• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola penanganan konflik lembaga swadaya masyarakat arus pelangi dengan fronk pembela Islam dan hizrut tahrir Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola penanganan konflik lembaga swadaya masyarakat arus pelangi dengan fronk pembela Islam dan hizrut tahrir Indonesia"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PENANGANAN KONFLIK LEMBAGA SWADAYA

MASYARAKAT ARUS PELANGI DENGAN FRONT

PEMBELA ISLAM DAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S.Sos)

Oleh Nur Sakinah

NIM : 105032201073

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….……….…….………..i

KATA PENGANTAR………...……..………iii

DAFTAR ISI………...…...…….……….vi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….………..…..……1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….……...…6

C. Metodologi Penelitian………..……..…..…...7

D. Tujuan Penelitian………..……….….9

E. Sistematika Penulisan………..………..….11

BAB II. LANDASAN TEORI DAN DEFINISI A. Konflik………..….….….…14

1.

Latar belakang Konflik……..…….…....………...17

B. Orientasi Seksual dan Perilaku Seksual yang Berbeda…...…19

1.

Definisi Homoseksualitas……….……..…...22

2.

Latar Belakang Berkembangnya Orientasi Seksual Berbeda..………..…..…25

(10)

BAB III. GAMBARAN UMUM LEMBAGA ARUS PELANGI

A. Latar belakang dan Sejarah Berdirinya Arus Pelangi………..41 B. Profil Arus Pelangi………....….….45 C. Visi dan Misi Arus Pelangi………...47 D. Program Kerja Arus Pelangi………....48

BAB IV. POLA PENANGANAN KONFLIK LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT ARUS PELANGI DENGAN FRONT PEMBELA

ISLAM DAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

A. Latar Belakang Timbulnya Homophobia pada Masyarakat...53 B. Dampak Tekanan Masyarakat Agama serta Sosial pada Kaum Homoseksual………..………....…..63 C. Konflik Arus Pelangi dengan Front Pembela Islam

dan Hizbut Tahrir Indonesia……….………..….66 D. Pola Penanganan Konflik Lembaga Swadaya Masyarakat Arus

(11)

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan

……….……..….80

B. Saran…….……….……...…..82

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang penulisan skripsi ini khusus membahas tentang pola penanganan konflik Arus Pelangi dengan masyarakat agama khususnya HTI dan FPI. Arus Pelangi adalah salah satu organisasi yang berfungsi sebagai organisasi yang membela hak-hak komunitas lesbian, gay, biseks, dan transgender. Sedangkan Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah dua organisasi masyarakat agama yang selalu aktif menolak jika terdapat sesuatu yang dianggap keluar dari ketentuan norma agama dan masyarakat. Penulis sangat tertarik untuk membahas tentang homoseksualitas karena Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (L.G.B.T) masih merupakan komunitas yang minoritas baik dari segi jumlah maupun pendapatan haknya dalam masyarakat dan selalu mendapatkan tekanan baik dari masyarakat sosial maupun agama. Selain itu juga masih belum banyak pembahasan tentang L.G.B.T dalam bentuk pembahasan ilmiah. Selama ini jumlah bacaan tentang homoseksualitas lebih banyak bacaan popular kalaupun ada masih dalam bentuk ilmiah jumlahnya masih agak terbatas. Alasan lain penulis ingin membahas tentang homoseksualitas karena masih banyak masyarakat yang homophobia (memiliki rasa ketakutan atau menolak pada kaum homoseksual) dan tidak memiliki informasi yang cukup tentang L.G.B.T. Maka

(13)

2 dari itu penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang homoseksualitas yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi homophobia dan melakukan tekanan pada kaum homoseks, dari sini diharapkan akan dapat mengedukasi masyarakat yang mengalami homophobia atau memiliki rasa ketakutan kepada kaum homoseks.

Penelitian dilakukan di lembaga swadaya masyarakat Arus Pelangi karena lembaga ini merupakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus membela hak-hak L.G.B.T yang ada di Jakarta. Meskipun Jakarta merupakan kota metropolitan dan masyarakatnya terbilang cukup majemuk namun masih ada beberapa kalangan masyarakat yang masih homophobia. Dengan melihat respon Arus Pelangi sebagai LSM yang bergerak membela hak-hak L.G.B.T dan beranggotakan tidak hanya homoseksual saja namun juga kaum heteroseksual maka akan lebih mudah untuk melihat pola penanganan masalah LSM Arus Pelangi serta respon L.G.B.T yang ada di dalamnya ketika berhadapan dengan konflik yang datang dari masyarakat agama.

(14)

3 memiliki kendali atas hidup mereka dan kelompok mayoritas yang memiliki kontrol atas hidup mereka, sehingga keolompok minoritas tidak dapat mempertahankan hak mereka atas pilihan hidup mereka, karena mereka dituntut untuk sesuai dengan aturan mayoritas.1

Sebagian besar masyarakat masih menganggap hubungan antarsesama jenis atau adanya perubahan jenis kelamin adalah hal yang sangat tidak lazim. Masyarakat akan menganggap individu yang melakukan hal tersebut dianggap kurang cocok untuk berada dalam lingkungan yang sama dengan komunitas mayoritas yang dianggap lebih normal. Tidak jarang pula individu atau komunitas ini dianggap sebagai komunitas yang tidak biasa terutama oleh kaum fundamentalis agama apapun. Namun, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, kita akan mampu memahami hal yang berbeda. Langkah awal untuk memahaminya dapat dimulai dari sisi interaksi komunitas homoseksual terutama kaum gay, lesbian, transgender, biseksual dengan lingkungan bagaimana mereka diterima dalam lingkungan mereka, apa yang mereka lakukan untuk dapat diterima oleh lingkungan mereka, bagaimana perilaku lingkungan terhadap mereka, yang kemudian mereka berjuang untuk mendapatkan persamaan hak yang sama ketika mereka bebas menyuarakan pilihan tentang orientasi seksualnya. Namun pada kenyataannya sering terjadi adanya penolakan keras terhadap adanya penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan mereka.

1

(15)

4 Masing-masing faktor tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan lingkungan sosial dalam masyarakat, terutama agama dan kepercayaan. Kedua hal ini memiliki peran yang paling penting dalam pertumbuhan peradaban manusia. Di dalamnya terdapat nilai serta norma yang mengatur apa yang sebaiknya dilakukan oleh manusia. Bagi kaum homoseksual sebuah agama bukanlah hal yang sepenuhnya sakral, melainkan sangat profan. Agama dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dari persepsi umum yang biasanya. Terlepas dari itu semua yang berhubungan dengan manusia beserta Penciptanya adalah hal yang pribadi. Sama halnya dengan pilihan orientasi seksual atau pilihan hidup keduanya sama-sama hal yang bersifat pribadi dan tidak dapat dipengaruhi oleh pihak luar dalam pengambilan keputusan tersebut.

Masyarakat bukanlah suatu hal yang berbeda dari proyeksi manusia, karena awal terbentuknya masyarakat berawal dari sekumpulan manusia yang tinggal pada suatu wilayah yang sama, dalam kehidupan ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sekurang-kurangnya terdapat dua syarat dalam terjadinya suatu interaksi yaitu adalah terjadinya kontak sosial dan komunikasi.2 Kedua hal ini saling tergantung dari feedback yang diberikan kepada orang tersebut. Mulai dari bagaimana lawan bicara memberi tanggapan dan penafsiran yang diberikan kepada kita hingga reaksi yang dikeluarkan oleh lawan bicara. Karena hal itulah manusia cenderung untuk menuntut sebuah keteraturan.

2

(16)

5 Menuntut segala sesuatunya sesuai dengan keadaan umum masyarakat mayoritas dengan mendorong keinginan dan persepsi pribadinya ke dalam perspektif masyarakat secara halus kemudian mereka secara bersama memutuskan apa yang menurut mereka baik dari sudut pandang yang subjektif. Ini merupakan sebuah pembahasan yang menarik untuk dikaji dan diteliti, terutama bagi kelompok-kelompok minoritas ini merupakan suatu hal yang penting supaya mereka dapat memperjuangkan hak mereka agar dapat dipandang sebagai bagian masyarakat yang seutuhnya. Dengan demikian dalam negeri ini tidak akan terjadi ketimpangan sosial yang kemudian menimbulkan tekanan yang secara khusus merupakan tekanan dari penganut agama, pihak yang mengutamakan agama, demi agama dan mendapatkan reward atau pahala ia akan melakukan apapun terkadang dilakukan tidak melihat atau mempertimbangkan hak asasi manusia yang lain terlebih pada zaman sekarang di mana semuanya cenderung berlaku anarkis jika semua tindakan harus sesuai dengan keinginan mayoritas.

(17)

6 mengetahui pola penanganan masalah atau konflik seperti apa yang akan dilakukan oleh Arus Pelangi dalam menghadapi tekanan tersebut.

Penulis akan mencoba membuka cakrawala baru kepada masyarakat untuk lebih memahami sikap serta mudah berinteraksi dengan komunitas L.G.B.T, serta bagaimana masyarakat dapat lebih terbuka dalam menerima perbedaan dilingkungan masing-masing dan bagaimana mereka bisa menyadari bahwa setiap manusia atau individu dan komunitas berhak untuk mendapatkan kebebasan untuk memilih. Ini penting karena masyarakat cenderung menolak sesuatu yang dinilai diluar kebiasaan norma. Mereka akan memberlakukan hukuman entah itu sanksi yang berdasarkan hukum tertulis atau tidak (sanksi norma atau dikucilkan) terhadap mereka yang dinilai bersebrangan. Hal ini secara langsung atau tidak langsung akan memberikan tekanan pada komunitas „yang tidak diinginkan‟. Untuk itu dalam skripsi kali ini penulis akan mencoba mengkaji atau meneliti dari hal-hal yang telah dipaparkan tadi.

Berawal dari beberapa pernyataan dan penjabaran diatas maka penulis akan membahas tentang “Pola Penanganan Konflik Lembaga Swadaya

(18)

7 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan tentang masalah komunitas yang memperjuangkan hak-hak gay, lesbian, transgender, atau biseksual yang berkembang di Indonesia, terutama di Jakarta, merupakan salah satu rahasia umum yang telah berkembang di masyarakat selama beberapa waktu. Karena luasnya cakupan pembahasan tentang komunitas gay, lesbian, transgender, atau biseksual, penulis akan membatasi pemaparan tulisan ini hanya pada respon Arus Pelangi menghadapi tekanan masyarakat agama terhadap perbedaan perilaku berdasarkan orientasi seksual yang berbeda dari lesbian, gay, transgender serta biseksual. Ruang lingkup pembahasannya akan membahas komunitas L.G.B.T yang ada di Arus Pelangi serta lembaga Arus Pelangi itu sendiri. Pembahasan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini merupakan pembahasan secara sosiologis dengan tema yang dipersempit.

Tulisan ini akan mengacu pada satu pertanyaan umum atau rumusan masalah utama yaitu, ingin mengetahui bagaimana polapenanganan konflik yang dilakukan Arus Pelangi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI)? .

C. Metodologi Penelitian

(19)

8

berkaitan dengan akar masalah akan diwawancarai. Sesuai dengan pendekatan etnografis penulis akan menyajikan tulisan atau laporan berdasarkan hasil penellitian lapangan (field work) yang dilakukan beberapa bulan tertentu.3 Yang mana penelitian dalam skripsi ini telah dilakukan kurang lebih selama dua tahun. Merujuk pada penelitian etnografi baru yang telah dilakukan oleh Malinowski, penelitian ini memusatkan objeknya pada organisasi internal suatu masyarakat atau komunitas dan memberikan system sosial dalam rangka untuk mendapatkan kaidah-kaidah umum tentang masyarakat sehingga disini dapat dipahami apa yang melatar belakangi masyarakat melakukan suatu tindakan.4

Sejumlah sumber data yang akan digunakan dalam tulisan ini antara lain adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berupa hasil penelitian yang didapatkan dari objek penelitian. Sedangkan sumber data sekunder berupa tulisan-tulisan penelitian yang sudah ada dan khusus membahas tentang homoseksualitas. Sebagai penunjangnya akan digunakan tulisan-tulisan atau data-data lain yang dapat menunjang validitas hasil penelitian ini serta hasil dari data yang didapat dari para ahli kejiwaan atau para tokoh yang mengerti tentang masalah ini. Dengan menggunakan sumber-sumber yang bervariasi

3

Untuk teori Etnografi lihat : James, P.Spradley, Metode Etnografi (Jogja: Tiara Wacana, 1997), h. XV

4

(20)

9

tersebut diharapkan dapat terbangun sebuah argumentasi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan.

(21)

10 Sedangkan metode penulisan pada pembahasan ini mengacu pada panduan buku Pedoman Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008/2009.

D. Tujuan Penelitian

Dari sekian banyak uraian yang disajikan, pembahasan tulisan ini memiliki tujuan inti,masing-masing:

1. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang respon komunitas gay, lesbian,transgender serta biseksual, (L.G.B.T) yang ada di komunitas Arus Pelangi terhadap tekanan masyarakat agama. 2. Mengetahui sejauhmana pemahaman masyarakat terutama dalam lingkungan inti seperti keluarga, neighboorhood serta masyarakat tentang homoseksualitas.

3. Mengetahui sejauhmana peran keluarga dalam memberikan bimbingan agama kepada L.G.B.T. 4. Mengedukasi masyarakat yang homophobia

(22)

11 5. Mengetahui pola penanganan konflik yang akan atau telah dilakukan oleh Arus Pelangi menghadapi konflik yang telah terjadi selama ini. 6. Menjadi jembatan dialog bagi kedua belah pihak

yakni masyarakat umum serta individu atau kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda, untuk menentukan batasan acuan bersama agar mendapatkan wawasan yang baru tentang homoseksualitas serta memberi pengetahuan dan pendidikkan tentang homosekual dan transgender agar masyarakat yang ingin tahu lebih lanjut tentang hal tersebut dan terhindar dari pengetahuan yang salah.

7. Memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan S1 pada Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

(23)

12 akan dibahas mulai dari landasan pemikiran sampai sistematika penyusunan skripsi yang ditulis secara terperinci dan detail mengenai metode penelitian apa yang akan digunakan, latar belakang pemilihan judul, sampai metode apa yang akan digunakan dalam pengumpulan data.

Selanjutnya Bab keduasecara umum membahas tentang landasan teori dari tekanan sosial dan perilaku menyimpang serta juga akan dibahas secara terperinci tentang kedua variabel pembahasan skripsi ini. Keduanya akan dibahas secara terpisah hingga dapat dimengerti secara baik. Bab ini akan membahas bagaimana sejarah mulai terbentuknya perilaku berdasarkan orientasi seksual yang berbeda seperti homoseksualitas dari mulai zaman nabi hingga sekarang yang kemudian hal ini menjadi sebuah momok yang tumbuh dalam masyarakat heteroseksual merasakan adanya suatu hal yang “di luar” biasanya. Dalam bab kedua ini akan dipaparkan juga historisitas tentang homoseksualitas kali pertama tumbuh sebagai sebuah bagian dari ritual sakral dalam kegiatan suatu budaya masyarakat tertentu lalu berubah menjadi suatu hasrat terpendam dari homoseksualitas. Yang tak kalah penting, dalam bab ini juga akan dibahas beberapa pendapat penting dari tokoh-tokoh terkenal tentang homoseksualitas.

(24)

13 tentang latar belakang didirikannya, visi misi, tujuan dibentuk, apa dan bagaimana kinerja Arus Pelangi organisasi yang membela L.G.B.T yang mendapat perlakuan tidak adil. Selain itu bab ini juga akan membahas berbagai program baik program yang ingin dicapai kedepannya maupun yang sudah dicapai.

(25)
(26)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN DEFINISI

C. Konflik

Manusia adalah makhluk sosial. Setiap aktivitas kesehariannya selalu melibatkan manusia sepanjang hari dan sepanjang waktu. Tentu banyak kegiatan atau aktivitas yang membutuhkan kerjasama, kepercayaan dan koordinasi antar manusia. Kerjasama tersebut tidak selamanya berjalan baik, bahkan sering mengalami bentrok akibat adanya paham dan sifat yang berbeda antara satu manusia dengan yang lainnya sehingga tak jarang pula menimbulkan konflik. baik itu konflik berupa ideologi, keyakinan, konflik antar ras, suku, agama.

Manusiapun cenderung untuk menolak suatu hal yang berada di luar aturan norma adat dan agama. Untuk menghindari terjadinya konflik dibutuhkan kontrol sosial. Kontrol sosial memiliki sifat yang mengekang dan mengikat untuk menjaga masyarakat agar tetap berada dalam jalur masyarakat sebagaimana mestinya yang telah ditetapkan bersama (kontrak sosial) yang sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. 5 jika terdapat kelompok yang berada di luar aturan dan norma maka mereka menganggapnya sebagai kelompok yang menyimpang.

14

5

(27)

15 Perilaku menyimpang dapat terjadi karena dua faktor, masing-masing faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat terjadi karena adanya perbedaan pada faktor genetik atau kepribadian yang ada pada manusia baik itu individu maupun yang tergabung dalam kelompok. Contohnya adalah adanya kelainan pada gen, atau susunan saraf pada otak yang berbeda6. Sementara faktor eksternal berasal dari lingkungan sekitar manusia tersebut, mulai dari keluarga, lingkungan tempat tinggal, masyarakat luas hingga institusi-institusi terkait seperti sekolah, kantor, tempat kursus, dan lain-lain. Hal ini juga berlaku hal yang sama pada cara didik lingkungan sekitar, perlakuan orang lain terhadap manusia tersebut, dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan interaksi sosial manusia baik dengan individu ataupun kelompok. Perilaku seperti ini mungkin saja terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah negatif walaupun tidak seluruhnya dapat membawa dampak negatif atau memiliki niat yang negatif. Perilaku menyimpang tidak terbentuk dalam waktu singkat, namun merupakan akumulasi dari serangkaian kejadian yang dialami oleh individu atau kelompok yang mengalaminya. Serangkaian kejadian tersebut terjadi dalam lingkungan hidup manusia dan tidak lepas dari peran masyarakat karena manusia bagian dari masyarakat, dan masyarakat tidak dapat terbentuk tanpa adanya manusia. Mereka pula yang memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian

6

(28)

16 individu atau kelompok tersebut menjadi menyimpang atau tidak. Terdapat stigma dan pandangan yang sama dalam masyarakat bahwa sesuatu yang berada di luar aturan serta norma yang berlaku dianggap tidak normal atau menyimpang. Batasan yang dapat mendefinisikan perilaku menyimpang adalah bentukan budaya, yang telah ada dan dibentuk sejak dahulu oleh masyarakat terdahulu. Dengan demikian dapat dikatakan penyimpangan adalah bentukan dari budaya itu sendiri, sebagaimana pendapat yang dikeluarkan oleh Durkheim: “Boundaries that define deviant behavior, then are cultural creations, wich means that deviance itself is a

cultural creation (Durkheim, 1895).”7

Secara garis besar kelompok yang dianggap menyimpang yang ada di era sekarang ini merupakan akibat dari bentukan budaya tatanan sosial masyarakat terdahulu, kemudian mereka terjebak di dalam stigma masyarakat yang sudah terbiasa pada tatanan aturan dan norma yang sudah ada.

Meskipun sekarang masyarakat sudah memiliki kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran. Namun demikian tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima semua perubahan yang terjadi. Dapat disimpulkan bahwa berbagai hal yang dianggap tidak wajar baik yang berada di luar maupun dalam aturan dan norma tidak dapat diterima oleh masyarakat. Mereka lebih memilih untuk mengangga

7

(29)

17 pnya sebagai sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok tersebut (dengan memberi panggilan tertentu atau ejekan).8

Contoh kasus yang paling relevan adalah kaum gay. Gay adalah sebutan untuk orang yang menjalin hubungan romantis sesama jenis antara laki-laki dengan laki-laki9. Hubungan tersebut memicu respon yang kontradiktif dalam kalangan masyarakat. Masyarakat agama maupun sosial berpendapat bahwa hubungan sesama jenis tidak diperbolehkan dalam ajaran agama dan dianggap berdosa serta berada di luar kewajaran.

Karena adanya pro dan kontra terhadap kelompok tersebut sangat memiliki potensi untuk terjadi konflik. pencegahan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap L.G.B.T dapat dilakukan oleh masyarakat awam maupun aparat pemerintahan. Di sini masyarakat dan beberapa kelompok lainnya, baik itu berupa lembaga swadaya masyarakat maupun mahasiswa yang tergabung dalam beberapa kelompok lembaga sosial, membentuk pengendalian sosial sebagai lembaga kontrol terhadap kinerja pemerintah yang dianggap belum dapat bertindak netral dan juga terhadap masyarakat yang melakukan tindak diskriminasi.

8

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyatno (ed.), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, h. 84.

9

(30)

18

1.

Latar belakang Konflik

Pemicu konflik dapat berasal dari perilaku individu atau kelompok yang dianggap melakukan perilaku menyimpang dari nilai dan aturan norma dengan mkaelompok masyarakat yang memiliki perilaku atau pendapat yang berbeda dari kelompok yang lainnya.

Artinya bahwa perilaku yang sesuai itu bersifat inheren pada masing-masing individu. Meskipun demikian, ada sebagian besar manusia yang harus dilatih untuk menjalankan norma-norma itu. Melalui proses sosialisasi seseorang akan mempelajari perilaku apa yang dapat diterima berkaitan dengan berbagai situasi yang akan dia hadapi. Selain itu ia akan belajar perilaku mana yang pantas dan tidak pantas untuk ia laksanakan sehingga memperkecil terjadinya penyimpangan yang memungkinkan terjadinya konflik.10

Disfungsi perilaku individu atau kelompok dengan perilaku menyimpang dapat menyebabkan terancamnya kehidupan sosial. Hal ini menyebabkan tatanan sistem atau norma yang sudah ada dapat tidak berjalan sebagaimana mestinya karena terdapat individu yang tidak dapat menjalankan tugasnya dalam sistem masyarakat dan masyarakat sudah tidak bisa lagi memiliki hubungan yang kuat antara satu dengan yang lainnya.11 Seringkali suatu perilaku dianggap menyimpang oleh suatu masyarakat tetapi dianggap tidak menyimpang oleh

10

Ibid, h. 28.

11

(31)

19 masyarakat lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan relativitas perilaku menyimpang dalam pandangan relativisme bahwa penyimpangan dapat diinterpretasi hanya dalam konteks sosio kultural tempat penyimpangan tersebut terjadi

Menurut Lewis Cosser konflik adalah Perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan.12

Pada umumnya Teori Konflik merupakan kontrol sosial dilakukan dan dipegang oleh kelompok elite yang berkuasa. Untuk melayani kepentingan mereka sendiri, sehingga terjadi ketidakseimbangan distribusi kekuasaan. Contohnya makelar kasus timbul karena adanya kelompok elite yang tidak ingin menanggung tanggung jawab hukum yang seharusnya mereka jalani untuk itu dibutuhkan makelar yang menangani kasus mereka agar menjadi lebih mudah dan ringan atau bahkan tidak menjadi masalah sama sekali.13

Namun konflik yang diangkat dalam pembahasan skripsi ini adalah konflik antar ideologi yang saling mempertahankan keyakinan dan pilihan hidup masing-masing. Seperti yang dikatakan oleh Cosser, konflik yang memperjuangkan nilai serta tuntutan atas status yang ingin dituju oleh masing-masing kelompok.

12

Katmanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta: LPFEUI; 2004), h. 231.

13

(32)

20 D. Orientasi Seksual dan Perilaku Seksual yang Berbeda

Manusia lahir bersama naluri seksualitasnya. Naluri seksualitas manusia lahir tanpa batasan serta pembedaan mengenai pilihan pasangan hidup maupun identitas gender pasangan masing-masing seperti yang ada sekarang. sebagaimana yang disebutkan oleh susan M. Shaw dan Janet Lee dalam buku mereka Women’s Voices, Feminist Vision:

“Human sexuality involves erotic attraction, identity, and practice, and it is constructed by and trough societal sexual scripts. Sexual scripts

included : social norms, practices, working of power and they provided

frame works and guide lines. For example; sexual feelings and

behaviors.14”

Dari kutipan di atas jelas bahwa pada awalnya seksualitas manusia meliputi atraksi erotis, perilaku sosial maupun seksual, serta identitas pribadi maupun gender. Semua hal dalam praktek tersebut dibangun melalui kebiasaan seksual masyarakat. Skrip seksual atau kebiasaan seksual masyarakat termasuk di dalamnya: norma-norma sosial, praktek, kerja kekuasaan dan mereka yang berkuasa menyediakan karya kerangka dan garis panduan. Sebagai contoh perasaan seksual dan perilaku seksual. Namun seiring dengan perkembangan zaman persepsi manusia mengenai seksualitasnya mengalami penyempitan akibat dari akumulasi pengalaman masyarakat mengenai seksualitasnya secara umum. Mereka melakukan kesepakatan tidak tertulis mengenai seksualitas yang dianggap

14

(33)

21 lazim sebagai generalisasi identitas pengalaman masa lalu dan sekarang yang kemudian membimbing persepsi tentang seksualitas berdasarkan heteronormativitas saja, kemudian perlahan tapi pasti menolak serta menganggap adanya orientasi seksualitas yang lain yang terhitung minoritas (homoseksualitas) sebagai sesuatu yang menyimpang atau tidak lazim.

“within the context of sexual scripts, individual develop their own sexual

self schemes that can be as identity or cognitive generalizations about sexual aspect

of the self that are established from past and present experiences and guide sexual

feeling and behavior15“

Dapat dilihat bahwa pandangan seksualitas ataupun orientasi seksual manusia dibentuk oleh kebudayaan, norma serta peraturan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ketika dihadapkan dengan kenyataan, tidaklah mengejutkan bahwa homoseksualitas tidak membawa pengaruh apapun pada etika, sebab homoseksualitas dan seksualitas sendiri lahir dari bentukan budaya masyarakat itu sendiri, terlebih ketika masyarakat mencoba untuk menutup fakta terhadap hal tersebut16. Hal ini dikarenakan manusia cenderung untuk enggan mengganti haluan dalam norma yang sudah terbiasa ada, khususnya jika perubahan itu terjadi dan memberikan cultural shock kepada mereka karena mereka cenderung menolak dan memandang geli kepada sesuatu yang berada di luar norma sehingga

15

Ibid, H.153.

16

(34)

22 mereka melakukan tekanan pada yang berada di luar norma untuk ikut ke dalam norma yang sudah ditetapkan.17

Terdapat kesepakatan tertulis dan tidak tertulis mengenai seksualitas. Kesepakatan tertulis merupakan ketentuan-ketentuan yang ditulis mengenai seksualitas dan berpasang-pasangan sesuai kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam kitab-kitab suci, menurut ilmu kesehatan, maupun ketentuan adat yang berlaku. Sedangkan ketentuan tidak tertulis merupakan praktek perilaku seksualitas yang ada dalam masyarakat secara langsung dan tidak tertulis dalam kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Ini hanya berlaku karena adanya kesepakatan antarpasangan saja. Seksualitas juga dipengaruhi oleh pandangan yang berdasarkan heteronormativitas dan identitas gender, laki-laki selalu diidentikkan dengan maskulinitas, kekuatan dan dominasi. Sedangkan perempuan diidentikkan dengan femininitas, kelemah-gemulaian, selalu termarginalkan dan minoritas.18

1.

Definisi Homoseksualitas

Orientasi yang ada di bumi tidak hanya sebatas heteroseksual saja (laki dengan perempuan) namun juga terdapat homoseksual (sejenis antara ( laki-laki dengan laki-laki-laki-laki dan perempuan dengan perempuan), yang termasuk juga didalamnya biseksual (berhubungan baik dengan laki-laki dan perempuan, memiliki ketertarikan seksual dengan kedua jenis), transgender (mengganti jenis

17

Linda L. Davidoff, Mari Juniarti, Psikologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Erlangga: 1991), h. 315.

18

(35)

23 kelamin sekunder menjadi jenis kelamin lawan jenis), queer (orang yang tidak mau mendefinisikan ketertarikan lawan jenisnya ataupun orientasi seksualnya sebagai homo atau hetero, individu tersebut bebas mau berhubungan baik dengan lawan jenis maupun dengan sesame jenis, dengan atau tanpa cinta atau hanya sebatas ketertarikan seksual).19 Homoseksualitas merupakan perilaku atau sikap-sikap homoseksual, perilaku hubungan seks di dalamnya juga meliputi serangkaian aktivitas yang berhubungan dengan hubungan sesama jenis termasuk gaya hidup, perilaku managemen finansial, interaksi sosial baik di dalam maupun di luar komunitas L.G.B.T sendiri.20 jadi, homoseksualitas yang dimaksud tidak hanya sebatas menyakut perilaku seksual dalam hubungan percintaan mereka saja namun di sini juga mencakup seluruh aktifitas kehidupan sosial, religius, serta finansial yang dilakukan oleh mereka di dalam kalangan maupun di luar kaum L.G.B.T.21 Ini merupakan serangkaian aktivitas yang meliputi interaksi seksual yang romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama maupun dengan identitas gender yang sama baik secara biologis atau non-biologis.

Penggunaan pertama kata homoseksual yang tercatat dalam sejarah dan yang paling dikenal adalah definisi yang dikeluarkan pada tahun 1869 oleh Karl-Maria Kertbeny dan kemudian dipopulerkan penggunaannya oleh

19

Hasil wawancara dengan Yulie Rustinawati, Jakarta 10 Mei 2010.

20

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer: Edisi Lengkap, Cetakan Pertama ( Jakarta: Gramedia Press, 2006), h. 182.

21

(36)

24

Richard Freiherr von Krafft-Ebing pada bukunya, Psychopathia Sexualis.22 Namun secara etimologis homoseksual berasal dari bahasa Yunani homo yang berarti sejenis, sama, manusia atau keluarga manusia23 dan sex berasal dari bahasa latin yang berarti alat, seks atau jenis kelamin.24

Perilaku seksual homoseksual ini dilakukan dengan seseorang yang memiliki orientasi seksual yang sama dan tidak memperdulikan identitas gender maupun identitas seksual (identifikasi diri) yang dimiliki oleh pasangannya yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual. Sedangkan homoseksual sendiri adalah istilah yang digunakan untuk hubungan intim atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama.25 Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.26

Ungkapan seksual dan cinta erotis sesama jenis telah menjadi suatu corak dari sejarah kebanyakan budaya yang dikenal sejak manusia mengenal kebudayaan dan kepercayaan, hanya saja homoseksualitas banyak bergejolak mulai abad ke-19 bahwa tindakan dan hubungan seperti itu seksualitas kita merupakan produk dari kondisi-kondisi sejarah yang khusus, yang terbentuk dari

Dra. Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid I (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 213.

26

(37)

apa yang telah dipaparkan secara sederhana.27 Sejauhmana fakta tersebut mempengaruhi cara pandang masyarakat yang telah melekat mempengaruhi pengungkapan pandangan tentang homoseksualitas yang dianggap berbeda hingga dianggap menyimpang sampai menimbulkan homophobia, semua itu akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

2.

Latar Belakang Berkembangnya Orientasi Seksual Berbeda

Homoseksualitas telah ada dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat sejak zaman pra-sejarah jauh sebelum manusia mengenal tulisan. Hal ini dapat dilihat pada perilaku seksualitas mamalia dan juga pada hubungan seksual antara manusia dalam kebudayaan yang berlaku pada masa itu. Perilaku-perilaku homoseksualitas tidak hanya berakhir pada masa itu saja. Homoseksualitas juga ternyata berlangsung pada masa-masa peradaban selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya bukti mitos, manuskrip, candi-candi seperti candi Cetho‟, pura Puseh, candi Sukun, pura Penyungsung, pura Besakih28, Pelinggih Ratu Ayu Pingit29 dan bukti-bukti sejarah lainnya yang ada pada masa peradaban-peradaban kuno Hawaii kuno, Pulau Melanisia, Pulau Mangaia di Polynesia, Suku Trobiander, Sironon, Duson dan orang-orang di dataran Cree30, Yunani kuno, Mesopotamia, Cina, peradaban Mesir pertama dan termasuk juga pada masa peradaban Islam hingga abad millennium dan kebudayaan Nusantara yang masih

27

Collin Spencer, Sejarah Homoseksualitas, h. VI.

28

DR.James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta: UI-press:1989). H. 202

29

Ibid,h. 367-368.

30

(38)

menganut kepercayaan Animisme31 dan Dinamisme ini. Setiap kebudayaan dan seksualitas yang tumbuh berkembang pada masa itu sangat kental sekali dipengaruhi oleh kebudayaan yang menganut Heteronormativitas dan Phallusentris yang Maskulin32.

Segalanya sangat berhubungan dengan kegiatan yang seksis karena pada saat itu mereka sangat memuja kesuburan, setiap kegiatan tersebut juga melibatkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada homoseksualitas, karena homoseksualitas merupakan bagian dari seksualitas yang lahir dari kebudayaan. Maka jelas bahwa homoseksualitas ada dan melekat sampai sekarang ini, tidak hanya homoseksualitas bahkan juga terdapat perbancian (travetisme) termasuk di dalamnya.

Membahas homoseksualitas dapat ditinjau melalui pengaruh dari tradisi, kebudayaan, ekonomi, kekayaan baik yang berupa tanah, etika yang terorganisasi, dan identifikasi sosial. Melalui faktor-faktor tersebut dapat diketahui sampai sejauh mana pengaruhnya pada cara pandang masyarakat dewasa ini. Homoseksualitas telah melekat sangat dalam pada masyarakat sehingga menimbulkan stigma negatif yang mempengaruhi pengungkapan pandangan tentang perilaku menyimpang hingga menimbulkan homophobia.

31

Untuk keterangan dan bacaan lebih jauh lihat Sarah Dening, The Mythology of Sex, USA: macmillan general references, 1996.

32

(39)

Selama perjalanannya homoseksual memiliki beberapa periode penting yang terjadi. Kemunculannya dalam beberapa hal inilah yang paling melekat dalam ingatan dunia dan mempengaruhi timbulnya stigma negatif. Diantaranya adalah, peristiwa binasanya kaum Sodom umat Nabi Luth yang dilaknat oleh Allah karena melakukan tindak seksualitas sejenis, mereka telah diperingati oleh Nabi Luth namun tidak menghiraukan. Maka Allah membinasakan mereka dengan cara menghujani mereka dengan hujan batu dari neraka hingga mereka kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A‟raf:80-84).

Peristiwa yang terjadi kemudian adalah peristiwa meletusnya gunung Vesuvius di Italia yang membinasakan kota Pompeii terutama kota Namples. Tempat tersebut merupakan tempat pusat perzinaan dan masyarakatnya banyak yang homoseksual.33

33

(40)

Berlanjut pada tahun 1930-an bangsa Yahudi, serta kaum homoseksual yang dianggap sebagai orang-orang yang berbahaya, ketika itu sekitar 50.000 orang dipenjarakan di camp-camp pengasingan Nazi ketika Nazi berkuasa.34 Sejarah perjalanan kaum homoseksual yang kelam tidak hanya berakhir sampai di sini. Pada tahun 1950-an Inggris mendirikan konselir untuk membantu pemerintahan dalam membuat undang-undang menghadapi homoseksualitas yang belakangan marak terjadi dalam masyarakat dan juga prostitusi. Namun, pembentukan komisi ini tidak mengubah sikap apapun dalam jajaran penegak hukum dalam memberikan pelayanan yang sama dan adil terlebih pihak yang berwenang bersikap sangat mengolok-olok kesengsaraan yang dialami oleh pihak yang dianggap “tidak seimbang itu”35. Pada bulan Juni 1969 di New York, Amerika Serikat. berlangsung huru-hara Stonewall, ketika kaum waria dan gay melawan represi polisi yang khususnya terjadi pada sebuah bar bernama Stonewall Inn. Peristiwa ini dianggap permulaan pergerakan gay yang terbuka dan militan di Barat.36 Berlanjut pada tahun 1970-an berlangsung minggu Gay dan mengalami masalah yang tidak jauh berdeda pada masa sebelumnya tentang bagaimana cara berpakaian dan bertingkah laku. Hal ini sempat membuat homoseksual terpecah namun semangat perjuangan untuk memperjuangkan hak dan keadilan mereka dalam masyarakat tidak surut begitu saja. Kemudian pada

34

Collin Spencer, Sejarah Homoseksualitas, h 420.

35

Collin Spencer, Sejarah Homoseksualitas, h. 441-442.

36

(41)

tahun 1978 International Lesbian and Gay Association (ILGA) berdiri di Dublin, Irlandia. 37.

Pada tahun-tahun selanjutnya perjuangan kaum L.G.B.T. mulai memasuki masa-masa cerah. Kaum homoseksual mulai berani berkumpul keluar di tempat-tempat publik, seperti klub, kafe-kafe, restoran, pusat perbelanjaan, taman dan lainnya. Mereka berkumpul baik untuk saling mengenal, sekedar berbicara, ataupun untuk berdiskusi dari topik pembicaraan yang ringan hingga tema pembicaraan yang berat, seperti membicarakan masalah sosial, ekonomi, politik hingga membicarakan isu-isu terbaru tentang pergerakan L.G.B.T yang terbaru.

Lambat laun homoseksual mulai dilihat sebagai bagian bisnis hiburan yang menjanjikan. Seksualitas di dalam pandangan masyarakat perlahan mulai berubah kini hal tersebut tidak lagi dilihat hanya sebatas sebuah hubungan yang intim yang dapat dilakukan di dalam sebuah ruangan yang tertutup dan intim saja namun sekarang semakin banyak pihak yang berani untuk mengkonsumsi dan mengeksplorasi erotika tidak sebatas prokreasi namun dapat dilihat menjadi suatu pilihan hidup bagi yang lain.

Peristiwa tak kalah penting lainnya adalah pendirian monumen “Homomonument” di Belanda tahun 1987. Monumen ini berbentuk segitiga tiga dimensi yang berlapiskan batu marmer berwarna pink atau merah muda. Didirikan sebagai pusat simbol perjuangan kaum homoseksual dan juga sebagai refleksi gerakan homoseksual di masa datang monument ini dibangun sebanyak

37

(42)

tiga buah. Masing-masing diletakkan di tempat yang berbeda-beda dengan bentuk segitiga yang memiliki makna “sebuah peringatan masa lalu, sebuah pengakuan dan perdebatan dimasa sekarang, dan inspirasi di masa datang”.38

Untuk di Indonesia sendiri homoseksual dan seksualitas telah ada sejak zaman dulu dan dibicarakan dalam setiap ritual, bersatu sebagai bagian dari kebudayaan lokal sebagaimana yang telah disebutkan pada penjelasan awal. Homoseksual telah menjadi bagian dalam inisisasi-inisiasi kebudayaan daerah. Contohnya Reog Ponorogo, dalam ritualnya untuk menjadi seorang Warok Gemblak39 hebat, seseorang dilarang untuk bergaul dengan perempuan, karena perempuan dianggap membawa kelemahan pada para pria, dan diyakini jika berdekatan dengan perempuan itu, akan menghilangkan kesaktian mereka. Ketika mereka mengeluarkan sperma ketika terangsang kepada perempuan maka akan menghilangkan kesaktian ilmu yang mereka pelajari dan hal-hal seperti ini sangat diyakini oleh masyarakat budaya dimana kebudayaan sangat berpengaruh dalam kehidupan mereka. Kemudian juga terdapat ukiran tentang seksualitas yang tidak membatasi masalah orientasi pada relief candi-candi yang tersebar di Indonesia sebagai simbol dari kesuburan.40

Sedangkan seksualitas di Indonesia bagian Timur terutama Bali jejak ritual kebudayaan yang tidak tabu pada seksualitas sudah ada seperti candi Sukun

38

Rama Azhari dan Putra Kencana, Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang, h. 47.

39

Arus Pelangi dan Hivos, Outzine! Edisi Juli 2008 (Jakarta: Arus Pelangi,2008 ),h. 13.

40

(43)

dan candi Cetho‟, Pura Penyungsung, Pura Besakih41, kuil utama Trunyan. Relief-relief candi tersebut banyak yang berukiran Lingga (kemaluan perempuan) dan Yoni (kemaluan laki-laki), Serat Centhini juga merupakan hasil dari kebudayaan keraton Surakarta di Nusantara yang merupakan sebuah kitab yang berisikan tata cara dalam berhubungan intim dan seksualitas42. Bukti sejarah tersebut membuktikan bahwa sejak dulu masyarakat Nusantara tidak tabu untuk membicarakan tentang seksualitas, bahkan dianggap sebagai sebuah simbol sakral kesuburan.

Awal abad ke-20 sekitar tahun 1920-1930an pada masa penjajahan sudah terdapat banyak homoseks di berbagai kota di Indonesia namun masih belum dapat terlacak dengan baik, hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan naskah autobiografi tentang seorang priayi Jawa yang menuliskan tentang kehidupannya dimasa kolonial Belanda.43 Pada zaman dulu kaum L.G.B.T memang tidak banyak yang terlihat dan memang baru meluas dalam jaman modern, terutama pada abad ke -20. Kemudian pada sekitar akhir tahun 89 hingga awal tahun 90-an banyak berdiri LSM-LSM yang membela hak-hak L.G.B.T seperti Indonesian Gay Society (IGS), GAYa Nusantara.

Meskipun di Indonesia sendiri sebetulnya sudah terdapat lembaga swadaya masyarakat yang menangani masalah L.G.B.T sejak tahun 1982, yaitu

41

DR.James Danandjaja, Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali, (Jakarta: UI-Press:1989). H. 202.

42

Elizabeth Prasetyo dalam Fulgurous Appearance Of The Mask In Serat Centhini, Mask: The Other Face of Humanity: Various Vsion On The Role Of The Mask In Humansociety,(Filiphine: Rex Book store:2002). h.77

43

(44)

Lambda namun pada saat itu memang baru sedikit atau sangat jarang sekali LSM yang memperjuangkan kaum L.G.B.T yang diperjuangkannya. Hanya pada masa era 1969 pada saat Ali Sadikin menjadi gubernur DKI dibentuklah organisasi wadam pertama, Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad) berdiri dan difasilitasi oleh badan pemerintahan44.

Kemudian memasuki era millennium dan akhir tahun 90-an memang pergerakan L.G.B.T seperti memasuki masa-masa kemudahannya meski tidak semudah yang dibayangkan karena masih banyak pertentangan yang terjadi. Selain dari sisi luar negeri, di dalam negeri sendiripun mereka mengalami kesulitan karena pada masa era Orde Baru seksualitas manusia pada masa kepemimpinan Soeharto diikat tidak boleh keluar dari ranah pribadi45. Kemudian pada ranah Internasional isu orientasi seksual masuk dalam agenda Konferensi PBB tentang Hak Asasi Manusia di Wina, Austria, tetapi ditentang oleh negara negara konservatif, termasuk Singapura hal tersebut terjadi pada tahun 1993. Kemudian pada tahun yang sama Kongres Lesbian & Gay Indonesia (KLGI) I diselenggarakan di Kaliurang, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diikuti sekitar 40 peserta dari Jakarta hingga UjungPandang, kongres ini Menghasilkan enam butir ideologi pergerakan gay dan lesbian Indonesia. GAYa NUSANTARA mendapat mandat untuk mengkoordinasi Jaringan Lesbian & Gay Indonesia (JLGI)46.

44

Rama Azhari dan Putra Kencana, Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang, h . 60.

45

Hasil wawancara dengan Soe Tjen Marching, Jakarta 30 September 2010.

46

(45)

Selama masa-masa perjuangan, kaum L.G.B.T. mengalami banyak masa pasang surut dan tidak mudah, setelah mendapatkan sedikit kemudahan pada tahun 1993 namun masalah kembali muncul pada November 2000 pada acara Kerlap-Kerlip Warna Kedaton 2000, acara pendidikan HIV/AIDS melalui hiburan di Kaliurang, Yogyakarta, yang diserang oleh serombongan laki-laki yang dinamakan Gerakan Anti-Maksiat (GAM).47 Hingga sekarangpun perjuangan L.G.B.T tidak berhenti hingga mereka mendapatkan perlakuan yang layak meski masih banyak perlakuan tindak diskriminatif yang terjadi dari hal tersebut juga menyebabkan jatuh korban nyawa hingga tahun lalupun masih jatuh korban, yaitu korban seorang transgender yang meninggal tenggelam akibat menghindar dari kejaran SatPol PP48.

3.

Macam-macam Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan perilaku hubungan seks yang pada umumnya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, namun perilaku seks ini dibagi menjadi dua pembahasan umum, yaitu perilaku seksual dan perilaku seksual menyimpang. Seperti yang telah dijelaskan secara singkat pada pembahasan sebelumnya perilaku seksual adalah sebuah perilaku hubungan seks yang dilakukan antara pria dan wanita dan dilakukan oleh pasangan yang sudah resmi terikat dalam suatu pernikahan,49 sesuai dengan yang ditentukan oleh kaidah norma agama adat serta rambu-rambu kesehatan yang berlaku. Kalau tidak, maka hal tersebut juga

47

Hasil wawancara dengan salah satu pendiri Arus Pelangi King Oey, Jakarta 10 april 2010.

48

Hasil wawancara dengan SekJen Arus Pelangi Yulie Trisnawati. Jakarta 4 Mei 2010.

49

(46)

dianggap sebagai penyimpangan. Sedangkan perilaku seksual menyimpang adalah sebuah perilaku hubungan seks yang dilakukan sebaliknya dari hubungan seksual yang biasanya. Contoh macam macam penyimpangan seksual lainnya adalah50 :

Homoseksual

Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya. Hal yang memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara homoseksual dengan peningkatan risiko penyakit kelamin. Hal ini dikarenakan kaum homoseksual banyak mencari pasangannya dengan bebas dan jarang sekali memikirkan konsekuensi di kemudian hari.

Sadomasokisme

Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual.

50

(47)

Ekshibisionisme

Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya.

Voyeurisme

Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis, vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi, atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih.

Fetishisme

Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan breast holder (BH), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat hingga orang tersebut mendapatkan kepuasan.

Pedophilia

(48)

Bestially

Bestially adalah kegiatan seseorang yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan lain sebagainya.

Incest

Incest adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri atau dengan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-lakinya.

Necrophilia

Necrophilia adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat atau orang mati.

Zoophilia

Zoofilia adalah bentuk kelainan seksual di mana orang merasa senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan.

Sodomi

Sodomi adalah aktivitas seksual di mana pria suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesama jenis atau bukanbiasanya lebih banyak dilakukan oleh para laki.

Frotteurisme

(49)

laki-laki mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek atau menggosok-gosok alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau umum seperti di kereta, pesawat, bis, dan lainnya. Biasanya lebih dikenal dengan sebutan penjahat kelamin.

Gorontopilia

Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual di mana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek).

(50)

kelamin. Namun tidak pada kenyataannya, para transgender menganggap bahwa sesungguhnya orientasi mereka tetap heteroseksual karena mereka merasa bahwa diri mereka sebenarnya tidak tergantung pada kondisi fisik atau tampilan luar mereka.51 Begitu juga dengan biseksual male ataupun female, pada saat menjalin hubungan seksual sesama jenisnya maka ia juga melakukan hubungan sesama jenis (homo). Sekali lagi, hubungan sesama jenis ini tidak hanya sebatas perilaku seksual saja tetapi juga mencakup dengan aktivitas lainnya di luar perilaku seksual. Pada umumnya kaum homoseksual terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu52:

Blatant: kaum ini merupakan individu dengan homoseksual sejati dan

tidak tergantung pada situasi ataupun kebutuhan. Mereka biasanya lebih mudah dibedakan dengan kaum straight (sebutan untuk kaum hetero dari tampilan luar.

Desperate: merupakan homoseksual yang sudah menikah namun tetap

menjalani hubungan dengan lelaki lain, biasanya menikah untuk melupakan jati diri sebenarnya atau hanya untuk menutupi orientasi seksual sebenarnya.

Secret: individu ini sangat introvert dan penyendiri, tidak ingin diketahui

oleh pihak manapun termasuk teman dekat atau kerabat paling dekat

52

(51)

sekalipun karena ada ketakutan yang besar di dalam dirinya, kecuali oleh pasangannya.

Situational: kaum ini atau individu ini berprilaku menjadi homoseksual

karena lingkungan, karena keadaan yang memaksa atau mendorong mereka berprilaku seperti itu.

Adjusted: ekstrovert, lebih terbuka pada lingkungan sekitar dan lebih

menerima keadaan. Biasanya hal ini juga didorong oleh lingkungan yang menerima ia apa adanya.

Berikut adalah beberapa pendapat tentang pro dan kontra mengenai orientasi seksual yang berbeda:

Manneke Budiman, pengajar Universitas Indonesia

“ banyak kaum homoseksual yang tak keluar untuk mengungkapkan jatidirinya dan memilih kepalsuan hingga akhir hidup mereka, hanya sedikit yang memutuskan untuk menghadapi hidup mereka karena tidak tahan akan kepalsuan, mereka membuka jalan untuk yang lain agar dunia menjadi lebih ramah terhadap perbedaan dan menghargai manusia karena martabatnya bukan karena orientasi seksualnya”53

Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A., cendekiawan muslim54

seksualitas adalah isu yang banyak disembunyikan dan cenderung ditabukan untuk dibicarakan diruang publik, sehingga banyak orang yang menjadi naif dan terjerumus pada sikap kaku dan perilaku yang diskriminatif atau bahkan eksploitatif terhadap mereka yang memiliki orientasi yang berbeda”

Sedangkan yang kontra adalah : 53

Hartoyo dan Titiana Adinda, Otobiografi; Biarkan Aku Memilih: Pengakuan Gay yang Coming Out (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), h. VI.

54

(52)

Paus Benedictus XVI

Pada tahun 2005 Paus menegaskan bahwa pernikahan sesama jenis dilarang dan menentang aborsi dalam ajaran Kristen Katolik.55

Perda kota Palembang Pasal 8 Ayat 2 Tahun 200456 Dikatakan bahwa “termasuk dalam pelacuran adalah:

 Homoseks

 Lesbian

 Sodomi

 Pelecehan seksual, dan

 Perbuatan porno lainnya

Perda Propinsi Sumatera Selatan Pasal 2 Ayat 2 Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatera Selatan. 57

“ termasuk perbuatan maksiat, segala perbuatan yang dapat merusak sendi -sendi kehidupan masyarakat selain yang diatur dalam norma-norma sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) seperti; ……..

c. homoseks d. lesbian. ……..”

55

Rama Azhari dan Putra Kencana, Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang Kaum Homoseksua (Jakarta: Hujjah Press, 2008), h. 30.

56

Arus Pelangi dan Hivos, Outzine edisi juli 2008 (jakarta: arus pelangi ,2008), h. 15.

57

(53)

BAB III

GAMBARAN UMUM LEMBAGA ARUS PELANGI A. Latar Belakang dan Sejarah Perjuangan Berdirinya Arus Pelangi

Arus Pelangi didirikan secara resmi pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta. 58 Pendirian lembaga Arus pelangi ini dilakukan karena adanya beberapa kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi di kalangan Lesbian, Gay, Biseks, Transgender (L.G.B.T) baik individu maupun kelompok, untuk membentuk organisasi massa yang dapat mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum L.G.B.T. hak-hak itu meliputi hak mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk menyatakan pendapat termasuk menyuarakan pendapat tentang pilihan orientasi seksualnya.

Arus pelangi sendiri berdiri berawal dari gagasan 10 orang yang terdiri atas Yulie Rustinawati, Widodo Budidarmo, King Oey, Rido Triawan, Juli, Leonard Sitompul, Fredy Simanungkalit, Nana, Adil, dan John Badali. Para pendiri ini memiliki latar belakang yang sama, yaitu mereka memiliki latar belakang dari lembaga yang mengusung pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM).59 Saat itu mereka memiliki pemikiran yang sama akan adanya warga negara

41

58

Arus Pelangi dan Hivos, Outzine edisi Januari 2008 (Jakarta: Arus Pelangi ,2008)hal Sampul dan hasil wawancara dengan nara sumber co-founder Arus Pelangi.10 april 2010.

59

(54)

42 Indonesia yang hak asasinya masih belum dapat dipenuhi, terutama L.G.B.T Sekitar awal tahun 2000 hingga tahun-tahun sebelumnya masih terdapat sedikit sekali pembelaan terhadap kaum homoseksual terutama L.G.B.T secara general baik dari segi mediasi maupun advokasi.60 Mengingat sedikitnya lembaga atau pihak yang dapat membantu L.G.B.T dalam mendapatkan hak mereka. Atas dasar pemikiran tersebut kemudian Arus Pelangi didirikan.

Pendirian lembaga ini juga dilatarbelakangi adanya dua alasan lain, salah satunya adalah semangat pembelaan kaum L.G.B.T yang di Indonesia mulai bangkit sekitar awal tahun 90-an banyak berdiri LSM-LSM yang membela hak-hak L.G.B.T Meskipun di Indonesia sebetulnya sudah terdapat satu lembaga swadaya masyarakat yang menangani masalah L.G.B.T sejak tahun 1982, namun lembaga tersebut jelas tidak mampu menampung seluruh L.G.B.T yang ada di Indonesia secara keseluruhan. Lembaga yang khusus membela L.G.B.T berdiri kali pertama adalah Lambda Indonesia, didirikan pada 1 Maret 1982.61 Kemudian adanya pengaruh pergerakkan L.G.B.T di dunia Internasional yang waktu itu juga merupakan momen penting atau titik puncak pada pergerakan L.G.B.T dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Peristiwa tersebut membuat L.G.B.T yang ada di Indonesia menjadi semakin semangat dan berjuang untuk mendapatkan hak mereka dalam masyarakat.

60

Hasil wawancara dengan SekJen Arus Pelangi Yulie Rustinawati.

61

(55)

43 Perjuangan L.G.B.T yang ada di Indonesia dan Asia masih berpusat pada dunia Barat khususnya Eropa, di mana terdapat “homomonument” sebagai simbol puncak perjuangan L.G.B.T di seluruh dunia, Monumen ini terdapat di Belanda. Sekarang ini Arus Pelangi beralamat di Tebet Utara I-G No.14 RT. 07 / RW. 01 Tebet, Jakarta Selatan; lembaga ini telah dua kali melakukan pergantian kepemimpinan. Hal itu dikarenakan Arus Pelangi melakukan pemilihan ketua badan pengurus secara rutin selama satu kali dalam tiga tahun, mengingat bahwa Arus Pelangi baru didirikan pada tahun 2006 yang lalu. Ketua sebelumnya mengundurkan diri dan digantikan oleh ketua yang sekarang menjabat untuk periode tiga tahun ke depan.62 Badan pengurus yang terdapat di Arus Pelangi terbagi menjadi dua bagian pengurus yang pertama adalah badan pengawas dan yang kedua ada;ah badan pengurus harian. Berikut adalah susunan badan pengurus periode 2010-2013 serta badan pengawas yang ada di Arus Pelangi:

Badan Pengawas: Ketua: King Oey

Sekertaris: Freddy K. Sh Anggota: 1. Rinawati 2. Valent

3. Julie Van Dassen 62

(56)

44 Badan Pengurus Harian:

Ketua: Budi Satria Dewantoro Sekertaris Umum: Yulie Rustinawati Bendahara: Tuti Pujiarti

Koordinator Internal: Staff lebih dari beberapa anggota Koordinator Eksternal: Staff lebih dari beberapa anggota

Pemilihan nama Arus Pelangi sendiri didasarkan pada filosofi air. Kata arus berasal dari arus air yang selalu bergerak maju. Tidak peduli berada pada wadah atau tempat seperti apa air tersebut berada. Air akan selalu memiliki arus yang bergerak maju. Ini sama halnya pada pergerakkan LSM Arus Pelangi sendiri. Sedangkan kata pelangi merupakan simbol dari keanekaragaman orientasi dari mulai heteroseksual, lesbian, biseks, gay, transgender, queer, dan interseks. Ini sama dengan warna pelangi yang terdiri atas berbagai macam warna yang bersinergi saling berdampingan.63

Lembaga swadaya masyarakat yang awalnya berkantor di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Ini juga terus berupaya untuk mendorong terwujudnya tatanan masyarakat yang menjunjung nilai kesetaraan, berperilaku dan menghormati serta berupaya untuk mengedukasi masyarakat terhadap hak-hak L.G.B.T sebagai hak asasi manusia.

63

(57)

45 Semenjak berdiri hingga sekarang Arus Pelangi telah memiliki anggota resmi yang tercatat kurang lebih sebanyak 392 orang.64

B. Profil Arus Pelangi

Semenjak didirikannya Arus Pelangi sebagai LSM empat tahun lalu merupakan salah satu LSM yang dinilai cukup berkompetensi dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Arus Pelangi juga terbilang salah satu LSM yang cukup vokal dalam membela hak-hak kaum minoritas dalam agenda perjuangannya. Hal ini bukan dikarenakan sikap yang keras, radikal atau frontalnya pergerakan lembaga tersebut dalam menyuarakan hak-hak kaum yang dibelanya. Dikarenakan kaum minoritas yang dibela oleh Arus Pelangi adalah pada kaum L.G.B.T. Kaun yang termarginalkan karena pilihan orientasi seksual mereka. L.G.B.T di Indonesia masih tergolong komunitas yang minoritas karena L.G.B.T masih belum bisa mendapatkan perlakuan hak yang sama dalam masyarakat sebagaimana layaknya warga negara Indonesia umumnya.65

Arus Pelangi merupakan sebuah organisasi yang berdiri khusus untuk memperjuangkan hak-hak L.G.B.T Indonesia yang berpusat di Jakarta. LSM yang

64

Hasil Wawancara dengan nara sumber David Hartanto.11 Mei 2010.

65

Hasil Wawancara dengan Nara Sumber Sekertaris Jendral Arus Pelangi sekaligus Co-Founder

(58)

46 memiliki lambang organisasi bendera berwarna pelangi tersebut juga memberikan penyuluhan dan pendidikkan, sekaligus menjadi penggerak dan pengorganisasi juga pengorganisir L.G.B.T yang ada di Indonesia.

Lembaga ini merupakan salah satu lembaga organisasi yang menolak segala bentuk tindak kekerasan serta diskriminasi yang dilakukan terhadap kelompok L.G.B.T, baik yang didasarkan atas orientasi seksual, suku, agama, warna kulit, status sosial, maupun keyakinan politik.66

Kinerja Arus Pelangi tidak melalui jalur radikal atau menyerang secara frontal, meskipun lembaga ini dapat dikatakan sebagai salah satu lembaga yang cukup aktif menyuarakan pendapatnya untuk dapat memperjuangkan hak L.G.B.T. Lembaga ini memiliki kinerja profesionalisme yang tinggi, karena Arus Pelangi ingin menyampaikan pesan bahwa L.G.B.T juga dapat diperhitungkan dalam ranah publik, yang memiliki profesionalisme kerja yang tinggi dan cakap di bidangnya. Ini merupakan wujud dari prinsip bahwa Arus Pelangi menolak penggunaan segala bentuk kekerasan terhadap kelompok L.G.B.T, baik secara fisik maupun secara psikis, baik yang dilakukan oleh negara maupun yang dilakukan oleh individu. Itu sebabnya Arus Pelangi juga tidak menggunakan tindakan yang dapat memicu konflik dalam masyarakat.

Selain Arus Pelangi, juga ada beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya yang khusus membela hak kaum L.G.B.T, antara lain seperti GAYa

66

(59)

47 Nusantara, Our Voice, International Lesbian and Gay Association (ILGA), Yayasan Srikandi Sejati, Boyz Forum, Yayasan Putri Waria dan masih banyak lainnya. Lembaga-lembaga ini juga bergerak dalam memperjuangkan hak kaum homoseksual mereka juga menolak berbagai bentuk fundamentalisme dan radikalisme agama yang selalu mendiskreditkan dan mengkriminalisasikan kelompok L.G.B.T atas nama agama.

Kiprah semua LSM ini bagi kaum minoritas terutama L.G.B.T sangat besar. Jika dilihat balik pada masa sebelum banyak LSM yang berjuang untuk L.G.B.T dan masa sesudah banyak bermunculannya LSM yang memperjuangkan L.G.B.T, kaum L.G.B.T yang coming out (menyatakan pilihan orientasi seksualnya secara terbuka dan tidak menyembunyikannya) lebih banyak dan L.G.B.T yang mendapatkan haknya juga sudah jauh lebih baik dari masa sebelum

LSM itu sendiri.

C. Visi dan Misi Arus Pelangi

(60)

48 merusaha untuk memberikan pendidikan serta menumbuhkan kesadaran hak pada kaum L.G.B.T yang ada di Indonesia. Selama ini kaum L.G.B.T. yang ada di Indonesia masih tergolong pragmatis dan masih kurang sadar akan hak mereka dalam tatanan masyarakat baik dalam hak mendapat penghidupan yang layak juga dalam hak perlindungan hukum.67

Arus Pelangi juga merupakan salah satu organisasi yang memfungsikan diri sebagai perkumpulan pembela hak-hak LGBT yang mempunyai tiga misi dasar, sebagai berikut:68

a. Berusaha dalam menyadarkan, memberdayakan, dan memperkuat posisi kaum LGBT yang tertindas.

b. Berperan aktif dalam proses perubahan kebijakan yang melindungi hak-hak LGBT.

c. Berperan aktif dalam proses penyadaran terhadap masyarakat serta proses penerimaan kaum LGBT di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini adalah suatu organisasi yang selalu membela kesetaraan kelompok LGBT, baik secara hukum, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Pelaksanaan visi dan misi ini tidak hanya berjalan sebagai permulaan saja tetapi visi dan misi ini juga di laksanakan secara konstan dan bertahap juga pada pengembangan kualitas dari komunitas.

67

Hasil wawancara dengan SekJen Arus Pelangi. Yulie Trisnawati.

68

(61)

49

D. Program kerja Arus Pelangi

Arus Pelangi merupakan organisasi mandiri yang didirikan berdasarkan dana biaya kolektif atas inisiatif masyarakat dan bukan organisasi yang dibiayai ataupun dipengaruhi oleh pemerintah dan tidak bergantung pada kucuran dana dari pemerintahan. Organisasi ini berdiri secara independen, tanpa campur tangan pemerintah, Dan karenanya dapat memungkinkan Arus Pelangi terus secara objektif mengkritisi semua kebijakan pemerintah yang mendiskriminasikan kelompok L.G.B.T. lembaga ini juga tidak memihak ataupun menjadi bagian dari partai politik, birokrasi dan kekuatan ekonomi tertentu, namun selalu berpihak kepada kelompok L.G.B.T dalam memperjuangkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar kelompok L.G.B.T kapan pun itu dibutuhkan.

Semenjak berdiri Arus Pelangi memiliki empat program kerja dasar utama yang dilakukan secara konstan, berkelanjutan, dan membangun kualitas sumberdaya manusia yang dituju dapat berkembang dengan baik. Empat program kerja dasar utama itu adalah:69

Advokasi: dengan advokasi Arus Pelangi membela kaum L.G.B.T yang tersandung kasus, hingga mereka dapat menyelesaikan masalah secara adil dan seimbang tanpa adanya keputusan yang berat sebelah; juga

69

(62)

50

menghindari tindak pidana yang diskriminatif terhadap L.G.B.T. Fungsi Arus Pelangi sendiri di sini juga sebagai mediator atau pendamping bagi L.G.B.T yang terkena kasus sementara mereka buta hukum. Advokasi kasuistik merupakan kegiatan penanganan hukum kasus-kasus yang menimpa L.G.B.T, baik yang bersifat non-litigasi maupun litigasi. Sedangkan Advokasi kebijakan publik merupakan rangkaian upaya hukum yang dilakukan oleh Arus Pelangi terhadap semua kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap LGBT.

Pendidikkan: sasaran tujuan pendidikan ini ada dua, yaitu kalangan L.G.B.T sendiri dan juga masyarakat. Hal ini bertujuan agar kedua pihak ini sama-sama teredukasi. Dari pihak L.G.B.T diharapkan agar mereka paham betul akan hak mereka sebagai warga negara, kemudian untuk masyarakat agar mereka juga dapat memahami dan menghormati adanya perbedaan dan tidak melihat manusia berdasarkan perbedaan.

Kampanye: kegiatan yang dilakukan pada program ini adalah mengampanyekan tema yang sama pada visi, misi serta program kerja dari Arus Pelangi sendiri dan juga biasanya tema yang diangkat adalah tema yang sedang up to date saat itu.

(63)

51 setiap kader di berbagai daerah yang kemudian disatukan dalam wadah LSM nasional dan salah satu diantaranya adalah Arus Pelangi.

Jika program-program ini sudah dikembangkan, mudah diukur apakah ada peningkatan kualitas anggota dan kader. Arus Pelangi memiliki agenda kegiatan acara yang berbeda atau bervariasi pada setiap programnya. Agenda acara yang jalan dan masih berjalan sejak tiga tahun lalu adalah diskusi dan pemutaran film, juga layanan konseling by phone (via telepon) namun program acaranya telah selesai tahun lalu, dan diganti dengan pembukaan layanan konseling datang langsung ke kantor sekretariat Arus Pelangi.70 Penentuan kelanjutan agenda-agenda acara diputuskan dalam rapat organisasi. Sedangkan untuk kegiatan acara untuk agenda tahun 2010 adalah: 71

1. Advokasi: Tahun ini terdapat advokasi yang berhubungan dengan dua orang transgender yang masih berjalan dan juga ada kegiatan survei “pemetaan homophobic di kalangan pemerintahan DKI Jakarta” yang terkait dengan perda ketertiban umum No.8 tahun 2007. Juga terdapat kegiatan advokasi lainnya berkaitan RUU yang mendiskriminasi hak L.G.B.T, kegiatan ini dilakikan melalui kerjasama beberapa LSM dengan Arus Pelangi.

2. Pendidikan: Dalam agenda acara pendidikkan Arus Pelangi mengadakan diskusi dan pemutaran film setiap satu bulan sekali, pelaksanaan internal

70

Hasil wawancara dengan SekJen Arus Pelangi , Yulie Rustinawati. 12 Mei 2010.

71

Gambar

GAMBARAN UMUM LEMBAGA ARUS PELANGI
gambar kedua diskusi Arus pelangi di Universitas Atmajaya.

Referensi

Dokumen terkait