknologi ini adalah pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil topografi dasar laut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi akustik multibeam echosounder melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut. Data batimetri diperoleh dari hasil survei Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) yang dilaksanakan pada tahun

1998 − 2012 di perairan utara Papua pada titik koordinat 2°LS − 10°LU dan 135°

− 150° BT. Proses pengolahan dan analisis data meliputi koreksi data batimetri dan penentuan kaki lereng melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi dasar laut. Koreksi data batimetri yang diperoleh sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh International Hidrographic Organization (IHO) 2008. Nilai kesalahan pengkuran kedalaman perairan maksimal 5,265 meter dengan batas tolerensi kesalahan ± 54,270 meter. Batas tolerensi yang lebih besar dari nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan menunjukan bahwa teknologi akustik multibeam echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan. Melalui pendekatan model matematika diperoleh nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang merupakan daerah perkiraan kaki lereng. Penentuan daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise dilakukan dengan menggambungkan antara hasil perhitungan perubahan gradien maksimum dengan bentuk topografi permukaan dasar laut. Berdasarkan nilai perubahan gradien maksimum dan bentuk topografi permukaan dasar laut ditemukan informasi keberadaan kaki lereng Eauripik rise pada titik

koordinat 0° 00 01,53 − 7° 59 44,85 LU dan 139° 43 23,86 − 144° 05 00,47

BT di kedalaman antara 3.506,30 meter sampai 4.298,20 meter dengan jarak antara 116,16 sampai 347,19 kilometer. Posisi kaki lereng tersebut masing-masing terbagi dalam tiga lokasi di bagian barat dan timur puncak Eauripik rise perairan utara Papua.

(5)

SUMMARY

LA ELSON. Measurement of Foot of Slope the Eauripik Rise Using Multibeam Echosounder in Northern Papua Waters. Supervised by HENRY MUNANDAR MANIK and UDREKH.

Acoustic technology of multibeam echosounder can be used for detection of the seabed. The principle of multibeam is transmission of sound pulse with beam pattern wider and transverse to the hull.Each beam will receive one point of each depth for the whole depth data and connected to form a profile of the seabed topography. The purpose of the study was to determine the position of the foot of slope the Eauripik rise in the northern Papua waters using Acoustic technology of multibeam echosounder through the mathematical model and form of seabed topography. Bathymetry data were obtained from the survey Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT) and the Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) in 1998 − 2012 in the northern Papua waters withinthe coordinates of 2° S − 10° N and 135° − 150° E. Data processing and analysies included bathymetry data correction and determination of the foot the Eauripik rise was computed using mathematical model and seabed topography form. Corection of bathymetry data was conducted using International Hydrographic Organization (IHO) 2008. The measurements error of value maximum waters depth of 5,265 meters with limit error ± 54,270 meters. Limit error greater than the value of the waters depth measurement indicates that the acoustic technology of multibeam echosounder has high accuracy in detection the seabed for the determination of the foot of the Eauripik rise. Through the mathematical model approach was obtained maximum gradient of change value in each bathymetric profiles which is foot of the Eauripik rise area estimates. Determination of the foot of the Eauripik rise are estimates was combined between seabed topography with the calculated maximum gradient of change. Based on maximum gradient of change value and form of seabed topography, we found the foot of slope the Eauripik rise located at coordinates 0° 00' 01,53" ‒ 7° 59' 44,85" N and 139° 43' 23,86" ‒ 144 ° 05 '00,47 "E at depth ranging from 3.506,30 meter to 4.298,20 meter at a distance of between 116,16 kilometer to 347,19 kilometer. The position of the foot of slopes each divided in three locations in the west and east of peaks Eauripik rise of northern Papua waters.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)
(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

PENGUKURAN KAKI LERENG EAURIPIK RISE

DENGAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER

DI PERAIRAN UTARA PAPUA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan Desember 1998 sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua. Pengolahan dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Geosistem Teknologi BPPT Jakarta, dan Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Desember 2013 sampai bulan April 2014. Judul penelitian ini adalah Pengukuran Kaki Lereng Eauripik Rise dengan Multibeam Echosounder di Perairan Utara Papua.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Henry M Manik, MT dan Dr Ir Udrekh, MSc sebagai komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingannya selama proses penelitian, pengolahan data dan penulisan Tesis; Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian Tesis atas masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; Dr Ir Bisman Nababan, MSc sebagai komisi pendidikan Program Studi Teknologi Kelautan pada ujian Tesis atas masukan dan sarannya dalam penulisan Tesis ini; kepala BPPT yang telah memberikan izin penelitian menggunakan data hasil survei batimetri di perairan utara Papua; Bakrie Centre Foundationyang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan dan penelitian melalui program Bakrie Graduate Fellowship tahun 2013/2014; Yayasan Toyota dan Astra Indonesia yang telah memberikan bantuan dana penelitian tahun 2014; kedua orang tua, keluarga, istri dan anak-anak saya yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa selama menempuh pendidikan magister di IPB; serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini. Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat kelulusan dari program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB, akan tetapi penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Penulis mengakui bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan sehingga kedepan bisa menjadi lebih baik.

Bogor, 11 Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Topografi Dasar Laut 4

Kaki Lereng (Foot of Slope) 5

Multibeam Echosounder 6

3 METODE PENELITIAN 8

Waktu dan Tempat 8

Bahan dan Alat 9

Akuisisi Data Batimetri 9

Pengolahan Data Batimetri 10

Koreksi Data Batimetri 11

Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise 13

Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Kualitas Data Batimetri 15

Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise 18

Profil batimetri 18

Perubahan gradien maksimum dan topografi dasar laut 19

Peta Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise 35

5 KESIMPULAN DAN SARAN 36

Kesimpulan 36

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 39

(14)

DAFTAR TABEL

1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan 12

2 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES di perairan utara Papua 18

3 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES dan SRTM di perairan utara Papua 17

4 Posisi horizontal dan kedalaman profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua 18

5 Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri 20

6 Posisi horizontal daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise masing-masing profil batimetri di perairan utara Papua 35

6 Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0 11

7 Posisi profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua 19

8 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil satu 21

9 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil satu 22

10 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil dua 23

11 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil dua 25

12 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil tiga 26

13 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil tiga 27

14 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil empat 28

15 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil empat 30

16 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil lima 31

17 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil lima 32

18 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil enam 33

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Syntax proses smoothing data kedalaman masing-masing profil batimetri

menggunakan perangkat lunak matlab 39

2 Syntax proses perhitungan perubahan gradien maksimum menggunakan

perangkat lunak matlab 39

3 Syntax visualisasi dua dimensi perubahan gradien maksimum mengguna-

kan perangkat lunak matlab 40

4 Syntax visualisasi data batimetri dua dimensi dan tiga dimensi mengguna-

kan perangkat lunak matlab 40

5 Spesifikasi kapal yang digunakan pada saat survei batimetri 42 6 Spesifikasi sistem akustik multibeam echosounder yang digunakan pada

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki peluang untuk melakukan perluasan batas wilayah perairan lebih dari 200 Nautical Mile (NM) dan kurang dari 350 NM dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yang telah ditetapkan oleh hukum laut internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Hasil studi sementara berdasarkan data geologi, seismik, grafiti dan batimetri menunjukan bahwa terdapat tiga lokasi di Indonesia mempunyai prospek untuk melaksanakan submisi landas kontinen di luar 200 NM yaitu, di perairan barat Aceh, selatan Sumbawa dan perairan utara Papua (Bakosurtanal 2010). Perluasan batas wilayah di perairan barat Aceh telah berhasil dilakukan dan mendapat pengakuan dari UNCLOS pada tanggal 28 Maret 2011 (BIG 2013). Perluasan wilayah perairan tersebut diusulkan berdasarkan ketebalan sedimen menggunakan formula Gardiner. Klaim ini di dukung oleh kajian ilmiah menggunakan data seismik refleksi kanal ganda dengan kualitas yang lebih baik. Perairan selatan Sumbawa dan perairan utara Papua saat ini masih dalam proses kajian teknik perluasan batas wilayah yang dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama instansi terkait seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Kelautan (P3GL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Dinas Hidro-oseanografi Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut (Dishidros TNI-AL).

(18)

2

menunjukan adanya peluang Indonesia untuk melakukan perluasan batas wilayah menggunakan klausul tinggian samudera (BIG 2013). Kajian awal yang dilakukan di wilayah Eauripik rise perairan utara Papua merupakan hasil kesepakatan bersama dalam sidang internasional di PBB yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Papua New Guinea, Mikronesia dan Palua. Hasil kesepakatan sidang disetujui bahwa untuk melakukan submisi kepada UNCLOS dilakukan secara bersama berdasarkan kajian teknik secara ilmiah dari masing-masing negara yang bersangkutan. Namun, perkembangan terkini menunjukkan bahwa negara tetangga Mikronesia dan Papua New Guinea telah dengan sendiri-sendiri mengajukan klaim perluasan batas wilayah perairan kepada UNCLOS (BIG 2013). Perluasan wilayah yang dilakukan oleh negara Mikronesia dan Papua New Guine di perairan utara Papua diusulkan berdasarkan titik kaki lereng dari Eauripik rise dan Mussau ridge menggunakan data batimetri dari Suttle Radar Topography Mission (FSM 2013).

Kaki lereng adalah tempat perubahan gradien maksimum atau tempat pertemuan antara material asli dan endapannya yang terletak pada bagian permukaan lereng terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut (Djunarsjah 2004). Posisi kaki lereng dapat diketahui melalui informasi tentang karakteristik batimetri atau topografi dasar laut suatu perairan (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Informasi batimetri tersebut dapat diperoleh melalui teknik deteksi atau pengukuran dengan menggunakan teknologi akustik bawah air. Salah satu jenis teknologi untuk tujuan tersebut adalah multibeam echosounder. Teknologi ini mampu melakukan pemeruman (sounding) di dasar laut dengan akurasi tinggi dan cakupan yang luas (Anderson et al. 2008). Multibeam echosounder menggunakan prinsip yang sama dengan single beam echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal, yaitu setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil topografi dasar laut (Ona et al. 2009). Secara kontinyu multibeam mengirimkan pulsa suara dalam jumlah yang banyak ke dasar perairan, sehingga hal ini memungkinkan untuk dapat melakukan pemetaan dasar laut secara luas (Korneliussen dan Ona 2002). Teknologi akustik multibeam echosounder memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan teknologi sebelumnya, antara lain sistem ini dapat mengakses daerah yang sangat luas dengan resolusi tinggi, sehingga menjadikan teknologi ini sangat banyak digunakan dalam kegiatan pemetaan alur pelayaran, penelitian dan pemetaan geologi dasar laut, peletakan pipa minyak dan gas bumi, pencarian kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut dan penentuan gunung api bawah laut (Djunarsjah 2005).

(19)

3

Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan mengenai informasi keberadaan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai salah satu titik acuan perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dan kurang dari 350 NM, maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam penelitian ini: [1] teknik apa yang bisa digunakan dalam melakukan deteksi atau pengukuran posisi kaki lereng Earipik rise di perairan utara Papua; [2] bagaimana cara memberikan informasi kepada pemerintah Indonesia, khususnya di perairan utara Pupua mengenai lokasi atau posisi keberadaan kaki lereng Eauripik rise dari data batimetri yang memiliki tingkat akurasi yang lebih baik, hubungannya dengan perluasan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menggunakan teknologi akustik multibeam echosounder melalui pendekatan model matematika dan bentuk topografi permukaan dasar laut.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dari aspek teknis secara ilmiah dalam perluasan batas wilayah perairan suatu negara kepulauan dan memberikan informasi mengenai keberadaan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua sebagai acuan dalam penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM dengan negara tetangga seperti Papua New Guinea, Mikronesia dan Palau.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Topografi Dasar Laut

Dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya merupakan kelanjutan alamiah dari daratan dan ada hubungannya dengan sumberdaya alam yang terkandung di dalam daratan tersebut (Poerbandono 1999). Sumberdaya alam tersebut tidak hanya terbatas pada dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam wilayah teritorial suatu negara kepulauan tetapi juga terletak di luar wilayah teritorialnya (Parthiana 1990). Perpanjangan massa daratan yang berada di bawah laut secara berurutan dari bagian dangkal ke bagian yang lebih dalam disebut tepian kontinen (Poerbandono 1999). Tepian kontinen terdiri dari landas kontinen (continental shelf), lereng kontinen (continental slope), dan punggungan kontienen (continental rise). Landas kontinen merupakan bagian dari lempeng kontinen yang dibentuk oleh material alamiah yang terdiri dari batuan dasar (basement rock) dan endapan batuan sedimen yang menumpang di atasnya. Batuan dasar pada lempeng kontinen umumnya berupa batuan beku yang mempunyai berat jenis lebih ringan daripada berat jenis batuan dasar lempeng lautan (oceanic plate) dan memiliki karakteristik topografi permukaan dasar laut lebih datar dengan kemiringan rata-rata 0,1º serta kedalaman 130 meter sampai 200 meter. Tepian pada tipe Pasifik umumnya sempit dan bebatuan karena pembentukannya dipengaruhi oleh proses erosi. Lereng kontinen dimulai dari batas kontinen yang merupakan bagian terluar dari landas kontinen dan berakhir pada kedalaman 1.500 meter sampai 4.000 meter yang dicirikan dengan adanya lereng yang curam. Kemiringan rata-rata pada lereng kontinen berkisar pada 3º sampai 6º. Lereng kontinen pada tepian Pasifik dicirikan dengan lereng yang terjal dan menerus hingga mencapai laut dalam. Punggungan kontinen memiliki karakteristik kemiringan rata-rata 0.1º sampai 1º ke arah dasar laut yang lebih dalam dengan kedalaman antara 4.000 meter sampai 5.000 meter.

Menurut Hutabarat dan Evans (1985) secara geologi bagian-bagian topografi dasar laut meliputi:

1) Paparan (shelf), yaitu zona laut dangkal yang meluas dari batas bagian yang selalu terendam air sampai pada kedalaman sekitar 120 meter berlanjut ke bagian-bagian yang menurun curam searah laut dalam;

2) Lereng (slope), yaitu bagian dasar laut yang curam mulai dari batas luar paparan sampai ke bagian air yang lebih dalam;

3) Tanjakan (rise), yaitu punggungan yang lebar dan memanjang, lerengnya lebih landai dari pematang gunung;

(21)

5

8) Busur (arc), yaitu pematang gunung yang membentuk kurva dan beberapa bagian ada yang muncul ke atas permukaan air laut; dan

9) Palung (rough), yaitu depresi yang memanjang dan lebar dengan bentuk lereng yang lebih curam dan dalam.

Penggambaran bentuk morfologi dasar perairan dapat dilakukan dengan membuat peta batimetri menggunakan garis kontur, yaitu garis khayal untuk menggambarkan semua titik yang mempunyai ketinggian yang sama di atas atau di bawah permukaan datum tertentu (Porbandono 1999).

Gambar 1 Bentuk topografi dasar laut (Hutabarat dan Evans 1985)

Kaki Lereng (Foot of Slope)

Kaki lereng (foot of slope) merupakan sebuah tempat perubahan atau tempat pertemuan antara material asli dan endapanya (akumulasi material). Endapan tersebut bermula dari tempat yang stabil dengan gradien yang kecil atau mendekati yang mendatar (Djunarsjah 2004). Keberadaan endapan pada tempat yang stabil menunjukan bahwa kaki lereng terdapat pada permukaan lereng terjauh atau bagian terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut. Menurut Djunarsjah (2004) kaki lereng memilki karakteristik sebagai berikut:

1) Memiliki garis lipatan antara dua lereng atau permukaan yang berbeda; 2) Memiliki garis penghubung antar dua struktur kerak yang berbeda; 3) Permukaan atas mewakili struktur asli kerak tepian kontinen;

4) Permukaan bawah mewakili struktur endapan kerak tepian kontinen yang sesuai;

5) Permukaan tertinggi memiliki gradien yang lebih besar dari permukaan yang lebih rendah;

6) Permukaan bawah atau endapan terletak di dekat cekungan dasar laut;

7) Jika terdapat beberapa lipatan, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan terbesar sebagai kaki lereng; dan

8) Memiliki perubahan gradien lereng.

(22)

6

pada Gambar 2. Aturan umum yang berlaku untuk menentukan keberadaan kaki lereng adalah melalui perhitungan perubahan gradien maksimum pada dasar lereng (CLCS 1999). Namun apabila ada bukti yang bertentangan dengan hal tersebut, maka kaki lereng ditentukan tidak berdasarkan aturan umum, sehingga untuk memastikan letak kaki lereng perlu dilakukan identifikasi terhadap wilayah dasar lereng berdasarkan bukti-bukti geologi dan geofisika. Menurut Pratomo (2007) terdapat dua tahapan untuk menentukan keberadaan kaki lereng, yaitu identifikasi wilayah dasar lereng dan penentuan lokasi titik perubahan gardien maksimum di wilayah dasar lereng. Identifikasi terhadap dasar lereng dapat dilakukan dengan melihat pada bukti morfologi dasar laut, dan bukti geologi dan geofisika. Hal tersebut dapat diketahui melalui survei seismik kelautan karena pemanfaatan teknologi seismik dapat mengetahui struktur dan karakteristik lapisan dasar laut dan sedimen yang terkandung di dalamnya (P3Gl 2013). Penentuan lokasi titik perubahan gradien maksimum di wilayah dasar lereng dapat diketahui melalui survei batimetri menggunakan teknologi akustik bawah air seperti multibeam echosounder.

Gambar 2 Pencarian dasar lereng (Djunarsjah 2004)

Multibeam Echosounder

(23)

7

mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika akan dipancarkan ke medium dan mengubah energi suara menjadi energi listrik ketika echo diterima dari suatu target. Selain itu fungsi lain dari transducer adalah memusatkan energi suara yang akan dipantulkan sebagai beam. Receiver berfungsi menerima pulsa dari objek yang ditampilkan pada display atau recorder yang berfungsi sebagai pencatat hasil echo. Sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh tranducer setelah echo diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum disalurkan ke recorder. Selama penjalaran beam menerima echo dari target, maka target yang terdeteksi oleh transducer terletak dari pusat beam suara dan echo dari target akan dikembalikan dan diterima oleh transducer pada waktu yang bersamaan. Recorder berfungsi untuk merekam atau menampilkan sinyal echo dan juga berperan sebagi pengatur kerja transmiter dan mengukur waktu antara pemancaran pulsa suara dan penerimaan echo atau recorder memberikan sinyal kepada transmiter untuk menghasilkan pulsa pada saat yang sama recorder juga mengirimkan sinyal ke receiver untuk menurunkan sensitifitasnya (Lurton 2002).

Teknologi akustik MBES menggunakan prinsip yang sama dengan single beam echosounder namun jumlah beam yang dipancarkan adalah lebih dari satu pancaran. Pola pancarannya melebar dan melintang terhadap badan kapal. Setiap beam akan mendapatkan satu titik kedalaman dan apabila titik-titik kedalaman tersebut dihubungkan akan membentuk profil dasar laut (Ona et al. 2009). Kapal yang bergerak maju, hasil sapuan MBES mengasilkan suatu luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut (Moustier 1996). Data kedalaman yang akurat dari hasil pengukuran dikoreksi terhadap kesalahan dari sumber-sumber kesalahan yang mungkin terjadi, seperti kecepatan kapal, sistem pengukuran, offset kapal, dan posisi kapal (Medwin dan Clay 1998).

Multibeam echosounder merupakan alat perum gema yang terdiri atas puluhan hingga ratusan transducer dan hydrofon yang terdapat dalam satu tempat dan membentuk sudut pancar seperti kipas dengan menggunakan frekuensi yang sama. Deteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan oleh dasar laut, transducer pada MBES menggunakan tiga metode pendeteksian, yaitu deteksi amplitudo, fase, dan inferometrik (Lurton 2002). Umumnya MBES menggunakan teknik inferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu. Pendeteksian inferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal datang, dengan menggunakan akumulasi sinyal yang diterima pada dua array yang terpisah, sehingga suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini menunjukkan hubungan fase tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan yang ada, suatu arah akan dapat ditentukan. Informasi ini jika dikombinasikan dengan jarak maka akan menghasilkan data kedalaman (Ona et al. 2009).

(24)

8

Teknologi akustik MBES dapat diaplikasikan dalam usaha pemanfaatan dan pengolahan sumber daya laut secara optimal, seperti pemetaan dasar laut dangkal maupun dalam yang dapat digunakan untuk kegiatan survei pemetaan alur pelayaran, pemetaan dan penelitian geologi, peletakan pipa minyak dan gas bumi, pemetaan dasar laut, pencarian kapal tenggelam, pencarian objek wisata dasar laut dan lain-lain yang berhubungan dengan survei batimetri dan hidrografi (Djunarsjah 2005). Bentuk sapuan dari sistem akustik MBES yang dipancarkan oleh transducer ke dalam kolom perairan ketika melakukan kegiatan pemeruman ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder (CSI 2003)

3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini menggunakan data hasil survei batimetri yang dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) pada bulan Desember 1998 sampai bulan Juli 2012 di perairan utara Papua pada koordinat 2° LS − 10° LU

(25)

9

Gambar 4 Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data batimetri hasil pengukuran multibeam echosounder (MBES) dan peta suttle radar topography mission (SRTM). Peralatan yang digunakan dalam survei batimetri antara lain, kapal Mirai yang dilengkapi dengan perangkat teknologi akustik multibeam echosounder tipe seabeam 2112.004, frekuensi 12 kHz, sudut sapuan maksimum 150°, sudut beam 2º x 2°, jumlah beam 151 dan jangkauan kedalaman sampai 11.000 meter; Global Positioning System (GPS); sensor attitude and positioning Coda Octopus F 180; Conductivity Temperature Depth (CTD); komputer sistem windows dan linux serta peralatan pendukung lainnya yang digunakan selama survei berlangsung. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan data antara lain komputer sistem windows dan linux yang dilengkapi dengan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0, Global Mapper 12, Matlab 10, ArcGis 10, Surfer 11 dan Microsoft Office 2013.

Akuisisi Data Batimetri

(26)

10

lereng Eauripik rise tetapi untuk tujuan eksplorasi sumberdaya alam yang terdapat di perairan utara Papua. Pemanfaatan data batimetri yang digunakan dalam penelitian ini penting karena peralatan yang digunakan, yaitu multibeam echosounder memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan (Anderson et al. 2008), sehingga data batimetri tersebut secara teknis dapat digunakan untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise. Teknologi akustik MBES sudah terpasang secara otomatis pada kapal selama survei berlangsung dan sistem navigasi yang digunakan pada kapal survei diatur dalam perangkat lunak hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data MBES. Data batimetri yang diperoleh pada masing-masing jalur survei langsung dilakukan koreksi terhadap pengaruh pergerakan kapal seperti pitch, roll dan heave. Koreksi tersebut menggunakan sensor attitude and positioning coda octopus F 180. Hasil koreksi tersebut selanjutnya digunakan untuk proses koreksi offset static. Selain melakukan koreksi terhadap pergerakan kapal juga dilakukan koreksi terhadap proses perambatan gelombang suara ke dalam medium air laut (sound velocity correction).

Pengolahan Data Batimetri

Data batimetri dalam bentuk raw hasil pemeruman selanjutnya diproses dengan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris untuk menghasilkan data posisi lintang dan bujur serta kedalaman terukur. Proses akuisisi data batimetri MBES di lokasi survei dan pengolahan data sampai mendapatkan nilai lintang, bujur dan kedalaman ditampilkan pada Gambar 5.

(27)

11

Proses pengolahan data batimetri secara umum dimulai dengan konfigurasi kapal atau pembuatan file kapal (vessel file). File kapal ini memuat informasi mengenai koordinat setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal. Proses berikutnya adalah pembuatan project, menentukan sistem koordinat yang digunakan dan melakukan konversi data (conversion wizard) sesuai dengan jenis multibeam yang digunakan dan penyimpanan session yang akan menampilkan urutan objek yang ditampilkan dalam windows display. Proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan beberapa koreksi terhadap data sensor seperti navigation editor, swath editor, dan altitude editor pada fase clean auxiliary sensor data. Kemudian dilakukan proses penggabungan (merge) file untuk membuat lembar kerja baru (new field sheet). Hasil akhir dari pengolahan data tersebut berupa peta batimetri (mapping product) yang selanjutnya di export berupa gambar berektensi *.bmp. Proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan data batimetri menggunakan perangkat lunak HIPS and SIPS of Caris 7.0

Koreksi Data Batimetri

Tingkat ketelitian dari data hasil pemeruman menjadi hal utama untuk diketahui, karena berhubungan dengan seberapa akurat data tersebut memberikan informasi mengenai nilai kedalaman sebenarnya di lokasi penelitian. Agar data yang diperoleh sesuai dengan standar yang telah ditentukan, maka perlu dilakukan suatu kontrol kualitas berupa koreksi data batimetri. Koreksi data batimetri dilakukan dengan mengacu pada International Hidrographic Organization (IHO) 2008. Proses koreksi tersebut dilakukan dengan menghitung penyimpangan kedalaman di titik analisis, yaitu titik perpotongan antara jalur melintang dan membujur pada wilayah survei yang dinyatakan sebagai kesalahan (s) berdasarkan persamaan sebagai berikut:

(28)

12

Keterangan:

s = Kesalahan kedalaman

dl = Kedalaman titik analisis pada jalur melintang db = Kedalaman titik analisis pada jalur membujur.

Besarnya kesalahan kedalaman perairan hasil pengukuran dibatasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh IHO (2008), yaitu tidak boleh melebihi batas toleransi sebesar 2σ. Ketetapan ini didasarkan pada nilai a dan b yang terdapat pada tabel standar minimum survei hidrografi (Tabel 1). Standar ketelitian pengukuran kedalaman orde spesial digunakan pada kondisi perairan kritis, seperti perairan dangkal dengan dasar perairan yang berlumpur; orde 1a merupakan daerah perairan dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak di bawah lunas kapal pengaruh critical area lebih kecil;orde 1b merupakan daerah perairan dangkal kurang dari 100 meter, yaitu jarak bawah lunas kapal tidak dipertimbangkan lagi karena termasuk daerah tipe permukaan yang diharapkan; dan orde 2 digunakan pada kedalaman perairan lebih dari 100 meter atau perairan dalam (IHO 2008). Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan dalam penelitian ini menggunakan standar survei orde dua, karena lokasi penelitian memiliki kedalaman lebih dari 100 meter atau termasuk perairan laut dalam.

Tabel 1 Standar ketelitian pengukuran kedalaman perairan

Orde Spesial 1a 1b 2

Proses perhitungan limit error atau batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan mengacu pada standar IHO (2008), yang secara matematik dapat diperoleh melalui persamaan:

(2)

Keterangan:

a = Konstanta kesalahan yang bersifat tetap (m)

b = Faktor kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap d = Kedalaman terukur (m)

b x d = Kesalahan kedalaman yang bersifat tidak tetap (m).

(29)

13

Kualitas data batimetri MBES juga dibandingkan dengan data batimetri SRTM. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana perbedaan kedua data ini, sehingga pada saat dilakukan overlay data batimetri di wilayah penelitian untuk pemetaan lokasi kaki lereng Earipik rise memiliki akurasi yang lebih baik. Titik analisis koreksi data batimetri SRTM dilakukan di lokasi yang sama dengan koreksi data batimetri MBES. Kualitas data batimetri SRTM dapat diketahui dengan membandingkan nilai kedalaman perairan hasil pengukuran MBES pada titik jalur survei arah melintang dengan data batimetri SRTM pada titik yang sama dengan jalur survei arah melintang oleh MBES. Titik analisis tersebut ditarik secara tegak lurus dari awal sampai akhir titik perpotongan jalur survei. Jarak titik analisis disesuaikan dengan panjang perpotongan masing-masing jalur survei. Perbandingan data batimetri SRTM dengan data batimetri MBES ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi untuk melihat tingkat ketelitian dalam menentukan posisi kaki lereng Eauripik rise di lokasi yang sama.

Penentuan Kaki Lereng Eauripik Rise

Teknik penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise dilakukan dengan cara menarik garis profil kedalaman dari data batimetri yang sudah dilakukan gridding secara tegak lurus dari garis isobath di tempat titik perubahan gradien pada dasar lereng. Selanjutnya pada garis profil kedalaman tersebut dihitung gradien dan perubahannya. Kaki lereng merupakan perubahan gardien maksimum pada dasar lereng sepanjang profil batimetri yang dibentuk. Khafid (2009) menyatakan bahwa untuk menentukan keberadaan kaki lereng harus dicari perubahan gradien maksimum pada profil kedalaman tersebut di daerah dasar lereng menggunakan pendekatan model matematika. Garis profil batimetri ditarik tegak lurus garis kontur kedalaman dengan interval jarak maksimal 60 NM antar profil kedalaman dan pendekatan model matematika dibangun menggunakan data batimetri dengan asumsi bahwa tegak lurus dengan lereng tepian kontinen (Khafid 2009). Data batimetri yang diperoleh dikelompokan berdasarkan wilayah atau lokasi pengambilannya, agar lebih mudah dalam menganalisis perubahan gardien secara maksimum. Selanjutnya data spasial yang diperoleh dari hasil survei yang sudah melalui proccessing selanjutnya dilakukan proses smoothing menggunakan moving average dalam perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 1). Data batimetri hasil smoothing tersebut kemudian digunakan untuk menghitung perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil data batimetri melalui pendekatan model matematika menggunakan perangkat lunak Matlab 10 (Lampiran 2). Model matematika tersebut dibangun dari data batimetri berupa data spasial (XYZ) secara kontinyu, yaitu X merupakan jarak dua titik bujur, Y merupakan jarak dua titik lintang dan Z adalah kedalaman. Menurut Khafid (2009) untuk memperoleh turunan pertama atau gradien diperlukan perhitungan jarak (dx) antara kedua koordinat (XY) menggunakan persamaan sebagai berikut:

(30)

14

Selanjutnya nilai kedalaman diturunkan terhadap nilai jarak untuk memperoleh nilai perubahan gradien. Menurut CLCS (1999) secara matematik perubahan gradien dapat dirumuskan sebagai berikut:

Jika fungsi dari profil batimetri pada tepian kontinen adalah y = f(x) yang secara kontinyu dapat diturunkan dua kali, maka fungsi perubahan gradien merupakan fungsi turunan keduanya, yaitu:

Kaki lereng merupakan perubahan gradien maksimum yang diperoleh dari turunan ketiganya, yaitu:

(31)

15

Pemetaan Kaki Lereng Eauripik Rise

Hasil penentuan daerah perkiraan kaki lereng Eauripik rise di wilayah penelitian dikelompokan berdasarkan posisi lintang dan bujur pada masing-masing profil batimetri. Posisi titik-titik kaki lereng yang ditemukan berdasarkan data batimetri MBES selanjutanya dipetakan menggunakan perangkat lunak Global Mapper 12 dan ArcGis 10, kemudian dilakukan overlay dengan data batimetri SRTM untuk memudahkan teknik pengukuran perluasan wilayah perairan lebih dari 200 NM bagi negara-negara yang ada di sekitar perairan utara Papua termasuk Indonesia. Pemetaan tersebut diharapkan dapat memudahkan dalam penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan Indonesia lebih dari 200 NM, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS 1982.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas data Batimetri

Koreksi kedalaman perairan sangat menentukan tingkat keakuratan data batimetri yang digunakan untuk menentukan posisi kaki lereng. Beberapa titik kedalaman yang dipakai dalam melakukan koreksi terhadap data batimetri ditentukan berdasarkan titik perpotongan jalur survei yang sudah dilakukan gridding. Penentuan ini dimaksudkan agar dapat mengetahui seberapa besar simpangan atau kesalahan deteksi di posisi yang sama pada waktu yang berbeda. Besar kesalahan setiap titik koreksi kedalaman perairan tidak melebihi batas toleransi yang telah ditetapkan oleh IHO (2008). Titik perpotongan jalur survei yang digunakan dalam koreksi kedalaman pada penelitian ini berjumlah 10 titik. Nilai kedalaman yang digunakan dalam koreksi kesalahan pengukuran merupakan rata-rata kedalaman masing-masing titik perpotongan jalur survei batimetri yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan agar kedalaman perairan di wilayah penelitian yang ditentukan pada setiap titik perpotongan jalur survei menyebar merata sesuai dengan bentuk topografi dasar lautnya.

(32)

16

Tabel 2 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES di perairan utara Papua

Posisi Titik Koreksi Kedalaman Kesalahan Limit error

Awal Akhir dmelintang

Berdasarkan nilai kedalaman minimum sebesar 2.356,41 meter, maka batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan adalah ± 54,27 meter. Nilai kesalahan pengukuran kedalaman perairan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2 berkisar antara 0,38 meter sampai 5,27 meter. Hal ini menunjukan bahwa dengan batas toleransi kesalahan untuk pengkuran kedalaman perairan sebesar ± 54,27, maka besarnya kesalahan pada titik koreksi masih berada dalam batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan pada klasifikasi survei hidrografi orde dua. Berdasarkan besar kesalahan tersebut, selain masih berada dalam batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman pada klasifikasi survei hidrografi orde dua, data batimetri MBES ini juga dapat memenuhi batas toleransi kesalahan pengukuran kedalaman perairan pada klasifikasi survei orde 1a dan 1b. Batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan jika menggunakan klasisifikasi survei hidrografi orde 1a dan 1b adalah ± 30,67 meter. Berdasarkan hal tersebut data batimetri hasil pengukuran multibeam echosounder yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh IHO (2008).

(33)

17

Tabel 3 Kualitas data batimetri hasil pengukuran MBES dan SRTM di perairan utara Papua

Posisi Titik Koreksi Kedalaman Kesalahan Limit error

Awal Akhir dMBES

Berdasarkan kedalaman minimum sebesar 2.359,66 meter, maka batas toleransi kesalahan untuk pengukuran kedalaman perairan menggunakan data batimetri SRTM di perairan utara Papua adalah ± 54,281 meter. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan batas toleransi kesalahan hasil pengukuran SRTM dengan batas toleransi hasil pengukuran MBES yaitu sebesar 11 meter. Perbedaan tersebut disebabkan karena metode pengambilan data menggunakan MBES berbeda dengan SRTM. Metode pengambilan data menggunakan MBES diukur dari bawah permukaan air di bagian lunas kapal pada kedalaman tertentu yang dilakukan secara langsung, sedangkan pengambilan data menggunakan SRTM, titik awal pengkuran dimulai dari atas permukaan air pada kedalaman nol meter menggunakan satelit dengan sistem SAR yang dilakukan melalui model hydrodinamic secara global (Durand et al. 2008). Informasi mengenai perubahan kedalaman perairan dapat diketahui melalui model yang digunakan berdasarkan variasi dinamis tinggi paras muka laut di setiap wilayah perairan (Fu et al. 2009). Mengetahui perbedaan kedalaman tersebut dalam melakukan overlay data batimetri untuk penentuan kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua menjadi lebih jelas, karena berhubungan dengan bentuk dan karakteristik topografi dasar laut masing-masing profil batimetri.

(34)

18

Posisi Kaki Lereng Eauripik Rise

Profil batimetri

Proses penentuan posisi kaki lereng Eauripik rise dilakukan berdasarkan penentuan garis profil batimetri hasil survei yang ditarik secara tegak lurus dari titik awal pengambilan data. Penarikan profil batimetri berawal dari bagian puncak Eauripik rise ke arah barat dan timur. Jalur survei batimetri yang dilakukan oleh Jamstec di perairan utara Papua berjumlah 36 jalur. Penentuan jumlah profil batimetri yang bisa digunakan dalam menentuan posisi kaki lereng Eauripik rise di perairan utara Papua disesuaikan dengan jumlah jalur survei yang melewati puncak Eauripik rise, yaitu sebanyak enam jalur. Jarak masing-masing profil dari puncak Eauripik rise ke arah barat maupun timur disesuaikan dengan panjang jalur survei yang terbentuk. Jalur survei satu dan dua hanya terdapat masing satu profil, sedangkan jalur tiga dan empat terdapat masing-masing dua profil (Gambar 7). Jalur satu dan dua hanya terdapat masing-masing-masing-masing satu profil karena pada lokasi tersebut jalur survei yang melewati puncak Earipik rise hanya satu arah saja yaitu dari puncak ke arah timur untuk profil satu dan ke arah barat untuk profil dua. Jalur tiga dan empat masing-masing terdapat dua profil karena jalur survei pada lokasi tersebut yang melewati puncak Eauripik rise dari dua arah, yaitu dari barat dan timur. Selanjutnya profil yang terbentuk digunakan untuk melihat bentuk topografi dasar laut dan perhitungan perubahan gradien pada dasar kaki lereng melalui pendekatan model matematika. Posisi horizontal dan kedalaman perairan masing-masing profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Posisi horizontal dan kedalaman profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua

Profil Posisi awal profil Posisi akhir profil Kedalaman (m)

Lintang Bujur Lintang Bujur Minimum Maksimum Rata-rata ∑ data 1 0,00º 141,38º 0,00º 145,70º 2.870,17 3.962,52 3.416,61 857 profil dua lebih dekat pada perairan ZEE Indonesia, sedangkan profil tiga sampai enam masuk dalam wilayah perairan ZEE Mikronesia. Hal ini menunjukan bahwa dalam proses penetuan kaki lereng Eauripik rise masing-masing negara di perairan utara Papua yang berhubungan dengan penentuan potensi penambahan batas wilayah perairan lebih dari 200 NM menjadi lebih mudah. Kedalaman perairan masing-masing profil batimetri yang terbentuk bervariasi, yaitu kedalaman minimum berkisar antara 1.256,54 meter sampai 2.870,17 meter, kedalaman maksimum berkisar antara 3.527,42 meter sampai 4.825,66 meter dan kedalaman rata-rata berkisar antara 1.333,78 meter sampai 3.632,94 meter.

(35)

19

kedalaman relatif stabil dibanding dengan profil lainnya. Profil dua dan empat kecenderungan perubahan kedalaman hampir sama. Hal ini menunjukan bahwa bentuk topografi permukaan dasar laut kedua profil tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama. Profil tiga perubahan kedalaman dari perairan yang dangkal ke perairan yang lebih dalam sangat bervariasi karena ada beberapa bagian kedalamannya mencapai 4.264,32 meter sedangkan rata-rata kedalaman sepanjang profil hanya 1.333,78 meter. Hal ini menunjukan bahwa dasar perairan pada profil tiga terdapat bagian yang landai dan beberapa bagian lainnya ada yang lebih curam. Kecenderungan perubahan kedalaman pada profil lima hampir sama dengan profil tiga, namun rata-rata kedalaman pada profil lima lebih besar. Perubahan kedalaman pada profil enam cenderung stabil karena dari perairan dengkal ke perairan yang lebih dalam perubahannya tidak besar. Hal ini dapat dilihat dari kedalaman rata-rata yang tidak jauh berbeda dengan selisi antara kedalaman minimum dan kedalaman maksimum pada profil tersebut.

Gambar 7 Posisi profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua

Perubahan gradien maksimum dan topografi dasar laut

(36)

20

dasar lereng sesuai dengan bentuk topografi dasar laut dari masing-masing profil batimetri. Proses perhitungan untuk menentukan keberadaan kaki lereng pada masing-masing profil batimetri dilakukan sebanyak jumlah profil yang terbentuk, yaitu enam profil. Nilai perubahan gradien maksimum (Tabel 5) yang diperoleh merupakan hasil perhitungan fungsi matematika dari turunan pertama (nilai gradien) dan turunan kedua (nilai perubahan gradien) masing-masing profil batimetri yang sudah dilakukan smoothing melalui moving average pada perangkat lunak matlab (Lampiran 1). Hal ini bertujuan untuk menghilangkan noise atau sinyal yang tidak diinginkan sehingga bentuk topografi permukaan dasar laut lebih jelas dan mempermudah dalam penentuan posisi kaki lereng (CLCS 1999). Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri di bagian Eauripik rise perairan utara Papua ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri

Jalur Profil Posisi Perubahan Gradien

Keberadaan kaki lereng dapat dilihat dari perubahan gradien lereng, yaitu apabila perubahan gradien lebih besar maka keberadaan kaki lereng tersebut sangat jelas kelihatan. Namun apabila perubahan gardien lebih kecil, maka lokasi yang tepat di kaki lereng tidak jelas terlihat, sehingga perlu dilakukan pencarian dari dua arah, yaitu ke arah kontinen dan ke arah samudera (Djunarsjah 2004). Nilai perubahan gradien maksimum pada masing-masing profil batimetri yang ditentukan sebagai posisi kaki lereng berkisar antara 9,75 × 10-9 sampai dengan 2,28 × 10-7. Perubahan gradien maksimum setiap profil batimetri ditentukan berdasarkan jarak terjauh dari titik awal penarikan garis profil agar potensi penambahan batas wilayah perairan lebih maksimal atau menguntungkan negara yang bersangkutan. Khafid (2009) menyatakan bahwa pemilihan posisi kaki lereng ditentukan dengan prinsip jarak terjauh dapat dijadikan sebagai titik potensi penambahan batas wilayah perairan yang dapat dikalim oleh suatu negara pantai.

(37)

21

Garis profil satu dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 400 kilometer (Gambar 8). Nilai perubahan gradien maksimum pada profil satu berkisar antara -2,78 × 10-8 sampai 2,34 × 10-8 (Gambar 8a). Titik perubahan gradien maksimum sebagai daerah perkiraan kaki lereng ditetapkan pada nilai 9,75 × 10-9di kedalaman 3.934,80 meter dengan jarak 347,19 kilometer dari puncak Eauripik rise. Variasi nilai perubahan gradien maksimum yang terjadi sepanjang profil satu menunjukan karakteristik permukaan dasar laut pada profil tersebut (Gambar 8b). Penentuan daerah perkiraan kaki lereng disesuaikan dengan bentuk topografi permukaan dasar laut sepanjang profil satu, yaitu pada bagian permukaan dasar lautnya terdapat beberapa lipatan di bagian yang lebih dalam (Gambar 9). Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah jika terdapat beberapa lipatan pada bagian permukaan dasar laut, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan terbesar sebagai kaki lereng.Selanjutnya titik-titik daerah perkiraan kaki lereng tersebut dapat dijadikan sebagai titik acuan perluasan batas wilayah perairan di luar 200 NM bagi negara yang ada di sekitarnya.

(a)

(b)

(38)

22

Bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES pada profil satu memiliki tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman sepanjang jalur yang dilewati sejauh ± 55,30 meter dan lebar sapuan ± 10 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman 11.000 meter. Jalur batimetri pada profil satu dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 400 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil batimetri yang dibentuk (Gambar 9). Tingkat kerapatan bentuk topografi permukaan dasar laut jalur sapuan MBES sepanjang profil satu lebih jelas kelihatan (Gambar 9a), sehingga memudahkan penentuan perkiraan kaki lereng di daerah dasar lereng. Data batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic secara global bentuk topografi dasar laut sepanjang profil satu (Gambar 9b) terlihat tidak rapat karena sistem pengambilan data kedalaman tidak dilakukan secara langsung tetapi diukur berdasarkan tinggi paras muka laut (Fu et al. 2009). Hasil pengukuran tersebut selanjutnya dimodelkan untuk melihat tingkat kecenderungan perubahan kedalaman perairan sampai pada kedalaman tertentu. Berdasakan hal tersebut bentuk permukaan dasar laut hasil pemodelan dari data batimetri SRTM tidak sebaik hasil pengukuran secara langsung oleh MBES. Hal ini menunjukan bahwa dalam penentuan daerah perkiraan kaki lereng sebagai salah satu acuan untuk perluasan batas wilayah perairan suatu negara pantai lebih dari 200 NM, data batimetri MBES lebih akurat dibandingkan dengan data batimetri SRTM.

(a)

(b)

(39)

23

Garis profil dua dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer (Gambar 10).Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil dua berkisar antara -2,07 × 10-7 sampai 7,25 × 10-8 (Gambar 10a). Penentuan posisi kaki lereng sepanjang profil dua ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 3,99 × 10-8 pada kedalaman 4.328,76 meter dengan jarak 271,69 kilometer dari puncak Eauripik rise.Variasi perubahan gradien maksimum cenderung stabil, hal ini menunjukan bahwa perubahan kedalaman sepanjang profil dua dipengaruhi oleh bentuk permukaan dasar laut (Gambar 10b). Daerah perkiraan kaki lereng pada profil dua memiliki perbedaan gradien yang lebih besar antara permukaan tertinggi dengan permukaan di bawahnya. Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah permukaan tertinggi memiliki gradien yang lebih besar dari permukaan yang lebih rendah. Perubahan gradien sepanjang profil dua cenderung stabil karena bentuk permukaan dasar lautnya memiliki perubahan kedalaman yang hampir konstan. Daerah perkiraan kaki lereng di dasar lereng pada profil dua lebih jelas kelihatan. Hal ini ditandai dengan perbedaan perubahan kedalaman di dasar lereng lebih besar dibandingkan dengan di atasnya.

(a)

(b)

(40)

24

Jalur batimetri pada profil dua dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 280 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 11). Topografidasar laut yang ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi jalur sapuan MBES sepanjang profil dua (Gambar 11a) memiliki lebar sapuan ± 10 kilometer, jangkauan deteksi sampai pada kedalaman 11.00 meter dan tingkat kerapatan antar titik kedalaman ± 46 meter. Karakteristik topografi dasar laut menunjukan adanya proses perubahan kedalaman dari puncak Eauripik rise ke arah dasar lereng lebih jelas. Keberadaan kaki lereng di dasar lereng ditandai dengan adanya perbedaan perubahan kedalaman yang lebih besar dari permukaan yang lebih tinggi ke arah permukaan yang lebih rendah. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa perbedaan kedalaman yang lebih besar dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah akibat perubahan topografi dasar laut merupakan salah satu ciri terjadinya perubahan gradien maksimum. Karakteristik dan bentuk topografi dasar laut sepanjang profil dua menunjukan posisi kaki lereng lebih jelas. Hal ini menunjukan bahwa data batimetri hasil pengukuran MBES memiliki akurasi yang tinggi dalam mendeteksi dasar perairan untuk penentuan kaki lereng. Titik-titik daerah perkiraan kaki lereng secara horizontal pada profil dua menunjukan tingkat kerapatan yang lebih baik. Hal ini ditandai dengan adanya bentuk perubahan kontur kedalaman yang lebih jelas pada daerah dasar lereng. Torres et al. (2013) menyatakan bahwa akurasi penentuan posisi kaki lereng sangat berpengaruh dalam kajian teknik untuk perluasan batas wilayah perairan suatu negara pantai. Titik-titik kaki lereng tersebut dapat digunakan untuk menentukan perluasan batas wilayah perairan lebih dari 200 NM sesuai ketentuan yang telah ditetapkan oleh UNCLOS 1982.

(41)

25

(a)

(b)

Gambar 11 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil dua

(42)

26

terdalam atau kaki dekat cekungan di dasar laut. Berdasarkan hal tersebut penentuan posisi kaki lereng pada profil dua ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 2,70 × 10-8 di kedalaman 4.226,20 meter dengan jarak 261,09 kilometer ke arah barat dari puncak Eauripik rise.

(a)

(b)

Gambar 12 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil tiga

(43)

27

Permukaan dasar laut pada bagian pertengahan sepanjang perofil tiga terdapat pematang gunung, yaitu bentuk punggungan yang memanjang dan puncaknya sempit dengan lereng yang curam. Den et al. (1971) menyatakan bahwa Eauripik rise awalnya terbentuk dari sedimen batuan yang berasal dari kerak samudera dan mengendap menjadi bukit-bukit kecil. Selanjutnya terdapat punggungan kecil yang puncakanya hampir landai dan di akkhir profil terjadi perubahan kedalaman yang lebih besar ke arah yang lebih dalam semakin stabil. Hal ini menunjukan keberadaan kaki lereng pada bagian tersebut kelihatan lebih jelas. Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 13b) pada profil tiga menunjukan perbedaan tingkat kerapatan perubahan kedalaman lebih besar dibandingkan dengan bentuk topografi permukaan dasar laut hasil pengukuran MBES. Hal ini terlihat dari bagian awal sampai akhir profil bentuk permukaan dasar laut tidak sama dengan jalur MBES. Daerah perkiraan kaki lereng pada jalur SRTM tidak terlalu jelas, sehingga posisi yang dipilih sebagai daerah perkiraan kaki lereng berbeda dengan jalur MBES. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh metode pengambilan data yang tidak sama dan teknik pemodelan yang digunakan pada perkiraan pengkuran kedalaman perairan menggunakan MBES dan SRTM.

(a)

(b)

(44)

28

Garis profil empat dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 200 kilometer (Gambar 14).Nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil empat berkisar antara -4,01 × 10-7 sampai 3,54 × 10-7 (Gambar 14a). Kisaran nilai perubahan gradien maksimum sepanjang profil menunjukan adanya perbedaan yang relatif konstan, namun pada bagian tertentu terjadi perubahan yang lebih tinggi seperti pada kedalaman 3.800 meter sampai 4.100 meter. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil empat (Gambar 14b). Penentuan daerah perkiraan kaki lereng sepanjang profil empat ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 7,10 × 10-8 di kedalaman 4.067,20 meter dengan jarak 141,74 kilometer dari puncak Eauripik rise. Penentuan kaki lereng ini disesuaikan dengan bentuk topografi dasar laut, yaitu pada kedalaman dan jarak tersebut terdapat ciri yang menunjukan keberadaan kaki lereng, seperti terjadinya perubahan kedalaman yang cukup signifikan, kemudian menjadi konstan karena dasar perainnya yang landai. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa akibat perubahan kedalaman yang yang tidak stabil pada bagian yang dangkal kemudian di bagian yang lebih dalam terjadi pola perubahan kedalaman yang stabil dapat mempengaruhi terjadinya perubahan gradien maksimum di wilayah tersebut.

(a)

(b)

(45)

29

Jalur batimetri pada profil empat dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah timur sampai pada jarak 200 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 15). Bentuk topografi dasar laut jalur survei MBES sepanjang profil empat (Gambar 15a) memiliki karakteristik hampir sama dengan jalur survei profil dua. Tingkat kerapatan antar titik kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 46,40 meter dan lebar sapuan ± 9,48 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman 11.000 meter. Pola perubahan kedalaman pada jalur empat terjadi secara signifikan dari kedalaman sekitar 2.500 meter sampai pada kedalaman 3.700 meter. Selanjutnya perubahan kedalaman relatif stabil dan landai sampai kedalaman 3.800 meter pada jarak 60 sampai 130 kilometer dari puncak Eauripik rise. Perkiraan keberadaan kaki lereng terlihat pada kedalaman sekitar 4.000 meter, yaitu pada kedalaman tersebut terdapat lereng yang curam dan pada bagian depannya relatif landai. Hal ini menunjukan bahwa pada bagian tersebut terdapat cekungan di dasar laut. Djunarsjah (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik kaki lereng adalah permukaan bawah atau endapan terletak di dekat cekungan dasar laut. Perkiraan daerah kaki lereng pada jalur sapuan MBES secara horizontal kelihatan lebih jelas. Hal ini menunjukan akurasi pengukuran batimetri menggunakan MBES untuk penentuan kaki lereng memiliki tingkat akurasi yang lebih baik.

Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 15b) pada profil empat menunjukan perbedaan tingkat kerapatan perubahan kedalaman lebih besar dibandingkan dengan bentuk topografi dasar laut hasil pengukuran MBES. Hal ini telihat pada bagian permukaan dasar laut yang tidak sama terutama di bagian pertengahan dan akhir profil. Permukaan dasar laut jalur SRTM terlihat jarak titik perubahan kedalaman lebih renggang dan cenderung lebih rata. Perbedaan kedalaman sepanjang profil empat menunjukan bahwa data SRTM tidak lebih baik dari data batimetri MBES. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sebaran data dan metode interpolasi yang digunakan pada model batimetri SRTM (Werner 2001). Daerah perkiraan kaki lereng pada jalur SRTM kelihatan tidak jelas karena pada bagian akhir profil seperti jalur MBES tidak menunjukan adanya titik kaki lereng yang lebih jelas. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kerapatan setiap titik perubahan kedalaman batimetri SRTM lebih renggang, sehingga mengakibatkan bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil empat tidak mendekati yang sebenarnya.

(46)

30

(b)

Gambar 15 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil empat

Garis profil lima dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 210 kilometer (Gambar 16). Perubahan gradien maksimum sepanjang profil lima berkisar antara -4,96 × 10-7 sampai 7,40 × 10-7 (Gambar 16a). Nilai perubahan gradien maksimum cenderung besar karena memiliki strukutur dasar perairan curum dan bukit-bukit kecil yang lebih banyak (Gambar 17). Hal tersebut mengakibatkan perubahan gradien maksimum dapat terjadi di setiap lereng. Namun penentuan posisi kaki lereng dipilih pada bagian yang terjauh dari awal penarikan garis profil. Khafid (2009) menyatakan bahwa penentuan titik kaki lereng menggunakan prinsip jarak yang paling jauh agar dapat menguntungkan negara yang bersangkutan dalam perluasan batas wilayah perairannya. Berdasakan hal tersebut, penentuan kaki lereng sepanjang profil lima ditetapkan pada nilai perubahan gradien maksimum sebesar 2,20 × 10-7 di kedalaman 4.298,20 meter dengan jarak 190,79 kilometer dari puncak Eauripik rise. Pentuan kaki lereng tersebut disesuaikan dengan bentuk permukaan dasar laut sepanjang profil lima (Gambar 16b).

(47)

31

Gambar 16 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil lima

Jalur batimetri pada profil lima dimulai dari titik nol di puncak Eauripik rise menuju ke arah barat sampai pada jarak 210 kilometer, disesuaikan dengan panjang profil yang dibentuk (Gambar 17). Bentuk topografi dasar laut jalur survei MBES sepanjang profil lima (Gambar 17a), memiliki karakteristik yang berbeda dengan jalur survei profil lainnya. Sepanjang dasar perairannya terdapat beberapa lembah yang curam dan bukit-bukit kecil yang menyerupai gelombang lebih jelas kelihatan. Karakteristik dasar perairan yang tampak jelas menunjukan bahwa teknik pengukuran kedalaman perairan menggunakan MBES memiliki tingkat akurasi yang lebih baik. Tingkat kerapatan antar titik kedalaman sepanjang jalur yang dilewati ± 57 meter dan lebar sapuan ± 11,60 kilometer serta jangkauan deteksi sampai pada kedalaman 11.000 meter. Hal ini sangat berpengaruh terhadap penentuan posisi kaki lereng. Daerah perkiraan kaki lereng yang telah ditetapkan menunjukan bahwa daerah tersebut memiliki ciri atau karakteristik dasar perairan yang menandakan adanya kaki lereng, seperti terbentuknya beberapa lipatan sepanjang profil jalur survei. Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa jika terdapat beberapa lipatan pada dasar perairan, maka lipatan yang terdalam memiliki kemungkinan besar sebagai kaki lereng. Perkiraan posisi daerah kaki lereng sepanjang profil lima memiliki jarak yang cukup jauh dari puncak Eauripik rise. Hal ini sangat menguntungkan bagi negara di sekitarnya untuk perluasan batas wilayah perairannya. Zahraa (2001) menyatakan bahwa batas wilayah perairan suatu negara dapat diperluas berdasarkan titik kaki lereng dengan ketentuan tidak melebihi jarak 350 NM dari garis pangkal negara tersebut.

(48)

32

(a)

(b)

Gambar 17 Visualisasi 3D bentuk topografi dasar laut jalur sapuan MBES (a) dan batimetri SRTM hasil model hydrodinamic (b) pada profil lima

(49)

33

(a)

(b)

Gambar 18 Visualisasi 2D perubahan gradien maksimum (a) dan bentuk permukaan dasar laut (b) sepanjang profil enam

(50)

34

Bentuk topografi batimetri SRTM hasil pemodelan hydrodinamic yang ditampilkan dalam bentuk 3D (Gambar 19b) pada profil enam secara spasial hampir sama dengan jalur MBES, namun ada beberapa perbedaan bentuk permukaan dasar laut, terutama di bagian awal dan pertengahan profil. Tingkat kerapatan antar titik perubahan kedalaman lebih renggang dan kasar. Daerah perkiraan kaki lereng mendekati jalur MBES, namun pada jalur SRTM keberadaan titik kaki lereng lebih ke arah perairan yang lebih dalam. Hal ini disebabkan karena sebaran data dan metode interpolasi yang digunakan dalam menentukan kecenderungan perubahan kedalaman perairan (Werner 2001). Perbedaan perubahan kedalaman di bagian awal dan pertengahan antara jalur SRTM dan MBES terlihat jelas. Jalur SRTM cenderung terputus-putus dan kasar, sedangkan pada jalur MBES lebih rapat dan halus. Hal ini menunjukan bahwa pengukuran menggunakan MBES terhadap kedalaman perairan memiliki akurasi yang tinggi (Lurton 2002).

(a)

(b)

Gambar

Gambar 1  Bentuk topografi dasar laut (Hutabarat dan Evans 1985)
Gambar 2  Pencarian dasar lereng (Djunarsjah 2004)
Gambar 3  Visualisasi bentuk sapuan multibeam echosounder (CSI 2003)
Gambar 4  Lokasi survei batimetri di perairan utara Papua
+7

Referensi

Dokumen terkait