• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita dalam Keluarga Perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita dalam Keluarga Perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

RAJA NINDANGI LINGGA NIM.101000197

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

ii

mempengaruhi sistem pernapasan terutama pada balita dan beresiko besar terhadap kejadian ISPA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan karakteristik rumah (kepadatan hunian, ventilasi, lantai, langit-langit, dinding, pencahayaan, suhu, dan kelembaban) dengan kejadian ISPA pada balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif analitik dengan desain case control. Sampel dari penelitian ini adalah 62 Balita yang tinggal di Kelurahan Gundaling I, terdiri dari 31 sampel kasus, yaitu penderita ISPA yang tercatat di data rekam medik Puskesmas Berastagi yang diambil secara total sampling, dan 31 sampel kontrol yaitu balita yang bermukin disekitar rumah penderita balita penderita. Data dianalisis dengan menggunakan Chi Square pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan kerakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Namun kebiasaan merokok di dekat balita memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p < 0,05.

Bagi masyarakat yang tinggal di Kelurahan Gundaling I diharapkan untuk tidak merokok di dekat anggota keluarhan yang masih balita dan tidak merokok didalam rumah. Diharapkan juga penyuluhan oleh petugas Puskesmas mengenai dampak rokok dan bahaya asap rokok bagi perokok pasif.

(4)

iii

major risk of Acute Respiratory Infections (ARIs) are bad house physical conditions, and smoking habits. The ciggarets smoke contains tar which is affects the respiratory system of children under 5 years old and give a high risk for the accidens of Acute Respiratory Infections (ARIs).

The purpose of this research is to find out the correlation between house’s characteristics ( residential density, ventilation, floor, ceiling, wall, lighting, temperature, and humidity) with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases of children under 5 years old which is live in the smoking habits families in Kelurahan Gundaling I.

This is a descriptive-analytic with case control design research. The samples of this researh is 62 children under 5 years old who lives in Kelurahan Gundaling I which is consist of 31 samples total sampling for case who is the sufferer of Acute Respiratory Infections (ARIs) which is recorded on the medical record of public health centre in Berastagi and 31 children under 5 years old for control who live around Acute Respiratory Infections (ARIs) sufferer. Data was analyzed by Chi Square with 95% confidence interval.

The research shows there is no correlation between house’s characteristics with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases in children under 5 years old. Smoking habits near children under 5 years old has a significant correlation with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases in children under 5 years old (p<0,05).

As suggestions for people who live in Kelurahan Gundaling I it is required to not smoke around children under 5 years old and to not smoke in home. It is required for a prevention through counseling by health officer about the effect and hazard of cigarette for passive smoker.

(5)

iv Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 6 dari 6 Bersaudara Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat Rumah : Jl.DR.F.L.Tobing/Gang Dame, Sidikalang Riwayat Pendidikan :

1. TK Bhayangkari : 1997 - 1998

2. SD Negeri 030281 Sidikalang : 1998–2004

3. SMP Negeri 1 Sidikalang : 2004–2007

4. SMA Negeri 1 Sidikalang : 2007–2010

5. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera : 2010–2014 Utara

Riwayat Organisasi :

1. Himpunan Mahasiswa Peminatan Kesehatan Lingkungan : 2012 - 2013 (HMP Kesling) FKM USU

2. Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Oikumene Mahasiswa : 2011 - 2013 Kristen FKM (UKM POMK) FKM USU

(6)

rumah dengan kejadian ISPA pada balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014”

Skripsi ini diselesaikan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat (SKM) dari fakultas kesehatan masyarakat universitas sumatera utara. Skripsi ini didedikasikan untuk orang tua tercinta, almarhum Ayahanda Pdt. Kores Lingga, STh dan terutama kepada ibunda Restianna Pasaribu, yang selalu menjadi motivator dan sekaligus menjadi inspirasi saya dalam penulisan skripsi ini. terima kasih atas doa, nasehat, motivasi, kasih sayang, serta dukungan moril dan materil yang telah Ibu berikan setiap saat.

Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat bantuan , dorongan, semnangat dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dr. DRS. Surya Utama, MS. Selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang selalu menasihatkan agar tetap rajin dan giat dalam menyelesaikan studi penulis. 2. Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Sekaligus penguji II yang banyak memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini serta yang telah memberikan penulis ijin untuk memakai alat laboratorium kesehatan lingkungan dalam penelitian. 3. Dra. Nurmaini, MKM, Ph. D, selaku Dosen Pembimbing I sekaligus ketua penguji

(7)

5. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan banyak saran dan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Seruluh dosen di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Ibu Dian serta seluruh staf dan pegawai di FKM USU untuk bantuannya.

8. Ibu Rista, selaku pegawai Puskesmas Berastagi yang telah banyak membantu dalam pengambilan data.

9. Bibi Beru Barus dan Keluarga, Nande Karo yang telah meringankan tangan dalam memberikan tumpangan selama penelitian di Gundaling, buat adik Iel yang telah mengisi hari yang terik selama penelitian.

10. Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Karo serta Dinas Kesehatan Kabupaten Karo yang memberikan izin untuk penelitian.

11. Kepala Puskesmas Berastagi yang telah memberikan izin penelitian dalam penulisan skripsi ini.

12. Teristimewa untuk keluarga tercinta, Abang Pdt. Todo Lingga, STh dan Keluarga, Abang Pdt. Immanuel Lingga, STh dan keluarga, Abang Mora Lingga, Abang Sahala Lingga dan Keluarga, dan Abang Molhut Lingga, serta saudara-saudariku yang tidak dapat saya sebut satu per satu. Terima kasih untuk dukungan doa, kasih sayang, serta semangat yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

(8)

member motivasi dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini serta quality time-nya. 15. Sahabat-sahabat di Peminatan Kesehatan Lingkungan ( Devi Pohan, Yulia, Yeyen,

Siti Hardinisah, Petra, Isna, Ayu Pasaribu, , dan yang lainnya).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun dalam memprekaya materi skripsi ini. namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu kesehatan masyarakat.

Medan, Agustus 2014

(9)

viii

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

Daftar Lampiran ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Lingkungan ... 7

2.1.1 Udara ... 8

2.1.1.1 Polusi Udara ... 8

2.1.2 Lingkungan Rumah ... 13

2.1.2.1 Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal menurut Kepmenkes No829/Menkes/SK/VII/1999... 17

2.1.2.2 Indoor Air Pollution (Polusi dalam Ruangan)... 19

2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ... 21

2.2.1 Definisi ISPA ... 21

2.2.2 Epidemiologi ... 22

2.2.3 Klasifikasi ... 23

2.2.4 Tanda dan Gejala ... 26

2.2.5 Etiologi... 28

2.2.6 Patogenesis... 31

2.2.7 Faktor Resiko ... 35

2.3 Rokok ... 36

2.3.1 Definisi Rokok ... 36

2.3.2 Second Hand Smoke... 37

2.3.3 TAR ... 38

2.3.4 Dampak Rokok Bagi Kesehatan ... 41

2.3.5 Asap Rokok Sebagai Indoor Air Pollution ... 42

2.4 Kerangka Konsep ... 42

2.5 Hipotesa Penelitian ... 42

BAB III METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jens Penelitian ... 44

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.2.1 Lokasi Penelitian... 44

(10)

ix

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 46

3.5.1 Data Primer ... 46

3.5.2 Data Sekunder ... 46

3.6 Pelaksanaan Penelitian ... 46

3.7 Definisi Operasional... 47

3.8 Aspek Pengukuran ... 48

3.9 Analisis Data ... 51

3.9.1 Univariat ... 51

3.9.2 Bivariat ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN` ... 52

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 52

4.1.1 Kecamatan Berastagi... 52

4.1.2 Kelurahan Gundaling I ... 52

4.1.2.1 Demografi ... 53

4.1.2.2 Gambaran Kasus ISPA di Kelurahan Gundaling I ... 53

4.1.2.3 Karakteristik Sampel ... 53

4.2 Analisis Univariat... 54

4.2.1 Karakteristik Rumah ... 54

4.2.1.1 Kepadatan Hunian ... 55

4.2.1.2 Ventilasi ... 55

4.2.1.3 Jenis Lantai ... 56

4.2.1.4 Jenis Dinding ... 56

4.2.1.5 Jenis Langit-langit ... 57

4.2.1.6 Pencahayaan ... 58

4.2.1.7 Suhu ... 58

4.2.1.8 Kelembaban ... 59

4.2.2 Kebiasaan Merokok ... 59

4.3 Analisis Bivariat ... 60

4.3.1 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014 ... 61

4.3.1.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014... 62

4.3.1.2 Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014 ... 62

4.3.1.3 Hubungan jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014 ... 63

4.3.1.4 Hubungan Jenis Langit-langit dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014... 63

4.3.1.5 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014 ... 63

(11)

x

BAB V PEMBAHASAN ... 67

5.1 Karakteristik Rumah Responden ... 67

5.1.1 Kepadatan Hunian ... 67

5.1.2 Ventilasi ... 69

5.1.3 Jenis Lantai ... 70

5.1.4 Jenis Dinding ... 72

5.1.5 Jenis Langit-langit... 73

5.1.6 Pencahayaan... 74

5.1.7 Suhu ... 75

5.1.8 Kelembaban ... 76

5.2 Kebiasaan Anggota Rumah Tangga Merokok ... 77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

6.1 Kesimpulan ... 79

6.2 Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA

(12)

i

Kelurahan Gundaling I Tahun 2014 ... 55 Tabel 4.3 Kategori Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Ventilasi Yang Ada

Pada Rumah Responden di Kelurahan Gundaling I Tahun 2014... 56 Tabel 4.4 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Jenis Lantai di Kelurahan

Gundaling I Tahun 2014... 56 Tabel 4.5 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Jenis Dinding di Kelurahan

Gundaling I Tahun 2014... 57 Tabel 4.6 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Jenis Langit-langit di Kelurahan

Gundaling I Tahun 2014... 57 Tabel 4.7 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Pencahayaan di Kelurahan

Gundaling I Tahun 2014... 58 Tabel 4.8 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Suhu di Kelurahan Gundaling I

Tahun 2014... 59 Tabel 4.9 Karakteristik Rumah Responden Berdasarkan Kelembaban di Kelurahan

Gundaling I Tahun 2014... 59 Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Rokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014 ... 60 Tabel 4.11 Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di

(13)
(14)

xiii Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Lampiran 3. Master Data

(15)

ii

mempengaruhi sistem pernapasan terutama pada balita dan beresiko besar terhadap kejadian ISPA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan karakteristik rumah (kepadatan hunian, ventilasi, lantai, langit-langit, dinding, pencahayaan, suhu, dan kelembaban) dengan kejadian ISPA pada balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I.

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif analitik dengan desain case control. Sampel dari penelitian ini adalah 62 Balita yang tinggal di Kelurahan Gundaling I, terdiri dari 31 sampel kasus, yaitu penderita ISPA yang tercatat di data rekam medik Puskesmas Berastagi yang diambil secara total sampling, dan 31 sampel kontrol yaitu balita yang bermukin disekitar rumah penderita balita penderita. Data dianalisis dengan menggunakan Chi Square pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan kerakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Namun kebiasaan merokok di dekat balita memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p < 0,05.

Bagi masyarakat yang tinggal di Kelurahan Gundaling I diharapkan untuk tidak merokok di dekat anggota keluarhan yang masih balita dan tidak merokok didalam rumah. Diharapkan juga penyuluhan oleh petugas Puskesmas mengenai dampak rokok dan bahaya asap rokok bagi perokok pasif.

(16)

iii

major risk of Acute Respiratory Infections (ARIs) are bad house physical conditions, and smoking habits. The ciggarets smoke contains tar which is affects the respiratory system of children under 5 years old and give a high risk for the accidens of Acute Respiratory Infections (ARIs).

The purpose of this research is to find out the correlation between house’s characteristics ( residential density, ventilation, floor, ceiling, wall, lighting, temperature, and humidity) with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases of children under 5 years old which is live in the smoking habits families in Kelurahan Gundaling I.

This is a descriptive-analytic with case control design research. The samples of this researh is 62 children under 5 years old who lives in Kelurahan Gundaling I which is consist of 31 samples total sampling for case who is the sufferer of Acute Respiratory Infections (ARIs) which is recorded on the medical record of public health centre in Berastagi and 31 children under 5 years old for control who live around Acute Respiratory Infections (ARIs) sufferer. Data was analyzed by Chi Square with 95% confidence interval.

The research shows there is no correlation between house’s characteristics with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases in children under 5 years old. Smoking habits near children under 5 years old has a significant correlation with Acute Respiratory Infections (ARIs) cases in children under 5 years old (p<0,05).

As suggestions for people who live in Kelurahan Gundaling I it is required to not smoke around children under 5 years old and to not smoke in home. It is required for a prevention through counseling by health officer about the effect and hazard of cigarette for passive smoker.

(17)

Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembanguan nasional untuk mencapai kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi seluruh masyarakat agar tercapainya derajat kesehatan yang optimal (PP RI Nomor 19 Tahun 2003). Salah satu tantangan terbesar dalam pencapaian tersebut adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ISPA merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian akibat penyakit menular di dunia terutama pada balita. Hal ini dikarenakan ISPA dapat menular dengan cepat dan sering menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan masyarakat. WHO mencatat sekitar empat juta orang meninggal dunia setiap tahunnya karena ISPA dan penyakit ISPA menjadi penyebab utama mortalitas pada balita di dunia (WHO, 2007)

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, partikel yang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan seperti debu, dan jamur. Virus influenza dan Rhinovirus adalah contoh virus yang dapat menyebabkan ISPA dan Streptococcus

pneumonia adalah contoh bakteri yang dapat menyebabkan ISPA. ISPA dapat

diderita tanpa gejala berupa infeksi ringan tetapi dapat pula berupa infeksi berat dan mematikan (WHO, 2007).

(18)

(Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012). Sebagai salah satu penyebab indoor air pollution, rokok juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.

Menurut PP RI Nomor 19 tahun 2003, rokok adalah zat adiktif yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan bagi individu dan masyarakat. Rokok sangat berbahaya bagi kesehatan karena mengandung lebih dari 4000 jenis zat kimia dan sebagian besar berbahaya.

Paparan asap rokok pada perokok aktif, perokok pasif dan bukan perokok dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan termasuk ISPA serta gangguan pernafasan pada balita. Hal ini disebabkan karena 60 bahan toksik yang terkandung pada asap rokok diketahui besifat karsinogen. Tidak ada tingkat paparan yang aman dari terpapar asap rokok (WHO, 2011).

Salah satu golongan umur yang juga terpapar asap rokok, balita juga sering di sebut perokok pasif (second hand smoker). Second hand smoke adalah gabungan dari asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok dan asap rokok yang keluar dari pernafasan perokok aktif. Menurut WHO, second hand smoke lebih berbahaya karena mengandung ribuan zat kimia dan sedikitnya, 250 diantaranya dikenal sebagai zat yang bersifat karsinogenik dan beracun dan sangat berpengaruh pada kesehatan dan perkembangan balita (WHO, 2007).

(19)

mengendap di lantai dan menempel di dinding rumah dan akan dilepaskan kembali ke udara. Penelitian menunjukkan bahwa dengan membuka jendela ataupun menempatkan perokok di ruangan khusus tidak cukup membantu dalam mencegah paparan second hand smoke (ASH, 2014).

Di dunia sekitar 2 juta balita meninggal karena ISPA dari 9 juta kematian balita. Dari 5 kematian balita, satu di antaranya disebabkan oleh ISPA. Di negara berkembang, kejadian penyakit ISPA 60% disebabkan oleh bakteri dan oleh virus di negara maju. ISPA menduduki peringkat kedua penyebab kematian balita setelah diare di Indonesia (sebesar 13,2%). Walaupun demikian, ISPA tidak banyak mendapat perhatian sehingga sering disebut sebagai pembunuh balita yang terlupakan (Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).

Di Indonesia jumlah balita penderita ISPA pada tahun 2007 sekitar 477.429 balita yang tercatat dari 31 provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa 21,52% dari jumlah keseluruhan balita yang tercatat di Indonesia pada tahun 2007 menderita ISPA. Di Sumatera Utara sendiri, 148.431 balita menderita ISPA pada tahun 2012 (Profil Kesehatan Sumatera Utara 2012). Sebagai salah satu kecamatan dari Kabupaten Karo, Kecamatan Berastagi tercatat 210 orang dari 965 penderita ISPA adalah anak golongan usia balita atau sekitar 7,6% dari 2758 balita yang ada di Berastagi mengalami ISPA (data Puskesmas Berastagi Tahun 2013).

(20)

lingkungan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan hal yang penting dalam kesehatan masyarakat (Moeller, 2005).

Rumah merupakan salah satu bagian dari lingkungan sangat berpengaruh dalam kejadian suatu penyakit. Lingkungan rumah memegang kontribusi yang besar terhadap kejadian ISPA. Sebagai faktor resiko ISPA, indoor air pollution sangat dipengaruhi oleh lingkungan rumah. Kualitas udara dalam ruang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti langit-langit, ventilasi, kepadatan hunian, dan kelembaban (Permenkes RI No.1077 Tahun 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Meita (2013), bahwa ventilasi memiliki pengaruh dengan kejadian ISPA. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ventilasi yang tidak memenuhi syarat dapat memberikan kontribusi dalam kejadian ISPA. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa rumah juga berperan dalam kejadian ISPA.

Rumah adalah bangunan gedung yang difungsikan sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Rumah sehat adalah rumah yang dapat memenuhi kebutuhan manusia termasuk terhindar dari penularan penyakit (Candra,2007).

(21)

38 balita terkena ISPA pada kelurahan tersebut dari awal Januari hingga akhir April 2014.

Dari referensi diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang apakah ada hubungan antara karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil survei awal di Puskesmas Berastagi, terdapat 38 balita yang menderita ISPA dari awal Januari hingga akhir April 2014 yang ada di Kelurahan Gundaling I. Masyarakat karo juga memiliki kebiasaan merokok yang cukup tinggi bahkan menjadikan rokok sebagai salah satu pelengkap dalam acara kebudayaan. Dan dari tinjau lokasi yang dilakukan, masih banyak rumah yang ada di daerah tersebut yang belum memenuhi syarat kesehatan. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah ada hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada Balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(22)

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik rumah responden penderita ISPA dan bukan penderita ISPA yang berada di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi

2. Mengetahui karakteristik balita penderita ISPA dan bukan penderita ISPA di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi

3. Mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi

4. Mengetahui hubungan asap rokok terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pelaksana program kesehatan lingkungan pemukiman pada instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Karo.

2. Bagi peneliti, kegiatan ini dijadikan sebagai sarana belajar untuk dapat membantu mencegah penyakit ISPA yang ada di masyarakat serta mampu menerapkan ilmu dan pengalaman yang didapat selama belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(23)

7

Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kualitas lingkungan yang semakin menurun dapat mengancam perikehidupan manusia (UU RI Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009).

Lingkungan merupakan kondisi dan segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk hidup maupun kelompok makhluk hidup ataupun kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi seseorang maupun sekumpulan orang (William dan Mary, 2004). Banyak aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan. Banyak pula penyakit yang disebabkan, dipengaruhi, dan ditularkan oleh faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan hal yang penting dalam kesehatan masyarakat (Moeller, 2005).

(24)

tercampur ke badan air, dan sampah padat, plastik dan zat kimia berbahaya akan menumpuk di permukaan tanah (Moeller, 2005).

2.1.1 Udara

Udara merupakan zat yang paling penting setelah air dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi ini. Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam-macam gas yang terdiri dari 78,1% nitrogen, 20,9% oksigen, 0,03% karbon dioksida, dan selebihnya berupa gas neon, argon, krypton, xenon, dan helium. Selain sebagai sumber oksigen, udara memiliki fungsi sebagai penghantar suara dan sebagai pendingin benda yang panas. Namun udara juga dapat menjadi media penyebaran penyakit bagi manusia (Chandra, 2007).

Penurunan kualitas udara sebagai akibat dari masuknya komponen lain ke dalam udara baik karena kegiatan manusia ataupun secara alami yang mengakibatkan lingkungan manjadi tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya disebut sebagai polusi udara. Selain dapat mempengaruhi struktur dan kepekaan udara, polusi udara juga dapat mempengaruhi kesehatan manusia (Journal of Allergy and Clinical Immunology, 2004).

2.1.1.1 Polusi Udara

(25)

Menurut United States Environmental Protection Agency (2007) mendefinisikan polusi udara sebagai adanya kontaminan ataupun substansi polutan dalam udara yang mengganggu kesehatan dan kesejahteraan manusia, atau menimbulkan dampak kerusakan bagi lingkungan. Dari definisi tersebut, kualitas udara harus tetap dipertahankan agar dapat mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya (Vallero,2008).

Ada dua jenis sumber pencemaran yaitu pencemaran alami, dan pencemaran akibat aktivitas manusia (Tiwary dan Colls, 2010).

a. Pencemaran alami

Pencemaran alami merupakan adanya bahan polutan yang diakibatkan oleh proses alami.

1. Sulfur dioksida yang dilepaskan secara langsung ke udara melalui letusan gunung berapi, atau terbentuk dari oksidasi dimetil sulfida yang dilepaskan oleh pitoplankton di lautan.

2. Oksidasi dari nitrogen yang terbentuk ketika pembakaran.

3. Nitrogen oksida yang diemisikan dari permukaan tanah oleh bakteri denitrifikasi.

4. Hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri anaerob. 5. Amonia yang berasal dari kotoran hewan.

6. Ozon yang terbentuk akibat radiasi sinar UV terhadap oksigen

(26)

8. Non-biogenic particles yang berasal dari letusan gunung berapi ataupun yang berasal dari tanah.

9. Biogenic particles seperti serbuk sari, spora, dan garam laut. b. Polutan yang berasal dari aktivitas manusia (Chandra, 2007):

1. Sisa pembakaran bahan bakar minyak oleh kendaraan bermotor berupa gas CO, CO2, NO, karbon, hidrokarbon, aldehide, dan Pb.

2. Limbah industri seperti limbah kimia, metalurgi, tambang, pupuk dan minyak bumi.

3. Pembakaran sisa pertanian, pembakaran hutan, sampah, dan limbah reaktor nuklir.

Dalam proses pencemaran ini, terjadi proses sinergestik berupa suatu keadaan ketika polutan satu dengan polutan yang lain di dalam udara bereaksi menjadi jenis polutan baru yang lebih berbahaya dari polutan sebelumnya. Seperti ketika dua jenis polutan yang berasal dari sisa pembakaran bahan bakar fosil (NO dan hodrokarbon) membentuk polutan baru seperti peroksiasetil nitrit dan ozon dengan bantuan sinar ultraviolet yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan gangguan pernafasan (Chandra, 2007).

Chandra (2007) juga membagi polutan kedalam dua bagian yaitu: a. Struktur kimia

(27)

3. Gas organik seperti gas hidrokarbon, benzen, etilen, asetilen, aldehide, keton, alkohol, dan asam-asam organik.

b. Penampang partikel

Ukuran dari partikel berbeda-beda dan setiap partikel dapat melekat pada bagian saluran pernapasan sesuai dengan ukuran partikelnya yang dapat menyebabkan bahaya bagi kesehatan manusia.

Pencemaran udara yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor meteorologi dan iklim serta faktor topografi (Chandra, 2007).

a. Faktor meteorologi dan iklim 1. Suhu

Pergerakan lapisan udara dingin ke suatu kawasan dapat menimbulkan inversi suhu. Akibatnya udara akan terperangkap dan tidak dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung menahan polutan. Jika ini berlangsung lama, konsentrasi polutan di udara akan semakin tinggi dan menimbulkan keadaan yang sangat kritis bagi kesehatan (Chandra, 2007). Selain itu, suhu udara di perkotaan yang lebih panas dari daerah lain juga dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa berbahaya seperti nitrogen dioksida dan ozon pada daerah inversi yang terjadi pada proses potokimia (Willliam dan Mary, 2004).

(28)

2. Arah dan kecepatan angin

Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang jauh dan dapat mencemari udara bahkan hingga negara lain. Sebaliknya, kecepatan udara yang lemah mengakibatkan polutan akan menumpuk di tempat dan dapat mencemari udara di pemukiman yang terdapat di sekitar lokasi pencemaran.

3. Hujan

Air hujan merupakan pelarut umum yang melarutkan polutan yang ada di udara. Pembakaran batu bara akan menghasilkan gas sulfur dioksida yang apabila gas tersebut tercampur dengan air hujan akan membentuk asam sulfat sehingga air hujan menjadi asam dan sering desebut hujan asam.

b. Topografi

1. Dataran rendah

Di daerah dataran rendah, angin akan membawa polutan terbang jauh keseluruh penjuru dan mampu melewati batas negara sehingga mencemari negara lain.

2. Pegunungan

Di daerah dataran tinggi seperti pegunungan, sering terjadi inversi suhu dan udara dingin yang terperangkap akan menahan polutan tetap di lapisan permukaan bumi.

3. Lembah

(29)

Pengaruh pencemaran udara yang dapat dialami manusia memungkinkan manusia mengalami serangan jantung, penyakit saluran pernapasan, dan kanker paru. Hal ini dapat terjadi karena zat oksidasi yang kuat seperti sulfat, SO2, NOx, dan O3 mengiritasi dan merusak jaringan mata dan paru-paru. Hal ini mengakibatkan paltikulat-partikulat menembus ke dalam paru-paru yang mengakibatkan iritasi, luka, dan bahkan pertumbuhan sel tumor. Tekanan jantung terjadi akibat gangguan fungsi paru-paru. Karbon monoksida akan diikat oleh haemoglobin yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen yang terjadi di otak mengakibatkan sakit kepala, pusing, dan juga mengakibatkan tekanan jantung meningkat (William dan Mary, 2004). 2.1.2 Lingkungan Rumah

Sebagai bagian dari lingkungan, rumah merupakan tempat di mana manusia menghabiskan sebahagian besar waktunya sehari-hari. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1992, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

Menurut WHO, rumah dikatakan sehat apabila memenuhi beberapa kriteria, antara lain (Wicaksono, 2009):

1. Harus dapat melindungi dari hujan, panas, dingin, dan berfungsi sebagai tempat istirahat.

2. Mempunyai tempat-tempat untuk tidur, masak, mandi, mencuci, kakus, dan kamar mandi.

(30)

4. Bebas dari bahan bangunan yang berbahaya.

5. Terbuat dari bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi penghuninya dari gempa, keruntuhan, dan penyakit menular.

6. Memberi rasa aman dan lingkungan tetangga yang serasi.

Menurut winslow, rumah dapat dikatakan sehat apa bila memiliki 4 kriteria yaitu dapat memenuhi kebutuhan Fisiologis, dapat memenuhi kebutuhan psikologis, menghindarkan penghuni dari terjadinya kecelakaan, dan menghindarkan terjadinya penyakit. Di Indonesia sendiri, terdapat kriteria rumah sehat sederhana, yaitu (Candra, 2007):

1. Luas tanah antara 60-90 meter2. 2. Luas bangunan antara 21-36 meter2.

3. Memiliki fasilitas kamar tidur, WC (kamar mandi), dan dapur. 4. Berdinding batu bata dan diplester.

5. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek. 6. Memiliki sumur atau air PAM.

7. Memiliki fasilitas listrik minimal 450 Watt. 8. Memiliki bak sampah dan saluran air kotor.

Dari kriteria-kriteria di atas, terdapat faktor-faktor keutuhan yang harus diperhatikan dan dipenuhi.

1. Kebutuhan fisiologis

(31)

a. Suhu ruangan

Suhu ruangan harus tetap diperhatikan berkisar 18-200C. Suhu ruangan sangat dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, suhu benda-benda yang ada di sekitar.

b. Penerangan

Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik pada siang maupun malam hari. Idealnya, penerangan didapat dengan bantuan listrik dan diupayakan agar setiap ruangan mendapatkan cahaya matahari di pagi hari.

c. Ventilasi udara

Pertukaran udara yang baik akan membuat hawa dalam ruangan menjadi segar (tercukupiya oksigen). Dengan demikian setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai. Total luas jendela yang harus diupayakan adalah 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu dibuka.

d. Jumlah ruangan atau kamar

Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama dalam satu rumah atau sekitar 5 m2per orang. 2. Kebutuhan psikologis

(32)

a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.

b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

c. Untuk setiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa, harus memiliki ruangan sendiri sehingga privasinya tidak terganggu.

d. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, seperti ruang untuk menerima tamu.

3. Bahaya kecelakaan dan kebakaran

Adapun kriteria yang harus dipenuhi agar penghuni rumah terhindar dari kecelakaan dan kebakaran antara lain:

a. Konstruksi rumah dan bahan-bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah runtuh.

b. Memiliki saran pencegahan kasus kecelakaan di sumur, kolam, dan tempat-tempat lainnya khususnya untuk anak-anak.

c. Bangunan diupayakan terbuat dari material yang tidak mudah terbakar. d. Memiliki alat pemadam kebakaran terutama yang menggunakan gas. e. Lantai tidak boleh licin dan tergenang air.

4. Lingkungan

(33)

b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik. c. Dapat mencegah terjadinya perkembangbiakan vektor penyakit seperti

nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya.

Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran (seperti kawasan industri) dengan jarak minimal sekitar 5 km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hijau dan bebas banjir.

2.1.2.1 Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal

Adapun persyaratan kesehatan rumah tinggal menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 adalah sebagai berikut (siregar, 2013):

1. Bahan bangunan

a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat

membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150 μ g/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, timbal kurang dari 300 mg/kg bahan.

b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.

2. Komponen dan penataan ruangan

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan.

b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan.

(34)

e. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan

Pencahayaan alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara

a. Suhu udara nyaman antara 18-300C b. Kelembaban udara 40-70%

c. Gas SO2kurang dari 0,1 ppm/24 jam d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3 5. Ventilasi

Luas lubang ventilasi alami yang permanen minimal 10% luas lantai. 6. Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk, ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air

a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari.

(35)

8. Sarana penyimpanan makanan

Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan limbah

a. Limbah cair yang berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

10. Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8 m2dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang. 2.1.2.2 Indoor Air Pollution (Polusi dalam Ruangan)

Environmental Protection Agency (EPA) menemukan bahwa toksisitas dalam

(36)
[image:36.612.24.594.121.695.2]

Banyak orang berasumsi bahwa udara di dalam rumah mereka lebih bersih dibanding di luar rumah. Ternyata hal ini tidak sepenuhnya benar. Ketika udara di dalam ruangan tidak memiliki sumber pencemar seperti kendaraan, terdapat banyak polutan yang ditemukan di dalam ruangan. Setiap jenis polutan di dalam ruangan tidaklah memiliki pengaruh yang siknifikan terhadap kesehatan. Namun semua jenis polutan akan memiliki dampak kumulatif bagi resiko kesehatan yang cukup serius (Encyclopedia of Global Health, 2008).

Tabel 2.1 Jenis-jenis, sumber, dan pengaruh polutan pada indoor air pollution

Polutan Sumber Pengaruh terhadap kesehatan

1. Polutan anorganik

a. CO2 Pembakaran, polusi

dari luar rumah

Frekuensi bernapas cepat, sesak napas, pening, sakit kepala, mual, pingsan, dan kematian

b. CO Pembakaran dan asap

rokok

Penurunan fungsi haemoglobin, ganguan jantung dan otak, kematian

c. NO2 Pembakaran yang

menggunakan minyak tanah dan kayu, asap rokok

Iritasi paru-paru

d. SO2 Pembakaran minyak

tanah

Gangguan saluran pernapasan, penurunan fungsi sensoris hidung, bronchitis kronik

e. Ozon Sinar UV, mesin

fotokopi, printer laser

Iritasi mata, hidung dan tenggorokan, sesak napas, asma 2. Polutan organik

a. Volatile organic compounds (VOCs)

Benda-benda yang ada di rumah, produk

konsumen, cat,

perabot, pestisida, bahan bakar

Gangguan sistem saraf pusat, iritasi mata, saluran pernapasan dan kulit, kerusakan hati dan ginjal.

b. Formaldehid Busa, cat, pernis, kompor gas, plastik,

(37)

rokok, kematian c. Pestisida Racun serangga, racun

tikus,

Keracunan 3. Polutan fisik

a. Particulate matter

Pembakaran,

kontaminan biologis, debu,

Iritasi paru-paru, kanker paru, gangguan saluran pernapasan

b. Asbestos Asbes Gangguan pernapasan,

asbestosis, kanker paru

c. Radon Celah dinding dan

lantai bawah tanah, material bangunan

Kanker paru

4. Asap rokok Rokok Iritasi mata, hidung, dan

tenggorokan, ISPA, kanker paru 5. Agen biologis

a. Tungau Karpet, tempat tidur, bantal, mainan anak

Asma b. Bulu hewan Hewan peliharaan Asma

c. Jamur Benda yang terbuat

dari kayu, jasat hewan

Reaksi alergi, asma, iritasi membran mukosa

d. Bakteri Manusia, hewan, AC ISPA

Sumber: Indoor Air Quality–A comprehensive Reference Book (1995)

2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.2.1 Defenisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah yang dapat menular dan menimbulkan tingkatan penyakit dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit parah yang mematikan tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan pejamunya (WHO, 2007).

(38)

ISPA juga diartikan sebagai radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh jasat renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA yang mengenai saluran napas bawah misalnya bronkitis, bila menyerang anak-anak, khususnya bayi, balita, dan orang tua, akan memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek dan sering sekali berakhir dengan kematian (Alsagaff, 2005).

2.2.2 Epidemiologi

ISPA masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada balita. ISPA menduduki peringkat kedua penyebab kematian balita setelah diare di Indonesia (sebesar 13,2%) menurut Riskesdas 2007 dan menjadi penyebab utama mortalitas pada balita di dunia menurut WHO. Walaupun demikian, ISPA tidak banyak mendapat perhatian sehingga sering disebut pembunuh balita yang terlupakan. Di dunia sekitar 2 juta balita meninggal Karena ISPA dari 9 juta kematian balita. Dari 5 kematian balita, satu di antaranya disebabkan oleh ISPA. Di negara berkembang, kejadian penyakit ISPA 60% disebabkan oleh bakteri dan oleh virus di negara maju (Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).

(39)

2.2.3 Klasifikasi

Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2012, ISPA dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian.

1. Bukan pneumonia

ISPA bukan pneumonia merupakan gangguan pernafasan yang ditandai dengan tidak adanya tarikan dinding dada bagaian bawah ke dalam serta tidak adanya frekuensi nafas yang cepat (kurang dari 40 kali per menit) seperti batuk pilek biasa, pharyngitis, tonsillitis, otitis.

2. Pneumonia

Ciri-ciri yang membendakan bahwa seseorang anak terkena pneumonia adalah tidak adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam tetapi disertai dengan nafas yang cepat.

3. Pneumonia berat

Apa bila seorang anak terkena pneumonia berat, maka penyakit ini akan ditandai dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

Berdasarkan inang dan lingkungan, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi 6 jenis yaitu (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam):

1. Pneumonia komunitas, yaitu pneumonia yang bersifat sporadik atau endemik, dan menyerang golongan usia muda atau tua.

2. Pneumonia nosokomial, yaitu pneumonia yang didahului perawatan di rumah sakit 3. Pneumonia rekurens, yaitu pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan

(40)

4. Pneumonia aspirasi, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh masuknya benda asing kedalam paru dan pada umunya menyerang usia tua

5. Pneumonia pada gangguan imun, yaitu pneumonia yang terjadi pada pasien transplantasi, onkologi dan penderita AIDS.

Secara klinis, pneumonia dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu (Yunus dkk, 1992): 1. Community acquired pneumonia

Community acquired pneumonia merupakan pneumonia yang didapatkan di

masyarakat dan terjadi di luar rumah sakit 2. Nosokomial pneumonia

Nosokomial pneumonia adalah pneumonia yang didapatkan oleh seorang pasien selama dirawat di rumah sakit. Hampir 1% dari pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami pneumonia dan sepertiga dari antaranya meninggal dunia. Dan lebih dari 60% pasien yang dirawat di ruang ICU akan menderita pneumonia.

3. Pneumonia in the immunocompromised host

Pneumonia jenis ini terjadi akibat terganggunya system kekebalan tubuh.

Zul Dahlan (2009) membagi pneumonia ke dalam beberapa macam berdasarkan patofisiologinya, yaitu (Buku Ajar lmu Penyakit Dalam):

1. Pneumonia Aspirasi

(41)

paru, dan obstruksi mekanik simple oleh bahan padat. Kerusakan paru yang terjadi tergantung jumlah bahan yang teraspirasi serta daya tahan tubuh.

2. Pneumonia pada gangguan imun

Pneumonia pada gangguan imun terjadi akibat terjadinya gangguan sistem imunitas seperti menurunnya system kekebalan tubuh seseorang akibat mengalami penyakit tertentu yang mengakibatkan terjadinya manifestasi infeksi pada paru bagian bawah sebagai infeksi ikutan.

3. Pneumonia pada usia lanjut

Pneumonia pada usia lanjut merpakan pneumonia yang terjadi pada golongan usia di atas 60 tahun baik yang tinggal di rumah maupun di rumah perawatan yang gejalanya berbeda dengan golongan usia muda seperti sedikit batuk dan demam ringan, dan sering disertai dengan gangguan status mental atau bingung, dan lemah. Kelainan fisik paru biasanya ringan.

4. Pneumonia kronik

Pneumonia kronik dapa berupa pneumonia karena infeksi dan bukan karena infeksi. Pneumonia non infeksi antara lain pada pneumonia intersisial kronik yang disebabkan oleh proses degeneratif yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan proses fibrosis pada alveolar yang diikuti indurasi dan atrofi paru. Pneumonia akibat infeksi merupakan pneumonia yang berkembang dan berlangsung berminggu-minggu sampai berbulan-bulan yang dapat disebabkan oleh bakteri ataupun cacing.

(42)

Pneumonia rekurens (berualng) merupakan pneumonia yang terjadi apabila dijumpai 2 atau lebih episode infeksi paru non TB dengan berjarak waktu lebih dari 1 bulan dan disertai adanya febris, sputum yang purulen, leukositosis, dan respon terhadap antibiotik yang baik

6. Pneumonia resolusi lambat

[image:42.612.24.602.119.678.2]

Pneumonia resolusi lambat merupakan pneumonia yang terjadi bila pengurangan gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50% dalam dua minggu da berlangsung lebih dan 21 hari.

2.2.4 Tanda dan Gejala

Ada beberapa gejala yang biasa ada pada penderita pneumonia seperti demam, menggigil, batuk, serta nyeri dada dengan tarikan nafas yang dalam disertai dengan sesak nafas. Gejala ini mungkin dapat muncul dalam waktu yang singkat maupun lambat. Gejala lain yang bisa menyertai gejala pneumonia seperti sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri sendi dan otot, serta kelelahan. Tanda yang dapat ditemukan ketika pemeriksaan dilakukan adalah detak jantung yang cepat, frekuensi napas yang cepat, dan adanya tarikan dinding dada bagian bawah kearah dalam (Encyclopedia of Global Health, 2008)..

(43)

2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam. Jika bayi yang menderita pneumonia bernapas dengan ventilator akan tampak bahwa jumlah lendir meningkat (Misnadiarly, 2008).

Gejala pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama beberapa hari. Kemudian didapati demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 400C, sesak napas, nyeri dada, dan batuk dengan dahak kental berwarna kuning hingga hijau. Tanda lain yang juga mungkin ada berupa kulit lembab (Alsagaff, 2005).

(44)

berupa konfusio, letargi, sakit kepala, lemas, anoreksia, nyeri perut, episode jatuh, dan inkontinensia.

2.2.5 Etiologi

ISPA disebabkan oleh adanya infeksi pada bagian saluran pernapasan. ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan polusi udara.

1. Pada umumnya ISPA disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Staphylococcus aureus, (Encyclopedia of Global Health, 2008). dan bekteri yang

paling sering menyebabkan ISPA adalah Streptococcus pneumonia (Misnadiarly, 2008).

2. ISPA yang disebabkan oleh virus dapat disebabkan oleh virus sinsisial pernapasan, hantavirus, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, virus herpes simpleks, sitomegalovirus, rubeola, varisella (Misnadiarly, 2008).

Ada 6 gambaran klinik sindroma ISPA yang disebabkan oleh virus, yaitu (Alsagaff, 2005):

a. Sindroma korisa

(45)

b. Sindroma faring

Gejala klinik yang menonjol adalah suara serak, dan nyeri tenggorok dengan derajat ringan sampai berat. Gejala umum sindroma ini berupa panas dingin, malaise, nyeri/pegal seluruh badan, nyeri kepala, dan kadang-kadang suara parau.

c. Sindroma faringokonjungtiva

Merupakan varian dari sindroma faring yang disebabkan oleh virus yang sama. Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti konjungtivitis yang sering kali bilateral. Pada sindroma ini, didapati fotofobia, dan nyeri pada bola mata.

[image:45.612.28.592.105.702.2]

d. Sindroma influenza

Gambaran yang menonjol pada sindroma ini dalah gangguan fisik yang cukup berat dengan gejala batuk, meriang, badan panas, badan lemah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, nyeri seluruh tubuh, malaise, dan anoreksia. Gejala ini terjadi secara mendadak dan dengan cepat dapat menular kesemua anggota keluarga. e. Sindroma herpangina

(46)

f. Sindroma laringotrakeobronkitis obstruktif akuta

Pada anak-anak, gambaran sindroma ini tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak napas. Gejala awal sering ringan berupa sindroma korisa, kemudian cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan penarikan sela antar tulang iga bagian bawah serta penggunaan otot-otot napas bantu secara menonjol.

3. ISPA yang disebabkan oleh jamur dapat disebabkan oleh candidiasis, histoplasmosis, aspergifosis, Coccidioido mycosis, Cryptococosis, Pneumocytis carinii (Misnadiarly, 2008).

4. ISPA yang disebabkan oleh polusi, antara lain disebabkan oleh asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga, asap kendaraan bermotor dan buangan industri serta kebakaran hutan dan lain-lain (WHO, 2007)

5. Ada juga ISPA yang disebabkan oleh virus yang belum diidentifikasi dan sering disebut mikoplasma. Mikroplasma tidak dapat dikatakan sebagai virus maupun bakteri meskipun memiliki karakteristik dari keduanya (misnadiarly, 2008).

a. Seorang penderita AIDS sering mengalami pneumonia yang jarang dialami orang yang bukan penderita AIDS seperti Pneumocystis carinii.

b. Seseorang yang berada dalam ruangan berpendingin dapat mengidap pneumonia legionella.

(47)

teraspirasi tersebut yang mengakibatkan pneumonia, bukan golongan virus maupun bakteri.

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi, akan tetapi, dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain dan sering dikenal sebagai (Alsagaff,2005):

a. Pneumonia lipid oleh karena aspirasi minyak mineral.

b. Pneumonia kimiawi yang disebabkan oleh inhalasi bahan-bahan organik dan anorganik atau uap kimia seperti berilium.

c. Extrinsic allergic alveolitis yang disebabkan oleh inhalasi bahan debu yag mengandung allergen.

d. Pneumonia karena obat seperti nitrofurantoin, busulfan dan metotreksat. e. Pneumonia karena radiasi.

f. Pneumonia dengan penyebab tidak jelas seperti desquamative interstitial pneumonia, eosinofilik pneumonia.

2.2.6 Patogenesis

Selama hidup, saluran nafas merupak organ tubuh yang selalu terpapar dengan dunia luar. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun pertikel dan gas tergantung pada beberapa hal seperti (Rab, 1996):

a. Filtrasi udara pernapasan

(48)

berukuran < 0,5 mikron akan dapat masuk kedalam alveoli, akan tetapi dapat pula dikeluarkan sebagai sekresi.

b. Muskosiliar

Mukus dan partikel yang terbungkus oleh mukus akan dikeluarkan dari paru-paru menuju laring melalui gerakan silia. Asap rokok dapat mengiritasi pada saluran pernapasan yang dapat menurunkan kemampuan silia dalam mengeluarkan mukus.

c. Sekresi oleh humoral lokal

Zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain: 1. Lisozim yang dapat melisis bakteri.

2. Laktoferon yang dapat mengikat zat besi dan bersifat bakteriostatik.

3. Interferon merupakan protein yang memiliki kemampuan dalam membunuh virus.

4. IgA yang dikeluarkan oleh sel plasma yang berperan dalam mencegah terjadinya infeksi virus.

d. Fagositosis

Sel fagosit berperan dalam memfagosit mikroorganisme dan kemudian menghancurkannya.

e. Surfaktan

(49)

Oleh karena itu surfaktan juga turut dalam pembersihan alveoli dari bakteri dan kotoran.

Ada tiga cara penyebaran ISPA, yaitu (Alsagaff, 2005): 1. Melalui aerosol yang lembut seperti batuk.

2. Melalui aerosol yang lebih kasar yang terjadi pada waktu batuk dan bersin-bersin.

3. Melalui kontak langsung maupun tidak langsung dari benda yang dicemari jasad renik ( hand to hand transmission).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia, antara lain (Yunus, 1992).:

a. Mekanisme pertahanan paru

Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa mekanisme tersebu tersebut antara lain bentuk anatomis saluran nafas, refleks batuk, sistem mukosilier, dan juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel yang mencapai alveoli. Bila fungsi ini berjalan dengan baik, maka bahan infeksius akan dapat dikeluarkan dari saluran napas, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi.

b. Kolonisasi bakteri di saluran napas

(50)

bawah dan paru, dan terjadi kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini akan bersifat manifestasi sebagai penyakit.

c. Pembersihan saluran napas dari bahan infeksius

Saluran napas bawah dan paru berulang kali dimasuki oleh berbagai mikroorhanisme, akan tetapi tidak menimbulkan sakit. Ini menujukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien yang dapat mengeluarkan mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit.

(51)

2.2.7 Faktor resiko

Ada beberapa faktor resiko ISPA seperti kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruang (indoor air pollution), BBLR, kepadatan penduduk dan kurangnya imunisasi campak (Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).

Mereka yang rentan terkena pneumonia adalah peminum alkohol, perokok, penderita diabetes mellitus, penderita gagal jantung, penderita penyakit paru obstruktif menahun, gangguan sistem kekebalan karena obat tertentu (penderita kanker menerima organ cangkokan), dan penderita AIDS (Misnadiarly, 2008).

1. Usia

Usia juga mempengaruhi seseorang terkena ISPA. Pada golongan usia balita, ISPA sering terjadi karena organ paru yang masih sangat rentan dan masih dalam tahap perkembangan sehingga segala sesuatu yang masuk kedalam paru-paru dapat mempengaruhi fungsi faal paru-paru. Pada usia lanjut, semakin tua seseorang, semakin banyak perubahan anatomi dan struktur organ tubuhnya termasuk saluran napas bagian bawah, berkurangnya refleks batuk, dan menurunnya fungsi pertahanan paru. Hal ini membuat seseorang sangat rentan terkena pneumonia.

2. Rokok

(52)

dapat mengurangi kerja paru-paru dari orang yang bukan perokok dan menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan yang berakibat batuk, dahak yang berlebihan dan rasa tidak nyaman pada dada. Selain itu asap rokok juga salah satu penyumbang indoor air pollution yang dapat mengakibatkan pneumonia (Encyclopedia of Global Health,

2008). 3. Alkohol

Penelitian membuktikan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko pneumonia. Konsumsi alkohol dapat merusak pembentukan dan fungi netrofil. Konsumsi alkohol yang berlebihan juga dapat memperparah dan bahkan kematian akibat pneumonia (Niederman, 2005).

4. Penyakit campak

Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang sangat infeksius dan 90% mengenai balita. Dikhawatirkan, apabila anak balita menderita penyakit campak dangan komplikasi pneumonia dapat menyebabkan kematian (Kemenkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2012).

2.3 Rokok

2.3.1 Definisi rokok

(53)

tembakau. Namun di beberapa negara ada lebih dari 600 zat tambahan yang diizinkan ditambahkan pada rokok yang sebagian orang tidak mengetahui kalau zat ini memberikan pengaruh terhadap kesehatan. Zat aditif ini ditambahkan sebagai pengawet dan penambah cita rasa. Zat aditif ini tidak dilampirkan dalam kemasan yang secara umum ditambahkan untuk mempertahankan kesegaran tembakau, untuk menutupi rasa atau bau yang tidak enak dan meningkatkan sensasi bagi para perokok (Anderson, 2006).

Ketika seorang perokok merokok, bagian rokok yang terbakar akan mencapai suhu 7000C dan menyebabkan terjadinya reaksi kimia termasuk pembentukan gas sepeti karbon monoksida dan menguapnya zat yang bersifat lengket yang dikenal sebagai tar. Ketika asap rokok mencapai paru-paru, zat kimia yang terkandung dalam asap rokok akan merusak saluran pernapasan. Kemudian tar akan menguap dan menempel pada bagian bronkiolus dan alveolus yang kemudian akan mempengaruhi kemampuan saluran pernafasan untuk mencegah infeksi dan membuat resiko terkena infeksi saluran pernafasan menjadi lebih besar (Anderson, 2006).

2.3.2 Second Hand Smoke

Secondhand smoke merupakan akumulasi asap yang dihasilkan oleh

(54)

langsung, namun kadar toksin yang berada pada secondhand smoke jauh lebih tinggi (ASH, 2014).

Anak-anak merupakan golongan yang berpotensi terkena paparan secondhand smoke lebih besar dibandingkan orang dewasa (Encyclopedia of Global Health,

2008). Hal ini terjadi karena saluran pernafasan anak- anak masih berada pada takap perkembangan dan masih sangat mudah untuk rusak. Selain itu balita menghirup lebih banyak asap rokok karena mereka memiliki frekuensi bernafas yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa (HealthlinkBC, 2012).

2.3.3 TAR

Sekitar 85% asap tembakau dalam ruangan biasanya merupakan asap samping (sidestream smoke) dari ujung rokok yang terbakar. Banyak racun didapatkan dalam kadar yang lebih tinggi dari asap samping daripada asap yang diisap secara langsung oleh perokok dari rokoknya. Banyak dari antara bahan kimia yang teridentifikasi dalam asap rokok merupakan zat kimia berbahaya. Bahan-bahan kimia ini terutama terkonsentrasi di dalam tar, yaitu cairan cokelat lengket yang terkondensasi dari asap rokok (John and David, 2002).

(55)

dan formaldehid ketika bertemu dengan zat kimia lain akan membentuk senyawa kimia yang dapat mengakibatkan pertumbuhan sel kanker (Harold, 2001).

Ketika rokok dinyalakan, bagian rokok yang terbakar dapat mencapai suhu 7000C. Pembakaran tembakau dengan suhu tinggi ini mengakibatkan banyak terjadi reaksi kimia yang menghasilkan residu. Sisa pembakaran yang terbentu ada dua jenis yaitu gas (seperti CO, CO2, SOx) dan partikel. Partikel yang terbentuk merupakan partikel yang terkondensasi (menguap akibat suhu yang tinggi) dan bergabung sehingga membentuk cairan yang berwarna kecokelatan serta bersifat lengket yang dikenal sebagai tar. Ketika seorang perokok mengisap asap rokok dan memasukkannya ke dalam saluran pernapasannya, asap tersebut akan mengiritasi permukaan saluran pernapasan sehingga mengakibatkan batuk maupun sensasi seperti terbakar. Ketika tar terhirup, tar akan menempel pada bronkiolus dan alveolus. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan paru-paru melawan infeksi dan membuat kita semakin berpotensi terkena batuk, flu, bronchitis, dan ISPA. Hal ini juga mempersulit oksigen masuk ke dalam peredaran dara. Sebagian dari tar akan tinggal di paru-paru, dan selebihnya diabsorbsi melalui dinding paru yang jika lama-kelamaan dapat mengakibatkan kanker (Anderson, 2006).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kadar tar dalam asap rokok dari sebatang rokok, antara lain (Boyle, 2010):

1. Penggunaan filter rokok

(56)

sianida, formaldehid, akrolein, dan asetaldehid hingga 66%. Namun filter jenis ini ternyata kurang efektif dalam mengurangi tar dalam asap rokok. Setelah ditemukannya filter yang terbuat dari selulosa asetat, pelepasan tar dapat dikurangi hingga 50%.

2. Struktur rokok

Asap rokok yang terbentuk tergantung dari parameter fisik rokok seperti panjang dan diameter rokok, dan lebar irisan tembakau. Semakin panjang ukuran sebatang rokok, maka semakin tinggi pula kadar tar yang dihasilkan. Begitu pula dengan diameter rokok, semakin tebal diameter sebatang rokok, maka semakin tinggi pula kadar tar dalam asap rokok. Hal ini dikarenakan semakin tebal diameter rokok, semakin banyak pula tembakau yang harus digunakan. Jumlah potongan tembakau per inchi juga sangat berpengaruh dengan kadar tar yang dihasilkan. Semakin banyak irisan tembakau per inchi, baka semakin rendah pula kadar tar yang dihasilkan. Penurunan kadar tar dari 8 irisan dengan 60 irisan adalah dari 29,1 mg menjadi 23 mg tar.

3. Tipe tembakau

(57)

mg. sementara kadar tar pada tembakau yang dikeringkan dengan cara dianginkan berkisar 21,2-25,6 mg.

2.3.4 Dampak Rokok Bagi Kesehatan

Penelitian menunjukkan bahwa perokok aktif ternyata juga dapat memberi resiko kesehatan pada orang yang tidak merokok yaitu sebagai perokok pasif baik pada orang dewasa, anak-anak maupun balita (Encyclopedia of Global Health, 2008). 1. Pada orang dewasa

Orang yang terpapar secondhand smoke memiliki resiko terkena kanker paru dan kerusakan hati yang lebih besar. Ada beberapa penyakit yang telah terbukti memilki kaitan dengan kebiasaan merokok secara aktif maupun pasif, seperti:

a. Kanker kandung kemih, leher rahim, kerongkongan, ginjal, laring, paru-paru, rongga mulut, pankreas, dan leukemia.

b. Serangan jantung, pelebaran dan pengerasan pembuluh darah arteri pada jantung dan perut, stroke, dan penyakit jantung koroner.

c. Kemandulan, kelahiran premature, lahir mati, dan BBLR. 2. Pada anak-anak dan balita

(58)

2.3.5 Asap Rokok Sebagai Indoor Air Pollution

Merokok merupakan salah satu sumber pencemaran udara dalam ruangan terbesar sekaligus penyebab kanker paru. Asap rokok mengandung bermacam-macam zat yang tidak dapat di hilangkan dengan ventilasi maupun penyaring udara. Di luar ruangan, resiko gangguan kesehatan akibat asap rokok lebih kecil dan tidak begitu menonjol (Encyclopedia of Global Health, 2008).

2.4 Kerangka Konsep

Variambel independen Variabel dependen

2.5 Hipotesa Penelitian

1. Ho: tidak ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadia ISPA pada balita 2. Ho: tidak ada hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita

Ha: ada hubungan ventilasi dengan kejadia ISPA pada balita Karakteristik rumah:

1. Kepadatan hunian 2. Ventilasi

3. Jenis lantai 4. Jenis dinding 5. Jenis langit-langit 6. Pencahayaan 7. Suhu

8. kelembaban

Kasus ISPA pada balita

Kontrol

tidak ada ISPA pada balita Kebiasan anggota

(59)

3. Ho: tidak ada hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan jenis lantai dengan kejadia ISPA pada balita

4. Ho: tidak ada hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan jenis dinding dengan kejadia ISPA pada balita

5. Ho: tidak ada hubungan jenis langit-langit dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan jenis langit-langit dengan kejadia ISPA pada balita

6. Ho: tidak ada hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan pencahayaan dengan kejadia ISPA pada balita

7. Ho: tidak ada hubungan suhu dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan suhu dengan kejadia ISPA pada balita

8. Ho: tidak ada hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita Ha: ada hubungan kelembaban dengan kejadia ISPA pada balita

9. Ho: tidak ada hubungan kebiasaan merokok anggota keluarga terhadap kejadian ISPA pada balita

(60)

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitik yaitu untuk mengetahui hubungan karakteristik rumah dengan kejadian ISPA pada balita dalam keluarga perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo tahun 2014 dengan rancangan penelitian Case Control, yaitu suatu penelitian survey analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan pendekatan retrospektif, dimana status kesehatan diidentifikasi terlebih dahulu baru kemudian faktor resiko diidentifikasi adanya atau pengaruhnya pada masa lalu.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo. Adapun dipilihnya lokasi tersebut adalah:

1. Tingginya tingkat perokok yang ada di daerah Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

2. Terdapatnya kasus ISPA pada balita di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dari Januari sampai April tahun 2014.

3. Karakteristik rumah yang berada di daerah penelitian masih banyak yang belum memenuhi syarat kesehatan.

3.2.2 Waktu Penelitian

(61)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Kasus

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah semua balita yang terdaftar sebagai penderita ISPA di Puskesmas Berastagi dari bulan Januari sampai April tahun 2014 dan berasal dari keluarga perokok yang menetap di daerah tersebut sebesar 31 balita. 3.3.2 Populasi Kontrol

Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah balita yang terdapat di daerah populasi sampel yang tidak terdaftar sebagai penderita ISPA namun berasal dari keluarga perokok.

3.3.3 Sampel Kasus

Sampel kasus pada penelitian ini adalah balita yang menderita ISPA dari keluarga perokok yang terdata dari rekam medik periode januari sampai April tahun 2014 sebanyak 31 balita.

3.3.4 Sampel Kontrol

(62)

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Untuk memperoleh besar sampel yang diinginkan, dilakukan dengan cara penelusuran kasus yang ada sebelum penelitian. Responden terdiri dari kasus dan kontrol.

Berdasarkan survei pendahuluan, ditemukan sebanyak 31 orang balita yang menderita ISPA. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling yaitu dengan menjadikan seluruh populasi sampel menjadi sampel

yang diteliti yaitu sebanyak 31 balita sebagai kasus dan jumlah total seluruh sampel (kasus dan kontrol) adalah sebanyak 62 balita.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

Data yang dikumpulkan diperoleh dari hasil penelitian yaitu berupa data karakteristik rumah yang diperoleh melalui lembar observasi, kuesioner maupun pengukuran secara langsung.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan adalah data rekam medis Puskesmas Berstagi mengenai data penyakit ISPA pada golongan balita pada periode Januari sampai April 2014 yang diperoleh dari Puskesmas Berastagi.

3.6 Pelaksanaan Penelitian

(63)

dalam rumah tiap responden dengan menggunakan alat Lux meter dan Humidity meter. Pengukuran dilakukan ditegah-tengah ruangan. Untuk pengukuran pencahayaan, pengukuran dilakukan pada ketinggian satu meter. Setelah diukur, data kemudian akan dicatat dalam lembar observasi dan dianalisis.

3.7 Definisi Operasional a. Variabel Dependen

1. Balita adalah anak yang berada pada golongan umur 0-5 tahun.

2. Kasus ISPA adalah Balita yang mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang tercatat di data rekam medis Puskesmas Berastagi Kabupaten Karo

b. Variabel Independen 1. Karakteristik Rumah

Karakteristik rumah adalah hal-hal yang terdapat pada rumah yang dapat mempengaruhi kesehatan seperti kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jenis langi-langit, pencahayaan, suhu dan kelembaban. a. Kepadatan hunian

Kepadatan hunian adalah jumlah orang per 4 m2 luas ruangan yang tinggal dalam 1 rumah.

b. Ventilasi

(64)

c. Jenis lantai

Jenis lantai adalah material yang digunakan dalam membuat bagian dasar rumah tempat penghuninya berpijak dan melakukan aktivitas yang sifatnya kedap air dan mudah dibersihkan.

d. Jenis dinding

Jenis dinding adalah bahan yang digunakan dalam membuat bagian rumah yang memisahkan bagian dalam rumah dan bagian luar rumah. e. Jenis langit-langit

Jenis lagit-langit adalah bahan yang digunakan dalam membuat bagian rumah yang memisahkan ruangan dengan atap rumah.

f. Pencahayaan

Pencahayaan adalah tingginya intensitas baik dari cahaya matahari maupun buatan yang menyebar keseluruh ruangan.

g. Suhu

Suhu adalah ukuran temperatur ruangan yang dinyatakan dalam0C. h. Kelembaban

Kelembaban adalah kadar air yang terdapat pada udara dalam ruangan. 3.8 Aspek Pengukuran

Adapun variabel yang diukur adalah sebagai berikut: 1. Karakteristk rumah

(65)

Hasil Ukur:

1. Memenuhi syarat jika > 8 m2untuk 2 orang. 2. Tidak memenuhi syarat jika < 8 m2untuk 2 orang. b. Ventilasi

Alat ukur: meteran Cara ukur: pengukuran Hasil ukur:

1. Memenuhi syarat jika luas ventilasi lebih kurang 10% dari luas lantai. 2. Tidak memenuhi syarat jika luas ventilasi kurang dari 10% dari luas

lantai. c. Jenis lantai

Alat ukur: lembar observasi Hasil ukur:

1. Memenuhi syarat jika diplester/keramik/ubin.

2. Tidak memenuhi syarat jika lantai hanya dari tanah, papan, maupun anyaman bambu dengan kondisi yang berdebu.

d. Jenis dinding

Alat ukur: lembar observasi Hasil ukur:

1. Memenuhi syarat jika dinding terbuat dari tembok/triplek.

(66)

Gambar

Tabel 2.1 Jenis-jenis, sumber, dan pengaruh polutan pada indoor air pollution ....................20Tabel 4.1 Distribusi Jenis Kelamin, ASI Eksklusif dan Imunisasi Campak pada balita di
Gambar 1. Kerangka Konsep.......................................................................
Tabel 2.1 Jenis-jenis, sumber, dan pengaruh polutan pada indoor air pollution
gambaran konsolidasi pada foto toraks lebih kecil dan 50% dalam dua minggu da
+7

Referensi

Dokumen terkait

Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap relevan sehingga

Pada hari ini, Kamis tanggal Dua puluh satu bulan April tahun Dua ribu enam belas, Kami Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan

Paket Pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum

[r]

PEKERJAAN RENOVASI RUANG BIDANG MUTASI, RUANG SRIWIJAYA II DAN GEDUNG ARSIP KANTOR REGIONAL VII BKN PALEMBANG (LELANG ULANG).. SYARAT TEKNIS

Alat dan Bahan : Halaman TK, bola, karton spidol, gunting, bambu/kayu, sesuaic.

Laboratory measurements included Weende constituents (crude protein, CP; crude fiber, CF; ether extract, EE; and ash), pepsin±cellulase digestible organic matter (CDOM, %),

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama IslamNegeri Tulungagung untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Strata Satu Sarjana Pendidikan