• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performance of Production Abalon (Haliotis squamata) Quality using water Exchange by Flow Through System

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performance of Production Abalon (Haliotis squamata) Quality using water Exchange by Flow Through System"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

TASRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keragaan Produksi dan Kualitas Abalon Haliotis squamata dengan Penggantian Air Sistem Flow Through adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012

(3)

using water Exchange by Flow Through System. Supervised by KUKUH NIRMALA, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and TRI HERU PRIHADI.

This study aimed to determine the use of water exchange with flow through system for growing abalone, Haliotis squamata.This study was conducted using a completely randomized design with three replications. Briefly, abalone with average body weight 4.90±0.17 g, shell length 31.31±0.17 mm, and shell width 19.10±0.75 mm were subjected to varying rate water exchange and then control. This research water exchange of flow through system were set up at 0% (FT 0), 50% (FT 50), 100% (FT 100), 200% (FT 200) and 400% (FT 400). The results show that all water exchange had significantly different to the control (FT0). Growth response of FT 400, FT 200, FT 100, FT 50, and kontrol were 0.84±0,07%; 0.73±0.06%; 0,74±0,06%; 0.67±0.02%; and 0.46±0.02%, respectively. More over, FT 400 gain it’s shell growth highest (0,28±0.04%) than others. The growth of abalone shell length at FT 400 (105,72±0,53 µm) system treatment provide good growth than to control (59,67 0.41 µm). Water exchange with flow through system can support growth rate of abalone. FT 400% give survival rate, increase production, quality abalone and effieciency of the best diet.

(4)

dengan Penggantian Air Sistem Flow Through. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO dan TRI HERU PRIHADI.

Abalon (Haliotis squamata) merupakan komoditi perikanan yang memiliki prospek dan nilai ekonomis tinggi serta pangsa pasar yang cukup baik. Menipisnya stok abalon di alam, menyebabkan pengembangan budidaya abalon meningkat pesat dan sekarang tersebar luas di banyak negara termasuk Amerika Serikat, Meksiko, Afrika Selatan, Australia, Jepang, Cina, Taiwan, Irlandia, Islandia dan lainnya. Dari tahun 1989-1999, komoditi perikanan abalon di alam telah menurun sekitar 30%.

Tingginya permintaan pasar terhadap abalon yang diikuti harga yang tinggi menyebabkan eksploitasi abalon di alam menjadi semakin meningkat. Sediaan abalon diberbagai negara terus menurun akibat tangkapan berlebihan, sementara disisi lain permintaan selalu ada bahkan terus meningkat, kondisi ini lebih menciptakan kesempatan bagi kegiatan akuakultur abalon.

Kondisi lingkungan yang optimal melalui sistem penggantian air yang tepat diharapkan respon fisiologis abalon akan mencapai aklimatisasi sempurna, yaitu suatu kondisi dimana laju fisiologis tidak dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan. Apabila kondisi ini tercapai maka energi untuk aktivitas dapat ditekan sehingga akan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji penggantian air yang berbeda pada sistem flow through terhadap keragaan produksi dan kualitas abalon, H. squamata.

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol–Bali. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah pergantian air flow through sistem (FT) dimana perlakuan 0% (Kontrol), FT 50% = 1,042 liter jam-1, FT 100% =2,08 liter jam-1, FT 200% = 4,17 liter jam-1, dan FT 400% = 8,33 liter jam-1. Setelah selesai pemeliharaan maka dilakukan analisis pertumbuhan (berat dan panjang cangkang), kelangsungan hidup (SR), komposisi organ abalon (berat badan, cangakang dan organ dalam), bioekonomi, proksimat daging, uji proksimat pakan, uji organoleptik dan hedonik, Efisiensi pakan (EP), salinitas, oksigen terlarut (DO), suhu, pH, kesadahan, Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Phospor (PO4). Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam

(ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95% untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh. Jika perlakuan berpengaruh nyata, maka untuk melihat perbedaan antar perlakuan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey.

(5)

perlakuan sistem FT 400% (10,70 g) memberikan pertumbuhan bobot individu terbaik dibanding dengan kontrol (7,44 g) maupun perlakuan sistem FT 50% (8,91 0,327 g), FT 100% (9,29 0,348 g) dan FT 200% (9,46 0,43 g). Hasil uji secara deskriptif pada komposisi daging, perlakuan FT 400% (57,94%) lebih baik dibanding dengan kontrol (50,47%), diikuti dengan perlakuan lainnya. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa terjadi perubahan komposisi protein dan lemak.

Protein abalon pada perlakuan diakhir pemeliharaan mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol, demikian pula pada komposisi lemak. Kemudian hasil penilaian panelis terhadap tekstur abalon, pada uji organoleptik menunjukkan tingkat kekenyalan terbaik pada perlakuan FT 200% (85,19%) dan rasa gurih pada perlakuan FT 400% (89,66%). Sedangkan hasil uji hedonik cangkang cerah pada perlakuan FT 0% (77,27%) dan cangkang halus pada perlakuan FT 400% (42,86%). Penggantian air pada sistem flow through 400% dapat memacu laju pertumbuhan sehingga meningkatkan produksi dan kualitas abalon.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

TASRUDDIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Tasruddin

NRP : C151100021

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si Dr. Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

dan karunia Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini dengan judul Keragaan Produksi dan Kualitas Abalon (Haliotis squamata) dengan Penggantian Air Sistem Flow Through.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Nur Bambang Priyo Utomo, M.Si dan Dr. Ir. Tri Heru Prihadi, M.Sc, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritikan, saran dan masukan yang sangat berharga sejak persiapan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir. Eddy Supriyono, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan biaya pendidikan selama studi di IPB. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol – Bali, penanggung jawab peneliti abalon serta seluruh staf dan teknisi yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan dalam penelitian.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Luwuk, Drs. H. Basri Sono, MM, selaku ketua BPH Unismuh Luwuk, H. Oskar Paudi, SH, MM, Nirwan Moh. Nur, SH, MH yang telah membantu penulis dalam proses pendidikan di IPB, serta seluruh civitas akademika Universitas Muhammadiyah Luwuk yang selalu memberikan motivasi. Kepada teman-teman akuakultur angkatan 2010, Boyun Handoyo, S.Pi, M.Si, Wahyu Purbiantoro, Anna Oktavera, S.Pi, M.Si, Reza Samsuddin, S.Pi, M.Si, Agung Cahyo yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang berharga, juga kepada rekan-rekan seperjuangan atas doa dan kerjasamanya penulis ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT memberikan jalan yang diridhoi.

(11)

penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan menjadi acuan dalam pengembangan budidaya abalon yang berkualitas dan berwawasan lingkungan, sehingga restocking biota tersebut dialam tetap lestari dan terkendali.

(12)

Djulutara dan ibu almh Wa Iye. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis lulus SMA Neg. 2 Baubau pada tahun 1986 dan lulus seleksi pada Fakultas Perikanan Unidayan Baubau tahun 1988. Pendidikan S1 lulus dari Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau pada tahun 1993

Penulis pernah menjadi tenaga pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Unidayan Baubau tahun 1994-1996. Pada tahun 1999-2001 penulis bekerja di PT Bay Yuh Fishery Co. Ltd di Singapura. Pada tahu 2004 penulis bertugas sebagai staf pengajar pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Luwuk (sampai sekarang).

Penulis aktif mengikuti berbagai seminar/pelatihan yang berhubungan dengan pengembangan pendidikan diantaranya pelatihan pengembangan LPPM univesitas Muhammadiyah se Indonesia di Jakarta (2004), pelatihan PEKERTI (2007), pelatihan Applied Approach (2008), pengembangan Soft Skills (2009) dan penulisan bahan ajar (2009) di Makassar dan lain sebagainya.

Penulis pernah menjadi narasumber pada beberapa kegiatan diantaranya pengelolaan LEPM3 Swamitra Mina Kerjasama Bank Bukopin dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai (2005) dan sistem penggunaan PMP mandiri Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai (2009).

Penulis juga telah melakukan beberapa penelitian yang berhubungan dengan keilmuan, diantaranya Pengaruh Kepadatan terhadap Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Bulu Babi, Tripneustus gratilla, Pengaruh Pemberian Konsentrasi Pupuk Gandasil terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Laut, Eucheuma cotonii, Intensitas Kedalaman terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Abalon, Haliotis asinina dan lain sebagainya.

(13)

Halaman Klasifikasi dan Morfologi Abalon ( Haliotis squamata)……… 5

Habitat dan Distribusi……… 5

Uji Penilaian Organoleptik dan Hedonik……… 13

BAHAN DAN METODE

Proksimat Pakan Uji dan Daging Abalon……….. 17

Rancangan Percobaan……… 18

Parameter Diamati……… 19

Laju Pertumbuhan Spesifik Harian (SGR) Biomassa..………. 19

Pertumbuhan Panjang Cangkang……… 19

Sintasan (SR) ………. 19

Efisiensi Pakan………. 20

Komposisi Daging, Cangkang, dan Organ Dalam………. 20

Uji Proksimat Daging……….. 20

Uji Penilaian Organoleptik………. 20

(14)

Komposisi Daging, Cangkang dan Organ Dalam Abalon………... 24

Efisiensi Pakan……….. 26

Proksimat Daging Abalon……… 26

Penilaian Uji Organoleptik……….. 27

Penilaian Uji Hedonik……….. 27

Kualitas Air………. 28

Bioekonomi……… 28

Pembahasan………. 29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 41

Saran……….. 41

DAFTAR PUSTAKA………. 43

LAMPIRAN……… 51

(15)

xix

1 Proksimat pakan uji (rumput laut, G.verrucosa) yang digunakan

dalam perlakuan (dalam berat basah dan kering)……….. 18 2 Parameter air yang diukur dan alat yang digunakan……… 21 3 Bobot utuh (BU), panjang cangkang (PC), pertumbuhan mutlak (PM),

laju pertumbuhan harian (SGR) dan pertumbuhan panjang cangkang (∆SL) abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari………... 24 4 Proksimat daging abalone perlakuan (dalam berat kering)……… 27 5 Persentase kesukaan terhadap sifat karakteristik organoleptik abalon... 27 6 Persentase kesukaan terhadap karakteristik warna dan permukaan

cangkang abalon……….. 28

7 Kisaran nilai kualitas air pada wadah pemeliharaan abalon………. 28 8 Analisa bioekonomi dari lima jenis perlakuan penggantian air pada

sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari

(16)

xxi

1 Hewan Uji (Abalon, Haliotis squamata) ……….………… 4

2 Dimensi cangkang abalon (A: panjang) dan (B: lebar)………. 15

3 Wadah pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian………. 15

4 Pakan rumput laut (Gracilaria verrucosa)………. 17

5 Sintasan abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan……….. 23

6 Rerata pertumbuhan bobot individu abalon (g) dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan……….. 25

7 Komposisi daging, cangkang dan organ dalam abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan……….. 25

8 Efisiensi pakan dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan. Kolom dengan huruf sama tidak berbeda nyata (Tukey, p<0,05)………. 26

(17)

xxiii

1 Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian……… 51

2 Konsumsi pakan berat basah, berat kering, biomassa abalon dan efisiensi pakan………. 52

3 Rata-rata sisa pakan selama penelitian……….. 53

4 Pertumbuhan Mutlak……….. 54

5 Laju pertumbuhan harian (SGR)……….. 55

6 Pertumbuhan panjang cangkang………. 56

7 Komposisi organ abalon awal dan akhir penelitian………... 57

8 ANOVA Efisiensi Pakan………. 58

9 Kuesioner uji Organoleptik dan hedonik………. 59

10 Uji penilaian organoleptik………... 61

11 Uji penilaian hedonik………... 61

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Abalon (Haliotis squamata) merupakan komoditi perikanan yang memiliki prospek dan nilai ekonomis tinggi serta pangsa pasar yang cukup baik. Menipisnya stok abalon di alam, menyebabkan pengembangan budidaya abalon meningkat pesat dan sekarang tersebar luas dibanyak negara termasuk Amerika Serikat, Meksiko, Afrika Selatan, Australia, Jepang, Cina, Taiwan, Irlandia, Islandia dan lainnya. Dari tahun 1989-1999, komoditi perikanan abalon di alam telah menurun sekitar 30%, sedangkan produksi global budidaya abalon telah meningkat lebih dari 600% (Gordon & Cook 2001). Produsen terbesar abalon budidaya di dunia adalah Cina dengan lebih dari 300 peternakan dan total produksi sekitar 3500 ton, sebagian besar merupakan spesies H. diversicolor supertexta (Gordon & Cook 2001).

Di Indonesia harga jual abalon dalam bentuk hidup dan kering berkisar antara Rp 250.000-600.000 kg-1 tergantung ukurannya. Hal ini berbeda dengan biota lain, misalnya ikan kerapu yang ditentukan dengan ukuran tertentu dan dalam bentuk hidup, selain dari kondisi hidup dimaksud maka nilai jualnya sangat rendah (Susanto et al. 2008).

Tingginya permintaan pasar terhadap abalon yang diikuti harga yang tinggi menyebabkan eksploitasi abalon di alam menjadi semakin meningkat. Sediaan abalon diberbagai negara terus menurun akibat tangkapan berlebihan, sementara disisi lain permintaan selalu ada bahkan terus meningkat. Kondisi ini lebih menciptakan kesempatan bagi kegiatan akuakultur abalon. Hal ini diperlukan suatu upaya agar kelestarian sumberdaya abalon di alam tetap lestari melalui pengembangan budidaya. Upaya untuk memaksimalkan hasil diperlukan tehnik untuk mengembangkan budidaya agar dapat mengetahui tingkah laku secara biologis sehingga dapat digunakan sebagai indikator dalam kondisi budidaya yang optimal (Mgaya & Mercer 1994).

(19)

aplikasi penggantian air dalam budidaya bak terkontrol sehingga dapat menentukan kecepatan pertumbuhan yang baik, faktor lingkungan yang mungkin berpengaruh terhadap pertumbuhan abalon dalam sistem penggantian air (Basuyaux & Mathieu 1999). Oleh karena itu untuk meningkatkan produksi, perlu dilakukan perbaikan kondisi lingkungan budidaya agar sesuai denga kebutuhan yang optimal. Salah satu faktor yang sangat menentukan dalam upaya mempercepat proses pertumbuhan dengan manipulasi lingkungan. Sistem penggantian air yang tepat, selain dapat mempertahankan kualitas air juga dapat meminimalisir kondisi stres pada abalon akibat tekanan lingkungan, sehingga kondisi lingkungan, terutama media pemeliharaan selalu dalam keadaan optimal dan dapat memacu pertumbuhan.

Pergantian air adalah sumber utama oksigen terlarut dalam kebanyakan sistem flow-through. Dengan demikian, kepadatan, konsumsi pakan, dan laju aliran air harus seimbang sehingga konsentrasi oksigen terlarut tidak jatuh di bawah 5 ppm yang dapat menyebabkan ikan stres. Pertukaran air juga mendorong pemanfaatan pakan, meminimalisir kotoran, dan metabolit untuk mempertahankan kondisi yang baik untuk pertumbuhan. Namun, sebagian besar limbah padat mengendap dan terakumulasi di bagian bawah aliran air (Soderberg 1995).

Penelitian penggantian air diperlukan dengan dasar untuk penyediaan kualitas air yang baik, terutama kebutuhan oksigen terlarut dan menghindari unsur-unsur akumulasi dari sisa-sisa pakan (NH3). Dalam penggantian air secara

kontinyu dapat memberikan respon terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup, dimana dengan penggantian air dimaksud kualitas air akan baik dan ketersediaan ion-ion khususnya kasium, magnesium dan phospor berdampak pada pertumbuhan dan rasio daging atau berat badan abalon.

(20)

tercapai maka energi untuk aktivitas dapat ditekan sehingga akan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk menguji penggantian air yang berbeda pada sistem flow through dalam meningkatkan keragaan produksi dan kualitas abalon, H. squamata.

Perumusan Masalah

Sumberdaya perikanan Indonesia telah mengalami tekanan akibat penangkapan yang tidak selektif, diantaranya adalah abalon, H. squamata Populasi abalon di alam saat ini telah mengalami penurunan, untuk itu perlu pembudidayaan dalam memperbaiki populasi abalon tersebut. Beberapa metode dalam pembudidayaan abalon telah dilakukan, diantaranya metode keramba jaring apung (KJA) dan pen culture (jaring tancap), namun dari metode tersebut terdapat kendala-kendala diantaranya adalah mortalitas tinggi, profil pasang surut yang berbeda, sehingga dapat mengganggu konstruksi metode budidaya, pengendalian lingkungan yang luas dan aspek sosial.

Kebiasaan hidup abalon pada dasar perairan yang bersifat nokturnal telah berhasil dibudidayakan pada bak terkontrol namun terdapat kendala, yaitu sistem penggantian air sebagai optimalisasi pengembangan budidaya dan pengelolaan kualitas air yang efektif. Untuk itu perlu dilakukan pengujian sistem penggantian air yang optimal, sehingga parameter keragaan produksi serta kualitas abalon dapat terwujud dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji penggantian air yang berbeda pada sistem flow through terhadap keragaan produksi dan kualitas abalon, H. squamata.

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi dan solusi mengenai sistem pengelolaan air yang tepat dalam kegiatan budidaya abalon.

Hipotesis

(21)
(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Abalon (Haliotis squamata) Menurut Geiger (1999), klasifikasi abalon (Haliotis squamata) adalah : Kingdom : Animalia,C. Linnaeus,1758

Superphylum : Eutrochozoa

Phylum : Mollusca, C. Linnaeus,1758 Class : Gastropoda Cuvier, 1795

Subclass : Orthogastropoda, Ponder & Lindberg, 1996 Superordo : Vetigastropoda, Salvini-Plawen, 1980 Ordo : Archaeogastropoda

Superfamily : Haliotoidea, C.S. Rafinesque, 1815

Family : Haliotidae, C.S. Rafinesque, 1815 - Abalones Genus : Haliotis, C. Linnaeus, 1758

Spesies : Haliotis squamata, Reeve, 1846

Gambar 1 Hewan uji (Abalon, Haliotis squamata)

(23)

namun tidak membentuk kerucut akan tetapi berbentuk pipih (Fallu 1991). Abalon memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalon, semakin besar ukuran kerang abalon maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai dari ujung depan hingga belakang cangkang. Kerang abalon juga mempunyai mulut dan sungut yang terletak dibawah cangkang serta sepasang mata (Freeman 2001)

Kepala berwarna kecoklatan, sekeliling pinggir daging atau otot tubuhnya berwarna cream dengan bintik hijau gelap dan coklat. Kaki-kakinya berwarna cream dengan bintik kecoklatan. Haliotis squamata tidak mempunyai operkulum, mempunyai satu baris lubang-lubang dan sebagian lubang di bagian depannya terbuka yang berfungsi untuk menghembuskan air, abalon juga mempunyai mata, mulut dan sungut yang terletak di bawah cangkang.

Habitat dan Distribusi

Di Indonesia Abalon ditemukan di perairan Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara dan laut Flores. Haliotis squamata juga ditemukan di sebelah selatan Jepang, Korea dan Autralia (Susanto et al. 2008). Hidup di bawah terumbu karang pada siang hari dan muncul dipermukaan pada malam hari. Kerang abalon biasa ditemukan pada daerah yang berkarang yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Kerang abalon bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. Gerakan kaki yang sangat lambat sangat memudahkan predator untuk memangsanya (Fallu 1991).

(24)

mulai dari tepi perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20-50 meter serta di kawasan itu banyak ditumbuhi berbagai jenis rumput laut seperti Ulva sp, Gracilaria sp, Paddina sp Eucheuma sp, Dyctiota sp (Brotowidjoyo et al. 1995 dan Setiawati et al. 1995 diacu dalam Susanto et al. 2008).

Distribusi abalon sepanjang garis pantai dunia. Abalon tersebut ditemukan dari intertidal sampai kedalaman sekitar 80-90 meter, dari tropis ke perairan dingin (Fleming 1996). Sebagian besar spesies Australia ditemukan di perairan Selatan, mulai dari pantai New South, sekitar Tasmania dan sepanjang Utara Shark Bay. Spesies tersebut sebagian besar ditemukan pada substrat dari granit dan batu kapur (Joll 1996).

Kebanyakan abalon di dunia ditemukan di seluruh lautan beriklim sedang mereka hidup pada substrat berbatu dekat pantai, terumbu karang dan celah-celah karang (Leighton 2000). Spesies terbesar dari genus ini ditemukan didekat pantai Jepang, Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, Afrika dan Amerika Utara bagian barat (Leighton 2000).

Kebiasaan Makan

Di alam pada stadia larva memakan diatom bentik, sedangkan abalon dewasa dapat memakan makroalga (seaweed) yang terdiri dari tiga jenis, yaitu alga coklat, hijau dan merah (Fallu 1991). Abalon remaja memakan mikrofora bentik, sedangkan yang lebih dewasa memakan ganggang laut yang lebih besar seperti Macrocystis dan Nereocystis spp, yang melayang dan ganggang merah understory (Leighton 2000). Pemberian pakan tunggal rumput laut pada abalon tidak cukup menyediakan nutrisi yang seimbang (Eday & Fleming 1992). Lebih lanjut Viana et al. (1996) mengatakan di alam abalon makan berbagai spesies makroalga sehingga satu dengan yang lain akan saling melengkapi. Abalon bersifat nokturnal yaitu melakukan aktivitas di malam hari dan beristirahat di siang hari. Begitu pula dengan waktu makan yang kebanyakan malam hari, meskipun siang hari abalon juga makan tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit (Fallu 1991). Uki (1981 diacu dalam Susanto et al. 2008) menyebutkan, dari hasil penelitian diketahui abalon makan pada malam hari, dari waktu petang hingga tengah malam.

(25)

abalon mengalami peningkatan pertumbuhan secara signifikan bahkan melebihi pertumbuhan abalon dalam kondisi 12 jam terang, 12 jam gelap. Penelitian serupa pernah juga dilakukan di Amerika Serikat, dengan spesies yang berbeda. Pertumbuhan H. rufescens paling baik dalam kondisi gelap total tanpa adanya periode terang sama sekali (Fallu 1991).

Lundelius & Freeman (1986) menyatakan bahwa sinyal fotoreseptor diterima fotoreseptor yang terdapat di ganglion otak, selanjutnya sinyal mengaktifkan neurosecretory dalam ganglion otak sehingga merangsang perkembangan organ reproduktif abalon. Diduga bahwa proses ini juga berlangsung dalam proses kebiasaan makan abalon. Sinyal fotoreseptor dalam ganglion otak yang menerima kondisi gelap akan merangsang abalon untuk aktif makan. Singhagraiwan & Doi (1993) melaporkan bahwa H. asinina yang dibudidayakan memiliki rasio persentase berat daging terhadap berat total sebesar 85% dibandingkan dengan rasio 40% dan 30% masing-masing untuk H. ovina dan H. varia liar. Selanjutnya Tanawansombat (1992) melaporkan rasio yang sama untuk H. ovina (51%). Dia juga mengamati bahwa warna orange pada kaki abalon betina signifikan dibandingkan abalon jantan.

(26)

Ekologi Abalon

Abalon adalah termasuk ke dalam hewan herbivora sebagai produsen tingkat pertama, abalon memakan klekap, alga, bahkan phytoplankton dan diatomae. Abalon berintraksi dengan lingkungan menggunakan otot perut yang berfungsi sebagai kaki dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kakinya tidak cocok untuk kondisi dasar berpasir karena abalon tidak dapat melekat atau menempel. Di dasar yang berpasir, abalon mudah diserang oleh predator seperti kepiting, lobster, gurita, bintang laut, dan bulu babi, karena itu abalon banyak ditemukan di daerah berkarang. Abalon menghindari cahaya, pada saat terang mereka bersembunyi/menempel dibawah karang (Buen 2007). Abalon hidup di perairan dengan kualitas air yang ditentukan oleh kondisi lingkungan awal tempat hidupnya yang dipengaruhi air laut dengan salinitas 30 hingga 35 ppt.

Abalon Greenlip remaja dikenal aktif makan dengan pakan yang diberikan sepanjang malam. Fleming (1996) menemukan bahwa pada waktu tertentu selama periode 24 jam, setidaknya 4-10% abalon akan beristirahat. Periode paling aktif terjadi antara pukul 20.00 dan tengah malam 26-31% aktif. Namun, aktivitas menurun dari tengah malam hingga 8 pagi 7-15% aktif dan tidak ada gerakan yang diamati antara siang dan malam. Demikian pula, abalon makan, sering terjadi antara 20:00 dan tengah malam (25-31%). Namun ini menurun secara bertahap antara tengah malam dan 8:00 (dari 14% menjadi 4%). Sekali lagi pola makan tidak terjadi pada pukul 08:00-20:00.

Penggantian air

Sistem penggantian air merupakan alternatif yang tepat dan sangat penting untuk keberhasilan baik teknis maupun ekonomis. Berbagai biofiltrasi tersedia dan variabilitas kondisi di mana platform biofiltrasi diharapkan untuk melakukan bakteri nitrifikasi yang sensitif terhadap strategi manajemen kualitas air. Secara umum tingginya kadar amonia bersifat racun, menimbulkan penyakit kronis sehingga berdampak pada gangguan pertumbuhan dan tujuan produksi secara komersial (Manthe et al. 1985; Cheng et al. 2004; Svobodova et al. 2005).

Dalam sistem penggantian air mengacu penghapusan amonia (NH3 dan

NH4+) oleh nitrifikasi, pembuangan lumpur oleh sedimentasi atau filtrasi mekanik,

(27)

et al. 1999). Upaya peningkatan sistem penggantian air sekarang diarahkan dalam kontrol nitrat. Sistem penggantian air dilakukan untuk melepas langsung efek toksik pada ikan.

Shelter

Shelter merupakan tempat naungan bagi organisme hewan uji. Sehubungan dengan itu bahwa dalam teknik budidaya pembesaran harus disesuaikan untuk memperoleh abalon dengan kesehatan dan pertumbuhan yang maksimal (Huchette et al. 2003). Hal ini sangat penting untuk memperoleh pengetahuan tentang tingkah laku suatu spesies. Perubahan tingkah laku dalam kenyataannya dapat digunakan sebagai indicator atau peringatan dalam kondisi budidaya yang suboptimal. Dasar dari informasi tentang sifat biologis spesies di alam dan di laboratorium menggunakan behaviour sheltering sebagai proxy individual yang baik. (Cenni et al. 2009), Penelitian terhadap beberapa spesies Haliotis, ada beberapa spot karang yang paling sering ditempati sebagai shelter (tempat persembunyian) mungkin disebabkan karena di tempat itu memberikan perlindungan yang lebih baik dari pemangsa (Tarr 1995). Penelitian laboratorium pada H. rubra (Leach) (Huchette et al. 2003) dan H. tuberculata (Cenni et al. 2009) menunjukkan bahwa abalon tidak tersebar pada daerah sheltering yang disediakan dalam tangki, tapi berkumpul pada spot khusus, yang menyarankan bahwa fenomena ini, sheltering juga cocok pada spot yang terjadi pada lingkungan buatan.

Kualitas air

Menurut Pillay et al. (2005) perkembangan dan pertumbuhan abalon dalam wadah bak pada suhu air laut 12-18 °C, pH sekitar 9,1 dan salinitas diatas 20 ppt. Selanjutnya kisaran suhu dan salinitas optimal yang terbaik untuk pertumbuhan abalon (Haliotis asinina) adalah 24-30 oC dan 30-35 ppt (Susanto et al. 2008).

(28)

Abalon spesies H.asinina remaja dapat bertahan hidup dan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang baik pada salinitas 22.5 dan 32.5 ppt dan tingkat pertumbuhan sedikit menurun pada kisaran salinitas yang lebih rendah.

Tingkat pertumbuhan H. diversicolor supertexta remaja juga mengalami penurunan jika hidup pada kolam dengan salinitas rendah (Chen 1989). Chen melaporkan bahwa abalon remaja mati setelah 60 hari pada salinitas 25 ppt dan mati setelah 30 hari pada salinitas 20 ppt. Salinitas antara 32 dan 35 ppt dianggap optimal untuk H.diversicolor supertexta pada kolam grow-out. Selanjutnya dikatakan bahwa parameter kualitas air yang lainnya yaitu, pH antara 7-8, salinitas 31-32 ppt, H2S dan NH3 kurang dari 1ppm serta oksigen

terlarut lebih dari 3 ppm (Fallu 1991).

Abalon Greenlip (H. laevigata) dan Blacklip (H. rubra) dapat mentolerir tingkat salinitas dalam kisaran 23-40 ppt (Boarder et al. 2000). Selain itu, Boarder dan Maguire (1998) diacu dalam Freeman (2001) menemukan bahwa abalon Greenlip dapat bertahan 96 jam pada salinitas 28 ppt dan tergantung pada kebiasaan pakan pada salinitas 23 ppt. Dalam budidaya sangat penting untuk memiliki aerasi untuk mempertahankan tingkat oksigen. Deplesi oksigen dapat terjadi cukup cepat selama periode aliran air rendah atau suhu tinggi (Mozqueira 1996).

Pertumbuhan berkurang secara signifikan di kedua abalon Greenlip dan Blacklip ketika kualitas air mengandung amonia tinggi (5-197 mg/L) dan sub saturation DO (4,3-7,2 mg/L) selama periode 8 minggu (Hindrum et al. 1999). Parameter kualitas air berada dalam rentang: pH 7,1 – 7,7; DO 6.24 – 7,17 mg/L dan salinitas 32,3 – 35,0 ppt. Memonitor laju pertumbuhan (berat dan panjang) dilakukan pada 30 sampel acak setiap bulan (kecuali dalam beberapa kasus). Parameter kualitas air sebagai berikut: pH 7,91 – 8,46, DO 5,99 – 7,19 mg/L, salinitas 31,8 – 34,0 ppt dan suhu 11o

C (Februari) 28 oC (Agustus). Experimen dilakukan dari Juli 2002 sampai Juni 2004 (Alcantara & Noro 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa parameter kualitas air yang lainnya yaitu, pH antara 7-8, salinitas 31-32 ppt, H2S dan NH3 kurang dari 1ppm serta oksigen terlarut lebih

(29)

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan jaringan yang diakibatkan oleh pembelahan sel secara mitosis. Hal itu terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari pakan (Effendie 1979). Oleh karena itu, pemberian yang tepat dan mengandung nutrisi yang cukup merupakan pendukung utama dalam pertumbuhan abalon.

Menurut Eday dan Fleming (1992) pertumbuhan dan umur abalon menunjukkan variasi yang besar pada spesies berbeda. Selanjutnya generalisasi yang dibuat tentang pertumbuhan abalon, seperti: 1) tingkat pertumbuhan abalon sangat bervariasi terhadap daerah, musim dan perubahan suhu, 2) tingkat pertumbuhan dapat berbeda secara luas bahkan antar individu yang menempati daerah yang sama, secara umum mengalami peningkatan panjang cangkang sekitar satu inci pertahun di bawah kondisi yang optimal (Leighton 2000). Shepherd et al. (2001) dan Freeman (2001) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan greenlip abalon adalah 1,69 mm/bln dan laju pertumbuhan ini linear selama 5 tahun pertama. Hasil ini berdasarkan data dari individu-individu dengan ukuran berkisar 0,5-2,0 mm dan 30-70 mm. Namun, setelah periode ini laju pertumbuhan ditemukan menurun dengan meningkatnya panjang.

Tingkat pertumbuhan abalone sangat bervariasi tergantung pada kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan (Joll 1996). Namun, diharapkan bahwa individu budidaya dengan pasokan makanan konstan akan memiliki pertumbuhan terbesar selama bulan-bulan hangat. Tingkat pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa variabel, termasuk genotipe), kepadatan, jenis dan jumlah pakan (Brown 1991), aliran air, kualitas air dan teknik penanganan (Higham et al. 1998). Tingkat pertumbuhan juga dapat bervariasi antara substrat dan budidaya berbasis laut. Pertumbuhan tertekan lebih rendah dari suhu air optimal karena metabolisme diatur oleh suhu. Sebuah penyerapan makanan efisiensi 80% (bahan kering) tercatat untuk suhu antara 14,0 °C dan 27,0 °C, tapi efisiensi penyerapan hanya 21% pada 9,8 °C (Peck 1989).

Suhu air mempengaruhi metabolik abalon dan selanjutnya mempengaruhi laju pertumbuhan, hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan tokobushi yang lebih tinggi pada suhu 17oC dibandingkan pada suhu 12 oC. (Lopez Tyler & Viana 1998). Di Taiwan, abalon H. diversicolor tumbuh secara optimal pada suhu 24-30

o

(30)

dingin (Oktober sampai Maret) (Britz Hecht & Mangold 1997; Hoshikawa et al. 1998; Lopez et al. 1998; Kelly & Owen 2002). Suhu merupakan faktor lingkungan utama yang menentukan tingkat metabolisme hewan poikilothermic (Fry 1971 diacu dalam Yearsley 2007). Oleh karena itu, dalam konteks budidaya abalone, temperatur air adalah bagian penting dari lingkungan abalones. Dalam pertumbuhan abalon greenlip (Haliotis laevigata), menurunnya pertumbuhan 5% berdasarkan seluruh berat) terjadi pada pH ekstrim 7.78 dan 8.77 dan (menurunnya pertumbuhan 50%) terjadi pada pH 7.4. Untuk abalon blacklip ekstrem terjadi pada pH 7.93 dan 8.46, dan terjadi pada 7.37 dan 9.02 (Harris et al. 1999). Selain itu, mortalitas yang signifikan untuk kedua spesies terjadi pada pH lebih rendah dari 7.16 atau lebih besar dari 9.01 (Harris et al. 1999). Stoner (1989); (Mgaya & Mercer 1995) melaporkan bahwa konsumsi pakan abalon, ketika keluar dari tempat persembunyian (shelter), bergerak untuk makan, dipengaruhi oleh individu lain dan persediaan rumput laut yang dikonsentrasikan dalam lingkungan budidaya dengan densitas tinggi.

Uji Penilaian Organoleptik dan Hedonik abalon

Uji skoring dimaksudkan untuk menilai suatu sifat organoleptik abalon yang spesifik. Uji ini dapat digunakan untuk menilai sifat hedonik atau sifat mutu hedonik dengan memberikan penilaian terhadap mutu sensorik dalam suatu jenjang mutu (Soekarto 1985).

Tujuan uji penilaian (skoring) adalah memberikan suatu nilai atau skor tertentu terhadap suatu karakteristik mutu. Pemberian skor dapat dikaitkan dengan skala hedonik dan jumlah skala tertentu pada tingkat kelas yang dikehendaki. Jumlah panelis agak terlatih yang dibutuhkan pada uji ini adalah 15-25 panelis (Rahayu 1998).

(31)
(32)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol - Bali. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Analisis kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan phospor (PO4) dilaksanakan di Laboratorium Lingkungan, Departemen

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Analisis kesadahan dilaksanakan di BBPPBL Gondol – Bali.

Prosedur Penelitian Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah abalon (Haliotis squamata). Hewan uji diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol- Bali. Bobot awal 4,90±0,17 gram-1 ind, panjang cangkang 31,31±0,17 mm dan lebar cangkang 19,10±0,75 mm, abalon tersebut merupakan hasil budidaya. Sebelum perlakuan terlebih dahulu diaklimatisasi dalam bak fiber dengan volume air 2 m3 dilengkapi dengan aerasi dan sistem sirkulasi. Hewan uji diaklimatisasi selama satu hari dan diberi pakan Gracilaria verrucosa. Wadah pemeliharaan di aerasi selama 24 jam, bertujuan untuk meningkatkan oksigen terlarut dalam air. Pengukuran panjang dan lebar pada hewan uji digunakan jangka sorong (Siqma) dengan ketelitian 0,01 mm, disajikan dalam Gambar 2. Sedangkan untuk mengukur berat hewan dan pakan uji digunakan timbangan elektrik dengan ketelitian d: 0,01gr

Gambar 2 Dimensi cangkang abalon (A: panjang) dan (B: lebar).

(33)

Wadah Pemeliharaan

Wadah pemeliharaan adalah ember plastik, sebanyak 15 unit dengan ukuran tinggi 43 cm, diameter 48 cm dan volume air 50 liter. Setiap wadah ditempatkan karamba super net dengan mesh size 0.5 cm, dengan ukuran panjang x lebar x tinggi : 25 cm x 25 cm x 25 cm, dengan padat tebar 4 ind 10 l-1, sehingga total hewan uji yang digunakan 300 ekor. Masing-masing wadah ditempatkan shelter dari pipa poly venil chloride (PVC), dengan panjang 20 cm, lebar 15 cm dan tinggi 10 cm, shelter tersebut berfungsi sebagai pelindung atau naungan. Wadah pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Wadah pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian

Pakan Uji

(34)

yang diberikan setiap tiga hari. Pakan yang tersisa setiap tiga hari juga ditimbang dan dicatat sebagai pengurangnya. Jumlah keseluruhan pakan yang dikonsumsi pada setiap unit percobaan selama 90 hari dicatat sebagai data jumlah konsumsi pakan (Lampiran 2). Untuk menghindari kotoran yang menempel pada wadah (kurungan), maka setiap penggantian air dilakukan pembersihan dengan penyiponan. Penyiponan sisa-sisa pakan dan hasil ekskresi hewan uji dilakukan setiap hari (Lampiran 3) Pengambilan sampel dilakukan setiap bulan. mengingat hewan uji mudah stress.

Gambar 4 Pakan rumput laut (Gracilaria verrucosa)

Proksimat pakan dan daging abalon

Hasil analisa proksimat pakan uji disajikan pada Tabel 1, diketahui bahwa rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengandung protein dan abu yang cukup baik, hal ini menunjukkan bahwa rumput laut dapat memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Kandungan nutrisi yang terdapat pakan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan abalon (Fallu 1991).

(35)

Tabel 1 Proksimat pakan uji (rumput laut, G.verrucosa) yang digunakan dalam perlakuan (dalam berat basah dan kering)

Nama sampel

Protein pada abalon merupakan komponen penting untuk pertumbuhan (Fleming et al. 1996). Hasil analisa proksimat daging abalon disajikan pada Tabel 2, diketahui bahwa mengandung protein, lemak dan abu yang cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa komponen yang terdapat dalam tubuh abalon memberikan pertumbuhan yang baik. Analisis proksimat daging abalon dilakukan pada awal dan akhir masa pemeliharaan.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dari lima perlakuan dan tiga ulangan. Rancangan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model rancangan menurut (Steel dan Torrie 1993)

Y

ij

= µ + αi

+

ij Keterangan :

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = 1, 2, 3,...5

j = 1, 2,……3 µ = rata-rata umum

αi = pengaruh perlakuan ke- i

ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j

Rancangan perlakuannya adalah sebagai berikut :

Kontrol = Static Renewel system (∑air diganti = ∑air yang disipon) FT 50% = 1.042 liter jam-1

(36)

Parameter Diamati

Parameter yang diamati adalah laju pertumbuhan (berat dan panjang), kelangsungan hidup (SR), komposisi organ abalon (berat badan, cangkang dan organ dalam), proksimat daging, uji proksimat pakan, uji organoleptik, hedonik, Efisiensi pakan (EP), bioekonomi, salinitas, oksigen terlarut (DO), suhu, pH, kesadahan, Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Phospor (PO4).

Laju Pertumbuhan Spesifik Harian (SGR) Biomassa

Laju pertumbuhan spesifik harian (spesific growth rate) abalon ditentukan dengan rumus (Zonneveld 1991) :

SGR = 100 %

Keterangan :

SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%)

Wo = Berat tubuh abalon pada awal penelitian (g) Wt = Berat tubuh abalon pada waktu t (g)

t = Waktu penelitian

Pertumbuhan Panjang Cangkang

Pertumbuhan panjang cangkang dihitung dengan rumus (Allen et al. 2006)

SL = x 1000

dimana :

LS = Pertumbuhan panjang cangkang (µm d-1) SLi = Panjang cangkang awal (mm)

SLf = Panjang cangkang akhir (mm)

Sintasan (SR)

Pengamatan sintasan (Survival Rate,) abalon dilakukan setiap hari selama penelitian. Sintasan abalon ditentukan dengan rumus (Effendi 1978):

Sr

= 100 %

Keterangan :

SR = Derajat kelangsungan hidup (%)

(37)

Efisiensi Pakan (EP)

Perhitungan konversi pakan didasarkan pada NRC (1977) yaitu besarnya rasio perbandingan antara pertambahan bobot hewan uji yang didapatkan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi hewan uji.

EP

=

%

Keterangan:

EP = Efisiensi pakan (%)

F = Jumlah pakan yang diberikan dalam berat kering (g) Wt = Biomassa hewan uji pada akhir penelitian (g)

Wo = Biomassa hewan uji pada awal penelitian (g)

D = Bobot hewan uji yang mati selama penelitian (g)

Komposisi Daging, Cangkang dan Organ Dalam

Rasio daging (berat badan) dilakukan dengan cara menimbang daging abalone kemudian membandingkan bobot cangkang abalone. Penentuan rasio daging/berat badan dilakukan dengan uji organoleptik, sehingga dapat menentukan kualitas daging. Sedangkan untuk menetukan kecerahan dan pola cangkang dilakukan dengan uji Hedonik.

Uji Proksimat Daging

Uji proksimat pakan dan daging abalon meliputi analisa kandungan protein (metode kjeldahl), kandungan lemak dengan prosedur Folch (Folch et al. 1957), kadar air (metode oven), kandungan serat kasar (metode asam-basa) dan kandungan abu (metode Furnance). Analisa proksimat daging abalon dilakukan pada awal dan akhir masa pemeliharaan.

Uji Penilaian Organoleptik

(38)

Penentuan uji penilaian organoleptik juga menggambarkan tingkat kesukaan terhadap daging dan cangkang, dengan demikian kualitas yang harus disesuaikan berdasarkan hasil uji tersebut.

Kualitas Air

Parameter kualitas air dalam penelitian ini diukur setiap minggu, hasil pengukuran dideskripsikan dalam Tabel 3.

Tabel 2 Parameter air yang diukur dan alat yang digunakan Parameter satuan Metode/alat yang digunakan

Salinitas ppt Refractometer

Oksigen terlarut (DO) mg/L DO meter

Suhu oC DO meter

pH pH meter

Kesadahan mg/L Titrasi (Buffer hardnes 1 ml, EBT 3-4 tetes, EDTA 0,014 N)

PO4 mg/L

Titrasi (Amonium molybdate 0,5 ml +Sn Cl2 5 tetes, 10 menit

Spektrum pjng gelombang 690 µm (metode molybdate) Magnesium (Mg) mg/L Atomic Absorbation Spectroscopy (AAS)

Kalsium (Ca) mg/L Atomic Absorbation Spectroscopy (AAS)

Sumber : Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan FIKP IPB.

Analisis Statistik

(39)
(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL Sintasan (SR)

Parameter lingkungan dan konsumsi pakan selama penelitian menunjukkan kondisi yang ideal. Hal ini diindikasikan dari persentase sintasan yang mencapai 100% pada semua perlakuan (Gambar 5).

Gambar 5 Sintasan abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan.

Pertumbuhan Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% (5,6 42) adalah terbaik dibanding kontrol (2,53 0,16). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot mutlak pada perlakuan sistem FT 400% memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kontrol dan perlakuan lainnya, (P 0,05) (Lampiran 4). Selanjutnya pada perlakuan sistem FT 400% dapat meningkatkan pertumbuhan mutlak sebesar 124,51% (Tabel 3)..

Laju pertumbuhan harian (SGR)

Perlakuan FT 400% (0.84 0.07%) memberikan respon laju pertumbuhan harian terbaik dibanding dengan kontrol (0,46±0,02%), demikian pada perlakuan lainnya (Tabel 3). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan FT400% berbeda nyata dengan kontrol dan FT 50% (Tukey, p<0,05) tetapi tidak berbeda

(41)

nyata dengan dua perlakuan lainnya (FT 100% dan FT 200%) (Tukey, p>0,05) (Tabel 3) (Lampiran 5)

Pertumbuhan Panjang (∆SL)

Perlakuan FT 400% (105,72±9,51) memberikan respon laju pertumbuhan panjang cangkang yang lebih baik dibanding dengan kontrol (59,67±11,22) diikuti perlakuan lainnya. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% berbeda nyata terhadap kontrol, FT 50% dan FT 100% (Tukey, p<0,05), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan FT 200% (Tukey, p>0,05) (Tabel 3) (Lampiran 6)

Tabel 3 Bobot utuh (BU), panjang cangkang (PC), pertumbuhan mutlak (PM), laju pertumbuhan harian (SGR) dan pertumbuhan panjang cangkang (∆SL) abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari

Parameter Perlakuan

Kontrol FT 50% FT 100% FT 200% FT 400%

Awal

BU (g) 4,91±0,18 4,86±0,24 4,79±0,13 4,90±0,08 5,02±0,23

PC (mm) 31,11±0,74 31,45±0,24 31,38±0,24 30,97±0,79 31,10±0,80

Akhir

BU (g) 7.44±0,27 8.91±0,33 9.29±0,35 9.46±0,43 10.70±0,29

PC (g) 36.48±0,41 38.79±0,91 38.59±0,64 38.71±0,70 40.61±0,53

PM (g) 2.53±0,16c 4.05±0,12b 4.50±0,39b 4.56±0,48b 5.68±0,42a

SGR (%) 0,46±0,02c 0,67±0,02b 0,74±0,06ab 0,73±0,06ab 0.84±0,07a ∆SL (µm hari-1) 59,67±11,22c 81,61±7,98bc 80,15±8,57bc 85,91±1,76ab 105,72±9,51a

Huruf superskrip berbeda pada baris yang sama berbeda nyata secara statistik (p<0,05)

Pertumbuhan Bobot Individu

Pertumbuhan bobot individu abalon selama penelitian menunjukkan perlakuan FT 400% (10,70 g) memberikan pertumbuhan bobot individu terbaik dibanding dengan kontrol (7,44 g) maupun perlakuan sistem FT 50% (8,91 0,327 g), FT 100% (9,29 0,348 g) dan FT 200% (9,46. 0,43 g) (Gambar 6).

Komposisi Daging, Cangkang dan Organ Dalam Abalon

(42)

pertumbuhan bobot daging dan bobot cangkang. Persentase komposisi daging, cangkang dan organ dalam disajikan pada (Gambar 7) (Lampiran 7)

Gambar 6 Rerata pertumbuhan bobot individu abalon (g) dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan

Gambar 7 Komposisi daging, cangkang dan organ dalam abalon dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan

4.00

Kontrol FT 50% FT 100% FT200% FT 400%

(43)

35.80 1.70a

Perlakuan FT 400% merupakan perlakuan dengan efisiensi pakan terbaik (63,22±0,72%) dibandingkan dengan kontrol (35,80±1,70) termasuk tiga perlakuan lainnya. Penggantian air pada sistem air mengalir (flow trough system) memberikan pengaruh terhadap efisiensi pakan abalon. Uji statistik menunjukkan perlakuan FT 50%, FT 100%, FT 200% dan FT 400% pada percobaan ini signifikan berbeda dengan kontrol (Tukey, p<0,05), tatapi antar perlakuan tersebut (FT 100%, 200% dan FT 400%) tidak berbeda nyata (Tukey, p>0,05) (Gambar 8) (Lampiran 8)

Gambar 8 Efisiensi pakan dari lima jenis perlakuan penggantian air pada pada sistem air mengalir (flow through system) (FT) selama 90 hari pemeliharaan. Kolom dengan huruf sama tidak berbeda nyata (Tukey, p<0,05).

Proksimat Daging Abalon

(44)

Tabel 4 Proksimat daging abalone perlakuan (dalam berat kering)

Sumber: Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Penilaian Uji Organoleptik

Peubah tekstur dan rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain perlakuan lingkungan pemeliharaan, pakan, umur dan faktor pemasakan, walaupun tidak secara signifikan. Secara fisiologi kondisi ini dapat terjadi pada beberapa biota perairan dan hewan. Hasil penilaian uji organoleptik abalon disajikan pada Tabel 5. Preferensi panelis terhadap rasa daging abalon yang gurih signifikan ditujukan terhadap perlakuan FT 400% dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Lampiran 9). Sementara preferensi panelis terhadap tekstur daging abalon yang kenyal ditujukan terhadap perlakuan FT 200%. Keseluruhan karakteristik daging abalon pada perlakuan FT 400% lebih disukai oleh panelis (Tabel 5) (Lampiran 10).

Tabel 5 Persentase kesukaan terhadap sifat karakteristik organoleptik abalon

Sampel Tekstur Rasa

(45)

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan, warna cangkang yang halus dihasilkan perlakuan FT 400% (Tabel 6) (Lampiran 11).

Tabel 6 Persentase kesukaan terhadap karakteristik warna dan permukaan cangkang abalon.

Sampel

Warna cangkang Permukaan cangkang

Cerah (%) Abu-abu (%) Kasar (%) Halus (%)

Kontrol 77,27 22,73 81,48 18,52

FT 50% 40,91 59,09 89,29 10,71

FT 100% 59,09 40,91 78,57 21,43

FT 200% 61,94 38,09 74,07 25,93

FT 400% 43,48 56,52 57,14 42,86

FT= Flow through sistem

Kualitas Air

Kualitas air meliputi salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH, kesadahan, pada wadah pemeliharaan abalon selama penelitian berada pada kisaran optimal bagi pertumbuhan abalon (Tabel 7) (Lampiran 12).

Tabel 7 Kisaran nilai kualitas air pada wadah pemeliharaan abalon.

Parameter

Perlakuan

Kontrol FT 50% FT 100% FT 200% FT 400%

Salinitas (o/oo) 31-36 30-35 30-35 30-35 30-35

DO (mg L-1 ) 5,33-7,35 5,58-7,34 5,59-7,31 5,72-7,23 5,41-7,23

Suhu (oC) 23,9-27,4 25,1-28,9 26,5-29,8 26,4-29,8 26,7-29,9

pH 8,11-8,60 8,18-8,61 8,21-8,62 8,16-8,60 8,23-8,69

Kesadahan (mg L-1 ) kisaran salinitas 30-36 ppt = 3200-3532

FT= Flow through sistem

Bioekonomi

(46)

Tabel 8 Analisa bioekonomi dari lima jenis perlakuan penggantian air pada

988.66 28377.09 50475.56 99209.87 159078.29

Biaya (C) (Rp) 2012.64 57767.65 102753.81 201962.96 323837.94

Harga daging

Penerimaan (R) (Rp) 37930.00 60807.50 67500.00 68470.00 85167.50

Keuntungan

(R - C) (Rp) 37624.64 46756.67 39756.47 13156.39 -25154.37

Pembahasan

Sintasan abalon pada perlakuan FT 400%, FT 200%, FT 100%, FT 50% dan kontrol menunjukkan bahwa perlakuan selama penelitian dapat merespon kondisi lingkungan dengan baik. Hal ini terlihat dengan tingkat kelangsungan hidup yang sangat baik (100%). Parameter yang mendukung tingkat kelangsungan hidup pada prinsipnya adalah kondisi lingkungan (salinitas, oksigen terlarut, suhu, pH dan kesadahan), pakan (unsur gizi) dan unsur-unsur ion-ion (Mg, Ca dan PO4) yang dapat membantu proses pertumbuhan dan

kelangsungan hidup. Selanjutnya tingkat kelangsungan hidup pada semua perlakuan secara umum meningkat. Hal ini diindikasikan dengan sintasan dan pertumbuhan yang cukup baik, dimana konsumsi pakan dan perubahan tekanan dalam proses osmoregulasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, tidak ada trend spesifik yang teramati pada tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan flow through sistem dan kontrol.

(47)

bahwa pergantian air 5-10%, kualitas air yang baik, pengendalian lingkungan secara kontinyu dan faktor pakan (nilai gizi) yang baik merupakan indikator dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup (Masser et al. 1999).

Peningkatan pertumbuhan dari awal hingga akhir penelitian pada perlakuan FT 400% memberikan pertumbuhan yang cukup signifikan dibanding dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Meningkatnya pertumbuhan bobot mutlak karena abalon mampu merespon kondisi lingkungan (salinitas, suhu, oksigen terlarut, pH dan kesadahan) demikian juga pada ion-ion dalam proses osmoregulasi (Mg, Ca dan PO4), sehingga konsumsi pakan lebih efektif untuk pertumbuhan. Mgaya dan

Mercer (1995) mengemukakan bahwa tingkat pertumbuhan dengan penilaian dari individu-individu (memisahkan ke dalam kelompok berukuran serupa), dimana abalon yang telah memiliki keunggulan pertumbuhan membaik dengan kurangnya persaingan dengan abalon yang lebih besar, hal ini menghindari terjadinya intereaksi fisik.

Laju pertumbuhan harian abalon selama pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan FT 400% (0,84±0,07%) memberikan pertumbuhan yang terbaik dibanding dengan kontrol (0,46±0,02%). Hal ini diduga bahwa perlakuan FT dapat meningkatkan proses osmoregulasi yang baik sehingga kondisi lingkungan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh abalon. Selanjutnya respon laju pertumbuhan biomassa pada sistem FT400% terhadap abalon menunjukkan bahwa kualitas air (salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan kesadahan) serta ion-ion (Mg, Ca dan PO4) merupakan parameter dalam meningkatkan konsumsi

pakan untuk pertumbuhan, khususnya suhu, oksigen terlarut dan salinitas. Kemudian sistem FT 400% berkorelasi dengan suhu, oksigen terlarut, ion-ion dan salinitas dimana kondisi ini dapat meningkatkan pertumbuhan biomassa abalon.

(48)

dapat diabsorpsi untuk pertumbuhan, disisi lain abalon butuh arus atau sirkulasi dan suhu yang konstan. Sehubungan dengan itu Peck (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan tertekan lebih rendah dari suhu air optimal karena metabolisme yang diatur oleh suhu. Penyerapan makanan efisiensi 80% (bahan kering) pada suhu antara 14,0°C–27,0°C, tetapi efisiensi penyerapan hanya 21% pada 9,8°C.

Fermin (2002) melaporkan bahwa laju pertumbuhan panjang cangkang abalon yang dipelihara pada suhu 26-30oC dan salinitas 30-35 ppt memperoleh 0,1124–0,1316 mm hari-1 dan salinitas 30-35 ppt pada spesies yang sama. Shepherd (1988) & Freeman (2001) menyatakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan abalon greenlip adalah 1,69 mm bln-1 dan laju pertumbuhan ini linear selama 5 tahun pertama. Hasil ini berdasarkan data dari individu-individu dengan ukuran berkisar 0,5-2,0 mm dan 30-70 mm. Namun, setelah periode ini laju pertumbuhan ditemukan menurun dengan meningkatnya panjang. Keesing & Wells (1989) melaporkan bahwa abalon Roes (H.roei), tumbuh pesat di tahun pertama dan mencapai panjang cangkang hingga 40 mm (ukuran kematangan) tetapi lambat turun dalam tahun-tahun berikutnya.

Pertumbuhan panjang cangkang berkorelasi terhadap pertumbuhan bobot, hal ini dicirikan dengan pertumbuhan cangakng dan pertumbuhan daging abalon selalu simetris. Pertumbuhan panjang cangkang abalon pada perlakuan sistem FT 400% (105,72±9,51 µm) memberikan pertumbuhan terbaik dibanding kontrol (59,67±11,22 µm). Demikian juga pada perlakuan yang lain memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol. Disamping itu hasil uji statistik, menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% memberikan pertumbuhan panjang yang berbeda nyata terhadap kontrol (P 0,05). Mozqueira (1996) melaporkan bahwa pada awal pemeliharaan, pertumbuhan panjang cangkang sejalan dengan pertumbuhan berat hingga mencapai ukuran cangkang 4 cm dengan berat 11,5-13,37 g. Setelah mencapai ukuran di atas 4 cm, pertumbuhan lebih mengarah kepertumbuhan berat.

(49)

Pertumbuhan bobot individu abalon selama penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sistem FT 400% (10,70 g) memberikan pertumbuhan bobot individu terbaik dibanding dengan kontrol (7,44 g) maupun perlakuan lainnya. Hal ini diduga bahwa sistem FT secara sinergik dapat membentuk kondisi dalam media pemeliharaan menjadi lebih optimal dan proses-proses fisiologi dapat direspon oleh abalon, sehingga dapat memanfaatkan pakan dengan baik untuk pertumbuhan. Sehubungan dengan hal dimaksud maka perlakuan sistem FT400% dapat meningkatkan pertumbuhan bobot individu abalon sebesar 43,8%. Faktor yang mendorong terjadi peningkatan pertumbuhan adalah terjadinya pertukaran ion-ion (Mg, Ca dan PO4) secara kontinyu,

mendorong peningkatan osmoregulasi sehingga sisa-sisa ekskresi dapat terbuang melalui mekanisme pertukaran aliran air.

Kemudian Fleming et al. (1997) melaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan dengan kecepatan aliran air yang optimal dapat menghasilkan pertumbuhan maksimum. Selanjutnya Higham et al. (1998) menyimpulkan bahwa laju aliran air 2,5-3,0 l menit-1 dapat meningkatkan pertumbuhan abalon Greenlip (H. laevigata) yang dilakukan dibak dengan dimensi panjang x lebar x tinggi (1 m x 75 cm x 50 cm). Selain itu, mereka mengamati abalon yang mengadopsi sikap makan yang khas di bawah kondisi aliran air yang tinggi. Seiring dengan peningkatan bobot pertumbuhan tersebut maka harus memperhatikan kualitas pakan, hal ini disebabkan karena abalon sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan (Joll 1996).

Dengan kondisi demikian diharapkan agar individu abalon yang dipelihara dengan penggantian air yang berkualitas, dapat meningkatkan konsumsi pakan yang baik, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Diantara kelas gastropoda abalon termasuk salah satu yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat jika dibanding dengan kelas lainnya. Hasil penelitian melaporkan bahwa dalam pemeliharaan abalon selalu ditemui kendala dimana dalam salah satu shelter masih terdapat tingkat pertumbuhan yang rendah. Tingkat pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain, faktor genotip, kepadatan, jenis dan jumlah pakan, aliran air, kualitas air, teknik penanganan dan terjadinya tekanan karena peningkatan dalam interaksi fisik (Brown 1991, Higham et al. 1998).

(50)

ikan, udang dan moluska lainnya dari pakan dan lingkungannya untuk keseimbangan pertumbuhan. Thomas & Lough (1974); Coote et al. (1996); Tan et al. (2001) berpendapat bahwa abalon mungkin memperoleh kalsium yang cukup dari air laut disekelilingnya. Meskipun mekanisme penyerapan kalsium belum dapat diketahui secara pasti. Hasil ini didukung oleh penelitian kedua dari Tan et al. (2001), dimana tercatat penurunan jumlah kalsium secara progresif. Hasil ini juga menyarankan bahwa dalam sistem tertutup (seperti biasanya yang digunakan dalam budidaya), persediaan kalsium, bersama dengan pertukaran air secara periodik, sangat dibutuhkan, bahkan ketika digunakan medium air laut alami. Kekurangan kalsium dapat mengganggu sejumlah fungsi taxon, termasuk pembentukan cangkang, penggumpalan darah, fungsi otot, motilitas sperma dan metabolisme, dan transmisi saraf (Azuma 1976; Tash & Means 1983; Lovell 1989; Coote et al. 1996; Tan et al. 2001; Moulis 2006). Sebaliknya, kekurangan kalsium dapat mempengaruhi transmisi saraf yang dapat menurunkan laju lokomosi (pergerakan) dan kemampuan abalon untuk tinggal (Nakamura & Soh 1997).

Davis & Carrington (2005), melaporkan bahwa suhu air budidaya yang cocok dengan menggunakan hanya sepersepuluh dari energi panas yang dibutuhkan dalam sistem flow through. Dengan memperhatikan konsumsi energi panas dalam sistem FT, ketika membudidayakan Haliotis iris dan menggunakan pompa panas dengan performa konversi konsumsi energi harian sebesar 11,6 kw hari-1. Penelitian ini menyebutkan bahwa laju aliran air 40 L menit-1 dapat dihubungkan dengan laju perubahan air yang sangat kecil sekitar 2,9% hari-1. Disamping itu diduga pula bahwa dengan sistem FT 400% dapat meningkatkan ion-ion yang secara langsung mendorong laju pertumbuhan pada abalon. Faktor utama lainnya adalah unsur kalsium yang meningkatkan proses pertumbuhan cangkang, sehingga daging lebih cepat menyesuaikan dengan pertumbuhan cangkang. Gembala dan Hearn (1983) diacu dalam Cenni et al. (2010) melaporkan penurunan pertumbuhan adalah karena pengeluaran energi selama perkembangan gonad, ini berpengaruh pula pada penurunan protein.

(51)

dalam sistem budidaya menyebabkan dekomposisi pakan dan karenanya penurunan kualitas air (Fleming et al. 1996). Namun tingkat penggantian air yang tinggi mengakibatkan debit air dari peternakan abalon sangat baik, disamping itu potensi besar dalam penggantian air tersebut dan kandungan nitrogen (Maguire 1998). Selanjutnya Joll (1996) mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan harus diperhatikan untuk meningkatkan pertumbuhan.

Efisiensi pakan pada sistem FT 400% lebih baik dibanding dengan kontrol. Tingkat efisiensi pakan yang tinggi dapat meningkatkan produktivitas abalon yang merupakan parameter pertumbuhan dan sintasan (SR). Faktor lain dapat menekan biaya produksi, khususnya biaya pakan. Hasil uji statistik, menunjukkan bahwa efisiensi pakan pada perlakuan sistem FT 400% berbeda nyata terhadap kontrol demikian pula pada perlakuan FT 50%. Kemudian pada perlakuan sistem FT 200%, FT 100% dan FT 50% berbeda nyata terhadap kontrol. Efisiensi pakan dapat meningkatkan kualitas daging, produksi, laju pertumbuhan dan pengendalian lingkungan

Efisiensi pakan terbaik pada perlakuan sistem FT 400% dapat mencapai 63,22 0,72%, berbeda nyata terhadap kontrol 35,80±1,70%. Sedangkan perlakuan sistem FT 200% (54,95 4,64%), FT 100% (55,27 2,26%) dan FT 50% (51,17 1,15%), juga berbeda nyata dengan kontrol (35,80 1,70%), pada taraf nyata 0,05 (P 0,05). Efisiensi pakan yang tinggi dapat memberikan indikasi bahwa tingkat konsumsi pakan efisien, sehingga pakan yang diberikan dapat termanfaatkan untuk meningkatkan pertambahan bobot dan kelangsungan hidup. Hasil ini seiring dengan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Neori et al. (1998) bahwa dengan perlakuan pakan makroalga (bentuk basah) dimana, Efisiensi pakan kelompok A, B dan C masing-masing sebesar 75,5% 74,3%, dan 74,1% yang sedikit lebih tinggi dibanding peneltitian lainnya. Organisme yang menjadi obyek penelitian Neori et al (1998) adalah Ormer hijau, Haliotis tuberculata, dengan panjang cangkang 40 mm. Sedangkan juvenil abalon dengan panjang 29 mm dan lebar 17 mm, efisiensi pakan sebesar 80% efisiensi tersebut berada dalam rentang 86 sampai 75 (Neori et al. 2000). Perbandingan tingkat efisiensi pakan pada pakan makroalga dimaksud, maka perlakuan dengan sistem flow through masih efisien dan efektif dalam penggunaan pakan.

(52)

unit makanan yang diberikan dan dapat dinyatakan sebagai persentase, dan nilai FCR (Food Conversion Ratio), dapat digambarkan sebagai jumlah pakan dalam gram diberikan untuk menghasilkan satu gram pertumbuhan hewan (Fleming et al. 1996).

Ketika berhadapan dengan abalon, nilai-nilai FCE harus digunakan dengan hati-hati. Kesulitan yang terkait dengan pengumpulan limbah makanan, mengukur laju pertumbuhan dan pencucian terkait pakan semua berkontribusi terhadap estimasi FCE yang salah. Selain itu, penyerapan nutrisi dari lingkungan sekitarnya (misalnya, kalsium untuk pertumbuhan cangkang) akan membuat nilai-nilai variabel FCE sulit diinterpretasikan. Abalon diberi makan rumput laut sebagai sumber makanan memiliki rasio konversi pakan yang sangat miskin yaitu berkisar antara 20-30 berbanding satu, karena kandungan air yang tinggi pada rumput laut tersebut. Kandungan kelembaban makanan merupakan faktor yang sangat berpengaruh, sehingga rumput laut merumuskan pakan harus dibandingkan berdasarkan bahan kering. Secara teoritis, semakin tinggi nilai FCE, semakin besar efisiensi konversi pakan untuk daging abalone (Fleming 1995, Fleming et al. 1996).

Sementara FCE 15% telah dilaporkan relatif kecil untuk abalon remaja yang tumbuh cepat, FCE sekitar 5-10% lebih sesuai untuk pertumbuhan remaja di hatchery komersial di Amerika Serikat dan Jepang (Huner & Brown 1985, diacu dalam Onitsuka et al. 2011). Hasil penelitian ini menyarankan bahwa konversi pakan lebih efisien pada juvenil muda, yang juga ditemukan pada spesies ikan lainnya (Hardy 1989; Steffens 1989, diacu dalam Knauer 1996).

Perubahan komposisi proksimat daging abalon antara perlakuan (FT 400%) dan kontrol, menunjukkan bahwa kandungan lemak abalon pada perlakuan lebih rendah dibanding kontrol. Hal ini diduga bahwa lemak dalam tubuh abalon ditransformasikan sebagai energi dalam proses metabolisme dan proses fisiologis untuk pertumbuhan. Proses metabolime pada sistem flow through memberikan kontrol positif terhadap kualitas abalon.

Gambar

Gambar 1  Hewan uji (Abalon, Haliotis squamata)
Gambar 3 Wadah pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian
Gambar 4 Pakan rumput laut (Gracilaria verrucosa)
Tabel 1 Proksimat pakan uji (rumput laut, G.verrucosa) yang digunakan  dalam
+7

Referensi

Dokumen terkait