• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan rantai pasok buah manggis di kabupaten Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan rantai pasok buah manggis di kabupaten Bogor, Jawa Barat"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

RETNO ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi tentang “Pengembangan Rantai Pasok Buah Manggis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, 29 Februari 2012

(3)

West Java. Supervised by MARIMIN, MACHFUD, ROEDHY POERWANTO, and YANDRA ARKEMAN.

Mangosteen (Garcinia mangostana L.) is the highly demanded fruit for export commodity from Indonesia. The biggest mangosteen production center in Indonesia is West Java Province that includes Bogor District as one of the districts which produce the most of mangosteen production. The activities of mangosteen production in West Java Province have not been efficient enough to compete internationally. In order to have competitive advantages, supply chain management in mangosteen business was initiated in Bogor district in 2007 which integrated processes from receiving raw material to selling finished products. The aims of the research were to analyze the current supply chain of mangosteen in Bogor District, West Java and to arrange the development of the emerging supply chain of mangosteen with considering performance, risk, and value added of the chain. Data and information were collected through in depth interview, participative discussions with experts which represent each member of the chain, and review of literatures. Tools used for this study were Interpretative Structural Modeling, Fuzzy Analytical Hierarchy Process, Supply Chain Operations Reference, and Hayami methods for value added. The results of the study showed that the most important elements of the chain were needof the chain, barrier of partnership sustainability, and institution of the chain. Attention to the relationship between sub-element in each element must be given by managers of the chain so that the supply chain management can prioritize the handling of those elements. Research results also showed that the supply chain which was managed by KBU Al-Ihsan was better than the marketing channel outside the chain in the profit and value added gained by the farmers as well as in the performance. But, exporter which bought mangosteen from the chain which was managed by KBU Al-Ihsan had worse profit and value added comparing to exporter which bought mangosteen from the market channel outside the chain. The developments arrangement was made to make the supply chain of mangosteen in Bogoar District being sustainable.

(4)

Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh MARIMIN MACHFUD, ROEDHY POERWANTO, dan YANDRA ARKEMAN

Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan buah yang diekspor dari Indonesia yang mendominasi ekspor buah Indonesia (37,4%). Sentra produksi buah manggis terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat dengan Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten penghasil buah manggis yang terbanyak. Kegiatan produksi buah manggis di Jawa Barat tidak cukup efisien untuk bersaing secara internasional. Agar bisnis manggis mempunyai keunggulan bersaing, maka Koperasi Bina Usaha Al-Ihsan (KBU Al-Ihsan) mengembangkan manajemen rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 dengan mengintegrasikan proses bisnis dari penerimaan bahan baku hingga penjualan buah manggis segar.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kondisi rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada saat ini serta menyusun pengembangan rantai pasok buah manggis tersebut dengan mempertimbangkan kinerja, risiko, dan nilai tambah. Penelitian ini hanya dibatasi pada rantai pasok buah manggis segar untuk pasar ekspor. Data primer diperoleh secara langsung dari hasil penggalian informasi dari para ahli dan responden penelitian secara terstruktur menggunakan alat bantu berupa kuesioner maupun secara tidak terstruktur melalui wawancara secara mendalam. Responden penelitian meliputi para pemangku kepentingan bisnis buah manggis. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka serta penelusuran data dari Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Deskripsi rantai pasok yang ada pada saat ini dan penentuan lingkup rantai pasok yang diteliti dilakukan pada langkah awal. Metode yang digunakan pada langkah awal ini adalah deskriptif kualitatif dengan melakukan eksplorasi pada rantai pasok buah manggis yang menjadi objek penelitian. Langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi peran masing-masing pelaku dalam rantai pasok dan analisis elemen kunci struktur rantai pasok yang berperan dalam membentuk rantai pasok buah manggis. Keterkaitan antara sub elemen dalam tiap elemen kunci struktur tersebut dikaji dengan menggunakan Intepretative Structural Modeling (ISM). Indikator kinerja kunci dan risiko kemudian diidentifikasi dengan menggunakan metode Fuzzy Analytical Hierarchy Process (Fuzzy AHP). Dalam pengembangan rantai pasok ini, kinerja rantai pasok diukur menggunakan model Supply Chain Operations Reference (SCOR) dan nilai tambah juga dianalisis menggunakan metode Hayami. Pengukuran kinerja dan analisis nilai tambah dilakukan pada rantai pasok yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan dan saluran pemasaran buah manggis di luar rantai pasok tersebut..

(5)

dikelola oleh KBU Al-Ihsan. Nilai tambah yang diterima oleh eksportir jika membeli buah manggis hasil panen dari petani pada rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan lebih rendah dibandingkan dengan nilai tambah yang dibeli eksportir dari petani yang bukan anggota rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan. Eksportir menerima persentase nilai tambah yang terbesar dari seluruh nilai tambah yang diperoleh dari usaha buah manggis pada rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan. Walaupun persentase nilai tambah yang diterima oleh petani lebih kecil daripada persentase nilai tambah yang diterima oleh eksportir, biaya yang dikeluarkan oleh petani juga lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh eksportir.

Berdasarkan kajian pustaka dan pendapat para ahli, elemen sistem yang penting pada rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan adalah kebutuhan, kendala keberlanjutan, dan lembaga yang terlibat dalam rantai pasok tersebut. Model struktural untuk rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa ketersediaan modal dan ketersediaan teknologi adalah kebutuhan utama rantai pasok ini, sedangkan kendala keberlanjutan kemitraan yang harus diperhatikan adalah ketidakpercayaan dengan mitra, ketidakcocokan karakter dan etika dalam bekerja sama, ketidakcocokan dalam mengembangkan bisnis, ketidaksamaan minat dan tujuan, serta sumber daya mitra yang tidak saling mendukung yang mempunyai daya gerak yang besar untuk menimbulkan kendala keberlanjutan yang lain. Pada elemen lembaga, KBU Al-Ihsan, eksportir, lembaga perbankan / keuangan, lembaga penelitian / universitas, LSM / fasilitator, pemerintah, dan investor merupakan lembaga yang kuat dalam rantai pasok ini. Lembaga yang berperan pada keberlanjutan rantai pasok ini hendaknya dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam proses bisnis rantai pasok tersebut. Dukungan finansial masih perlu diperkuat agar proses bisnis manggis dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Kinerja kunci untuk mencapai tujuan utama rantai pasok adalah pengelolaan aset dengan indikator kinerja kunci berupa waktu siklus cash to cash, pengembalian aset tetap rantai pasok, dan pengembalian modal. Para ahli juga memberikan penilaian bahwa kelembagaan dan finansial merupakan sumber risiko dengan bobot kepentingan tertinggi yang mungkin muncul pada rantai pasok tersebut. Hubungan bisnis antar mitra merupakan risiko yang potensial dari sumber risiko kelembagaan. Risiko yang potensial dari sumber risiko finansial adalah ketidakpastian pengembalian modal. Koordinasi horisontal dan membangun kepercayaan antar anggota rantai pasok mempunyai daya gerak yang kuat sebagai strategi pengurangan risiko sehingga pengelola rantai pasok harus lebih memberikan perhatian kepada kedua hal tersebut sebagai strategi mengurangi risiko.

Agar rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor tetap berkelanjutan, maka disusun beberapa pengembangannya, yaitu meningkatkan jumlah kebun terdaftar, mengembangkan beberapa usaha pada KBU Al-Ihsan untuk meningkatkan nilai tambah yang diperoleh anggota rantai pasok, serta meningkatkan keterlibatan beberapa lembaga yang dapat mendukung penguatan finansial dan kinerja rantai pasok tersebut.

(6)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh disertasi ini tanpa mencantumkan

atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan

suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh disertasi ini

(7)

RETNO ASTUTI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup:

Dr. Ir. Sukardi, MM

Dr. Indah Yuliasih, STP, M.Si.

Penguji pada Ujian Terbuka

Dr. Ir. Sobir, M.Si.

(9)

Nama : Retno Astuti

NRP : F361060061

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Machfud, M.S. Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc

Anggota Anggota

Dr. Ir. Yandra Arkeman M.Eng. Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(10)

pertolongan, rahmat, karunia, serta hidayah-Nya penulis mempunyai kekuatan untuk mewujudkan disertasi ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S3 pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (TIP, SPs, IPB). Dalam mewujudkan disertasi ini, penulis telah dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Machfud, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc, serta Bapak Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng, sebagai anggota Komis Pembimbing yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya dengan ikhlas dalam membimbing penulis secara arif.

2. Bapak Dr. Ir. Sukardi,MM., Ibu Dr. Indah Yuliasih,STP, M.Si., Bapak Dr. Ir. Sobir,M.Si, dan Bapak Dr. Ir. Setyadjit,M.App.Sc. yang telah meluangkan tenaga, waktu, dan pikirannya sebagai penguji luar komisi pembimbing dan memberi masukan pada perbaikan disertasi ini

3. Prof. Dr. Ir. A.G.J.M. Alfons Oude Lansink and Dr. Ir. M.P.M Miranda Meuwissen as my supervisors when I was visiting Business Economics Group, Wageningen University, Netherlands, as a guest researcher in 2008

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, seluruh Pimpinan dan Karyawan SPs IPB, terutama Program Studi TIP, serta seluruh pimpinan dan karyawan Universitas Brawijaya, terutama pada Jurusan TIP, Fakultas Teknologi Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3 di Program Studi TIP, SPs, IPB serta memberikan fasilitas yang memperlancar proses pendidikan penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Triharso (Alm.) dan Ibu Dra. Soenarti sebagai orang tua penulis serta Tri Baskoro Tunggal Satoto (Mas Toto) dan keluarga, Titi Indiati (Mbak Titi), Tentrem Raharjo (Mas Tentrem) dan keluarga, serta Lestari Rahayu (Mbak Rahayu) sebagai kakak penulis yang dengan ikhlas selalu memberikan do’a, kasih sayang, dan dorongan dalam segala urusan penulis 6. Pemerintah daerah dan seluruh masyarakat pelaku usaha manggis di Kabupaten

Bogor, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Pusat Kajian Buah Tropika IPB, Horticulture Partnership Support Program, PT. Agung Mustika Selaras, semua teman di SPs IPB, terutama Program Studi TIP angkatan 2006, serta semua pihak yang tidak dapat disebut satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam kelancaran pelaksanaan penelitian hingga terwujudnya disertasi ini

Hanya Allah SWT yang dapat membalas jasa Bapak / Ibu / Saudara semua. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga disertasi ini dapat membawa manfaat bagi pembaca dan sekitarnya.

(11)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 21 Mei 1970 dan merupakan putri bungsu dari Ayah yang bernama Prof. Dr. Ir. Triharso (Alm.) dan Ibu yang bernama Dra. Soenarti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD II IKIP Yogyakarta pada tahun 1983 kemudian penulis mengikuti pendidikan menengah di SMP 5 Yogyakarta (lulus tahun 1986) dan SMA 1 Yogyakarta (lulus tahun 1989).

Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana dan memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) dari Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Penulis kemudian bekerja di Perkumpulan untuk Kajian dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan sebagai Asisten Peneliti Pada tahun 1997. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Teknik dan Manajemen Industri, Pogram Magister, Institut Teknologi Bandung dan memperoleh gelar Magister Teknik (MT) pada tahun 2002. Penulis kemudian diangkat menjadi tenaga pengajar pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2002. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan sempat mempunyai pengalaman sebagai guest researcher selama 4 bulan di Business Economics Group, Universitas Wageningen, Belanda dalam program Sandwich Like yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 2008

Beberapa bagian disertasi penulis telah dipublikasikan dalam beberapa media publikasi ilmiah, yaitu: Key Performance Indicators in Emerging Supply Chain of Mangosteen in Bogor District, West Java Province, Indonesia (makalah dipresentasikan pada International Seminar on Recent Developments in the Production, Postharvest Management and Trade of Minor Tropical Fruits, 18 – 19 Agustus 2009, Best Western Seri Pacific Hotel, Kuala Lumpur Malaysia), Kebutuhan dan Struktur Kelembagaan Rantai Pasok Buah Manggis: Studi Kasus Rantai Pasok Buah Manggis di Kabupaten Bogor (INTEGRITAS-Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 3 No. 1, 2010 terakreditasi nasional berdasarkan SK DIKTI No.83/DIKTI/Kep/2009, dan Risk and Risk Mitigation in the Supply Chain of Mangosteen in Indonesia (sedang dalam proses review pada Operations and Supply Chain Management: An International Journal).

(12)

xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

DAFTAR ISTILAH...xxiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan penelitian ... 7

1.3 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Ruang Lingkup ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Buah Tropis di Indonesia ... 9

2.2 Manggis ... 10

2.3 Rantai Pasok ... 12

2.4 Rantai Pasok Pertanian ... 13

2.5 Kinerja Rantai Pasok ... 14

2.6 Manajemen Risiko Rantai Pasok ... 18

2.7 Nilai Tambah Rantai Pasok ... 21

2.8 Pengembangan Rantai Pasok ... 22

2.9 Penelitian Pendahulu dan Posisi Penelitian ... 24

3 METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Kerangka Pemikiran ... 29

3.2 Tata Laksana Penelitian ... 29

3.3 Pengumpulan Data... 31

3.4 Pengolahan Data ... 32

3.5 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 46

4 KARAKTERISTIK RANTAI PASOK BUAH MANGGIS ... 49

4.1 Struktur Rantai Pasok Buah Manggis... 49

4.2 Manajemen Rantai Pasok Buah Manggis ... 59

4.2.1 Struktur Manajemen ... 59

4.2.2 Pemilihan Mitra ... 60

4.2.3 Pengaturan Kontrak ... 61

4.2.4 Sistem Transaksi ... 63

4.3 Proses Bisnis Rantai Pasok Buah Manggis ... 64

4.3.1 Layanan Dukungan Mitra, Perencanaan, dan Penelitian Bersama .. 64

4.3.2 Jaminan Identitas Merek ... 64

(13)

xviii

5 KINERJA, SUMBER RISIKODAN NILAI TAMBAH

RANTAI PASOK BUAH MANGGISDI KABUPATEN BOGOR .. 73

5.1 Kinerja Rantai Pasok ... 73

5.1.1 Indikator Kinerja Kunci ... 79

5.1.2 Pengukuran Kinerja ... 79

5.2 Sumber Risiko ... 88

5.3 Nilai Tambah ... 92

5.3.1 Analisis Nilai Tambah Petani ... 93

5.3.2 Analisis Nilai Tambah KBU Al-Ihsan, Pengumpul, dan Pedagang Besar ... 97

5.3.3 Analisis Nilai Tambah Eksportir ... 99

5.3.4 Distribusi Nilai Tambah ... 102

6 PENGEMBANGAN RANTAI PASOK BUAH MANGGIS DI KABUPATEN BOGOR ... 105

6.1 Model Struktural Rantai Pasok Buah Manggis di Kabupaten Bogor...105

6.1.1 Kebutuhan Rantai Pasok ... 105

6.1.2 Kendala Keberlanjutan Kemitraan dalam Rantai Pasok ... 109

6.1.3 Struktur Kelembagaan Rantai Pasok ... 112

6.2 Pengurangan Risiko pada Rantai Pasok Buah Manggis ... 117

6.3 Dukungan Kebijakan ... 121

6.4 Pengembangan Rantai Pasok ... 121

7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

7.1 Kesimpulan ... 131

7.2 Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(14)

xix

Halaman

1 Produksi beberapa buah di Indonesia ... 1

2 Volume dan nilai ekspor buah manggis Indonesia pada tahun 2004-2008 ... 11

3 Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia pada Tahun 2010...12

4 Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok ... 16

5 Posisi penelitian pengembangan rantai pasok ... 27

6 Definisi dan fungsi keanggotaan bilangan fuzzy ... 38

7 Rumus dalam analisis nilai tambah……… ... 46

8 Tahapan, sumber data dan hasil pengolahan data ... 47

9 Standar kualitas buah manggis hasil sortasi dan grading ... . 53

10 Potensi pengembangan kebun manggis di Kabupaten Bogor ... 68

11 Sarana dan prasarana bisnis manggis di Kabupaten Bogor ... 68

12 Ukuran berdasarkan model SCOR yang sesuai dan berpengaruh pada evaluasi proses untuk rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor ... 82

13 Ukuran yang berpengaruh pada tahap budidaya manggis, jenis dan nilainya ... 83

14 Ukuran yang berpengaruh pada tahap pengendalian kualitas jenis dan nilainya ... 84

15 Ukuran yang berpengaruh pada tahap eksporjenis dan nilainya ... 85

16 Nilai efisiensi pada tiap tahap... 86

17 Perhitungan nilai tambah pada petani sebagai anggota rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 93

18 Perhitungan nilai tambah pada petani yang bujan sebagai anggota rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 94

(15)

xx

yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 98 21 Perhitungan nilai tambah yang diperoleh pedagang besar sebagai anggota pada saluran pemasaran buah manggis di luar rantai pasok

yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 99 22 Perhitungan nilai tambah pada eksportir yang membeli buah manggis dari petani sebagai rantai pasok buah manggis yang dikelola

oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 100 23 Perhitungan nilai tambah pada eksportir yang membeli buah manggis dari petani sebagai rantai pasok buah manggis yang tidak dikelola

oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 101 24 Distribusi nilai tambah antara anggota rantai pasok buah manggis

yang tidak dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 104 25 Distribusi nilai tambah antara anggota rantai pasok buah manggis

yang tidak dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 104 26 Intepretasi Reachability Matrix akhir untuk kebutuhan rantai pasok

buah manggis yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 106 27 Intepretasi Reachability Matrix akhir untuk kendala keberlanjutan

kemitraan dalam rantai pasok buah manggis yang baru terbentuk

di Kabupaten Bogor ... 110 28 Intepretasi Reachability Matrix akhir untuk kelembagaan rantai pasok

buah manggis yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 114 29 Intepretasi Reachability Matrix akhir untuk strategipengurangan risiko dalam rantai pasok buah manggis yang baru terbentuk

(16)

xxi

1 Kerangka pikir analisis kinerja rantai pasok buah manggis ... 30 2 Fungsi keanggotaan bilangan fuzzy triangular ... 37 3 Operasi α−cut pada bilangan fuzzy triangular ... 40 4 Struktur rantai pasok buah manggis yang dikelola oleh KBU Al-Ihsan

di Kabupaten Bogor ... 49

5 Kebun manggis di Kabupaten Bogor……… .... 51

6 Proses sortasi dan grading di KBU Al-Ihsan,

serta pengangkutan buah manggis ke eksportir ... .53 7 Proses sortasi dan grading, serta pengemasan di gudang eksportir ... .54 8 Proses produksi pascapanen buah manggis segar untuk pasar ekspor… ... ...56 9 SaluranPemasaran Buah Manggis di Kabupaten Bogor ... 57 10 Hirarki indikator kinerja kunci ... 76 11 Uraian tahap bisnis rantai pasok buah manggis segar yang dikelola

oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 81 12 Uraian tahap bisnis rantai pasok buah manggis segar yang tidak dikelola oleh KBU Al-Ihsan di Kabupaten Bogor ... 81 13 Plot Input – Output pada proses SOURCE di tahap ekspor ... 87 14 Hirarki risiko yang potensial pada rantai pasok buah manggis ... 90 15 Diagram model struktural kebutuhan rantai pasok buah manggis

yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 107 16 Matriks DP-D kebutuhan rantai pasok buah manggis

yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 107 17 Diagram model struktural kendala keberlanjutan kemitraan rantai pasok buah manggis yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 111 18 Matriks DP-D kendala keberlanjutan kemitraan rantai pasok buah manggis yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 111 19 Diagram model struktural kelembagaan rantai pasok buah manggis

yang baru terbentuk di Kabupaten Bogor ... 114 20 Matriks DP-D kelembagaan rantai pasok buah manggis

(17)

xxii

22 Matriks DP-D pengurangan risiko dalam rantai pasok buah manggis

(18)

xxiii

Halaman

1 Kuesioner penentuan kinerja kunci rantai pasok………..…... 145

2 Hasil gabungan penilaian pakar untuk analisis penentuan kinerja kunci rantai pasok buah manggis ……….159

3 Rumus untuk perhitungan ukuran kinerja dan nilai tambah…………...…163

4 Kuesioner identifikasi risiko dan sumber risiko………...…..165

5 Hasil gabungan penilaian pakar untuk analisis penentuan sumber risiko rantai pasok………175

6 Kuesioner kebutuhan rantai pasok……….…179

7 Kuesioner kendala keberlanjutan rantai pasok………..…….183

8 Kuesioner kelembagaan rantai pasok………..….…..193

9 Structural Self-Interaction Matrix (SSIM) awal……….201

(19)

AHP : Analytical Hierarchy Process

: metode untuk memformalkan pengambilan keputusan yang terdiri dari beberapa pilihan dan tiap pilihan terdiri dari beberapa atribut.

ASPUMA : Asosiasi Pelaku Usaha Manggis

: suatu organisasi yang anggotanya adalah para pelaku usaha manggis yang memberikan informasi secara umum kepada seluruh pelaku usaha manggis atau pihak lain yang tertarik dengan usaha buah manggis di Indonesia.

DEA : Data Envelopment Analysis

: merupakan metode non-parametrik berdasarkan pada teknik pemrograman linier untuk megevaluasi efisiensi unit pengambilan keputusan (Decision Making Unit = DMU) yang dianalisis.

Diperta : Dinas Pertanian

: suatu badan di bidang pertanian yang menginduk kepada Departemen Pertanian.

GAP : Good Agricultural Practices

: program verifikasi audit yang memfokuskan pada pelaksanaan pertanian yang terbaik untuk verifikasi bahwa dalam kegiatan budidaya pertanian menghasilkan buah dan sayur dengan cara yang paling aman untuk mengurangi risiko bahaya keamanan pangan secara mikrobial

GHP : Good Handling Practices

: program verifikasi audit yang memfokuskan pada pelaksanaan pertanian yang terbaik untuk verifikasi bahwa fasilitas pengemasan, fasilitas penyimpanan, dan pusat distribusi pedagang besar melakukan penanganan serta penyimpanan buah dan sayur dengan cara yang paling aman untuk mengurangi risiko bahaya keamanan pangan secara mikrobial

HPSP : Horticulture Partnership Support Program

(20)

dan tingkat hirarki

KBU : Koperasi Bina Usaha

: KBU Al-Ihsan merupakan kelembagaan yang didirikan oleh beberapa orang petani manggis di Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

: sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya

MAP : Modified Atmosphere Packaging

: pengemasan produk dengan menggunakan bahan kemasan yang dapat menahan keluar masuknya gas sehingga laju respirasi produk menurun, mengurangi pertumbuhan mikrobia, mengurangi kerusakan oleh enzim serta memperpanjang umur simpan

PKBT : Pusat Kajian Buah Tropika (Pusat Kajian Hortikultura Tropika) : merupakan pusat penelitian di bawah Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian Bogor (LPPM - IPB) yang memiliki mandat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan sumberdaya manusia, menghasilkan varietas unggul untuk menggerakkan mata rantai agribisnis dan agro-industri buah-buahan unggulan Indonesia.

SCOR : Supply Chain Operations Reference

(21)

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah komoditas yang sangat penting dan strategis karena jenis komoditas ini merupakan kebutuhan pokok manusia yang setiap saat selalu harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.

Produk pangan hortikultura berupa buah tropis sangat berpotensi untuk dikembangkan kualitas dan kuantitasnya. Menurut data FAO (2005), kapasitas produksi sayur dan buah segar sebagian besar berasal dari negara-negara Asia kemudian disusul oleh negara-negara Amerika Latin dan Karibia, Afrika, serta negara-negara lain. Indonesia sebagai negara agraris termasuk 10 negara Asia penyumbang terbesar produksi buah dan sayur dunia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS 2010), produksi buah tropis secara total mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Pertumbuhan ini adalah potensi yang dimiliki Indonesia yang harus ditangani dengan serius sekaligus tantangan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk hingga sampai ke tangan konsumen.

Tabel 1 Produksi beberapa buah di Indonesia (ton)

Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

2005 64.711 548,657 937.930 925.082 1.412.884 2.214.019 5.177.607 2006 72.634 643.451 861.950 1.427.781 1.621.997 2.565.543 5.037.472 2007 112.722 621.524 805.879 1.395.566 1.818.619 2.625.884 5.454.226 2008 78.674 717.899 862.465 1.433.133 2.105.085 2.467.632 6.004.615 2009 105.558 772.844 829.014 1.558.196 2.243.440 2.131.768 6.373.533

Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)

(22)

Nasional. Penentuan juga berdasarkan peringkat buah paling banyak dikenal dan dikonsumsi masyarakat lokal, serta memiliki potensi di pasaran internasional.

Selain manggis, buah yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan secara terpadu adalah salak, pisang, mangga, nanas, dan pepaya.

Buah manggis merupakan salah satu komoditas buah tropis primadona ekspor Indonesia. Ekspor buah Indonesia didominasi oleh buah manggis. Pada tahun 2006, kontribusi ekspor buah manggis terhadap total ekspor buah dari Indonesia adalah sebesar 37,4%. Volume ekspor buah manggis sepanjang bulan Januari 2010 hingga bulan Februari 2010 meningkat signifikan, bahkan hampir menyamai volume ekspor sepanjang tahun 2009. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2010), ekspor buah manggis untuk periode Januari 2010 hingga bulan Februari 2010 mencapai 8.225 ton. Ekspor tersebut meningkat sebesar 91% dibandingkan volume ekspor pada bulan Januari 2009 hingga bulan Februari 2009 yang hanya 4.285 ton. Selain volumenya meningkat, nilai ekspor buah manggis juga meningkat dari US$2.781.712 pada bulan Januari 2009 hingga bulan Februarti 2009 menjadi US$6.310.272 pada bulan Januari 2010 hingga bulan Februari 2010 dengan peningkatan sebesar 120%. Kinerja ekspor manggis pada dua bulan pertama tahun 2010 mendekati realisasi ekspor sepanjang tahun 2009 yang volumenya 9.987 ton dengan nilai US$6.451.923 (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 2011). Hampir seluruh hasil panen buah manggis di Indonesia ditampung oleh satu eksportir, yaitu PT Agung Mustika Selaras di Tangerang (yang menguasai pangsa ekspor hampir 50%) sehingga rantai pasok buah manggis mudah untuk ditelusuri. Buah manggis juga merupakan buah yang unik dan spesifik daerah tropis (Direktorat Jenderal Hortikultura 2008).

(23)

ekspor sangat besar. Oleh karena itu, Kabupaten Bogor digunakan sebagai pengembangan kawasan laboratorium manggis dan sekaligus sebagai kawasan percontohan untuk memfokuskan pengembangan manggis secara terintegrasi (Direktorat Jenderal Hortikultura 2008).

Masalah besar dalam pengembangan industri hortikultura adalah sifat komoditas yang mudah rusak, khususnya buah dan sayuran hampir tidak pernah ada yang mempunyai umur kesegaran panjang setelah dipanen. Kondisi produk tersebut adalah produk hayati yang masih melakukan proses respirasi setelah panen (Apandi 1984). Sunarjono (1984) menyebutkan ciri-ciri pokok tanaman hortikultura adalah bersifat kamba sehingga membutuhkan tempat yang lapang, produk biasa dikonsumsi dalam keadaan segar, kualitas produk sangat mempengaruhi pasaran, tidak dapat disimpan lama secara tradisional dan harga selalu berubah-ubah.

Sistem produksi di lokasi yang terpencar, serta skala usaha sempit dan belum efisien juga menjadi penyebab utama bahwa produk buah nasional kurang dapat bersaing di pasar internasional. Lemahnya keunggulan kompetitif agroindustri hortikultura menyebabkan manfaat dari keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian global belum dapat diperoleh, yaitu peningkatan volume permintaan, harga jual produk yang jauh lebih tinggi, harga sarana produksi yang lebih murah, ilmu pengetahuan dan teknologi, modal investasi, serta peningkatan efisiensi akibat realokasi sumber daya dan dorongan persaingan.

(24)

Koordinasi, integrasi, dan manajemen proses bisnis yang berhasil pada seluruh anggota rantai pasok akan menentukan keberhasilan persaingan. Persaingan tidak lagi terjadi antar satu anggota dalam rantai pasok, tetapi persaingan terjadi antar rantai pasok sehingga perlu adanya perubahan dan penyesuaian beroperasinya kemitraan rantai pasok agar kinerjanya meningkat. Beberapa perusahaan telah berhasil meningkatkan efisiensi produksi serta kualitas produknya dengan cara mengelola rantai pasoknya, antara lain: Nutricia Dairy & Drinks Group di Hungaria (Wouda et al. 2002), serta Kraft Foods, Unilever, dan Brown-Forman (Wong & Schuchard 2011). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi rantai pasok bermanfaat untuk memaksimumkan kinerja rantai pasok dengan melakukan perencanaan bersama (Frohlich & Westbrook 2001), mengurangi biaya pemesanan dengan melakukan outsourcing bahan baku setengah jadi (Scanell et al. 2000), mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan (Stank et al. 1999), serta mengurangi ketidakpastian bisnis (Childerhouse et al. 2003) dengan penggunaan teknologi informasi untuk berbagi informasi antar anggota rantai pasok.

Manajemen rantai pasok (supply chain management) produk pertanian mewakili manajemen proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis rantai pasok produk pertanian sehingga manajemen rantai pasok produk pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pasok pada umumnya.

(25)

yang bekerja sama dalam hubungan sebagai pemasok dan konsumen. Manajemen rantai pasok buah manggis secara umum pada saat ini masih lemah karena:

1. Produksi masih diusahakan secara tradisional dan belum mendapatkan masukan teknologi yang memadai.

Berdasarkan wawancara dengan para petani manggis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, usaha pertanian manggis pada saat ini sebagian besar masih dilakukan petani kecil secara individu dengan pemilikan lahan rata-rata 0,5 ha per orang. Tanpa pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha ekonomis, usaha pertanian buah manggis kurang menarik dan tidak mampu memberikan pasokan yang memadai secara kuantitas, kualitas, dan berkesinambungan.

Petani manggis pada umumnya juga masih berorientasi pada produksi dengan biaya serendah mungkin sehingga kualitas produk kurang diperhatikan. Para petani tersebut belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar yang semakin mementingkan kualitas dalam membeli produk.

2. Kelembagaan yang ada sebagian besar masih belum berfungsi dalam membentuk koordinasi antar para pelaku usaha yang terkait sehingga manajemen rantai pasok buah manggis belum dapat diterapkan dengan baik. Kelembagaan di tingkat petani yang telah ada pada saat ini berupa kelompok tani yang sebagian besar belum dikelola secara baik sehingga belum efektif berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan pasokan, kurang responsif, dan kurang antisipatif dalam memanfaatkan peluang pasar secara kompetitif.

Hubungan kerjasama antar setiap pelaku usaha juga hanya diikat dan dikoordinasikan oleh mekanisme pasar tanpa ada hubungan organisasi fungsional dalam jangka panjang dengan tujuan yang sama, kinerja dikelola secara bersama, dan informasi yang terbuka antar pelaku usaha.

3. Pengelolaan rantai pasok buah manggis di Indonesia belum didukung oleh iklim usaha yang tepat.

(26)

Kebijaksanaan pemerintah juga belum mampu mendorong pelaku usaha untuk membentuk kerjasama dan koordinasi dalam suatu rantai pasok. Pelaku usaha yang pada saat ini bertindak sebagai koordinator pada rantai pasok buah manggis masih belum dapat menjalankan perannya dengan baik karena keterbatasan modal yang dimilikinya sehingga koordinasi rantai pasok tersebut tidak dapat dipastikan keberlanjutannya.

Manajemen rantai pasok yang masih lemah menyebabkan rantai pasok buah manggis belum efektif dan efisien yang ditunjukkan oleh:

1. Rantai pasok yang masih panjang.

Rantai pasok dari produsen sampai ke konsumen yang masih sangat panjang menyebabkan risiko kerusakan dan penurunan mutu produk karena produk pertanian bersifat mudah rusak. Rantai pasok yang panjang juga menyebabkan biaya pemasaran dari produsen ke konsumen menjadi cukup tinggi sehingga konsumen harus membayar lebih mahal dari harga yang selayaknya ditawarkan

2. Nilai tambah dan risiko yang tidak terdistribusi dengan merata di antara pelaku rantai pasok.

Hubungan antar pelaku usaha yang hanya diikat dan dikoordinasikan oleh mekanisme pasar cenderung bersifat eksploitatif bagi pelaku usaha yang relatif lebih lemah (Rustiani & Maspiyati 1996; Simatupang 1997). Pada rantai pasok buah manggis, petani yang merupakan pelaku usaha yang paling lemah karena keterbatasan modal dan informasi pasar pada umumnya mendapatkan porsi yang sangat kecil dari keseluruhan nilai tambah

3. Harga yang berfluktuasi.

(27)

panen, sedangkan pelaku yang berperan sebagai pembeli buah manggis dari petani dapat melakukan koordinasi dengan pelaku dalam rantai pasok di daerah lain berdasarkan informasi pasokan, harga, dan permintaan.

Agar kinerja rantai pasok buah manggis dapat ditingkatkan, maka rantai pasok harus dikelola dengan mempertimbangkan indikator kinerja kunci dan risiko pada rantai pasok tersebut, serta mempertimbangkan nilai tambah yang adil bagi seluruh pelaku dalam rantai pasok tersebut.

1. 2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

1. Melakukan analisis kinerja kondisi rantai pasok buah manggis pada saat ini

2. Menyusun pengembangan rantai pasok buah manggis dengan

mempertimbangkan kinerja, risiko, dan nilai tambah

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menghasilkan perencanaan pengembangan rantai pasok buah manggis sebagai alternatif strategi peningkatan kinerja rantai pasok tersebut sehingga diharapkan rantai pasok tersebut akan berkesinambungan

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan dalam bidang manajemen rantai pasok buah tropis.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah :

1. Rantai pasok produk pertanian yang diteliti adalah rantai pasok buah manggis di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

2. Rantai pasok yang diteliti hanya rantai pasok buah manggis segar untuk pasar ekspor.

(28)
(29)

2.1 Buah Tropis di Indonesia

Buah tropis di Indonesia merupakan komoditas hortikultura yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha agroindustri. Pengelolaan usahatani buah tropis sebagai usaha agroindustri dapat meningkatkan pendapatan petani karena nilai ekonomi buah tropis yang tinggi. Buah tropis sebagai komoditas hortikultura pada umumnya ditanam sebagai tanaman sela, tanaman pekarangan, dan kebun.

Pada saat ini, pembangunan agroindustri komoditas buah tropis pada berbagai sentra produksi hampir di seluruh propinsi Indonesia telah mempunyai fasilitas melalui berbagai program dan kegiatan dengan dukungan dana dari APBN, APBD (propinsi dan kabupaten/kota) atau dukungan dana dari masyarakat (petani dan swasta). Pelaksanaan pengembangan buah tropis sebagai produk hortikultura juga telah didukung dengan kegiatan dari berbagai institusi di dalam lingkup dan di luar lingkup Kementrian Pertanian. Kegiatan dan pendanaan pembangunan hortikultura telah dilakukan untuk pengembangan budidaya dan penerapan teknologi, pemberdayaan kelembagaan petani, penguatan modal usaha, fasilitas promosi investasi dan produk, serta fasilitasi kerjasama dan kemitraan usaha antar produsen dan pelaku usaha di sentra produksi dan sentra pemasaran.

Ketersediaan komoditas hortikultura dapat diukur dari ketersediaan produk per kapita, yaitu angka yang menunjukkan tingkat konsumsi penduduk yang telah memperhitungkan kuantitas produksi, jumlah penduduk, tambahan dari impor dan pengurangan akibat ekspor serta pengurangan untuk keperluan bibit dan pakan ternak. Ketersediaan buah per kapita meningkat 3,47% dari 72,93 kg/th pada tahun 2007 menjadi 75,46 kg/th pada tahun 2008. Peningkatan ketersediaan ini sangat berkaitan dengan upaya peningkatan produksi dan kualitas produk yang telah dilakukan selama ini (Direktorat Jenderal Hortikultura 2009).

(30)

impor produk tidak dapat dihindari walaupun terjadi peningkatan produksi nasional. Jika neraca ekspor impor bernilai positif (volume dan nilainya), maka pasar luar negeri dan devisa dapat meningkat. Indonesia termasuk kelompok negara net-importir buah (sebagian dalam bentuk produk olahan), tetapi impor buah Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan produksi nasional, yaitu hanya 3,5%.pada tahun 2010 (Antara 2011)

Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan kontribusi yang diberikan oleh subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Rata-rata peningkatan PDB nasional hortikultura sebesar 10 % pada tahun 2008. Peningkatan ini terjadi karena produksi di berbagai sentra peningkatan dan luas areal panen mengalami peningkatan serta nilai ekonomi produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya (Direktorat Jenderal Hortukultura 2009).

Pada sektor pertanian, PDB sub-sektor hortikultura menempati urutan kedua terbesar setelah PDB sub-sektor perkebunan. Pada tahun 2008 nilai PDB hortikultura sebesar Rp 80.292 milyar, sedangkan nilai PDB komoditas perkebunan sebesar Rp 106.186 milyar, nilai PDB peternakan dan hasil-hasilnya Rp 82.835 milyar, serta PDB sub-sektor pertanian lainnya Rp 267.550 milyar. Dilihat dari pendapatan nasional, konstribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik pada keseluruhan PDB hortikultura maupun pada PDB kelompok komoditas hortikultura. Pada tahun 2005, PDB hortikultura sebesar Rp 61,79 trilyun naik menjadi Rp 89,057 trilyun pada tahun 2009. Dari penyerapan tenaga kerja, sub-sektor hortikultura mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.901.900 orang pada tahun 2005 dan menunjukkan kecenderungan peningkatan selama 5 tahun hingga tenaga kerja yang terserap sebanyak 3.777.857 orang pada tahun 2008 (Direktorat Jenderal Hortukultura 2009).

2.2 Manggis

(31)

pada saat ini terus meningkat. Pangsa ekspor buah manggis Indonesia di dunia adalah sebesar 0,75% (FAO 2010). Pesaing pasar buah manggis bagi Indonesia pada saat ini adalah Thailand, Malaysia, dan negara Amerika Latin. Volume dan nilai ekspor buah manggis dari Indonesia pada tahun 2004 – 2008 ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Volume dan nilai ekspor buah manggis Indonesia

pada tahun 2004-2008

Tahun Volume (ton) Nilai (x US$1.000)

2004 3.045 3.292

2005 8.472 6.386

2006 5.698 3.612

2007 9.093 4.951

2008 9.466 5.833

Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

Di Indonesia, tanaman manggis tersebar hampir ada di semua pulau. Penghasil utama buah manggis untuk ekspor adalah di pusat produksi manggis, yaitu Tasikmalaya, Purwakarta, Bogor, Sukabumi, Lampung, Purworejo, Belitung, Lahat, Tapanuli Selatan, Limapuluh Kota, Padang Pariaman, Trenggalek, Blitar, dan Banyuwangi. Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 3. Tujuan ekspor buah manggis adalah Hong Kong, Taiwan, RRC, Singapura, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara Eropa. Permintaan dari Amerika Serikat juga mulai tinggi pada akhir-akhir ini.

(32)

Tabel 3 Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2010

Bengkulu 4.442 Jawa Timur 11.238 Kalimantan

Timur 314

Sumber: Badan Pusat Statistik (2011)

2.3 Rantai Pasok

Sistem rantai pasok adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk mengefisienkan secara integral antara pemasok, pengolah, gudang, dan konsumen akhir sehingga barang atau jasa diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, dan pada waktu yang tepat dengan tujuan meminimalkan biaya ketika terdapat permintaan terhadap kepuasan konsumen (Levi et al. 2000). Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), rantai pasok adalah suatu sistem tempat organisasi menyalurkan produk dan jasanya kepada para konsumennya. Rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan yang mempunyai tujuan yang sama, yaitu sebaik mungkin menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran produk dan jasa tersebut. Analisis rantai pasok menekankan pada cara barang berpindah dari produsen kepada konsumen, pertukaran pembayaran kredit dan modal di antara anggota rantai pasok, sinyal harga, perilaku harga, nilai tambah, inseminasi teknologi, serta aliran informasi pada rantai pasok tersebut.

(33)

pelayanan dengan biaya minimal (Levi et al. 2000). Bailey et al. (2002) menggunakan definisi manajemen rantai pasok yang dikembangkan oleh The International Centre for Competitive Excellence, yaitu manajemen rantai pasok merupakan integrasi proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok awal yang memberikan produk, pelayanan, dan informasi yang memberi nilai tambah untuk konsumen. Menurut Vorst (2000) manajemen rantai pasok adalah perencanaan yang terintegrasi, koordinasi, serta pengendalian seluruh proses bisnis logistik dan kegiatan dalam rantai pasok untuk memberikan nilai unggul pada biaya yang minimum pada rantai pasok tersebut dengan tetap memuaskan keinginan pemangku kepentingan lain dalam rantai pasok tersebut. Tang (2006) mendefinisikan manajemen rantai pasok sebagai manajemen aliran bahan, informasi, dan finansial melalui sebuah jaringan kerja organisasi (yaitu pemasok, pengolah, penyedia logistik, pedagang besar/distributor, dan pengecer) yang bertujuan untuk memproduksi dan mengirimkan produk atau jasa untuk pelanggan. Manajemen rantai pasok mencakup koordinasi serta kolaborasi proses dan kegiatan melalui fungsi yang berbeda, seperti pemasaran, penjualan, produksi, perancangan produk, pengadaan, logistik, pembiayaan, dan teknologi informasi dalam jaringan kerja organisasi.

Rantai pasok lebih ditekankan pada aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Vorst 2004). Tujuan manajemen rantai pasok adalah mengurangi risiko pasar, meningkatkan nilai tambah, efisiensi, dan keunggulan kompetitif, serta menyusun strategi pengembangan produk dan memasuki pasar baru (Saptana et al. 2006).

2.4 Rantai Pasok Pertanian

(34)

perkebunan, pengolah atau pabrik, distributor, dan pengecer (retail). Setiap perusahaan diposisikan dalam sebuah lapisan jaringan dan keterlibatan minimal satu rantai pasok. Dalam jaringan rantai pasok pertanian, lebih dari satu rantai pasok dan lebih dari satu proses bisnis yang dapat diidentifikasi. Dalam satu waktu, proses paralel dan berurutan dapat terjadi dalam rantai pasok pertanian (Vorst 2006a).

Jika rantai pasok pada umumnya didefinisikan sebagai sistem consumer-driven, maka rantai pasok pertanian dapat didefinisikan sebagai sistem producer-consumer-driven. Peramalan permintaan dan pasokan mempunyai tingkat kepentingan yang sama dalam rantai pasok pertanian, tetapi anggota rantai pasok mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengendalikannya (Bailey et al, 2002). Rantai pasok pertanian juga cukup khas karena karakteristik bahan pertanian yang sangat sensitif terhadap waktu. Oleh karena itu, pengelolaan persediaan, transportasi, dan komponen rantai pasok lainnya perlu dirancang dengan memperhatikan karakteristik tersebut.

Pembahasan rantai pasok pertanian belum banyak dilakukan karena kajian rantai pasok pada umumnya dilakukan oleh para peneliti dengan latar belakang ilmu manajemen atau keteknikan yang berbasis logam. Beberapa penelitian yang mengkaji lingkup rantai pasok pertanian antara lain Wouda et al. (2001), Schiefer (2002), Haan et al. (2003), Zee dan Vorst (2005), Aramyan et al. (2006), Vorst (2006b), dan Yandra et al. (2007). Untuk rantai pasok produk hortikultura, beberapa penelitian antara lain telah dilakukan oleh Vorst (2000), Top dan Rijgersberg (2003), Buurma dan Saranark (2006), Araki et al. (2006), Rastoin et al. (2006), Dimyati dan Muharam (2006), Hart et al. (2007), serta Marimin (2008). Karakteristik produk-produk pertanian yang sangat khas menyebabkan kompleksitas masalah rantai pasok menjadi meningkat.

2.5 Kinerja Rantai Pasok

(35)

1. Prosedur rencana pemesanan.

Indikator ini digunakan untuk mengukur kinerja kegiatan yang terkait dengan pemesanan. Beberapa indikator tersebut adalah metode pemasukan pesanan, lead time pemesanan, dan urutan pemesanan.

2. Kerjasama rantai pasok dan yang terkait dengannya.

Indikator ini digunakan untuk menilai tingkat koordinasi di antara anggota rantai pasok. Beberapa kriteria untuk indikator ini adalah tingkat dan derajat pembagian informasi, biaya inisiatif pembeli-pedagang, perluasan kerjasama dalam perbaikan kualitas, serta perluasan pendampingan dalam usaha penyelesaian masalah.

3. Tingkat produksi.

Kategori ini terdiri dari produk dan pelayanan, penggunaan kapasitas, serta efektivitas teknik penjadwalan.

4. Ukuran yang terkait dengan pengiriman.

Ukuran ini dirancang untuk mengevaluasi kinerja pengiriman dan biaya distribusi.

5. Ukuran pelayanan konsumen dan kepuasan konsumen.

Ukuran ini bertujuan untuk mengintegrasikan spesifikasi konsumen dalam perancangan, menetapkan dimensi kualitas, serta sebagai umpan balik untuk proses pengendalian. Ukuran ini terdiri dari fleksibilitas produk/pelayanan, ketepatan waktu, dan pelayanan setelah transaksi.

6. Finansial dan biaya logistik.

Indikator ini digunakan untuk menilai kinerja finansial rantai pasok, seperti biaya aset, pengembalian modal, serta biaya persediaan total.

(36)

Tabel 4 Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok Tingkat

Manajemen

Indikator Kinerja Finansial Non-Finansial

Strategis Total waktu siklus rantai pasok √

Total waktu aliran kas √

Ketepatan waktu

Tingkat penerimaan konsumen terhadap nilai produk √

Rasio keuntungan bersih terhadap produktivitas √

Laju pengembalian modal √

Rentang produk dan pelayanan

Variasi pada anggaran √

Lead time pemesanan √

Fleksibilitas sistem pelayanan untuk memenuhi

keinginan khusus konsumen √

Tingkat kerjasama pembeli-pemasok √ √

Lead time pemasok pada norma industri √

Tingkat pengiriman pemasok yang bebas cacat √

Lead time pengiriman √

Kinerja pengiriman √ √

Taktis Ketepatan teknik peramalan √

Waktu siklus pengembangan produk √

Metode pemasukan pesanan

Efektivitas metode faktur pengiriman √

Waktu siklus pembelian pesanan √

Waktu siklus proses yang dirancanakan √

Efektivitas jadwal induk produksi

Pendampingan pemasok dalam penyelesaian

masalah secara teknis √

Kemampuan pemasok untuk menanggapi masalah

kualitas √

Inisiatif penghematan biaya pemasok √

Pencatatan pemasok dalam prosedur √

Keandalan pengiriman √

Kecepatan tanggap dalam pengiriman mendadak Evektivitas jadwalan perencanaan distribusi √

Operasional Biaya per jam operasi √

Biaya informasi √ √

Penggunaan kapasitas

Total biaya persediaan:

Tingkat persediaan yang baru masuk Pekerjaan yang sedang berjalan Nilai bahan yang terbuang Produk jadi yang belum terjual

Laju penolakan pemasok √ √

Kualitas dokumentasi pengiriman

Efisiensi waktu siklus pembelanjaan pesanan √

Frekuensi pengiriman √

Keandalan penggerak untuk kinerja √

Kualitas barang yang terkirim

Pencapaian kiriman yang bebas cacat √

(37)

Model Supply Chain Operation Reference (SCOR) menetapkan 2 jenis atribut kinerja (Bolstorff & Rosenbaum 2003), yaitu:

1. Kinerja yang terkait dengan pelanggan yang terdiri dari:

a. Reliabilitas, yaitu kinerja rantai pasok dalam mengirimkan produk yang benar ke tempat, waktu, kondisi dan pengemasan, kuantitas, dokumentasi, serta pelanggan yang tepat

b. Responsiveness, yaitu kecepatan rantai pasok memberikan produk kepada pelanggan

c. Agility, yaitu kemampuan rantai pasok dalam menanggapi perubahan pasar untuk memperoleh atau mempertahankan keunggulan bersaing.

2. Kinerja yang terkait dengan internal yang terdiri dari:

a. Biaya, yaitu biaya yang terkait dengan pengoperasian rantai pasok

b. Pengelolaan aset, yaitu keefektifan organisasi dalam mengelola aset untuk mendukung pemenuhan permintaan. Hal ini mencakup pengelolaan seluruh aset, yaitu modal tetap dan modal kerja.

Beberapa penelitian yang terkait dengan pengukuran kinerja rantai pasok telah dilakukan antara lain oleh Bruwer dan Speh (2000), Narahari dan Biswas (2000), Chan dan Chan (2005), Pranoto (2005), Bichescu (2006), Jing-yuan et al. (2006), Jammernegg dan Reiner (2007), serta Wong dan Wong (2007). Untuk pengukuran kinerja pada rantai pasok pertanian, beberapa penelitian antara lain telah dilakukan oleh Pereira (2004), Aramyan et al. (2006), Bunte (2006), Vorst (2006b), Aramyan et al. (2007), serta Persson dan Araldi (2007).

Menurut Aramyan et al. (2006), beberapa metode telah dikembangkan untuk pengukuran kinerja rantai pasok. Beberapa metode terbaik dalam pengukuran kinerja tersebut adalah Supply-Chain Council’s Supply Chain Operations Reference (SCOR), Balance Scorecard (BSC), Multi Criteria

Analysis (MCA), Data Envelopment Analysis (DEA), Activity Based

(38)

2.6 Manajemen Risiko Rantai Pasok

Risiko pada rantai pasok dapat dikelola melalui koordinasi dan kolaborasi antar mitra dalam rantai pasok sehingga keuntungan dan keberlanjutan dapat terjamin (Tang 2006). Menurut Tang (2006), untuk mengurangi dampak risiko rantai pasok, maka perlu dilakukan koordinasi dan kolaborasi dengan 4 pendekatan dasar, yaitu:

1. Manajemen pasokan.

Pelaku dalam rantai pasok dapat melakukan koordinasi atau kolaborasi dengan mitra hulu untuk menjamin pasokan bahan yang efisien sepanjang rantai pasok. Manajemen pasokan terkait dengan 5 hal, yaitu:

a. Perancangan jaringan kerja pasokan.

Dalam merancang jaringan kerja rantai pasokan, perlu diperhatikan hal-hal berikut:

Konfigurasi jaringan kerja, yaitu pemasok, fasilitas pengolah, pusat distribusi, dan gudang mana yang harus dipilih

Penugasan produk, yaitu fasilitas (pemasok, fasilitas pengolah, pusat distribusi, dll) mana yang harus bertanggung jawab untuk proses perakitan, produk setengah jadi, dan produk akhir

Penugasan pelanggan, yaitu fasilitas di hulu yang mana yang harus bertanggung jawab untuk menangani permintaan dari hilir

Perencanaan produksi, yaitu kapan dan berapa produksi atau proses dilakukan pada setiap fasilitas

Perencanaan transportasi, yaitu kapan dan sarana transportasi apa yang harus digunakan.

b. Hubungan pemasok.

(39)

c. Proses pemilihan pemasok (kriteria dan pemilihan pemasok).

Boer et al. (2001) membagi proses pemilihan pemasok ke dalam 3 tahap, yaitu:

Pembentukan pemilihan kriteria yang dapat dilakukan dengan metode interpretative structural modeling dan sistem pakar

Penentuan pemasok yang disetujui yang dapat dilakukan dengan metode analisis clustering, data envelopment analysis, dan artificial intelligence

Pemilihan akhir pemasok yang dapat dilakukan dengan metode model pembobotan linier, biaya total kepemilikan, model pemrograman matematis (pemograman linier, goal programming, data envelopment analysis, dll), dan model simulasi.

d. Alokasi pesanan ke pemasok.

Setelah pemasok dipilih, maka pembeli harus menentukan cara untuk mengalokasikan kuantitas pesanan pada pemasok terpilih. Risiko pada alokasi pesanan ini diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu permintaan yang tidak pasti, kapasitas pemasok yang tidak pasti, lead time pemasok yang tidak pasti, dan biaya pemasok yang tidak pasti

e. Kontrak pemasok.

Jenis kontrak pemasok yang dikarakteristikkan berdasarkan aliran bahan dan aliran finansial sebagai berikut:

Permintaan yang tidak pasti yang terdiri dari kontrak dengan harga borongan, kontrak pembelian kembali, kontrak pembagian pendapatan, dan kontrak berdasarkan kuantitas (fleksibilitas kuantitas dan pemesanan minimum)

Harga yang tidak pasti. 2. Manajemen permintaan

(40)

yang tidak fleksibel untuk memenuhi permintaan yang dimodifikasi. Strategi manajemen permintaan dirancang untuk membangkitkan efek sebagai berikut: a. Menarik / memindahkan permintaan ke waktu lain

b. Menarik / memindahkan permintaan ke pasar lain

c. Menarik / memindahkan permintaan ke produk lain yang dapat dilakukan dengan mekanisme substitusi produk dan membuat paket produk.

3. Manajemen produk

Pelaku dalam rantai pasok dapat memodifikasi rancangan produk atau proses agar pasokan lebih mudah memenuhi permintaan. Strategi manajemen produk dapat dilakukan dengan cara:

a. Penundaan proses yang diklasifikasikan berdasarkan cara pengoperasian dan peramalan permintaan sebagai berikut:

Sistem make to order tanpa perbaruan peramalan Sistem make to stock tanpa perbaruan peramalan

Sistem make to order dengan perbaruan peramalan Sistem make to stock dengan perbaruan peramalan. b. Pengurutan proses

c. Substitusi produk. 4. Manajemen informasi

Pelaku dalam rantai pasok dapat meningkatkan koordinasi atau kolaborasinya jika informasi yang tersedia pada setiap pelaku rantai pasok dapat diakses oleh mitranya. Manajemen informasi dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis produk, yaitu:

a. Strategi manajemen informasi untuk pengelolaan produk fashion.

(41)

b. Strategi manajemen informasi untuk pengelolaan produk fungsional.

Dalam pengelolaan produk yang bersiklus hidup panjang, informasi pasar merupakan hal yang kritis untuk membangkitkan peramalan permintaan yang tepat. Karena pedagang besar, distributor, pengolah, dan pengecer semakin jauh dari pasar pelanggan, maka para pelaku pada rantai pasok tersebut biasanya tidak mempunyai informasi pasar pada tangan pertama, seperti data penjualan, preferensi pelanggan, serta tanggapan pelanggan pada berbagai strategi pemberian harga dan promosi. Mitra rantai pasok hulu biasanya membangkitkan peramalan permintaannya berdasarkan pada pesanan yang dilakukan oleh mitra hilir mereka. Perencanaan berdasarkan pesanan yang dilakukan oleh mitra hilir akan membentuk fenomena yang disebut dengan bullwhip effect, yaitu pesanan menunjukkan peningkatan variabilitas seluruh rantai pasok walaupun permintaan pelanggan stabil (Stermann 1989). Strategi untuk mengatasi bullwhip effect, yaitu informasi bersama, persediaan pedagang yang dikelola, serta perencanaan peramalan dan pengisian secara bersama.

Beberapa penelitian terkait dengan manajemen risiko rantai pasok telah dilakukan, antara lain oleh Aviv (2004), Cachon dan Lariviere (2005), Cheng dan Wu (2005), Chod dan Rudi (2005), Gaur et al. (2005), Gilbert (2005), serta Sahin dan Robinson (2005).

2.7 Nilai Tambah Rantai Pasok

(42)

Menurut Hayami et al. (1987), nilai tambah tangible dipengaruhi oleh: 1. Faktor teknis, yaitu kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan,

dan tenaga kerja

2. Faktor pasar, yaitu harga output, upah tenaga kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain selain bahan baku dan tenaga kerja.

Nilai tambah tangible diperoleh melalui pengurangan biaya bahan baku dan input lainnya terhadap nilai produk yang dihasilkan.

Beberapa penelitian yang terkait dengan nilai tambah dalam rantai pasok telah dilakukan, antara lain oleh Gurău (2004), Bates et al. (2006), Gloy dan Stephenson (2006), serta Clements dan Price (2007).

2.8 Pengembangan Rantai Pasok

Pengembangan rantai pasok mencakup keputusan yang sangat luas. Beberapa keputusan dalam pengembangan rantai pasok mempunyai karakteristik berefek jangka menengah hingga jangka panjang, mengandung risiko dan ketidakpastian sedang hingga tinggi, serta mempunyai konsekuensi yang relatif besar terhadap organisasi yang terlibat.

Semini et al. (2005) mengklasifikasikan keputusan dalam pengembangan rantai pasok sebagai berikut:

1. Keputusan struktur.

Keputusan struktur terkait dengan lokalisasi pabrik produksi, gudang, serta pemilihan pemasok dan penyedia jasa transportasi. Keputusan ini berupa: a. Lokalisasi fasilitas.

Keputusan ini merupakan keputusan lokalisasi geografis fasilitas dan produksi. Beberapa aspek untuk pertimbangan adalah biaya, waktu, budaya, situasi politik, modal tenaga kerja, dan kapasitas produksi.

b. Keputusan membuat atau membeli.

(43)

c. Pemilihan pemasok.

Evaluasi kriteria pemasok adalah kualitas, ketepatan pengiriman, harga, fleksibilitas, kompetensi teknis, situasi finansial, jarak geografis dan budaya.

d. Distribusi.

Pemilihan strategi distribusi mencakup pemilihan alat transportasi dan pola distribusi, seperti pengapalan, cross-docking, dan kapasitas penyimpanan. Penggunaan jasa logistik dari pihak lain juga merupakan keputusan dalam distribusi.

2. Keputusan pengendalian.

Pada keputusan pengendalian, struktur rantai pasok tidak diubah, tetapi keputusan difokuskan pada cara mengelola rantai pasok secara efektif dan efisien. Keputusan ini berupa:

a. Perencanaan dan pengendalian sistem.

Produksi dikendalikan dengan beberapa cara yang berbeda. Material Requirement Planning dan Just In Time merupakan prinsip pengendalian yang banyak digunakan di beberapa perusahaan. Mekanisme pengendalian dalam manajemen persediaan juga merupakan keputusan yang penting, seperti titik pemesanan kembali atau pemesanan secara periodik.

b. Teknologi informasi dan komunikasi.

Teknologi informasi dan komunikasi merupakan kunci yang membuat pengendalian menjadi efektif dan efisien, misal: pengendalian untuk perencanaan manajemen pemesanan, produksi, persediaan, dan distribusi. c. Sistem integrasi dan kolaborasi antar pelaku.

Manajemen rantai pasok dapat dilakukan dengan integrasi tinggi dengan pelaku lain. Integrasi mempunyai tingkat yang berbeda dari koalisi dan aliansi serta integrasi tingkat tinggi hingga integrasi tingkat rendah dalam pasar.

d. Pengukuran kinerja.

(44)

diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu pengukuran secara kualitatif (antara lain: kepuasan konsumen dan kualitas produk) dan pengukuran secara kuantitatif (antara lain: leadtime pengiriman pesanan, waktu respon rantai pasok, fleksibilitas, penggunaan sumberdaya, kinerja pengiriman, dll). Pengukuran kinerja rantai pasok secara kuantitatif secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu non-finansial (lead time, tingkat pelayanan konsumen, tingkat persediaan, dan penggunaan sumber daya) dan finansial.

2.9 Penelitian Pendahulu dan Posisi Penelitian

Pengambilan keputusan diperlukan dalam pengembangan suatu rantai pasok. Model pada dasarnya digunakan untuk membantu pengambilan keputusan pada sistem yang kompleks. Model yang baik adalah model yang mampu mewakili sistem pada kondisi nyata dan memberikan konfigurasi yang efektif.

Model rantai pasok diklasifikasikan menjadi 2, yaitu model deskriptif dan model normatif. Kesulitan pengembangan model normatif yang akurat untuk pengembangan rantai pasok tergantung pada beberapa faktor dengan faktor dominan adalah sebagai berikut:

1. Tingkat keputusan yang dibuat oleh model.

Keputusan pada umumnya dibagi menjadi keputusan strategis, taktis, dan operasional. Tingkat kesulitan pengembangan model semakin tinggi dari keputusan operasional ke keputusan strategis.

2. Lingkup dan skala model.

Lingkup model berdasarkan pada jumlah dan interaksi komoditas, jumlah eselon atau tahap pada rantai pasok, serta periode dalam horizon waktu. Skala model berdasarkan pada jumlah pemasok, transformasi, serta fasilitas pelanggan dan jalur transportasi. Lingkup atau jumlah objek logistik yang semakin besar akan menambah tingkat kesulitan pengumpulan data dan penyelesaian yang optimal.

3. Jumlah negara atau asosiasi perdagangan yang terlibat dalam model.

(45)

uang terlibat dalam rantai pasok tersebut. Beberapa penelitian model rantai pasok telah dilakukan pada rantai pasok domestik dan rantai pasok global. Model rantai pasok domestik cenderung lebih comprehensive dengan mencakup biaya, kendala dan objek logistik yang lebih banyak serta lebih konsisten dalam mencakup beberapa faktor, komponen, dan biaya daripada model rantai pasok global.

4. Derajat ketidakpastian yang dimasukkan ke dalam model.

Model perencanaan akan mencakup peramalan nilai paramater di masa yang akan datang, seperti permintaan, produksi, biaya, dan nilai tukar. Model deterministik berdasarkan pada nilai tunggal pada setiap parameter (biasanya nilai mean). Model stokastik mencakup beberapa nilai yang masing-masing mempunyai probabilitas atau distribusi probabilitas. Analisis skenario biasanya dilakukan pada model stokastik. Model deterministik dapat juga disebut model stokastik dengan skenario tunggal.

Manajemen rantai pasok menjadi lebih sulit karena beberapa sumber ketidakpastian dan hubungan yang kompleks antara pelaku dalam rantai pasok tersebut. Oleh karena itu, keputusan reaksi terhadap ketidakpastian dan variabilitas (fleksibilitas manajemen rantai pasok yang mencakup fasilitas yang fleksibel, outsourcing, dan mekanisme kontrak) juga perlu dipertimbangkan dalam pengembangan rantai pasok (Graves & Willems 2004). Beberapa pendekatan yang digunakan untuk penyelesaian masalah ketidakpastian dan kompleksitas rantai pasok antara lain teori pengendalian yang memodelkan ketidakpastian sebagai kedatangan pengganggu pada model dinamis sistem, Model Predictive Control (MPC), sistem pakar, dan metode berdasarkan analisis statistik yang mengasumsikan bahwa variabel ketidakpastian mengikuti distribusi probabilitas tertentu.

(46)
(47)

Apaiah dan Hendrix (2004) √ √ √ √ √

Trienekens, et al. (2004) √ √ √

Cachon dan Lariviere (2005) √ √ √ √ √

Gaur et al. (2005) √ √ √ √

Gilbert, K. (2005) √ √ √ √

Guillén et al. (2005) √ √ √ √ √

Li dan He (2005) √ √ √ √ √

Pranoto (2005) √ √ √ √ √ √

Sahin dan Robinson (2005) √ √ √

Araki et al. (2006) √ √ √ √ √ √

Bunte (2006) √ √ √ √ √ √

Jing-yuan et al. (2006) √ √ √ √

Kao-hua dan Chang-chuan (2006) √ √ √ √ √

Polatoglu (2006) √ √ √ √ √ √

Rong et al. (2006) √ √ √ √ √

Clements dan Price (2007) √ √ √ √

Persson dan Araldi (2007)

Sharma dan Bhagwat (2007) √ √ √ √

Wong dan Wong (2007) √ √ √ √

Yandra et al. (2007) √ √ √ √ √ √

Cho et al. (2008) √ √ √ √

Yaibuathet et al. (2008) √ √ √

Penelitian yang dilakukan √ √ √ √

Keterangan:

Jenis produk dan lingkup:1. Produk pertanian, 2. Domestik, 3. Global

(48)

Gambar

Tabel 3 Produksi buah manggis di setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2010
Tabel 4 Indikator evaluasi kinerja manajemen rantai pasok
Tabel 5 Posisi penelitian pengembangan rantai pasok
Gambar 1 Kerangka pikir analisis kinerja rantai pasok buah manggis.
+7

Referensi

Dokumen terkait

a. bagian atas atau penimbunan di kaki lcreng. b. Pembuatan ~)erm, dilakukan dengan cara memolong bagian puncak lereng menjadi berundak-undak, hal ini bertujuan untuk

berperilaku dengan baik kepada lingkungan sosialnya sehingga anak akan diterima oleh lingkungan. Sehingga masing-masing disiplin ilmu memiliki hubungan yang saling

Semakin banyaknya para pendatang baik domestik maupun asing yang menginap sementara di Surakarta, perkembangan selanjutnya sangat berpotensi untuk bisnis akomodasi/

Kecepatan dan ketepatan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut memungkinkan lebih meningkat hasil belajarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kerja praktek dengan judul “Sistem Kendali

Dari 5 faktor yang mempengaruhi pilihan praktik akuntansi manajemen, setiap manajemen kemungkinan memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai faktor yang

Kegiatan PPL ini dilaksanakan oleh mahasiswa kependidikan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk melaksanakan pembelajaran PPL langsung pada lingkungan sekolah.

sehingga dapat di simpulkan bahwa variabel X6 (Inflasi) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap variabel Abnormal return. Hal ini mengindikasikan bahwa Inflasi yang