II. TINJAUAN PUSTAKA
2.6. Carbon Capture and Storage (CCS)
Menurut McKinsey (2008), carbon capture and storage (CCS) adalah teknologi yang berpotensi besar dalam mengurangi emisi gas rumah kaca walaupun dalam waktu yang bersamaan masih tetap menggunakan bahan bakar fosil tersebut. Gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil selanjutnya ditangkap, diangkut, dan akhirnya disimpan dengan aman ke dalam formasi geologi. CCS adalah suatu teknologi yang bertujuan untuk mencegah dihasilkannya CO2 dari berbagai sumber besar untuk masuk ke dalam atmosfir, seperti pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara.
Menurut McKinsey (2008), teknologi CCS ditujukan untuk menangkap sekitar 90% dari emisi gas CO2 dari sumbernya dan mencegah secara permanen pelepasannya ke dalam atmosfer. CCS dirancang dalam tiga langkah. Pertama, CO2 ditangkap (capture) dan dipadatkan di lokasi sumber emisi. Kedua, CO2 dialirkan (transportation) atau diangkut ke suatu lokasi penyimpanan. Ketiga, CO2disimpan untuk selamanya dalam formasi geologi (CO2storage).
Menurut Syahrial dan Bioletty (2007),carbon capture and storage (CCS) adalah konsep yang relatif baru berkembang di era tahun 1980an dan saat ini belum diterapkan dalam skala besar. Konsep CO2capture tersebut diperkirakan dapat diterapkan pada sumber CO2yang besar dengan proses atau tahap kompresi, transportasi dan injeksi ke dalam reservoir geologi untuk injeksi CO2 dalam rangka proses penerapan enhanced oil recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi minyak pada tahap produksi tersier. Gas CO2tersebut apabila berlebihan dan tidak mampu seluruhnya terserap untuk kebutuhan EOR, maka pilihan lain adalah disimpan dalam depleted reservoir, deep saline aquifer (underground storage),coal bed methane.
2.6.1. CO2Capture
Menurut CO2Net (2005), proses penangkapan gas CO2 atau teknologi dekarbonisasi gas CO2dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Post-combustion, proses pemisahan CO2 sebagai gas buang dilakukan secara kimia dan fisika yang merupakan proses conventional air-fired combustion
dengan kadar CO2 yang dipisahkan berkisar 3-12%. Diharapkan proses ini dapat memisahkan CO2dari campuran N2, O2dan gas lain seperti (SOx, NOx) 2. Pre-combustion, CO2ditangkap dari campuran gas yang didominasi oleh gas
H2pada tekanan 15-40 bar dan kandungan CO2atau C sebesar 15-40% yang diproduksikan oleh bahan bakar hidrokarbon. Pada saat pemisahan CO2/H2
terdapat gas lainnya yaitu CO2dan H2S.
3. Oxyfuel combustion (Denitrogenation), CO2 dapat terproduksikan pada saat sebelum atau selama prosescombustionatau konversi energi.
Perbedaan proses ketiga kategori di atas adalah target yang dihasilkan selama proses pemisahan yaitu menghasilkan CO2dari udara (contoh pemisahan oksigen dari sebagian besar nitrogen), untuk itu tidak diperlukan proses pemisahan CO2. Keuntungan lain dengan proses ini sebagian besar “impurities”
bisa ditangkap, sehingga tidak ada gas buang, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Menurut Li (2008), teknologi penangkapan gas CO2 sering digolongkan menjadi post-combustion, pre-combustion atau oxy-fuel CO2 capture. Di dalam post-combustion capture, gas CO2 dipisahkan dari komponen-komponen gas buang lainnya dengan cara penyerapan.Post-combustion capturedigunakan untuk menangkap gas CO2dari gas buang yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa di dalam udara. Hal ini merupakan suatu proses mendasar, sehingga gas CO2 di dalam gas buang pada tekanan atmosfir pada umumnya dipindahkan oleh suatu proses penyerapan kimia yang menggunakan bahan penyerap (absorbent) seperti alkanolamin.
Menurut Li (2008), di dalam pre-combustion capture, karbon di dalam bahan bakar dipisahkan sebelum pembakaran.Pre-combustion capturedigunakan untuk memisahkan ikatan karbon bahan bakar sebelum bahan bakar dibakar. Hal ini melibatkan suatu reaksi antara bahan bakar dan oksigen, terutama menghasilkan gas sintesis atau 'gas bahan bakar', yang berisi karbon monoksida (CO) dan hidrogen(H2). Karbon monoksida bereaksi dengan uap air (H2O) di dalam suatu reaktor katalitis, yang disebut shift converter, untuk menghasilkan gas CO2dan lebih banyak hidrogen. Gas CO2kemudian dipisahkan, biasanya oleh suatu proses penyerapan secara fisik atau kimia.
Menurut Li (2008), di dalam proses oxy-fuel combustion capture, pembakaran dilakukan dengan menggunakan oksigen murni (O2) sebagai penggganti udara, untuk mendorong ke arah gas buang yang terdiri dari gas CO2
dan uap air, yang dengan mudah dapat dipisahkan. Oxy-fuel combustion capture digunakan untuk menangkap gas CO2 dari gas buang yang dihasilkan pada pembakaranoxy-fuel. Pembakaran oxy-fueladalah pembakaran yang berlangsung di dalam suatu kondisi denitrogenasi, menghasilkan suatu gas buang yang sebagian besar terdiri dari H2O dan CO2.
2.6.2. CO2Transportation
Menurut IEA (2003), setelah penangkapan, gas CO2 tersebut kemudian dialirkan ke tempat penampungan. Sebagian besar CO2 adalah bersifat lembam dan mudah ditangani serta dapat dialirkan melalui pipa salur dengan tekanan
tinggi, seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Saat ini di Amerika Serikat kurang lebih 30 juta ton/tahun gas CO2dialirkan melalui pipa salur. Pipa salur terpanjang terpasang di pegunungan Sheep, sepanjang 656 km. Saat ini sekitar 3.100 km pipa salur terpasang di dunia dengan kapasitas 45 juta ton/tahun gas CO2. Gas CO2 dapat ditransportasikan dalam fasa fluida pada tekanan antara 80-200 bar.
Menurut CO2Net (2004), kebanyakan pipa salur CO2 di Amerika Serikat dioperasikan pada tekanan 120-140 bar dan pipa salur tersebut ditanam dengan kedalaman 1 meter. Material yang digunakan pada umumnya adalah carbon steel atau material lain yang diperkirakan tahan terhadap korosi. Gas alam pada umumnya terdiri dari beberapa komponen yang dapat menyebabkan korosi seperti air (H2O) dan gas H2S. Penyebab korosi gas alam biasanya dapat diatasi dengan dehidrasi sebelum masuk jaringan pipa salur, akan tetapi pipa tersebut harus dilindungi dengan coating atau cathodic protection. Laju korosi dapat dikendalikan pada kondisi dibawah suhu 30oC, yang memungkinkan laju korosi lebih kecil dari 0,1 mm/tahun dengan menginjeksikan bahan penghambat korosi.
2.6.3. CO2Storage
Menurut Radgen et al. (2006), cekungan yang berupa endapan sangat cocok untuk penyimpanan gas CO2 dibawah tanah. Jenis reservoir dan kapasitasnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 2 dan Gambar 6, yaitu :
1. Lapangan minyak dan gas yang telah terkuras (oil/gas producing reservoir), 2. Lapisan garam di dasar laut (deep saline aquifers), dan
3. Lapisan batu bara (unmineable coal seams).
Tabel 2 Kapasitas penyimpanan gas CO2(IEA 2006)
No. Geological Storage Option Global Capacity
Gtonne CO2 % of emissions to 2050
1 Oil/gas producing reservoirs 920 45%
2 Deep saline aquifers 400–10.000 20–500%
3 Unminable coal measures 40 2%
Menurut Radgen et al. (2006), persyaratan untuk penyimpanan gas CO2
yang aman dan optimal, yaitu:
1. Volume penyimpanan bergantung pada porositas serta ketebalan yang harus sesuai dengan jumlah gas CO2yang direncanakan untuk diinjeksikan ke dalam formasi geologi.
2. Permeabilitas batuanreservoiryang sesuai untuk injeksi CO2,
3. Kedalaman lebih dari 800 m atau 2.625 ft, karena kedalaman penyimpanan gas CO2 sangat kritikal dengan densitas gas CO2 agar dapat dipastikan optimal untuk disimpan ke dalam reservoir, dan gas CO2 akan terjebak dalam bentuk cairan superkritikal. Pada tahap ini CO2bebas akan naik sampai tudung batuan reservoir akibat dari efek gaya apung, dan akan terakumulsi, dan untuk memastikan gas CO2 tetap terperangkap maka nilai permeabilitas dari tudung batuan harus kecil.