(PUFA) INTRAVENA TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA
LAMBUNG PADA BERUK (
Macaca nemestrina
) DENGAN
IKTERUS OBSTRUKTIF
DADANG MAKMUN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Efek Pemberian Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 28 Juli 2011
ABSTRACT
DADANG MAKMUN. Effect of Intravenous Poly-Unsaturated Fatty Acids Administration on Gastric Mucosal Integrity in Pig-tailed Macaques (Macaca nemestrina) with Obstructive Jaundice. Under the direction of DONDIN SAJUTHI, DALDIYONO HARDJODISASTRO, ADI WINARTO and ERNI SULISTIAWATI
Acute gastric mucosal injury commonly occurs in patients with obstructive jaundice. Some proposed pathogenic mechanism of acute mucosal gastric injury in obstructive jaundice has been reported. We studied the effect of intravenous poly-unsaturated fatty acids (PUFA) administration on gastric mucosal integrity in pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) with obstructive jaundice by ligating common bile duct (CBD). In this study, eight selected male pig-tailed macaques with the body weight between 5,5-7,5 kg (with the average of 6,625±0,83 kg) were used and divided randomly into two groups. In both groups, laboratory examination (including liver function tests, lipid profile, prothrombine time, gastric mucosal level of lipid peroxide and glutathione) and upper gastrointestinal endoscopy were performed before CBD ligation and every two weeks after ligation. In the first group intravenous PUFA with the dose of 2 g/day was administered every day since four weeks post ligation up to four weeks later, and in the second group intravenous PUFA was administered since before ligation up to eight weeks later. In both groups, total bilirubin, direct bilirubin, indirect bilirubin, SGOT, SGPT, alkaline phosphatase, GGT, globulin, total cholesterol and trigliseride were clearly increased, meanwhile albumin level were clearly decreased. Cholinesterase, prothrombine time and gastric mucosa level of lipid peroxide and glutathione in both groups were not changed. Ulcer formation occured among the first group during four weeks after CBD ligation, and these ulcers were clearly healed within four weeks after intravenous PUFA administration. Among the second group, there was no significant ulcer formation within eight weeks after CBD ligation. In conclusion, the potential appearance of acute gastric mucosal injury which reflected by gastric ulcer formation was significantly decreased by intravenous PUFA administration in pig-tailed macaques with obstructive jaundice. We also have developed animal model of obstructive jaundice successfully by CBD ligation, based on the result of liver function and lipid profile tests.
RINGKASAN
DADANG MAKMUN. Efek Pemberian Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif. Dibimbing oleh DONDIN SAJUTHI, DALDIYONO HARDJODISASTRO, ADI WINARTO dan ERNI SULISTIAWATI.
Ikterus obstruktif sering ditemukan pada praktik sehari-hari dengan berbagai penyebab antara lain meliputi batu duktus koledokus, tumor papilla Vateri, tumor kaput pankreas, striktur duktus koledokus dan kolangiokarsinoma. Pada pasien-pasien dengan ikterus obstruktif sering terjadi kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus bahkan bisa diikuti dengan perdarahan dan perforasi. Kerusakan mukosa lambung terjadi akibat ketidak seimbangan antara faktor agresif (misalnya obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid, alkohol, kuman Helicobacter pylori, cairan lambung serta cairan empedu dan komponen-komponennya) dengan faktor defensif (lapisan mukus mukosa lambung, bikarbonat, prostaglandin, fosfolipid serta aliran darah mukosa lambung). Dalam keadaan ikterus obstruktif terjadi hambatan secara total maupun parsial dari sekresi cairan empedu dan komponen-komponennya ke dalam duodenum. Cairan empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal.
Telah banyak dilaporkan mengenai berbagai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif antara lain peranan oxidative stress termasuk peroksida lipid, akumulasi asam empedu dalam sirkulasi darah, serta penurunan prostaglandin dan aliran darah mukosa lambung.
Beruk (Macaca nemestrina) merupakan hewan model untuk penelitian-penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Beruk memiliki kemiripan sistem saluran cerna, serta pola nutrisi yang tidak jauh berbeda dengan manusia. Atas dasar hal tersebut di atas, maka penelitian tentang efek pemberian poly-unsaturated fatty acids (PUFA) intravena terhadap integritas mukosa lambung pada keadaan ikterus obstruktif dilakukan dengan menggunakan hewan model beruk. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendapatkan informasi akibat kerusakan mukosa lambung akut yang berkaitan dengan tingkat morbiditas beruk pada keadaan ikterus obstruktif, 2) mendapatkan informasi mengenai kerusakan mukosa lambung akut akibat defisiensi lipid pada beruk dengan ikterus obstruktif, 3) mendapatkan informasi proses hemostasis akibat gangguan fungsi hati yang berkaitan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas pada beruk dengan ikterus obstruktif, 4) mendapatkan informasi efek pemberian PUFA intravena dalam mencegah terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif.
Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peubah-peubah yang diamati terdiri dari nilai biokimiawi fungsi hati (protein total, albumin, globulin, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, serum glutamic oxaloacetic transaminase/SGOT, serum glutamic pyruvic transaminase/SGPT, fosfatase alkali, gamma glutamyl tranpeptidase/GGT, kolinesterase), kolesterol total, trigliserida, prothrombine time, peroksida lipid dan glutation jaringan mukosa lambung, serta evaluasi makroskopik mukosa lambung berupa ada tidaknya erosi atau ulkus dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada hewan model sejak sebelum dilakukan ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu setelah ligasi duktus koledokus.
Hewan model dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor beruk. Pada Kelompok I, diberikan PUFA intravena dengan dosis 2 g/hari setiap hari sejak 4 minggu pasca ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus, sedangkan pada Kelompok II PUFA intravena diberikan sejak sebelum ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus.
Pada kedua kelompok didapatkan peningkatan yang nyata kadar bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, GGT, globulin, kolesterol total dan trigliserida. Adapun kadar kolinesterase, prothrombine time serta kadar peroksida lipid dan glutation jaringan mukosa lambung pada kedua kelompok tidak menunjukkan perubahan yang nyata, sementara itu kadar albumin pada kedua kelompok memperlihatkan penurunan yang nyata. Pada Kelompok I tampak dengan jelas terjadinya ulkus lambung selama 4 minggu pasca ligasi duktus koledokus yang kemudian mengalami penyembuhan setelah diberikan PUFA intravena. Adapun pada Kelompok II tidak tampak terjadinya ulkus lambung sampai dengan 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian PUFA intravena dapat mencegah terbentuknya ulkus lambung serta dapat menyembuhkan ulkus yang terjadi akibat kerusakan mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini juga telah memperlihatkan pengembangan hewan model ikterus obstruktif yang terjadi dengan pengikatan duktus koledokus beruk, berdasarkan hasil pengamatan fungsi hati dan profil lemak darah.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EFEK PEMBERIAN POLY-UNSATURATED FATTY ACIDS (PUFA) INTRAVENA TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA LAMBUNG PADA
BERUK (Macaca nemestrina) DENGAN IKTERUS OBSTRUKTIF
DADANG MAKMUN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :
Dr. dr. Irma H. Suparto, MS Dr. drh. Aryani Sismin,M.Sc
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi :
Efek Pemberian Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif
Nama Mahasiswa : Dadang Makmun
Nomor Pokok : P67030031
Program Studi/Mayor : Primatologi
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D Ketua
Prof. Dr. dr. Daldiyono H., SpPD-KGEH Anggota
drh. Adi Winarto, Ph.D Anggota
Mengetahui
Dr. drh. Erni Sulistiawati, SP1,APVet Anggota
Ketua Program Studi/Mayor Primatologi
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc., Agr.
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahiim,
Terlebih dahulu penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah
S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua,
khususnya kepada penulis, sehingga disertasi yang berjudul “Efek Pemberian
Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa
Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif” dapat
diselesaikan.
Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan penyusunan disertasi ini,
penulis mendapat bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu
pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D, Prof. Dr. dr. Daldiyono
Hardjodisastro, SpPD-KGEH, drh. Adi Winarto, Ph.D, Dr. drh. Erni
Sulistiawati,SP1,APVet sebagai komisi pembimbing yang telah meluangkan begitu banyak waktu serta pemikirannya selama penelitian maupun penulisan
disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) yang telah memberikan izin tugas
belajar untuk mengikuti program doktor (S3) di Program Studi/Mayor Primatologi
(PRM), Sekolah Pascasarjana IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua Program
Studi/Mayor Primatologi serta seluruh staf pengajar dan administrasi Program
Studi/Mayor Primatologi IPB.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih
kepada Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer serta drh. Ikin Mansjoer, MSc. yang
telah banyak menyumbangkan buah pikiran serta perhatiannya kepada penulis
selama melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Joko Pamungkas,
MSc., beserta staf, Dr. drh. Diah Iskandriati beserta staf, drh. Diah Pawitri, Dr. dr.
Irma H. Suparto, MS., drh. Yasmina A. Paramistri, DACLAM., Ria Oktarina, SSi.,
MSi., drh. Esther Arifin, DACVP., Dr. Ir. Entang Iskandar, drh. Viliandra, drh.
Asmiyanto, Amd, dr. Maryantoro Oemardi SpPD-KEMD., Keni Sultan SPt., MSi.
atas bantuan dan perhatiannya yang sangat besar kepada penulis selama
menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Prof. dr. H. A. Aziz Rani, SpPD-KGEH, dr. H. Chudahman Manan,
SpPD-KGEH, dr. Marcellus Simadibrata, Ph.D, SpPD-KGEH, Dr. dr. H. Murdani
Abdullah, SpPD-KGEH, dr. H. Ari Fachrial Syam, MMB., SpPD-KGEH, dr.
Achmad Fauzi, SpPD-KGEH, dr. Kaka Renaldi, SpPD, serta seluruh staf
administrasi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK-UI/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo atas segala
dukungan serta bantuannya selama penulis mengikuti program doktor di Sekolah
Pascasarjana IPB.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zulkarnain, Amd,
Bayu Taruno NP, SKM., Ade Darmawan, SKM., Nurjayanti, SPT., Rahayu
Sulistina, Dewi Yanti serta Mulyana atas bantuan yang sangat besar ketika penulis
melakukan penelitian dan menyusun disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih kepada isteri tercinta
dr. Hj. Duta Liana MARS., serta anak-anakku Faisal, Heikal dan Vira, atas segala
pengertian, pengorbanan dan dorongan semangatnya selama ini. I love you all,
more than you can imagine. Kepada kedua orang tua Ayah dan Ibu (almarhum),
kedua orang mertua (almarhum), serta seluruh keluarga penulis sampaikan terima
kasih atas segala pengorbanan, pengertian, dorongan semangat serta do’a yang tak
pernah putus.
Bogor, 28 Juli 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung; Jawa Barat pada tanggal 19 Nopember
1959 dari pasangan Ayahanda K.H. Ahmad Syafi’i dan Ibunda Hj. Siti Sa’adah.
Penulis menikah dengan dr. Hj. Duta Liana MARS., dan dikaruniai tiga orang
anak yaitu Muhammad Faisal Prananda (18 tahun), Muhammad Heikal Pradika
(15 tahun) dan Vira Nur Arifa (11 tahun).
Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta
Sekolah Menengah Atas (SMA) penulis tempuh di Bandung. Pada tahun 1977
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
lulus menjadi dokter pada tahun 1983. Sampai dengan tahun 1987 penulis
menjalani tugas wajib kerja sarjana sebagai dokter puskesmas di Kabupaten Pasir
Kalimantan Timur. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan Dokter Spesialis di
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus sebagai Dokter Spesialis
Penyakit Dalam pada tahun 1995. Sejak tahun 1995 sampai dengan saat ini
penulis bertugas sebagai staf akademik di Divisi Gastroenterologi Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun 2001,
penulis mendapatkan brevet Konsultan Gastroenterohepatologi (KGEH). Sejak
tahun 2003 penulis mengikuti program doktor (S3) pada Program Studi/Mayor
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 6
Manfaat Penelitian ... 6
Hipotesis ... 6
Kerangka Pemikiran ... 7
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
Anatomi Kandung Empedu dan Traktus Biliaris ... 9
Patofisiologi Ikterus ... 11
Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif ... 14
Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif ... 16
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung ... 17
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal ... 24
Sepsis pada Ikterus Obstruktif ... 25
Gangguan Hemostasis pada Ikterus Obstruktif ... 27
Hewan Model ... 27
MATERI DAN METODE ... 29
Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29
Materi ... 29
Metode ... 30
Analisis Data ... 33
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35
Gambaran Biokimiawi Fungsi Hati ... 35
Gambaran Peroksida Lipid dan Glutation Mukosa Lambung... 44
Gambaran Profil Lemak Darah ... 50
Gambaran Hemostasis ... 51
SIMPULAN DAN SARAN ... 54
Simpulan ... 54
Saran ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 55
DAFTAR TABEL
1 Rerata (x) dan koefisian keragaman (KK) hasil pemeriksaan
biokimiawi fungsi hati secara umum ... 35 2 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan
biokimiawi fungsi hati terkait obstruksi bilier ... 41 3 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan peroksida
lipid dan glutation mukosa lambung ... 44 4 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan profil
lemak darah ... 50 5 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan
hemostasis ... 52
11 Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin ... 21
12 Perubahan rerata protein total ... 36
27 Pengamatan makroskopik mukosa lambung pada hewan model Kelompok I ... 47
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Persetujuan ACUC ... 63 2. Uji ragam disain tersarang (nested) gambaran biokimiawi fungsi
hati secara umum ... 64 3. Uji ragam disain tersarang (nested) gambaran biokimiawi fungsi
hati terkait obstruksi bilier ... 66 4. Uji ragam disain tersarang (nested) kadar peroksida lipid dan
DAFTAR SINGKATAN
ACGA Anticore glycolipid antibody
ACUC Animal Care and Use Committee
AIHA Autoimmune hemolytic anemia
Alb Albumin
ALP Fosfatase alkali
ALT Alanine transaminase
AST Aspartate aminotransferase
BD Bilirubin direk
BI Bilirubin indirek
BT Bilirubin total
CBD Common bile duct
CHE Kolinesterase
CIMC Cytokine induced neutrophil chemoattractant
COX Cyclooxygenase
DB Derajat bebas
ELISA Enzyme linked immunosorbent assay
ERCP Endoscopic retrograde cholangiopancreatography FK-UI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GGT Gamma glutamyl transpeptidase
GLa Glutation antrum
GLk Glutation korpus
Glob Globulin
G6PD Glucose-6-phosphate dehydrogenase
GSH-Px Glutathione peroxidase
g/dl Gram/desiliter
IgA Imunoglobulin A
IPB Institut Pertanian Bogor
KK Koefisien keragaman
Klp Kelompok
KT Kolesterol total
MDA Malondialdehyde
Mg/dl Miligram/desiliter
MUFA Mono-unsaturated fatty acids
OAINS Obat anti inflamasi non steroid
PAF Platelet activating factor
PLa Peroksida lipid antrum
PLk Peroksida lipid korpus
PPARα Peroxisome proliferators-activated receptor alpha
PSSP Pusat Studi Satwa Primata
PT Prothrombine time
PTot Protein total
PUFA Poly unsaturated fatty acids
RSUPNCM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto- Mangunkusumo
SGOT Serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT Serum glutamic pyruvic transaminase
SOD Superoxide dismutase
TG Trigliserida
U/l Unit/liter
WIRS Water immersion restraint stress
XOD Xanthine oxidase
µg/ml Mikrogram/mililiter
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keadaan ikterus obstruktif sering ditemukan pada praktik sehari-hari
dengan berbagai penyebab. Data dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr
Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, dari 60 pasien yang menjalani
pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) atas
indikasi ikterus obstruktif dari bulan Oktober 2006 sampai dengan bulan Mei
2007, sebagian besar disebabkan batu duktus koledokus, sisanya disebabkan
tumor papilla Vateri, tumor kaput pankreas, striktur duktus koledokus,
kolangiokarsinoma, tumor Klatskin, serta penyebab yang tidak diketahui (Gambar
1). Dari seluruh penderita tersebut 61,8% laki-laki dan 38,2% perempuan dengan
umur berkisar dari 20-80 tahun (Pangestu et al. 2007).
Gambar 1. Berbagai penyebab ikterus obstruktif di RSUPNCM (dikutip dari Pangestu et al. 2007)
Hal senada dilaporkan oleh Siddique et al. (2008) di Pakistan yang melaporkan
hasil penelitiannya mengenai spektrum penyebab ikterus obstruktif yaitu batu
duktus koledokus, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu,
kolangiokarsinoma, striktur duktus koledokus, pankreatitis akut dan tumor
papilla Vateri (Gambar 2).
Gambar 2. Berbagai penyebab ikterus obstruktif di Pakistan (dikutip dari Siddique et al. 2008)
54% 17%
13% 5%
2% 2% 7% Batu duktus koledokus Tumor papilla Vateri
Pada gambar-gambar berikut di bawah ini diperlihatkan gambaran ERCP
pada keadaan normal (Gambar 3), serta gambaran ERCP pada pasien-pasien
dengan ikterus obstruktif yang disebabkan batu duktus koledokus (Gambar 4) dan
tumor kaput pankreas (Gambar 5). Pada Gambar 4 tampak pelebaran duktus
biliaris intra dan ekstrahepatik (duktus koledokus, duktus hepatikus komunis,
serta duktus hepatikus kiri dan kanan) akibat sumbatan total oleh batu yang
terletak di duktus koledokus bagian distal. Pada Gambar 5 tampak pelebaran
duktus biliaris intra dan ekstrahepatik, kandung empedu, serta duktus
pankreatikus akibat sumbatan total oleh tumor kaput pankreas.
Gambar.3. Gambaran ERCP saluran empedu normal (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)
Duktus hepatikus kiri
Duktus hepatikus kanan
Duktus sistikus
Kandung empedu
Duktus hepatikus komunis
Gambar 4. Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena batu CBD (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)
Gambar 5. Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena tumor kaput pankreas (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)
Pada keadaan ikterus obstruktif sering ditemukan kerusakan mukosa
lambung dalam bentuk erosi atau ulkus yang keduanya seringkali diikuti dengan
perdarahan bahkan perforasi (Kameyama et al. 1984). Kerusakan mukosa
lambung terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif,
karena faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif (Makmun 2005). Faktor
agresif dapat berasal dari luar (misalnya obat-obatan golongan anti inflamasi non
steroid/OAINS, alkohol dan Helicobacter pylori) atau dari dalam tubuh (cairan
lambung serta cairan empedu dan komponen-komponennya), sedangkan faktor
defensif berupa lapisan mukus, bikarbonat, prostaglandin, fosfolipid serta aliran
darah mukosa lambung. Faktor defensif berperan untuk mempertahankan
Batu Duktus Koledokus
integritas mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif (Slomiany dan
Slomiany 1991). Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat, terdapat hampir
di seluruh bagian saluran cerna, diketahui berperan dalam mengontrol sekresi
asam, sekresi bikarbonat, produksi mukus serta aliran darah mukosa (Takeuchi et
al. 2010). Lapisan mukus merupakan pertahanan pertama dari mukosa saluran
cerna bagian atas terhadap berbagai faktor agresif. Lapisan mukus terbentuk dari
berbagai unsur yaitu air, glikoprotein dan fosfolipid (Slomiany dan Slomiany
1991).
Berbagai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung
akut pada keadaan ikterus obstruktif antara lain peranan oxidative stress termasuk
peroksida lipid, peranan asam empedu dalam sirkulasi darah, peranan
prostaglandin, serta aliran darah mukosa lambung. Pada keadaan ikterus obstruktif
terjadi penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida lipid jaringan
mukosa lambung. Hal ini menyebabkan integritas mukosa lambung menurun,
sehingga memudahkan terjadinya ulserasi (Ito et al. 1993; Sasaki et al. 1997;
Terano 1998).
Peningkatan kadar asam empedu pada sirkulasi darah pada keadaan ikterus
obstruktif diduga menurunkan mekanisme defensif dari mukosa lambung. Hal ini
diduga disebabkan efek toksik langsung dari asam empedu terhadap mukosa lambung (Mizumoto et al. 1986). Penelitian lain melaporkan bahwa asam empedu
berpengaruh langsung terhadap fosfolipid yang ada di dalam lapisan mukus
mukosa lambung (Hosokawa 1991). Sasaki et al. pada tahun 1987 melaporkan
hasil penelitiannya tentang terjadinya penurunan aliran darah mukosa lambung
yang menyebabkan kerusakan mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan
ikterus obstruktif. Hal yang senada dilaporkan oleh hasil penelitian Nagahata et al.
(1997) dan Aslan et al. (2007) tentang terjadinya penurunan kadar prostaglandin
dalam sirkulasi darah dan jaringan mukosa lambung yang disertai menurunnya
aliran darah mukosa lambung pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif.
Fosfolipid berperan penting dalam mempertahankan integritas mukosa
lambung sebagai bagian dari membran sel, sebagai salah satu faktor pembentuk
lapisan mukus (Slomiany dan Slomiany 1991), serta merupakan sumber
darah maupun jaringan tubuh, termasuk mukosa lambung. Prostaglandin sangat
berperan dalam mempertahankan integritas mukosa lambung dengan
meningkatkan aliran darah mukosa, serta meningkatkan sekresi mukus dan
bikarbonat (Makmun 2005; Takeuchi et al. 2010). Di sisi lain, selain sumber
energi, poly-unsaturated fatty acids (PUFA) merupakan salah satu unsur utama
pembentuk fosfolipid. PUFA tidak dapat disintesis di dalam tubuh, sehingga
sumber kebutuhan PUFA di dalam tubuh hanya berasal dari makanan sehari-hari
(Sessler dan Ntambi 1998; Popovic et al. 2009). Karena sel-sel mukosa saluran
cerna (enterosit) adalah tempat pertemuan antara nutrisi yang berasal dari luar
(oral atau enteral) dengan aliran darah atau aliran limfa, maka dapat dimengerti
bahwa sel-sel enterosit sangat tergantung pada sumber nutrisi melalui jalur oral
atau enteral maupun parenteral (Duggan et al. 2002). Adapun rekomendasi
kebutuhan asupan harian PUFA pada orang sehat dewasa adalah 4,44-6,67 g/hari
(2-3% energi) untuk asam linoleat serta 1,54-2,22 g/hari (0,7-1% energi) untuk
asam linolenat (Simopoulos et al. 1999; Meyer et al. 2003; Cunnane et al. 2004).
Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lipid enteral karena
ketiadaan (berkurangnya) cairan empedu beserta komponen-komponennya yang
sangat berperan dalam metabolisme lipid (Sato et al. 1991; Davidson dan Magun
1995). Oleh karena itu, pemberian PUFA diduga akan berpengaruh terhadap
integritas mukosa lambung (Pagkalos et al. 2009; Popovic et al. 2009).
Perdarahan saluran cerna bagian atas, sebagai kelanjutan dari terbentuknya
erosi dan ulkus di lambung, sering ditemukan dalam keadaan ikterus obstruktif.
Hal ini diduga karena penurunan kadar noradrenalin pada mukosa lambung yang
menyebabkan terjadinya iskemi mukosa lambung (Harada et al. 1983). Keadaan
ini diperberat karena terjadinya gangguan hemostasis yang disebabkan
berkurangnya pembentukan faktor-faktor koagulasi akibat terjadinya penurunan
sintesis protein di hati dalam keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan (Giannini
et al. 2005; Papadopoulos et al. 2007).
Oleh sebab itu, melalui penelitian ini, ingin diketahui seberapa jauh efek
pemberian PUFA pada proses terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada
keadaan ikterus obstruktif. Mengingat penelitian tersebut tidak mungkin
nemestrina) dengan melakukan pengikatan duktus koledokus. Penulis belum
pernah membaca laporan mengenai penelitian ikterus obstruktif dengan
menggunakan hewan model beruk. Dipilihnya beruk sebagai hewan model pada
penelitian ini atas dasar kemiripan sistem saluran cerna beruk dengan manusia.
Begitu pula nutrisi yang dibutuhkan beruk tak jauh berbeda dengan yang
dibutuhkan manusia (Napier dan Napier 1985; Fleagle 1996; Nishizono dan
Fuioka 2005). Sejauh ini, penelitian mengenai ikterus obstruktif baru dilakukan
pada hewan model lain seperti tikus, kelinci dan anjing (Dueland et al. 1991;
Kocher et al. 1997).
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan informasi akibat kerusakan mukosa lambung akut yang
berkaitan dengan morbiditas beruk pada keadaan ikterus obstruktif.
2. Mendapatkan informasi mengenai kerusakan mukosa lambung akut akibat
defisiensi lipid pada beruk dengan ikterus obstruktif.
3. Mendapatkan informasi proses hemostasis akibat gangguan fungsi hati yang
berkaitan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas pada beruk dengan
ikterus obstruktif.
4. Mendapatkan informasi efek pemberian PUFA intravena dalam pencegahan
dan pengobatan kerusakan mukosa lambung akut yang terjadi pada beruk
dengan ikterus obstruktif.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi berbagai faktor yang berperan pada proses terjadinya
kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.
2. Memberikan informasi gangguan hemostasis pada keadaan ikterus obstruktif.
3. Memberikan informasi berbagai upaya pencegahan terhadap kerusakan
mukosa lambung akut/perdarahan saluran cerna bagian atas pada keadaan
ikterus obstruktif.
Hipotesis
1. Pengikatan duktus koledokus pada beruk menyebabkan terjadinya gangguan
absorpsi lipid enteral, sehingga terjadi defisiensi lipid (termasuk PUFA) yang
2. Perdarahan mukosa lambung akut pada beruk akibat pengikatan duktus
koledokus diperberat oleh terjadinya gangguan hemostasis.
3. Pemberian PUFA intravena dapat mencegah atau memperbaiki kerusakan
mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif.
Kerangka Pemikiran
Keadaan ikterus obstruktif pada manusia masih merupakan tantangan
dalam praktik sehari-hari. Hal ini sering diikuti dengan komplikasi, diantaranya
terjadinya kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus, bahkan
bisa terjadi perdarahan bahkan perforasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa
lambung akut didasari oleh ketidakseimbangan antara faktor defensif dan faktor
agresif, namun mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung
akut pada keadaan ikterus obstruktif belum diketahui secara jelas. Berbagai
penelitian terdahulu yang dilakukan pada hewan model tikus, kelinci dan anjing
menunjukkan bahwa kerusakan mukosa lambung akut yang terjadi pada keadaan
ikterus obstruktif diduga berhubungan dengan peningkatan oxidative stress
(penurunan glutation dan peningkatan peroksida lipid), peningkatan asam empedu
dalam sirkulasi darah, penurunan kadar prostaglandin serta penurunan sirkulasi
darah mukosa. Sebagai hewan model, beruk banyak dipakai dalam penelitian
biomedis baik sebagai model penyakit maupun dalam rangka pengujian
obat-obatan sebelum diaplikasikan pada manusia. Namun demikian, penelitian
mengenai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut
pada keadaan ikterus obstruktif pada hewan model beruk belum pernah dilakukan.
Mengingat kemiripan anatomi dan fisiologi saluran cerna beruk dan manusia,
serta pola nutrisi beruk yang hampir sama dengan manusia, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa
lambung akut dengan hewan model beruk untuk mendapatkan informasi yang
lebih jelas tentang patogenesis kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan
ikterus obstruktif. Penelitian ini membuka peluang untuk mengembangkan upaya
pencegahan terjadinya kerusakan mukosa lambung akut, serta pengobatan
kerusakan mukosa lambung akut yang sudah terjadi pada pasien-pasien dengan
Gambar 6. Skema kerangka pemikiran Kerusakan mukosa lambung akut
- Perdarahan saluran cerna - Morbiditas dan mortalitas - Ikterus obstruktif
Mekanisme patogenesis belum sepenuhnya diketahui
Kendala pada pengobatan dan pencegahan
Penelitian menggunakan hewan model dengan pengikatan duktus koledokus
Pengobatan (Perlakuan I)
- setelah didapat perubahan yang nyata dari berbagai parameter yang diobservasi, diberikan PUFA intravena, dilanjutkan evaluasi berkala sampai ada perbaikan dari semua parameter
Pencegahan (Perlakuan II)
- diberikan PUFA intravena sejak awal penelitian diikuti dengan evaluasi berkala dari berbagai parameter yang diobservasi
Analisis makroskopik kerusakan mukosa lambung yang terjadi serta nilai laboratorium yang berhubungan dengan keadaan ikterus obstruktif
Rekomendasi untuk pengobatan dan pencegahan kerusakan mukosa lambung
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Kandung Empedu dan Traktus Biliaris
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau membran mukosa
jaringan tubuh lainnya menjadi kuning, akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
sirkulasi darah oleh berbagai sebab. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan
cincin heme pada metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat
paling awal pada sklera mata, biasanya terjadi jika kadar bilirubin dalam darah
berkisar antara 2,0-2,5 mg/dl atau lebih. Makin tinggi kadar bilirubin dalam darah,
warna kuning akan semakin nyata. Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa
Perancis jaune yang berarti kuning (Talley 1996; Amirudin 2006).
Gambar 7. Anatomi kandung empedu dan traktus biliaris (Dikutip dari Amirudin 2006)
Empedu dan komponen-komponennya diproduksi oleh sel-sel hati setiap
saat untuk kemudian dialirkan ke dalam kanalikulus hati, kemudian dialirkan
melalui duktus hepatikus kiri dan duktus hepatikus kanan yang keduanya
dialirkan ke dalam duodenum, disimpan di dalam kandung empedu melalui
duktus sistikus. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung
empedu, duktus hepatikus komunis menjadi duktus biliaris komunis (common bile
duct) atau disebut juga duktus koledokus. Dalam keadaan normal, kandung
empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu (Amirudin 2006). Pada bagian
distal duktus koledokus sebelum mencapai muaranya di duodenum terdapat muara
duktus pankreatikus. Kedua saluran ini bermuara di duodenum melalui papilla
Vateri. Pada keadaan ikterus dapat terjadi berbagai perubahan biokimiawi,
fisiologi bahkan perubahan struktur jaringan hati, baik yang bersifat reversible
maupun yang irreversible. Tergantung penyebabnya, ikterus dapat diikuti dengan
berbagai perubahan/kerusakan pada berbagai bagian organ tubuh lain seperti
pankreas, usus, ginjal bahkan otak (Sulaiman 2006).
Hati mempunyai fungsi yang beraneka ragam yang meliputi fungsi
metabolisme, fungsi sintesis, fungsi ekskresi, fungsi endokrin, fungsi imunologi
dan lain-lain. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati
mengekskresikan sebanyak ± 1 liter empedu perhari ke dalam usus halus melalui
muara saluran empedu di duodenum. Empedu terdiri dari asam empedu (asam
kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat dan dalam jumlah kecil asam
ursodeoksikolat), bilirubin, kolesterol, trace metal, serta metabolit obat, dengan
air sebagai unsur utama (97%). Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus
diubah menjadi glikogen untuk kemudian disimpan di hati (glikogenesis). Dari
depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis)
untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme di
dalam jaringan untuk menghasilkan energi dan sisanya diubah menjadi glikogen
yang disimpan dalam otot atau lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan.
Fungsi metabolisme protein dari hati terutama menghasilkan protein plasma
berupa albumin, protrombin, fibrinogen serta faktor-faktor pembekuan lainnya.
Adapun fungsi metabolisme lemak dari hati terutama dalam pembentukan
lipoprotein, kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat (Sherlock 1993; Amirudin
2006).
Empedu sangat berperan dalam membantu pencernaan dan absorpsi lemak,
berat. Asam empedu dibentuk dari kolesterol di dalam sel-sel hati (hepatosit),
bersifat larut dalam air akibat konyugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam
empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja
enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal.
Bilirubin, suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut
dalam air, sebagian besar berasal dari sel-sel darah yang telah hancur dan sebagian
lagi berasal dari katabolisme protein-protein heme lainnya (Talley 1996;
Amirudin 2006).
Patofisiologi Ikterus
Setiap hari tubuh manusia membentuk sekitar 250 sampai 350 mg
bilirubin atau sekitar 4 mg/kg bobot badan. 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang, sedangkan 20-30% sisanya berasal dari protein heme
lainnya di sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi
besi dan bilirubin (produk antara) dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.
Sementara itu enzim biliverdin reduktase akan mengubah biliverdin menjadi
bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi di dalam sel sistem retikuloendotelial.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konyugasi dengan
asam glukuronat membentuk bilirubin diglukuronida (disebut juga bilirubin
terkonyugasi atau bilirubin direk) yang larut dalam air. Reaksi ini dikatalisis oleh
enzim mikrosomal glukuronil transferase. Dalam beberapa keadaan reaksi ini
hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronat
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui enzim yang berbeda, namun
ini tidak fisiologis. Bilirubin terkonyugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus hati
bersama zat-zat lainnya, sampai ke duodenum. Di dalam usus, flora bakteri
men”dekonyugasi” bilirubin menjadi sterkobilinogen, dan mengeluarkannya
sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai urin
sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bisa
mengeluarkan bilirubin terkonyugasi. Hal ini dapat menerangkan warna urin yang
lebih gelap pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik (Sherlock
Bilirubin tak terkonyugasi (disebut juga bilirubin indirek) bersifat tidak
larut dalam air namun larut dalam lemak, sehingga bisa melalui sawar darah otak
serta dapat melewati plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi
mengalami proses konyugasi dengan gula melalui enzim glukuronil transferase
dan larut dalam empedu.
Pendapat yang lain menambahkan lagi proses metabolisme bilirubin
dengan 2 tahap lagi yaitu tahap transpor plasma dan tahap liver uptake (Amirudin
2006).
Gambar 8. Skema metabolisme bilirubin (Dikutip dari Talley 1996)
(4)
Kanalikulus empedu
Duktus biliaris
Duodenum (4)
Sel darah merah matang Hemolisis (1)
Heme (+ haptoglobin)
Bilirubin tak terkonyugasi + albumin
Bilirubin tak terkonyugasi
Uptake (3)
Konyugasi (3)
Ekskresi (3)
Bilirubin tak terkonyugasi
Bilirubin terkonyugasi
Biliverdin reduktase
Glukuronil transferase (2)
(4)
Dengan memperhatikan proses metabolisme bilirubin di atas, maka ikterus
dibagi atas 3 kelompok, yaitu ikterus prehepatik (ikterus hemolitik), ikterus
hepatik (ikterus hepatoselular) dan ikterus kolestatik (ikterus obstruktif).
Kadang-kadang terdapat overlap antara ikterus hepatoselular dengan ikterus kolestatik
(Sherlock 1993; Sulaiman 2006).
Pada keadaan ini terdapat peningkatan ringan kadar bilirubin total
terutama bilirubin tak terkonyugasi, namun enzim SGOT (serum glutamic
oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)
serta fosfatase alkali normal. Begitu pula fungsi hati dan ekskresi empedu normal.
Keadaan ini dapat terjadi pada anemia hemolitik oleh berbagai sebab (misalnya
pada keadaan autoimmune hemolytic anemia (AIHA), defisiensi enzim G6PD
(Glucose-6-phosphate dehydrogenase), thalassemia, infeksi malaria, dan
lain-lain) atau pada beberapa penyakit gangguan metabolisme bilirubin yang bersifat
familial seperti Sindrom Gilbert dan Sindrom Crigler-Najjar (Sherlock 1993;
Talley 1996).
Ikterus prehepatik (ikterus hemolitik)
Keadaan ini disebabkan proses inflamasi/kerusakan pada jaringan hati,
misalnya pada hepatitis (karena virus, bakteri atau obat-obatan). Dalam keadaan
ini, kadar bilirubin meningkat, baik bilirubin terkonyugasi maupun bilirubin tak
terkonyugasi, disertai dengan peningkatan enzim transaminase. Pada keadaan ini,
dapat pula terjadi kolestasis intrahepatik yang akan memperberat keadaan ikterus (Sherlock 1993; Sulaiman 2006). Tergantung penyebabnya keadaan ini bisa
bermanifestasi akut maupun kronik dengan gambaran fungsi hati yang berbeda
walaupun bisa memberikan gambaran sebagian fungsi hati yang hampir sama.
Umumnya terdapat peningkatan enzim SGOT dan SGPT, dan pada keadaan yang
kronik bisa terjadi penurunan kadar albumin sebagai manifestasi terganggunya
fungsi sintesis hati (Sherlock 1993). Ikterus hepatoseluler
Pada sindrom Dubin-Johnson dan sindrom Rotor yang merupakan
penyakit herediter, terjadi keadaan ikterus ringan dan tanpa keluhan, yang
disebabkan oleh gangguan berbagai anion organik termasuk bilirubin, namun
keadaan ini hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonyugasi dan
empedu terdapat dalam urin.
Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif
Ikterus Kolestatik
Pada keadaan ini terjadi sumbatan (obstruksi) total atau parsial dari aliran
empedu dan komponen-komponennya dari mulai sel hati (kanalikulus) sampai ke
duodenum. Untuk kepentingan klinik, ikterus kolestatik dibagi menjadi dua yaitu
kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik bisa
terjadi pada keadaan hepatitis, sirosis hati bilier primer atau pada karsinoma hati
metastatik. Pada kolestasis ekstrahepatik terjadi sumbatan secara mekanis pada
duktus biliaris ekstrahepatik mulai dari duktus hepatikus komunis sampai muara
duktus koledokus (common bile duct) di duodenum. Keadaan ikterus kolestatik
ekstrahepatik ini sering disebut sebagai ikterus obstruktif (obstructive jaundice).
Ikterus obstruktif sering disebabkan oleh batu duktus koledokus, kanker kaput
pankreas, tumor duktus koledokus, tumor papilla Vateri atau striktur CBD (Lu
dan Kaplowitz 1995; Siddique et al. 2008; Pangestu et al. 2007). Pada keadaan ini
terjadi peningkatan kadar bilirubin plasma terutama bilirubin terkonyugasi.
Dalam menghadapi keadaan ikterus, harus segera dapat ditentukan bila ada
ikterus prehepatik (hemolitik), ikterus hepatoselular atau ikterus obstruktif.
Pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin (bilirubin total, bilirubin
direk dan bilirubin indirek), SGOT/AST (Aspartate Aminotransferase),
SGPT/ALT (Alanine Transaminase), dan fosfatase alkali dapat memberi petunjuk
awal untuk membedakan ketiga kelompok ikterus di atas. Pada ikterus hemolitik
yang menonjol adalah kadar bilirubin indirek lebih tinggi dibanding bilirubin
direk, hal ini tidak terjadi pada ikterus obstruktif maupun ikterus hepatoselular,
dengan fungsi enzimatik hati umumnya normal (Sherlock 1993; Hayat et al. 2005).
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT merupakan indikator yang sensitif untuk
ikterus hepatoselular (misalnya pada hepatitis virus akut maupun kronik, hepatitis
autoimun, hemokromatosis, defisiensi α1-antitripsin serta penyakit Wilson),
sedangkan pada ikterus obstruktif peningkatan kadar fosfatase alkali lebih tinggi
Seiring dengan peningkatan kadar bilirubin darah, pada keadaan ikterus
obstruktif terjadi peningkatan kadar fosfatase alkali lebih dari 3 kali nilai normal,
sedangkan peningkatan enzim transminase (SGOT dan SGPT) umumnya kurang
dari 3 kali nilai normal. Kadar enzim gamma glutamyl transpeptidase (GGT)
umumnya meningkat pada keadaan ikterus obstruktif, namun peningkatan ini bisa
juga terjadi pada keadaan-keadaan lain, misalnya pada keadaan fatty liver,
hepatitis akibat obat-obatan serta penyakit-penyakit non-hepatik yang lain
(Giannini et al. 2005).
Keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan
struktur hati terutama hepatosit yang akan diikuti dengan menurunnya fungsi
sintesis hati khususnya sintesis albumin. Kadar albumin plasma dapat menurun
jika sudah terjadi keadaan kerusakan hati lanjut (sirosis bilier). Hal ini terjadi
karena pada keadaan ikterus obstruktif lanjut akan terjadi kerusakan hati yaitu
nekrosis hepatoselular, proliferasi sel-sel epitelial duktulus biliaris, aktivasi
sel-sel stelat yang diikuti dengan fibrosis hati (Giannini et al. 2005; Hong et al.
2007).
Berbagai hasil penelitian telah dilaporkan mengenai mekanisme terjadinya
kerusakan hati pada keadaan ikterus obstruktif. Wang et al. (2005) pada
penelitiannya mengenai ikterus obstruktif dengan hewan model tikus melaporkan
bahwa kerusakan hati yang terjadi pada keadaan ini, disebabkan akumulasi garam
empedu di dalam sel-sel hati. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum
diketahui, namun diduga hal ini disebabkan oleh karena terganggunya proses
apoptosis selular oleh protein kinase C pada keadaan ikterus obstruktif.
Mekanisme patogenesis lain tentang terjadinya kerusakan hati pada keadaan
ikterus obstruktif dilaporkan juga oleh penelitian Hong et al. (2007) dengan
hewan model tikus, yang melaporkan adanya peranan bakteri intestinal, efek dari
endotoksin plasma akibat translokasi bakteri melalui mukosa usus halus,
meningkatnya kadar sitokin dan kadar imunoglobulin A (IgA) serta meningkatnya
oxidative stress di dalam plasma. Mekanisme patogenesis lainnya disampaikan
oleh Cindoruk et al. (2007) yang melaporkan peranan peroxisome
proliferators-activated receptor alpha (PPARα) dalam mengurangi derajat kerusakan hati pada
fenofibrat yang merupakan PPARα agonist yang ternyata dapat meningkatkan metabolisme kolesterol, serta menekan sintesis asam empedu yang pada akhirnya
akan mempengaruhi sitokin proinflamasi, apoptosis, serta kerusakan hepatoselular
lebih lanjut.
Untuk mengetahui reversibilitas gangguan fungsi hati pada keadaan
ikterus obstruktif, Fraser et al. (1989) melakukan penelitian dengan mengikat
(ligasi) duktus koledokus pada 11 ekor anjing. Setelah 4 minggu, dilakukan
dekompresi dengan melakukan anastomosis bilioenterik. Selama 2 bulan setelah
dekompresi, dilakukan evaluasi berkala fungsi hati, perubahan mikroskopik dari
biopsi hati serta pemeriksaan dynamic liver scintiscanning, dibandingkan dengan
keadaan sebelum dilakukan dekompresi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa perlu waktu yang lama (lebih dari 10 hari) untuk mengembalikan berbagai
fungsi hati setelah dilakukan dekompresi.
Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Kocher et al. (1997), untuk
melihat perubahan histopatologi jaringan hati pada 14 ekor anjing mongrel yang
mengalami pengikatan duktus koledokus. Dari penelitian ini diketahui bahwa
perubahan histopatologi jaringan hati pada ikterus obstruktif dimulai dengan
proses inflamasi akut, edema, fibrosis serta akhirnya terjadi distorsi arsitektur
jaringan hati yang irreversible.
Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif
Ikterus obstruktif ditandai dengan akumulasi bilirubin, asam empedu dan
kolesterol intraselular akibat terhambatnya sekresi empedu, yang diikuti dengan
keadaan hiperbilirubinemia dan hiperlipidemia. Asam empedu yang merupakan
produk utama dari metabolisme kolesterol di dalam hati, berfungsi sebagai
deterjen fisiologis yang memfasilitasi absorpsi dan transpor lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak melalui mukosa usus halus.
Gangguan metabolisme lemak pada ikterus obstruktif telah banyak
dilaporkan, baik pada manusia maupun hewan percobaan. Peningkatan kadar
kolesterol plasma terjadi setelah pengikatan duktus koledokus pada tikus
percobaan, tetapi perlu waktu yang lebih lama, untuk memastikan adanya
kolesterol dari tubuh terutama melalui ekskresi kolesterol bebas/fosfolipid dan
asam empedu melalui traktus biliaris. Dengan demikian, pada ikterus obstruktif
akan terjadi gangguan homeostasis kolesterol. Penelitian Dueland et al. (1991)
dengan mengikat duktus koledokus tikus Sprague-Dawley menunjukkan:
1) penurunan kadar dan fungsi enzim sitokrom P-450 di hati,
2) akumulasi asam empedu di hati,
3) peningkatan aktivitas enzim kolesterol 7 α hidroksilase,
4) peningkatan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase serta peningkatan kadar
kolesterol plasma, dan
5) peningkatan ekskresi asam empedu melalui urin.
Dengan tidak adanya ekskresi cairan empedu ke dalam duodenum akibat
ikterus obstruktif, akan terjadi gangguan pada absorbsi lemak enteral. Pengaruh
pemberian fat emulsion enteral pada absorpsi lemak dilaporkan oleh Sato et al.
(1991). Sato membagi hewan percobaannya (tikus) atas kelompok ikterus
obstruktif dan non-ikterus obstruktif. Kepada kedua kelompok diberikan fat
emulsion dan unemulsified fat yang dilabel dengan 14C. Dengan mengukur kadar
14CO2 melalui pernafasan dapat diukur penyerapan dari lemak melalui usus halus.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa absorpsi lemak (baik emulsified fat maupun
unemulsified fat) pada kelompok ikterus obstruktif lebih rendah dibanding
kelompok non-ikterus obstruktif.
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung
Kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus
merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan ikterus
obstruktif. Berbagai mekanisme patogenesis mengenai hal ini telah banyak
dilaporkan yang meliputi faktor-faktor lokal maupun sistemik. Faktor-faktor lokal
meliputi keadaan hiperasiditas lambung, berkurangnya lapisan mukus,
menurunnya kadar prostaglandin mukosa serta berkurangnya aliran darah mukosa.
Adapun yang termasuk faktor sistemik meliputi berkurangnya asupan lemak,
faktor infeksi serta peningkatan kadar bilirubin plasma (Mizumoto 1986).
Dalam mempertahankan integritas mukosa lambung terhadap berbagai
faktor agresif, baik yang berasal dari luar maupun yang berasal dari dalam, tubuh
bikarbonat, prostaglandin serta sirkulasi darah mukosa lambung. Dalam keadaan
normal terdapat keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Apabila
faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif maka integritas mukosa lambung
terganggu diikuti dengan pembentukan erosi, ulkus bahkan tidak jarang terjadi
perdarahan dan perforasi (Makmun 2005).
Secara anatomis, struktur dari saluran cerna termasuk lambung terdiri dari
lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari
sel-sel epitelial yang didasari oleh lamina propria yang terdiri dari sel-sel
penunjang, pembuluh darah, pembuluh limfa, serat saraf enterik dan sel-sel sistem
imun yang meliputi sel mast, leukosit dan makrofag. Di bawah lamina propria
terdapat lapisan muskularis mukosa yang tipis. Lapisan submukosa terdiri dari
jaringan ikat padat yang mengandung serat-serta saraf enterik, pembuluh darah
dan pembuluh limfa, serta di bawahnya terdapat lapisan muskularis submukosa.
Bagian luar dari struktur anatomis saluran cerna adalah lapisan serosa yang terdiri
dari jaringan ikat yang longgar yang ditutupi oleh sel-sel skuamosa (Atuma 2000).
Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan studi intensif mengenai
mekanisme defensif dari saluran pencernaan. Pendapat terkini mengenai
mekanisme defensif saluran pencernaan ini dikenal dengan the three levels of
gastrointestinal mucosal defense (Atuma 2000), yang membagi mekanisme
defensif ini menjadi 3 faktor yaitu faktor pre-epitelial, faktor epitelial dan faktor
sub-epitelial (Gambar 9).
Faktor-faktor pre-epitelial disekresikan kedalam lumen saluran cerna,
terdiri dari mukus, bikarbonat, imunoglobulin dan laktoferin. Faktor-faktor
epitelial terdiri dari membran sel, jaringan ikat intraselular, membran plasma serta
restitusi yang merupakan proses perbaikan secara cepat dari sel-sel mukosa yang
rusak dengan cara migrasi sel-sel epitel yang normal ke tempat sel-sel epitel yang
rusak. Adapun faktor-faktor sub-epitelial terdiri dari aliran darah mukosa, sistem
saraf, berbagai mediator inflamasi seperti nitric oxide, berbagai eikosanoid seperti
prostaglandin, leukotrien dan tromboksan serta sel-sel sistem imun seperti
makrofag dan sel mast (Atuma 2000; Makmun 2005).
Lapisan mukus merupakan faktor defensif pertama dari saluran cerna
mulai dari lambung sampai dengan usus besar, melindungi mukosa saluran cerna
dari difusi zat-zat yang bersifat merusak, sebagai perangkap bagi mikroorganisme,
berinteraksi dengan sistem imun saluran cerna serta sebagai lubrikan. Mukus
merupakan senyawa yang kohesif yang terdiri dari air (merupakan bagian
terbesar) dan glikoprotein. Fosfolipid merupakan unsur utama dalam
pembentukan dan kekuatan lapisan mukus (Slomiany dan Slomiany 1991; Atuma
2000) (Gambar 10). Keberadaan fosfolipid dalam lapisan mukus mukosa lambung
ini dapat melindungi mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif termasuk
obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid seperti golongan coxib dan aspirin
(Anand et al. 1999; Lichtenberger et al. 2007).
Gambar 10. Skematik mukosa gaster (Dikutip dari Slomiany dan Slomiany 1991)
Prostaglandin merupakan salah satu eikosanoid, dibentuk dari asam
arakhidonat melalui aktivitas enzim cyclooxygenase (COX). Terdapat dua isoform
lambung antara lain dengan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat,
mempertahankan aliran darah mukosa yang optimal, meningkatkan ketahanan
sel-sel epitelial terhadap pengaruh buruk sitotoksin, serta menghambat inflitrasi
leukosit pada saat terjadi proses inflamasi mukosa (Makmun 2005; Takeuchi et al.
2010).
PUFA merupakan sumber pembentukan fosfolipid dan prostaglandin,
disamping sebagai sumber sebagian energi tubuh. PUFA tidak bisa disintesis
dalam tubuh, sehingga satu-satunya sumber PUFA tubuh adalah diet sehari-hari.
Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lemak terutama asam
lemak esensial, menyebabkan terganggunya absorpsi PUFA melalui usus. Jika
keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi berbagai komplikasi terutama
terganggunya integritas membran sel, menurunnya berbagai respon biologis tubuh,
menurunnya pembentukan reseptor serta terganggunya pembentukan berbagai
eikosanoid termasuk prostaglandin (Popovic et al. 2009).
Pada Gambar 11 dijelaskan tentang peranan PUFA sebagai pembentuk
fosfolipid (fungsi struktural) melalui bantuan enzim fosfolipase, sebagai sumber
energi melalui katabolisme oksidatif, serta PUFA sebagai sumber pembentukan
prostaglandin melalui jalur asam arakhidonat. PUFA (dalam hal ini asam linoleat)
akan mengalami desaturasi menjadi asam linolenat, yang kemudian mengalami
elongasi menjadi asam dihomo-γ-linolenat, serta selanjutnya mengalami denaturasi menjadi asam arakhidonat. Prostaglandin dibentuk dari asam
arakhidonat melalui bantuan enzim COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang
dibentuk melalui jalur COX-1 berperan penting pada upaya tubuh untuk
mempertahankan integritas mukosa saluran cerna, sementara itu prostaglandin
yang dibentuk melalui jalur COX-2 berperan dalam timbulnya edema, demam dan
rasa nyeri (Sessler dan Ntambi 1998; Makmun 2005; Coste et al. 2010; Takeuchi
Gambar 11. Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin
(Diadaptasi dari Sessler dan Ntambi 1998; Coste et al. 2010)
Peranan prostaglandin dalam mekanisme patogenesis kerusakan mukosa
lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif, dilaporkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Nagahata et al. (1997) serta Aslan et al. (2007). Kedua penelitian
ini melaporkan terjadinya penurunan kadar prostaglandin E2 jaringan mukosa
lambung yang disertai dengan penurunan aliran darah mukosa lambung pada tikus
percobaan dengan ikterus obstruktif. Keadaan ini diikuti dengan terjadinya erosi
dan ulserasi pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif dibanding dengan
tikus kontrol.
Lauterbach et al. (1980) melakukan penelitian mengenai kerusakan
mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif melalui
pengikatan duktus koledokus. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ulkus lambung
lebih sering terjadi pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif dibanding
dengan tikus kontrol.
Sasaki et al. (1997) melakukan penelitian pada 240 ekor tikus yang dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (dengan pengikatan
Cyclooxygenase Lipoxygenase
Prostaglandin Leukotrien
Desaturase D5
Asam dihomo-γ-linolenat C20:3 ω-6
Asam arakhidonat
Elongase
Asam linolenat C 18:3 ω-6
Desaturase D6
Asam linoleat 18:2 ω-6
(Fungsi Struktural) fosfolipase (Sumber Energi) Katabolisme oksidatif PUFA
Fosfolipid
duktus koledokus) dan kelompok kontrol (simple laparotomy). Dua minggu
setelah operasi, dilakukan prosedur water immersion restraint stress (WIRS).
Aliran darah mukosa lambung diukur dengan teknik hydrogen clearance.
Dilakukan juga pengukuran kadar lipid (fosfolipid) hidroperoksida (PCOOH)
dengan teknik kromatografi dikombinasi dengan teknik chemiluminescence serta
kadar glutation pada mukosa lambung dan hati dengan metode Akerboom. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan tingginya ulcer index dan penurunan aliran darah
mukosa lambung pada kelompok ikterus obstruktif dibanding kontrol. Begitu pula
pada kelompok ikterus obstruktif didapatkan kadar glutation yang rendah pada
hati serta mukosa lambung dan kadar lipid hidroperoksida yang tinggi pada
mukosa lambung dibanding kontrol. Pemberian glutation intraperitoneal dapat
meningkatkan kadar glutation mukosa lambung serta menurunkan ulcer index dan
kadar lipid hidroperoksida mukosa lambung. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
penurunan aliran darah mukosa lambung yang menyebabkan penurunan
metabolisme energi dan lipid hidroperoksida mempunyai peranan penting dalam
patogenesis terjadinya ulserasi gaster akut pada ikterus obstruktif.
Penelitian yang senada dilakukan oleh Ito et al. (1993) pada tikus yang
dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (pengikatan duktus
koledokus), vagotomi, vagotomi dan ikterus obstruktif, dan kelompok kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan:
1) pada kelompok ikterus obstruktif terdapat peningkatan ulcer index, penurunan
aliran darah mukosa lambung tanpa perubahan pH intragastrik, peningkatan
oxygen radical generating system (aktivitas XOD mukosa gaster dan asam
tiobarbiturat) dan oxygen radical scavenging system dibanding kontrol;
2) pada kelompok yang mengalami vagotomi terdapat peningkatan pH
intragastric dibanding kontrol, tanpa perubahan aktivitas oxygen radical
generating system dan oxygen radical scavenging system; dan
3) pada kelompok ikterus obstruktif dengan vagotomi memperlihatkan
penurunan ulcer index dan peningkatan aktivitas oxygen radical generating
system dan oxygen radical scavenging system tanpa perubahan pH intragastric
Penelitian ini menyimpulkan adanya peranan oxygen radical dalam patogenesis
terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif.
Hal yang sama dilaporkan juga oleh Ljubuncic et al. (2000) yang
menemukan adanya penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida
lipid pada plasma, ginjal, otak dan jantung tikus yang mengalami ikterus
obstruktif.
Glutation berperan dalam respon tubuh terhadap berbagai oxidative stress
pada mukosa lambung melalui pembentukan heat shock protein yang berperan
sebagai pelindung sel-sel epitel. Berkurangnya kadar glutation intraselular 10%,
dapat menghambat pembentukan heat shock protein tersebut yang bisa diikuti
dengan kerusakan mukosa lambung akut (Terano 1998).
Mizumoto et al. (1986) melaporkan mekanisme patogenesis lain terjadinya
kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif. Pada penelitiannya
dengan tikus percobaan yang mengalami pengikatan duktus koledokus, dilakukan
pengukuran kadar bilirubin plasma, pengukuran lapisan mukus mukosa lambung
secara biokimia maupun histokimia. Penelitian ini melaporkan bahwa peningkatan
kadar asam empedu plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya
efek toksik langsung terhadap lapisan mukus mukosa lambung serta berkurangnya
lapisan mukus mukosa lambung sehingga terjadi erosi dan ulserasi.
Hal yang senada dilaporkan oleh Kameyama et al. (1984) melalui
penelitiannya pada anjing dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa peningkatan kadar bilirubin plasma terutama asam taurokholat
menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat mendasari
kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.
Peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna pada keadaan ikterus
obstruktif diduga juga disebabkan karena faktor-faktor oxidative stress, serta
ketidakseimbangan pada proliferasi dan apoptosis sel-sel enterosit. Hal ini dapat
diikuti dengan keadaan endotoksemia yang akan meningkatkan mortalitas pasien
Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal
Penelitian pada kelinci sebagai hewan model ikterus obstruktif yang
dilakukan oleh Hishida et al. (1982) memperlihatkan adanya penurunan perfusi
ginjal dan peningkatan kadar aldosteron plasma pada kelompok ikterus obstruktif
dibanding kontrol tanpa adanya retensi natrium. Pada kelompok ikterus obstruktif
juga tidak ditemukan adanya perubahan tekanan darah maupun perubahan laju
filtrasi glomerulus.
Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Kaler et al. (2004) pada tikus
percobaan berdasarkan atas asumsi bahwa ekskresi asam empedu melalui urin
akan meningkat pada ikterus obstruktif, sebagai bagian dari upaya tubuh untuk
mempertahankan homeostasis kolesterol. Hal ini terjadi beberapa hari setelah
obstruksi bilier. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan kadar asam
empedu plasma, peningkatan kadar asam empedu urin, perubahan gambaran
histologi ginjal serta penurunan fungsi ginjal 3-4 hari pasca pengikatan duktus
koledokus. Semua peubah ini kembali menjadi normal setelah kadar asam empedu
plasma dan urin menurun. Penelitian ini menunjukkan bahwa asam empedu
bersifat nefrotoksik.
Yuceyar et al. (1998) melaporkan bahwa pada ikterus obstruktif terjadi
keadaan gagal ginjal akut. Dengan mengukur kadar ureum dan kreatinin plasma, kadar enzim xanthine oxidase (XOD), superoxide dismutase (SOD), catalase
dan glutathione peroxidase (GSH-Px) plasma pada tikus percobaan dengan
ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol dapat disimpulkan bahwa iskemi
ginjal yang terjadi pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan oleh karena
terjadinya oxidant injury yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Tanaka et al. (2002),
Assimakopoulos dan Vagianos (2009) tentang penurunan fungsi ginjal pada tikus
percobaan dengan ikterus obstruktif, keduanya melaporkan hasil penelitian yang
hampir senada dengan laporan hasil penelitian Kaler et al. (2004). Gangguan
fungsi ginjal akut pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan peningkatan kadar
empedu dalam sirkulasi darah yang bersifat nefrotoksik, disamping adanya
peranan endotoksemia. Jika obstruksi berkelanjutan, dapat terjadi kerusakan hati
Sepsis pada Ikterus Obstruktif
Obstruksi sistem bilier berkelanjutan dapat menimbulkan keadaan sepsis,
serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya fibrosis hati dengan
patogenesis yang belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu faktor yang diduga
berperan dalam hal tersebut adalah peranan kemotaksis netrofil yang diduga
dirangsang oleh cairan empedu sendiri yang mengandung sitokin dan endotoksin.
Beberapa penelitian mengenai hal ini antara lain dilakukan oleh Shibatani et al.
(2002) yang melaporkan adanya peningkatan kemotaksis netrofil pada tikus yang
mengalami pengikatan duktus koledokus, dengan mengukur kadar interleukin 8
yang telah diketahui sebagai chemoattractant. Tindakan drainase bilier dapat
menurunkan aktivitas netrofil, sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi
sepsis.
Di sisi lain, Saito dan Maher (2000) melaporkan adanya infiltrasi netrofil
pada jaringan hati dari tikus yang mengalami ikterus obstruktif, serta menemukan
adanya peningkatan kadar cytokine induced neutrophil chemoattractant (CIMC)
dalam darah. Hal ini menunjukkan adanya peranan netrofil dalam patogenesis
terjadinya kerusakan jaringan hati pada ikterus obstruktif.
Penelitian yang sama mengenai kemotaksis netrofil pada tikus percobaan
juga dilakukan oleh Tsuji et al. (1999) dengan hasil yang sama bahwa
peningkatan aktivitas netrofil bertanggung jawab atas respons inflamasi pada
ikterus obstruktif.
Keadaan sepsis merupakan komplikasi yang sering bersifat fatal pada ikterus obstruktif. Hal ini diduga karena adanya gangguan homeostatic
environment dari gut-liver-axis. Saluran cerna merupakan sumber dari banyak
bakteri gram negatif dalam tubuh, sementara itu integritas dari barier mukosa
saluran cerna dapat mencegah terjadinya translokasi dari bakteri tersebut. Dalam
keadaan ikterus obstruktif (seperti halnya dalam keadaan obstruksi usus,
perdarahan, infeksi, trauma dan luka bakar) terjadi kerusakan pada integritas
mukosa saluran cerna, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya translokasi
bakteri dan endotoksin. Pada tahun 1996, Clements et al. melakukan penelitian
tentang endotoksemia pada ikterus obstruktif dengan mengukur kadar endotoksin
kualitatif) pada tikus percobaan. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan
kadar endotoksin plasma serta translokasi bakteri secara bermakna pada dinding
kolon dan ileum terminal. Dua tahun kemudian (1998), Clements et al.
melaporkan adanya peningkatan endotoksin pada tikus yang mengalami ikterus
obstruktif dengan mengukur anticore glycolipid antibody (ACGA) dengan
menggunakan teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hal senada
dilaporkan oleh Abdeldayem et al. (2007) dan Assimakopoulos et al. (2007). Ada
4 faktor yang diduga berperan dalam fenomena ini:
1) penurunan sistem imun tubuh,
2) disfungsi barier intestinal,
3) overgrowth flora intestinal, dan
4) endotoksemia.
Peranan defisiensi arginin dalam patogenesis terjadinya penurunan sistem
imun selular pada ikterus obstruktif dilaporkan oleh Houdijk et al. (1997).
Dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan, penelitian ini
menunjukkan adanya defisiensi arginin yang disebabkan karena peningkatan
aktivitas enzim arginase plasma akibat peningkatan kadar endotoksin. Arginin
adalah salah satu asam amino yang sangat berperan dalam fungsi limfosit. Pada
penelitian ini juga dilaporkan bahwa kolestiramin dapat mencegah terjadinya
defisiensi arginin dengan menurunkan aktivitas enzim arginase plasma melalui
pengikatan terhadap endotoksin.
Zhou et al. (1992) meneliti tentang peranan platelet activating factor
(PAF) pada patogenesis terjadinya inflamasi dan endotoksemia pada tikus yang
mengalami ikterus obstruktif.
Penelitian ini menunjukkan:
1) adanya hubungan antara endotoksemia dengan peningkatan kadar PAF plasma,
dan
2) adanya peranan PAF dalam kerusakan jaringan hati serta hubungan antara