PROFESIONALISME POLRI DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
M
MA
AR
RU
UL
LI
IA
AN
NU
U
S
S
J
JA
AW
WA
AK
K
NIM. 070200437
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PROFESIONALISME POLRI DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
M
MA
AR
RU
UL
LI
IA
AN
NU
U
S
S
J
JA
AW
WA
AK
K
NIM. 070200437
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum
Pembimbing I
Abul Khair, SH, M.Hum
Pembimbing II
Nurmalawati, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini
berjudul “Profesionalisme Polri Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia”.
Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
- Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
- Ibu Nurmalawati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya
Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan rasa terima-kasih yang
jalani ini tetap menyertai kita selamanya.
Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Medan, April 2011
Penulis
NIM : 070200437
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
D. Keaslian Penulisan ... 4
E. Tinjauan Kepustakaan ... 5
1. Pengertian Polisi ... 5
2. Pengertian Hak Asasi Manusia ... 6
F. Metode Penelitian ... 11
1. Jenis dan Sumber Data ... 11
2. Populasi dan Sampel ... 12
3. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 12
4. Analisis Data ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II. PROFESIONALISME POLISI DITINJAU DARI
TINDAKAN PAKSA ... 15
A. Fungsi dan Peranan Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 15
B. Pelaksanaan Tindak Upaya Paksa Oleh Penyidik Polri ... 22
C. Tindakan Polisi Dalam Penyelidikan ... 27
D. Tindakan Polisi Dalam Penyidikan ... 29
E. Profesionalisme Polisi Ditinjau Dari Perspektif HAM Dalam Melaksanakan Tindakan Paksa ... 34
BAB III PENEGAKAN HUKUM UNTUK PERLINDUNGAN HAK DI INDONESIA ... 45
A. Sejarah Hak Asasi Manusia ... 45
B. Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia ... 53
C. Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia ... 55
D. Penegakan Hukum Untuk Perlindungan HAM di Indonesia ... 64
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 71
ABSTRAK
PROFESIONALISME POLRI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
M
MAARRUULLIIAANNUUSSJJAAWWAAKK** ABUL KHAIR, SH, M.HUM** NUMALAWATY, SH, M.Hum***
Suatu hal yang amat riskan terjadi apabila kepolisian melupakan konsep
HAM dalam pelaksanaan tugasnya adalah tidak tercapainya keadilan masyarakat.
Apabila dalam suatu pemeriksaan pada tingkat penyidikan terdapat adanya
tindakan kekerasan (violence) oleh pihak penyidik terhadap tersangka dapat
mempengaruhi proses pidana pada tahap berikutnya, misalnya bagi Kejaksaan
selaku penuntut umum serta bagi hakim pada tahap pemeriksaan di pengadilan.
Bagi pihak kejaksaan dapat menolak suatu Berita Acara Penyidikan dengan alasan
adanya pemeriksaan secara kekerasan, sedangkan bagi Hakim dapat membatalkan
suatu dakwaan terhadap terdakwa karena keterangan yang diberikannya kepada
penyidik adalah berdasarkan tekanan baik secara phisik maupun psikis (kejiwaan).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana profesionalisme polisi
ditinjau dari perspektif HAM dalam melaksanakan tindakan paksa dan bagaimana
penegakan hukum untuk perlindungan HAM di Indonesia
Metode penulisan yang digunakan adalah metode yuridis normative. Dan
dalam pelaksanannya menggunakan penelitian kepustakaan (library research).
Setelah dilakukan pengumpulan dan analisis data maka diketahui
Profesionalisme polisi ditinjau dari perspektif HAM dalam melaksanakan tindakan
paksa yang dilakukan khususnya dalam penyidikan suatu tindak pidana
bertentangan dengan konsep HAM khususnya hak-hak tersangka. Dengan adanya
kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Penyidik, tidak jarang masih
terjadi penyimpangan, sehingga seringkali tindakan penyidik mengundang
kontroversi di masyarakat. Tindakan penyimpangan terhadap kewenangan yang
dilakukan POLRI dianggap sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Dari
beberapa data yang ada dilihat adanya penyimpangan kewenangan yang dilakukan
penyidik dengan melakukan tindak kekerasan (violence) dan (torture (penyiksaan)
yang sangat mempengaruhi kondisi si tersangka baik secara jasmani maupun
mentalnya pada waktu penyidikan terhadap tersangka. Agar tersangka terlindungi
hak-haknya, baik sebagai hak tersangka ataupun sebagai manusia, maka bagi
Pemerintah perlu membuat peraturan khusus, dan mensosialisasikan tentang
penggunaan hak-hak tersangka atau setidaknya membuat keterangan tambahan
dalam KUHAP tentang akibat hukum tindak kekerasan yang dilakukan oleh
POLRI terhadap tersangka dalam proses penyidikan, dan bagi POLRI sendiri agar
lebih memperhatikan sisi manusiawi dalam melaksanakan tugas, sehingga dapat
lebih dihargai masyarakat dan mengangkat citra Polisi.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU
** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia (HAM) sering dihubungkan dengan kepolisian. Ini tidak
terlepas dari kerja polisi yang sehari-hari bersinggungan dengan HAM. Bagi polisi
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya seyogyanya dapat mengacu kepada
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, karena dalam negara demokratis
dimanapun di muka bumi ini penegakan hukum seharusnya dilakukan oleh polisi
dan tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, sehingga tidak terjadinya tumpang
tindih sebagaimana pengalaman pada era orde baru dimana fungsi penegakan
hukum telah dilaksanakan oleh berbagai institusi.
Namun didalam aplikasinya di lapangan justru penegakan hukum yang
telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada, dirasakan tidak
memenuhi tuntutan keadilan masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi
yang bersifat destruktif. Oleh karenanya berbagai upaya penegakan hukum yang
diantaranya dilakukan oleh Polri telah dihadapkan pada dilema yang
menempatkannya pada posisi yang serba salah, padahal begitu kentalnya harapan
masyarakat terhadap kemampuan Polri untuk dapat mengatasi serta mengelola
situasi penuh dengan ketidak pastian ini untuk dapat mengarah kepada
terwujudnya stabilitas Kamtibmas yang mantap.
Harapan ini muncul karena pada 22 Juni 2009 Kapolri Bambang Hendarso Danuri menerbitkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan ini merupakan langkah maju dari kepolisian dalam upaya pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Sebelumnya Polri telah menjalin MoU dengan Komnas HAM RI dalam upaya penegakkan HAM. Polri juga telah berusaha mengubah citranya yang selama ini
bercorak militer dengan konsep perpolisian masyarakat (Polmas). Masyarakat wajib mengetahui peraturan ini untuk mengontrol dan memastikan polisi tidak melanggar HAM.
Ada 8 (delapan) hak asasi manusia yang terkait dengan tugas kepolisian,
yakni (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan pribadi (c).hak atas
rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari
penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak khusus anak, (g).
hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis,
agama, penyandang cacat, orientasi seksual (pasal 7).1
Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya: (a). menghormati martabat dan HAM setiap orang; (b). bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (c). berperilaku sopan; (d).
menghormati norma agama, etika, dan susila; dan e. menghargai budaya lokal sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum dan HAM (Pasal 8).2
Suatu hal yang amat riskan terjadi apabila kepolisian melupakan konsep HAM dalam
pelaksanaan tugasnya adalah tidak tercapainya keadilan masyarakat. Apabila dalam suatu
pemeriksaan pada tingkat penyidikan terdapat adanya tindakan kekerasan (violence) oleh pihak
penyidik terhadap tersangka dapat mempengaruhi proses pidana pada tahap berikutnya, misalnya
bagi Kejaksaan selaku penuntut umum serta bagi hakim pada tahap pemeriksaan di pengadilan.
Bagi pihak kejaksaan dapat menolak suatu Berita Acara Penyidikan dengan alasan adanya
pemeriksaan secara kekerasan, sedangkan bagi Hakim dapat membatalkan suatu dakwaan terhadap
Sedangkan standar perilaku petugas/anggota Polri dalam tindakan
kepolisian terdiri dari tindakan penyelidikan, pemanggilan, penangkapan,
penahanan, pemeriksaan, penggeledahan orang dan tempat/rumah, dan penyitaan
barang bukti. Pada standar tindakan kepolisian sebagai aparat penegak hukum ini
sering terjadi pelanggaran HAM.
1 LBH Makasar, “Menanti Polisi Berbaju HAM”,
Diakses tanggal 11 April 2011. 2
terdakwa karena keterangan yang diberikannya kepada penyidik adalah berdasarkan tekanan baik
secara phisik maupun psikis (kejiwaan).
B. Permasalahan
Dalam penyusunan skripsi maka untuk mempermudah dalam pembahasan perlu dibuat suatu
permasalahan sesuai dengan judul yang digunakan, yaitu :
1. Bagaimana profesionalisme polisi ditinjau dari perspektif HAM dalam
melaksanakan tindakan paksa?
2. Bagaimana penegakan hukum untuk perlindungan HAM di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui profesionalisme polisi ditinjau dari perspektif HAM
dalam melaksanakan tindakan paksa.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum untuk perlindungan HAM di
Indonesia.
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum
kepidanaan tentang peran dan tugas kepolisian dan kaitannya dengan HAM
2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para
pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Profesionalisme Polri Ditinjau
Dari Perspektif Hak Asasi Manusia” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran
penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai kepolisian memang
sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi profesionalisme polisi
dan HAM belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak
sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli
serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Polisi
Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi
penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisian sebagamana
diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Kepolisian adalah segala
hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”.
Dari kutipan atas bunyi pasal tersebut maka kita ketahui polisi adalah
sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan pelaksanaan tugas sebagaimana yang
ditentukan oleh perundang-undangan.
Di dalam perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 13
Tahun 1961 ditegaskan bahwa kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum.
Tugas inipun kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 (4) a Undang-Undang No.
20 Tahun 1982 yaitu Undang-Undang Pertahanan Keamanan Negara, disingkat
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang mencabut
Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 maka Kepolisian ini tergabung di dalam
sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana di dalamnya Kepolisian
merupakan bagian dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, serta Angkatan Udara.
Sesuai dengan perkembangan zaman dan bergulirnya era reformasi maka istilah
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kembali kepada asal mulanya yaitu
Tentara Nasional Indonesia dan keberadaan Kepolisian berdiri secara terpisah
dengan angkatan bersenjata lainnya.
2. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia atau sering disingkat dengan istilah HAM adalah hak
yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur
hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik
kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan
status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.3
Masalah hak asasi manusia memang masalah kemanusiaan berarti terkait
dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan tetapi yang lebih penting
sejauh mana harkat keamanan yang dimiliki setiap orang dapat dinikmati oleh
setiap manusia tanpa beda.4
3 Organisasi.org, “Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku
Umum Global - Pelajaran Ilmu PPKN / PMP Indonesia”,
Secara istilah hak asasi manusia diartikan sebagai hak
yang melekat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan dan hak tersebut
dibawa sejak lahir ke bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati) bukan
Oktober 2010. 4
A. Mashur Efendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
merupakan pemberian manusia atau Negara.5
Dalam keadaan normal hak asasi manusia yang bersifat kodrati non
deregoble human right tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun baik oleh
Pengaturan hak asasi manusia diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berisi tentang hak asasi manusia materiil dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berisi hukum acara yang
dipergunakan oleh hakim ad hoc hak asasi manusia. Hukum Acara dipergunakan oleh hakim ad hoc hak asasi manusia untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia berat. Kedua undang-undang tersebut dibentuk pada masa transisi reformasi (Pemerintahan BJ. Habibie). Walaupun terjadi pro dan kontra terhadap eksistensi Pemerintahan BJ. Habibie, Pemerintahan BJ. Habibie banyak melakukan agenda reformasi antara lain mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945, merubah undang-undang dan membentuk undang-undang.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjelaskan bahwa Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia .
Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi
dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
5
Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau dalam keadaan
normal Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi hak
asasi manusia berarti melanggar hak asasi manusia. Kalau dalam keadaan tidak
normal : Keadaan darurat, keadaan perang atau keadaan sengketa bersenjata
Negara boleh mengurangi hak asasi manusia. Dalam keadaan tidak normal
deregoble human right, dapat disimpangi atau dapat dikurangi misal dalam
keadaan perang, sengketa bersenjata, Negara dapat mengurangi hak keluar rumah
bagi warga sipil.
Kewajiban Negara untuk melindungi rakyatnya dalam keadaan perang atau
sengketa bersenjata. Hak asasi manusia khususnya hak hidup diatur di dalam Pasal
4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Hak hidup untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum
dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun.
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud
“Dalam keadaan apa pun” termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata
dan atau keadaan darurat. Hak untuk hidup dalam keadaan apapun tidak boleh
dikurangi oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau
Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi bahkan
merampas hak asasi manusia berupa hak hidup yang merupakan hak yang paling
kodrat berarti melanggar hak asasi manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang
hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang
Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.6
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup,
meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari:
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk
membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
syah atas kehendak yang bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak
pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
6 Muhammad Latief Fauzi, “Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum
acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan
adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama
masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah
Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta
perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa
dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan
jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak
dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan
kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta
dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih
secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan
perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan
khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10.Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka
pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data penelitian ini adalah data sekunder Sedangkan sumber
data penelitian ini didapatkan melalui:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
4) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM
5) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun
2. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah meliputi pihak keplisian. Sedangkan sampel penelitian ini
adalah 3 orang Polisi.
3. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Banyak alat yang dapat dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan data.
Alat pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini, yaitu :
1) Studi dokumen atau bahan pustaka
Bahan pustaka dimaksud yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.
2) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap informen dan responden yang telah ditetapkan.
Wawancara dimaksud berupa wawancara terarah yang lebih dahulu
dipersiapkan pelaksanaannya dengan membuat pedoman wawancara sehingga
hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang teliti.
4. Analisis Data
Untuk menganalisis data, digunakan analisis yuridis kualitatif adalah
pengkajian hasil olah data yang tidak berbentuk angka yang lebih menekankan
analisis hukumnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif dengan
menggunakan cara-cara berfikir formal dan argumentatif.
Data yang terkumpul mengenai perumusan suatu Perda akan diolah dengan
cara mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum dimaksud, yaitu membuat
diinterprestasikan dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan kontruksi
hukum yang lazim dalam ilmu hukum dan selanjutnya dianalisis secara yuridis
kualitatif dalam bentuk penyajian yang bersifat yuridis normatif.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah:
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang: Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta
Sistematika Penulisan.
BAB II. PROFESIONALISME POLISI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM DALAM
MELAKSANAKAN TINDAKAN PAKSA
Bab ini membahas tentang Fungsi dan Peranan Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Pelaksanaan Tindak Upaya Paksa Oleh Penyidik Polri, Tindakan Polisi Dalam
Penyelidikan, Tindakan Polisi Dalam Penyidikan serta Profesionalisme Polisi Ditinjau
Dari Perspektif HAM Dalam Melaksanakan Tindakan Paksa.
BAB III. PENEGAKAN HUKUM UNTUK PERLINDUNGAN HAK DI INDONESIA
Bab ini membahas tentang Sejarah Hak Asasi Manusia, Jenis-Jenis Hak Asasi
Manusia, Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia serta Penegakan Hukum Untuk
Perlindungan HAM di Indonesia.
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran.
7
BAB II
PROFESIONALISME POLISI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM DALAM
MELAKSANAKAN TINDAKAN PAKSA
A. Fungsi dan Peranan Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara sederhana sistem peradilan pidana (criminal justice system) dapat
dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan
apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana
hukum didalam undang-undang dan bagaimana hukum menerapkannya.
Hal lain yang perlu digaris bawahi adalah bahwa sistem ini mulai bekerja
pada saat adanya laporan kejahatan dari masyarakat, maupun pada saat-saat
adanya perbuatan yang menyimpang dari kaca mata hukum pidana Indonesia yang
mana atas perbuatan tersebut pemerintah melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU)
berkewajiban untuk menuntutnya melalui proses peradilan pidana.
8
Sistem Peradilan Pidana harus dilihat sebagai “the network of courts and
tribunals which deal with criminal law and its enforcement “ (suatu jaringan proses
peradilan dan persidangan yang saling mendukung dalam hukum pidana dan
penegakannya).9
Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks
baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen terpadu
bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti
gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain dalam
8
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 2.
ketergantungan.10
1. Politik tentang pembentukan hukum;
Sebagai suatu jaringan (network) peradilan, sistem peradilan pidana
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana
materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaannya.
Peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan adalah
sangat penting. Perundang-undangan tersebut memberikan kekuasaan pada
pengambilan kebijakan dan memberikan kerangka hukum untuk memformulasikan
kebijakan, dan penjatuhan pidana. Hal ini merupakan bagian dari politik hukum,
yang pada hakekatnya berfungsi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu :
2. Politik tentang penegakan hukum;
3. Politik tentang pelaksanaan kewenangan.
Secara operasional, perundang-undangan pidana mempunyai kedudukan
strategis terhadap sistem peradilan pidana, dimana perundang-undangan tersebut
telah memberikan definisi tentang perbuatan-perbuatan apa yang dirumuskan
sebagai suatu tindak pidana, serta memberikan batasan tentang pidana yang dapat
diterapkan untuk setiap kejahatan. Dengan kata lain, perundang-undangan pidana
menciptakan “legislated environment” (lingkungan perundang-undangan) yang
mengatur segala prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi di dalam sistem
peradilan pidana.
Ada beberapa sub sistem yang tergabung di dalam sistem peradilan
9 A. Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem pemidanaan di Indonesia,
pidana, yang masing-masing sub sistem tersebut mempunyai tujuan yang tersendiri
pula. Namun demikian, pada dasarnya tujuan akhir pada masing-masing sub sistem
tersebut adalah sama, yaitu “penanggulangan kejahatan”. Untuk mencapai tujuan
yang sama inilah mengharuskan sub-sub sistem ini untuk saling koordinasi dan
bekerja sama di dalam proses kerjanya. Suatu sub sistem harus memperhitungkan
sub sistem lainnya di dalam proses peradilan.
Sistem peradilan pidana mengandung gerak sistematis dari masing-masing
sub sistem yang mendukungnya, yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan
(totalitas) berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran
(output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana. Keterpaduan gerak
sistematis sub-sub sistem peradilan pidana dalam proses penegakan hukum,
tentunya sangat diharapkan dalam pelaksanaanya. Oleh karenanya, salah satu
indikator keterpaduan sistem peradilan pidana ini adalah “sinkronisasi”
pelaksanaan penegakan hukum guna mencapai tujuan penanggulangan kejahatan di
dalam masyarakat. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana ini, diharapkan
akan mampu menanggulangi kejahatan. Apabila terjadi suatu kejahatan yang
dilakukan oleh anggota masyarakat, yang menyebabkan masuknya amggota
masyarakat tersebut ke dalam salah satu sub sistem dari sistem peradilan pidana,
maka belum tentu ia akan menjalani semua sub sistem. Hal ini wajar adanya, sebab
dianutnya asas praduga tak bersalah atau asas presumption of innocence
sebagaimana yang terkandung dalam KUHAP. Asas praduga tak bersalah ini
membuka peluang bagi anggota masyarakat yang diduga melakukan kesalahan
10
tersebut untuk keluar dari sub sistem yang tergabung dalam sistem peradilan
pidana.
Adapun peluang untuk keluar dari sub sistem tersebut, dapat saja terjadi
seperti pada skema di bawah ini.
Skema Aliran Sistem Peradilan Pidana 11
Bila seorang tersangka yang di tangkap polisi, belum tentu ia bersalah dan apabila belum cukup bukti untuk mengajukan ke pihak kejaksaan, maka ia akan keluar dari sub sistem (polisi). Apabila cukup bukti untuk dilanjutkan sebagai terdakwa, maka akan dibawa ke sub sistem selanjutnya (jaksa), bila disini cukup bukti untuk cukup di tuntut di muka pengadilan, maka ia akan keluar dari sub sistem (Kejaksaan). Apabila cukup bukti sebagai terdakwa maka ia akan dibawa ke sub sistem (pengadilan), namun apabila dalam persidangan tidak dapat dibuktikan kesalahannya, kemungkinan ia juga akan keluar dan dibebaskan, dan apabila ia terbukti bersalah maka ia akan dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan, dan di sub sistem inilah ia akan dibina sampai akhirnya keluar/bebas dan kembali ke masyarakatnya.
Selanjutnya apabila keluaran (output) dari lembaga pemasyarakatan ini
banyak yang kembali masuk (input) ke dalam sub sistem, bahkan sampai ke
lembaga pemasyarakatan kembali, maka ada sesuatu yang kurang efektif di dalam
11 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 105. MASYARAKAT
KEPOLISIAN
KEJAKSAAN
PENGADILAN
pelaksanaan sistem peradilan pidana. Apabila banyak residivis maka sistem
peradilan pidana tersebut mungkin belum efektif.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) tahapan atau
3 (tiga) hal yang berkaitan dengan terlaksananya sistem peradilan pidana dalam
mencapai tujuannya, yaitu “input”, kemudian “proses”, kemudian “output”.
Dari ketiga hal ini, yang paling nampak bagi kita adalah “proses”.
Berbicara perihal “proses” bagi kita berarti berbicara acaranya hukum pidana, dan
ini dimulai dari aktifitas kepolisian, kejaksaan, proses pengadilan, sampai pada
masuknya narapidana ke lembaga pemasyarakatan. Namun, mengenai bagaimana
pembinaan para narapidana dalam lembaga pemasyarakatan kita tidak mengetahui
secara persis. Sehingga timbul kesan bahwa keterpaduan dalam sistem peradilan
pidana hanya sampai pada saat narapidana diserahkan ke lembaga pemasyarakatan
saja, dengan tanpa adanya relevansi terhadap proses pembinaan didalam lembaga
pemasyarakatan itu sendiri.
Berhasil tidaknya sistem peradilan pidana dapat dilihat dari output apabila
output itu banyak yang kembali (residivis), maka mungkin ada sesuatu yang
kurang di dalam proses bekerjanya sistem peradilan pidana. Yang perlu menjadi
catatan adalah jangan ada tanggapan bahwa sesuatu yang kurang di dalam proses
bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut, menjadikan lembaga pemasyarakatan
sebagai “kambing hitam”. Sebab, sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana
mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara
koordinatif dan integratif (terkoordinasi dan terpadu), agar dapat mencapai
Salah satu instansi yang sangat esensial dalam sistem peradilan pidana
sebagaimana diuraikan di atas adalah kepolisian.
Telah dikenal oleh masyarakat luas, terlebih di kalangan Kepolisian bahwa tugas yuridis
kepolisian tertuang di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan di dalam Undang-Undang Pertahanan dan Keamanan. Untuk kepentingan
pembahasan, ada baiknya diungkapkan kembali pokok-pokok tugas yuridis Polisi yang terdapat di
dalam kedua undang-undang tersebut sebagai berikut :
Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia ( UU
No. 2 Tahun 2002). Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum dan,
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya dalam Pasal 14 dikatakan :
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan,
c. Membina masyarakat unuk meningkatkan partisipasi masyarakat kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukumk nasional,
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa,
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan,
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian,
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia,
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentinganya
dalam lingkup tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
B. Pelaksanaan Tindak Upaya Paksa Oleh Penyidik Polri
Tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana
menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa
pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya
penyeleksian oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan
perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak. Dalam hal ini pengambilan
keputusan oleh polisi menjadi hal yang penting adanya.
Pelaksanaan tindak upaya paksa oleh polisi menurut Chambliss dan
Seidman pada hakekatnya bertentangan dengan negara yang didasarkan pada
hukum. Tindak upaya paksa ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan
terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali dilandaskan pada
hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Di sini
dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh peraturan yang jelas dan
tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai.12
Dengan dimilikinya kekuasaan Tindak upaya paksa oleh polisi maka polisi
memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana
keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan Berdasarkan pendapat Chambliss dan Seidman maka dapat dikatakan
bahwa hukum itu hanya memberikan arah pada kehidupan bersama secara garis
besarnya saja, sebab begitu ia mengatur hal-hal secara sangat mendetail, dengan
memberikan arah langkah-langkah secara lengkap dan terperinci, maka pada waktu
itu pula kehidupan masyarakat akan macet. Maka dari itu sesungguhnya Tindak
upaya paksa merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan yang diperlukan dan
memang diberikan oleh hukum itu sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ada
dimasyarakat.
12
atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh
Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian
atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya Tindak upaya paksa
untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi
atau petugas sendiri”13
Tindak upaya paksa merupakan bagian integral dari peran lembaga atau
organisasi tersebut. Namun, Tindak upaya paksa bisa dibatasi dan dikendalikan,
misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan
terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan Tindak
upaya paksa. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul
dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan Tindak upaya paksa.
Sekalipun polisi dalam melakukan Tindak upaya paksa terkesan melawan
hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum
kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum
yang lebih besar, selanjutnya tindak upaya paksa memang tidak seharusnya
dihilangkan.
14
Menurut Thomas Becker dan David L. Carter dalam Anthon F. Susanto
bahwa: Keputusan yang tidak terprogram lebih menyerupai perintah khusus.
Keputusan ini merupakan keputusan dengan tujuan khusus yang sering
membutuhkan kreativitas dan penilaian dalam tingkat yang lebih besar. Meskipun
13 Anthon Susanto F. Wajah Peradilan Kita. Refika Aditama., Bandung, 2004. hal. 97.
14
masih ada batas-batas dalam perilaku personel, batas tersebut jauh lebih longgar
sehingga mengijinkan lebih banyak pengambilan Tindak upaya paksa.15
Meskipun Tindak upaya paksa dapat dikatakan suatu kebebasan dalam
mengambil /keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat
dilakukan oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru untuk berpendapat, bahwa
Tindak upaya paksa itu disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan
untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi.
16
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada
seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick bahwa: Tindakan
yang diambil oleh polisi didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan yang
didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin
apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa
tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum17
Mengingat kekuasaan Tindak upaya paksa yang menjadi wewenang polisi
itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh
petugas, terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna
menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat Tindak upaya paksa oleh polisi
didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri.
Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan
penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi .
15
Ibid. 16
penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa
yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut
yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi maka: Tindakan Tindak upaya paksa
oleh polisi dibatasi oleh:
a. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.
b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
c. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih
besar .
d. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak 18 Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak
dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam sistem peradilan pidana.
terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu menurut
M. Faal biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum
positif yang berlaku.
b. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban
dan masyarakat.
17
c. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata
menggunakan hukum positif yang ada.
d. Atas kehendak mereka sendiri.
e. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.19
Dengan adanya Tindak upaya paksa kepolisian maka akan mempermudah
polisi didalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan didalam
menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses
selanjutnya.
C. Tindakan Polisi Dalam Penyelidikan
Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti
serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa
yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang
diduga sebagai perbuatan tindakpidana.20
Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4
KUHAP. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Selanjutnya sesuai
dengan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan
adalah “setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Tegasnya penyelidik Pencarian dan usaha menemukan
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap
menjebak penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan
penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP.
18 Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan. Jakarta.
MABESPOLRI, 2002, ha132. 19
adalah setiap pejabat kepolisian. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang
melakukan penyelidikan. Penyelidikan monopoli tunggal milik kepolisian.
Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan:
- Menyederhanakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan
berwenang melakukan penyelidikan.
- Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti yang dalam pada masa HIR.
- Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penagak hukum dalam penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien.21
Dari penegasan bunyi Pasal 4 KUHAp, dijernihkan aparat yang berfungsi dan berwenang
melakukan penyelidikan, hanya pejabat Polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi
dan pejabat lain.
Sedangkan tindakan polisi dalam melakukan penyelidikan dapat dilihat dari ketentuan
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang berbunyi:
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan.
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian.
20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 101.
21
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan.
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
i. Mencari keterangan dan barang bukti.
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.
k. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat.
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
D. Tindakan Polisi Dalam Penyidikan
Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 1 dan 2
KUHAP, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah
pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang. Sedang penyidikan berarti serangkaian tindakan yang
dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang
untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau
menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya
atau pelaku tindak pidananya.
Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari
“dan menemukan“ sesuatu peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak
serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi
terang, serta tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja.
Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu.
Antara keduanya saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan
pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Namun demikian, ditinjau dari beberapa segi,
terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:
Menurut KUHAP yang dimaksud dengan penyidik adalah pasal 1 butir 1
menyebutkan : “ penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan “.
Kemudian, pasal 6 ayat (1) penyidik adalah :
1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia,
2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Pasal 6 ayat (2) menyebutkan “ Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dalam
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah “.
Dalam penjelasan dari pasal 6 ayat (2) KUHAP, disebutkan juga bahwa
“ Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah
diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut
umum dan hakim peradilan umum “.
Mengenai kepangkatan penyidik ini oleh Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, diterangkan :
Pasal 2 ayat (1) :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat
pengatur muda tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu.
Mengenai kepangkatan ini masih ada pengecualiaan apabila tidak ada penyidik
yang berpangkat pembantu letnan dua, seperti yang ditegaskan oleh ayat (2) dari
pasal 2 di atas yaitu : “dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat
penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor
Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena
jabatannya adalah penyidik “.
Ayat (3) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh
Kepala Kepolisian republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku “.
Ayat (4) “ Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku “.
Ayat (5) “ Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh
Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut,
Menteri sebelum melaksanakan pengangkatannya terlebih dahulu mendengarkan
pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia “.
Setelah dikemukakan pengertian dan hal-hal yang berhubungan dengan
penyidik, maka berikut yang akan dibicarakan adalah pengertian dari penyidikan
itu. Yang dimaksud dengan penyidikan adalah : serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).
Dari rumusan pengertian penyidikan tersebut, maka dapatlah dimengerti
bahwa tujuan daripada penyidikan itu demikian luasnya, yakni harus mampu
mengumpulkan bukti-bukti, menerangkan peristiwa pidana tentang apa yang telah
terjadi serta harus dapat menemukan tersangkanya.
Untuk dapat terlaksananya tugas dan tujuan dari penyidikan itu, maka
dibutuhkan adanya tenaga-tenaga penyidik yang telah terlatih dan terampil.
Di dalam undang-undang No. 8 Tahun 1981, seperti yang telah dinyatakan
di atas, tidak semua polisi negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan
sebagai penyidik. Artinya, hanya pejabat polisi yang telah memenuhi syrat-syarat
tertentu sajalah yang dapat diangkat menjadi seorang penyidik. Tidak diberikannya
kedudukan sebagai penyidik kepada setiap polisi negara ini, di samping adanya
pembagian tugas tersendiri pada dinas kepolisian, juga adalah atas dasar pemikiran
bahwa penyidikan itu haruslah dilakukan oleh yang telah mempunyai syarat-syarat
kepangkatan tertentu pada dinas kepolisian. Demikian juga penyidik, haruslah
orang-orang yang telah memiliki keterampilan khusus dalam bidang penyidikan,
baik dalam segi teknik maupun taktis, serta orang-orang yang mempunyai dedikasi
dan disiplin yang tinggi, karena di dalam pelaksanaan penyidikan ini adakalanya
penyidik harus menggunakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan dan
lain-lain. Dimana apabila hal ini tidak dilakukan oleh penyidik-penyidik yang telah
terlatih, maka kemungkinan besar hak-hak asasi seseorang yang hendak diadakan
penyidikan terhadap dirinya, walaupun prinsip undang-undang itu sendiri
Namun demikian terlepas daripada kelayakan dan keharusan yang harus
dimiliki oleh setiap penyidik, maka di dalam situasi dan kondisi yang tertentu,
sesuai dengan letak geografis daripada Indonesia dan serta masih kurangnya
tenaga, terutama tenaga ahli khususnya di dalam penyidikan pada dinas kepolisian
negara Republik Indonesia, maka oleh undang-undang diberikan kesempatan untuk
mengangkat penyidik-penyidik pembantu baik dari Polisi sendiri maupun dari
pejabat-pejabat pegawai negeri sipil di dalam lingkungan kepolisian negara.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak
ada secara spesifikasi menerangkan proses penyidikan, tetapi dari Pasal 16 Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 dapat diterangkan merupakan urutan-urutan proses penyidikan yang dilakukan
kepolisian. Adapun isi Pasal 16 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 adalah :
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan
14 di bidang proses pidana. Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
untuk :
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memiliki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan,
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan,
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri,
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat,
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
pemeriksaan perkara
h. Mengadakan penghentian penyidikan
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum,
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang, di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang asing yang disangka
melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum, dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan,
c. Harus patut , masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan,
e. Menghormati hak asasi manusia.
E. Profesionalisme Polisi Ditinjau Dari Perspektif HAM Dalam
Melaksanakan Tindakan Paksa
KUHAP, UU tentang HAM maupun UUD 1945 (yang telah diamandemen) sendiri telah
sama-sama menyatakan bahwasanya setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakukan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, khususnya dengan tegas mengatur
menggunakan tindak kekerasan selayaknya dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM.
Adapun yang dimaksud dengan penyiksaan dan pelanggaran HAM menurut
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM terdapat pada Pasal 1 ayat (4) menyatakan :
penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani
pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau
dari orang ketiga dengan menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah
dilakukan atau telah diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga atau
untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa
sakit atau penderitaan itu ditimbulkan oleh, atau hasutan dari, dengan persetujuan
atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
Pasal 1 butir (6) menyatakan tentang pengertian pelanggaran hak asasi
manusia, yaitu : setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termaksud aparat
negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Relevansi antara istilah “penyidikan” dengan hak asasi manusia terfokus
pada hak tersangka dalam proses penyidikan. Polisi (dalam perkara tindak pidana
umum) seharusnya menghormati hak-hak tersangka, namun ternyata masih ada
oknum yang melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap tersangka dan
memperlakukannya seolah-olah si tersangka adalah orang yang tidak patut hidup
Dari data yang diperoleh oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan tahun
2010, terdapat cukup banyak kasus di Sumatera Utara yang merupakan
pelanggaran terhadap HAM.” Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
yang dicoba untuk difokuskan ke dalam pelanggaran hak sipil dan politik (HSP)
dalam kenyataannya cukup tinggi, terutama yang dilakukan oleh aparat POLRI jika
dibandingkan oleh aparat TNI, dan jumlah kasus seluruhnya ada 117 kasus.
Sebagai bahan acuan dapat dilihat tentang kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian
terhadap tersangka dalam proses penyidikan.
BENTUK KEKERASAN ALAT YANG DIGUNAKAN
Penangkapan sewenang-wenang -
Dipukul kaki, tangan dan dada Benda tumpul dan sepatu
Disiksa badan dan kaki Benda tumpul dan kabel
Ditendang dada depan dan punggung belakang Benda tumpul dan sepatu
Disiksa bagian kepala dan jari kaki Benda tumpul dan kursi
Dipukul dada dan kaki Rotan
Dipukul dada dan badan Rotan dan besi
Dipukul bagian muka, dada, badan dan kaki, di sulut rokok
Bangku, hekter, senjata dan rokok
Sumber: Pengaduan keluarga korban oleh Divisi Hak-hak Sipil dan Politik LBH Medan, tahun
2010
Dari tabel di atas tampak bahwa para tahanan yang ada selalu mengalami tindak kekerasan
yang dilakukan oleh Polisi sejak mereka berada di tahanan sebagai tersangka atau terdakwa.
Meskipun hak-hak tersangka telah tercantum dalam undang-undang, namun nyatanya
Polisi sebagai penyidik tidak memperhatikan ketentuan yang diatur oleh undang-undang, sehingga
dapat dikatakan telah terjadi tindakan yag menympang. Terhadap tindakan yang menyimpang ini,
secara otomatis perkaranya dimungkinkan pembatalannya, meskipun secara faktual maupun yuridis
Contoh dapat dilihat pada bunyi Pasal 52 KUHAP : “Dalam pemeriksaan dalam tingkat
penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas
kepada penyidik atau hakim.” Memori penjelasan dari pasal ini menyebutkan agar supaya
pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari pada yang sebenarnya, maka
tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya
paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.
Selanjutnya pada Pasal 117 KUHAP dinyatakan bahwa “keterangan tersangka atau saksi
kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun.”
Masalah hak asasi manusia, dalam pembahasan ini yaitu tersangka, sebagaimana yang
dijelaskan dalam kedua pasal di atas, haruslah diartikan sedemikain rupa bahwa keterangan yang
diberikan oleh si tersangka itu bersumber pada free will (kehendak bebas), sehingga penyidik tidak
diperkenankan untuk mencari keterangan yang tidak diberikan secara bebas. Tidak dipenuhinya
persyaratan ini menimbulkan persoalan pembuktian yang diperoleh oleh penyidik besumber dari
kondisi tersangka yang terpaksa tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bukti. Sebagai
perbandingan, di negara-negara yang menganut sistem Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat dan
Inggeris, suatu perolehan pembuktian secara tidak sah berkaitan dengan Exclusionary Rules, yaitu
suatu aturan yang berlaku umum dan berisikan larangan penggunaan alat-alat bukti yang dilakukan
untuk melindungi tersangka dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penyidik dalam proses
penyidikan.
Pada penjelasan sebelumnya telah diterangkan tentang hak-hak tersangka dalam proses
penyidikan. Kalau saja hak-hak tersebut benar-benar didapat si tersangka, maka akan kecil
kemungkinan bahwa tersangka akan besinggungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia
dengan mendapat tindakan kekerasan dari penyidik dalam proses pemeriksaan/penyidikan.
Perlingungan terhadap tersangka terutama yang menyangkut tentang hak asasi manusia
adalah sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara tersangka dengan pelaku penegakan
hukum, dalam halini penyidik, yaitu Proses perkara pidana merupakan suatu peraturan dimana
garansi hak-hak asasi manusia harus diperkuat, karena jika tidak maka pertarungan akan timpang.
Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peraturan
hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting. Hal ini penting karena sebagian besar
dalam rangkaian proses hukum acara pidana menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak asasi
manusia, mulai dari penangkapan, penahanan hingga penghukuman yang pada hakekatnya adalah
pembatasan terhadap hak asasi manusia.
KUHAP sendiri salah satu alat perlindungan bagi tersangka tidak ada mengatur secara
jelas tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh tersangka jika ternyata tersangka mendapat
perlakuan yang tidak semestinya, atau dengan kata lain poilsi sebagai pejabat penyidik telah
melakukan tindakan yang menyimpang dari ke wenangannya. Dalam penjelasan umum KUHAP
angka (3) dijelaskan bahwa karena itu undang-undang ini mengatur tentang hukum acara pidana
wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka seharusnya
didalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
kewajiban warga negara dimuka, maupun asas yang akan disebutkan selanjutnya.
Di dalam undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kehakiman yang
kemudian dirubah dengan Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan
yang terakhir digantikan dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, dijumpai adanya asas-asass yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat
serta martabat manusia yang antara lain adalah :
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang untuk oleh
undang-undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditahan dan dituntut aataupun dihadapkan dimuka
sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
4. Kepada seseorang yang dianggap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yanga berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan
rehabilitasi sejak ditingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang
dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur
dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Setiap orang yang tersangka perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum
yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaann dirinya.
7. Kepada seorang tersangka, sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib
diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya juga wajib diberitahu
haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali dalam hal yang diatur
undang-undang.
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Tindakan menyimpang sama proses penyidikan bukanlah sebagai suatu kejadian yang
jarang ditemukan, bahkan sebaliknya hal itu merupakan sebagai suatu kejadian yang jarang
penyidik. Oleh karena itu, kenyataan yang ada dari due process model menghendaki adanya suatu
penelitian untuk setiap proses.
Hal ini dapat diterima karena dalam due process modek sejak semula didasarkan pada
pelaksanaan aturan acara pidana mana yang benar dan aturan mana merupakan suatu aturan yang
menjaga hak asasi manusia. Karenanya, jika terjadi suatu kesalahan dalam penerapan pelaksanaan
aturan acara pidana, maka dengan sendirinya proses perkara tersebut dianggap batal, karena dengan
demikian telah dianggap menyalahi hak asasi manusia seseorang, dan hal ini tentu saja tidak akan
dibenarkan.
Untuk negara Indonesia sendiri, harus diakui asas-asas yang terkandung dalam KUHAP
telah cukup inovatif, dan bahkan pengaturannya mengandung paralel dengan instrumen hukum
internasional. Hal ini juga terjadi pada hukum acara pidana dengan adanya kemajuan yang
berkaitan dengan hak-hak tersangka. Namun demikian juga terjadi pelanggaran hak-hak tersangka,
seperti tindakan kekerasan dan penyiksaan selama proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik,
maka bagaiman pengaturan pencegahannyam, tindakan akibat hukumnya, dan lembaga apa yang
berwenang melakukan pengawasan, KUHAP sama sekali tidak mengaturnya secara jelas.
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan
pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan
secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku, demi untuk
kelancaran penyelesaian pemeriksaan dengan hukum dan undang-undang adalah merupakan
perkosaan terhadak hak asasi tersangka, yang merupakan tindakan yang tidak sah.
Untuk hal tersebut, karena secara terperinci tidak ada diatur di dalam KUHAP, maka bagi
para korban penyiksaan dan tindak kekerasan ini dapat melakukan upaya hukum dengan
mengajukan pra peradilan. Pra peradilan berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
upaya paksa.
Pasal 1 butir (10) menegaskan Pra peradilan adalah wewenang pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutuskan :