• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFIKASI HERBISIDA GLIFOSAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg ) MENGHASILKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFIKASI HERBISIDA GLIFOSAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg ) MENGHASILKAN"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Evi Oktavia

ABSTRAK

EFIKASI HERBISIDA GLIFOSAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg )

MENGHASILKAN

Oleh Evi Oktavia

Karet merupakan tanaman yang penting bagi perekonomian Indonesia sehingga banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan produksi karet. Pengendalian

gulma merupakan salah satu usaha meningkatkan produksi karet. Pengendalian gulma pada perkebunan karet yang dinilai cukup efektif dan efisien yaitu dengan

pengendalian secara kimiawi menggunakan herbisida berbahan aktif glifosat. Glifosat adalah salah satu jenis bahan herbisida yang sangat sering digunakan dibandingkan bahan aktif lainnya dan digunakan secara luas dalam bidang

pertanian karena efisien dan efektifitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas herbisida Isoprofil Amina (IPA) Glifosat, untuk

mempelajari perubahan komposisi jenis gulma setelah aplikasi IPA glifosat, dan untuk mengetahui pengaruh keracunan herbisida IPA glifosat pada tanaman karet menghasilkan.

Penelitian ini dilaksanakan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih

(2)

Evi Oktavia Penelitian ini disusun dengan 6 perlakuan dengan 4 ulangan. Susunan perlakuan sebagai berikut yaitu isopropil amina glifosat 720 g/ha, isopropil amina glifosat

960 g/ha, isopropil amina glifosat 1200 g/ha, isopropil amina glifosat 1440 g/ha, pengendalian mekanis dan kontrol. Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet, aditivitas diuji dengan uji Tukey, dan perbedaan nilai tengah diuji dengan Uji

Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Herbisida glifosat pada dosis 720 g/ha - 1440 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma total, gulma golongan rumput

dan gulma dominan (Centocheca lappacea, Cyrtococcum acrescens, Ottochloa nodosa) pada tanaman karet dari 4 MSA sampai dengan 12 MSA, sedangkan gulma golongan daun lebar dan gulma dominan Sellaginella willdenowii hanya

pada 4 MSA pada perkebunan karet menghasilkan; (2) Terdapat perubahan komposisi gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida glifosat, gulma golongan

daun lebar menjadi dominan.

(3)

EFIKASI HERBISIDA GLIFOSAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg )

MENGHASILKAN

Oleh

EVI OKTAVIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

EFIKASI HERBISIDA GLIFOSAT TERHADAP GULMA UMUM PADA PERKEBUNAN KARET (Hevea brasiliensis [Muell.] Arg )

MENGHASILKAN

(Skripsi)

Oleh EVI OKTAVIA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Liwa Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung

Barat pada 06 Februari 1989 dan merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Hasan Tuhzani dan Ibu Nila Fauziah. Penulis menyelesaikan

pendidikan di Taman Kanak-kanak Nurul Islam pada tahun 1995, kemudian lulus di Sekolah Dasar Negeri 1 Sekuting, Liwa pada 2001. Penulis melanjutkan

pendidikan ke MTsN 1 Liwa, Lampung Barat dan pada tahun 2004 melanjutkan pendidikan di SMK 2 Mei Bandar Lampung.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa reguler Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2007 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan

Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiwaan. Penulis pernah menjadi Sekretaris Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Lampung pada Periode pengurusan 2009-2010. Kemudian

(8)

Tidak ada yang akan berubah dalam kehidupan seseorang dengan sikap yang tidak berubah (Mario Teguh)

Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu (5 CM)

(9)

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT,

Karya ini kupersembahkan untuk Ayahanda Hasan Tuhzani dan Ibuda Nila Fauzia tercinta,

kakak-kakakku Henni yusro dan Yusi vidiawati, adik-adikku Hesti Yani dan Edo Rizki,

(10)

SANWACANA

Puji Syukur penulis panjatkan panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skrispsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Ir. Dad R. J. Sembodo, M.S., selaku pembimbing utama atas saran, bantuan, nasehat, bimbingan serta kritik yang membangun kepada penulis selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini;

2. Bapak Dr. Ir. Rusdi Evizal, M.S.,selaku pembimbing kedua atas segala masukan, saran, motivasi serta pengalaman kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini;

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Nanik Sriyani, M. Sc., selaku pembahas atas segala masukan yang membangun dalam penulisan skripsi;

4. Bapak Prof. Dr. Ir.Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

(11)

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., selaku dosen pembimbing

akademik atas segala bimbingan kepada penulis selama melaksanakan kegiatan perkuliahan.

7. Kedua orangtua serta keempat saudara kandung penulis atas segala kasih sayang, dukungan, doa, dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama ini.

8. Teman-teman seperjuangan Agroteknologi 07 : Cristin N.Mulyanti, S.P, Fitri Handayani, S.P, Kristin S.Marbun, S.P, Madya D.A. Handayani, S.P, Nani

Octavia S.P, Nur Aini, S.P, Sri Purwanti Agustini, S.P., dan Tri Ardini, S.P. 9. Para tenaga di kebun : Mas Yono dan Mas Khoiri atas bantuan serta

pengalaman yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.

10. Saudara satu perjuangan di Mapala Unila Elga Rahayu, Marfuatun Hasanah

Nina Maryati, S.Pd, Ria Yulianti, S.H.

11. Keluarga besar Mapala Unila yang telah mengajarkan kepada penulis arti sebuah kebersamaan dan persaudaraan sehingga penulis dapat survive dalam

keadaan apapun.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna oleh karena itu

penulis akan menerima saran dan kritik yang bersifat membangun agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, Juni 2014

Penulis,

(12)
(13)

v

(14)

vi DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan herbisida isopropil amina glifosat. ... 19

2. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma total (g/0.5m2). ... 26

3. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma golongan rumput (g/0.5m2). ... 28

4. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0.5m2). ... 30

5. Jenis dan Tingkat Dominan Gulma Awal ( 0 MSA ). ... 30

6. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma Centocheca lappacea (g/0.5m2). ... 31

7. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens (g/0.5 m2). ... 33

8. Pengaruh aplikasi herbisida glifosat terhadap bobot kering gulma Ottochloa nodosa (g/0.5 m2). ... 35

(15)

vii

24. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 8 MSA. ... 53

25. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 8 MSA. ... 53

26. Bobot kering gulma golongan rumput (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 54

27. Analisis ragam bobot kering gulma golongan rumput pada 12 MSA. ... 54

28. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 4 MSA. ... 54

29. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 4 MSA. ... 55

30. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 8 MSA ... 55

31. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma golongan daun lebar pada 8 MSA. ... 55

32. Analisis ragam bobot kering gulma golongan daun lebar pada 8 MSA ... 56

33. Bobot kering gulma golongan daun lebar (g/0,5 m2) pada 12 MSA ... 56

(16)

viii 35. Analisis ragam bobot kering gulma golongan d padaun lebar

12 MSA. ... 57

36. Bobot kering gulma Centocheca lappacea (g/0,5 m2)

pada 4 MSA. ... 57

37. Transformasi data √√√(x + 0,5) bobot kering gulma

Centocheca lappacea (g/0,5 m2) pada 4 MSA. ... 57 38. Analisis ragam bobot kering gulma Centocheca lappacea

pada 4MSA. ... 58

39. Bobot kering gulma Centocheca lappacea (g/0,5 m2)

pada 8 MSA. ... 58 40. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Centocheca lappacea (g/0,5 m2) pada 8 MSA. ... 58

41. Analisis ragam bobot kering gulma Centocheca lappacea

pada 8 MSA. ... 59 42. Bobot kering gulma Centocheca lappacea (g/0,5 m2)

pada 12 MSA. ... 59 43. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Centocheca lappacea (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 59 44. Analisis ragam bobot kering gulma Centocheca lappacea

pada 12 MSA. ... 60 45. Bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2)

pada 4 MSA. ... 60 46. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2) pada 4 MSA. ... 60 47. Analisis ragam bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens

pada 4 MSA. ... 61

48. Bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2)

pada 8 MSA. ... 61

49. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2) pada 8 MSA. ... 61 50. Analisis ragam bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens

(17)

ix 51. Bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2)

pada 12 MSA. ... 62

52. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Cyrtococcum acrescens (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 62 53. Analisis ragam bobot kering gulma Cyrtococcum acrescens

pada 12 MSA. ... 63

54. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa (g/0,5 m2) pada 4 MSA. ... 63 55. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Ottochloa nodosa (g/0,5 m2) pada 4 MSA. ... 63 56. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa

pada 4 MSA. ... 64 57. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa (g/0,5 m2)

pada 8 MSA. ... 64

58. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Ottochloa nodosa (g/0,5 m2) pada 8 MSA. ... 64 59. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa

pada 8 MSA. ... 65

60. Bobot kering gulma Ottochloa nodosa (g/0,5 m2)

pada 12 MSA. ... 65

61. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma

Ottochloa nodosa (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 65 62. Analisis ragam bobot kering gulma Ottochloa nodosa pada

12 MSA. ... 66

63. Bobot kering gulma Sellaginella willdenowii (g/0,5 m2)

pada 4 MSA. ... 66 64. Analisis ragam bobot kering gulma Sellaginella willdenowii

pada 4 MSA. ... 66 65. Bobot kering gulma Sellaginella willdenowii (g/0,5 m2)

pada 8 MSA. ... 67 66. Transformasi data √√√ (X + 0,5) bobot kering gulma

(18)

x 67. Analisis ragam bobot kering gulma Sellaginella willdenowii

pada 8 MSA. ... 67

68. Bobot kering gulma Sellaginella willdenowii (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 68

69. Transformasi data √√√ (x + 0,5) bobot kering gulma Sellaginella willdenowii (g/0,5 m2) pada 12 MSA. ... 68

70. Analisis ragam bobot kering gulma Sellaginella willdenowii pada 12 MSA. ... 68

71. Koefisien komunitas pada 4 MSA (%). ... 69

72. Koefisien komunitas pada 8 MSA (%). ... 69

(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus bangun herbisida glifosat ... 16

2. Tata letak percobaan ... 20

3. Tata letak aplikasi herbisida dan pengambilan sampel gulma ... 22

4. Gulma Centocheca lappacea ... 32

5. Gulma Cyrtococcum acrescens... 33

6. Gulma Ottochloa nodosa ... 35

7. Gulma Sellaginella willdenowii ... 37

8. Perlakuan glifosat pada 4 MSA... 39

9. Perlakuan glifosat pada 8 MSA... 41

(20)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Karet merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia

sehari-hari, hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan

komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sepatu, pipa, kabel,

karpet, rol, dan banyak lainnya. Pengembangan perkebunan karet memberikan peranan penting bagi perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber devisa,

sumber bahan baku industri, sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta sebagai pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian di daerah (Deptan, 2012).

Indonesia sebagai negara produsen karet terbesar kedua di dunia, dengan luas

areal seluas 3,45 juta hektar, sekitar 85% pengusahaannya oleh perkebunan rakyat yang melibatkan 2 juta KK, sebagian besar belum menggunakan benih unggul dan

kondisi tanaman sudah tua sehingga tingkat produktivitasnya rendah (Deptan, 2012).

(21)

2

malabatrichum,Clibadium surinamensis) dan golongan teki (Cyperus kyllingia, C.rotundus dan Scleria sumatrensis) (Tjitrosoedirdjo dkk., 1984).

Salah satu aspek budidaya tanaman perkebunan yang sangat penting adalah pengendalian terhadap gulma. Gulma dapat menurunkan hasil dengan cara

berkompetisi dengan tanaman pokok, disamping itu gulma dapat sebagai inang alternatif hama dan penyakit tanaman. Apabila gulma yang ada sebagai inang

pengganti hama penyakit, maka penurunan hasilnya sangat merugikan perkebunan, oleh sebab itu perlu dikendalikan. Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara, menurut Sukman dan Yakup (1995), ada

beberapa metode pengendalian gulma yaitu pengendalian dengan upaya preventif, mekanis/fisik, kultur teknik, hayati dan kimiawi.

Menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat

menghentikan pertumbuhan gulma secara sementara atau seterusnya jika diberikan pada ukuran yang tepat. Pengendalian gulma secara kimiawi dalam areal luas merupakan tindakan yang efektif dan efisien dan mempunyai

keuntungan yang lebih ekonomis dan menghemat tenaga kerja dibandingkan dengan penyiangan secara manual. Penyiangan secara manual sering tidak efektif

dalam pengendalian gulma di areal luas karena gulma akan cepat tumbuh kembali setelah beberapa minggu.

Pengendalian gulma secara kimia merupakan salah satu cara yang dianggap dapat

(22)

3

bersifat sistemik dan tidak selektif pascatumbuh. Glifosat dapat berpengaruh pada

pigmen hingga terjadi klorotik, pertumbuhan terhenti dan pertumbuhan dapat mati (Moenandir, 2010).

Pengendalian gulma secara kimia terhadap gulma umum pada budidaya keret

menghasilkan menggunakan isopropilamina (IPA) glifosat diharapkan mampu menekan pertumbuhan gulma. Glifosat adalah herbisida yang mempunyai

spektrus pengendalian luas bersifat nonselektif. Menurut Sriyani (2008), glifosat sangat efektif mengendalikan gulma rumput dan daun lebar yang mempunyai perakaran dalam dan diaplikasikan sebagai herbisida pascatumbuh.

Percobaan ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana efektifitas herbisida glifosat dalam pengendalian gulma pada

perkebunan karet menghasilkan?

2. Apakah terjadi perubahan komposisi gulma setelah aplikasi herbisida glifosat pada perkebunan karet menghasilkan?

1.2Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui efektifitas herbisida glifosat terhadap pengendalian gulma

pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Untuk mengetahui perubahan komposisi gulma setelah aplikasi herbisida

(23)

4

1.3 Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah

dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut:

Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki dan merugikan tanaman. Gulma diidentifikasi sebagai tumbuh-tumbuhan yang

tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki manusia. Ia menimbulkan kerugian karena menurunkan hasil.

Dampak negatif tumbuhnya gulma secara langsung di sekitar lingkungan tanaman

budidaya menyebabkan penurunan produktivitas tanaman, namun disisi lain terdapat jenis gulma tertentu yang dapat menjaga keseimbangan dari organisme

pengganggu lainnya. Pengelolaan gulma pada saat sekarang ini dilakukan dengan cara pengendalian. Tindakan pengendalian gulma pada saat sekarang ini telah berjalan mengikuti perkembangan teknologi. Tindakan pengendalian tidak hanya

mengandalkan tenaga manual, tetapi telah berkembang kearah pengendalian secara kimia. Pengalaman menunjukkan bahwa diantara kedua cara pengendalian gulma tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan, oleh karena

itu pengendalian gulma secara terpadu merupakan tindakan paling efisien dan perlu diusahakan.

Menurut Sembodo (2008), gulma memiliki karakteristik tertentu sehingga sulit

untuk dikendalikan. Antara lain sebagai berikut: Gulma bersifat kompetitif atau berdaya saing tinggi. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan gulma yang

(24)

5

antara lain: (a) Produksi biji yang sangat banyak, (b) Biji tetap viable (tahan

hidup) walaupun kondisi lingkungan buruk, (c) Adanya dormansi biji

Dormansi merupakan masa istirahat dari organ tumbuhan karena keadaan organ

atau lingkungan yang tidak mendukung untuk pertumbuhan. Gulma menimbulkan kerugian bagi manusia kerena gulma dapat merusak, melukai, bahkan dapat mematikan tanaman. Adapun kerugian yang dapat disebabkan oleh keberadaan

gulma antara lain : (1) Menurunkan produksi akibat persaingan dalam memperoleh unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh, (2) Mengganggu

pertumbuhan tanaman karena adanya zat allelopati yang dikeluarkan oleh gulma, (3) Merupakan inang bagi hama dan penyakit, (4) Meningkatkan biaya usaha tani

(Jumin,1991).

Gulma yang selalu ada di sekitar tanaman budidaya cenderung lebih unggul dalam hal persaingan memperoleh unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Hal tersebut disebabkan oleh perakaran gulma yang tumbuh luas dan cepat.

Faktor-faktor lain yang menentukan tingkat persaingan antara gulma dengan tanaman budidaya adalah jenis gulma, kerapatan gulma, penyebaran gulma, dan lamanya gulma tersebut mampu bersaing (Fyer dan Matsunaka, 1998). Menurut Triharso

(1994) ada beberapa cara pengendalian yaitu (1) cara preventif, (2) cara mekanik (3) cara kultul teknik (4) cara biologis (5) cara kimia (6) pengendalian secara

(25)

6

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, berikut ini disusun kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah. Indonesia merupakan negara dengan kebun karet terbesar di dunia mengungguli

produsen utama lainnya yaitu Thailand dan Malaysia. Meskipun demikian

produksi karet Thailand per tahun lebih besar dibandingkan dengan hasil produksi

karet Indonesia, keadaan ini disebabkan karena rendahnya produktivitas. Dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi tanaman karet, banyak dijumpai berbagai masalah yang turut menentukan berhasil tidaknya pengusahaan

tanaman tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi yaitu persaingan tanaman dengan gulma.

Kehadiran gulma pada tanaman karet dapat menimbulkan kerugian karena

terjadinya kompetisi. Gulma pada areal perkebunan karet menghasilkan dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman terutama dalam penyerapan unsur hara dan air serta akan mengganggu dalam pemeliharaan tanaman seperti pemupukan

dan pemanenan. Oleh karena itu keberadaan gulma perlu ditekan agar tidak mengganggu tanaman pokok.

Gulma yang selalu tumbuh di sekitar pertanaman mengakibatkan penurunan laju

pertumbuhan serta hasil akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan pertumbuhan dan menghalangi tercapainya sasaran produksi

(26)

7

Pengaruh gulma menimbulkan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain

dalam bidang pertanian, perairan, peternakan, dampak sosial dan lingkungan (Sembodo, 2010). Sehingga pengendalian gulma perlu dilakukan, salah satunya

dengan menggunakan herbisida (pengendalian secara kimiawi).

Herbisida berasal dari kata herba yang artinya gulma dan sida artinya

“membunuh”. Dari kata tersebut dapat diartikan bahwa herbisida adalah zat kimia

yang dapat menekan pertumbuhan gulma dan bahkan dapat mematikannya. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian tumbuhan yang tidak diinginkan keberadaanya.

Herbisida glifosat termasuk herbisida sistemik berspektrum luas dengan pengembangan teknologi formulasi yang canggih untuk mengendalikan gulma secara tuntas dan pengendalian dalam waktu lama dibanding herbisida lain yang

ada. Glifosat efektif untuk mengendalikan alang-alang, tekian, rumputan dan gulma daun lebar pada pertanaman karet.

1.5 Hipotesis

Dalam kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat disimpulkan hipotesis

sebagai berikut:

1. Herbisida glifosat efektif untuk mengendalikan gulma pada perkebunan karet. 2. Herbisida glifosat menyebabkan perubahan komposisi gulma pada

(27)

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Karet

Tanaman karet (Hevea Brasiliensis) merupakan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Tanaman tahunan ini dapat disadap getah karetnya pertama kali pada umur tahun ke-5. Dari getah tanaman karet (lateks) tersebut

bisa diolah menjadi lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Kayu tanaman karet,

bila kebun karetnya hendak diremajakan, juga dapat digunakan untuk bahan bangunan, misalnya untuk membuat rumah, furniture dan lain-lain (Purwanta dkk., 2008).

Karet merupakan tanaman yang berasal dari Amerika Latin, khususnya Brasil.

Sebelum dipopulerkan sebagai tanaman budidaya yang dikebunkan secara besar-besaran, penduduk asli Amerika Selatan, Afrika, dan Asia sebenarnya telah

memanfaatkan beberapa jenis tanaman penghasil getah. Karet masuk ke Indonesia pada tahun 1864, mula-mula karet ditanam di kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi. Dari tanaman koleksi karet selanjutnya dikembangkan

(28)

9

Prospek industri karet masih terbuka luas sejalan dengan bergesernya konsumsi

karet dunia dari Eropa dan Amerika ke Asia. Untuk itu, industri karet harus mampu berproduksi maksimal apalagi pasokan karet domestik semakin besar

pascapembatasan ekspor. Indonesia memiliki areal karet paling luas di dunia, yaitu 3,4 juta ha dengan produksi karet per tahun 2,7 juta ton. Meski begitu, produktivitasnya hanya 1,0 ton/ha, lebih rendah daripada Malaysia (1,3 ton/ha)

dan Thailand (1,9 ton/ha). Produksi karet di Indonesia, Thailand, dan Malaysia berkontribusi 85% dari total produksi dunia. Namun, Indonesia memiliki

kesempatan paling besar untuk memimpin industri karet dunia. Harga karet dunia saat ini masih mengalami tekanan akibat turunnya permintaan. Oleh karena itu,

tiga negara utama produsen karet alam bersepakat menahan penurunan harga dengan mengurangi ekspor sejak Agustus lalu. Artinya pasokan karet di dalam negeri akan semakin melimpah (Kemenperin, 2012).

Tanaman karet termasuk dalam famili Euphorbiacea, disebut dengan nama lain

rambung, getah, gota, kejai ataupun havea. Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut: Devisio : Spermatophyta

Subdevisio : Angiospermae Klas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae

Genus : Havea

(29)

10

2.1.1 Akar

Sistem perakaran tanaman karet yaitu sebagai berikut :

(1) Tanaman karet memiliki akar tunggang, akar lateral dan akar baru yang lateral menyebar ke segala arah dimana perakaran hara vertikal sebagian besar

berada pada kedalaman 0-75 cm dari tanah.

(2) pada mulanya pertumbuhan akar hanya terbatas pada lingkungan yang sempit

disekitar pohon, pada tanaman dewasa akar cabang primer mulai membentuk cabang pada jarak 50-150 cm dari pangkal.

(3) penyebaran perakaran hara pada tanaman berumur lebih dari 5 tahun

meningkat mulai jarak ± 60 cm dari pohon kearah ujung mencapai 300 cm setelah itu mulai berkurang.

(4) pembentukan akar hara terjadi selama-lamanya membentuk tajuk baru dan secara berangsur pembentukan akan menurun.

(5) pada umumnya akar tunggang tanaman karet mampu mencapai kedalaman 2

meter atau lebih, sedang perakaran lateralnya mampu menyebar sampai 20 meter atau lebih. Makin tiggi intensitas sifat-sifat tanah dalam membatasi pertumbuhan dan perkembangan akar menyebabkan penyebaran akar makin

terbatas. Akibatnya ruang gerak dan jangkauan perakaran tanaman dalam memperoleh unsur-unsur hara, air, dan udara menjadi terbatas dan pada

(30)

11

2.1.2 Kulit

Susunan anatomi kulit karet berperanan penting dengan produksi lateks dan produktivitas pohon tidak terlepas dari sifat anatomi dari sifat-sifat yang diturunkan oleh pohon karet itu sendiri. Keret mempunyai struktur anatomi

seperti tanaman dikotil lainnya, secara umum jaringan kulit karet tersusun dan sel-sel parenchymatis yang diantaranya terdapat jaringan pengangkut xilem dalam

pohon, keduanya dipisahkan oleh kambium (PTPN VII, 1993).

Sesuai dengan umur tanam, kulit dapat dibedakan menjadi (1). Kulit perawan (yang belum pernah disadap) yang terdiri dari kulit keras dan kulit lunak. Kulit

terdiri dari garis yang terletak pada bagian yang paling luar dan bentuknya kasar dan bersisik. (2). Kulit pilihan (yang sudah disadap) setelah disadap

pembentukan phelloderm relatif dibentuk lebih tebal dan secara langsung.

Kadangkala regenerasi kulit pilihan memakan waktu panjang (PTPN VII, 1993).

2.1.3 Daun

Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm dan anak daun 3-10 cm. Biasanya ada tiga anak daun

yang terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis memanjang dan tepinya rata dengan ujung meruncing. Disamping itu juga adanya interaksi antar hara dan perbedaan dari klon dimana titik optimum dan titik kritis kadar

(31)

12

2.1.4 Bunga, Buah, dan Biji

Bunga yang sempurna terdiri dari atas tiga bagian pokok yaitu dasar bunga, perhiasan bunga dan persarian. Benang sari dan dan putik ini terdapat dalam satu bunga atau bunga karet terdiri dari bunga jantan dan bunga betina yang terdapat

dalam malai payung tambahan yang jarang. Pangkal tenda bunga berbentuk lonceng. Pada ujung terdapat lima tajuk yang sempit. Panjang tenda bunga 4-8

mm. Bunga betina berambut vilt. Ukurannya lebih besar sedikit dari yang jantan dan mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai seluruh

benang sari yang tersusun menjadi satu tiang. Kepala sari terbagi dalam dua karangan, tersusun satu lebih tinggi dari yang lain. Paling ujung adalah suatu

bakal bakal buah yang tidak tumbuh sempurna (PTPN VII, 1993).

Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas masing-masing ruang berbentuk setengah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai enam ruang. Garis tengah buah 3-5 cm. Bila buah sudah masak maka akan pecah dengan

sendirinya. Pemecahan terjadi dengan kuat menurut ruang-ruangnya. Pemecahan biji ini berhubungan dengan pengembangbiakan tanaman karet secara alami.

Biji-biji yang terlontar kadang-kadang sampai jauh, akan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung (PTPN VII, 1993).

Biji karet merupakan hasil persarian dari alat persarian terdiri dari benang sari dan

(32)

13

jantannya tidak diketahui. Biji legitim merupakan biji yang diperoleh dari

penyerbukan silang yang bunga betina dan jantannya diketahui dengan pasti. Sedangkan biji propalegitim merupakan biji yang diproleh dari penyerbukan

silang dimana bunga betinanya diketahui, tetapi bunga jantannya tidak pasti (PTPN VII, 1993).

2.2 Persyaratan Tumbuh Tanaman Karet

2.2.1 Iklim (Curah Hujan, Suhu, Intensitas dan Angin)

Daerah yang cocok adalah pada zone antara 150 LS dan 150 LU, dengan suhu

harian 25 – 30oC. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.000-2.500 mm/tahun dengan hari hujan berkisar 100 s/d 150 HH/tahun. Lebih baik

lagi jika curah hujan merata sepanjang tahun. Sebagai tanaman tropis, karet membutuhkan sinar matahari sepanjang hari, minimum 5- 7 jam/hari (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Suhu harian yang dinginkan tanaman karet rata-rata 15-300 C. Apabila dalam

jangka waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari 200 C, maka tanaman karet tidak cocok ditanam di daerah tersebut. Intensitas sinar matahari adalah hal

amat dibutuhkan tanaman karet. Bila terjadi penyimpangan terhadap faktor ini, maka mengakibatkan turunnya produktivitas (PTPN VII, 1993).

Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk

(33)

14

2.2.2 Tanah

Lahan untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih memperhatikan sifat fisik dibandingkan dengan sifat kimianya. Berbagai jenis tanah dapat kita

sesuaikan dengan syarat tumbuh tanaman karet, baik tanah vulkanis muda dan tua maupun pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik, terutama struktur, tekstur, solum, kedalaman air tanah, aerasi dan

drainasenya. Namun, secara umum sifat kimianya kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisiknya,

terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tahan berkisar antara pH 3,0

– pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0 (Tim Karya Tani Mandiri,

2010).

2.3 Gulma pada Tanaman Karet

Gulma merupakan tumbuhan yang kehadirannya tidak diinginkan pada lahan pertanian karena menurunkan hasil yang bisa dicapai oleh tanaman produksi. Gulma secara langsung maupun tidak langsung merugikan tanaman budidaya.

Gulma adalah tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia. Karena gulma bersifat merugikan manusia maka manusia berusaha untuk

mengendalikannya. Kerugiannya tersebut menyangkut semua aspek kepentingan manusia baik dibidang usaha tani maupun aspek kehidupan lainnya, seperti kesehatan, lingkungan hidup, estetika rekreasi dan sebagainya (Sembodo, 2010).

Gulma membutuhkan persyaratan tumbuh untuk dapat hidup. Karena gulma dan

(34)

15

2010). Akibatnya gulma dapat menghambat pertumbuhan dan menunda masa

produktif tanaman karet, dapat menurunkan hasil dan meanyulitkan saat penyadapan. Oleh karena itu gulma banyak menimbulkan kesulitan dalam

pemeliharaan tanaman karet.

Masalah gulma di perkebunan karet dianggap serius karena bisa mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya dan ruang tempat

tumbuh. Di samping itu, juga ada beberapa jenis gulma yang bisa mengeluarkan zat penghambat pertumbuhan sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan menjelang waktu penyadapan produksinya rendah ( Tim Penulis PS, 2009).

Gulma yang dianggap berbahaya pada tanaman karet yaitu alang-alang (Imperata

cylindrical), sambung rambat (Mikania sp), rumput merdeka (Chromolaena odorata), harendong (Melastoma malabathicum), pakis kawat (Glichenia linearis), dan ficus (Ficus sp) (Setyamidjaja, 2012).

2.4 Pengendalian Gulma pada Tanaman Karet Menghasilkan

Pengendalian gulma pada tanaman karet dapat dilakukan pada piringan (circle) di sekitar tanaman karet atau sepanjang jalur (strip) tanaman karet (Barus, 2003).

Pengendalian gulma bertujuan hanya menekan populasi gulma sampai tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomi atau tidak melampaui ambang ekonomi, sehingga tidak bertujuan menekan populasi gulma sampai nol (Sukman

dan Yakup, 1995).

(35)

16

senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau

memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil. Herbisida dalam arti langsung ialah herba = gulma dan sida = membunuh jadi zat herbisida ialah

zat kimiawi yang dapat mematikan gulma (Moenandir, 2010).

Glifosat merupakan herbisida yang sering dikelompokkan kedalam glycine dericative ini merupakan herbisida non-selektif, diaplikasikan sebagai herbisida pascatumbuh, bersifat sistemik, dan diserap oleh daun tumbuhan, tapi segera tidak aktif jika masuk kedalam tanah. Glifosat merupakan penghambat

5-enolpyruvylshikimate-3-phosphonate syntese, EPSPS, yaitu enzim yang

mempengaruhi biosintesis asam aromatik. Dengan adanya glifosat, sintesis asam amino yang penting untuk pembentukan protein akan terhambat (Tomlin, 2009).

Gambar 1. Rumus bangun herbisida glifosat (Tomlin, 2009).

Herbisida ini sangat efektif untuk mengendalikan rumput tahunan, gulma berdaun lebar, dan gulma yang memiliki perakaran dalam. Glifosat termasuk herbisida

purna tumbuh yang berspektum luas, bersifat tidak selektif yaitu herbisida yang beracun bagi semua spesies yang ada (Sembodo, 2010).

Cara kerja herbisida glifosat bersifat sistemik sehingga dapat mematikan seluruh

(36)

17

pertama dengan herbisida ke bagian lainnya, biasanya akan menuju titik tumbuh

karena pada bagian tersebut metabolisme tumbuhan paling aktif berlangsung (Sembodo, 2010).

Penggunaan herbisida memberikan harapan baik, tetapi diperlukan pengetahuan

dasar yang memadai tentang teknik pengendalian gulma secara kimiawi. Dalam aplikasi kita harus mengikuti lima tepat yaitu tepat dosis, tepat waktu, tepat

sasaran, tepat jenis dan tepat cara (Sembodo, 2010).

Pertimbangan yang penting dalam pemakaian herbisida adalah untuk mendapatkan pengendalian yang selektif, yaitu kemampuan herbisida dapat

(37)

18

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lahan perkebunan PTPN VII Unit Usaha Way Galih dan Laboratorium Gulma Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Januari sampai April 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman karet berumur 20 tahun dan herbisida yang berbahan aktif isopropil amina (IPA) glifosat dengan merek dagang MAMBA 480 SL.

Alat yang digunakan adalah kertas buram, plastik, baki, oven, gelas ukur, pipet,

pisau, ember plastik, kuadrat berukuran 0,5m x 0,5m, neraca analitik, sprayer knapsack semi automatik dan nozel T-jet, dan alat tulis.

3.3 Metode Penelitian

Perlakuan disusun dalam rancangan kelompok teracak sempurna yang terdiri atas

(38)

19

Tabel 1. Perlakuan herbisida isopropil amina glifosat.

Herbisida Dosis formulasi (l/ha) Dosis bahan aktif (g/ha)

1. Glifosat 1,5 720

2. Glifosat 2,0 960

3. Glifosat 2,5 1200

4. Glifosat 3,0 1440

5. Penyiangan Mekanis - -

6. Kontrol - -

Pengolahan data dikerjakan dengan analisis ragam, dilajutkan dengan pemisahan

nilai tengah yang di uji dengan Beda Nyata Terkecil pada taraf 5%. Homogenitas ragam antar perlakuaan diuji dengan uji Barlett dan aditivitas diuji dengan uji Tukey.

3.4 Pelaksanaan penelitian

3.4.1. Penentuan Petak Percobaan

Petak percobaan diberi nomor menggunakan cat warna merah dan biru sesuai dengan nomor perlakuan yang telah diacak. Setiap perlakuan terdiri dari 5

(39)

20

Ul 1 1 2 3 4 5 6

Ul 2 3 5 2 6 1 4

Ul 3 2 6 5 1 4 3

Ul 4 4 6 3 2 1 5

Gambar 2. Tata letak percobaan

Keterangan :

1. Herbisida glifosat 720 g/ha 2. Herbisida glifosat 960 g/ha

3. Herbisida glifosat 1200 g/ha 4. Herbisida glifosat 1440 g/ha

5. Penyiangan mekanis 6. Kontrol

3.4.2 Cara dan Aplikasi Herbisida

Aplikasi herbisida dilakukan dengan menggunakan alat semprot punggung semi

otomatis (semi otomatis knapsack sprayer) dan nozel T-jet dengan tekanan 1 kg/cm2 (15-20 psi). Herbisida disemprotkan di kanan dan kiri baris tanaman karet. Volume semprot yang digunakan disesuaikan dengan hasil kalibrasi alat

semprot di lapangan. Volume semprot yang didapat dari air yang dimasukkan kedalam tangki 4,00 l/45m2 setelah dikalibrasi sisa dalam tangki 1,70 l/45m2

(40)

21

menggunakan perekat (sticker). Dosis berbeda setiap perlakuan dilarutkan dalam

air sesuai dengan hasil kalibrasi.

3.4.3 Penyiangan Mekanis dan Kontrol

Penyiangan mekanis dilakukan dengan membersihkan gulma yang ada pada petak percobaan. Gulma yang ada pada petak percobaan seluruhnya dibersihkan dengan

cangkul dan kored tepat pada permukaan tanah. Penyiangan manual dilakukan sekali pada 0 minggu sebelum aplikasi herbisida. Sedangkan petak kontrol

dibiarkan tertutupi dengan gulma yang ada pada perkebunan karet.

3.4.4 Pengambilan Sampel Gulma

Pengambilan contoh untuk data biomasa dilakukan pada 0, 4, 8, dan 12 minggu

setelah aplikasi (MSA). Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan

meletakkan kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m pada dua titik pengambilan yang berbeda untuk setiap petak percobaan dan setiap waktu pengambilan sampel

gulma. Gulma yang masih hidup yang berada dalam petak kuadran dipotong tepat setinggi permukaan tanah. Selanjutnya gulma tersebut dipilah menurut spesiesnya

(41)

22

3 m

7 m

Gambar 3. Tata letak aplikasi herbisida dan pengambilan sampel gulma Keterangan :

Tanaman karet

Petak pengambilan gulma 0 MSA

Petak pengambilan gulma 4 MSA Petak pengambilan gulma 8 MSA

Petak pengambilan gulma 12 MSA 2

1

3

3

1 2

0

0

(42)

23

3.5 Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada tiap petak percobaan yang meliputi bobot kering

gulma total dan tingkat dominansi gulma.

3.5.1. Bobot kering gulma total

3.5.1.1 Sebelum aplikasi

Pengambilan contoh gulma untuk data biomasa dilakukan sebelum aplikasi

glifosat (0 MSA). Data tersebut digunakan untuk menentukan gulma dominan berdasarkan nilai summed dominance ratio (SDR). Gulma yang masih segar

dipotong tepat pada permukaan tanah menggunakan metode kuadrat berukuran 0,5 X 0.5 m, dipilah berdasarkan spesies kemudian dioven dengan suhu 800 selama 48 jam dan ditimbang bobot kering gulma.

3.5.1.2 Setelah aplikasi

Bobot kering gulma diamati dan diambil contohnya pada minggu ke 4, 8 dan 12

minggu setelah aplikasi dalam satuan gram. Cara pengambilan contoh adalah memotong gulma yang masih hidup tepat setinggi permukaan tanah menggunakan

metode kuadrat berukuran 0,5 X 0.5 m. Pengambilan contoh diletakkan secara sistematis yang dianggap mewakili populasi gulma. Setelah dipotong gulma dipisahkan berdasarkan jenisnya kemudian dikeringkan dalam oven yang bersuhu

(43)

24

3.5.2. Tingkat dominansi gulma

Jenis-jenis gulma yang tumbuh diamati dan dihitung berdasarkan nilai summed

dominance ratio (SDR) diamati pada minggu ke 0, 4, 8, dan 12 setelah aplikasi.

Adapun rumus SDR adalah sebagai berikut :

SDR = nilai penting

2

Nilai penting = dominansi nisbi + frekuensi nisbi

Dominansi nisbi = dominansi mutlak jenis tertentu

x

100%

Total dominansi mutlak semua jenis

Frekuensi nisbi = frekuensi mutlak jenis tertentu

x

100%

Total frekuensi mutlak semua jenis

Keterangan :

Dominansi mutlak adalah total bobot kering gulma Frekuensi mutlak adalah jumlah kemunculan gulma

Untuk menentukan perubahan komposisi gulma akibat perlakuan yang diuji maka harus dihitung koefisien komunitasnya dengan rumus:

2 x W komunitas atau perlakuan yang dibandingkan

a = Jumlah dari seluruh SDR pada komunitas 1 (perlakuan herbisida dan penyiangan mekanis)

(44)

25

Jika nilai C lebih dari 75%, maka dua komunitas yang dibandingkan dianggap

sama. Perubahan komunitas yang terjadi pada areal penelitian diketahui dengan membandingkan tiap petak percobaan yang diaplikasikan herbisida dengan petak

(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Herbisida glifosat pada dosis 720 g/ha - 1440 g/ha mampu menekan pertumbuhan gulma total, gulma golongan rumput dan gulma dominan

(Centocheca lappacea, Cyrtococcum acrescens, Ottochloa nodosa) pada tanaman karet dari 4 MSA sampai dengan 12 MSA, sedangkan gulma

golongan daun lebar dan gulma dominan Sellaginella willdenowii hanya pada 4 MSA pada perkebunan karet menghasilkan.

2. Terdapat perubahan komposisi gulma yang tumbuh setelah aplikasi herbisida

glifosat, gulma golongan daun lebar menjadi dominan.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menurunkan dosis yang sudah ada apakah dengan dosis yang paling rendah masih dapat efektif mengendalikan

(46)

47

PUSTAKA ACUAN

Achadi, T dan F. Maria. 2006. Berbagai Ekstrak Gulma Sebagai Bioherbisida di Perkebunan Karet. http://isjd.pdii.lipi.go.id. Diakses 17 Desember 2012. Adnan. 2012. Aplikasi Beberapa Dosis Herbisida Glifosat dan Paraquat pada

Sistem Tanpa Olah Tanah (TOT) serta Pengaruhnya terhadap Sifat Kimia Tanah, Karakteristik Gulma dan Hasil Kedelai. J. Agrista 16 (3) : 135-145 Anwar, C. 2001. Manajemen Teknologi Budidaya Karet. http://www.ipard.com.

Diakses Pada tanggal 17 Desember 2012.

Ashton, F. M. and S. Craft.1981. Mode of Action Herbicides. A Wiley-Interscience Publication. 525 hlm.

Barus, E. 2007. Pengendalian Gulma di Perkebunan. Kanisius. Yogyakarta. 57 hlm.

Colby, S. R., R. G. Lym, N. E. Humburg, E. R. Hill, W. J. McAvoy, L. M. Kitchen, dan R. Prasad. 1989. HerbicidesHandbook of The Weed Science Society of America 6th edition. Lllinois. 301 p.

Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta. 340 hlm.

Deptan. 2012. Karet. www.Deptan co.id. Diakses pada tanggal 17 Desember 2012.

Fyer, J. D. dan S. Matsunaka. 1998. Penanggulangan Gulma Secara Terpadu. PT. Bina Aksara. Jakarta. 262 hlm.

Girsang, W. 2005. Pengaruh tingkat dosis herbisida isopropilamina glifosat dan selang waktu terjadinya pencucian setelah aplikasi terhadap efektifitas pengendalian gulma pada perkebunan karet (Hevea brassiliensis) TBM. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 3 (2): 31-36.

(47)

48

Johal, S.G. and D.M. Huber. 2009. Glyphosate effects on diseases of plants. Europ. J. Agronomy 31 (1) : 144-152.

Jumin. H.B. 1991. Dasar-Dasar Agronomi. Rajawali Press. Jakarta. hlm 26.

Kemenperin. 2012. Karet. www.Kemenperin. co.id. Diakses tanggal 24 Desember 2012

Lamid, Z., Harnel, Adlis, dan W. Hermawan. 1998. Pengkajian TOT dengan Herbisida Glifosat pada Budidaya Jagung di Lahan Kering. Pros. Sem.Nas. Budidaya Pertanian OTK VI. Padang, 24-25 Maret 1998.

Moenandir, J. 1993. Persaingan Tanaman Budidaya dengan Gulma. Rajawali. Jakarta. 102 hlm.

________ . 2010. Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press. Malang. 157 hlm.

Nasution, U. 1989. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunana Karet Sumatera Utara dan Aceh. Puslitbang Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM)

Nurjanah, U. 2003. Pengaruh Dosis Herbisida Glifosat dan 2.4-D terhadap Pergeseran Gulma dan Tanaman Kedelai Tanpa Olah Tanah. J. Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 5 (1) : 27-33

PTP Nusantara VII. 1993. Vademicum Tanaman Karet. Bandarlampung. 259 hal. Purwanta, J. H., Kiswanto, dan Slameto. 2008. Teknologi Budidaya Karet. Balai

Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor 34 hlm Riadi, M. 2011. Mata Kuliah: Herbisida dan aplikasinya. Bahan Ajar. Universitas

Hasanuddin. 138 hlm.

Syakir. M. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Karet. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Bogor.

Sembodo, D. R. J. 2010. Gulma dan Pengolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 168 hlm.

Setyamidjaja, D. 2012. Seri Budidaya Karet. Kanisius. Yogyakarta. 206 hlm.

Setiawan, D. H. dan A. Andoko. 2005. Petunjuk Lengkap Budi Daya Karet. Agromedia Prstaka. Jakarta.

Sriyani, N. 2008. Bahan Kuliah Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

(48)

49

Sriyani, N., D. Mawardi, dan M. V. Rini. 2003. Evaluasi Penggunaan Herbisida Glifosat Formulasi Baru (K-Glifosat) untuk Mengendalikan Gulma pada Perkebunan Besar Karet dan Kelapa Sawit. Jurnal Agrotropika VIII(1) : 31-36.

Sukman, Y. dan Yakup. 1995. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 152 hlm.

Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Bertanam Karet. Nuansa Aulia. Bandung.157 hlm.

Tim Penulis PS. 2009. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. 235 hlm.

Tjitrosoedirdjo, S., I.H. Utomo, dan J. Wiroatmodjo. 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta. 209 hlm.

Tomlin, C. D. S. 2009. A World Compedium The Pesticide Manual. Fifteenth ed. British Crop Protection Council. Inggris. 1606 p.

Gambar

Tabel 1.  Perlakuan herbisida isopropil amina glifosat.
Gambar 2. Tata letak percobaan
Gambar 3.  Tata letak aplikasi herbisida dan pengambilan sampel gulma

Referensi

Dokumen terkait

Artinya, mereka yang menjalankan tugas jurnalistik, tidak bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP 9 .” Secara hukum didasarkan pada pasal 50 KUHP yang

Leksikon dalam sistem teknologi perbatikan masyarakat Banyumas dapat terdiri dari leksikon- leksikon berdasarkan jenis batik atau motif batik, leksikon berdasarkan

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Penelitian deskriptif kuantitatif menekankan pada prosedur penelitian yang menghasilkan

Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang (1) perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan yang dilakukan oleh kepala madrasah; (2)

meningkatkan hasil belajar yang baik, perlu adanya kemandirian belajar

Fokus dalam penelitian ini adalah Model CTL dalam Pembelajaraan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Karakter Bangsa pada siswa SMK Negeri 2 Bandar Lampung. Pertimbangan yang

Input device adalah alat yang digunakan untuk menerima input dari luar sistem, dan dapat.. berupa signal input atau

Aplikasi sikap ikhlas dalam pendidikan Islam adalah memberikan dan membekali pendidikan agama kepada setiap muslim, membina dan menanamkan Iman ke dalam jiwa setiap