• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal Dengan Jarum 27g Quincke Dan 27g Whitacre

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal Dengan Jarum 27g Quincke Dan 27g Whitacre"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE

SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM

27G QUINCKE DAN 27G WHITACRE

TESIS

Oleh

EDLIN

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE

SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM 27G QUINCKE DAN

27G WHITACRE

TESIS

Oleh

EDLIN

PEMBIMBING I : dr. Asmin Lubis, DAF SpAn. KAP KMN

PEMBIMBING II : Prof.dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC

Tesis Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Spesialis Anestesiologi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan

Reanimasi

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

(3)

PERBANDINGAN INSIDENSI POST DURAL PUNCTURE HEADACHE SETELAH ANESTESIA SPINAL DENGAN JARUM 27G QUINCKE DAN 27G WHITACRE

TESIS

Dr. EDLIN

Menyetujui,

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn, KAP KMN Prof.dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC

NIP: 195308261981021001 NIP: 195208261981021001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ketua Departemen

Anestesiologi dan Reanimasi Anestesiologi dan Reanimasi

FK USU/RSUP HAM Medan FK USU-RSUP HAM Medan

dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn.KIC

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Segala puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya saya berkesempatan mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Sumatera Utara serta menyusun dan menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat dalam penyelesaian pendidikan keahlian di bidang Anestesiologi. Semoga karya tulis ini merupakan sumbangsih bagi perkembangan Anestesiologi di Indonesia.

Tak lupa shalawat dan salam kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah zaman kegelapan ke zaman Islam zaman penuh cahaya.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.

Bapak Dekan Fakultas Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas ini.

(5)

Dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr.Asmin Lubis DAF,SpAn, KMN KAP KIC dan Prof dr.Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC sebagai pembimbing penelitian saya, dimana atas bimbingan, pengarahan dan sumbang saran yang telah diberikan, saya dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.

Juga dengan penuh rasa hormat, saya sampaikan terima kasih kepada dr Hasanul Arifin SpAn KAP KIC, sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan Reanimasi, DR.dr. Nazaruddin Umar, SpAn, KNA, Sekretaris Departemen Anestesiologi dan Reanimasi atas nasehat, kesabaran dan keikhlasan telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani program pendidikan ini.

Rasa Hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya: Dr A Sani P. Nasution, SpAn KIC, Dr. Chairul Mursin, SpAn, Dr. Yutu Solihat, SpAn, KAKV, Dr. Akhyar H. Nst, SpAn, KAKV, Dr. Soejat Harto, SpAn, KAP, Dr Muhammad AR, SpAn, Dr. Veronica H. Y, SpAn, Dr. Walman Sitohang, SpAn, Dr. Tumbur SpAn, Dr. Dadik W. Wijaya, SpAn, Dr. M. Ihsan, SpAn, Dr. Nugroho, SpAn, Dr. Guido M. Solihin, SpAn, dan lain-lain di Fakultas Kedokteran USU Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusannya telah mendidik dan memberikan bimbingan kepada saya selama mengikuti program pendidikan ini.

Ucapan terima kasih saya berikan kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan sebagai pembimbing metode penelitian dan analisa statistik pada penelitian ini yang banyak memberikan masukan, arahan, kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya tulis ini.

(6)

memberikan yang terbaik dari ilmu yang saya dapatkan dan pelajari, saya ucapkan terima kasih dan mohon maaf bila pelayanan saya kurang berkenan di hati.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh teman-teman Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Reanimasi, karyawan, paramedis Anestesiologi dan Reanimasi FK USU yang telah banyak membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian program pendidikan dan penelitian ini.

Sembah sujud, rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga saya persembahkan kepada orang tua saya tercinta, Bapak dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn, dan ibu saya Hj. Rita Zulmi atas segala jerih payah, pengorbanan, doa dan kasih sayang beliau dalam mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan keringat dan air mata, sehingga saya dapat menjadi seperti sekarang ini.

Dari hati yang tulus saya ucapkan terima kasih yang tak terkira kepada adik-adik saya, sahabat dan teman atas pengertian, doa, dorongan semangat, kesabaran, dan kesetian yang tulus dalam suka dan duka mendampingi saya selama pendidikan yang panjang dan cukup melelahkan.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT segala pujian dan ucapan syukur serta permohonan ampun saya sembahkan, semoga kita semua senantiasa diberi syafaat dan karunia-Nya.

Wassalammualaikum

Medan, Desember 2010

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i 

DAFTAR ISI... v 

DAFTAR TABEL... viii 

DAFTAR GAMBAR ... viii 

DAFTAR GRAFIK... ix 

DAFTAR LAMPIRAN... ix 

ABSTRAK ... x 

ABSTRACT... xi 

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 

1.1  Latar Belakang... 1 

1.2  Rumusan Masalah ... 3 

1.3  Hipotesa... 3 

1.4  Tujuan Penelitian... 3 

1.4.1  Tujuan Umum ... 3 

1.4.2  Tujuan Khusus ... 3 

1.5  Manfaat Penelitian... 4 

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5 

2.1  Anestesi Spinal ... 5 

2.2  Post Dural Puncture Headache ... 8 

(8)

2.2.2  Klasifikasi PDPH ... 9 

2.2.3  Patofisiologi PDPH ... 11 

2.2.4  Terapi PDPH ... 13 

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 17 

3.1  Desain ... 17 

3.2  Tempat dan Waktu ... 17 

3.3  Populasi Penelitian ... 17 

3.4  Sampel dan Cara Pemilihan (Randomisasi) sampel... 17 

3.5  Estimasi Besar Sampel ... 18 

3.6  Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 18 

3.6.1  Inklusi... 18 

3.6.2  Eksklusi ... 18 

3.6.3  Kriteria Drop Out ... 19 

3.7  Informed consent ... 19 

3.8  Cara kerja... 19 

3.9  Alur Penelitian... 21 

3.10  Identifikasi Variabel ... 22 

3.10.1  Variabel Bebas ... 22 

3.10.2  Variable Tergantung... 22 

3.11  Rencana Manajemen dan Analisa Data... 22 

3.12  Definisi Operasional... 23 

3.13  Masalah Etika ... 24 

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 25 

4.1  Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 25 

(9)

4.3  Jenis operasi pada kedua kelompok penelitian... 27 

4.4  Banyak usaha tusukan ... 28 

4.5  Insidensi PDPH ... 29 

4.5.1  Insidensi PDPH selama observasi... 30 

4.5.2  Insidensi PDPH 6 jam paska spinal ... 31 

4.5.3  Insidensi PDPH 24 jam paska spinal ... 32 

4.5.4  Insidensi PDPH 48 jam paska spinal ... 32 

4.5.5  Insidensi PDPH 72 jam paska spinal ... 32 

4.6  Keparahan PDPH... 34 

4.6.1  Keparahan PDPH 6 jam paska spinal ... 34 

4.6.2  Keparahan PDPH 24 jam paska spinal... 34 

4.6.3  Keparahan PDPH 48 jam paska spinal... 35 

4.6.4  Keparahan PDPH 72 jam paska spinal... 35 

4.7  Hubungan insidensi PDPH dengan banyaknya tusukan... 36 

BAB 5 PEMBAHASAN ... 37 

5.1  Gambaran Umum ... 37 

5.2  Banyak Usaha Tusukan ... 37 

5.3  Insidensi PDPH ... 38 

5.4  Keparahan PDPH... 39 

5.5  Hubungan banyaknya tusukan dengan Insidensi PDPH ... 40 

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 41 

6.1  Kesimpulan... 41 

6.2  Saran ... 41 

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH... 11 

Tabel 4.1-1. Data Demografi Umur Subjek Penelitian ... 25 

Tabel 4.1-2. Data Demografi Jenis Kelamin... 27 

Tabel 4.2-1. Data demografi PS-ASA ... 27 

Tabel 4.3-1. Jenis operasi antar kedua kelompok ... 28 

Tabel 4.4-1. Banyak Usaha tusukan... 28 

Tabel 4.5-1. Insidensi Kejadian PDPH ... 30 

Tabel 4.5-2. Insidensi PDPH 6 jam paska spinal ... 31 

Tabel 4.5-3. Insidensi PDPH 24 jam paska spinal ... 32 

Tabel 4.5-4. Insidensi PDPH 48 paska spinal ... 32 

Tabel 4.5-5. Insidensi PDPH 72 jam paska spinal ... 32 

Tabel 4.6-1. Keparahan PDPH 6 jam paska spinal ... 34 

Tabel 4.6-2. Keparahan PDPH 24 jam paska spinal ... 34 

Tabel 4.6-3. Keparahan PDPH 48 jam paska spinal ... 35 

Tabel 4.6-4. Keparahan PDPH 72 jam paska spinal ... 35 

Tabel 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dengan PDPH... 36 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jenis Tipe Jarum... 1 

Gambar 2. Spinal cord dan nerve roots... 12 

Gambar 3. Kerangka Konsep ... 1 

(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.4-1. Banyaknya usaha tusukan ... 29  Grafik 4.5-1. Insidensi PDPH antara Jarum Whitacre dan Quincke... 31  Grafik 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dan insidensi PDPH ... 36 

DAFTAR LAMPIRAN

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang, Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi

iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF. PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bisa berakibat fatal. Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tipe jarum yang terbaik antara 27G Quincke dan 27G Whitacre dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif.

Metode, Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak, tersamar ganda. Setelah

mendapat persetujuan dari komite etik FK USU Medan, dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, laki-laki dan perempuan, umur 18-60 tahun, status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi elektif dengan spinal anesestesi. Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi masing-masing 50 subjek, dimana kelompok A menggunakan jarum Whitacre (Pencan) 27G dan kelompok B menggunakan jarum Quincke (Spinocan) 27G. Kemudian dipantau insidensi dan keparahan PDPH pada 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska operasi. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t, dan uji Chi-kuadrat.

Hasil, Pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang

mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dengan analisa tes Chi square didapat hasil p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini. Dari keenam pasien yang mengalami PDPH, derajat keparahan yang terjadi berkisar ringan dan sedang. Dari hasil analisa tingkat keparahan terhadap waktu-waktu pengamatan dengan tes Chi square didapat p=0.170, tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap tingkat derajat PDPH antara kedua jarum.

Kesimpulan, Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi

PDPH dan keparahan PDPH antara jarum spinal 27G Whitacre dan 27G Quincke.

(13)

ABSTRACT

Background, Post Dural Puncture Headache (PDPH) is an iatrogenic

complication after spinal anesthesia that caused by CSF leakage due to a tear or hole in the duramater. PDPH is an unpleasant complaint to patient and could cause fatal problems. One of the most important factors that contribute the incidence and severity of PDPH is the size of the dural perforation that depends on the size and type of spinal needle. The aim of the study is to compare the best needle type between 27G Quincke and 27G Whitacre to decrease the incidency and severity of PDPH.

Methode, The study is a randomized, double blind clinical trial. After getting the

approval of the ethic committee of medical faculty in USU, 100 study samples were collected, men and women, age 18-65 yrs old, physical status ASA 1-2 that underwent elective surgery with spinal anesthesia. The sample was then divided randomly into two groups with 50 subjects each, where group A applied 27G Whitcare (Pencan) and group B 27G Quincke (Spinocan) needle. Incidency and severity of PDPH was then observed periodically in 6, 24, 48 and 72 hours post spinal. T independent and Chi square test was used to analyze the results.

Result, Only 1 (2%) patient in Whitacre group had PDPH, where as 5 (10%)

patient in Quincke group had PDPH. Statistically there is no significant difference in the incidence of PDPH between the two groups with p=0.204. From the six patients that had PDPH the severity varies form mild to medium. Statistically there is no significant difference in the severity of PDPH that occurred with

p=0.170.

Conclusion, Theres is no significant difference statistically in the incidency and

severity of PDPH between 27G Whitacre and 27G Quincke needle.

Key words: Postural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, spinal

(14)

ABSTRAK

Latar Belakang, Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi

iatrogenik dari anestesi spinal yang diakibatkan dari tusukan atau robekan pada dura mater yang menyebabkan kebocoran CSF. PDPH merupakan keluhan yang tidak menyenangkan untuk pasien dan bisa berakibat fatal. Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan tipe jarum yang terbaik antara 27G Quincke dan 27G Whitacre dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif.

Metode, Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis acak, tersamar ganda. Setelah

mendapat persetujuan dari komite etik FK USU Medan, dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, laki-laki dan perempuan, umur 18-60 tahun, status fisik ASA 1-2 yang menjalani operasi elektif dengan spinal anesestesi. Sampel dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi masing-masing 50 subjek, dimana kelompok A menggunakan jarum Whitacre (Pencan) 27G dan kelompok B menggunakan jarum Quincke (Spinocan) 27G. Kemudian dipantau insidensi dan keparahan PDPH pada 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska operasi. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t, dan uji Chi-kuadrat.

Hasil, Pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang

mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dengan analisa tes Chi square didapat hasil p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini. Dari keenam pasien yang mengalami PDPH, derajat keparahan yang terjadi berkisar ringan dan sedang. Dari hasil analisa tingkat keparahan terhadap waktu-waktu pengamatan dengan tes Chi square didapat p=0.170, tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap tingkat derajat PDPH antara kedua jarum.

Kesimpulan, Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi

PDPH dan keparahan PDPH antara jarum spinal 27G Whitacre dan 27G Quincke.

(15)

ABSTRACT

Background, Post Dural Puncture Headache (PDPH) is an iatrogenic

complication after spinal anesthesia that caused by CSF leakage due to a tear or hole in the duramater. PDPH is an unpleasant complaint to patient and could cause fatal problems. One of the most important factors that contribute the incidence and severity of PDPH is the size of the dural perforation that depends on the size and type of spinal needle. The aim of the study is to compare the best needle type between 27G Quincke and 27G Whitacre to decrease the incidency and severity of PDPH.

Methode, The study is a randomized, double blind clinical trial. After getting the

approval of the ethic committee of medical faculty in USU, 100 study samples were collected, men and women, age 18-65 yrs old, physical status ASA 1-2 that underwent elective surgery with spinal anesthesia. The sample was then divided randomly into two groups with 50 subjects each, where group A applied 27G Whitcare (Pencan) and group B 27G Quincke (Spinocan) needle. Incidency and severity of PDPH was then observed periodically in 6, 24, 48 and 72 hours post spinal. T independent and Chi square test was used to analyze the results.

Result, Only 1 (2%) patient in Whitacre group had PDPH, where as 5 (10%)

patient in Quincke group had PDPH. Statistically there is no significant difference in the incidence of PDPH between the two groups with p=0.204. From the six patients that had PDPH the severity varies form mild to medium. Statistically there is no significant difference in the severity of PDPH that occurred with

p=0.170.

Conclusion, Theres is no significant difference statistically in the incidency and

severity of PDPH between 27G Whitacre and 27G Quincke needle.

Key words: Postural Puncture Headache, 27G Quincke, 27G Whitacre, spinal

(16)

BAB 1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sub-arachnoid block (SAB) atau anestesi spinal merupakan salah satu tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering digunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Tehnik ini telah digunakan secara luas untuk memberikan anestesia, terutama untuk operasi pada daerah di bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, efek samping yang minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1

Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah postdural puncture headache

(PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan menggunakan jarum spinal tipe

Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2

(17)

menyatakan bahwa PDPH yang tidak ditangani bisa menyebabkan subdural hematoma bahkan kematian akibat bilateral subdural hematoma.9

Faktor terpenting yang mempengaruhi frekwensi dan keparahan dari PDPH adalah besar dari perforasi dura. Besar perforasi dura sangat ditentukan oleh besar jarum dan tipe jarum spinal. Semakin kecil jarum yang digunakan, semakin kecil insidensi terjadinya PDPH.10,11 Jarum spinal dengan ukuran 29 G atau yang lebih kecil lagi, secara tehnik lebih sukar untuk digunakan dan disertai dengan tingkat kegagalan yang tinggi untuk anestesi spinal.12 Sehingga pemilihan jarum 25 G dan 27G dianggap masih dapat ditampilkan untuk menunjukkan perbandingan tingginya insidensi PDPH setelah anestesi spinal. Sedang pada Indonesia, khususnya Medan, pemakaian tipe jarum spinal yang lazim dipakai adalah jarum cutting point dengan ukuran 25 G. Pemakaian jarum pencil point

apalagi dengan jarum 27G masih belum banyak dijumpai.

Dari penelitian Hwang dkk, membandingkan insidensi PDPH dengan jarum 25G Whitacre dengan jarum 25G dan 26G Quincke tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik.13

Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14

Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%). 12

(18)

jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%.1

Dari banyaknya variasi persentase insidensi PDPH post spinal anestesia dengan menggunakan jarum yang berbeda yang mendukung dan menolak adanya perbedaan antara tipe jarum membuat peneliti ingin melakukan penelitian tentang insidensi PDPH pada pasien-pasien yang akan dilakukan spinal anestesi dengan dua jarum berbeda yakni jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah ada perbedaan insidensi PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G

1.3 Hipotesa

Ada perbedaan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal dengan penggunaan jarum spinal Quincke 27G dan Whitacre 27G

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk mendapatkan tipe jarum yang optimal dalam menurunkan insidensi dan keparahan PDPH setelah tindakan anestesi spinal pada pasien-pasien yang dilakukan operasi elektif

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mendapatkan tipe jarum yang dapat mengurangi insidensi frekwensi dari PDPH

(19)

3. Meneliti jumlah kejadian insidensi PDPH post injeksi dari kedua tipe jarum spinal yang berbeda

4. Meneliti insidensi kegagalan pada pemakaian jarum kedua tipe

1.5 Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan tipe jarum yang ideal dalam mengurangi insidensi dan keparahan dari PDPH

2. Memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien-pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi dengan regional anestesi subarachnoid block 3. Sebagai bahan acuan penelitian lanjutan dalam meneliti insidensi PDPH

(20)

BAB 2

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal

Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan analgesia yang minimal.1

Anestesi spinal merupakan tehnik anestesi yang aman, ekonomis dan dapat dipercaya serta sering di pergunakan pada tindakan anestesi sehari-hari. Anestesi spinal disertai dengan beberapa komplikasi yang sering timbul, salah satu komplikasi yang dapat timbul adalah

postdural puncture headache (PDPH). Dimana menurut berbagai peneliti, insidensi terjadinya Post Dural Puncture Headache berkisar antara 0% - 46%.2,3 Angka yang tertinggi dijumpai pada penusukan lumbal diagnostic dengan

(21)

menggunakan jarum spinal tipe Quincke dengan ukuran 20G atau 22G.2

Tiap robekan pada dura dapat mengakibatkan terjadinya PDPH. Hal ini bisa disebabkan oleh tindakan diagnostic lumbal puncture, tindakan myelogram, anestesi spinal atau “wet tap” epidural bila jarum epidural menembus ruang epidural dan memasuki ruang sub-arakhnoid.

Banyak faktor yang diduga mempengaruhi insidensi dan keparahan PDPH termasuk umur, jenis kelamin, dan ras pasien, tehnik SAB, jumlah tusukan yang dilakukan, besar jarum dan desain ujung jarum.16 Salah satu faktor terpenting dan paling memegang peranan adalah desain dan besar jarum.

Ada beberapa tipe jarum yang saat ini digunakan untuk tindakan punksi dura. Seara umum tipe jarum ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni tipe cutting (quincke) dan non-cutting / atraumatic (whitacre, sprotte, atraucan).

Jarum dengan ujung Quincke memotong serat dura dan bisa menyebabkan robekan dura yang menetap, sementara ujung jarum spinal non-cutting atau seperti

pencil-point (Whitacre, Sprotte) dapat mendorong serat dura sehingga dapat kembali ke tempat semula dan mengurangi hilangnya CSF setelah tusukan dura dan mengurangi insidensi PDPH. Oleh karena itu, banyak variasi dalam insidensi PDPH yang bisa timbul dengan desain jarum spinal yang berbeda.

Dengan mengurangi besar dari jarum spinal telah memberikan dampak yang signifikan terhadap insidensi dari PDPH. Insidensinya adalah 40% pada jarum 22G, 25% pada jarum 25G, 2-12% pada jarum 26G Quincke, 1-6% pada jarum 27G Quincke dan <2% pada jarum 29G.17

(22)

Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5% dan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14

Ripul dkk, membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik. Mereka menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%).12

Dari penelitian Irawan dkk, di RS. Hasan Sadikin Bandung, meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapat hasil insidensi PDPH 68.2%, 31.8% dan 0%.(15) Shah dkk (2002), meneliti insidensi PDPH dengan tiga jarum yang serupa, yakni 25G dan 27G Quincke serta 27G Whitacre, didapatkan hasil insidensi PDPH 20%, 12.5% dan 4.5%.1

Ada kecenderungan dengan pemakaian gauge/ukuran jarum lebih kecil (29G) disertai dengan insidensi kegagalan tehnik yang lebih besar.12,16

(23)

penelitian lebih lanjut, walaupun ada penelitian yang menunjukkan adanya penurunan insidensi PDPH berdasarkan posisi bevel saat penusukan.17

Ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai hubungan banyaknya usaha tusukan spinal dengan insidensi PDPH yang menyertainya. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH. Dari hasil penelitian tersebut didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan dengan tingginya insidensi.18 Dari beberapa penelitian lain yang meneliti hubungan banyaknya tusukan spinal dengan insidensi PDPH pada jarum-jarum yang lebih kecil 26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH, seperti yang dikemukakan oleh Kang SB dkk (1992).19 Pada penelitian ini, peneliti meneliti insidensi PDPH antara dua tipe jarum ukuran 27G, sehingga peneliti mengesampingkan faktor banyaknya tusukan untuk mempengaruhi tingginya insidensi terjadinya PDPH.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jarum 27 G Spinocan sebagai tipe jarum Quincke dan jarum 27 G Pencan sebagai tipe jarum Whitacre. Kedua tipe jarum ini berasal dari perusahaan yang sama guna membantu homogenitas jarum.

2.2 Post Dural Puncture Headache

2.2.1 Defenisi PDPH

(24)

Onset nyeri kepala akibat PDPH ini bisa terjadi pada 12 sampai 72 jam setelah prosedur; akan tetapi, juga bisa ditemukan segera setelah tindakan. Pasien-pasien yang mengalami post dural puncture heachache tidak boleh diabaikan. Bila tidak ditangani nyeri bisa berlangsung sampai berminggu-minggu, dan pada kasus-kasus yang sangat jarang, bisa diperlukan tindakan operasi untuk mengatasinya.

Post Dural Puncture Headache (PDPH) merupakan komplikasi dari tusukan pada duramater (salah satu meningens yang mengelilingi otak dan spinal cord). PDPH sering terjadi pada anestesi spinal dan lumbal, dan juga epidural anestesi. PDPH bisa timbul dalam hitungan jam sampai hari setelah tusukan dan memberikan tanda dan gejala seperti pusing dan mual dan menjadi makin berat bila pasien mengambil posisi tegak lurus. Jadi PDPH bisa disimpulkan sebagai sakit kepala berat yang bisa disertai mual atau muntah setelah tusukan spinal dengan ciri khas memberat bila berubah posisi duduk atau tegak lurus dan menghilang atau berkurang bila posisi tidur datar.

Dari pernyataan di atas, diambil criteria Post Dural Puncture Headache:1

1. Timbul setelah mobilisasi

2. Diperberat dengan perubahan posisi duduk atau berdiri dan batuk, bersin 3. Berkurang atau hilang dengan posisi tidur terlentang

4. Nyeri sering terlokalisir pada occipital, frontal atau menyeluruh

2.2.2 Klasifikasi PDPH

Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan menjadi 4 skala yakni:1

(25)

2. Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan penglihatan.

3. Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur, berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.

4. Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual dan muntah.

Keluhan PDPH ini diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Berkurangnya tekanan hidrostatik pada ruang subaraknoid akan menyebabkan regangan terhadap meningens sehingga terjadi tanda dan gejala penyerta. Hal ini disebabkan hilangnya CSF lebih cepat dari produksinya sehingga terjadi traksi terhadap struktur-struktur yang menyangga otak, terutama dura dan tentorium. Peningkatan traksi pada pembuluh darah juga menambah nyeri kepala. Traksi pada syaraf kranial dapat menyebabkan diplopia (biasanya pada syaraf kranial keenam) dan tinnitus.

(26)

Tabel 2.2-1. Klasifikasi PDPH

Ringan

Tidak ada gangguan dalam aktivitas Tidak dibutuhkan penanganan

Sedang

Terjadi gangguan dalam aktivitas Dibutuhkan analgesia secara regular

Berat

Hanya dapat berbaring di tempat tidur Anoreksia

2.2.3 Patofisiologi PDPH

2.2.3.1Anatomi dura mater spinal

(27)

tidak menunjukkan orientasi yang spesifik. Pada permukaan luar atau permukaan epidural memang teratur dengan arah longitudinal, tetapi pola ini tidak berulang pada lapis-lapis berikutnya. Dari penilaian lebar terhadap ketebalan dura menunjukkan bahwa dura posterior bervariasi dalam ketebalan sepanjang spinal, baik dalam individu maupun antar individu. Perforasi dura pada area yang tebal akan menyebabkan kebocoran CSF yang lebih sedikit dibanding perforasi pada area yang tipis, dan hal ini dapat menjelaskan kejadian yang tidak terduga pada akibat perforasi dura.17

(28)

2.2.3.2Cairan Cerebrospinal

Produksi CSF terjadi terutama pada pleksus koroid, tetapi ada beberapa bukti yang menunjukkan adanya produksi ekstrakoroidal. Sekitar 500 cc dari CSF diproduksi perhari (0.35 cc/min). volume CSF pada orang dewasa adalah sekitar 150 cc, dimana setengahnya berada di dalam kavitas kranial. Tekanan CSF pada region lumbal pada posisi horizontal adalah 5-15 cmH2O. diperkirakan pada posisi berdiri akan meningkat sampai 40 cmH2O. Tekanan CSF pada anak-anak akan meningkat sesuai umur.17

2.2.4 Terapi PDPH

Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb. Terapi invasif meliputi

Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.17

Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial.17,21

(29)

pasien dalam keadaan dehidrasi akan menyebabkan produksi CSF yang berkurang. Sehingga, bila seseorang sudah terehidrasi dengan baik, dan kecepatan produksi CSF normal, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa overhidrasi akan membantu meningkatkan kecepatan produksi CSF. Oleh karena itu tidak diperlukan pemberian cairan berlebihan pada pasien yang telah terehidrasi dengan baik, dan penting untuk memastikan bahwa pasien dalam kondisi terhidrasi baik sebelum dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada penelitian ini, kami memastikan pasien dalam keadaan terhidrasi baik dengan melakukan terlebih dahulu Tilt Test.22

Tilt test itu sendiri adalah tes kecukupan cairan/hidrasi pada pasien, dengan memperhitungkan faktor posisi dan gravitasi, dilakukan dengan mengukur tekanan darah pasien saat terlentang mendatar dan kemudian mengukur tekanan darah pasien setelah diposisikan tidur terlentang dalam posisi head up dengan sudut 40 – 50 selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.

Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektif terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous ke ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan respon terhadap tindakan blood

(30)

SPINAL

Dura Mengalami Robekan

PDPH

CSF Mengalami Kebocoran

Nyeri kepala berat dan tumpul yang bertambah bila posisi tegak lurus dan hilang bila posisi supine

Isi Cranial tertarik pada posisi tegak lurus Jarum Spinal 27G

Quincke

Jarum Spinal 27G Whitacre

(31)

BAB 3

3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain

Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak, prospektif, double blind

untuk mengetahui perbedaan insidensi dan tingkat keparahan PDPH pada pasien post injeksi anestesi spinal dengan jarum Quincke 27G dan Whitacre 27G

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada RSUP.H. Adam Malik dan Rumah sakit jejaring pada kota Medan dan sekitarnya. Dilakukan dimulai bulan November 2010 sampai selesai

3.3 Populasi Penelitian

Populasi adalah pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi spinal selain operasi seksio Caesarea

3.4 Sampel dan Cara Pemilihan (Randomisasi) sampel

Diambil dari pasien operasi yang akan dilakukan dengan anestsi spinal anestesia dengan status fisik ASA 1 dan 2.

(32)

b. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel angka random. Dengan menjatuhkan pena ke kertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan.

3.5 Estimasi Besar Sampel

Dari penelitian sebelumnya di dapat persentase P1 = 30%, dan P2 diharapkan memiliki perbedaan -20%, sehingga didapat P2 = 10%. Dengan kekuatan 80%. Maka nilai-nilai ini dimasukkan ke dalam rumus mencari besar sampel23 :

Didapat hasil n1 = n2 = 49 orang

Sehingga ditetapkan jumlah keseluruhan sampel penelitian ini adalah 98 orang.

3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.6.1 Inklusi

1. Bersedia ikut dalam penelitian 2. Usia 18 - 65 tahun

3. Pasien status fisik ASA 1 dan 2

3.6.2 Eksklusi

1. Pasien dengan kelainan kognitif 2. Pasien wanita hamil

3. Pasien dengan nyeri kepala kronik sebelumnya

(33)

i. Luka atau infeksi pada daerah yang akan dilakukan injeksi spinal ii. Thrombositopenia (<50.000)

iii. Hipovolemia berat dan syok.

iv. Tekanan intrakranial yang meningkat. v. Kelainan tulang belakang

vi. Obesitas berat

3.6.3 Kriteria Drop Out

1. Pasien yang memerlukan usaha tusukan spinal lebih dari 6 kali. 2. Mengalami keadaan syok selama operasi.

3. Operasi berlangsung lama sehingga membutuhkan tambahan obat anestesi umum.

3.7 Informed consent

Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik, penderita mendapatkan penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis kesediaannya dalam lembar informed consent.

3.8 Cara kerja

1. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite etik semua sampel dinilai ulang.

2. Populasi yang dijadikan sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok, A dan B.

(34)

4. Pasien dipastikan dalam keadaan normovolemik dengan melakukan tilt test.

5. Kelompok A dipersiapkan untuk dilakukan tindakan spinal anestesia dengan jarum spinal 27G Quincke. Disuntikkan dengan posisi duduk dan dengan posisi bevel paralel dengan sagital plane untuk mencegah robekan dura yang lebih besar.

6. Kelompok B dipersiapkan untuk dilakukan tindakan spinal anestesia dengan jarum spinal 27G Whitacre. Disuntikkan dengan posisi duduk. 7. Dicatat waktu tusukan, jumlah berapa kali usaha tusukan untuk tercapai

CSF.

8. 6 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.

9. 24 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.

10.48 jam setelah tusukan, pasien yang dirawat di ruangan diperiksa oleh peneliti yang tidak mengetahui penggunaan jarum yang dipakai untuk pasien ini dan mencatat ada atau tidaknya kejadian PDPH serta tingkat keparahan PDPH.

(35)

3.9 Alur Penelitian

Populasi

Inklusi Eksklusi

Sampel

Randomisa

Kelompok A 27G Quincke

Kelompok B 27G Quincke

Dilakukan pencatatan hemodinamik, waktu tusukan dan jumlah

Penilaian PDPH 6 jam paska spinal

Penilaian PDPH 24 jam paska spinal

Penilaian PDPH 48 jam paska spinal

Penilaian PDPH 72 jam paska spinal

Analisa Data Penelitian

(36)

3.10 Identifikasi Variabel

3.10.1 Variabel Bebas

a. Jarum spinal Quincke 27G b. Jarum spinal Whitacre 27G

3.10.2 Variable Tergantung

a. Insidensi PDPH

PDPH adalah sakit kepala yang timbul bila pasien disuruh duduk dan berdiri, dan akan hilang atau berkurang bila pasien berbaring terlentang. b. Keparahan PDPH

Keparahan PDPH dinilai dengan metode Shaik dkk, membaginya menjadi 3 tingkat, Ringan, tidak ada gangguan dalam aktivitas dan tidak dibutuhkan penanganan Sedang, terjadi gangguan dalam aktivitas dan dibutuhkan analgesia regular dan Berat, pasien hanya dapat berbaring ditempat tidur dan mengalami anoreksia.

3.11 Rencana Manajemen dan Analisa Data

a. Data yang terkumpul dianalisa dengan program software SPSS versi 17. b. Untuk menentukan peranan tipe jarum spinal dalam menyebabkan PDPH

dilakukan dengan uji Chi-square

c. Pengujian kenormalan data dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov. d. Untuk menentukan perbandingan insidensi PDPH digunakan uji

t-independent pada distribusi data yang normal, dan bila distribusinya tidak normal digunakan Mann-Whitney.

(37)

f. Interval kepercayaan yang dipakai 95%

3.12 Definisi Operasional

a. Anestesi spinal adalah tehnik anestesi dengan memasukkan obat anestesi dengan bantuan jarum spinal ke dalam ruang CSF dengan harapan terjadi blockade sensorik/nyeri dan motorik/gerak pada daerah pusat ke bawah. b. Bevel adalah ujung jarum spinal

c. Jarum spinal Quincke 27G adalah jarum spinal dengan ujung jarum memotong (cutting) dimana yang dipakai pada penelitian ini adalah jarum spinal Spinocan 27G

d. Jarum spinal Whitacre 27G adalah jarum spinal denga ujung jarum tumpul (pecil point) dimana yang dipakai pada penelitian ini adalah jarum spinal Pencan 27G

e. MAP adalah nilai tekanan darah sistol ditambah 2 kali nilai tekanan darah diastole kemudian dibagi 3.

f. Nyeri PDPH berat adalah nyeri kepala dimana pasien tidak dapat beranjak dari tempat tidurnya dan hanya dapat tidur telentang dan anoreksia dijumpai

g. Nyeri PDPH ringan adalah nyeri kepala tanpa gangguan aktivitas dan tidak diperlukan penanganan

h. Nyeri PDPH sedang adalah nyeri kepala dengan adanya batasan aktivitas dan dibutuhkan tambahan obat untuk nyeri kepalanya

i. PDPH (Post Puncture Dural Headache) adalah perasaan nyeri kepala yang parah dan memberat bila pasien berubah posisi dan hilang bila pasien dalam posisi tidur

(38)

– 50 selama 10 menit. Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.

3.13 Masalah Etika

a.Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta resiko dan hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.

b.Sebelum anestesi dan proses penelitian dimulai dipersiapkan alat kegawatdaruratan (oro/nasopharyngeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskop, endotracheal tube ukuran pasien, suction set), monitor (pulse oximetry, tekanan darah, EKG, laju jantung), obat emergensi (efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain, aminofilin, deksametason).

c.Jika terjadi hipotensi akibat tindakan spinal, akan diatasi dengan pemberian efedrin, sebuah vasokonstriktor seperlunya.

d.Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru dan otak selama anestesi dan proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

(39)

BAB 4

4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan selama 1 bulan dari awal sampai akhir bulan November 2010, dan diperoleh 100 pasien yang bersedia mengikuti penelitian dengan status fisik ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi dengan spinal anestesia sesuai dengan prosedur penelitian. Dari 100 pasien yang menjadi subjek penelitian dibagi secara random dalam 2 kelompok dengan menggunakan dua tipe jarum spinal yang berbeda, yakni kelompok A 50 orang dengan jarum spinal Whitacre 27G dan kelompok B 50 orang dengan jarum spinal Quincke 27G.

4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Karakteristik umum subjek penelitian berupa umur, jenis kelamin. Sebaran data karakteristik tersebut terlihat pada tabel (4.1-1)

Tabel 4.1-1. Data Demografi Umur Subjek Penelitian

Jenis Jarum n Mean Std. Deviation p

Whitacre 50 44.34 12.145

Umur

Quincke 50 40.60 12.304 0.129*

*uji t-independent tes

(40)
(41)

Tabel 4.1-2. Data Demografi Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Whitacre Quincke Total p

Pria 33 (66%) 33 (66%) 66 (66%)

Wanita 17 (34%) 17 (34%) 34 (34%)

1.000*

*uji Chi square

Jenis kelamin pada kelompok Whitacre 33 pria dan 17 wanita, dengan pada kelompok Quincke 33 pria dan 17 wanita dengan uji Chi square didapat nilai

p=1.000, berarti tidak ada perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok data.

4.2 Physical status ASA

Karakteristik PS-ASA pada penelitian ini terlihat pada tabel (4.2-1) dibawah ini.

Tabel 4.2-1. Data demografi PS-ASA

PS ASA

Whitacre Quincke Total p

1 23 (46%) 28 (56%) 51 (51%)

2 27 (54%) 22 (44%) 49 (49%) 0.424* *uji Chi square

Physical status ASA (PS ASA) pada kedua kelompok ini adalah 1 dan 2, dimana pada pasien PS ASA 1 berjumlah 51 orang dan pasien PS ASA 2 49 orang. Dari analisa dengan uji Chi square untuk PS ASA terhadap kedua kelompok, didapat

p=0.424, berarti tidak ada perbedaan PS ASA antara kedua kelompok data.

(42)

Karakteristik jenis operasi yang dilaksanakan pada subjek penelitian ini yaitu bedah ortopedi, obstetrik, urologi, digestif. Dimana data demografinya dapat dilihat pada tabel (4.3-1) berikut ini

Tabel 4.3-1. Jenis operasi antar kedua kelompok

Jenis operasi Whitacre Quincke Total p

Urologi 23(46%) 15(30%) 38(38%)

Pada penelitian ini jenis operasi urologi paling banyak dijumpai pada kedua kelompok yakni 38 orang (38%), kemudian ortopedi 32(32%), digestif 25 (25%) dan jenis operasi paling sedikit obstetrik 5 (5%). Setelah dianalisa dengan uji Chi square di dapat hasil p=0.65, dengan arti tidak ada perbedaan yang signifikan tetrhadap jenis operasi antar kedua grup.

4.4 Banyak usaha tusukan

Banyaknya usaha tusukan untuk masuk ke rongga sub-araknoid dengan tanda dijumpainya tetesan CSF melalui jarum spinal dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

Tabel 4.4-1. Banyak Usaha tusukan

UsahaTusukan Whitacre Quincke Total p

1 kali tusukan 27 33 60

2 kali tusukan 15 10 25

3 kali tusukan 7 5 12

4 kali tusukan 1 2 3

(43)

*uji Chi-square

Dari hasil penelitian didapat bahwa ada 33 pasien kelompok Quincke yang hanya membutuhkan 1 tusukan, dan 27 pasien kelompok Whitacre dengan 1 tusukan. 15 pasien membutuhkan 2 tusukan untuk kelompok Whitacre dan 10 pasien untuk kelompok Quincke. 7 pasien membutuhkan 3 tusukan pada kelompok Whitacre dan 5 pasien untuk kelompok Quincke. 1 pasien dari kelompok Whitacre membutuhkan 4 tusukan dan 2 pasien pada kelompok Quincke. Dari analisa tes uji Chi square didapat

p=0.519, dengan arti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap usaha tusukan antara kedua kelompok jarum.

Gambaran demografis banyaknya tusukan pada dua kelompok ini dapat lebih jelasnya dilihat pada grafik di bawah ini.

Grafik 4.4-1. Banyaknya usaha tusukan

4.5 Insidensi PDPH

(44)

4.5.1 Insidensi PDPH selama observasi

Tabel 4.5-1. Insidensi Kejadian PDPH

Insidensi

PDPH Whitacre Quincke Total p

Negatif 49 (98%) 45 (90%) 94 (94%)

Positif 1 (2%) 5 (10%) 6 (6%) 0.204*

*uji Chi square

Pada tabel ini adalah data insidensi PDPH yang terjadi dalam kurun waktu penelitian (3 hari). Didapat hasil pada penelitian ini hanya 1 (2%) pasien pada kelompok Whitacre yang mengalami PDPH, sementara pada kelompok Quincke terdapat 5 (10%) pasien mengalami PDPH. Dari analisa tes Chi square didapat hasil

p=0.204, berarti tidak ada perbedaan bermakna insidensi PDPH antara kedua kelompok ini.

(45)

Grafik 4.5-1. Insidensi PDPH antara Jarum Whitacre dan Quincke

Tampak walaupun kejadian PDPH lebih banyak terjadi pada pasien kelompok Quincke, 5 org (10%) dan hanya 1 org (2 %) pasien dalam kelompok Whitacre yang mengalami PDPH, tapi dari perbandingan statistik, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.

Jumlah kejadian PDPH dibagi menjadi 4 rentang waktu observasi, yakni 6 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam paska spinal anestesia. Didapat hasil-hasil sebagai berikut.

4.5.2 Insidensi PDPH 6 jam paska spinal

Tabel 4.5-2. Insidensi PDPH 6 jam paska spinal

Insidensi

PDPH 6 jam Whitacre Quincke Total p

Negatif 50 (100%) 49 (98%) 99

Positif 0 1 (2%) 1 1.000*

*uji Chi square

(46)

4.5.3 Insidensi PDPH 24 jam paska spinal

Tabel 4.5-3. Insidensi PDPH 24 jam paska spinal

Insidensi

PDPH 24 jam Whitacre Quincke Total p

Negatif 50 (100%) 49 (98%) 99

Positif 0 1 (2%) 1 1.000*

*uji Chi square

Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=1.000, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 24 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.

4.5.4 Insidensi PDPH 48 jam paska spinal

Tabel 4.5-4. Insidensi PDPH 48 paska spinal

Insidensi

PDPH 48 jam Whitacre Quincke Total p

Negatif 49 (98%) 45 (90%) 94

Positif 1 (2%) 5 (10%) 6 0.204*

*uji Chi square

Dari hasil di atas dilakukan uji Chi square didapat hasil p=0.204, sehingga tidak ada perbedaan bermakna yang signifikan terhadap insidensi PDPH 48 jam paska spinal pada kedua kelompok ini.

4.5.5 Insidensi PDPH 72 jam paska spinal

Tabel 4.5-5. Insidensi PDPH 72 jam paska spinal

Insidensi

PDPH 72 jam Whitacre Quincke Total p

Negatif 50 (100%) 48 (96%) 98

(47)

*uji Chi square

(48)

4.6 Keparahan PDPH

Keparahan dari kejadian PDPH selama pemantauan 6 jam paska, spinal, 24 jam, 48 jam dan 72 jam dapat dilihat dari tabel-tabel berikut ini.

4.6.1 Keparahan PDPH 6 jam paska spinal

Tabel 4.6-1. Keparahan PDPH 6 jam paska spinal

Keparahan

Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=1.000, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 6 jam paska spinal.

4.6.2 Keparahan PDPH 24 jam paska spinal

Tabel 4.6-2. Keparahan PDPH 24 jam paska spinal

(49)

Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=0.495, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 24 jam paska spinal.

4.6.3 Keparahan PDPH 48 jam paska spinal

Tabel 4.6-3. Keparahan PDPH 48 jam paska spinal

Keparahan

Dari data di atas dilakukan uji Chi square dengan hasil p=0.131, berarti tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap keparahan PDPH yang terjadi pada kedua kelompok jarum 48 jam paska spinal.

4.6.4 Keparahan PDPH 72 jam paska spinal

Tabel 4.6-4. Keparahan PDPH 72 jam paska spinal

Keparahan

(50)

4.7 Hubungan insidensi PDPH dengan banyaknya tusukan

Dalam penelitian dilakukan analisa data terhadap banyaknya tusukan dengan insiden kejadian PDPH, yang bisa dilihat dari tabel data di bawah ini.

Tabel 4.7-1. Hubungan banyak tusukan dengan PDPH

Insidensi PDPH Banyak Usaha

Tusukan Negatif Positif

Total

p

1 kali tusukan 57 3 60

2 kali tusukan 23 2 25

3 kali tusukan 12 0 12

4 kali tusukan 2 1 3

0.170*

*uji Chi square

Dari data di atas dilakukan analisa dengan tes uji Chi square dan didapatkan hasil p=0.170, berarti tidak ada hubungan kejadian PDPH dengan banyaknya usaha tusukan spinal.

Untuk lebih jelasnya gambaran hubungan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH ini dapat dilihat melalui grafik (4.7-1) di bawah ini.

(51)

BAB 5

5

PEMBAHASAN

5.1 Gambaran Umum

Dari data umum karakteristik sampel terlihat bahw umur, jenis kelamin, PS ASA dan jenis operasi antara kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik, sehingga sampel yang diambil relative homogen dan layak untuk dibandingkan.

5.2 Banyak Usaha Tusukan

Banyaknya usaha tusukan diperhitungkan karena tingkat kesukaran dalam penggunaan jarum Whitacre diperkirakan sedikit lebih sulit dibandingkan penggunaan jarum Quincke yang sudah lazim dipakai.

Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap kegagalan tindakan anestesi dengan 27G Quincke 8.5% dan 27G Whitacre 5.5%.14

(52)

Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa walau penggunaan jarum Whitacre sedikit lebih sulit, tetapi tingkat kesulitan dalam penggunaannya tidak jauh berbeda dengan jarum Quincke secara statistik.

5.3 Insidensi PDPH

Keluhan PDPH diduga merupakan akibat dari hilangnya cairan cerebrospinal ke dalam ruang epidural. Hal ini disebabkan terjadinya robekan akibat penggunaan jarum spinal. Diperkirakan besar dan tipe jarum antara cutting point dengan pencil point dapat mengurangi insidensi PDPH yang timbul.

Dari penelitian Lynch dkk, menggunakan jarum spinal 27G Quincke dan 27G Whitacre pada pasien-pasien ortopedik dengan spinal anestesi, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua tipe jarum dengan 27G Quincke 1.1% dan 27G Whitacre 0.5%.14 Sebaliknya, pada penelitian Ripul dkk, yang membandingkan insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke dengan 25G Whitacre pada pasien-pasien obstetrik, menemukan bahwa ada perbedaan yang bermakna terhadap kejadian insidensi PDPH antara jarum 25G Quincke (9%) dan 25G Whitacre (1%).12 Begitu juga dengan penelitian Irawan dkk dan Shah dkk yang meneliti insidensi PDPH pada pasien paska seksio caesarea dengan 3 jarum spinal, yakni 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G pencil point, didapatkan ada hubungan bermakna insidensi PDPH dengan tipe jarum yang digunakan, dimana jarum Whitacre 27G memiliki insidensi yang lebih kecil dibandingkan jarum 25G dan 27G Quincke.

(53)

Hasil penelitian ini memberikan hasil yang serupa seperti yang dilakukan oleh Lynch dkk, dan berbeda dengan hasil yang dilakukan oleh Irawan, Shah maupun Ripul, kemungkinan disebabkan sampel pasien yang digunakan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Irawan, Shah dan Ripul, populasi sampel adalah pasien-pasien obstetrik paska section caesarea dengan spinal anestesi. Dimana pada pasien-pasien obstetrik, terutama pasien-pasien yang hamil, ketebalan dura maternya berbeda dengan pasien yang tidak hamil. Tekanan dari rongga abdomen menyebabkan ruang subarakhnoidnya lebih kecil dan duramaternya cenderung lebih rapuh dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini menyebabkan insidensi PDPH pada pasien-pasien wanita hamil cenderung lebih sering terjadi.17 Sedang pada penelitian ini, wanita hamil tidak diikut sertakan sebagai sampel guna mengurangi bias yang ditimbulkan. Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Lynch dkk, sehingga hasil penelitian ini hampir serupa dengan hasil yang dilakukan oleh Lynch.

Ada kemungkinan bahwa hasil penelitian bisa menjadi berbeda bila sampel pasien termasuk pasien-pasien hamil, atau sampel hanya terdiri dari pasien-pasien hamil saja.

5.4 Keparahan PDPH

Diperkirakan keparahan dari PDPH yang timbul bisa disebabkan oleh besarnya robekan yang ditinggalkan akibat tusukan jarum spinal.

(54)

5.5 Hubungan banyaknya tusukan dengan Insidensi PDPH

Diperkirakan bahwa semakin besar lubang atau robekan yang timbul akibat jarum, semakin besar pula insidensi PDPH yang timbul. Diasumsikan bahwa semakin banyak usaha tusukan, semakin banyak lubang yang terjadi, maka semakin besar insidensi PDPH yang terjadi.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk (2009) dengan menggunakan jarum 23G Quincke membandingkan banyaknya tusukan dengan insidensi PDPH, didapat ada hubungan yang signifikan terhadap banyaknya usaha tusukan dengan tingginya insidensi.18 Akan tetapi penelitian Kang SB dkk, menemukan bahwa pada jarum-jarum yang lebih kecil 26G dan 27G tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara banyaknya tusukan dengan tingginya insidensi PDPH.19

(55)

BAB 6

6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap insidensi PDPH antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.

2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik terhadap keparahan PDPH antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.

3. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap banyaknya usaha tusukan antara jarum spinal Whitacre dan Quincke.

4. Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya hubungan antara banyaknya usaha tusukan jarum spinal dengan insidensi PDPH.

6.2 Saran

1. Jarum Quincke 27G menunjukkan kemampuan yang sama secara statistik dalam mengurangi insidensi dan keparahan PDPH pada pasien-pasien anestesi spinal dibandingkan dengan jarum Whitacre 27G.

2. Penggunaan jarum Whitacre 27G ternyata dapat diterima dan dipakai pada ruang lingkup pendidikan dokter spesialis anestesi berhubung tingkat kesukaran dalam banyaknya usaha tusukan tidak berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan jarum Quincke 27G.

(56)

4.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah A, Bhatia PK, Tulsiani KL. Postdural puncture headache in Caesarean Section – A comparative study using 25G Quincke, 27G Quincke and 27G Whitacre needle. Dalam : Indian Journal of Anaesthesiology, 456,2002,hal:373-7.

2. Shutt LE, et al. Spinal anaesthesia for Caesarean section: comparison of 22 gauge and 25 gauge Whitacre needle with 26 gauge Quincke needles. Dalam : Anesthesia Journal, 69, 1992, hal: 589-4.

3. Holdgate A, Cuthbert K. Perils and pitfalls of lumbar puncture in the emergency department. Dalam: Emergency Medicine, Fremantle, 13(3), 2001 Sep,hal: 351-8.

4. Kleinman, Wayne, Mikhail, Maged. Spinal, epidural and caudal blocks. Dalam: Clinical Anesthesiology, Lange, Edisi 4. 2006, hal: 319.

5. Hart JR, Whitacre RJ. Pencil point needle in prevention of post spinal headache. 147, 1951, hal:. 657-658.

6. Kaul TK, Chopra H, Gautam PL. Hearing Loss after spinal Anesthesia relation to needle size. Dalam: Journal of Anesthesia Clinical Pharmacology, 12, 1996, hal: 113-6.

7. Eerola M, Kaukinen L, Kaukinen S. Fatal brain lesion following spinal anaesthesia. Dalam: Acta Anaesthesiology Scandinavia 25, 1981, hal:115-6.

8. Gerrtse BJ, Gielen MJ. Seven months delay for epidural blood patch in PDPH.

(57)

9. Zeidon A, et al. Does PDPH left untreated lead to subdural haematoma? Case report and review of the literature., Dalam: International Journal of Obstetric Anesthesiology, 15, 2006, hal: 50-8.

10. Hawkins JL, et al. Anesthesia-related deaths during obstetric delivery in the United States. Dalam: Anesthesiology, 1997, Vol. 86, hal: 277-84.

11. Reid JA, Thorburn J. Headache after spinal anesthesia. Dalam: British Journal of Anesthesia, 1991. hal: 674-7.

12. Ripul Oberoi, et al. Incidence of Post Dural Puncture Headache: 25 Gauge Quincke VS 25 Gauge Whitacre Needles. Dalam: Journal of Anaesthesiology of Clinical Pharmacology, 25, 2009, hal: 420-2.

13. Hwang JJ and Ho ST, Wang JJ, Liu HS. Post dural puncture headache in cesarean section: comparison of 25-gauge Whitacre with 25- and 26-gauge Quincke needles. Dalam: Acta Anaesthesiology Singapore, 35(1), Mar 1997,hal: 33-7.

14. Lynch J, Kasper SM, Strick K, Topalidis K, Schaaf H, Zech D, Krings-Ernst. The use of Quincke and Whitacre 27-gauge needles in orthopedic patients: incidence of failed spinal anesthesia and postdural puncture headache. Dalam: Anesthesiology Analgesia, 79, Jul 1994, Vol. 1, hal: 124-8.

15. Irawan Dino, Tavianto Doddy and Surahman Eri. Kejadian Post Dural Puncture Headache dan Nilai Numeric Rating Scale Pada Pasien Paska Seksio Cesarea Dengan Anestesi Regional Spinal Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK Unpad, 2010, hal: 1-30.

(58)

17. Turnbull D K, Shepherd D. B.Post-dural puncture headache: pathogenesis, prevention and treatments. Dalam: British Journal of Anaesthesia, 91(5), 2003, hal: 718-29.

18. Singh, Ranju, Padmaja, S. and Jain, Aruna. Incidence of Post Dural Puncture Headache with a 23 G Quincke Needle in Emergency Lower Segment Caesarean Section - an Audit. Dalam: Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 25(4), 2009, hal: 486-90.

19. Kang B, Seuk et al. Comparison of 26G and 27G Needles for Spinal Anesthesia or Ambulatory Surgery Patients. Dalam: Anesthesiology, 76, 1992, hal: 734-8.

20. Shaikh, Jan Muhammad, et al. Post dural puncture headache after spinal anaesthesia for caesarean section: a comparison of 25g quincke, 27g quincke and 27g whitacre spinal needles. Dalam: J Ayub Med Coll Abbottabad, 20(3), 2008, hal: 1-4.

21. Kotur PF. Evidence Based Management of Post Dural Puncture Headache.

Dalam: Indian Journal of Anaesthesiology, 50 (4), 2006, hal: 307-8.

22.Schwalbe, Steve. Pathophysiology and Management of Post-dural Puncture Headache: A Current Review. Society of Obstetric Anesthesia and Perinatology. 2000. Diambil dari:http://www.soap.org/media/newsletters/fall2000/pathophysio logy_management.htm

(59)

LAMPIRAN 1: RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : Dr. Edlin

Tempat/Tgl Lahir : Banda Aceh,26 Februari 1981

Agama : Islam

Alamat Rumah : Jl. Sei Bahorok Gg. Keplor No.30 Medan

Nama Ayah : dr. Nadi Zaini Bakri, SpAn

Nama Ibu : Rita Zulmi

Status : Belum Menikah

RIWAYAT PENDIDIKAN

1980-1986 : TK Bintang Kecil

1986-1989 : SD Harapan I Medan

1989-1992 : SMP Harapan I Medan

1996-1999 : SMU Negeri 1 Medan

1999-2006 : S1 Pend. Dokter Fakultas Kedokteran USU Medan

(60)

LAMPIRAN 2: LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Assalamualaikum Wr.Wb,

Bapak/Ibu/Saudara/i Yth.

Saya, Dr. Edlin, saat ini menjalani program pendidikan dokter spesialis Anestesiologi dan Reanimasi akan melakukan penelitian,

Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal

Dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pilihan tipe jarum spinal yang dapat mengurangi kejadian dan keparahan dari PDPH atau nyeri kepala setelah tindakan pembiusan melalui tulang belakang pada daerah punggung (pembiusan spinal).

Bapak/Ibu/Saudara/I Yth,

Penelitian ini menyangkut pelayanan tindakan pembiusan pada pasien yang menjalani operasi dengan pembiusan melalui tulang belakang (spinal). Yang dimaksud dengan pembiusan melalui tulang belakang (spinal) adalah pasien mendapatkan pembiusan separuh badan, pasien tetap sadar namun bagian tubuh yang dibius tidak merasa sakit/ sedikit merasa sakit karena telah mendapatkan pembiusan. Diharapkan operasi dapat berlangsung sesuai dengan perkiraan dokter bedah dan anestesi. Tetapi apabila operasi tidak dapat berlangsung sesuai perkiraan dan operasi berlangsung lebih lama maka tehnik pembiusan akan dipertimbangkan kembali mengenai apakah perlu atau tidak untuk beralih ke pembiusan umum.

(61)

perhatikan terus setiap hari sampai 3 hari ke depan setelah operasi. Apabila nyeri kepala ini bersifat mengganggu dan tidak nyaman, maka peneliti akan memberikan dan melakukan penanganan standar yang sesuai dengan prosedur yang sudah diterima secara luas terhadap penanganan PDPH. Hal ini termasuk pemberian cairan tambahan, obat-obatan anti sakit dan stagen perut.

Untuk lebih jelasnya, pada saat turut serta sebagai sukarelawan pada penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/I akan menjalani prosedur penelitian sebagai berikut:

1. Sukarelawan akan dibagi menjadi dua kelompok yang akan mendapatkan dua tipe jarum yang berbeda, yakni Quincke 27G atau Whitacre 27G.

2. Obat bius akan dimasukkan melalui jarum tersebut ke daerah punggung dan berselang beberapa menit sukarelawan akan kehilangan sensasi nyeri dan gerak pada daerah bagian bawah tubuhnya. Waktu dan banyak usaha tusukan akan dicatat.

3. Setelah sudah dipastikan bahwa sukarelawan tidak merasakan sensasi nyeri, maka operasi akan dimulai.

4. Enam jam setelah tusukan, sukarelawan akan didatangi oleh peneliti yang akan menanyakan keadaan dan kondisi nyeri kepalanya. Apabila nyeri kepala timbul saat sukarelawan berubah posisi dari tidur ke duduk atau berdiri dan nyeri menghilang bila pada posisi tidur telentang, maka pasien mengalami PDPH. Nyeri kepala yang tidak sesuai dengan kondisi ini tidak termasuk nyeri kepala PDPH.

5. Peneliti akan kembali memeriksa keadaan dan kondisi nyeri kepala pasien pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam setelah tusukan jarum spinal.

6. Apabila pasien sudah pulang dan waktu penelitian belum selesai, maka peneliti akan menghubungi sukarelawan melalui nomor telepon yang telah ditinggalkannya.

(62)

081-263888409) untuk dapat pertolongan. Selain itu penelitian ini juga diawasi dan di supervisi oleh konsultan dan dokter ahli dari bagian Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/I sangat diharapkan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini yang akan diperkirakan memakan waktu lebih kurang 3 hari. Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan kepada peneliti : Dr. Edlin

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/I yang telah terpilih sebagai sukarelawan pada penelitian ini, dapat mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah disiapkan. Harap dimaklumi bahwa keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/I dalam penelitian ini bersikap sukarela dan tanpa paksaan apapun.

Medan, November 2010

Peneliti

(63)
(64)

LAMPIRAN 4: PERSETUJUAN KESEDIAAN MENSUBJEK PENELITIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ... Umur : ... Alamat : ... Pekerjaan : ...

No. Telepon yang dapat dihubungi : ………..

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami tentang tujuan, manfaat serta resiko yang mungkin timbul, seperti nyeri kepala yang berat, dalam penelitian berjudul : Perbandingan Insidensi Post Dural Puncture Headache Setelah Anestesia Spinal Dengan Jarum 27G Quincke dan 27G Whitacre

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka saya setuju ikut serta/ mengikut sertakan anak/adik/ayah/ibu/suami/istri saya yang bernama: ……… dalam uji penelitian dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam penelitian tersebut di atas.

Medan,………...2010

Mengetahui, Yang menyatakan,

Penanggung Jawab Penelitian Peserta Uji Klinik

(Dr.Edlin) (Nama Jelas : ...)

(65)
(66)

LAMPIRAN 5: LEMBARAN OBSERVASI PERIOPERATIF PASIEN

WAKTU INSERSI JARUM SPINAL :

BANYAK USAHA INSERSI :

Mulai Kerja Blok Sensorik : Mulai Kerja Blok Motorik : Monitoring Durante Operasi

Periode Inspeksi Klasifikasi PDPH

6 jam paska injeksi spinal

24 jam paska injeksi spinal

48 jam paska injeksi spinal

72 jam paska injeksi spinal

Tingkat keparahan PDPH

Ringan

Tidak ada gangguan dalam aktivitas

Tidak dibutuhkan penanganan

Sedang

Terjadi gangguan dalam aktivitas

Dibutuhkan analgesia secara regular

Berat

Hanya dapat berbaring di tempat tidur

(67)

LAMPIRAN 6: DATA HASIL PENELITIAN

No  Nam Umu Kelamin Jenis  Tindakan  ASA PS  Badan Berat  Tinggi Badan  Jenis  Banyak Usaha 

PDPH 6 

2  MD  25  Pria  Refrakturisasi + Skeletal traksi  1  58  165  Spinocan  2  ‐  ‐  ‐  ‐  0  0  0  0 

(68)
(69)

Gambar

Gambar 1. Jenis Tipe Jarum
Gambar 2. Spinal cord dan nerve roots
Gambar 3. Kerangka Konsep
Gambar 4. Alur Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Persiapan: Seluruh petugas pemulasaran jenazah harus menjalankan kewaspadaan standar ketika menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular dengan

Investasi dalam kelompok dimiliki hingga jatuh tempo adalah aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan,

Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk P2K3 guna mengembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi aktif dari pengusaha / pengurus dan tenaga kerja

Untuk membangun pengelolaan keuangan yang baik maka diperlukan adanya komitmen organisasi yang tinggi dan harus diterapkannya sistem pengendalian intern pemerintah yang kuat pada

Budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap perilaku para karyawan, sehingga jika budaya organisasi pada suatu organisasi atau instansi baik, maka tidak

1) Untuk tingkat keterisian (load factor) perlu dilakukan perbaikan dengan melakukan perbaikan pelayanan yang dibarengi dengan usaha untuk mempromosikan pemakaian

Rumusan Masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan pengamalan karakter patriotisme yang terjadi antara etnis Melayu dengan etnis Tionghoa siswa

Pada kutipan di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan konjungsi atau sudah tepat karena menghubungkan dua verba yang setara yaitu memiskinkan dan