PERBANDINGAN HASIL OPERASI PTERYGIUM TIPE
VASKULAR DENGAN METODE BARE SCLERA DAN
CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT
TESIS
Oleh
RIDA ANISA
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP. H. ADAM MALIK
Kuhadiahkan untuk yang tersayang
Kedua Orang tuaku
Ayah & Ibu Mertua
Suamiku OK Heri Zulfan Hanif, ST
Dan
Kedua Putriku Rizka Aulia Hanif
Raisa Syifa Hanif
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... 1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 3
1.2. Hipotesa... 5
1.3. Tujuan Penelitian... 5
1.4. Manfaat Penelitian... 5
BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Kerangka Teori... 7
2.2. Teknik Bare Sclera ... 16
2.3. Teknik Conjunctival Autograft... 16
BAB III. KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep ... 17
3.2. Defenisi Operasional ... 18
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian ... 20
4.2. Pemilihan Tempat Penelitian ... 20
4.3. Populasi dan Sampel ... 20
4.4. Kriteria inklusi dan eksklusi... 21
4.5. Identifikasi variabel ... 22
4.6. Bahan dan alat ... 22
4.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian... 23
4.8 Lama Penelitian ... 25
4.9 Analisa Data ... 25
4.10. Pertimbangan Etika ... 25
4.11. Personalia Penelitian ... 25
BAB V. HASIL PENELITIAN . ... 27
BAB VI. PEMBAHASAN DAN DISKUSI ... 35
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 38
DAFTAR PUSTAKA... 40
BAB I
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pterygium adalah pertumbuhan fibrovascular yang invasinya berbentuk sayap pada
konjungtiva bulbi ke arah kornea. Sinar Ultraviolet dianggap sebagai perangsang terjadinya
kelainan ini dimana sinar ultraviolet menyebabkan kerusakan pada barier stem sel limbus
sehingga terjadi konjungtivalisasi pada kornea1-13.
Pterygium tersebar luas di dunia tetapi lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim
panas dan kering. Prevalensi pada daerah ekuator kira-kira 22% dan kurang 2% di daerah
lintang di atas 400. Sekitar 44% lebih besar pada daerah tropis (kurang dari 300) 11 kali lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 kali pada pasien dengan riwayat
tanpa memakai kacamata dan 2 kali pada pasien yang tidak memakai topi.2
Tingginya kejadian berulang dan pertumbuhan progresif pada pterygium berulang
masih merupakan permasalahan klinis yang menantang.2 Selain itu pterygium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium
lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi penglihatan2,7,8. Berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun tansplantasi
dengan konjungtiva6,7,8.
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin.
Indikasi operasi pterygium antara lain, terganggunya penglihatan, kosmetik, gangguan
pergerakan bola mata, inflamasi yang rekuren, gangguan pada pemakaian lensa kontak, serta
jarang, perubahan ke arah neoplasia3,4,5,8,9,10.
Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi pterygium, pada dasarnya
membiarkan luka bekas pterygium terbuka ( Bare sclera ), dan mengangkat pterygium
kemudian luka pterygium ditutup dengan graft ( transplantasi )3,4,5,8,9,10.
Masing-masing teknik operasi yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan.
Idealnya operasi tersebut haruslah simpel, cepat, tingkat komplikasi dapat diterima, tingkat
rekurennya rendah dan bagus secara kosmetik. Sayangnya belum ada teknik yang memenuhi
semua kriteria tersebut3,4,5,8,9,10.
Komplikasi yang dapat terjadi pada eksisi pterygium antara lain : perforasi
korneosklera, disinsersi otot rektus, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, Jahitan
longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar
konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma4. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren
pterygium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren 50 – 80 %, sedangkan
eksisi dengan transplantasi, lebih rendah9,10,11.
Atilla Alpay dkk melakukan penelitian yang membandingkan hasil-hasil operasi
pterygium dengan bare sclera dan conjungtival autograft, hasilnya menunjukkan rekurensi
38,09% pada kelompok bare sclera dari 21 pasien, dan 16,66% pada conjungtival autograft.
Walaupun teknik autograft konjungtiva adalah yang paling sulit, dan memakan waktu lebih
lama, namun hasil operasi dan secara kosmetik lebih bagus6.
Demireller dkk melaporkan 8 ( 42% ) rekurensi pada 19 mata yang dilakukan teknik
operasi bare sclera. Starc dkk menyatakan 5,3 % rekurensi setelah operasi dengan autograft
konjungtiva6.
Donald T.H. Tan dkk melakukan penelitian di Singapore yang membandingkan eksisi
bare sclera dan autograft konjungtiva dimana hasilnya menunjukkan rekurensi yang rendah
pada autograft konjungtiva 2% dan pada bare sclera 61 % untuk pterygium primer dan 82%
40 – 50 %, dan conjungtival autograft 2 – 5 %. Penelitian lain juga melaporkan angka
rekurensi untuk bare sclera sekitar 24 % - 89 %1,4.
Bagaimanapun, penelitian yang membandingkan ini adalah penelitian yang dilakukan
satu operator atau ahli bedah, dan analisa dari operasi autograft konjungtiva diantara 23 ahli
bedah pada satu institusi yang sama menghasilkan variasi yang besar pada tingkat rekurensi
yaitu dari 5% sampai 83%. Dan hal ini dijelaskan juga karena adanya korelasi dari
pengalaman operatornya dengan tingkat rekurensi4.
1.2HIPOTESA
Operasi pterygium tipe vaskular dengan ekstirpasi dan transplantasi ( conjunctival
autograft ) lebih baik dari pada dengan teknik bare sclera.
1.3TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui berapa besar angka rekurensi pterygium tipe vaskular yang dioperasi
dengan teknik bare sclera dibandingkan conjunctival autograft.
2. Mengetahui berapa lama waktu terjadinya rekurensi pterygium tipe vaskular yang
dioperasi dengan teknik bare sclera dibandingkan conjunctival autograft.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Dengan penelitian ini dapat diketahui teknik operasi pterygium mana yang sebaiknya
dilakukan.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat umum khususnya penderita pterygium
mengenai karakteristik penyakit tersebut yang sering terjadi di daerah beriklim panas,
3. Diperoleh gambaran tingkat rekurensi dari kedua teknik operasi, dan diharapkan dapat
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1KERANGKA TEORI
2.1.1 Definisi
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang
tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh
berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya sayap.1,2,3,5,6,7,8,9,10
2.1.2 Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan
kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.4
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada
umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.2,4
2.1.3 Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah
terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan
pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat
ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya
pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis
sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.4
2.1.4 Patogenese
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling
diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan
terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau
faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan
kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori.
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem
cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan
dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan
vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat
pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai
dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi
displasia.1,8,11
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala
dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium
merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype,
pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah
dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun
menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix
metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung
terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.4
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa
unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di
nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal
jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium
dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan,
menyebabkan penglihatan kabur.2,4,10
Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi
dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel
kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line).2,7,8
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body,
sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap
atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.2,7,8
Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :
- Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterygium (disebut cap pterygium).
- Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.4
Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi
ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan
fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya
Pembagian lain pterygium yaitu :
1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa
kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi,
berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang
luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata.10
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu :
1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.
3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.6
2.1.6 Diagnosa Banding
Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami
inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka
kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko
penyebab pinguekula.2,4,8,10,12,13
Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut
miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium
mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada
konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat
inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis
sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium,
cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah
melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan
pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan
true pterygium.2,4,7,8
2.1.7 Penatalaksanaan
Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan
menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan
kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2.
Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya
ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan
yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata.1
Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin.
Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan
pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah
bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma
jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu :
1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu
daerah sklera yang terbuka.
2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek
konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva
digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah
konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai
dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium,
mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast pterygium.
Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru
dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.1
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan
kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada
otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah
malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.11
Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft
hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva,
epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot
rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi4.
2.1.9 Prognosa
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada
hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi
dapat beraktivitas kembali6.
Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk
mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau
antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi 6. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena
terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi
2.2 TEKNIK BARE SCLERA
- Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal.
- Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum.
- Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc.
- Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus.
Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan
menggunakan gunting1-6.
2.3 TEKNIK CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT
- Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur.
- Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar
1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda.
- Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva
dari tenon selama pengambilan autograft.
- Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft.
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFENISI OPERASIONAL
3.1KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan dan mengarahkan
asumsi mengenai elemen-elemen yang diteliti. Berdasarkan rumusan masalah yang telah
dipaparkan dalam latar belakang dan tinjauan kepustakaan maka kerangka konsep
digambarkan sebagai berikut :
UMUR
PEKERJAAN AKTIVITAS DI
3.2 DEFENISI OPERASIONAL
• Umur adalah usia responden berdasarkan ulang tahun terakhir.
• Pekerjaan adalah mata pencaharian berdasarkan rata-rata responden terpapar sinar
matahari yang dibagi 5 tingkat yaitu11 :
Tingkat 0 : pekerja pabrik, industri rumah tangga, pegawai kantor, perawat, guru.
Tingkat 1 : pengusaha swasta
Tingkat 2 : peternak, petani karet, pedagang keliling
Tingkat 3 : supir
Tingkat 4 : nelayan, petani, pencari kayu, pekerja bangunan, buruh kasar.
• Aktivitas di luar rumah adalah lamanya penderita pterygium berada di luar ruangan
berhubungan dengan terpaparnya sinar matahari.
• Riwayat memakai topi atau kacamata adalah riwayat pasien memakai topi atau
kacamata selama aktivitas diluar rumah.
• Pterygium : adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang
tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra.
• Bare sclera : adalah teknik operasi pterygium dengan melakukan tindakan diseksi
badan pterygium dengan tidak ada jahitan.
• Conjungtival autograft: adalah teknik operasi pterygium suatu free graft biasanya
dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian
• Rekurensi : kambuhnya pterygium setelah operasi. ( Kriteria rekuren dalam
penelitian ini adalah invasi pterygium ke kornea > 1 mm dari limbus pada bagian
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian prospektif yang bersifat analitik.
4.2 PEMILIHAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, R.S PTPN Tembakau Deli, dan
Medan Baru Medical Centre. Penelitian dilakukan selama periode Mei – Desember 2010.
4.3 POPULASI DAN SAMPEL
A. Populasi
Populasi penelitian adalah semua penderita yang akan dioperasi pterygium dengan teknik
bare sclera dan teknik conjungtival autograft di poliklinik Mata RSUP H. Adam Malik, RS
PTPN Tembakau Deli, dan Medan Baru Medical Centre, selama periode Mei– Desember
2010.
B. Sampel
Sampel penelitian adalah semua penderita pterygium yang dioperasi dengan teknik bare
sclera dan teknik conjunctival autograft mulai Mei – Desember 2010, yang memenuhi
kriteria inklusi yang telah ditentukan dan diambil berdasarkan perhitungan sampel untuk uji
hipotesis terhadap 2 proporsi yaitu :
n 1 = n 2 = ( Zα √2PQ + Zβ√P1Q2 +P2Q2 )
Dimana : n = Jumlah sampel minimal yang akan diambil dalam penelitian ini
Zα = nilai baku normal dari tabel z yang besarnya tergantung pada α yang
ditentukan, untuk α=0,05, nilai Zα=1,96
Zβ = nilai baku normal dari tabel z yang besarnya tergantung pada β yang
ditentukan, untuk β=0,10, nilai Zβ=1,282
P1 Proporsi rekurensi dengan bare sclera = 0,3809
Q1 =1 – P1 =0,6191
P2 = Proporsi rekurensi dengan conjunctival autograft = 0,28
Q2 = 1 – P2 = 0,72
P = P1 + P2 = 0,33045 2
Q = 1 – P = 0,66955
Didapatkan jumlah sampel yang diperlukan adalah minimal 17 pasien untuk
masing-masing teknik operasi.
4.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
Kriteria inklusi :
- Semua penderita pterygium pada satu mata atau kedua mata yang tipe vaskular
(progresif ) dan ukuran pterygium > 2mm dari limbus.
- Usia penderita ≥ 40 tahun
- Semua penderita yang telah dioperasi pterygium dengan teknik bare sclera dan
- Bersedia ikut dalam penelitian dan telah diberikan inform konsen.
Kriteria eksklusi :
- Penderita pterygium disertai kelainan lain menyerupai pterygium
(pseudopterygium, pinguekula), kelainan-kelainan di limbus ( limbal dermoid ) dan
bukan tipe vaskular ( progresif ) serta ukuran pterygium < 2mm dari limbus.
- Usia < 40 tahun
- Tidak bersedia ikut dalam penelitian.
4.5 IDENTIFIKASI VARIABEL
- Variabel terikat adalah rekurensi.
- Variabel bebas adalah umur, pekerjaan, aktivitas di luar rumah, riwayat
memakai topi atau kacamata, riwayat keluarga dan teknik operasi.
4.6 BAHAN DAN ALAT
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Snellen chart
2. Slit lamp
3. Mikroskop operasi
4. Pantocain 0,5% tetes mata
5. Betadin solution dan alkohol
7. Lidocain HCl 2%
8. Eye spekulum
9. Duk steril
10. Pinset konjungtiva
11. Pisau pterygium
12. Gunting konjungtiva
13.Nald holder
14.Vicryl 8.0
15. kauter kering
16.Salep Kloramfenikol
17. Kasa steril
4.7 CARA KERJA DAN ALUR PENELITIAN
Dilakukan penelitian prospektif melalui observasi hasil operasi pada penderita
pterygium yang memenuhi kriteria inklusi yang dioperasi dengan teknik bare sclera dan
conjunctival autograft di poliklinik mata RSUP H. Adam Malik, RS PTPN Tembakau Deli,
dan Medan Baru Medical Centre, Selama periode Mei – Desember 2010. Pengamatan
dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-14 dan sebulan setelah operasi, kemudian dilanjutkan
sampai bulan ke-2 dan bulan ke-3, terutama untuk melihat kejadian rekuren setelah operasi.
Pertumbuhan > 1 mm melewati limbus dianggap rekuren post operasi. Hasil operasi diamati
• ALUR PENELITIAN
PASIEN DI POLI MATA
PEMERIKSAAN VISUS
PEMERIKSAAN SLIT LAMP
KRITERIA EKSKLUSI PTERYGIUM
KRITERIA INKLUSI
CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT BARE SCLERA
OBSERVASI POST OPERASI HR-1, HR-7, HR-14, HR-30
BLN-2, BLN-3.
AMATI TANDA REKURENSI
4.8 LAMA PENELITIAN
Lama penelitian diperkirakan 8 bulan seperti pada tabel di bawah ini :
Bulan Usulan
Analisa data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi data.
4.10 PERTIMBANGAN ETIKA
Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh Bagian Ilmu Kesehatan Mata
FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini telah disetujui oleh rapat komite etika
PPKRM fakultas kedokteran Universitas Sumatera.
4.11 PERSONALIA PENELITIAN
Peneliti : Rida Anisa
4.13 BIAYA PENELITIAN
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian prospektif yang bersifat analitik. Penelitian dilakukan
di RSUP H. Adam Malik Medan, R.S PTPN Tembakau Deli, dan Medan Baru Medical
Centre. Penelitian dilakukan selama periode Mei – Desember 2010, dengan jumlah pasien
sebanyak 37 orang.
Jumlah pasien yang diambil berdasarkan perhitungan sampel untuk uji hipotesis
terhadap 2 proporsi yaitu sebanyak 20 orang yang dilakukan operasi pterygium dengan
teknik operasi bare sclera, dan sebanyak 17 orang pasien yang dilakukan operasi pterygium
dengan teknik conjunctival autograft.
5.1 Data Sampel Hasil Penelitian
5.1.1 DATA UMUM SAMPEL
1. Umur
Tabel 5.1.1.1 Distribusi pasien yang dioperasi pterygium berdasarkan umur
BARE
Dari tabel distribusi sampel berdasarkan umur didapatkan jumlah sampel terbanyak
2. Jenis Kelamin
Tabel 5.1.1.2 Distribusi jenis kelamin pasien yang dilakukan operasi pterygium
BARE
Dari tabel distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin didapatkan jumlah sampel
terbanyak adalah laki-laki yaitu 20 orang ( 54,1 % ).
3 .Suku
Tabel 5.1.1.3 Distribusi suku pasien yang dilakukan operasi pterygium
SUKU JUMLAH
Dari tabel diatas distribusi sampel berdasarkan suku, didapatkan jumlah sampel
4. Pekerjaan
Tabel 5.1.1.4 Distribusi pekerjaan pasien yang dilakukan operasi pterygium
BARE
Dari tabel diatas pekerjaan dibagi dalam tingkat yang sesuai dengan lamanya
pekerjaan dilakukan yang berhubungan dengan terpaparnya sinar matahari. Didapatkan
jumlah sampel terbanyak adalah tingkat 4 sebesar 13 orang ( 35,1 % ).
¾ Tingkat 0 : pekerja pabrik, industri rumah tangga, pegawai kantor, perawat,
guru.
¾ Tingkat 1 : pengusaha swasta
¾ Tingkat 2 : peternak, petani karet, pedagang keliling
¾ Tingkat 3 : supir
¾ Tingkat 4 : nelayan, petani, pencari kayu, pekerja bangunan, buruh kasar11.
5. Aktivitas di luar rumah
BARE
Dari tabel diatas distribusi sampel berdasarkan aktivitas di luar rumah, didapatkan jumlah
sampel terbanyak dengan aktivitas ≥ 5 jam sebesar 31 orang ( 83,8 % ).
6. Riwayat memakai topi atau kaca mata
Tabel 5.1.1.6 Distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan riwayat memakai
topi atau kaca mata.
BARE
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan riwayat
memakai topi atau kaca mata sebesar 5 orang ( 13,5% ) dan yang tidak memakai kacamata
atau topi sebesar 32 orang ( 86,5%).
7. Riwayat keluarga
BARE
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan riwayat
keluarga sebanyak 26 orang ( 70,3% ) dan yang tidak memiliki riwayat keluarga sebanyak 11
orang ( 29,7% ).
5.1.2 DATA HASIL OPERASI
1. Teknik Operasi
Tabel 5.1.2.1 Distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan teknik bare sclera
dan conjunctival autograft
JUMLAH SAMPEL
Conjunctival autograft 1 4
TOTAL 3 1
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan teknik bare
sclera sebanyak 20 orang ( 54,1% ) dan yang dioperasi pterygium dengan teknik conjunctival
autograft sebanyak 17 orang ( 45,9% ).
Tabel 5.1.2.2 Distribusi tingkat rekurensi operasi pterygium dengan teknik bare sclera dan
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan teknik
bare sclera mengalami rekurensi sebanyak 14 orang (70% ) dan yang dioperasi pterygium
dengan teknik conjunctival autograft sebanyak 5 orang (29,4 % ). Dari hasi uji dengan chi-
square test, dengan P Exact Fisher = 0,022, Ho ditolak bermakna terdapat perbedaan
efektifitas terapi secara statistik antara bare sclera dan conjunctival autograft.
3. Rekurensi berdasarkan umur
Tabel 5.1.2.3 Distribusi tingkat rekurensi operasi pterygium dengan teknik bare sclera dan
conjunctival autograft berdasarkan umur
TOTAL 37 100 19 51,4
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan teknik
bare sclera dan conjunctival autograft mengalami rekurensi sebanyak 19 orang (51,4% )
yang berumur 40 – 49 sebanyak 10 orang (62,5%), yang berumur 50 – 59 sebanyak 8 orang
(50,0%), yang berumur ≥ 60 sebanyak 1 orang ( 20,0 % ).
4. Waktu rekurensi
Tabel 5.1.2.4 Distribusi waktu rekurensi operasi pterygium dengan teknik bare sclera dan
conjunctival autograft
Dari tabel diatas distribusi pasien yang dilakukan operasi pterygium dengan teknik
sebanyak 6 orang (30%), rekurensi 3 bulan sebanyak 5 orang (25,0%). Waktu rekurensi pada
Conjunctival autograft dalam 1 bulan sebanyak 0 orang (0%), rekurensi 2 bulan sebanyak 2
BAB VI
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
1. Data Umum
Dari tabel 5.1.1.1 menunjukkan bahwa umur pasien yang dioperasi pterygium yang
paling banyak adalah berumur 40 – 49 tahun sebesar 16 orang ( 43,2 % ) dan berumur 50 –
59 juga 16 orang (43,2 % ). Hal ini sesuai dengan jenis pterygium tipe vaskular yang banyak
pada umur tersebut. Rata-rata umur pasien yang dioperasi pada penelitian ini adalah 51,43.
Jumlah laki-laki lebih banyak yaitu 20 orang ( 54,1%), hal ini sesuai bahwa laki-laki lebih
sering beraktivitas di luar rumah, sehingga sering terpapar dengan sinar matahari.
Sebagian besar sampel terdiri dari suku Jawa, dikarenakan pengambilan sampel
banyak dilakukan di RS. Tembakau Deli, yang pasiennya banyak berasal dari karyawan
perkebunan yang ikut transmigrasi.
Pada tabel 5.1.1.4 tampak sebagian besar sampel mempunyai pekerjaan di luar
ruangan, dimana yang terbanyak adalah tingkat 4 ( petani, pekerja bangunan, buruh kasar,
nelayan ) yaitu sebesar 13 orang. Hal ini sesuai dengan faktor resiko pterygium yaitu terpapar
sinar matahari, lamanya waktu diluar rumah, dan iritasi kronik dari bahan-bahan tertentu di
udara.
Dari tabel 5.1.1.5 menunjukkan sampel yang mempunyai aktivitas di luar rumah ≥ 5
jam sebesar 31 orang (83,8%), sedangkan yang mempunyai aktivitas diluar rumah < 5 jam
sebesar 6 orang (16,2%). Hal ini sesuai dengan pekerjaan sampel yang banyak di luar rumah.
Dari tabel 5.1.1.6 menunjukkan sampel yang memiliki riwayat memakai topi atau
sekitar 32 orang (86,5%). Hal ini menunjukkan semakin kurangnya perlindungan terhadap
mata dari paparan sinar matahari semakin banyak angka kejadian pterygium.
Dari tabel 5.1.1.7 menunjukkan sampel yang memiliki riwayat keluarga sebesar 26
orang (70,3%), sedangkan yang tidak memiliki riwayat keluarga sekitar 11 orang (29,7%).
Walaupun menurut penelitian sebelumnya menyatakan tidak adanya hubungan antara riwayat
keluarga dengan prevalensi pterygium, namun pada penelitian ini terdapat sampel dengan
riwayat keluarga yang lebih banyak dari yang tidak memiliki riwayat keluarga.
2. Data hasil operasi
Dari tabel 5.1.2.1 menunjukkkan dari 37 sampel yang dilakukan operasi pterygium
dengan teknik bare sclera sebanyak 20 orang, sedangkan dengan teknik conjunctival
autograft sebesar 17 orang.
Dari tabel 5.2.1.2 dijumpai rekurensi dengan bare sclera sebanyak 14 orang (70%),
sedangkan dengan conjunctival autograft sebanyak 5 orang (29,4%). Hal ini menunjukkan
bahwa teknik operasi conjunctival autograft lebih rendah angka rekurensinya dibandingkan
dengan bare sclera. Dari hasi uji dengan chi- square test, dengan P Exact Fisher = 0,022, Ho
ditolak bermakna terdapat perbedaan efektifitas terapi secara statistik antara bare sclera dan
conjunctival autograft.
Angka rekurensi pada penelitian lain seperti Donald T.H. Tan dkk menunjukkan pada
autograft konjungtiva 2% dan pada bare sclera 61 % untuk pterygium primer dan 82% pada
pada pterygium rekuren. Sedangkan menurut AAO rekurensi untuk bare sclera 40 - 50%,
sedangkan conjunctival autograft 2 – 5%. Penelitian lain juga melaporkan angka rekurensi
Dikatakan bahwa analisa dari operasi autograft konjungtiva diantara 23 ahli bedah
pada satu institusi yang sama menghasilkan variasi yang besar pada tingkat rekurensi yaitu
dari 5% sampai 83%. Hal ini dinyatakan karena adanya korelasi dari pengalaman operator
dengan tingkat rekurensi.
Dari tabel 5.1.2.3 menunjukkan angka rekurensi yang tinggi pada umur pasien yang
lebih muda.
Pada tabel 5.1.1.2.4 menunjukkan dalam kurun 3 bulan pengamatan dijumpai selain
teknik conjunctival autograft lebih rendah angka rekurensinya, waktu rekurensinya juga lebih
lambat dibandingkan bare sclera. Rata - rata rekurensi dengan bare sclera dijumpai 2,14
bulan, dengan conjunctival autograft 2,6 bulan. Waktu rekurensi ini lebih cepat dari
penelitian sebelumnya (Atilla Alpay dkk, waktu rekurensi dijumpai dalam 3 bulan ), hal ini
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
1. Perbandingan hasil operasi pterygium tipe vaskular dengan teknik bare sclera dan
conjunctival autograft berdasarkan kejadian rekurensi post operasinya pada penelitian ini
dijumpai sebesar 70% untuk bare sclera, dan 29,4 % untuk conjunctival autograft.
2. Angka rekurensi pada bare sclera lebih besar dari conjunctival autograft, sehingga
conjunctival autograft lebih baik dari pada bare sclera, dimana terdapat perbedaan
efektifitas terapi secara statistik antara bare sclera dan conjunctival autograft.
3. Waktu rekurensi pterygium dengan bare sclera pada dijumpai lebih cepat terjadi
dibandingkan dengan conjunctival autograft. Pada penelitian ini rata - rata rekurensi
dengan bare sclera dijumpai 2,14 bulan, rata – rata rekurensi dengan conjunctival
2. SARAN
1. Untuk mengurangi angka rekurensi pterygium sebaiknya dilakukan teknik operasi
conjunctival autograft, yang secara kosmetik juga lebih baik dari teknik bare sclera.
2. Tidak dianjurkan melakukan teknik operasi bare sclera pada pterygium tipe vaskular,
karena rekurensinya lebih besar.
3. Memberikan pengertian dan penjelasan kepada pasien mengenai kekambuhan pterygium,
teknik operasinya serta faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhannya.
4. Mengembangkan tindakan atau terapi pterygium yang lain untuk mengurangi angka
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea. BSSC, section
8, 2007 – 2008
2. Stephen GW. Pterygium in Duane's Clinical Ophthalmology, chapter 35, vol 6,
Lippincont William & Wilkin, 2004
3. Donald TH. Pterygium in Clinical Ophthalmology – An Asian Perespective,
Singapore, chapter 3, Saunders Elsevier, 2000
4. Edward J H, Mark J. Mannis. Ocular Surface Disease, Medical Surgical
management, 2002
5. Nema HV. Textbook of Ophthalmology, 4thed, Jaypee Brothers, 2002
6. Fisher JP, Pterygium, available in:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7. Atilla Alpay, Suat Hayri Ug.urbas, Berktug. Erdog.an, Comparing techniques for
pterygium surgery, available in :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2709008/
8. Khurana AK. Community Ophthalmology in Comprehensif Ophthalmology, chapter
20, 4thed, New Age International (P) Limited, New Delhi, 2007
9. Riordani Paul-Eva. Conjunctiva in Vaughan & Asbury's General Ophthalmology,
chapter 5, 6thed. Mc Graw Hill. Singapore, 2004
10. Kanskii J.J. Pterygium in Clinical Ophthalmology A Systematic Approach, 6thed,
2007
11. Gazzard G, Saw S – M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in Indonesia :
12. Pterygium, available in :
http//www.emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
13. Pterygium, available in : http//www.en.wikipedia.org/wiki/pterygium-(conjunctiva)
14. Coroneo MT, Pterygium, available in :
http://www.Brjophthalmology.77(11):734-9.doi
15. Gulani AC, extended sun exposure increases risk of eye pterygium Release,
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
( INFORMED CONSENT )
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ...
Umur : ...
Jenis Kelamin : ...
Pekerjaan : ...
Alamat : ...
Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran mengenai penelitian
ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari
saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan dituntut apapun.
Demikianlah surat persetujuan ini saya perbuat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.
Medan,...2010
Yang memberi persetujuan
(...)
DAFTAR ISIAN
Riwayat Keluarga yang menderita pterygium : a Ya b. Tidak