• Tidak ada hasil yang ditemukan

Effect of intravenous poly-unsaturated fatty acids administration on gastric mucosal integrity in pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) with obstructive jaundice

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Effect of intravenous poly-unsaturated fatty acids administration on gastric mucosal integrity in pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) with obstructive jaundice"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

(PUFA) INTRAVENA TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA

LAMBUNG PADA BERUK (

Macaca nemestrina

) DENGAN

IKTERUS OBSTRUKTIF

DADANG MAKMUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Efek Pemberian

Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 28 Juli 2011

(3)

ABSTRACT

DADANG MAKMUN. Effect of Intravenous Poly-Unsaturated Fatty Acids Administration on Gastric Mucosal Integrity in Pig-tailed Macaques (Macaca nemestrina) with Obstructive Jaundice. Under the direction of DONDIN SAJUTHI, DALDIYONO HARDJODISASTRO, ADI WINARTO and ERNI SULISTIAWATI

Acute gastric mucosal injury commonly occurs in patients with obstructive jaundice. Some proposed pathogenic mechanism of acute mucosal gastric injury in obstructive jaundice has been reported. We studied the effect of intravenous poly-unsaturated fatty acids (PUFA) administration on gastric mucosal integrity in pig-tailed macaques (Macaca nemestrina) with obstructive jaundice by ligating common bile duct (CBD). In this study, eight selected male pig-tailed macaques with the body weight between 5,5-7,5 kg (with the average of 6,625±0,83 kg) were used and divided randomly into two groups. In both groups, laboratory examination (including liver function tests, lipid profile, prothrombine time, gastric mucosal level of lipid peroxide and glutathione) and upper gastrointestinal endoscopy were performed before CBD ligation and every two weeks after ligation. In the first group intravenous PUFA with the dose of 2 g/day was administered every day since four weeks post ligation up to four weeks later, and in the second group intravenous PUFA was administered since before ligation up to eight weeks later. In both groups, total bilirubin, direct bilirubin, indirect bilirubin, SGOT, SGPT, alkaline phosphatase, GGT, globulin, total cholesterol and trigliseride were clearly increased, meanwhile albumin level were clearly decreased. Cholinesterase, prothrombine time and gastric mucosa level of lipid peroxide and glutathione in both groups were not changed. Ulcer formation occured among the first group during four weeks after CBD ligation, and these ulcers were clearly healed within four weeks after intravenous PUFA administration. Among the second group, there was no significant ulcer formation within eight weeks after CBD ligation. In conclusion, the potential appearance of acute gastric mucosal injury which reflected by gastric ulcer formation was significantly decreased by intravenous PUFA administration in pig-tailed macaques with obstructive jaundice. We also have developed animal model of obstructive jaundice successfully by CBD ligation, based on the result of liver function and lipid profile tests.

(4)

RINGKASAN

DADANG MAKMUN. Efek Pemberian Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif. Dibimbing oleh DONDIN SAJUTHI, DALDIYONO HARDJODISASTRO, ADI WINARTO dan ERNI SULISTIAWATI.

Ikterus obstruktif sering ditemukan pada praktik sehari-hari dengan berbagai penyebab antara lain meliputi batu duktus koledokus, tumor papilla Vateri, tumor kaput pankreas, striktur duktus koledokus dan kolangiokarsinoma. Pada pasien-pasien dengan ikterus obstruktif sering terjadi kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus bahkan bisa diikuti dengan perdarahan dan perforasi. Kerusakan mukosa lambung terjadi akibat ketidak seimbangan antara faktor agresif (misalnya obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid, alkohol, kuman Helicobacter pylori, cairan lambung serta cairan empedu dan komponen-komponennya) dengan faktor defensif (lapisan mukus mukosa lambung, bikarbonat, prostaglandin, fosfolipid serta aliran darah mukosa lambung). Dalam keadaan ikterus obstruktif terjadi hambatan secara total maupun parsial dari sekresi cairan empedu dan komponen-komponennya ke dalam duodenum. Cairan empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal.

Telah banyak dilaporkan mengenai berbagai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif antara lain peranan oxidative stress termasuk peroksida lipid, akumulasi asam empedu dalam sirkulasi darah, serta penurunan prostaglandin dan aliran darah mukosa lambung.

Beruk (Macaca nemestrina) merupakan hewan model untuk penelitian-penelitian yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Beruk memiliki kemiripan sistem saluran cerna, serta pola nutrisi yang tidak jauh berbeda dengan manusia. Atas dasar hal tersebut di atas, maka penelitian tentang efek pemberian poly-unsaturated fatty acids (PUFA) intravena terhadap integritas mukosa lambung pada keadaan ikterus obstruktif dilakukan dengan menggunakan hewan model beruk. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendapatkan informasi akibat kerusakan mukosa lambung akut yang berkaitan dengan tingkat morbiditas beruk pada keadaan ikterus obstruktif, 2) mendapatkan informasi mengenai kerusakan mukosa lambung akut akibat defisiensi lipid pada beruk dengan ikterus obstruktif, 3) mendapatkan informasi proses hemostasis akibat gangguan fungsi hati yang berkaitan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas pada beruk dengan ikterus obstruktif, 4) mendapatkan informasi efek pemberian PUFA intravena dalam mencegah terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif.

(5)

Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peubah-peubah yang diamati terdiri dari nilai biokimiawi fungsi hati (protein total, albumin, globulin, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, serum glutamic oxaloacetic transaminase/SGOT, serum glutamic pyruvic transaminase/SGPT, fosfatase alkali, gamma glutamyl tranpeptidase/GGT, kolinesterase), kolesterol total, trigliserida, prothrombine time, peroksida lipid dan glutation jaringan mukosa lambung, serta evaluasi makroskopik mukosa lambung berupa ada tidaknya erosi atau ulkus dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada hewan model sejak sebelum dilakukan ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu setelah ligasi duktus koledokus.

Hewan model dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari empat ekor beruk. Pada Kelompok I, diberikan PUFA intravena dengan dosis 2 g/hari setiap hari sejak 4 minggu pasca ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus, sedangkan pada Kelompok II PUFA intravena diberikan sejak sebelum ligasi duktus koledokus sampai 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus.

Pada kedua kelompok didapatkan peningkatan yang nyata kadar bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT, fosfatase alkali, GGT, globulin, kolesterol total dan trigliserida. Adapun kadar kolinesterase,

prothrombine time serta kadar peroksida lipid dan glutation jaringan mukosa lambung pada kedua kelompok tidak menunjukkan perubahan yang nyata, sementara itu kadar albumin pada kedua kelompok memperlihatkan penurunan yang nyata. Pada Kelompok I tampak dengan jelas terjadinya ulkus lambung selama 4 minggu pasca ligasi duktus koledokus yang kemudian mengalami penyembuhan setelah diberikan PUFA intravena. Adapun pada Kelompok II tidak tampak terjadinya ulkus lambung sampai dengan 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian PUFA intravena dapat mencegah terbentuknya ulkus lambung serta dapat menyembuhkan ulkus yang terjadi akibat kerusakan mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini juga telah memperlihatkan pengembangan hewan model ikterus obstruktif yang terjadi dengan pengikatan duktus koledokus beruk, berdasarkan hasil pengamatan fungsi hati dan profil lemak darah.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

EFEK PEMBERIAN POLY-UNSATURATED FATTY ACIDS (PUFA)

INTRAVENA TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA LAMBUNG PADA BERUK (Macaca nemestrina) DENGAN IKTERUS OBSTRUKTIF

DADANG MAKMUN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

Dr. dr. Irma H. Suparto, MS Dr. drh. Aryani Sismin,M.Sc

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :

(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi :

Efek Pemberian Poly-Unsaturated Fatty Acids

(PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif

Nama Mahasiswa : Dadang Makmun Nomor Pokok : P67030031 Program Studi/Mayor : Primatologi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D Ketua

Prof. Dr. dr. Daldiyono H., SpPD-KGEH Anggota

drh. Adi Winarto, Ph.D Anggota

Mengetahui

Dr. drh. Erni Sulistiawati, SP1,APVet Anggota

Ketua Program Studi/Mayor Primatologi

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

(10)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahiim,

Terlebih dahulu penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah S.W.T. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, khususnya kepada penulis, sehingga disertasi yang berjudul “Efek Pemberian

Poly-Unsaturated Fatty Acids (PUFA) Intravena terhadap Integritas Mukosa Lambung pada Beruk (Macaca nemestrina) dengan Ikterus Obstruktif” dapat diselesaikan.

Selama melakukan penelitian dan menyelesaikan penyusunan disertasi ini, penulis mendapat bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D, Prof. Dr. dr. Daldiyono Hardjodisastro, SpPD-KGEH, drh. Adi Winarto, Ph.D, Dr. drh. Erni Sulistiawati,SP1,APVet sebagai komisi pembimbing yang telah meluangkan begitu banyak waktu serta pemikirannya selama penelitian maupun penulisan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) yang telah memberikan izin tugas belajar untuk mengikuti program doktor (S3) di Program Studi/Mayor Primatologi (PRM), Sekolah Pascasarjana IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi/Mayor Primatologi serta seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi/Mayor Primatologi IPB.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer serta drh. Ikin Mansjoer, MSc. yang telah banyak menyumbangkan buah pikiran serta perhatiannya kepada penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

(11)

Asmiyanto, Amd, dr. Maryantoro Oemardi SpPD-KEMD., Keni Sultan SPt., MSi. atas bantuan dan perhatiannya yang sangat besar kepada penulis selama menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. H. A. Aziz Rani, SpPD-KGEH, dr. H. Chudahman Manan, SpPD-KGEH, dr. Marcellus Simadibrata, Ph.D, SpPD-KGEH, Dr. dr. H. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH, dr. H. Ari Fachrial Syam, MMB., SpPD-KGEH, dr. Achmad Fauzi, SpPD-KGEH, dr. Kaka Renaldi, SpPD, serta seluruh staf administrasi Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo atas segala dukungan serta bantuannya selama penulis mengikuti program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Zulkarnain, Amd, Bayu Taruno NP, SKM., Ade Darmawan, SKM., Nurjayanti, SPT., Rahayu Sulistina, Dewi Yanti serta Mulyana atas bantuan yang sangat besar ketika penulis melakukan penelitian dan menyusun disertasi ini.

Penulis juga menyampaikan ungkapan terima kasih kepada isteri tercinta dr. Hj. Duta Liana MARS., serta anak-anakku Faisal, Heikal dan Vira, atas segala pengertian, pengorbanan dan dorongan semangatnya selama ini. I love you all, more than you can imagine. Kepada kedua orang tua Ayah dan Ibu (almarhum), kedua orang mertua (almarhum), serta seluruh keluarga penulis sampaikan terima kasih atas segala pengorbanan, pengertian, dorongan semangat serta do’a yang tak pernah putus.

Bogor, 28 Juli 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung; Jawa Barat pada tanggal 19 Nopember 1959 dari pasangan Ayahanda K.H. Ahmad Syafi’i dan Ibunda Hj. Siti Sa’adah. Penulis menikah dengan dr. Hj. Duta Liana MARS., dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Muhammad Faisal Prananda (18 tahun), Muhammad Heikal Pradika (15 tahun) dan Vira Nur Arifa (11 tahun).

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 6

Hipotesis ... 6

Kerangka Pemikiran ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Anatomi Kandung Empedu dan Traktus Biliaris ... 9

Patofisiologi Ikterus ... 11

Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif ... 14

Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif ... 16

Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung ... 17

Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal ... 24

Sepsis pada Ikterus Obstruktif ... 25

Gangguan Hemostasis pada Ikterus Obstruktif ... 27

Hewan Model ... 27

MATERI DAN METODE ... 29

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

Materi ... 29

Metode ... 30

Analisis Data ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Gambaran Biokimiawi Fungsi Hati ... 35

Gambaran Peroksida Lipid dan Glutation Mukosa Lambung... 44

(14)

Gambaran Profil Lemak Darah ... 50

Gambaran Hemostasis ... 51

SIMPULAN DAN SARAN ... 54

Simpulan ... 54

Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(15)

DAFTAR TABEL

1 Rerata (x) dan koefisian keragaman (KK) hasil pemeriksaan

biokimiawi fungsi hati secara umum ... 35 2 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan

biokimiawi fungsi hati terkait obstruksi bilier ... 41 3 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan peroksida

lipid dan glutation mukosa lambung ... 44 4 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan profil

lemak darah ... 50 5 Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Berbagai penyebab ikterus obstruktif di RSUPNCM ... 1

2 Berbagai penyebab ikterus obstruktif di Pakistan ... 1

3 Gambaran ERCP saluran empedu normal ... 2

4 Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena batu CBD ... 3

5 Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena tumor kaput pankreas ... 3

6 Skema kerangka pemikiran ... 8

7 Anatomi kandung empedu dan traktus biliaris ... 9

8 Skema metabolisme bilirubin ... 12

9 The Three Levels of Gastrointestinal Mucosal Defense ... 18

10 Skematik mukosa gaster ... 19

11 Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin ... 21

12 Perubahan rerata protein total ... 36

13 Perubahan rerata albumin... 36

14 Perubahan rerata globulin ... 36

15 Perubahan rerata SGOT ... 36

16 Perubahan rerata SGPT ... 37

17 Perubahan rerata kolinesterase ... 37

18 Perubahan rerata bilirubin total ... 41

19 Perubahan rerata bilirubin direk ... 41

20 Perubahan rerata bilirubin indirek... 42

21 Perubahan rerata fosfatase alkali ... 42

22 Perubahan rerata GGT ... 42

23 Perubahan rerata peroksida lipid antrum ... 45

24 Perubahan rerata peroksida lipid korpus ... 45

25 Perubahan rerata glutation antrum ... 45

26 Perubahan rerata glutation korpus... 45

27 Pengamatan makroskopik mukosa lambung pada hewan model Kelompok I ... 47

28 Pengamatan makroskopik mukosa lambung pada hewan model Kelompok II ... 47

29 Perubahan jumlah ulkus korpus ... 48

30 Perubahan jumlah ulkus antrum ... 48

31 Perubahan rerata kolesterol total ... 51

32 Perubahan rerata trigliserida ... 51

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan ACUC ... 63 2. Uji ragam disain tersarang (nested) gambaran biokimiawi fungsi

hati secara umum ... 64 3. Uji ragam disain tersarang (nested) gambaran biokimiawi fungsi

hati terkait obstruksi bilier ... 66 4. Uji ragam disain tersarang (nested) kadar peroksida lipid dan

(18)

DAFTAR SINGKATAN

ACGA Anticore glycolipid antibody

ACUC Animal Care and Use Committee

AIHA Autoimmune hemolytic anemia

Alb Albumin

ALP Fosfatase alkali

ALT Alanine transaminase

AST Aspartate aminotransferase

BD Bilirubin direk BI Bilirubin indirek BT Bilirubin total

CBD Common bile duct

CHE Kolinesterase

CIMC Cytokine induced neutrophil chemoattractant

COX Cyclooxygenase

DB Derajat bebas

ELISA Enzyme linked immunosorbent assay

ERCP Endoscopic retrograde cholangiopancreatography

FK-UI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GGT Gamma glutamyl transpeptidase

GLa Glutation antrum GLk Glutation korpus

Glob Globulin

G6PD Glucose-6-phosphate dehydrogenase

GSH-Px Glutathione peroxidase

g/dl Gram/desiliter IgA Imunoglobulin A IPB Institut Pertanian Bogor KK Koefisien keragaman

Klp Kelompok

KT Kolesterol total

MDA Malondialdehyde

Mg/dl Miligram/desiliter

MUFA Mono-unsaturated fatty acids

OAINS Obat anti inflamasi non steroid

PAF Platelet activating factor

PLa Peroksida lipid antrum PLk Peroksida lipid korpus

PPARα Peroxisome proliferators-activated receptor alpha

PSSP Pusat Studi Satwa Primata

PT Prothrombine time

PTot Protein total

PUFA Poly unsaturated fatty acids

RSUPNCM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto- Mangunkusumo

(19)

SGOT Serum glutamic oxaloacetic transaminase

SGPT Serum glutamic pyruvic transaminase

SOD Superoxide dismutase

TG Trigliserida

U/l Unit/liter

WIRS Water immersion restraint stress

XOD Xanthine oxidase

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keadaan ikterus obstruktif sering ditemukan pada praktik sehari-hari dengan berbagai penyebab. Data dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, dari 60 pasien yang menjalani pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography) atas indikasi ikterus obstruktif dari bulan Oktober 2006 sampai dengan bulan Mei 2007, sebagian besar disebabkan batu duktus koledokus, sisanya disebabkan tumor papilla Vateri, tumor kaput pankreas, striktur duktus koledokus, kolangiokarsinoma, tumor Klatskin, serta penyebab yang tidak diketahui (Gambar 1). Dari seluruh penderita tersebut 61,8% laki-laki dan 38,2% perempuan dengan umur berkisar dari 20-80 tahun (Pangestu et al. 2007).

Gambar 1. Berbagai penyebab ikterus obstruktif di RSUPNCM (dikutip dari Pangestu et al. 2007)

Hal senada dilaporkan oleh Siddique et al. (2008) di Pakistan yang melaporkan hasil penelitiannya mengenai spektrum penyebab ikterus obstruktif yaitu batu duktus koledokus, tumor kaput pankreas, tumor kandung empedu, kolangiokarsinoma, striktur duktus koledokus, pankreatitis akut dan tumor papilla Vateri (Gambar 2).

Gambar 2. Berbagai penyebab ikterus obstruktif di Pakistan (dikutip dari Siddique et al. 2008)

54% 17%

13% 5%

2% 2% 7% Batu duktus koledokus Tumor papilla Vateri

(21)

Pada gambar-gambar berikut di bawah ini diperlihatkan gambaran ERCP pada keadaan normal (Gambar 3), serta gambaran ERCP pada pasien-pasien dengan ikterus obstruktif yang disebabkan batu duktus koledokus (Gambar 4) dan tumor kaput pankreas (Gambar 5). Pada Gambar 4 tampak pelebaran duktus biliaris intra dan ekstrahepatik (duktus koledokus, duktus hepatikus komunis, serta duktus hepatikus kiri dan kanan) akibat sumbatan total oleh batu yang terletak di duktus koledokus bagian distal. Pada Gambar 5 tampak pelebaran duktus biliaris intra dan ekstrahepatik, kandung empedu, serta duktus pankreatikus akibat sumbatan total oleh tumor kaput pankreas.

Gambar.3. Gambaran ERCP saluran empedu normal (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)

Duktus hepatikus kiri

Duktus hepatikus kanan

Duktus sistikus

Kandung empedu

Duktus hepatikus komunis

(22)

Gambar 4. Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena batu CBD (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)

Gambar 5. Gambaran ERCP pada ikterus obstruktif karena tumor kaput pankreas (dikutip dari Pott dan Schrameyer 1995)

Pada keadaan ikterus obstruktif sering ditemukan kerusakan mukosa lambung dalam bentuk erosi atau ulkus yang keduanya seringkali diikuti dengan perdarahan bahkan perforasi (Kameyama et al. 1984). Kerusakan mukosa lambung terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif, karena faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif (Makmun 2005). Faktor agresif dapat berasal dari luar (misalnya obat-obatan golongan anti inflamasi non steroid/OAINS, alkohol dan Helicobacter pylori) atau dari dalam tubuh (cairan lambung serta cairan empedu dan komponen-komponennya), sedangkan faktor defensif berupa lapisan mukus, bikarbonat, prostaglandin, fosfolipid serta aliran darah mukosa lambung. Faktor defensif berperan untuk mempertahankan

Batu Duktus Koledokus

(23)

integritas mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif (Slomiany dan Slomiany 1991). Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat, terdapat hampir di seluruh bagian saluran cerna, diketahui berperan dalam mengontrol sekresi asam, sekresi bikarbonat, produksi mukus serta aliran darah mukosa (Takeuchi et al. 2010). Lapisan mukus merupakan pertahanan pertama dari mukosa saluran cerna bagian atas terhadap berbagai faktor agresif. Lapisan mukus terbentuk dari berbagai unsur yaitu air, glikoprotein dan fosfolipid (Slomiany dan Slomiany 1991).

Berbagai mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif antara lain peranan oxidative stress termasuk peroksida lipid, peranan asam empedu dalam sirkulasi darah, peranan prostaglandin, serta aliran darah mukosa lambung. Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida lipid jaringan mukosa lambung. Hal ini menyebabkan integritas mukosa lambung menurun, sehingga memudahkan terjadinya ulserasi (Ito et al. 1993; Sasaki et al. 1997; Terano 1998).

Peningkatan kadar asam empedu pada sirkulasi darah pada keadaan ikterus obstruktif diduga menurunkan mekanisme defensif dari mukosa lambung. Hal ini diduga disebabkan efek toksik langsung dari asam empedu terhadap mukosa lambung (Mizumoto et al. 1986). Penelitian lain melaporkan bahwa asam empedu berpengaruh langsung terhadap fosfolipid yang ada di dalam lapisan mukus mukosa lambung (Hosokawa 1991). Sasaki et al. pada tahun 1987 melaporkan hasil penelitiannya tentang terjadinya penurunan aliran darah mukosa lambung yang menyebabkan kerusakan mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif. Hal yang senada dilaporkan oleh hasil penelitian Nagahata et al. (1997) dan Aslan et al. (2007) tentang terjadinya penurunan kadar prostaglandin dalam sirkulasi darah dan jaringan mukosa lambung yang disertai menurunnya aliran darah mukosa lambung pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif.

(24)

darah maupun jaringan tubuh, termasuk mukosa lambung. Prostaglandin sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa lambung dengan meningkatkan aliran darah mukosa, serta meningkatkan sekresi mukus dan bikarbonat (Makmun 2005; Takeuchi et al. 2010). Di sisi lain, selain sumber energi, poly-unsaturated fatty acids (PUFA) merupakan salah satu unsur utama pembentuk fosfolipid. PUFA tidak dapat disintesis di dalam tubuh, sehingga sumber kebutuhan PUFA di dalam tubuh hanya berasal dari makanan sehari-hari (Sessler dan Ntambi 1998; Popovic et al. 2009). Karena sel-sel mukosa saluran cerna (enterosit) adalah tempat pertemuan antara nutrisi yang berasal dari luar (oral atau enteral) dengan aliran darah atau aliran limfa, maka dapat dimengerti bahwa sel-sel enterosit sangat tergantung pada sumber nutrisi melalui jalur oral atau enteral maupun parenteral (Duggan et al. 2002). Adapun rekomendasi kebutuhan asupan harian PUFA pada orang sehat dewasa adalah 4,44-6,67 g/hari (2-3% energi) untuk asam linoleat serta 1,54-2,22 g/hari (0,7-1% energi) untuk asam linolenat (Simopoulos et al. 1999; Meyer et al. 2003; Cunnane et al. 2004). Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lipid enteral karena ketiadaan (berkurangnya) cairan empedu beserta komponen-komponennya yang sangat berperan dalam metabolisme lipid (Sato et al. 1991; Davidson dan Magun 1995). Oleh karena itu, pemberian PUFA diduga akan berpengaruh terhadap integritas mukosa lambung (Pagkalos et al. 2009; Popovic et al. 2009).

Perdarahan saluran cerna bagian atas, sebagai kelanjutan dari terbentuknya erosi dan ulkus di lambung, sering ditemukan dalam keadaan ikterus obstruktif. Hal ini diduga karena penurunan kadar noradrenalin pada mukosa lambung yang menyebabkan terjadinya iskemi mukosa lambung (Harada et al. 1983). Keadaan ini diperberat karena terjadinya gangguan hemostasis yang disebabkan berkurangnya pembentukan faktor-faktor koagulasi akibat terjadinya penurunan sintesis protein di hati dalam keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan (Giannini

et al. 2005; Papadopoulos et al.2007).

(25)

nemestrina) dengan melakukan pengikatan duktus koledokus. Penulis belum pernah membaca laporan mengenai penelitian ikterus obstruktif dengan menggunakan hewan model beruk. Dipilihnya beruk sebagai hewan model pada penelitian ini atas dasar kemiripan sistem saluran cerna beruk dengan manusia. Begitu pula nutrisi yang dibutuhkan beruk tak jauh berbeda dengan yang dibutuhkan manusia (Napier dan Napier 1985; Fleagle 1996; Nishizono dan Fuioka 2005). Sejauh ini, penelitian mengenai ikterus obstruktif baru dilakukan pada hewan model lain seperti tikus, kelinci dan anjing (Dueland et al. 1991; Kocher et al. 1997).

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi akibat kerusakan mukosa lambung akut yang berkaitan dengan morbiditas beruk pada keadaan ikterus obstruktif.

2. Mendapatkan informasi mengenai kerusakan mukosa lambung akut akibat defisiensi lipid pada beruk dengan ikterus obstruktif.

3. Mendapatkan informasi proses hemostasis akibat gangguan fungsi hati yang berkaitan dengan perdarahan saluran cerna bagian atas pada beruk dengan ikterus obstruktif.

4. Mendapatkan informasi efek pemberian PUFA intravena dalam pencegahan dan pengobatan kerusakan mukosa lambung akut yang terjadi pada beruk dengan ikterus obstruktif.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi berbagai faktor yang berperan pada proses terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.

2. Memberikan informasi gangguan hemostasis pada keadaan ikterus obstruktif. 3. Memberikan informasi berbagai upaya pencegahan terhadap kerusakan

mukosa lambung akut/perdarahan saluran cerna bagian atas pada keadaan ikterus obstruktif.

Hipotesis

(26)

2. Perdarahan mukosa lambung akut pada beruk akibat pengikatan duktus

koledokus diperberat oleh terjadinya gangguan hemostasis.

3. Pemberian PUFA intravena dapat mencegah atau memperbaiki kerusakan mukosa lambung akut pada beruk dengan ikterus obstruktif.

Kerangka Pemikiran

Keadaan ikterus obstruktif pada manusia masih merupakan tantangan dalam praktik sehari-hari. Hal ini sering diikuti dengan komplikasi, diantaranya terjadinya kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus, bahkan bisa terjadi perdarahan bahkan perforasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut didasari oleh ketidakseimbangan antara faktor defensif dan faktor agresif, namun mekanisme patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif belum diketahui secara jelas. Berbagai penelitian terdahulu yang dilakukan pada hewan model tikus, kelinci dan anjing menunjukkan bahwa kerusakan mukosa lambung akut yang terjadi pada keadaan ikterus obstruktif diduga berhubungan dengan peningkatan oxidative stress

(27)

Gambar 6. Skema kerangka pemikiran Kerusakan mukosa lambung akut

- Perdarahan saluran cerna - Morbiditas dan mortalitas - Ikterus obstruktif

Mekanisme patogenesis belum sepenuhnya diketahui

Kendala pada pengobatan dan pencegahan

Penelitian menggunakan hewan model dengan pengikatan duktus koledokus

Pengobatan (Perlakuan I)

- setelah didapat perubahan yang nyata dari berbagai parameter yang diobservasi, diberikan PUFA intravena, dilanjutkan evaluasi berkala sampai ada perbaikan dari semua parameter

Pencegahan (Perlakuan II)

- diberikan PUFA intravena sejak awal penelitian diikuti dengan evaluasi berkala dari berbagai parameter yang diobservasi

Analisis makroskopik kerusakan mukosa lambung yang terjadi serta nilai laboratorium yang berhubungan dengan keadaan ikterus obstruktif

Rekomendasi untuk pengobatan dan pencegahan kerusakan mukosa lambung

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Kandung Empedu dan Traktus Biliaris

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau membran mukosa jaringan tubuh lainnya menjadi kuning, akibat peningkatan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah oleh berbagai sebab. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, biasanya terjadi jika kadar bilirubin dalam darah berkisar antara 2,0-2,5 mg/dl atau lebih. Makin tinggi kadar bilirubin dalam darah, warna kuning akan semakin nyata. Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti kuning (Talley 1996; Amirudin 2006).

Gambar 7. Anatomi kandung empedu dan traktus biliaris (Dikutip dari Amirudin2006)

(29)

dialirkan ke dalam duodenum, disimpan di dalam kandung empedu melalui duktus sistikus. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis menjadi duktus biliaris komunis (common bile

duct) atau disebut juga duktus koledokus. Dalam keadaan normal, kandung

empedu dapat menampung ± 50 ml cairan empedu (Amirudin 2006). Pada bagian distalduktus koledokus sebelum mencapai muaranya di duodenum terdapat muara duktus pankreatikus. Kedua saluran ini bermuara di duodenum melalui papilla Vateri. Pada keadaan ikterus dapat terjadi berbagai perubahan biokimiawi, fisiologi bahkan perubahan struktur jaringan hati, baik yang bersifat reversible

maupun yang irreversible. Tergantung penyebabnya, ikterus dapat diikuti dengan berbagai perubahan/kerusakan pada berbagai bagian organ tubuh lain seperti pankreas, usus, ginjal bahkan otak (Sulaiman 2006).

Hati mempunyai fungsi yang beraneka ragam yang meliputi fungsi metabolisme, fungsi sintesis, fungsi ekskresi, fungsi endokrin, fungsi imunologi dan lain-lain. Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan sebanyak ± 1 liter empedu perhari ke dalam usus halus melalui muara saluran empedu di duodenum. Empedu terdiri dari asam empedu (asam kolat, asam kenodeoksikolat, asam deoksikolat dan dalam jumlah kecil asam ursodeoksikolat), bilirubin, kolesterol, trace metal, serta metabolit obat, dengan air sebagai unsur utama (97%). Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen untuk kemudian disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme di dalam jaringan untuk menghasilkan energi dan sisanya diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam otot atau lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan. Fungsi metabolisme protein dari hati terutama menghasilkan protein plasma berupa albumin, protrombin, fibrinogen serta faktor-faktor pembekuan lainnya. Adapun fungsi metabolisme lemak dari hati terutama dalam pembentukan lipoprotein, kolesterol, fosfolipid dan asam asetoasetat (Sherlock 1993; Amirudin 2006).

(30)

berat. Asam empedu dibentuk dari kolesterol di dalam sel-sel hati (hepatosit), bersifat larut dalam air akibat konyugasi dengan glisin, taurin dan sulfat. Asam empedu berfungsi sebagai deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim-enzim pankreas serta berperan utama dalam absorpsi lemak intraluminal. Bilirubin, suatu pigmen kuning dengan sebuah struktur tetrapirol yang tidak larut dalam air, sebagian besar berasal dari sel-sel darah yang telah hancur dan sebagian lagi berasal dari katabolisme protein-protein heme lainnya (Talley 1996; Amirudin 2006).

Patofisiologi Ikterus

(31)

Bilirubin tak terkonyugasi (disebut juga bilirubin indirek) bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak, sehingga bisa melalui sawar darah otak serta dapat melewati plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi mengalami proses konyugasi dengan gula melalui enzim glukuronil transferase dan larut dalam empedu.

Pendapat yang lain menambahkan lagi proses metabolisme bilirubin dengan 2 tahap lagi yaitu tahap transpor plasma dan tahap liver uptake (Amirudin 2006).

Gambar 8. Skema metabolisme bilirubin (Dikutip dari Talley1996)

(4)

Kanalikulus empedu

Duktus biliaris

Duodenum (4)

Sel darah merah matang Hemolisis (1)

Heme (+ haptoglobin) Bilirubin tak terkonyugasi + albumin

Bilirubin tak terkonyugasi

Uptake (3)

Konyugasi (3)

Ekskresi (3)

Bilirubin tak terkonyugasi

Bilirubin terkonyugasi

Biliverdin reduktase

Glukuronil transferase (2)

(4)

(32)

Dengan memperhatikan proses metabolisme bilirubin di atas, maka ikterus dibagi atas 3 kelompok, yaitu ikterus prehepatik (ikterus hemolitik), ikterus hepatik (ikterus hepatoselular) dan ikterus kolestatik (ikterus obstruktif). Kadang-kadang terdapat overlap antara ikterus hepatoselular dengan ikterus kolestatik (Sherlock 1993; Sulaiman 2006).

Pada keadaan ini terdapat peningkatan ringan kadar bilirubin total terutama bilirubin tak terkonyugasi, namun enzim SGOT (serum glutamic

oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)

serta fosfatase alkali normal. Begitu pula fungsi hati dan ekskresi empedu normal. Keadaan ini dapat terjadi pada anemia hemolitik oleh berbagai sebab (misalnya pada keadaan autoimmune hemolytic anemia (AIHA), defisiensi enzim G6PD

(Glucose-6-phosphate dehydrogenase), thalassemia, infeksi malaria, dan

lain-lain) atau pada beberapa penyakit gangguan metabolisme bilirubin yang bersifat familial seperti Sindrom Gilbert dan Sindrom Crigler-Najjar (Sherlock 1993; Talley 1996).

Ikterus prehepatik (ikterus hemolitik)

Keadaan ini disebabkan proses inflamasi/kerusakan pada jaringan hati, misalnya pada hepatitis (karena virus, bakteri atau obat-obatan). Dalam keadaan ini, kadar bilirubin meningkat, baik bilirubin terkonyugasi maupun bilirubin tak terkonyugasi, disertai dengan peningkatan enzim transaminase. Pada keadaan ini, dapat pula terjadi kolestasis intrahepatik yang akan memperberat keadaan ikterus (Sherlock 1993; Sulaiman 2006). Tergantung penyebabnya keadaan ini bisa bermanifestasi akut maupun kronik dengan gambaran fungsi hati yang berbeda walaupun bisa memberikan gambaran sebagian fungsi hati yang hampir sama. Umumnya terdapat peningkatan enzim SGOT dan SGPT, dan pada keadaan yang kronik bisa terjadi penurunan kadar albumin sebagai manifestasi terganggunya fungsi sintesis hati (Sherlock 1993).

Ikterus hepatoseluler

(33)

keadaan ini hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin terkonyugasi dan empedu terdapat dalam urin.

Gambaran Fungsi Hati pada Ikterus Obstruktif

Ikterus Kolestatik

Pada keadaan ini terjadi sumbatan (obstruksi) total atau parsial dari aliran empedu dan komponen-komponennya dari mulai sel hati (kanalikulus) sampai ke duodenum. Untuk kepentingan klinik, ikterus kolestatik dibagi menjadi dua yaitu kolestasis intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik. Kolestasis intrahepatik bisa terjadi pada keadaan hepatitis, sirosis hati bilier primer atau pada karsinoma hati metastatik. Pada kolestasis ekstrahepatik terjadi sumbatan secara mekanis pada duktus biliaris ekstrahepatik mulai dari duktus hepatikus komunis sampai muara duktus koledokus (common bile duct) di duodenum. Keadaan ikterus kolestatik ekstrahepatik ini sering disebut sebagai ikterus obstruktif (obstructive jaundice). Ikterus obstruktif sering disebabkan oleh batu duktus koledokus, kanker kaput pankreas, tumor duktus koledokus, tumor papilla Vateri atau striktur CBD (Lu dan Kaplowitz 1995; Siddique et al. 2008; Pangestu et al. 2007). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kadar bilirubin plasma terutama bilirubin terkonyugasi.

Dalam menghadapi keadaan ikterus, harus segera dapat ditentukan bila ada ikterus prehepatik (hemolitik), ikterus hepatoselular atau ikterus obstruktif. Pemeriksaan fungsi hati yang meliputi kadar bilirubin (bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin indirek), SGOT/AST (Aspartate Aminotransferase), SGPT/ALT (Alanine Transaminase), dan fosfatase alkali dapat memberi petunjuk awal untuk membedakan ketiga kelompok ikterus di atas. Pada ikterus hemolitik yang menonjol adalah kadar bilirubin indirek lebih tinggi dibanding bilirubin direk, hal ini tidak terjadi pada ikterus obstruktif maupun ikterus hepatoselular, dengan fungsi enzimatik hati umumnya normal (Sherlock 1993; Hayat et al. 2005). Peningkatan kadar SGOT dan SGPT merupakan indikator yang sensitif untuk ikterus hepatoselular (misalnya pada hepatitis virus akut maupun kronik, hepatitis autoimun, hemokromatosis, defisiensi α1-antitripsin serta penyakit Wilson),

(34)

Seiring dengan peningkatan kadar bilirubin darah, pada keadaan ikterus obstruktif terjadi peningkatan kadar fosfatase alkali lebih dari 3 kali nilai normal, sedangkan peningkatan enzim transminase (SGOT dan SGPT) umumnya kurang dari 3 kali nilai normal. Kadar enzim gamma glutamyl transpeptidase (GGT) umumnya meningkat pada keadaan ikterus obstruktif, namun peningkatan ini bisa juga terjadi pada keadaan-keadaan lain, misalnya pada keadaan fatty liver, hepatitis akibat obat-obatan serta penyakit-penyakit non-hepatik yang lain (Giannini et al. 2005).

Keadaan ikterus obstruktif berkepanjangan dapat menimbulkan kerusakan struktur hati terutama hepatosit yang akan diikuti dengan menurunnya fungsi sintesis hati khususnya sintesis albumin. Kadar albumin plasma dapat menurun jika sudah terjadi keadaan kerusakan hati lanjut (sirosis bilier). Hal ini terjadi karena pada keadaan ikterus obstruktif lanjut akan terjadi kerusakan hati yaitu nekrosis hepatoselular, proliferasi sel-sel epitelial duktulus biliaris, aktivasi sel-sel stelat yang diikuti dengan fibrosis hati (Giannini et al. 2005; Hong et al. 2007).

Berbagai hasil penelitian telah dilaporkan mengenai mekanisme terjadinya kerusakan hati pada keadaan ikterus obstruktif. Wang et al. (2005) pada penelitiannya mengenai ikterus obstruktif dengan hewan model tikus melaporkan bahwa kerusakan hati yang terjadi pada keadaan ini, disebabkan akumulasi garam empedu di dalam sel-sel hati. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum diketahui, namun diduga hal ini disebabkan oleh karena terganggunya proses apoptosis selular oleh protein kinase C pada keadaan ikterus obstruktif. Mekanisme patogenesis lain tentang terjadinya kerusakan hati pada keadaan ikterus obstruktif dilaporkan juga oleh penelitian Hong et al. (2007) dengan hewan model tikus, yang melaporkan adanya peranan bakteri intestinal, efek dari endotoksin plasma akibat translokasi bakteri melalui mukosa usus halus, meningkatnya kadar sitokin dan kadar imunoglobulin A (IgA) serta meningkatnya

oxidative stress di dalam plasma. Mekanisme patogenesis lainnya disampaikan

oleh Cindoruk et al. (2007) yang melaporkan peranan peroxisome

proliferators-activated receptor alpha(PPARα) dalam mengurangi derajat kerusakan hati pada

(35)

fenofibrat yang merupakan PPARα agonist yang ternyata dapat meningkatkan metabolisme kolesterol, serta menekan sintesis asam empedu yang pada akhirnya akan mempengaruhi sitokin proinflamasi, apoptosis, serta kerusakan hepatoselular lebih lanjut.

Untuk mengetahui reversibilitas gangguan fungsi hati pada keadaan ikterus obstruktif, Fraser et al. (1989) melakukan penelitian dengan mengikat (ligasi) duktus koledokus pada 11 ekor anjing. Setelah 4 minggu, dilakukan dekompresi dengan melakukan anastomosis bilioenterik. Selama 2 bulan setelah dekompresi, dilakukan evaluasi berkala fungsi hati, perubahan mikroskopik dari biopsi hati serta pemeriksaan dynamic liver scintiscanning, dibandingkan dengan keadaan sebelum dilakukan dekompresi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perlu waktu yang lama (lebih dari 10 hari) untuk mengembalikan berbagai fungsi hati setelah dilakukan dekompresi.

Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Kocher et al. (1997), untuk melihat perubahan histopatologi jaringan hati pada 14 ekor anjing mongrel yang mengalami pengikatan duktus koledokus. Dari penelitian ini diketahui bahwa perubahan histopatologi jaringan hati pada ikterus obstruktif dimulai dengan proses inflamasi akut, edema, fibrosis serta akhirnya terjadi distorsi arsitektur jaringan hati yang irreversible.

Metabolisme Lemak pada Ikterus Obstruktif

Ikterus obstruktif ditandai dengan akumulasi bilirubin, asam empedu dan kolesterol intraselular akibat terhambatnya sekresi empedu, yang diikuti dengan keadaan hiperbilirubinemia dan hiperlipidemia. Asam empedu yang merupakan produk utama dari metabolisme kolesterol di dalam hati, berfungsi sebagai deterjen fisiologis yang memfasilitasi absorpsi dan transpor lemak dan vitamin yang larut dalam lemak melalui mukosa usus halus.

(36)

kolesterol dari tubuh terutama melalui ekskresi kolesterol bebas/fosfolipid dan asam empedu melalui traktus biliaris. Dengan demikian, pada ikterus obstruktif akan terjadi gangguan homeostasis kolesterol. Penelitian Dueland et al. (1991) dengan mengikat duktus koledokus tikus Sprague-Dawley menunjukkan:

1) penurunan kadar dan fungsi enzim sitokrom P-450 di hati, 2) akumulasi asam empedu di hati,

3) peningkatan aktivitas enzim kolesterol 7 α hidroksilase,

4) peningkatan aktivitas enzim HMG-CoA reduktase serta peningkatan kadar kolesterol plasma, dan

5) peningkatan ekskresi asam empedu melalui urin.

Dengan tidak adanya ekskresi cairan empedu ke dalam duodenum akibat ikterus obstruktif, akan terjadi gangguan pada absorbsi lemak enteral. Pengaruh pemberian fat emulsion enteral pada absorpsi lemak dilaporkan oleh Sato et al. (1991). Sato membagi hewan percobaannya (tikus) atas kelompok ikterus obstruktif dan non-ikterus obstruktif. Kepada kedua kelompok diberikan fat

emulsion dan unemulsifiedfat yang dilabel dengan 14C. Dengan mengukur kadar

14CO2 melalui pernafasan dapat diukur penyerapan dari lemak melalui usus halus.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa absorpsi lemak (baik emulsified fat maupun

unemulsified fat) pada kelompok ikterus obstruktif lebih rendah dibanding

kelompok non-ikterus obstruktif.

Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Mukosa Lambung

Kerusakan mukosa lambung akut dalam bentuk erosi atau ulkus merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien-pasien dengan ikterus obstruktif. Berbagai mekanisme patogenesis mengenai hal ini telah banyak dilaporkan yang meliputi faktor-faktor lokal maupun sistemik. Faktor-faktor lokal meliputi keadaan hiperasiditas lambung, berkurangnya lapisan mukus, menurunnya kadar prostaglandin mukosa serta berkurangnya aliran darah mukosa. Adapun yang termasuk faktor sistemik meliputi berkurangnya asupan lemak, faktor infeksi serta peningkatan kadar bilirubin plasma (Mizumoto 1986).

(37)

bikarbonat, prostaglandin serta sirkulasi darah mukosa lambung. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif. Apabila faktor agresif lebih kuat daripada faktor defensif maka integritas mukosa lambung terganggu diikuti dengan pembentukan erosi, ulkus bahkan tidak jarang terjadi perdarahan dan perforasi (Makmun 2005).

Secara anatomis, struktur dari saluran cerna termasuk lambung terdiri dari lapisan mukosa, submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari sel-sel epitelial yang didasari oleh lamina propria yang terdiri dari sel-sel penunjang, pembuluh darah, pembuluh limfa, serat saraf enterik dan sel-sel sistem imun yang meliputi sel mast, leukosit dan makrofag. Di bawah lamina propria terdapat lapisan muskularis mukosa yang tipis. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat padat yang mengandung serat-serta saraf enterik, pembuluh darah dan pembuluh limfa, serta di bawahnya terdapat lapisan muskularis submukosa. Bagian luar dari struktur anatomis saluran cerna adalah lapisan serosa yang terdiri dari jaringan ikat yang longgar yang ditutupi oleh sel-sel skuamosa (Atuma 2000). Dalam tiga dekade terakhir telah banyak dilakukan studi intensif mengenai mekanisme defensif dari saluran pencernaan. Pendapat terkini mengenai mekanisme defensif saluran pencernaan ini dikenal dengan the three levels of

gastrointestinal mucosal defense (Atuma 2000), yang membagi mekanisme

defensif ini menjadi 3 faktor yaitu faktor pre-epitelial, faktor epitelial dan faktor sub-epitelial (Gambar 9).

Gambar 9. The three levels of gastrointestinal mucosal defense

(38)

Faktor-faktor pre-epitelial disekresikan kedalam lumen saluran cerna, terdiri dari mukus, bikarbonat, imunoglobulin dan laktoferin. Faktor-faktor epitelial terdiri dari membran sel, jaringan ikat intraselular, membran plasma serta restitusi yang merupakan proses perbaikan secara cepat dari sel-sel mukosa yang rusak dengan cara migrasi sel-sel epitel yang normal ke tempat sel-sel epitel yang rusak. Adapun faktor-faktor sub-epitelial terdiri dari aliran darah mukosa, sistem saraf, berbagai mediator inflamasi seperti nitric oxide, berbagai eikosanoid seperti prostaglandin, leukotrien dan tromboksan serta sel-sel sistem imun seperti makrofag dan sel mast (Atuma 2000; Makmun 2005).

Lapisan mukus merupakan faktor defensif pertama dari saluran cerna mulai dari lambung sampai dengan usus besar, melindungi mukosa saluran cerna dari difusi zat-zat yang bersifat merusak, sebagai perangkap bagi mikroorganisme, berinteraksi dengan sistem imun saluran cerna serta sebagai lubrikan. Mukus merupakan senyawa yang kohesif yang terdiri dari air (merupakan bagian terbesar) dan glikoprotein. Fosfolipid merupakan unsur utama dalam pembentukan dan kekuatan lapisan mukus (Slomiany dan Slomiany 1991; Atuma 2000) (Gambar 10). Keberadaan fosfolipid dalam lapisan mukus mukosa lambung ini dapat melindungi mukosa lambung terhadap berbagai faktor agresif termasuk obat-obatan golongan anti inflamasi nonsteroid seperti golongan coxib dan aspirin (Anand et al. 1999; Lichtenberger et al. 2007).

(39)

lambung antara lain dengan merangsang sekresi mukus dan bikarbonat, mempertahankan aliran darah mukosa yang optimal, meningkatkan ketahanan sel-sel epitelial terhadap pengaruh buruk sitotoksin, serta menghambat inflitrasi leukosit pada saat terjadi proses inflamasi mukosa (Makmun 2005; Takeuchi et al. 2010).

PUFA merupakan sumber pembentukan fosfolipid dan prostaglandin, disamping sebagai sumber sebagian energi tubuh. PUFA tidak bisa disintesis dalam tubuh, sehingga satu-satunya sumber PUFA tubuh adalah diet sehari-hari. Pada keadaan ikterus obstruktif terjadi gangguan absorpsi lemak terutama asam lemak esensial, menyebabkan terganggunya absorpsi PUFA melalui usus. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi berbagai komplikasi terutama terganggunya integritas membran sel, menurunnya berbagai respon biologis tubuh, menurunnya pembentukan reseptor serta terganggunya pembentukan berbagai eikosanoid termasuk prostaglandin (Popovic et al. 2009).

Pada Gambar 11 dijelaskan tentang peranan PUFA sebagai pembentuk fosfolipid (fungsi struktural) melalui bantuan enzim fosfolipase, sebagai sumber energi melalui katabolisme oksidatif, serta PUFA sebagai sumber pembentukan prostaglandin melalui jalur asam arakhidonat. PUFA (dalam hal ini asam linoleat) akan mengalami desaturasi menjadi asam linolenat, yang kemudian mengalami elongasi menjadi asam dihomo-γ-linolenat, serta selanjutnya mengalami denaturasi menjadi asam arakhidonat. Prostaglandin dibentuk dari asam arakhidonat melalui bantuan enzim COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang dibentuk melalui jalur COX-1 berperan penting pada upaya tubuh untuk mempertahankan integritas mukosa saluran cerna, sementara itu prostaglandin yang dibentuk melalui jalur COX-2 berperan dalam timbulnya edema, demam dan rasa nyeri (Sessler dan Ntambi 1998; Makmun 2005; Coste et al. 2010; Takeuchi

(40)

Gambar 11. Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin

(Diadaptasi dari Sessler dan Ntambi 1998; Coste et al. 2010)

Peranan prostaglandin dalam mekanisme patogenesis kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif, dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Nagahata et al. (1997) serta Aslan et al. (2007). Kedua penelitian ini melaporkan terjadinya penurunan kadar prostaglandin E2 jaringan mukosa lambung yang disertai dengan penurunan aliran darah mukosa lambung pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif. Keadaan ini diikuti dengan terjadinya erosi dan ulserasi pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol.

Lauterbach et al. (1980) melakukan penelitian mengenai kerusakan mukosa lambung akut pada tikus percobaan dengan ikterus obstruktif melalui pengikatan duktus koledokus. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ulkus lambung lebih sering terjadi pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol.

Sasaki et al. (1997) melakukan penelitian pada 240 ekor tikus yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (dengan pengikatan

Cyclooxygenase Lipoxygenase

Prostaglandin Leukotrien

Desaturase D5

Asam dihomo-γ-linolenat C20:3 ω-6

Asam arakhidonat

Elongase

Asam linolenat C 18:3 ω-6

Desaturase D6

Asam linoleat 18:2 ω-6

(Fungsi Struktural) fosfolipase (Sumber Energi) Katabolisme oksidatif PUFA

Fosfolipid

(41)

duktus koledokus) dan kelompok kontrol (simple laparotomy). Dua minggu setelah operasi, dilakukan prosedur water immersion restraint stress (WIRS). Aliran darah mukosa lambung diukur dengan teknik hydrogen clearance. Dilakukan juga pengukuran kadar lipid (fosfolipid) hidroperoksida (PCOOH) dengan teknik kromatografi dikombinasi dengan teknik chemiluminescence serta kadar glutation pada mukosa lambung dan hati dengan metode Akerboom. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya ulcer index dan penurunan aliran darah mukosa lambung pada kelompok ikterus obstruktif dibanding kontrol. Begitu pula pada kelompok ikterus obstruktif didapatkan kadar glutation yang rendah pada hati serta mukosa lambung dan kadar lipid hidroperoksida yang tinggi pada mukosa lambung dibanding kontrol. Pemberian glutation intraperitoneal dapat meningkatkan kadar glutation mukosa lambung serta menurunkan ulcer index dan kadar lipid hidroperoksida mukosa lambung. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penurunan aliran darah mukosa lambung yang menyebabkan penurunan metabolisme energi dan lipid hidroperoksida mempunyai peranan penting dalam patogenesis terjadinya ulserasi gaster akut pada ikterus obstruktif.

Penelitian yang senada dilakukan oleh Ito et al. (1993) pada tikus yang dibagi atas 4 kelompok, yaitu kelompok ikterus obstruktif (pengikatan duktus koledokus), vagotomi, vagotomi dan ikterus obstruktif, dan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan:

1) pada kelompok ikterus obstruktif terdapat peningkatan ulcer index, penurunan aliran darah mukosa lambung tanpa perubahan pH intragastrik, peningkatan

oxygen radical generating system (aktivitas XOD mukosa gaster dan asam

tiobarbiturat) dan oxygen radical scavenging system dibanding kontrol;

2) pada kelompok yang mengalami vagotomi terdapat peningkatan pH intragastric dibanding kontrol, tanpa perubahan aktivitas oxygen radical

generating system dan oxygen radical scavenging system; dan

3) pada kelompok ikterus obstruktif dengan vagotomi memperlihatkan penurunan ulcer index dan peningkatan aktivitas oxygen radical generating

system dan oxygen radical scavenging system tanpa perubahan pH intragastric

(42)

Penelitian ini menyimpulkan adanya peranan oxygen radical dalam patogenesis terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif.

Hal yang sama dilaporkan juga oleh Ljubuncic et al. (2000) yang menemukan adanya penurunan kadar glutation dan peningkatan kadar peroksida lipid pada plasma, ginjal, otak dan jantung tikus yang mengalami ikterus obstruktif.

Glutation berperan dalam respon tubuh terhadap berbagai oxidative stress

pada mukosa lambung melalui pembentukan heat shock protein yang berperan sebagai pelindung sel-sel epitel. Berkurangnya kadar glutation intraselular 10%, dapat menghambat pembentukan heat shock protein tersebut yang bisa diikuti dengan kerusakan mukosa lambung akut (Terano 1998).

Mizumoto et al. (1986) melaporkan mekanisme patogenesis lain terjadinya kerusakan mukosa lambung akut pada ikterus obstruktif. Pada penelitiannya dengan tikus percobaan yang mengalami pengikatan duktus koledokus, dilakukan pengukuran kadar bilirubin plasma, pengukuran lapisan mukus mukosa lambung secara biokimia maupun histokimia. Penelitian ini melaporkan bahwa peningkatan kadar asam empedu plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya efek toksik langsung terhadap lapisan mukus mukosa lambung serta berkurangnya lapisan mukus mukosa lambung sehingga terjadi erosi dan ulserasi.

Hal yang senada dilaporkan oleh Kameyama et al. (1984) melalui penelitiannya pada anjing dengan ikterus obstruktif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kadar bilirubin plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat mendasari kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.

(43)

Pengaruh Ikterus Obstruktif terhadap Fungsi Ginjal

Penelitian pada kelinci sebagai hewan model ikterus obstruktif yang dilakukan oleh Hishida et al. (1982) memperlihatkan adanya penurunan perfusi ginjal dan peningkatan kadar aldosteron plasma pada kelompok ikterus obstruktif dibanding kontrol tanpa adanya retensi natrium. Pada kelompok ikterus obstruktif juga tidak ditemukan adanya perubahan tekanan darah maupun perubahan laju filtrasi glomerulus.

Penelitian yang berbeda dilakukan oleh Kaler et al. (2004) pada tikus percobaan berdasarkan atas asumsi bahwa ekskresi asam empedu melalui urin akan meningkat pada ikterus obstruktif, sebagai bagian dari upaya tubuh untuk mempertahankan homeostasis kolesterol. Hal ini terjadi beberapa hari setelah obstruksi bilier. Hasil penelitian ini memperlihatkan peningkatan kadar asam empedu plasma, peningkatan kadar asam empedu urin, perubahan gambaran histologi ginjal serta penurunan fungsi ginjal 3-4 hari pasca pengikatan duktus koledokus. Semua peubah ini kembali menjadi normal setelah kadar asam empedu plasma dan urin menurun. Penelitian ini menunjukkan bahwa asam empedu bersifat nefrotoksik.

Yuceyar et al. (1998) melaporkan bahwa pada ikterus obstruktif terjadi keadaan gagal ginjal akut. Dengan mengukur kadar ureum dan kreatinin plasma, kadar enzim xanthine oxidase (XOD), superoxide dismutase (SOD), catalase

dan glutathione peroxidase (GSH-Px) plasma pada tikus percobaan dengan

ikterus obstruktif dibanding dengan tikus kontrol dapat disimpulkan bahwa iskemi ginjal yang terjadi pada keadaan ikterus obstruktif disebabkan oleh karena terjadinya oxidant injury yang dapat berlanjut menjadi gagal ginjal.

(44)

Sepsis pada Ikterus Obstruktif

Obstruksi sistem bilier berkelanjutan dapat menimbulkan keadaan sepsis, serta dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya fibrosis hati dengan patogenesis yang belum sepenuhnya dimengerti. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam hal tersebut adalah peranan kemotaksis netrofil yang diduga dirangsang oleh cairan empedu sendiri yang mengandung sitokin dan endotoksin. Beberapa penelitian mengenai hal ini antara lain dilakukan oleh Shibatani et al. (2002) yang melaporkan adanya peningkatan kemotaksis netrofil pada tikus yang mengalami pengikatan duktus koledokus, dengan mengukur kadar interleukin 8 yang telah diketahui sebagai chemoattractant. Tindakan drainase bilier dapat menurunkan aktivitas netrofil, sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi sepsis.

Di sisi lain, Saito dan Maher (2000) melaporkan adanya infiltrasi netrofil pada jaringan hati dari tikus yang mengalami ikterus obstruktif, serta menemukan adanya peningkatan kadar cytokine induced neutrophil chemoattractant (CIMC) dalam darah. Hal ini menunjukkan adanya peranan netrofil dalam patogenesis terjadinya kerusakan jaringan hati pada ikterus obstruktif.

Penelitian yang sama mengenai kemotaksis netrofil pada tikus percobaan juga dilakukan oleh Tsuji et al. (1999) dengan hasil yang sama bahwa peningkatan aktivitas netrofil bertanggung jawab atas respons inflamasi pada ikterus obstruktif.

Keadaan sepsis merupakan komplikasi yang sering bersifat fatal pada ikterus obstruktif. Hal ini diduga karena adanya gangguan homeostatic

environment dari gut-liver-axis. Saluran cerna merupakan sumber dari banyak

(45)

kualitatif) pada tikus percobaan. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar endotoksin plasma serta translokasi bakteri secara bermakna pada dinding kolon dan ileum terminal. Dua tahun kemudian (1998), Clements et al. melaporkan adanya peningkatan endotoksin pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif dengan mengukur anticore glycolipid antibody (ACGA) dengan menggunakan teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hal senada dilaporkan oleh Abdeldayem et al. (2007) dan Assimakopoulos et al. (2007). Ada 4 faktor yang diduga berperan dalam fenomena ini:

1) penurunan sistem imun tubuh, 2) disfungsi barier intestinal,

3) overgrowth flora intestinal, dan

4) endotoksemia.

Peranan defisiensi arginin dalam patogenesis terjadinya penurunan sistem imun selular pada ikterus obstruktif dilaporkan oleh Houdijk et al. (1997). Dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan, penelitian ini menunjukkan adanya defisiensi arginin yang disebabkan karena peningkatan aktivitas enzim arginase plasma akibat peningkatan kadar endotoksin. Arginin adalah salah satu asam amino yang sangat berperan dalam fungsi limfosit. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa kolestiramin dapat mencegah terjadinya defisiensi arginin dengan menurunkan aktivitas enzim arginase plasma melalui pengikatan terhadap endotoksin.

Zhou et al. (1992) meneliti tentang peranan platelet activating factor

(PAF) pada patogenesis terjadinya inflamasi dan endotoksemia pada tikus yang mengalami ikterus obstruktif.

Penelitian ini menunjukkan:

1) adanya hubungan antara endotoksemia dengan peningkatan kadar PAF plasma, dan

(46)

Gangguan Hemostasis pada Ikterus Obstruktif

Sebagai bagian dari fungsi sintesis protein dari hati, berbagai faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X, XI, XII, XIII, prekalikrein), naturalanticoagulant (anti-trombin III, heparin, kofaktor II, Protein C dan Protein S) serta faktor fibrinolitik diproduksi di dalam hati. Oleh sebab itu pada penyakit hati yang berkepanjangan (karena obstruksi atau penyakit parenkim hati) akan terjadi gangguan hemostasis. Menurunnya faktor-faktor koagulasi akibat kerusakan hepatosit diperberat dengan adanya penurunan absorpsi vitamin K (yang larut dalam lemak) karena tidak adanya cairan empedu dalam usus pada keadaan ikterus obstruktif. Dalam keadaan ini terjadi penurunan sintesis faktor-faktor koagulasi yang vitamin K dependent yaitu faktor II, VII. IX, X, protein C, protein S dan anti-trombin III), yang akan memperburuk sistem koagulasi. Faktor lain yang diduga turut berperan pada gangguan hemostasis dalam keadaan ikterus obstruktif adalah adanya translokasi bakteri. Dalam keadaan ini translokasi bakteri dan endotoksin melewati barier mukosa lambung akan mencapai kelenjar getah bening mesentrium atau jaringan tubuh yang lebih jauh yang menyebabkan timbulnya respons inflamasi sistemik yang pada akhirnya akan mengganggu sistem koagulasi melalui penurunan produksi tissue factor (Clarke et al. 2006; Papadopoulos et al. 2007). Gangguan hemostasis ini pada akhirnya akan memperberat terjadinya perdarahan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan mukosa lambung akut pada keadaan ikterus obstruktif.

Hewan Model

(47)

untuk dilakukan, karena kedua hewan model ini dapat bertahan lebih lama dalam keadaan ikterus obstruktif sebelum dilakukan drainase bilier (Hishida et al. 1982; Fraser et al. 1989).

Penggunaan satwa primata dalam penelitian biomedis, khususnya ikterus obstruktif didasari atas kenyataan bahwa karakteristik fisiologi satwa primata hapir sama dengan manusia. Begitu pula anatomi tubuh khususnya saluran cerna hampir sama dengan saluran cerna manusia. Di sisi lain, pola nutrisi yang dibutuhkan satwa primata umumnya tak jauh berbeda dengan yang dibutuhkan manusia (Napier dan Napier 1985, Fleagle 1996; Nishizono dan Fuioka 2005). Keuntungan lain dari penggunaan satwa primata pada penelitian ini, bahwa hewan ini mudah diperoleh di negara kita (tidak harus diimpor dari luar negeri), mudah

di handle (dikelola) dengan fasilitas yang kita sediakan, serta jumlah hewan

(48)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 sampai dengan Mei 2010 di Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut Pertanian Bogor setelah mendapatkan persetujuan dari Animal Care and Use Committee (ACUC) nomor P.10-08-IR tanggal 20 Oktober 2008. Sebagian pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan kadar peroksida lipid dan glutation jaringan mukosa lambung dilakukan di laboratorium Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Materi

Hewan Model

Penelitian ini menggunakan delapan ekor beruk (Macaca nemestrina) jantan dewasa, berumur antara 4-6 tahun dengan bobot badan 5,5-7,5 kg (dengan rerata 6,625±0,83 kg), yang berasal dari penangkaran PT. Wanara Satwa Loka. Hewan model tersebut menjalani masa adaptasi dan dipelihara dalam kandang individu. Pakan yang disediakan adalah monkey chow (dengan kandungan protein, lemak, mineral, serat, karbohidrat, kalsium dan fosfat) serta buah-buahan, sedangkan air minum disediakan secukupnya.

Bahan dan Alat-alat Penelitian

Untuk keperluan penelitian diperlukan berbagai peralatan sebagai berikut ini:

1. Peralatan laboratorium dan bahan reagen yang dipergunakan untuk pemeriksaan biokimia darah yang meliputi pemeriksaan protein total (Ptot)/albumin (Alb)/globulin (Glob), bilirubin total (BT)/bilirubin direk (BD)/bilirubin indirek (BI), serum glutamic oxaloacetic transaminase

(49)

2. Endoskopi saluran cerna merek Olympus tipe Excera 160 beserta asesorinya yang terdiri dari light source, video monitor, printer, suction pump dan forsep biopsi.

3. Satu set peralatan bedah laparotomi lengkap dengan operating lamp, infusion

pump, pulse oxymeter, dan obat-obat anastesi yang terdiri dari ketamin dan

propofol, serta obat analgetik fentanil transdermal.

4. Cairan ivelip 20% yang merupakan cairan lipid esensial sebagai sumber PUFA. Komposisi ivelip terdiri dari soybean oil, egg lecithins, gliserol dan natrium oleat. Kandungan PUFA di dalam cairan ivelip 20% adalah asam linoleat (54%) dan asam linolenat (8%), serta sisanya berupa mono-unsaturated fatty

acids (MUFA) yaitu asam oleat (26%) dan saturated fatty acids berupa asam

palmitat (9%) dan asam stearat (3%) (Consumer medicine information 2002).

Metode

Adaptasi

Hewan model dikondisikan dengan makanan standar serta air minum yang selalu tersedia di dalam kandang individu. Setelah masa adaptasi dua minggu, dilakukan pemeriksaan sampel darah perifer untuk pemeriksaan biokimiawi dan dilakukan evaluasi makroskopik mukosa lambung dengan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas sekaligus mengambil sampel biopsi mukosa lambung untuk pemeriksaan peroksida lipid dan glutation. Selanjutnya hewan model dikelompokkan menjadi 2 kelompok secara acak, masing-masing terdiri dari 4 ekor.

Pemeriksaan Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA) dilakukan dengan memasukan (insersi) alat gastroskop melalui mulut, esofagus, lambung sampai dengan duodenum, setelah beruk disuntik obat anestesi ketamin intramuskular dengan dosis 10-30 mg/kg bobot badan dan propofol secara intravena dengan dosis inisiasi 2,5-10 mg/kg bobot badan yang dilanjutkan dengan dosis

maintenance 0,3-0,6 mg/kg bobot badan/menit. Selama tindakan endoskopi,

(50)

alat forsep biopsi. Dilakukan pemotretan gambar mukosa lambung untuk selanjutnya dicetak sebagai dokumentasi. Pemeriksaan endoskopi SCBA ini diulang setiap 2 minggu sampai 8 minggu dengan prosedur pemeriksaan yang sama.

Ligasi Duktus Koledokus

Setelah menjalani pemeriksaan endoskopi SCBA yang pertama dilanjutkan dengan tindakan bedah laparotomi dengan anestesi yang sama yaitu ketamin intramuskular dengan dosis 10-30 mg/kg bobot badan dan propofol secara intravena dengan dosis inisiasi 2,5-10 mg/kg bobot badan yang dilanjutkan dengan dosis maintenance 0,3-0,6 mg/kg bobot badan/menit. Dilakukan bedah laparotomi melalui linea mediana dinding perut lapis demi lapis sampai ke dalam rongga peritoneum. Setelah duktus koledokus diidentifikasi, dilakukan ligasi duktus koledokus dengan lokasi distal dari duktus sistikus namun proksimal dari duktus pankreatikus dengan menggunakan benang sutra. Dilakukan ligasi pada dua titik dengan jarak kira-kira 1 cm, setelah itu dilakukan pemotongan di antara kedua ikatan. Setelah diyakini tidak ada perdarahan, dilakukan penutupan dinding perut lapis demi lapis. Tindakan bedah laparotomi ini dilakukan oleh sejawat dokter hewan yang ahli dibidangnya dibantu oleh anggota tim yang lain.

Perlakuan

Kelompok I merupakan kelompok model ligasi duktus koledokus yang diberi PUFA 4 minggu sesudah dilakukan ligasi duktus koledokus. Setelah dilakukan pembiusan, dilanjutkan dengan pengambilan sampel darah sebanyak ± 25 ml dari pembuluh darah vena iliaka untuk pemeriksaan biokimiawi yang meliputi Ptot, Alb, Glob, BT, BD, BI, SGOT, SGPT, ALP, GGT, CHE, KT, TG

dan prothrombine time. Kemudian dilakukan pemeriksaan endoskopi SCBA

(51)

Pemeriksaan biokimiawi fungsi hati dan profil lemak darah (Ptot, Alb, Glob, BT, BD, BI, SGOT, SGPT, ALP, GGT, CHE, KT, TG) dilakukan dengan menggunakan teknik spektrofotometri, sedangkan pemeriksaan prothrombine time

menggunakan teknik foto optikal. Pemeriksaan kadar peroksida lipid mukosa lambung (dalam hal ini dilakukan dengan memeriksa kadar

malondialdehyde/MDA yang merupakan produk akhir dari peroksida lipid) dan

pemeriksaan kadar glutation mukosa lambung dilakukan dengan menggunakan teknik spektrofotometri. Selain dilakukan pengamatan harian terhadap hewan model, dilakukan pengamatan berkala setiap 2 minggu yang meliputi pemeriksaan bobot badan dan endoskopi SCBA untuk pengamatan makroskopik mukosa lambung dan pengambilan sampel biopsi di korpus dan di antrum untuk pemeriksaan peroksida lipid dan glutation serta pemeriksaan laboratorium biokimiawi darah. Setelah pengamatan berkala yang kedua (4 minggu pasca ligasi duktus koledokus) diberikan PUFA intravena 2 g/hari setiap hari. Pengamatan berkala setiap 2 minggu dilanjutkan sampai 8 minggu pasca ligasi duktus koledokus. Selanjutnya dilakukan eutanasia pada semua hewan model.

Gambar

Gambar 8. Skema metabolisme bilirubin
Gambar 11. Jalur metabolisme PUFA menjadi fosfolipid dan prostaglandin (Diadaptasi dari Sessler dan Ntambi 1998; Coste et al
Tabel 1. Rerata (x) dan koefisien keragaman (KK) hasil pemeriksaan biokimiawi fungsi hati secara umum
Gambar 15. Perubahan rerata SGOT
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan temuan hasil penelitian ini, membuktikan bahwa pembelajaran program aplikasi photoshop dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan keterampilan editing

Untuk mengetahui Hubungan antara Pola Asuh orang tua Demokratis dengan Kemandirian Anak di Dusun Ketapang Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Tahun 2016.. Pertanyaan

Berdasarkan dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa, (1) Faktor yang mempengaruhi terjadinya seksio sesarea faktor ibu yaitu sebesar 66,5% dan faktor dari janin

Dalam tahap ini dapat dilihat proses Keterampilan membuat wajit ketan berjalan dengan lancar dan menghasilkan produk yang sangat di gemari oleh orang banyak, dan dari ketujuh

Ada banyak kesalahan yang dilakukan kelompok-kelompok Mesianik Hebraik modern yang rindu kembali kepada Akar Ibrani dan Rasuliah, tetapi mereka semua adalah non-Imam yang tak

Composite is prepared by dissolving polystyrene (10% weight by matrix) in chloroform first with the ratio of 1:4 (w/w) and then mixed with mixture consists of epoxy resin pre-mixed

Prioritas dipimpin oleh Agency Manager (AM). Kantor Cabang Asuransi Jiwa Perorangan, Kantor Cabang Asuransi. Jiwa Kumpulan, dan Kantor Cabang Asuransi