• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN EMPAT KULTIVAR UBI KAYU

TERHADAP

Tetranychus kanzawai

KISHIDA

(ACARI: TETRANYCHIDAE)

WIDI ASTUTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Widi Astuti

(3)

ABSTRAK

WIDI ASTUTI. Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO.

Tungau merah (Tetranychus kanzawai Kishida) merupakan hama penting pada ubi kayu. Hama tersebut menyebabkan kehilangan hasil sebesar 95%. Penggunaan kultivar merupakan faktor yang mempengaruhi kehilangan hasil. Kultivar ubi kayu yang tahan terhadap tungau merah dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengendalian. Penelitian ini bertujuan mengetahui ketahanan kultivar Manggu, Roti, Jimbul, dan Mentega terhadap T. kanzawai. Penelitian di rumah kaca dilakukan untuk mengetahui intensitas kerusakan pada kultivar Mannggu, Roti, Mentega, dan Jimbul. Pengamatan biologi T. kanzawai dilakukan di laboratorium. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa setiap kultivar menunjukkan ketahanan terhadap T. kanzawai yang berbeda-beda. Kultivar Manggu menunjukkan intensitas kerusakan paling rendah dan kultivar Mentega menunjukkan intensitas kerusakan paling tinggi. Pada kultivar Manggu T. kanzawai

menunjukkan waktu perkembangan yang lebih panjang dan memiliki keperidian yang lebih rendah.

Kata Kunci: intensitas kerusakan, kultivar, keperidian, ketahanan, siklus hidup,

Tetranychus kanzawai.

ABSTRACT

WIDI ASTUTI. The Resistance of Four Cassava Cultivars against Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG SANTOSO.

Red spider mite (Tetranychus kanzawai) is one of the most important pests of cassava. The damages caused by this mites may reduce the yield up to 95%. The tolerance of cultivar is suggested as one of the factors affected amount of yield loss. Resistant cassava cultivars may be used as an alternative method to control the mite. This research evaluated the resistance of four cassava cultivars against red spider mite. Research was conducted in the greenhouse to observe the development of damages caused by the mite on Manggu, Jimbul, Roti, and Mentega cultivars. Observation of biology and life cycle was conducted in the laboratory. Every cultivars showed different resistance against T. kanzawai. Manggu cultivar showed the lowest damage, and Mentega showed the highest. On Manggu cultivar, T. kanzawai had the longest life cycle and lowest fecundity.

Keywords: cultivar, development of damage, fecundity, life cycle, resistance,

(4)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(5)

KETAHANAN EMPAT KULTIVAR UBI KAYU

TERHADAP

Tetranychus kanzawai

KISHIDA

(ACARI: TETRANYCHIDAE)

WIDI ASTUTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(6)

Judul Skripsi : Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai Kishida (Acari : Tetranychidae)

Nama Mahasiswa : Widi Astuti NIM : A34100009

Disetujui oleh

Dr Ir Sugeng Santoso, MAgr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu komponen untuk memenuhi syarat dalam melaksanakan tugas akhir. Tema yang dipilih dalam penelitian yaitu mengenai resistensi ubikayu, dengan judul Ketahanan Empat Kultivar Ubi Kayu terhadap Tetranychus kanzawai

Kishida (Acari: Tetranychidae).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada

1. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingannya selama penulis menempuh studi di Departemen Proteksi Tanaman terutama dalam penyusunan tugas akhir.

2. Dr. Ir. Bonny PW Soekarno, MS selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan masukan untuk penulisan skripsi.

3. BIDIK MISI yang telah memberikan bantuan moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi di IPB.

4. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak, ibu, adik-adik dan keluarga yang telah memberikan do’a dan dukungannya kepada penulis. serta penulis mengucapkan terima kasih kepada mas Bonno dan Hagia yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penelitian.

5. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekan-rekan Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, rekan-rekan PTN 47, dan sahabat Pondok Delima.

Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan masukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN Viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 3

BAHAN DAN METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Alat dan Bahan 4

Pelaksanaan Penelitian 4

Penanaman Ubi Kayu 4

Infestasi T. kanzawai 5

Pengamatan 5

Intensitas Kerusakan T. kanzawai 5

Biologi T. kanzawai 5

Asal tungau merah 5

Tempat percobaan 6

Metode 6

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Gejala Kerusakan pada Ubi Kayu 7

Intensitas Kerusakan pada Ubi Kayu 7

Siklus Hidup T. kanzawai 10

Biologi T. kanzawai 12

SIMPULAN DAN SARAN 15

(9)

DAFTAR TABEL

1. Skoring kerusakan pada daun ubi kayu 5

2. Intensitas kerusakan oleh T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu 9 3. Lama perkembangan pradewasa T. kanzawai pada kultivar ubi kayu 12 4. Biologi T. kanzawai pada empat kultivar ubi kayu 13

DAFTAR GAMBAR

1. Infestasi tungau merah Tetranychus kanzawai 3

2. Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu 7

3. Stadia Tetranychus kanzawai 8

4. Jumlah telur harian T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu 9

DAFTAR LAMPIRAN

1. Gambar skoring kerusakan pada daun 19

2. Gambar pertumbuhan tunas baru 8 MST 19

3. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 3 MST 20

4. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 4 MST 20

5. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 5 MST 20

6. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 6 MST 20

7. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 7 MST 20

8. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 8 MST 20

9. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 9 MST 20

10. Sidik ragam intensitas kerusakan pada 10 MST 21

11. Sidik ragam telur betina Tetranychus kanzawai 21

12. Sidik ragam telur jantan T. kanzawai 21

13. Sidik ragam larva betina T. kanzawai 21

14. Sidik ragam larva jantan T. kanzawai 21

15. Sidik ragam nimfa betina T. kanzawai 21

16. Sidik ragam nimfa jantan T. kanzawai 21

17. Sidik ragam masa praoviposisi T. kanzawai 22

18. Sidik ragam keperidian T. kanzawai 22

19. Sidik ragam masa oviposisi T. kanzawai 22

20. Sidik ragam masa pascaoviposisi T. kanzawai 22

21. Sidik ragam lama hidup betina T. kanzawai 22

(10)
(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat

penting di Indonesia yang banyak dibudidayakan oleh petani. Luas panen ubi kayu di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 1.1 juta ha (BPS 2014). Sentra produksi ubi kayu di Indonesia meliputi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Meluasnya penanaman ubi kayu di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, ubi kayu dapat diusahakan baik pada lahan basah maupun lahan kering, tanaman ubi kayu bersifat toleran terhadap tingkat kesuburan tanah yang rendah, serta mampu berproduksi dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan suboptimal dibandingkan dengan tanaman lain (Prihandana et al. 2007).

Sebagai komoditi yang penting, ubi kayu memiliki peranan yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan pangan, mengatasi masalah ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan industri. Persentase penggunaan ubi kayu di Indonesia pada tahun 2003 dari total produksi 19.4 juta ton, 75% digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan baik dikonsumsi langsung maupun melalui proses pengolahan, 13%-14% digunakan sebagai bahan baku industri, 2 % untuk pakan ternak, dan 5% tercecer (Indiati et al. 2010). Indonesia merupakan produsen ubi kayu yang menguasai 9% produksi dunia, 12% luas panen, dan 77% produktivitasnya diatas rata-rata dunia (Saliem et al. 2011). Jenis produk ubi kayu yang diekspor berupa gaplek (3%) dan pati ubi kayu (1%). Namun Indonesi juga mengimpor 8% pati ubi kayu, hal ini menunjukkan bahwa ubi kayu Indonesia kurang memiliki daya saing.

Untuk meningkatkan daya saing ubi kayu, pemerintah telah mencanangkan pembentukan produk ubi kayu yang memiliki daya saing ekonomi tinggi. Salah satunya yaitu menjadikan ubi kayu sebagai bahan baku bionergi alternatif. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam perpres No. 5/2006 dan UU Energi No. 30/2007 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati. Ubi kayu merupakan salah satu sumber protein nabati, yang dapat menjadi sumber kekuatan pemerintah dalam mendorong pemasaran produk ubi kayu dalam bentuk bioetanol (Saliem et al. 2011).

Untuk mewujudkan ubi kayu sebagai bahan bakar berupa bioenergi alternatif, diperlukan produktivitas ubi kayu yang tinggi dan unggul. Pada tahun 2010, kebutuhan ubi kayu untuk bioetanol mencapai 1.85 juta kiloliter, artinya dibutuhkan 11 juta ton ubi kayu dengan produktifitas 25 ton/ha. Menurut Badan Pusat Statistik (2014), produksi ubi kayu di Indonesia mencapai 26 juta ton dengan produktivitas sebesar 22 ton/ha. Jumlah produktivitas tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan untuk bioetanol, sehingga diperlukannya suatu upaya peningkatan produktivitas ubi kayu, salah satunya yaitu dengan perbaikan sistem budidaya. Namun, dalam budidaya ubi kayu terdapat berbagai kendala salah satunya yaitu adanya organisme pengganggu tanaman (OPT).

(12)

2

yang ditimbulkan oleh tungau merah pada ubi kayu yaitu adanya bercak nekrosis pada daun dan pada serangan parah mampu merontokan daun, serangan secara terus menerus mengakibatkan kematian pada tanaman (Zhang 2003). Indiati (2012) menyatakan bahwa serangan tungau merah pada ubi kayu dapat mempengaruhi ukuran dan kualitas umbi.

Tingginya serangan tungau merah pada ubi kayu dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan hasil sebesar 20%-53%. Pada tingkat serangan tinggi kehilangan hasil dapat mencapai 95% (Prihandana et al. 2007). Di indonesia, kehilangan hasil telah banyak dilaporkan, salah satunya yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 2010, kerusakan yang diakibatkan oleh tungau merah pada daerah tersebut mencapai 54%. Hal ini menyebabkan kehilangan hasil sebesar 25%-54% (Indiati 2010). Dengan demikian, diperlukan upaya pengendalian yang komprehensif untuk menurunkan potensi kehilangan hasil akibat serangan T. kanzawai.

Pengendalian terhadap tungau merah dapat dilakukan dengan berbagai cara baik secara kimia, biologi maupun kultur teknis. Secara kimia pengendalian ubi kayu banyak menggunakan akarisida. Salah satu akarisida yang digunakan sejak tahun 1920 yaitu akarisida berbahan aktif sulfur, bahan aktif sulfur efektif mengendalikan tungau, namun mengakibatkan fitotoksik pada tanaman, sehingga saat ini bahan aktif tersebut tidak digunakan untuk pengendalian tungau (Jeppson

et al. 1975). Jeppson et al. (1975) menyatakan bahwa penggunaan akarisida telah mengakibatkan resistensi silang pada populasi tungau. Di Indonesia, pengendalian terhadap tungau merah pada ubi kayu belum dilakukan secara optimal oleh petani. Hal ini berkaitan erat dengan nilai ekonomi ubi kayu yang relatif rendah sehingga tidak sebanding dengan biaya pengendalian yang harus dikeluarkan oleh petani, terutama harga pestisida masih relatif mahal. Dengan demikian, diperlukan teknik pengendalian yang praktis, stabil, dan ekonomis.

Penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu cara pengendalian yang murah, mudah, dan tidak mencemari lingkungan. Departemen Pertanian telah melepas sepuluh kultivar unggul ubi kayu. Sebanyak enam kultivar dimodivikasi tahan terhadap serangan tungau merah seperti Adira 1, Adira 2, Malang 1, Malang 4, Malang 6, dan Darul Hidayah (Sundari 2010). Penggunaan kultivar ubi kayu yang tahan mampu menurunkan intensitas kerusakan yang disebabkan oleh serangan tungau, menghambat reproduksi tungau, sehingga penggunaan kultivar tahan diharapkan dapat menekan kehilangan hasil. Oleh karena itu, eksplorasi kultivar tahan ubi kayu terhadap tungau merah menjadi penting, dengan harapan adanya informasi mengenai kultivar tahan, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi petani dalam memilih kultivar ubi kayu yang akan ditanam dan dapat meningkatkan produktivitas ubi kayu, serta mampu meningkatkan kesejahtraan petani.

(13)

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan kultivar Manggu, Jimbul, Roti, dan Mentega terhadap T. kanzawai.

Manfaat Penelitian

(14)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Cikabayan, University Farm, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Bionomi dan Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari September 2013 sampai April 2014.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah kultivar ubi kayu lokal seperti Manggu, Roti, Mentega, dan Jimbul yang diperoleh dari petani ubi kayu di daerah Bogor. Imago

T. kanzawai yang digunakan untuk infestasi berasal dari tanaman ubi kayu yang ditanam di rumah kaca. Alat–alat yang digunakan yaitu kotak plastik untuk menyimpan tungau dari lapangan, mikroskop stereo, gunting, dan kuas.

Pelaksanaan Penelitian

Penanaman Ubi Kayu

Batang ubi kayu dari masing-masing kultivar dipotong berukuran 20 cm, kemudian di tanam pada polibag berkapasitas 4 kg, dengan media tanam berupa tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1 (v/v). Masing-masing kultivar di tanam sebanyak 20 kali, sehingga jumlah tanaman yang diamati sebanyak 80 tanaman. Pada penelitian ini tidak digunakan tanaman ubi kayu rentan sebagai kontrol. Hal ini disebabkan karena ketahanan empat kultivar ubi kayu tersebut terhadap T. kanzawai belum diketahui.

Infestasi T. kanzawai pada Ubi Kayu

Tanaman ubi kayu yang diinfestasi T. kanzawai adalah tanaman yang berumur 2 minggu setelah tanam (MST). Daun tanaman pada 2 MST telah berkembang dengan sempurna. Menurut Indiati (2012), sebanyak 15 imago betina tungau merah diinfestasikan pada daun ubi kayu berumur 1 bulan setelah tanam (BST). Pada uji pendahuluan di laboratorium, tanaman ubi kayu yang berumur 2 MST ketika diinfestasikan 15 imago betina tungau merah, tidak dapat bertahan lama. Sehingga, pada penelitian digunakan 5 imago betina tungau merah. Hal ini bertujuan agar tanaman tidak mati pada awal pengamatan. Kemudian, imago betina diinfestasikan pada permukaan bawah daun dengan menggunakan kuas. Daun yang diinfestasi adalah daun yang berada di bagian tengah kemudian daun yang telah diinfestasi diberi label.

(15)

5 Pengamatan

Intensitas Kerusakan T. kanzawai

Pengamatan intensitas kerusakan dilakukan setelah 1 minggu tanaman diinfestasi oleh T. kanzawai (pada saat tanaman berumur 3 MST). Parameter yang diamati yaitu intensitas serangan tungau pada 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 MST. Interval pengamatan dilakukan 1 minggu sekali (Indiati 2012). Intensitas kerusakan dihitung dengan menggunakan rumus:

I = ∑N x Vni x vi x 100% I = intensitas serangan

ni = jumlah daun dalam setiap kategori skor vi = kategori skor (0 sampai 5)

N = jumlah daun dalam satu tanamam V = nilai skor tetinggi (dalam hal ini 5)

Skoring intensitas kerusakan dilakukan dengan pengamatan berdasarkan metode Indiati (2012) yang dimodifikasi.

Tabel 1 Skoring kerusakan pada daun ubi kayu Skor Besarnya

kerusakan (%) Keterangan

0 0 Daun sehat (tidak ada bercak)

1 0 < x ≤ 10 Ada awal bercak kekuningan (sekitar 10%) pada

beberapa daun bawah dan atau daun tengah.

2 10 < x ≤ 20 Bercak kekuningan agak banyak (11-20%) pada daun

bawah dan tengah.

3

20 < x ≤ 50 Kerusakan yang jelas, banyak bercak kuning

(21-50%), sedikit daerah yang tidak mengalami nekrotik (<20%), khususnya daun bawah dan tengah agak mengerut, sejumlah daun menjadi kuning dan rontok. 4

50 < x ≤ 75 Kerusakan parah (51-75%) pada daun bagian bawah

dan tengah, populasi tungau melimpah dan dijumpai benang-benang putih seperti jaring laba-laba.

5 x > 75 Kerontokan daun total, pucuk tanaman mengecil, benang putih semakin banyak, dan kematian tanaman.

Biologi T. kanzawai pada Empat Kultivar Ubi Kayu

(16)

6

digunakan untuk keperluan pengamatan biologi tungau yang dilakukan di laboratorium.

Media percobaan. Percobaan dilakukan di cawan petri berdiameter 6 cm, di dalamnya diletakkan busa plastik berdiameter 5 cm. Di atas busa diletakkan kapas berukuran 3 cm x 3 cm. Pada permukaan kapas diletakkan daun ubi kayu berukuran 2 cm x 2 cm. Busa dan kapas dijenuhi dengan air. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelembaban dan kesegaran daun, serta mencegah tungau keluar dari arena percobaan.

Metode. Imago betina T. kanzawai dipelihara pada permukaan daun yang sama dengan kultivar asal T. kanzawai, kemudian imago dibiarkan selam 2 jam agar bertelur. Setelah imago meletakkan telur, telur yang digunakan dalam setiap arena percobaan hanya satu butir telur (50 butir telur dari tiap kultivar ubi kayu). Setelah itu, telur diamati setiap 6 jam sampai menetas dan menjadi imago. Lama perkembangan dari setiap stadia dicatat. Imago yang terbentuk dihitung dan dilihat nisbah kelaminya. Setelah menjadi imago pengamatan dilakukan setiap hari untuk mengetahui masa praoviposisi, oviposisi, pascaoviposisi, keperidian, serta lama hidup imago.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Kerusakan pada Ubi Kayu

Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu mulai tampak pada saat tanaman berumur 3 MST (1 minggu setelah infestasi). Pada bagian permukaan bawah daun terlihat bintik-bintik kuning yang berada disekitar tulang daun dekat dengan pangkal daun. Reddal et al. (2004) menyatakan bahwa, tungau lebih menyukai bagian pangkal daun karena kandungan klorofil pada pangkal daun lebih banyak dibandingkan pada ujung daun. Serangan pada pangkal daun dapat mengakibatkan penurunan klorofil menjadi lebih cepat, hal ini menyebabkan proses fotosintesis terganggu, sehingga daun lebih cepat menguning.

Serangan di pangkal daun tersebut menyebabkan daun mengalami bercak nekrosis dan bercak berubah menjadi berwarna coklat. Serangan yang parah menyebabkan bercak nekrosis meluas ke seluruh permukaan daun, kemudian sampai ke pucuk daun. Pucuk daun yang terserang mengalami perubahan bentuk menjadi mengerut dan kerdil serta pada permukaan daun terdapat benang-benag putih dari T. kanzawai, kemudian daun menjadi kering dan rontok. Menurut Belloti

et al.(1990), serangan tungau merah pada ubi kayu diawali dari daun-daun yang berada di bagian bawah kemudian meluas menyerang daun-daun yang berada di bagian atas, sehingga bagian pucuk mengalami serangan paling akhir.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2 Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu (a) gejala awal serangan (b) bercak nekrotik meluas kepermukaan daun (c) pucuk daun mengalami perubahan bentuk (d) daun mengering dan rontok.

(18)

8

kerusakan pada kultivar yang dikendalikan secara kimia (dikofol 2 ml/L) menunjukkan gejala kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan kultivar yang tidak dikendalikan (Indiati 2012).

Perbedaan kemunculan gejala di rumah kaca dan lapangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya yaitu faktor lingkungan dan musuh alami. Populasi tungau merah dan kerusakan ubi kayu lebih tinggi terjadi pada saat musim kemarau dibandingkan musim hujan. Pada musim kering bisa menyediakan nutrisi yang baik untuk tungau, sehingga tungau dapat berkembang dengan cepat (Huffaker et al. 1969). Sedangkan, Pada musim hujan daun tanaman mudah tercuci oleh air hujan. Hal ini menyebabkan tungau merah yang berada pada daun ikut tercuci oleh air hujan, sehingga populasinya menurun dan kerusakan pada daun menjadi berkurang.

Kondisi lapangan sangat mendukung perkembangan musuh alami. Keberadaan musuh alami di lapangan dapat berperan mengendalikan populasi tungau merah. Pada umumnya musuh alami golongan Arthropoda terdiri dari Thysanoptera, Coleoptera, Hemiptera, Neuroptera, Diptera, Acarina, dan Araenida. Golongan Acarina yang menjadi musuh alami tungau laba-laba yaitu Phytoseiidae. Famili ini memiliki jumlah spesis yang besar salah satunya yaitu Phytoseiulus persimilis (Gultom 2010). menunjukkan intensitas kerusakan yang lebih rendah yaitu 14.95%. Kerusakan maksimum terjadi pada saat tanaman berumur 7 MST yaitu daun tanaman mengalami rontok total dan tanaman mengering. Pada kultivar Mentega hampir 90% tanaman mati, sedangakan persentase kematian pada kultivar Manggu Mentega dan Jimbul yaitu 5%, 20%, dan 15%. Tingginya persentase kematian tanaman pada kultivar Mentega menyebabkan intensitas kerusakan yang terjadi pada kultivar tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lainnya, dengan intensitas kerusakan pada kultivar tersebut mencapai 95% (Tabel 2).

Kultivar Manggu pada saat terjadi kerusakan maksimum (7 MST) memiliki jumlah daun hijau yang lebih banyak dibandingkan kultivar lainnya. Hal ini menyebabakan intensitas kerusakan yang terjadi pada Manggu lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya (Tabel 2). Nukenin et al. (1999) menyatakan bahwa, tanaman ubi kayu yang toleran terhadap kekeringan memiliki kemungkinan tahan terhadap serangan tungau merah dan secara genetik memiliki kemampuan mempertahankan jumlah daun hijau yang banyak.

(19)

9 seperti rambut yang berada di permukaan daun. Trikoma pada daun tanaman berfungsi sebagai pertahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.

Setelah daun tanaman berkembang, bercak nekrosis meluas pada permukaan daun, sehingga intensitas kerusakan meningkat kembali, seperti yang terjadi pada saat tanaman berumur 9 dan 10 MST (Tabel 2). Namun, pada kultivar Manggu intensitas kerusakan yang terjadi setelah daun berkembang menunjukkan intensitas kerusakan yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya dengan intensitas kerusakan di bawah 40% (Tabel 2). Menurut Carlson et al. (1979), tanaman dapat dikatakan toleran terhadap tungau, ketika menunjukkan tingkat kerusakan yang rendah.

Tabel 2 Intensitas kerusakan oleh T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu Umur tanaman

(MST)

Intensitas kerusakan pada kultivar-x (%)a

Manggu Roti Mentega Jimbul

a Rataan pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan pada  = 0.05).

Selama pengamatan intensitas kerusakan pada kultivar Manggu cenderung lebih rendah jika dibandingkan kultivar lainnya dan perkembangan intensitas kerusakan lebih tinggi terjadi pada kultivar Mentega. Pada kultivar Roti dan Jimbul besarnya intensitas kerusakan relatif sama pada setiap minggunya. Menurut Indiati (2012), pada tingkat serangan tinggi, semua kultivar pada umumnya akan menunjukkan intensitas kerusakan yang tinggi, perbedaan ketahanan pada masing-masing kultivar terletak pada waktu munculnya gejala serangan awal sampai terbentuk serangan yang parah, adapun munculnya gejala serangan pada kultivar tahan lebih lama dibandingkan dengan kultivar yang tidak tahan.

(20)

10

Menurut Bernays (1985), kandungan gula pada daun dapat memicu kemampuan makan serangga dan tungau. Selain itu, gula dapat menjadi faktor pembatas bagi tungau untuk bertahan. Daun muda lebih resisten terhadap serangan tungau dibandingkan daun tua, karena pada daun muda memiliki konsentrasi gula yang lebih sedikit (Chaaban et al. 2011). Dengan kandungan gula pada daun muda sedikit maka akan menghambat kemampuan makan pada tungau, sehingga hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan intensitas kerusakan. Pada pengamatan, penurunan intensitas kerusakan terjadi pada daun muda yaitu pada saat terjadi pertumbuhan tunas baru pada 8 MST (Tabel 2). Pertumbuhan tunas baru (daun muda) mengakibatkan terjadinya penurunan intensitas kerusakan dari 7 MST ke 8 MST (Tabel 2).

Mekanisme antibiosis pada ubi kayu dapat dipengaruhi oleh pertahanan biokimia yang dihasilkan oleh ubi kayu. Senyawa biokimia yang dihasilkan oleh ubi kayu salah satunya yaitu sianida (HCN). Kandungan HCN yang terdapat pada bagian daun dan umbi ubi kayu dapat memicu aktivitas makan serangga, adapun aktivitas makan serangga pada ubi kayu yang memiliki kandungan HCN tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu yang memiliki HCN rendah (Wardani 2014). Aktivitas makan yang tinggi mengakibatkan tungau mendapatkan cukup nutrisi untuk berkembang biak, sehingga populasi tungau akan meningkat dan berdampak pada peningkatan intensitas kerusakan. Mutisya et al. (2013) menyatakan bahwa, kultivar ubi kayu yang memiliki kandungan HCN tinggi menunjukkan perkembangan populasi tungau lebih cepat dan penurunan daerah fotosintesis pada daun menjadi lebih tinggi.

Kandungan HCN pada umbi kultivar Manggu, Jimbul, dan Roti berdasarkan hasil penelitian yaitu 31.20 mg/Kg, 32.06 mg/Kg, dan 44.85 mg/Kg (Wardani 2014) dan kandungan HCN pada kultivar Mentega yaitu sebesar 32 mg/Kg. Hasil penelitian menunjukkan kultivar Mentega memiliki intensitas kerusakan paling tinggi, namun kandungan HCN pada kultivar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kultivar Roti dan Jimbul, sehingga kandungan HCN pada ubi kayu menurut Indiati (2012); Belloti (1990) tidak berkorelasi nyata dengan serangan tungau. Mutisya et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan HCN pada ubi kayu bukan merupakan satu-satunya faktor penentu ketahanan ubi kayu terhadap serangan tungau.

Pada umumnya, kerusakan pada daun terjadi lebih dulu dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya. Menurut Mutisya et al. (2013), skoring kerusakan visual dapat disamakan dengan persentase kehilangan biomassa pada daun yang mengindikasi adanya pengurangan daerah fotosintesis pada daun. Pada beberapa kultivar pengurangan daerah fotosintesis pada daun selalu lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lainnya, hal ini disebabkan bagian daun lebih rentan terhadap serangan tungau, serangan yang terjadi pada daun akan mengakibatkan kehilangan hasil pada bagian umbi menjadi semakin tinggi (Ayanru et al. 1984).

Siklus Hidup Tetranychus kanzawai

(21)

11 1981). Fase istirahat dari larva menjadi protonymfa disebut protokrisalis, fase istirahat dari protonymfa menjadi deutonymfa disebut deutokrisalis, dan fase istirahat dari deutonymfa menjadi imago disebut teliokrisalis (Jeppson et al. 1975). Fase istirahat yang terjadi pada T. kanzawai bertujuan untuk mempertahankan diri ketika menghadapi lingkungan yang kurang baik (Zhang 2003).

Telur T. kanzawai berwarna putih bening, dan menjadi berwarna kuning tua saat akan menetas. Telur berbentuk bulat, dan diletakkan satu persatu oleh imago betina dibawah permukaan daun disekitar tulang daun dan telur berukuran 0.05 cm. Larva T. kanzawai berwarna kuning dan dapat berubah menjadi kunig kehijauan. Menurut Deciyanto et al. (1991), larva dapat berubah warna menjadi kehijauan disebabkan karena larva telah mampu menghisap cairan tanaman. Larva memiliki tiga pasang tungkai, dan berukuran 0.2 cm. Nimfa berwarna hijau kekuningan pada bagian tubuhnya terdapat bercak berwarna hitam. Nimfa memiliki empat pasang tungkai, dan berukuran 0.35 cm.

Imago berwarna merah agak kekuningan dan memiliki empat pasang tungkai. Ukuran imago betina lebih besar dibandingkan dengan imago jantan. Imago betina memiliki ukuran dua sampai tiga kali lebih besar dari pada imago jantan (Takafuji

et al. 1989). Selain ukuran tubuh, perbedaan antara imago jantan dan betina juga terletak pada ujung abdomen. Imago betina memiliki ujung abdomen berbentuk bulat sedangkan ujung abdomen pada imago jantan berbentuk agak karucut. Pada umumnya ukuran dan warna tubuh setiap stadia T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu (Manggu, Roti, Mentega, dan Jimbul) tidak memiliki perbedaan.

Gambar 3 Stadia Tetranychus kanzawai (a) telur (b) larva (c) Nimfa (d) imago betina (e) imago jantan.

Total waktu perkembangan pradewasa dimulai sejak telur diletakkan sampai terbentuknya imago. Jenis kultivar ubi kayu, memberikan pengaruh terhadap lama perkembangan pradewasa. Kultivar Manggu menunjukkan total perkembangan pradewasa yang lebih lama dibandingkan dengan kultivar lainnya baik pada

a b c

(22)

12

pradewasa betina maupun pradewasa jantan, dan secara berturut-turut lama perkembangan yaitu sekitar 8.8 hari dan 7.5 hari. Sedangkan pada kultivar Roti, Mentega, dan Jimbul lama perkembangan pradewasa betina dan jantan secara berturut-turut berkisar antara 7.1-7.6 hari dan 6.7-7.1 hari (Tabel 3). Khoiri (2005) menyatakan bahwa lama perkembangan pradewasa tungau merah pada ubi kayu pahit yaitu 7.80 hari dan pada ubi kayu manis 7.70 hari.

Pada umunya, total perkembangan pradewasa betina pada keempat kultivar lebih lama dibandingkan dengan waktu perkembangan pradewasa jantan. Hal ini menunjukakan bahwa imago jantan terbentuk lebih dulu dibandingkan imago betina. Imago jantan sering berada disamping betina untuk mendampingi betina ketika masih dalam fase teliokrisalis. Proses pendampingan ini disebut dengan

precopulatory cuarding (Gultom 2010). Ketika imago betina terbentuk maka jantan akan segera menyodorkan alat kopulasinya kepada betina. Dengan waktu pembentukan betina yang lebih lama akan memperlambat terjadinya kopulasi. Waktu kopulasi yang terhambat mengakibatkan perkembangan regenersi T. kanzawai akan lama karena waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup menjadi semakin lama.

Tabel 3 Lama perkembangan pradewasa T. kanzawai pada kultivar ubi kayu Kultivar

Lama perkembangan stadia (hari)a

Telur Larva Nimfa Total

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Manggu 3.05a 3.55a 2.05a 2.65a 2.47a 2.60a 7.35a 8.88a Roti 2.47a 2.95b 2.38a 2.29b 2.29ab 2.44ab 7.01a 7.76b Mentega 2.28a 2.88b 2.51a 2.12b 1.96b 2.21b 6.75b 7.08c Jimbul 2.47a 2.86b 2.03a 2.22b 2.27a 2.20b 6.78b 7.84b

a Rataan selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan.

 = 0.05).

Suhu memberikan pengaruh terhadap lama perkembangan tungau merah. Suhu rata harian di laboratorium berkisar antara 25-28 °C dan kelembaban rata-rata berkisar 76%. Suhu optimum untuk perkembangan tungau merah yaitu berkisar antara 15-37.5 °C (Ullah at al. 2011). Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan tungau merah, kelembaban yang tinggi berpotensi dalam menurunkan populasi tungau terutama berpengaruh pada masa oviposisi yang semakin lambat, pergantian kulit, dan mempengaruhi kemampuan larva untuk bertahan hidup (Belloti at al. 1986).

Biologi Tetranychus kanzawai

(23)

13 Lama hidup imago jantan lebih singkat dibandingkan imago betina pada suhu 30 °C (Tsai et al. 1989). Suhu harian rata-rata di laboratorium yaitu sekitar 26 °C. Kalshoven (1981) menyatakan bahwa siklus hidup tungau merah secara umum berlangsung selama 7-14 hari, dan perkembangan setiap stadia tidak lebih dari dua hari. perkembangan tungau merah akan lebih lambat pada suhu yang terendah dan akan lebih cepat pada suhu yang tinggi (Tsai et al. 1989).

Hasil pengamatan menunjukkan lama hidup imago betina jantan pada keempat kultivar lebih singkat dibandingkan imago betina. Lama hidup imago jantan T. kanzawai pada Mentega lebih singkat dibandingkan dengan kutivar lainnya (Tabel 4). Imago betina T. kanzawai pada kultivar Manggu menunjukkan lama hidup yang lebih panjang dibandingkan kultivar lainnya. Dengan lama hidup imago yang semakin cepat memungkinkan terjadinya regenerasi T. kanzawai

menjadi semakin cepat. Menurut Belloti et al. (1986), kultivar ubi kayu memiliki pengaruh terhadap waktu perkembangan tungau merah, yaitu perkembangan tungau merah pada kultivar tahan menunjukkan waktu perkembangan yang lebih lambat dibandingkan dengan kultivar tidak tahan.

Tabel 4 Biologi T. kanzawai pada empat kultivar ubi kayu Parameter Stadia T. kanzawai pada kultivar- X

a

Rataan pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji selang ganda Duncan pada  = 0.05).

Lama hidup imago betina T. kanzawai terdiri dari fase praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Masa praoviposisi merupakan masa sebelum imago meletakan telur pertama. Umumnya masa praoviposisi terjadi dalam waktu yang singkat. Pada kultivar Manggu masa praoviposisi berlangsung selama 1.3 hari dan kultivar Mentega 1.04 hari, sedangkan kultivar Roti dan Jimbul memilki masa praoviposisi yang sama yaitu 0.8 hari (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa masa praoviposisi pada kultivar Manggu lebih lama dibandingkan dengan kultivar lainnya. Masa praoviposisi yang lebih lama akan menyebabakan terjadinya penundaan terhadap peletakan telur harian. Menurut Takafuji et al. (2007) masa imago betina mulai meletakkan telur yaitu 2 hari pada suhu 25 °C.

(24)

14

oviposisi pada kultivar Roti yaitu berlangsung selama 6.4 hari (tabel 3). Menurut Zhang (2003) masa oviposisi tungau merah berlangsung sealama sekitar 10 hari. semakin lama masa oviposisi akan berpengaruh terhadap tingkat keperidian yang semakin tinggi (Gultom 2010).

Menurut Khoiri (2005), imago betina tungau merah pada ubi kayu pahit mampu meletakkan telur hingga 54.70 butir/betina. Tingkat keperidian imago betina T. kanzawai menurut Zhang (2003) pada suhu rendah (15 °C) yaitu sekitar 28 telur/betina sedangkan pada suhu tinggi (30 °C) yaitu mencapai 76 telur/betina. Rata-rata keperidian imago T. kanzawai pada kultivar Mentega, Jimbul, dan Roti tidak berbeda nyata, dengan jumlah telur yaitu 34, 33, dan 28 telur/betina. Sedangkan kultivar Manggu menunjukkan keperidian T. kanzawai yang lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya (Tabel 4). Skorupska (2004) menyatakan bahwa, kondisi terbaik untuk perkembangan tungau dapat ditentukan oleh nilai reproduksi. Pada jarak pagar, keperidian T. kanzawai akan lebih tinggi terjadi pada varietas yang cocok untuk perkembangan hama tersebut (Gultom 2010). Dengan demikian, berdasarkan tingkat keperidian kultivar Mentega cocok untuk perkembangan T.kanzawai.

Gambar 4 Jumlah telur harian Tetranychus kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu

Kultivar ubi kayu memberikan pengaruh terhadap jumlah peletakkan telur harian (Gambar 4). Menurut Easterbrook et al. (1994), keperidian (peletakkan telur harian) pada tungau dapat digunakan untuk mengukur ketahanan tanaman inang terhadap tungau, tungau merah pada kultivar tahan menunjukkan jumlah peletakkan telur harian yang rendah. Tungau merah T. kanzawai pada kultivar Manggu meletakkan jumlah telur harian yang lebih sedikit dibandingkan kultivar lainnya (Gambar 4). Dengan jumlah telur harian yang diletakkan sedikit, maka akan menurunkan jumlah T. kanzwai pada generasi berikutnya, sehingga intensitas kerusakan pada ubi kayu akan menurun.

(25)

15 menunjukkan bahwa, imago betina telah memasuki masa pascaoviposisi. Betina pada masa pascaoviposisi cenderung diam, tidak aktif bergerak, kemudian mati.

(26)

KESIMPULAN

Kultivar Manggu menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan kultivar lainya. Sehingga, kultivar Manggu efektif sebagai alternatif pengendalian terhadap serangan tungau merah T. kanzawai.

SARAN

(27)

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tabel Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Ubi Kayu Seluruh Provinsi. Jakarta (ID): BPS.

Ayanru DKG, Sharma VC. 1984. Change in total cyanide content of tissues from cassava plant infested by mite (Mononychellus tanajoa) and mealybugs (Phenacoccus manihoti). Agriculture, Ecosystems, and Environment. 12: 35-46.

Belloti AC, Reyyes JA, Guerero JM. 1986. Cassava Mite and Their Control. Colombia (CO): Centro Internacional de Agricultura Tropical

Bellotti, A.C. 1990. A review of control strategies for four important cassava pests in the Americas. Di dalam: S.K. Hahn, and F.E. Caveness. Integrated Pest Management for Tropical Root and Tuber Crops. hlm:58-65.

Bernays EA. 1985. Regulation of feeding behaviour. Di dalam: Kerkut GA, Gilbert LI. Regulation: Digestion, Nutrition, Excretion. hlm:1-32.

Chaaban SB, Chermiti B, Kreiter S. 2011. Comparative demography of the spider mite, Oligonychus afrasiaticus, on four date palm varieties in southwestern Tunisia. Journal of Insect Science. 11(136):1-8.

Carlson EC, Beard BH, Tarailo R, Witl RL. 1979. Testing soybeans for resistence to spider mites. California Agriculture. hlm:9-11.

Deciyanto S, Trisawa IM, Adriani RR. 1991. Studi beberapa inang hama tungau (Tetranichus sp) asal tanaman Mentha sp. Penelitian Tanaman Industri. 17(2): 48-55.

Easterbrook MA, Simpson DW. 1994. Strawberry: host plant resistance to two-spotted spider mite. Relevance to Growers and Practical Application. hlm:1-17.

Gultom NM. 2010. Biologi dan kelimpahan populasi tungau merah Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae) pada dua kultivar jarak pagar (Jatropa curcas) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Huffaker CB, Van de vrie M, McMurtry JA. 1969. The ecology of tetranychid mites and their natural control. Ann Rev Entomol.14:125-174.

Indiati SW. 2012. Ketahanan varietas/klon ubi kayu genjah terhadap tungau merah.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 31(1):53-59.

Indiati SW, Saleh N. 2010. Hama tungau merah Tetranychus urticae pada tanaman ubi kayu dan upaya pengendalianya. Buletin Palawija. 20:72-79.

Jeppson LR, Keifer HH, Barker EW. 1975. Mites Injourius to Economic Plants. California (US): University of California Press.

Kawano K, Bellotti A. (1980). Breeding approaches in cassava. Di dalam: Maxwell, F.G. and Jennings PR. Breeding plants resistant to insects. hlm:313.

Khalsoven LGE. 1981. The Pets of Crops in Indonesia. van der Laan PA, penerjemah. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgawessen in Indonesie.

(28)

18

Mutisya DL, Khamala CPM, El Banhwy EM, Khariuki CW. 2013. Cassava variety tolerant to spider mite attack in relation to leaf cyanide level. Journal of Biology Agriculture and Healthcare. 3(5):24-30.

Wardani N. 2014. Parameter neraca hayati dan pertumbuhan populasi kutu putih

Phenacocus manihoti Matile Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada dua varietas ubi kayu. Hama Penyakit Tumbuhan Tropika. hlm 1-10.

Nukenine EN, Dixon AGO, Hassan AT, Asiwe JAN. 1999. Evaluation of cassava cultivar for canopy retention and it’s relationship with field resistence to green spider mite. African Corp Science Journal. 7(1):47-45. Doi: c599005. Prihandana R, Noerwijan K, Adinura PG, Setyaningsih D, Setiadi S, Hendroko R.

2007. Bioetanol Ubikayu: Bahan Bakar Masa Depan. Jakarta (ID): PT Agromedia Pustaka.

Reddal A, Sadras VO, Wilson LJ, Gregg PC 2004. Physiological responses of cotton to two spotted spider mite damage. Crop Sci.44:835-846.

Saliem HP, Nurhayati S. 2011. Prespektif Ekonomi Global Kedelai dan Ubi Kayu Mendukung Swasembada. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

Skorupska A. 2004. Resistance of apple cultivars to two-spotted spider mite, Tetranychus urticae Koch (Acarina: Tetranychidae) part 1. Bionomi of two-spotted spider mite on selected cultivars of apple trees. Journal of Plant Protection Research. 44(1):75-80.

Sundari T. 2010. Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik BudidayaUbikayu

(Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH) Malang (ID): Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Takafuji A, Ishii T. 1989. Inheritance of sex ratio in the Kanzawa spider mite

Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Researches on Population Ecology. 31(1):123-128.

Takafuji A, Tajima R, Amano H. 2007. The over wintering ecology and diapause capacyty of Tetranichus kanzawai Kishida (Acari: tetranychidae) in West-Central Taiwan. Journal of the Acarological Society of Japan. 16(1):29-34. Tsai SM, Kung KS, Shih CI. 1989. The effect of temperature on life history and

population parameters of Kanzawa spider mite, Tetranychus kanzawai

Kishida (Acari: Tetranychidae) on tea. Plant Protection Bulletin [Internet]. [diunduh 2013 November 8]; 31(2):119-130. Doi: 9901176268.

Ullah MS, Moriya D, Badii MH, Nachman G, Gotoh T. 2011. A comparative study of depelovment and demographic parameters of Tetranychus merganser and

Tetranychus kanzawai (Acari: Tetranychidae) at different temperatur. Exp Appl Acarol. 54:1-19. Doi: 10.1007/s1043-010-9420-6.

(29)

19

(30)

20

Skoring Kerusakan pada Daun

Gambar Pertumbuhan Tunas Baru pada 8 MST

Skor 0 Skor 1

Skor 2 Skor 3

(31)

21 Sidik Ragam

Sidik ragam intensitas kerusakan ubi kayu pada 3 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 234.528 78.176 3.38 0.0224

Galat 76 1756.707 23.114

Total 79 1991.235

Sidik ragam kerusakan ubi kayu pada 4 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 3801.421 1267.140 7.70 0.0001

Galat 76 12507.890 164.577

Total 79 16309.311

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 5 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 6950.069 2316.689 7.50 0.0002

Galat 76 23283.729 306.364

Total 79 30233.798

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 6 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 10577.090 3525.696 6.51 0.0006

Galat 76 41131.777 541.207

Total 79 51708.867

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 7 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 4462.294 1487.4315 3.05 0.0335

Galat 76 37029.261 487.227

Total 79 41491.555

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 8 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 23711.828 7903.942 5.03 0.0031

Galat 76 119352.859 1570.432

Total 79 143064.687

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 9 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 22488.349 7496.116 6.81 0.0004

Galat 76 83685.377 1101.123

(32)

22

Sidik ragam kerusakan ubi kayu 10 MST

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 31971.748 10657.249 13.84 <.0001 Galat 76 58533.441 770.176

Total 79 90505.189

Sidik ragam perkembangan telur betina

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 12.130 4.043 28.31 <.0001

Galat 134 19.139 0.142

Total 137 31.270

Sidik ragam perkembangan telur jantan

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 32.506 10.835 0.67 0.5723

Galat 61 983.083 16.116

Total 64 1015.590

Sidik ragam perkembangan larva betina

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 5.468 1.822 4.26 0.0066

Galat 132 56.530 0.428

Total 135 61.998

Sidik ragam perkembangan larva jantan

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 0.805 0.268 0.52 0.6669

Galat 60 30.694 0.511

Total 63 31.500

Sidik ragam perkembangan nimfa betina

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 4.145 1.381 3.72 0.0131

Galat 132 48.978 0.371

Total 135 53.124

Sidik ragam perkembangan nimfa jantan

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 4.044 1.348 3.43 0.0226

Galat 60 23.583 0.393

(33)

23 Sidik ragam perkembangan praoviposisi

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 11.618 3.872 5.94 0.007

Galat 196 127.891 0.652

Total 199 139.509

Sidik ragam perkembangan keperidian

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 3958.095 1319.365 4.73 0.0033

Galat 196 54651.500 278.834

Total 199 58609.595

Sidik ragam perkembangan oviposisi

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 169.701 56.567 19.08 <.0001

Galat 132 391.328 2.964

Total 135 561.029

Sidik ragam perkembangan Pascaoviposisi

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 75.165 25.055 35.41 <.0001

Galat 132 93.392 0.707

Total 135 168.558

Sidik ragam Lama hidup betina

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 208.422 69.474 26.91 <.0001

Galat 132 335.582 2.581

Total 135 544.005

Sidik ragam Lama hidup Jantan

Sumber keragaman Db JK KT F hitung Pr > F

Perlakuan 3 17.873 5.957 3.74 0.0158

Galat 60 95.689 1.594

(34)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1  Infestasi T. kanzawai pada daun ubi kayu
Tabel 1  Skoring kerusakan pada daun ubi kayu
Gambar 2  Gejala serangan tungau merah T. kanzawai pada ubi kayu (a) gejala awal serangan (b) bercak nekrotik meluas kepermukaan daun (c) pucuk daun mengalami perubahan bentuk (d) daun mengering dan rontok
Tabel 2  Intensitas kerusakan oleh T. kanzawai pada keempat kultivar ubi kayu
+6

Referensi

Dokumen terkait

jati bagian teras dalam yang berasal dari Nglipar menunjukkan PH-8 yang paling tinggi (22,00%) yang berbeda nyata dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain (Gambar 5), terutama

Rataan paling tinggi berada pada tanaman kultivar Si Gambiri Baggal, Si Tamba dan Si Lombu yaitu sebesar 3 mm yang menunjukkan perbedaan nyata terhadap Si Ramos.. Rataan

Sebagai bahan pakan, onggok merupakan sumber energi dengan kandungan karbohidrat mudah larut (BETA-N) yang cukup tinggi, namun kandungan protein onggok masih sangat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar glukosa darah 2 jam post prandial manusia yang mengkonsumsi nasi siger sebesar 89 mg/dL lebih rendah dibandingkan dengan nasi putih 95

Uji beda lanjut terhadap dua kelompok contoh uji berdasarkan Tukey (P &lt; 0.05) menunjukkan bahwa kehilangan berat pada kayu bagian dalam yaitu 10,4% lebih rendah dibandingkan

menunjukkan bahwa kadar klorofil menurun dibandingkan dengan kontrol, kadar klorofil total paling rendah pada daun Lagerstromea speciosa Pers.dengan kandungan Pb tinggi yaitu

Sedangkan hasil uji beda Tukey terhadap posisi contoh uji menunjukkan bahwa rata- rata kehilangan berat pada kayu bagian dalam yaitu 10,89%, lebih rendah dibandingkan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pati dari bahan ubi kayu hasil modifikasi dengan inkubasi 12 jam meningkatkan kadar glukosa darah paling rendah dibandingkan