• Tidak ada hasil yang ditemukan

Design in the process of controlling and utilizing carbon dioxide in oil and gas well with the technology of carbon capture and storage

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Design in the process of controlling and utilizing carbon dioxide in oil and gas well with the technology of carbon capture and storage"

Copied!
260
0
0

Teks penuh

(1)

i

IDI AMIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii Pengendalian dan Pemanfaatan Gas Karbon Dioksida pada Sumur Minyak dan Gas Bumi dengan Teknologi Carbon Capture and Storage, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Idi Amin

(3)

iii EGO SYAHRIAL as members.

The utilization of oil and gas is very important in the development activities and tends to increase every year. This has caused oil and gas reserves to decrease and the concentration of carbon dioxide (CO2) to increase in the atmosphere, which can trigger the

effects of greenhouse gases and global warming on Earth's surface. One of the technologies that can reduce the CO2concentration and at the same time increase the gas

recovery is the technology of carbon dioxide capture and storage (CCS). It is used to capture CO2from the combustion process and injected into the reservoir to raise oil and

gas reserves. One potential area of Indonesia to implement the CCS technology is West Java, the fifth largest of oil and gas reserves in Indonesia. The objective of this study was to design CO2capture and storage processes in geology formation, in which the absorption

process and enhanced oil recovery (EOR) technology are used in the design of CO2

capture and storage processing. The study was based on a field survey and laboratory analysis of the flaring gas composition, where the design of CO2 capture process was

treated with Aspen Plus with the variations of absorber stage number, from 7 until 17, and the variations of some amine solutions such as monoethanolamine (MEA), diisopropanolamine (DIPA), diethanolamine (DEA) and methyldiethanolamine (MDEA) as the absorbent, while the CO2storage process was treated by screening the well criteria,

namely XC-4, XG-1, XG-11, XT-27, and XJ-140, minimum miscibility pressure (MMP) value of well fluid, and computer modelling group (CMG). The most efficient was the process design of CO2capture at stage 17 in the absorber column with the DEA solution,

with the efficiency in CO2removal (99.54%) and the reduction of CO2concentration from

39.73% with the flow rate of 33,762 kmol/hr as input to 17.49% with the flow rate of 5,906 kmol/hr as output. The resulted process design showed that 580,585 ton of CO2/year

could be processed and 101,565 ton of CO2/year can be reused. The most efficient of CO2

storage process design was with the simulated reservoir in the XJ-140 well as the EOR well and XJ field, with cumulative oil production of 5.08 million metric stock tank barrel (MMstb) from 2011-2030 and with the recovery factor of 9.53%. The resulted estimation of the amount of oil collected and CO2 stored showed that CO2 can be stored into the

geological formation, varying from 0.5-1 Mton and the potential additional production of oil was 3.6-7.2 MMstb. The economic analysis found that XJ field is very profitable with the application of EOR with an initial investment of US$ 7,500,000, that is, it can obtain the net present value (NPV) of US$ 247,000, internal rate of return (IRR) of 17.41%, and pay back period (PBP) in 2015, or for 4 years, 4 month, if the project begins in 2011 with the profitability index of 1.01. The revenue from oil is US$ 143,864 for the Regency and US$ 71,932 for the Province, while the revenue from gas is US$ 213,902 for the Regency and US$ 106,951 for the Province. EOR management strategy may be commercialized in a cooperation contract with local enterprises, for example with Pertamina.

(4)

iv Penggunaan minyak bumi dan gas alam (migas) telah mempengaruhi kehidupan manusia dan diprediksikan terus meningkat setiap tahun. Permasalahan utama adalah meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer yang berasal dari hasil

pembakaran migas, sehingga mengakibatkan efek gas rumah kaca (GRK), pemanasan global dan perubahan iklim. Teknologi dalam mengurangi konsentrasi CO2adalahcarbon dioxide capture and storage (CCS), bertujuan menangkap CO2 dari sumbernya dan

menyimpannya ke dalam formasi geologi yang lebih aman. Salah satu daerah di Indonesia yang berpotensi menerapkan CCS adalah Jawa Barat, yang dalam volume produksi minyak bumi dan gas alam menempati peringkat kelima dan ketiga terbesar di Indonesia.

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan rancangan proses penangkapan CO2

dari gas ikutan dan penyimpanan CO2ke dalam formasi geologi. Penelitian ini didasarkan

pada hasil survei lapangan dan analisis laboratorium pada komposisi gas ikutan lapangan XT. Rancangan proses penangkapan CO2 diolah dengan program Aspen Plus dengan

variasi jumlah stage absorber dari 7 hingga 17, dan penggunaan berbagai jenis larutan amin, yaitu monoetanolamin (MEA), diisopropilamin (DIPA), dietanolamin (DEA), dan metildietanolamin (MDEA) sebagai absorbent dalam proses amin. Rancangan proses penyimpanan CO2diolah dengan metode penyaringan kriteria sumur XC-4, XG-1, XG-11,

XT-27, dan XJ-140, data hasil pengujian tekanan tercampur minimum (TTM), dan programcomputer modelling group(CMG). Khusus strategi pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR, dianalisis dengan kajian kelayakan teknologi dan ekonomi, dengan parametercash flowinvestasi proyek EOR, yaitunet present value(NPV),internal rate of return(IRR),pay back period(PBP), danprofitability index.

Potensi produksi gas ikutan di lapangan XT kompleks sampai tahun 2015 menunjukkan kapasitas produksi lebih dari 11 million metric standard cubic feet day

(MMscfd) setiap tahun. Hasil analisis laboratorium menunjukkan komposisi gas ikutan dari lapangan XT mengandung CO239,73%, metan (CH4) 50,14%, dinitro oksida (N2O)

1,94%, etana (C2H6) 3,69%, dan hidrokarbon lainnya. Hasil perhitungan potensi emisi

CO2, CH4, N2O dan GRK total yang dapat dilepaskan ke atmosfir tanpa pengendalian

masing-masing 42.261 ton CO2/tahun, 211 ton CH4/tahun, 6,5 x 10-7 ton N2O/tahun, dan

GRK total 46.693 ton CO2ekuivalen/tahun. Gas ikutan dapat dikendalikan dan ditangkap

dalam proses absorpsi dan removal CO2 di unit amin pada stasiun pengumpul migas

dengan simulasi rancangan proses penangkapan CO2, bertujuan menangkap dan

mengurangi terlepasnya GRK dari proses pengolahan migas di lapangan XT.

Rancangan proses penangkapan CO2dengan jumlahstage17 absorber dan DEA

sebagai absorbent merupakan rancangan proses yang paling efisien dalam menurunkan konsentrasi CO2 di dalam gas ikutan, yaitu dari konsentrasi 39,73% dengan laju alir

33.762 kmol/jam pada input absorber menjadi 17,49% dengan laju alir 5.906 kmol/jam pada output stripper, dengan tingkat efisiensi removal CO2 99,54%. Berdasarkan

perhitungan density gas 22,4 liter atau 22,4 Nm3/kmol terhadap berat molekul CO2,

(5)

v Rancangan proses penyimpanan CO2 dengan sumur XJ-140 sebagai sumur EOR

potensial merupakan rancangan proses yang paling efektif dalam menghasilkan migas dari dalamreservoirdi lapangan XJ,dengan produksi kumulatif minyak bumi 5million metric stock tank barrel(MMstb) danrecovery factor9,53% selama 20 tahun. Perolehan minyak 5,075 MMstb diperoleh dengan menginjeksikan total volume CO2 38,1 MMscfd selama

20 tahun, dari tahun 2011 hingga 2030, dan total CO2 yang dapat disimpan secara

permanen ke dalam reservoir di lapangan XJ 2,055 Mton. Berdasarkan estimasi dengan metoderule of thumb, prakiraan pertambahan perolehan minyak 6,39 MMstb, dan volume CO2yang dapat dinjeksikan ke dalam reservoir 2,59 Mton.

Dalam pengolahan dan produksi migas hasil EOR besar peluang terlepasnya emisi GRK ke atmosfir. Hasil perhitungan potensi emisi CO2, CH4, N2O, dan GRK total dari

produksi minyak bumi masing-masing 3.680 ton CO2/tahun, 0,3 ton CH4 minimal/tahun,

15 ton CH4 maksimal/tahun, 0,04 ton N2O/tahun, GRK total minimal 3.696 ton CO2

ekuivalen/tahun dan GRK total maksimal 4.002 ton CO2 ekuivalen/tahun. Khusus untuk

gas alam, 3.159.985 ton CO2/tahun, 1.450 ton CH4/tahun, 6,5 x 10-7 ton N2O/tahun dan

3.190.444 ton CO2 ekuivalen/tahun. Potensi CO2 dari lapangan XT dapat dimanfaatkan

dengan metode EOR di lapangan XJ dan mengolah migas hasil recovery, bertujuan mendapatkan strategi pengelolaan migas hasil EOR.

Pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR, dianalisis dengan kajian kelayakan teknologi dan ekonomi, serta perhitungan bagi hasil keuntungan penjualan migas hasil EOR dengan pemerintah daerah penghasil migas, bertujuan mengetahui teknologi yang dapat digunakan dalam proses pengolahan migas hasil EOR, estimasi keuntungan cash flowinvestasi proyek EOR di lapangan XJ, dan bagi hasil keuntungan penjualan migas.

Hasil analisis menunjukkan keuntungan dalam investasi proyek EOR di lapangan XJ, dengan investasi awal US$ 7.500.000, atau Rp. 67.462.500.000, dan IRR > minimum attractive rate of return(MARR) 15%, dihasilkan cash flowNPV US$ 247.000 atau Rp. 2.219.469.000, IRR 17,41%, dan PBP dicapai 4 tahun, dan 4 bulan, pada tahun 2015, jika proyek dimulai tahun 2011 denganprofibality index1,01, dan kurs US$ 1 = Rp. 8.995.

Kebijakan pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR berdasarkan kajian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menunjukkan pemerintah kabupaten penghasil migas memperoleh pemasukan dari minyak bumi US$ 143.864 atau Rp. 1.294.060.000, dan pemerintah propinsi US$ 71.932, atau Rp. 647.030.172. Khusus gas alam, pemerintah kabupaten memperoleh US US$ 213.902 atau Rp. 1.924.053.798, dan pemerintah propinsi US$ 106.951 atau Rp. 962.026.899 pada tahun pertama proyek EOR berjalan.

(6)

vi insentif untuk pengembangan lapangan marjinal dan lapangan minyak tua (brownfield).

Strategi pengelolaan migas hasil EOR yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah penghasil migas dengan melakukan pemetaan sumur-sumur EOR berdasarkan potensi migas yang paling potensial, yang memungkinkan dalam pengelolaan lebih lanjut. Pemilihan kandidat lapangan EOR potensial dapat dilakukan berdasarkan karakteristik cadangan, potensi produksi, jaringan pemasaran dan analisis kelayakan ekonomi dari lapangan tersebut. Pengelolaan sumur-sumur EOR harus dilakukan per lapangan, hal ini disebabkan pengelolaan per sumur sangat tidak ekonomis, karena memerlukan modal awal, biaya operasional, kemampuan pemeliharaan dan teknis operasional yang tinggi.

Pemerintah daerah dapat berkerja sama dengan PT. Pertamina dalam mengoperasikan sumur-sumur EOR potensial. PT. Pertamina merupakan pemegang kuasa wilayah pertambangan, sedangkan pemerintah daerah lewat BUMD atau KUD sebagai pihak operasional dalam memperoleh migas hasil EOR. Dalam kontrak kerjasama, BUMD atau KUD berhak memperoleh bantuan operasional peralatan produksi dan pemasukan dari hasil kerja, namun semua modal awal investasi harus ditanggung oleh BUMD atau KUD. Kontrak kerjasama mengharuskan semua biaya operasional dapat dikembalikan PT. Pertamina. PT. Pertamina dapat berperan sebagai pengawas, memberi bimbingan teknis operasional dan pengelolaan migas EOR.

Ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan corporate social responsibility (CSR) dalam kegiatan perusahaan di Indonesia adalah UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Stakeholder yang terkait dalam program CSR dari industri migas adalah PT. Pertamina EP selaku pengelola wilayah kuasa pertambangan, industri migas PT. XS selaku pengelola wilayah kerja, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu selaku lembaga otoritas lokal pemegang kebijakan, pengusaha pemilik modal investasi, masyarakat lokal yang berdomisili di sekitar industri migas, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga keuangan bukan bank.

Strategi industri migas dalam pemberdayaan masyarakat lokal melalui sistem CSR dalam upaya pemanfaatan kembali sumur-sumur migas tidak produktif di sekitar industri migas adalah dengan memberdayakan masyarakat lokal melalui KUD dengan bantuan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan ketrampilan dan keahlian teknis individu, serta memberi bantuan modal, advokasi kelembagaan, dan konsultasi manajemen operasional kepada KUD untuk peningkatan kemampuan teknis organisasi.

(7)

vii

atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

viii

IDI AMIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarDoktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix 1. Prof. Dr. Ir. Suprihatin, Dipl.Eng.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramoedya N, M.Eng.

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 2011, waktu ujian: Pukul 13.00 –selesai.

Penguji Luar Komisi:

(10)

x

Nama : Idi Amin

NRP : P062070191

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Tun Tedja Irawadi, M.S. Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, M.S. Dr. Ir. Ego Syahrial, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(11)

xi Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul

“Rancangan Proses Pengendalian dan Pemanfaatan Gas Karbon Dioksida pada Sumur Minyak dan Gas Bumi dengan TeknologiCarbon Capture and Storage”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS., selaku ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam proses bimbingan dan konsultasi, baik itu berupa nasehat, arahan, dan pemberian motivasi secara tulus, ikhlas dan penuh tanggung jawab hingga selesainya disertasi ini.

2. Dr. Ir. Etty Riani, MS., selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan, perhatian, masukan dan bimbingan yang begitu besar dari awal penelitian, penulisan disertasi hingga selesainya disertasi ini.

3. Dr. Ir. Ego Syahrial, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, semangat dan koreksi-koreksi yang sangat membangun kerangka penelitian dan penulisan disertasi sehingga menambah kualitas dari disertasi ini.

4. Dr. Zulkifli Rangkuti, SE., M.Si., M.M., yang telah memberikan bantuan pemikiran, perhatian dan masukan yang begitu besar dan sangat bermanfaat dalam proses penelitian dan penulisan disertasi ini.

5. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor, dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) atas segala masukan, nasehat, perhatian, dan bantuannya. 6. Sekretaris Jenderal dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri Kementerian

Perindustrian RI., yang telah memberikan waktu dan kesempatan dalam mengikuti program rintisan gelar doktor (S3) di Sekolah Pascarsarjana IPB, Bogor.

(12)

xii 9. Staf administrasi di Jurusan PSL dan Sekolah Pascasarjana IPB.

10. Rekan-rekan kerja di Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Industri, khususnya di unit kerja Akademi Teknik Industri (ATI) Makassar, atas segala perhatian dan dukungan motivasinya untuk terus berusaha menyelesaikan studi di IPB.

11. Kedua orang tua tercinta ayahanda La Ambi dan ibunda Siti Anna, kedua mertua tercinta ayahanda Mustari dan ibunda Sabitha, pakde Shabir dan ibu Wita yang saya sangat hormati, dan kakanda Sury dan mas Adhi Santoso, kakanda Tafri dan mbak Dian, kakanda Tati dan mas Djunaid, adinda Eti dan mas Patiroy, kakanda Jaya dan mbak Ismi, mas Imrad, kakanda Ida dan mas Jaidin, dan seluruh keluarga, kerabat, serta kawan-kawan atas segala perhatian, bantuan, dukungan dan do’anya selama

penulis menempuh pendidikan di IPB, Bogor.

12. Istriku tersayang Muhasifah Mustari atas segala perhatian dan kebersamaannya.

Bogor, Juli 2011

(13)

xiii diploma tiga (D3) ditempuh di Politeknik Universitas Hasanuddin Jurusan Teknik Kimia lulus pada tahun 1996 dan pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Teknologi Industri Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (Veteran) Jawa Timur di Surabaya, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup bidang minat Teknologi Lingkungan, pada program magister (S2) di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) dan menamatkannya pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) bidang minat Pencemaran Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

(14)

xiv

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitan ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect) ... 7

2.2. Dampak Pemanasan Global dan Perubahan Iklim ... 8

2.3. Upaya Mitigasi Dampak Pemanasan Global ... 9

2.4. Konvensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCC) ... 10

2.5. Potensi CCS sebagai Bagian dari CDM ... 11

2.6. Carbon Capture and Storage(CCS) ... 12

2.7. Sistem Operasi dalam CCS ... 17

2.8. Gas Ikutan ………..….………...…... 18

2.9. Potensi Penerapan Teknologi CCS di Indonesia ……….……... 23

2.10. Potensi Penerapan CCS-EOR di Indonesia ………... 24

2.11. Resiko Kebocoran dan Monitoring CO2 …... 27

2.12. Sifat Kimia dan Fisika Gas Karbon Dioksida ... 29

2.13. Proses Penangkapan Gas CO2 ...…. 33

2.14. Proses Penyimpanan Gas CO2 ……….. 46

2.15. Kelayakan Investasi Proyek ……….. 54

2.16 Regulasi Sektor Migas dalam Era Otonomi Daerah ……….. 61

BAB III METODE PENELITIAN ... 64

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

3.2. Kajian Penelitian ... 65

3.3. Bahan dan Alat …... 65

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 65

3.5. Metode Analisis Data ... 66

(15)

xv

BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ………. 93

4.1. Letak Geografis dan Administratif …..…………...…..…. 93

4.2. Iklim ……….………...…...…. 93

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 102

5.1. Hasil dan Pembahasan Rancangan Proses Penangkapan CO2………... 102

1. Hasil Analisis Komposisi Gas Ikutan Lapangan XT …...…... 102

2. Hasil Identifikasi Diagram Alir Proses Unit Amin ………... 103

3. Hasil Identifikasi Jenis Alat dan Model Operasi Unit Amin ……. 104

4. Hasil Identifikasi Komposisi Campuran Amin dan Air ... 105

5. Rancangan ProsesRemovalGas CO2 ... 106

6. Hasil Simulasi ProsesRemovalGas CO2...……... 107

7. Validasi ProsesRemovalGas CO2 ... 125

8. Penyaluran Gas CO2 ………... 128

9. Kesimpulan Hasil Rancangan Proses Penangkapan Gas CO2 ....…. 130

5.2. Hasil dan Pembahasan Rancangan Proses Penyimpangan CO2 ... 131

1. Hasil Identifikasi Lapangan Minyak Bumi dan Gas Alam…...…….131

2. Hasil Identifikasi Sebaran Sumur Tidak Produktif ………... 132

3. Hasil Identifikasi Kandidat Lapangan EOR ………... 133

4. Hasil Identifikasi Sumur EOR Potensial ... 134

5. Hasil Identifikasi Karakteristik Sumur EOR Potensial ...……... 135

6. Hasil Identifikasi Potensi Cadangan Migas Sumur EOR ... 138

7. Hasil Identifikasi TekananReservoirdan Rekah Formasi ...…... 139

(16)

xvi

12. Validasi Model Simulasi dan Sejarah Produksi Migas …...….. 150

13. Kesimpulan Hasil Rancangan Proses Penyimpanan CO2 ... 151

5.3. Hasil dan Pembahasan Pemanfaatan dan Pengolahan Migas Hasil EOR.... 152

1. Hasil Identifikasi Lapangan dan Sumur EOR Potensial ... 152

2. Hasil Identifikasi Kelayakan Teknologi Pengolahan Migas EOR 152 3. Uji Kelayakan Ekonomi Proyek EOR ... 153

4. Peramalan Produksi Migas Lapangan EOR ... 154

5. Perhitungan Investasi Proyek EOR ... 159

6. PerhitunganCash FlowInvestasi Proyek EOR ... 160

7. Uji SensitivitasCash FlowInvestasi Proyek EOR ... 161

8. Estimasi Bagi Hasil Keuntungan Migas Hasil EOR ... 167

9. Strategi Pengelolaan Migas hasil EOR ... 171

5.4. Strategi dalamCorporate Social Responsibility(CSR) ... 177

5.5. Pembahasan Umum ……….. 189

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……….……… 196

6.1. Kesimpulan ... 196

6.2. Saran-saran ... 197

DAFTAR PUSTAKA ... 198

(17)

xvii

1. Global warming potential (GWP) ……….…. 8

2. Kapasitas penyimpangan gas CO2 ……….……. 16

3. Estimasi kondisi operasi dalam proses CCS ……….…. 18

4. Total emisi GRK dan gas ikutan Indonesia ……….……. 20

5. Sumber emisi CO2di Propinsi Jawa Barat ………..…… 22

6. Jenis alat dan UOM …...……….….… 70

7. Konsentrasi amin dalam air ………...………..…… 70

8. Variasi jumlahstage ...……..…… 72

9. Profil lapangan minyak bumi……….….… 75

10. Profil lapangan gas alam ...……….……. 76

11. Sebaran sumur per lapangan ………. 77

12. Delapan kandidat lapangan ………. 78

13. Lapangan dan sumur EOR potensial …………...………. 85

14. Karakteristik geologireservoir ……...………. 86

15. Karakteristik kimia dan fisika …...………. 86

16. Karakteristik tekanan rekah formasi ...……. 87

17. Laju produksi dan sisa cadangan ...……. 87

18. Komposisi minyak lapangan XJ ...……. 90

19. Spesifikasi peralatan EOR ...……. 91

20. Profil produksi tahun 1992-2004 ...……. 92

21. Jumlah pemeluk agama ………...… 94

22. Jumlah tempat ibadah………...…………..………..… 94

23. Sekolah Umum ………..………….…...… 95

24. Madrasah ………...……..…....…... 95

25. Komposisi gas ikutan ...……….…… 102

26. Tingkat efisiensiremovalgas CO2 ...…… 109

27. Data validasi efisiensiremovalCO2dengan MEA ... 126

(18)
(19)

xix

1. Bagan alir kerangka pemikiran ... 3

2. Bagan alir perumusan masalah ... 4

3. Neraca energi radiasi matahari ……….. 7

4. Tekonologi CO2capture ... 13

5. Transformasi dan Injeksi CO2...……….... 15

6. Formasi Geologi ………... 16

7. Tekanan dan temperatur dalam sistem CCS …... 18

8. Total emisi GRK di Indonesia ... 21

9. Sumber emisi CO2di Indonesia ... 22

10. Potensi gas ikutan lapangan XT ... 23

11. Sebaran cekungan tersier di Indonesia ………. 25

12. Sebaran lapangan migas di Jawa Barat ………. 26

13. Rencana proyek CO2di Indonesia ………. 27

14. Diagram fasa gas CO2 ... 30

15. Variasi densitas gas CO2 …………... 31

16. Viskositas gas CO2 ………... 33

17. Rumus bangun DIPA ………... 35

18. Rumus bangun DEA ... 36

19. Rumus bangun MDEA ... 38

20. Proses perpindahan antara dua fasa ...………... 39

21. Mekanisme absorpsi ………....…. 40

22. Absorpsi secara fisika dan kimia ………... 41

23. Enhanced oil recovery(EOR) ………... 54

24. Lokasi penelitian di lapangan XT... 64

25. Diagram alir tahapan penelitian ... 68

26. Process flow diagram(PFD)amine unit ... 69

(20)

xx

31. Grafik tingkat efisiensiremovalCO2hasil simulasi dan aktual ... 127

32. Compressorgas CO2 …... 128

33. Korelasi Yellig-Metcalfe ... 141

34. Korelasi Holm-Josendal ... 142

35. Validasi model simulasi dan sejarah produksi minyak ... 150

36. Profildecline curveproduksi lapangan XJ ………. 155

37. Diagnostikplot rate declinepadaforecastminyak ...…………. 156

38. Diagnostikplot rate declinepadaforecastgas ..…...………... 156

39. Peramalan produksi lapangan XJ dengandecline curve analysis ... 156

40. Uji sensitivitas terhadap NPV kontraktor ... 163

41. Uji sensitivitas terhadap IRR kontraktor ……...………. 164

42. Keuntungan bagi hasil penjualan minyak bumi ...….… 168

(21)

xxi

A1. Estimasi potensi emisi gas rumah kaca ... 207

A2. Keseimbangan material dalam MEA ... 209

A3. Keseimbangan material dalam DIPA ... 210

A4. Keseimbangan material dalam DEA ... 212

A5. Keseimbanganmaterial dalam MDEA ... 213

A6. Kelebihan dan kekurangan lamin ... 215

B1. Hubungan porositas dan permeabilitas …...…...……… 216 B2. Peta porositas ………...…..…... 216

B3. Peta saturasi air ………...217

B4. Peta permeabilitas ……….. 217

B5. Datainput grindingpetaiso-porosity ……….. 218

B6. Parameter data porositas dan permeabilitas ………... 218

B7. Hasil rekombinasi komponen fluida ... 219

B8. Hasil produksidecline type curve matching ….……….. 219

B9. Hasil perhitungan lengkap analisis PVT ... 220

B10. Dataroutine core analysissumur JTB-182 ... 220

B11. SCAL dan hasil perhitungan Sw*, Krw*, Kro* ……….…… 221 B12. SCAL dan hasil perhitungan Sg*, Kro*, Krg*………..……….. 222

B13. Produksi komulatif sampai Desember 2004 ……….. 223

B14. Estimasi potensi CO2dan emisi GRK lapangan XJ ………. 224

C1. Hasil perhitungan investasi ... 228

C2. Hasil perhitungancash flowinvestasi EOR ... 230

C3. Perhitungan bagi hasil minyak bumi………... 231

C4. Perhitungan keuntungan daerah penghasil minyak bumi .………... 233

C5. Perhitungan bagi hasil gas alam ………...……….. 234

C6. Perhitungan keuntungan daerah penghasil gas alam ………... 236

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggunaan energi dari fosil seperti minyak dan gas bumi (migas) telah mempengaruhi segala bidang kehidupan manusia saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Permasalahan utama dalam pemakaian migas adalah meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) di

lapisan atmosfer bumi yang berasal dari hasil proses pembakaran migas pada alat-alat transportasi, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi industri migas dan pusat pembangkit tenaga listrik. Hal ini dapat mengakibatkan efek gas rumah kaca (GRK) sehingga dapat memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim di permukaan bumi. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi dan mengatasi konsentrasi gas CO2 adalah teknologi carbondioxide capture and storage (CCS), yang bertujuan untuk menangkap CO2 dari sumbernya dan

menyimpannya ke dalam formasi geologi yang lebih aman.

(23)

Besarnya potensi cadangan dan produksi migas beberapa industri migas di Propinsi Jawa Barat menjadikan peluang terlepasnya emisi gas CO2 ke atmosfir

akan semakin besar pula akibat meningkatnya aktivitas pembuangan gas buang atau gas ikutan (flare gas) yang dihasilkan dari stasiun pengumpul (gathering station) pada setiap industri migas. Berdasarkan hal itu, perlu segera dilakukan langkah-langkah teknik dan strategi dalam pengendalian dan pemanfaatan gas CO2 pada tahap pengumpulan dan pemisahan gas ikutan dari setiap stasiun

pengumpul industri migas di Propinsi Jawa Barat.

1.2. Kerangka Pemikiran

Beberapa protokol, mekanisme dan konvensi internasional telah dihasilkan untuk menerapkan standar baku pencemaran udara dan batas tingkat emisi di beberapa negara maju industri dan negara berkembang seperti Indonesia dalam upaya mengurangi dan mencegah dampak negatif dari emisi gas rumah kaca, khususnya emisi gas CO2akibat penggunaan dan pembakaran bahan bakar migas.

Peraturan ini menjadi kesepakatan bersama dibawah pengawasan badan internasional dalam upaya adaptasi dan mitigasi dampak pemanasan global.

Teknologi CCS merupakan teknologi yang sangat efisien dan efektif dalam mengurangi emisi gas CO2, yaitu dengan cara melakukan penangkapan gas

CO2 di stasiun pengumpul migas dengan menggunakan metode post combustion capture atau penangkapan sesudah pembakaran. Gas CO2 tersebut kemudian

dapat disimpan ke dalam formasi geologi yang lebih aman dengan menggunakan metode enhanced oil recovery (EOR) atau peningkatan perolehan minyak, yaitu suatu cara penginjeksian CO2 ke dalam sumur migas untuk menyimpan CO2,

sekaligus dapat mengangkat kembali sisa migas yang ada di dalam sumur migas. Kedua metode tersebut di atas dapat berdampak positif dan bernilai ekonomi bagi industri migas, karena selain dapat mengurangi dampak negatif emisi gas CO2, juga sekaligus dapat mengaktifkan kembali sumur migas yang

(24)

lala

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.

1.3. Perumusan Masalah

Saat ini ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangkap gas CO2 pada stasiun pengumpul, yaitu metode penangkapan sebelum pembakaran

(pre-combustion capture), selama pembakaran (oxyfuel-combustion capture),dan sesudah pembakaran (post-combustion capture). Penerapan ketiga metode penangkapan tersebut harus disesuaikan berdasarkan komposisi gas dan bahan penyerap (chemical-physical absorption). Gas CO2 dari proses penangkapan

(25)

perpipaan, kapal tanker dan lewat perantara lainnya. Metode penyimpanan gas CO2dapat dilakukan dengan tiga metode penyimpanan, yaitu menyimpan gas CO2

ke dalam formasi geologi, mengalirkan gas CO2ke dalam formasi lapisan garam,

dan melakukan mineral karbonisasi, yaitu penyerapan CO2dengan menggunakan

karbonat magnesium atau kalsium oksida.

Metode penangkapan dan penyimpanan CO2 yang sesuai dengan

karakteristik gas ikutan dan formasi geologi di lokasi penelitian adalah metode

post combustion capture-chemical absorption dan metode EOR-miscible CO2 flooding (injeksi CO2 tercampur), sehingga dalam penelitian ini dapat diajukan

beberapa pertanyaan sebagai arahan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana pengendalian CO2 sehingga mampu menangkap CO2 dalam gas

ikutan dengan metodepost combustion capture-chemical absorption.

2. Bagaimana pemanfaatan CO2 sehingga mampu menyimpan CO2 dalam

formasi geologi dengan metodeenhanced oil recovery-miscibleCO2flooding.

3. Bagaimana strategi pengelolaan migas hasil recovery dari sumur EOR potensial dengan metode analisis kelayakan teknologi, ekonomi dan sosial.

Jawaban dari pertanyaan tersebut di atas memerlukan suatu kajian ilmiah yang sesuai dengan permasalahan yang ada, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Bagan alir perumusan masalah.

(26)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menghasilkan rancangan proses pengendalian dan pemanfaatan gas CO2pada sumur minyak dan gas bumi

dengan menggunakan teknologi CCS. Rancangan proses dengan teknologi CCS tersebut memerlukan beberapa tujuan yang lebih spefisik, yaitu :

1. Mendapatkan rancangan proses pengendalian dan penangkapan CO2 dalam

gas ikutan dengan metodepost combustion capture-chemical absorption.

2. Mendapatkan rancangan proses penyimpanan CO2 dalam formasi geologi

dengan metodeenhanced oil recovery-miscibleCO2flooding.

3. Mendapatkan strategi pemanfaatan dan pengolahan migas hasil recovery dari sumur EOR dengan metode analisis kelayakan teknologi, ekonomi dan sosial.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memiliki kontribusi dan memberikan manfaat kepada berbagai pihak terkait (stakeholder), terutama: 1. Bagi pemerintah, khususnya bagi pemerintah daerah penghasil migas, sebagai

masukan dalam kebijakan dan strategi dalam upaya mitigasi dan adaptasi dampak pemanasan global di Indonesia akibat emisi gas rumah kaca-CO2.

2. Bagi PT. Pertamina, khususnya industri migas, sebagai masukan dalam upaya pengendalian dan pemanfaatan gas CO2 sehingga dapat digunakan untuk

peningkatan perolehan minyak pada sumur-sumur migas tidak produktif. 3. Bagi dunia pendidikan, sebagai informasi dalam pengkajian ilmu pengetahuan

dan teknologi, khususnya dalam kajian rancangan proses pengendalian dan pemanfaatan gas CO2dengan menggunakan teknologi CCS.

1.6. Kebaruan(Novelty)Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan upaya pengendalian dan pemanfaatan gas CO2 dalam sistem carbon capture and storage (CCS), dengan

(27)

Kajian pemanfaatan gas CO2 telah dilakukan oleh beberapa peneliti

sebelumnya, antara lain oleh Syahrial dan Bioletty (2007), yang mengkaji potensi sekuestrasi CO2 dan penggunaan teknologi EOR dalam menciptakan mekanisme

pembangunan bersih di Indonesia. Begitupula dengan hasil penelitian Ismukurnianto (2008), yang mengkaji upaya mitigasi dari gas CO2dan gas rumah

kaca lainnya dari industri minyak dan gas bumi di Indonesia, dan hasil penelitian Rangkuti (2009), yang mengkaji upaya pengembangan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung terciptanya mekanisme pembangunan bersih atau cleandevelopment mechanism(CDM) di Indonesia.

Beberapa penelitian dan kajian sebelumnya masih bersifat parsial dan belum mengkaji secara menyeluruh tentang bagaimana proses pengendalian gas CO2 yang berasal dari gas ikutan, dan pemanfaatannya dalam proses injeksi dan recoverycadangan minyak bumi, sehingga dapat menguntungkan secara ekonomi dan sekaligus mengurangi emisi gas CO2yang dihasilkan oleh industri migas.

Kebaruan dari penelitian ini terletak pada rancangan proses penangkapan dan penyimpanan gas CO2 yang terintegrasi dalam sistem carbon capture and storage (CCS) dan upaya mitigasi dampak pemanasan global, khususnya dalam upaya reduksi emisi gas CO2 pada industri migas di Jawa Barat, khususnya

Indramayu dan Majalengka, yaitu dengan merancang proses penyerapan CO2

(CO2 absorption) pada proses sesudah pembakaran (post combustion capture),

sehingga dapat diketahui metode absorpsi kimia (chemical absorption) yang paling efisien dalam prosesremoval gas CO2di dalam gas ikutan dan CO2 yang

dapat dimanfaatkan dari unit amin (amine unit), dan selanjutnya merancang proses injeksi CO2 (CO2 injection) pada sumur migas tidak produktif, sehingga dapat

diketahui metode injeksi CO2 tercampur (miscible CO2 flooding) yang paling

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect)

Menurut IPCC (2007a), cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang masuk ke bumi mencapai 342 watts per square metre(W m-2) dan sekitar 107 W m-2dari radiasi tersebut direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi dapat menyerap radiasi matahari sebesar 168 W m-2, sedangkan atmosfer menyerap 67 W m-2. Radiasi permukaan bumi ke atmosfir sekitar 390 W m-2dan sekitar 235 W m-2 diradiasikan ke luar bumi sebagai radiasi gelombang panjang. Jumlah radiasi balik yang dipancarkan oleh gas rumah kaca sebesar 324 W m-2. Atmosfer mempunyai lapisan gas rumah kaca dan awan, yang dapat mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Keberadaan lapisan atmosfir membuat panas yang ada di permukaan bumi dapat bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca (greenhouse effect). Dalam jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

(29)

Menurut IPCC (2007b), kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang sangat penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana

(CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC),

dan sulfir heksafluorida (SF6), seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Setiap gas rumah

kaca mempunyai global warming potential (GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Nilai GWP yang semakin besar membuat

tingkat kerusakannya dan dampaknya terhadap bumi akan semakin besar.

Tabel 1 Global warming potential(GWP) (Shires dan Loughran 2004)

No. Gas

4. Hydrofluorocarbons (HFCs) 140–11900 120–1200 5. Perfluorocarbons (PFCs) 6500 - 9200 5700–11900 6. Sulphur hexfluoride (SF6) 23900 22200

2.2. Dampak Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Menurut IPCC (2007c), pemanasan global (global warming) disebabkan oleh hasil dari beberapa aktivitas manusia dan jika terus-menerus dilanjutkan, maka emisi antropogenik gas rumah kaca (greenhouse gas) dapat meningkatkan temperatur rata-rata global dari 1,1 - 6,4oC selama abad 21. Temperatur global biasanya berkisar 0,74oC pada batas sebelum revolusi industri, dan peningkatan di atas 2 - 5oC dapat berpengaruh terhadap lebih dari 30% spesies dan 15 - 40% ekosistem, terutama kehidupan koral di lautan.

(30)

Menurut Measey (2010), beberapa dampak perubahan iklim di Indonesia, yaitu peningkatan temperatur, curah hujan, dan tinggi permukaan laut, serta ancaman terhadap ketersediaan makanan. Peningkatan GRK juga akan mendorong ke arah variasi cuaca yang lebih ekstrim. Sejak tahun 1990, temperatur tahunan rata-rata di Indonesia naik sekitar 0,3oC, dan sudah terjadi dalam beberapa musim. Pada tahun 2020, diperkirakan suhu rata-rata di Indonesia akan naik 0,36 - 0,47oC, dan akan mengalami curah hujan yang lebih banyak 2 - 3% setiap tahun. Tinggi permukaan laut naik 0,57 cm per tahun dan permukaan tanah turun 0,8 cm per tahun, sehingga berdampak terhadap 60% kota-kota yang berada di pesisir laut di Indonesia, mengurangi kesuburan tanah 2 - 8% per tahun, dan mengurangi produksi beras dan jagung masing-masing sebesar 4% dan 50% per tahun.

2.3. Upaya Mitigasi Dampak Pemanasan Global

Menurut Shao dan Stangeland (2009), IPCC telah merekomendasikan 50 -85% pengurangan emisi gas rumah kaca global dari tahun 2000 - 2050 dan puncak emisi sebelum tahun 2015, sebagai upaya untuk menghindari berbagai konsekuensi berbahaya dari pemanasan global. CCS adalah salah satu dari beberapa jalan keluar yang dibutuhkan untuk mencapai target pengurangan emisi tersebut. Energi dapat diperoleh dari sumber yang dapat diperbaharui dan lebih efisien. Bahan bakar energi fosil dapat dikarbonisasi dengan teknologi carbon dioxide capture and storage(CCS) dan perbaikan pengelolaan penghutanan.

Menurut IPCC (2005a), CCS adalah proses pemisahan CO2 dari industri

dan sumber yang terkait dengan energi, pengangkutan ke lokasi penyimpanan dan pengisolasian dalam jangka waktu yang panjang dari atmosfer. CCS dapat diperlakukan sebagai pilihan upaya mitigasi untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir. Tersedia bukti di seluruh dunia, kemungkinan tersedia potensi teknis sedikitnya sekitar 2.000gigatonne(Gt) CO2dari kapasitas penyimpanan di dalam

berbagai formasi geologi. Pada kebanyakan skenario untuk dapat menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir antara 450 - 750 part per million by volume (ppmv) CO2, sehingga CCS dapat berkontribusi sebesar 15 - 55%

(31)

2.4. Konvensi Internasional Perubahan Iklim (UNFCC)

Menurut Sugiyono (2006), pemanasan global mulai mendapat perhatian sejak tahun 1980an, saatWorld Meteorological Organization (WMO) danUnited Nation Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988 dan mengusulkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan tindakan menanggulangi pemanasan global. PBB kemudian mengeluarkan resolusi tentang penanggulangan pemanasan global untuk saat ini dan generasi mendatang, yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan mengadakanWorld Summitdi Rio de Janeiro tahun 1992, dan menghasilkan konvensi di bidang biodiversitas, perubahan iklim dan agenda 21. Konvensi untuk perubahan iklim disebut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan mengadakan rapat tahunan tingkat menteri yang disebut Conference of the Party (COP) dan rapat lima tahunan setingkat kepala negara. Beberapa hasil yang penting dari penyelenggaraan COP, adalah COP 3 di Kyoto pada tahun 1997 yang menghasilkanKyoto Protocoldan mengharuskan negara maju atau Annex I secara hukum untuk mengurangi emisi CO2sebesar 5,2% dari level tahun 1990 pada

periode dari tahun 2008 sampai 2012.

Menurut Murdiyarso (2007), dengan Protokol Kyoto memungkinkan untuk penerapan tiga mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya dengan biaya yang fleksibel, yaitu: 1. Joint Implementation (JI), kerjasama antara sesama negara Annex I (negara

maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca; biasanya ini dilakukan dengan investasi asing antar negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emission Reduction Unit–ERU);

2. International Emission Trading(IET), sertifikat ERU pada negara Annex I; 3. Clean Development Mechanism (CDM), pada dasarnya adalah gabungan dari

(32)

2.5. Potensi CCS sebagai Bagian dari CDM

Menurut Bakker et al. (2008), sementara masih diperdebatkan untuk memasukkan sistem CCS ke dalam CDM, sudah terdapat kemajuan yang telah dibuat dalam membantu memecahkan berbagai hambatan dalam penggabungan CCS ke dalam CDM. Salah satu estimasi dari potensi pengolahan gas alam dalam sistem CCS ke dalam CDM, dalam sektor industri migas, terdapat potensi yang harus dipertimbangkan dan menjadi peluang awal bagi penerapan teknologi CCS pada sistem CDM. Tiga permasalahan yang dapat dihubungkan dengan CCS adalah apakah cara pelaksanaan CDM dan prosedurnya dapat mengakomodasi teknologi CCS secara spesifik. Berdasarkan hal itu, sudah dikembangkan metodologi dasar yang dapat menggambarkan tiga hipotesis aktivitas proyek CCS di bawah CDM, yang mungkin dapat mengikuti penggabungan metodologi yang berbeda secara teknologi, yaitu:

1. Penangkapan CO2 dari pembangkit listrik tenaga batubara dan penggunaannya

pada suatu pengoperasian kembali dalamenhanced coal bed methane(ECBM). 2. Penangkapan CO2dari pabrik batubara, dan penyimpanannya ke dalam sumur

migas yang telah habis atau formasi dasar lautan.

3. Penangkapan CO2dari suatu pabrik pengolahan gas alam, dan penyimpanannya

ke dalam sumur migas yang telah habis atau formasi dasar lautan.

Menurut Andrews (2011), pembahasan tentang CCS menjadi bagian dari CDM telah didiskusikan dalam pertemuan terakhir UNFCCC, yaitu pada COP16 danConference of the Parties serving as the Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP6) yang dilaksanakan pada tanggal 29 November hingga 11 Desember 2010 di Cancun, Meksiko. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh

(33)

2.6.Carbon Capture and Storage(CCS)

Menurut McKinsey (2008), carbon capture and storage (CCS) adalah teknologi yang berpotensi besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca walaupun dalam waktu yang bersamaan masih tetap menggunakan bahan bakar fosil tersebut. Gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil

selanjutnya ditangkap, diangkut, dan akhirnya disimpan dengan aman ke dalam formasi geologi. CCS adalah suatu teknologi yang bertujuan untuk mencegah dihasilkannya CO2 dari berbagai sumber besar untuk masuk ke dalam atmosfir,

seperti pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara.

Menurut McKinsey (2008), teknologi CCS ditujukan untuk menangkap sekitar 90% dari emisi gas CO2 dari sumbernya dan mencegah secara permanen

pelepasannya ke dalam atmosfer. CCS dirancang dalam tiga langkah. Pertama, CO2 ditangkap (capture) dan dipadatkan di lokasi sumber emisi. Kedua, CO2

dialirkan (transportation) atau diangkut ke suatu lokasi penyimpanan. Ketiga, CO2disimpan untuk selamanya dalam formasi geologi (CO2storage).

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007),carbon capture and storage (CCS) adalah konsep yang relatif baru berkembang di era tahun 1980an dan saat ini belum diterapkan dalam skala besar. Konsep CO2capture tersebut diperkirakan

dapat diterapkan pada sumber CO2yang besar dengan proses atau tahap kompresi,

transportasi dan injeksi ke dalam reservoir geologi untuk injeksi CO2 dalam

rangka proses penerapan enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak pada tahap produksi tersier. Gas CO2tersebut apabila berlebihan

dan tidak mampu seluruhnya terserap untuk kebutuhan EOR, maka pilihan lain adalah disimpan dalam depleted reservoir, deep saline aquifer (underground storage),coal bed methane.

2.6.1. CO2Capture

Menurut CO2Net (2005), proses penangkapan gas CO2 atau teknologi

dekarbonisasi gas CO2dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu :

1. Post-combustion, proses pemisahan CO2 sebagai gas buang dilakukan secara

(34)

dengan kadar CO2 yang dipisahkan berkisar 3-12%. Diharapkan proses ini

dapat memisahkan CO2dari campuran N2, O2dan gas lain seperti (SOx, NOx)

2. Pre-combustion, CO2ditangkap dari campuran gas yang didominasi oleh gas

H2pada tekanan 15-40 bar dan kandungan CO2atau C sebesar 15-40% yang

diproduksikan oleh bahan bakar hidrokarbon. Pada saat pemisahan CO2/H2

terdapat gas lainnya yaitu CO2dan H2S.

3. Oxyfuel combustion (Denitrogenation), CO2 dapat terproduksikan pada saat

sebelum atau selama prosescombustionatau konversi energi.

Perbedaan proses ketiga kategori di atas adalah target yang dihasilkan selama proses pemisahan yaitu menghasilkan CO2dari udara (contoh pemisahan

oksigen dari sebagian besar nitrogen), untuk itu tidak diperlukan proses pemisahan CO2. Keuntungan lain dengan proses ini sebagian besar “impurities

bisa ditangkap, sehingga tidak ada gas buang, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

(35)

Menurut Li (2008), teknologi penangkapan gas CO2 sering digolongkan

menjadi post-combustion, pre-combustion atau oxy-fuel CO2 capture. Di dalam

post-combustion capture, gas CO2 dipisahkan dari komponen-komponen gas

buang lainnya dengan cara penyerapan.Post-combustion capturedigunakan untuk menangkap gas CO2dari gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar

fosil dan biomassa di dalam udara. Hal ini merupakan suatu proses mendasar, sehingga gas CO2 di dalam gas buang pada tekanan atmosfir pada umumnya

dipindahkan oleh suatu proses penyerapan kimia yang menggunakan bahan penyerap (absorbent) seperti alkanolamin.

Menurut Li (2008), di dalam pre-combustion capture, karbon di dalam bahan bakar dipisahkan sebelum pembakaran.Pre-combustion capturedigunakan untuk memisahkan ikatan karbon bahan bakar sebelum bahan bakar dibakar. Hal ini melibatkan suatu reaksi antara bahan bakar dan oksigen, terutama menghasilkan gas sintesis atau 'gas bahan bakar', yang berisi karbon monoksida (CO) dan hidrogen(H2). Karbon monoksida bereaksi dengan uap air (H2O) di

dalam suatu reaktor katalitis, yang disebut shift converter, untuk menghasilkan gas CO2dan lebih banyak hidrogen. Gas CO2kemudian dipisahkan, biasanya oleh

suatu proses penyerapan secara fisik atau kimia.

Menurut Li (2008), di dalam proses oxy-fuel combustion capture, pembakaran dilakukan dengan menggunakan oksigen murni (O2) sebagai

penggganti udara, untuk mendorong ke arah gas buang yang terdiri dari gas CO2

dan uap air, yang dengan mudah dapat dipisahkan. Oxy-fuel combustion capture

digunakan untuk menangkap gas CO2 dari gas buang yang dihasilkan pada

pembakaranoxy-fuel. Pembakaran oxy-fueladalah pembakaran yang berlangsung di dalam suatu kondisi denitrogenasi, menghasilkan suatu gas buang yang sebagian besar terdiri dari H2O dan CO2.

2.6.2. CO2Transportation

Menurut IEA (2003), setelah penangkapan, gas CO2 tersebut kemudian

dialirkan ke tempat penampungan. Sebagian besar CO2 adalah bersifat lembam

(36)

tinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Saat ini di Amerika Serikat kurang lebih 30 juta ton/tahun gas CO2dialirkan melalui pipa salur. Pipa salur terpanjang

terpasang di pegunungan Sheep, sepanjang 656 km. Saat ini sekitar 3.100 km pipa salur terpasang di dunia dengan kapasitas 45 juta ton/tahun gas CO2. Gas CO2

dapat ditransportasikan dalam fasa fluida pada tekanan antara 80-200 bar.

Menurut CO2Net (2004), kebanyakan pipa salur CO2 di Amerika Serikat

dioperasikan pada tekanan 120-140 bar dan pipa salur tersebut ditanam dengan kedalaman 1 meter. Material yang digunakan pada umumnya adalah carbon steel

atau material lain yang diperkirakan tahan terhadap korosi. Gas alam pada umumnya terdiri dari beberapa komponen yang dapat menyebabkan korosi seperti air (H2O) dan gas H2S. Penyebab korosi gas alam biasanya dapat diatasi dengan

dehidrasi sebelum masuk jaringan pipa salur, akan tetapi pipa tersebut harus dilindungi dengan coating atau cathodic protection. Laju korosi dapat dikendalikan pada kondisi dibawah suhu 30oC, yang memungkinkan laju korosi lebih kecil dari 0,1 mm/tahun dengan menginjeksikan bahan penghambat korosi.

(37)

2.6.3. CO2Storage

Menurut Radgen et al. (2006), cekungan yang berupa endapan sangat cocok untuk penyimpanan gas CO2 dibawah tanah. Jenis reservoir dan

kapasitasnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6, yaitu :

1. Lapangan minyak dan gas yang telah terkuras (oil/gas producing reservoir), 2. Lapisan garam di dasar laut (deep saline aquifers), dan

3. Lapisan batu bara (unmineable coal seams).

Tabel 2 Kapasitas penyimpanan gas CO2(IEA 2006)

No. Geological Storage Option Global Capacity

Gtonne CO2 % of emissions to 2050

1 Oil/gas producing reservoirs 920 45%

2 Deep saline aquifers 400–10.000 20–500%

3 Unminable coal measures 40 2%

(38)

Menurut Radgen et al. (2006), persyaratan untuk penyimpanan gas CO2

yang aman dan optimal, yaitu:

1. Volume penyimpanan bergantung pada porositas serta ketebalan yang harus sesuai dengan jumlah gas CO2yang direncanakan untuk diinjeksikan ke dalam

formasi geologi.

2. Permeabilitas batuanreservoiryang sesuai untuk injeksi CO2,

3. Kedalaman lebih dari 800 m atau 2.625 ft, karena kedalaman penyimpanan gas CO2 sangat kritikal dengan densitas gas CO2 agar dapat dipastikan optimal

untuk disimpan ke dalam reservoir, dan gas CO2 akan terjebak dalam bentuk

cairan superkritikal. Pada tahap ini CO2bebas akan naik sampai tudung batuan reservoir akibat dari efek gaya apung, dan akan terakumulsi, dan untuk memastikan gas CO2 tetap terperangkap maka nilai permeabilitas dari tudung

batuan harus kecil.

2.7. Sistem Operasi dalam CCS

Menurut Li (2008), dalam menentukan data yang diperlukan untuk mengevaluasi sifat-sifat thermodinamik gas CO2 di dalam proses CCS, sistem

operasi harus digambarkan dengan beberapa daerah fase dan proses CCS. Kondisi operasi temperatur dan tekanan menyediakan dasar untuk mengidentifikasi persyaratan data yang relevan dengan data percobaan dan cakupan penerapan, dengan berdasarkan pada kelengkapan model, dan diperlukan untuk memperkecil ketidakpastian.

Salah satu ciri khas prosedur CCS, khususnya dari sistem pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam, serta batubara, pada umumnya terdiri dari empat tahapan, yaitu penangkapan CO2(capture) dari

gas buang, pengolahan CO2 (processing), yaitu compression, dehydration, purification atau liquefaction, dan lebih lanjut compression atau pumping, penyaluran CO2(transportion) dan penyimpanan CO2(storage). Keempat langkah

(39)

Tabel 3 Estimasi kondisi operasi dalam proses CCS (Li 2008)

Gambar 7 Tekanan dan temperatur dalam sistem CCS (Li 2008).

2.8. Gas Ikutan

(40)

utama dari penyalaan gas adalah untuk suatu tindakan pengamanan untuk melindungi tangki-tangki atau pipa-pipa dan peralatan lainnya dari tekanan tinggi karena gangguan yang tidak terduga.

Menurut Gervert (2007), pembakaran adalah suatu proses oksidasi dalam temperatur tinggi digunakan untuk membakar komponen-komponen yang mudah menyala, kebanyakan hidrokarbon, dari limbah gas dari proses operasi industri. Gas alam, propane, etilena, propilena, butadiene dan butane tercampur lebih dari 95% dari limbah gas yang dinyalakan. Di dalam pembakaran, gas-gas hidrokarbon bereaksi dengan oksigen membentuk gas karbon dioksida (CO2) dan air (H2O).

Dalam beberapa limbah gas, karbon monoksida (CO) adalah komponen utama yang mudah menyala. Selama dalam reaksi pembakaran, beberapa produk-produk antara dibentuk, dan pada akhirnya, hampir semuanya dikonversi menjadi CO2

dan air (H2O). Sejumlah dari produk-produk antara yang stabil seperti karbon

monoksida (CO), hidrogen (H2), dan hidrokarbon (CH) dikeluarkan sebagai emisi.

2.8.1. Gas Ikutan sebagai Sumber Emisi CO2

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), pada umumnya gas CO2terkandung

dalam reservoir minyak dan gas bumi, maka apabila hidrokarbon tersebut diproduksikan, gas CO2 tersebut akan terbawa ke permukaan sebagai sumber

GRK, seperti gas CO2, CH4, dan N2O, yang dapat menyebabkan meningkatnya

konsentrasi GRK di atmosfir. Proses pengilangan minyak,liquified petroleum gas

(LPG),liquefied natural gas(LNG), dan industri lainnya pada proses pembakaran di industri migas mengandung 5 - 15% gas CO2.

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), beberapa langkah kerja proses industri akan memproduksikan CO2dengan konsentrasi yang lebih tinggi sebagai

hasil dari proses pembakarannya dibandingkan dengan jumlah keseluruhan CO2

yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Proses penangkapan CO2 sudah merupakan

rangkaian kegiatan dari suatu industri yang menghasilkan produk CO2, sebagai

contoh adalah gas alam yang keluar dari sumur biasanya mengandung CO2

(41)

2.8.2. Potensi Gas Ikutan di Indonesia

Menurut Indriani (2005), produksi migas Indonesia mengalami puncak produksi pada tahun 1996, kemudian mengalami penurunan produksi setiap tahun hingga tahun 2003. Hal ini disebabkan oleh investasi yang lambat dan berkurangnya dalam eksplorasi baru, sehingga menjadi faktor kunci terjadinya penurunan produksi migas. Lapangan tua dan permasalahan birokrasi dapat pula menjadi penyebab terjadinya penurunan produksi minyak Indonesia dan membatalkan beberapa rencana dan berjalannya proyek pembangunan. Indonesia menempati peringkat enam besar penghasil gas di dunia. Pemasukan besar dari pasar liquefied natural gas (LNG) yang kompetitif dan peningkatan kebutuhan gas domestik menghasilkan perubahan besar pada beberapa industri gas alam Indonesia. Pengurangan subsidi bahan bakar dan insentif gas dari Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001, menyebabkan peningkatan penggunaan gas secara domestik, sesuai dengan peningkatan kebutuhan energi. Peningkatan produksi gas domestik secara langsung berkaitan erat dengan peningkatan produksi gas ikutan Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.

(42)

Dalam jangka panjang, produksi migas dapat digunakan untuk meramalkan bagaimana perkembangan produksi gas ikutan Indonesia dari tahun 1990 hingga tahun 2020, yaitu secara teori, produksi minyak yang tinggi akan menghasilkan lebih banyakassociated gasdan meningkatkan produksi gas ikutan. Hal ini sesuai dengan fakta estimasi produksi gas ikutan Indonesia dari tahun 1990 sebesar 450.279.000 ton CO2 hingga tahun 2020 yang mencapai total

produksi sebesar 785.714.286 ton CO2, seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Total emisi GRK di Indonesia (Indriani 2005).

2.8.3. Potensi Gas Ikutan di Jawa Barat

Menurut ICCSSWG (2009), Propinsi Jawa Barat memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia. Emisi CO2kemungkinan besar berasal

(43)

pabrik gas adalah rendah. Total volume CO2 yang diemisikan sekitar 50 juta tonnes per annum (tonnes/pa), dengan volume tertinggi berasal dari pusat pembangkit tenaga listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan. Pusat pembangkit listrik dan pabrik pengolahan gas di daratan tersebut tersebar di beberapa lokasi di Propinsi Jawa Barat, yaitu Cilacap, Indramayu, Cimalaya, Subang dan Tugu Barat dengan sumbangan emisi CO2 yang berasal dari unit refinery, unit hidrogen, dan

unitgas processingseperti ditunjukkan pada Gambar 9 dan Tabel 5.

Gambar 9 Sumber emisi CO2di Indonesia (ICSSWG 2009).

Tabel 5 Sumber emisi CO2di Propinsi Jawa Barat (ICSSWG 2009)

No. CO2Source Plant Name Operator / owner

1. Refinery (flue gas) Cilacap PT Pertamina / Indonesia

2. Refinery (flue gas) Balongan - Langit Biru PT Pertamina / Indonesia

3. Refinery (H2Unit) Cilacap PT Pertamina / Indonesia

4. Refinery (H2Unit) Balongan - Langit Biru PT Pertamina / Indonesia

5. Gas processing (CO2stream) North Cylamaya PT Pertamina / Indonesia

6. Gas processing (CO2stream) Subang PT Pertamina / Indonesia

(44)

Menurut Rangkuti (2009), potensi cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat kompleks mencapai 35,7 billion standard cubic feet (Bscf) (proven) ditambah 23,1 Bscf (probable), dengan potensi produksi gas ikutan hingga tahun 2015 mencapai lebih dari 11million metric standard cubic feet per day(MMscfd), sehingga dengan ketersediaan bahan baku tersebut dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan gas ikutan, menjadi produk yang lebih bermanfaat bagi industri migas, sekaligus dapat mencegah terlepasnya emisi GRK ke atmosfir. Potensi produksi gas ikutan lapangan Tugu Barat dapat ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Potensi gas ikutan lapangan XT (Rangkuti 2009).

2.9. Potensi Penerapan Teknologi CCS di Indonesia

(45)

1. Proyek BP and Sonatrach yang menginjeksikan CO2 dari lapangan gas In

Salah, Aljazair, ke perut bumi sejak tahun 2004. Proyek ini diharapkan mampu mengurangi emisi sebesar 1.000 ton CO2per tahun.

2. Proyek Crust di Belanda yang menginjeksikan gas CO2 ke dalam reservoir

lapangan gas lepas pantai yang dilakukan oleh Gaz de France.

3. Proyek LNG Snohvit di Norwegia. State Oil sedang mengembangkan tiga lapangan gas di Brent Sea mempergunakan instalasi produksi bawah laut yang disambung ke jaringan pipa proses dan kilang pencairan di darat. Setiap tahun gas CO2sebesar 700 ton mampu dipisahkan dari gas dan diinjeksikan ke dalam

lapisan garam yang berada 2.600 m di bawah permukaan laut.

4. Industri gas alam di Alberta, Kanada, memproduksi emisi CO2 dan H2S

diinjeksikan kedeep salt reservoiryang berada pada kedalaman 1.400 –2.900 m di bawah permukaan bumi sejak tahun 1994.

5. Lapangan gas Sleipner West, Laut Utara, sejak tahun 1996 menginjeksikan CO2kedeep salt reservoiryang berada di bawah dasar laut.

6. Beberapa proyek di Amerika yang menggunakan CO2 untuk meningkatkan

perolehan minyak yang selanjutnya disimpan di dalamreservoirterkuras. Dari hasil kajian teknologi sekuestrasi CO2, terlihat kemungkinan

teknologi ini bisa diterapkan di Indonesia. Indonesia memproduksi CO2 dari

berbagai sumber, misalnya lapangan-lapangan minyak yang menghasilkan gas ikutan, pabrik-pabrik ammonia, kilang LNG, dan pusat-pusat listrik berbahan bakar fosil (gas, minyak dan batubara) yang dapat menjadi sumber masalah untuk mengatasinya. CO2 yang terproduksi bisa digunakan untuk meningkatkan

perolehan minyak dengan injeksi CO2atau bisa juga disimpan kembali didepleted reservoir,deep saline aquifer dancoal bed methane. Penggunaan teknologi ini di Indonesia diharapkan dapat menurunkan emisi gas buang CO2ke atmosfir.

2.10. Potensi Penerapan CCS-EOR di Indonesia

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), teknologi karbon dioksida sekuestrasi (CO2 sequestration) sudah dikembangkan dan diimplementasikan di

(46)

dikembangkan dan penelitian terus dilakukan terutama pada teknologi penangkapan (capture) sehingga diharapkan di masa mendatang teknologi ini cukup efisien dan ekonomis. Penelitian untuk penerapan teknologi sekuestrasi di Indonesia belum banyak dilakukan, sementara potensi untuk menyimpan CO2 di

wilayah Indonesia sangat besar, seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11 Sebaran cekungan tersier di Indonesia (Lemigas 2006).

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), penghitungan kapasitas penyimpanan di formasi geologi seperti depleted reservoir, deep saline aquifer,

deep ocean, dan coal bed methane secara regional belum pernah dilakukan. Sumber CO2 yang berasal dari pembangkit tenaga listrik, industri kimia dan

pupuk, dan lapangan migas, apabila berlokasi dekat dengan formasi geologi yang memenuhi persyaratan penyimpanan, dapat ditangkap dan disimpan. Berdasarkan hal itu, CO2 dapat digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan

menerapkan teknologi enhanced oil recovery (EOR). Pembuatan roadmap di seluruh wilayah Indonesia yang berawal dari sumber CO2 yang berasal dari

(47)

melakukan mekanisme pembangunan bersih di Indonesia. Khusus untuk Indonesia, setelah menandatangani Protokol Kyoto, perlu menunjukkan peran aktif di sektor energi dalam menurunkan emisi gas CO2ke atmosfir.

Menurut ICCSSWG (2009), kawasan pantai utara Jawa berpotensi sebagai tempat penyimpanan CO2 karena memiliki banyak lapangan tua di daerah

tersebut, walaupun beberapa lapangan tersebut masih aktif berproduksi, akan tetapi produksi minyak dapat dikembangkan dengan metode CO2 EOR, seperti

dinjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12 Sebaran lapangan migas di Jawa Barat (Napitupulu 2000).

Menurut ICCSSWG (2009), lokasi di kawasan pantai utara Jawa tersebut juga strategis dalam penyaluran CO2karena dekat dengan pabrik pengolahan gas

alam, Subang, seperti ditunjukkan pada Gambar 13, yang dapat menggambarkan secara mendetail proyeksi emisi CO2hingga tahun 2018 dari 4 pembangkit tenaga

(48)

Kalimantan dan Sulawesi masing-masing sebesar 1.983,5 metric ton (Mt), 158,7 Mt, 93 Mt, dan 34,7 Mt, dengan total emisi CO2sebesar 1.938,5 Mt.

Menurut ICCSSWG (2009), pabrik pengolahan gas di Subang, Jawa Barat, yang dioperasikan oleh PT. Pertamina, memproduksikan gas sebesar 200 MMscfd dengan kandungan CO2 sebesar 23%. Kandungan CO2yang diproses berkurang

menjadi 5%, dan CO2 yang dilepaskan sebesar 36 MMscfd atau 1.895 ton/hari

atau 624.812 ton/tahun. Sistem amin digunakan dalam proses removal gas CO2

dengan lisensi teknologi BASF, dan dengan tingkat produksi maksimum, umur lapangan gas Subang diproyeksikan sampai tahun 2018. Jarak antara Subang dan pantai adalah 29,7 km dan 50 KM ke arah lapangan migas di lepas pantai.

Gambar 13 Rencana proyek CO2di Indonesia (ICCSSWG 2009)

2.11. Resiko Kebocoran dan Monitoring CO2

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), terdapat beberapa risiko yang harus diantisipasi pada waktu menyimpan CO2 di dalam reservoir yang dapat

menimbulkan kebocoran dengan merembesnya CO2 ke permukaan bumi.

Kebocoran ini bisa disebabkan oleh :

1. Seismicity, timbulnya getaran-getaran kecil bumi akibat injeksi CO2.

(49)

3. Brine displacement, sebagai akibat dari injeksi CO2terjadi perpindahan saline water ke formasi lain yang menyebabkan naiknya permukaan air sehingga menaikkan salinitas air minum di sumur artesis.

4. Kondisi sumur setelah tahap injeksi yang disebabkan oleh kesalahan desain atau konstruksi dari casing atau semen, korosi pada casing, dan kerusakan semenplugoleh CO2atau air formasi.

5. Kekuatan tudung batuan, tekananoverbuden, dan mekanisme jebakan.

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), untuk melihat potensi kebocoran di dalam reservoir tertentu, perlu diketahui informasi yang lebih rinci meliputi jumlah, jenis, dan umur sumur, serta teknik kompresi. Kebocoran dapat pula terjadi di sepanjang sumur patahan pada tudung batuan. Patahan pada tudung batuan disebabkan oleh :

1. Capillary leakage, kebocoran ini akan diabaikan jika secara umum tekanan kapiler yang masuk ke batuan hidrokarbon dapat menahan tekanan yang terdapat pada hidrokarbon, dan dapat diukur dengan melakukan uji padacore. 2. Difusi CO2(disebabkan oleh perbedaan konsentrasi CO2).

3. CO2mungkin akan bocor melalui rekahan yang dibuat oleh manusia misalnya; hydraulyc fracturing dan over pressure di reservoir, contohnya aquifer kecil tertutup. Hal ini bisa diatasi dengan cara tekanan injeksi CO2 tidak melebihi

tekanan rekahnya, atau tidak melebihi tekanan awalreservoir.

4. Dilatant shear formation, rekahan yang terjadi di tudung batuan, sehingga formasi batuan membuat jalur aliran tersendiri. Hal ini menaikkan permeabilitas batuan tudung yang akan menimbulkan kebocoran, akan tetapi deformasishearini dapat juga menyebabkan penurunan permeabilitas.

5. CO2bisa keluar sepanjang patahan terbuka yang mencapai batuan tudung dan

dapat diminimalkan dengan analisis geologi darireservoiryang akan diinjeksi. 6. Gangguan seismik dapat menyebabkan kerusakan pada batuan tudung.

Menurut Syahrial dan Bioletty (2007), monitoring memegang peran penting dalam penelitian CO2 sekuestrasi untuk menjamin keamanan dan

kefektifan formasi geologi (depleted reservoir) dalam penyimpanan CO2.

(50)

pengetahuan mengenai performance reservoir, tudung batuan, jalur migrasi,

solubility, interaksi geochemical, air tanah, kualitas soil, dan pengaruhnya terhadap ekosistem dan micro-sesmicity yang berasosiasi dengan injeksi CO2,

dengan menggunakan metode seismik dan pengukuran geofisik. Alasan dilakukannya monitoring pada penyimpanan CO2bawah permukaan diantaranya:

1. Menjamin kesehatan dan keamanan.

2. Memastikan apakah injeksi dan penyimpanan CO2 tidak berdampak buruk

kepada kesehatan dan lingkungan.

3. Memperkecil kemungkinan terjadinya kebocoran CO2.

4. Menjaga keseimbangan massa

5. Memastikan apakah injeksi CO2tepat berada di target formasi dan jumlah CO2

yang diinjeksi sesuai dengan CO2 yang disimpan. Monitoring adalah

implementasi untuk mengawasi rencana jumlah CO2yang diinjeksikan sesuai

dengan kuota emisi dan kredit karbon (Protokol Kyoto) yang diijinkan.

6. Mengembangkan pengetahuan mengenai kinerja CO2 yang diinjeksikan ke

dalamreservoirdan meramalkannya di masa yang akan datang.

2.12. Sifat Kimia dan Fisika Gas Karbon Dioksida

Menurut Solomon (2006), gas karbon dioksida adalah suatu campuran kimiawi dari dua unsur karbon dan oksigen, di dalam rasio satu menjadi dua; rumusan molekularnya adalah gas CO2. Gas tersebut berada di dalam atmosfer

dalam jumlah yang kecil (370 ppmv) dan memainkan suatu peran yang sangat penting dalam lingkungan bumi sebagai suatu zat yang sangat diperlukan dalam siklus kehidupan dari tanaman dan hewan. Selama fotosintesis tanaman berasimilasi dengan gas CO2 dan melepaskan oksigen. Aktivitas antropogenik

yang menyebabkan emisi gas CO2 termasuk pembakaran bahan bakar fosil dan

karbon lain yang berisi beberapa bahan karbon, fermentasi dari senyawa organik seperti pembentukan gula dan dari pernafasan makhluk hidup. Sumber alami dari gas CO2, termasuk aktivitas vulkanis, mendominasi siklus karbon di bumi. Gas

CO2 memiliki bau yang sedikit tajam, tidak berwarna dan lebih padat dibanding

Gambar

Gambar 4 Teknologi CO2 capture (Li 2008).
Gambar 5 Transportasi dan injeksi CO2 (IEA 2009).
Tabel 2 Kapasitas penyimpanan gas CO2 (IEA 2006)
Tabel 3  Estimasi kondisi operasi dalam proses CCS (Li 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait