16
LAPORAN AKHIR
HIBAH BERSAING
PENYUSUNAN INDIKATOR DAN PEMETAAN KANTONG KEMISKINAN
DI KABUPATEN KULON PROGO
DAERAH ISTIMEWA JOGJAKARTA
Dr. Nano Prawoto, SE., M.Si.
Agus Tri Basuki, SE.,MSi.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
November, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
17 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemiskinan pada dasarnya merupakan indikator klasik yang hingga saat ini
menjadi momok bagi negara dunia ketiga. Millenium Development Goals (MDGs) yang
dideklarasikan oleh PBB pada tahun 2000 mengharapkan seluruh negara yang menjadi
anggota PBB dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di masing-masing negara
hingga mencapai 50 persen pada tahun 2015.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang
(13,33 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang
berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang 1,51 juta
jiwa. Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun lebih besar daripada daerah
perdesaan. Selama periode Maret 2009-Maret 2010, penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,81 juta orang, sementara di daerah perdesaan berkurang 0,69
juta orang (Tabel 2). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan
perdesaan tidak banyak berubah dari Maret 2009 ke Maret 2010. Pada Maret 2009,
sebagian besar (63,38 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan begitu
juga pada Maret 2010, yaitu sebesar 64,23 persen.
Rangkaian perubahan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik di Indonesia
telah membentuk kekhasan karakter kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu,
sangatlah penting dipertimbangkan faktor-faktor penyebab kemiskinan sebagai landasan
awal dalam penanganan permasalahan kemiskinan. Berdasarkan survei SMERU pada
tahun 2004, yang digali menurut orang miskin itu sendiri, faktor-faktor penyebab
kemiskinan antara lain :
1. Ketidakberdayaan yaitu kelompok faktor yang berada di luar kendali masyarakat
miskin seperti ketersediaan lapangan kerja, tingkat harga, keamanan, peraturan
pemerintah.
2. Keterkucilan yaitu berkaitan dengan hambatan fisik dan non fisik dalam mengakses
kesempatan meningkatkan kesejahteraan seperti lokasi yang terpencil, buruknya
prasarana transportasi, kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, irigasi,
dan air bersih.
3. Kekurangan materi yaitu penyebab kemiskinan yang dominan, seperti tidak memiliki
18
4. Kelemahan fisik yaitu kondisi kesehatan, kemampuan bekerja, kurang makan dan
gizi, masalah sanitasi.
5. Kerentanan yaitu mencerminkan ketidakstabilan atau guncangan yang dapat
menyebabkan turunnya tingkat kesejahteraan, sebagai contoh adalah Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), pekerjaan tidak tetap, bencana alam, dan berbagai musibah
lainnya.
6. Sikap atau perilaku yaitu yang merupakan tanggung jawab orang miskin itu sendiri
(namun tidak sepenuhnya), misalnya kurangnya upaya untuk bekerja, malas, tidak
bisa mengatur uang, boros, berjudi, dan mabuk.
Hingga sekarang persoalan kemiskinan menjadi isu yang tidak pernah habis,
apalagi yang berkaitan dengan kesuksesan kepemimpinan sebuah pemerintah daerah,
topik kemiskinan seakan tidak lekang ditelan masa. Kepemimpinan pemerintah daerah
akan dinilai berhasil apabila dapat menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan
masyarakat banyak secara merata.
Kemiskinan memberikan dampak negatif ke semua sektor, meningkatkan
penganguran, kriminalitas, menjadi pemicu timbulnya bencana sosial, dan akan
menghambat kemajuan suatu daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian yang
mendalam yang dapat memberikan gambaran solusi yang aplikatif bagi penanganan
atau pengentasannya.
Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Daerah
Istimewa Jogjakarta masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan ini. Kajian yang
paling mendesak agar program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan efektif,
maka diperlukan pemetaan tentang kemiskinan di berbagai kecamatan. Dengan
diketahuinya kantong-kantong kemiskinan tersebut diharapkan dapat disusun kebijakan
dan program penanggulangan kemiskinan yang pro poor.
1.2. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan data dan informasi yang akurat dan menunjukkan fakta yang
sebenarnya terjadi saat ini tentang kondisi warga miskin di Kabupaten Kulon Progo,
yang diperoleh secara langsung dari sumber utamanya.
2. Mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan berbasis kecamatan di Kabupaten
19 3. Merumuskan strategi umum untuk menanggulangi kemiskinan berdasarkan pada
tingkatan kemiskinan yang ada di kecamatan.
1.3. URGENSI PENELITIAN
Hampir semua pendekatan dalam mengkaji kemiskinan masih berporos pada
paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) yang kajiannya didasari oleh
teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital, dan the production-centred model yang
berporos pada pendekatan ekonomi neo-klasik ortodok (orthodox neoclassical
economics) (Elson, 1997; Suharto, 2001; 2002a;2002b). Sejak ahli ekonomi
“menemukan” pendapatan nasional (GNP) sebagai indikator dalam mengukur tingkat kemakmuran negara pada tahun 1950-an, hingga kini hampir semua ilmu sosial selalu
merujuk pada pendekatan tersebut manakala berbicara masalah kemajuan suatu
negara.
Pengukuran kemiskinan yang berpijak pada perspektif “kemiskinan pendapatan”
(income poverty) – yang menggunakan pendapatan sebagai satu-satunya indikator
“garis kemiskinan” – juga merupakan bukti dari masih kuatnya dominasi model ekonomi neo-klasik di atas. Karena indikator GNP dan pendapatan memiliki kelemahan dalam
memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu entitas sosial, sejak tahun 1970-an
telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif. Dintaranya adalah kombinasi garis
kemiskinan dan distribusi pendapatan yang dikembangkan Sen (1973); Social
Accounting Matrix (SAM) oleh Pyatt dan Round (1977); Physical Quality of Life Index
(PQLI) yang dikembangkan Morris (1977) (lihat Suharto, 1998).
Pada tahun 1990-an, salah satu lembaga dunia, yakni UNDP, memperkenalkan pendekatan “pembangunan manusia” (human development) dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index
(HPI). Pendekatan yang digunakan UNDP relatif lebih komprehensif dan mencakup
faktor ekonomi, sosial dan budaya si miskin. Sebagaimana dikaji oleh Suharto
(2002a:61-62), pendekatan yang digunakan UNDP berporos pada ide-ide heterodox dari
paradigma popular development yang memadukan model kebutuhan dasar (basic needs
model) yang dikembangkan oleh Paul Streeten dan konsep kapabilitas (capability) yang
dikembangkan oleh Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen.
Namun demikian, bila dicermati, baik pendekatan modernisasi yang dipelopori oleh para
20 belakangan ini, keduanya masih melihat kemiskinan sebagai individual poverty dan
bukan structural and social poverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakannya terpusat untuk meneliti “kondisi” atau “keadaan” kemiskinan berdasarkan variabel-variabel sosial-ekonomi yang dominan. Kedua perspektif tersebut masih belum
menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. Metodanya masih berfokus pada “outcomes” dan kurang memperhatikan aspek aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya. Suharto (2002a) menunjukkan
bahwa:
Kini, setelah pendekatan-pendekatan di atas dianggap belum memenuhi
harapan dalam mengkaji dan menangani kemiskinan, perspektif kemiskinan yang
bersifat multidimensional dan dinamis muncul sebagai satu isu sentral dalam prioritas
pembangunan. Munculnya isu ini tidak saja telah melahirkan perubahan pada fokus
pengkajian kemiskinan, terutama yang menyangkut kerangka konseptual dan
metodologi pengukuran kemiskinan, melainkan pula telah melahirkan tantangan bagi
para pembuat kebijakan untuk merekonsktruksi keefektifan program-program
pengentasan kemiskinan.
Kesadaran akan pentingnya penanganan kemiskinan lokal yang berkelanjutan
yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh orang yang
bersangkutan semakin mengemuka. Pendekatan ini lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang dimiliki oleh orang miskin” ketimbang “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang miskin adalah
manajer seperangkat asset yang ada diseputar diri dan lingkungannya. Sebagaimana
ditunjukkan oleh studi Suharto (2002a:69):
Keadaan di atas terutama terjadi pada orang miskin yang hidup di negara yang
tidak menerapkan sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang dapat melindungi
dan menjamin kehidupan dasar warganya terhadap kondisi-kondisi yang memburuk
yang tidak mampu ditangani oleh dirinya sendiri. Kelangsungan hidup individu dalam
situasi ini seringkali tergantung pada keluarga yang secara bersama-sama dengan
jaringan sosial membantu para anggotanya dengan pemberian bantuan keuangan,
21 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan
komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang
lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan : “Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang,
pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah
terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk
dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar
tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu,
hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah
terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan
yang layak sebagai warga negara. Dalam masyarakat modern, kemisikinan biasanya
disamakan dengan masalah kekurangan uang.
Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi tiga pengertian, yaitu :
22 Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis
kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
2. Kemiskinan cultural.
Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok
masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya
sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
3. Kemiskinan absolut.
Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuha dasar. Mereka hidup dibawah
tingkat pendapatan minimum atau dibawah garis kemiskinan internasional.
Menurut Ginanjar (1997), kemiskinan absolut :
“Kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan”
Di dalam suatu negara, pastilah terdapat tantangan besar di dalam kehidupan
bermasyarakat. Salah satu tantangan tersebut adalah kemiskinan. Di Indonesia sendiri,
terdapat begitu banyak masyarakat yang terjerat dalam kemiskinan. Hal ini tentu saja tidak di
inginkan oleh masyarakat Indonesia. Semua akibat tentunya terdapat sebabnya. Seperti
kemiskinan ini, tidak terjadi begitu saja. Namun, hal ini terjadi mungkin dikarenakan faktor-faktor
dalam masyarakat itu sendiri. Kemiskinan sendiri mempunyai arti suatu keadaan di mana
seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup.
Dari pengertian tersebut, dapat kita analisis sebab atau faktor-faktor yang menjadi
penyebab kemiskinan tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kemiskinan antara lain :
a. Tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah.
b. Cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif.
c. Apatis dan anti hal-hal baru.
d. Mentalitas dan etos kerja yang kurang baik.
e. Keadaan alam yang kurang mendukung.
f. Keterisoliran secara geografis dari pusat.
g. Tiadanya potensi atau produk andalan.
23 Dan di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah Kuraiyyim.
Yang antara lain adalah:
a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-kapita bergerak
seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem. Jikalau produktivitas
berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya,
seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan
pendapatan per-kapita :
a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
b) Politik ekonomi yang tidak sehat.
c) Faktor-faktor luar neger, diantaranya:
a) Rusaknya syarat-syarat perdagangan
b) Beban hutang
c) Kurangnya bantuan luar negeri, dan
d) Perang
d) Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang merata.
Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan keamanan
untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber pemasukan
warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak negara.
Kemisikinan boleh berlaku atas kekurangan individu dan juga atas masalah sosio-ekonomi
dalam sebuah masyarakat. Sehubungan dengan itu, sebab kemisikinan dapat dilihat dari dua
dimensi yaitu :
1. Dimensi individu
Kekurangan individu yang tertentu dapat mencetuskan kemiskinan. Kelemahan individu ini
biasanya kelemahan yang setara dan dapat menyebabkan seseorang itu miskin, walaupun
dia berada dalam suatu masyarakat yang penuh dengan peluang rezeki. Kelemahan individu
ini adalah seperti berikut:
24 Tabiat berjudi adalah satu amalan yang menyebabkan seseorang itu miskin. Mereka
yang kecanduan untuk berjudi, akan banyak kehilangan harta dalam aktivitas berjudinya
dan mereka seringnya hilang tumpuan dalam pekerjaan kerana kalah dalam perjudian.
b. Sakit Badan
c. Masalah Personaliti
Pada umumnya, personaliti bermasalah yang menyebabkan kemisikinan ialah sikap
malas. Sikap malas itu dicerminkan dalam tingkah laku seperti suka berkhayal, suka beromong kosong, dan juga “elak kerja”. Orang yang malas adalah kekurangan produktivitasnya dan mereka akan hilang banyak peluang untuk mencari rezeki.
2. Dimensi masyarakat
Dari dimensi ini, kemisikinan merupakan sesuatu yang terhasil dari masalah sosio-ekonomi.
Wujudnya didalam suatu masyarakat dan bukan sesuatu yang diakibatkan oleh kelemahan
individu itu sendiri. Sebab kemisikinan yang berhubung dengan masalah masyarakat adalah
seperti berikut:
a. Konflik
Konflik seperti peperangan, kerusuhan dan sebagainya akan menyebabkan
kegiatan ekonomi terbunuh dan ia juga membinasakan infrastruktur yang penting untuk
menjaga kekayaan. Semua ini akan menyebabkan kemisikinan yang berlarut-larut.
b. Ketidakadilan Sosial
Menurut teori Marxisme, dalam masyarakat yang mengamalkan ekonomi
pasaran bebas, kemisikinan adalah :
“Sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam masyarakat ini, harta cenderung untuk bertumpu kepada golongan yang terkaya, manakala orang yang miskin cenderung
menjadi lebih miskin. Ini adalah karena dalam pasar bebas, komoditi itu dijualkan
kepada mereka yang mampu menawarkan harga yang lebih tinggi. Prinsip ini
menyebabkan faktor pengeluargan seperti tanah, cenderung dimiliki oleh golongan
terkaya, kerana mereka mempunyai kekuasaan pembelian yang lebih tinggi. Pemilikikan
faktor pengeluaran ini akan menyebabkan orang terkaya ini menjadi lebih kaya, dan
mereka akan membeli lebih banyak faktor pengeluaran di pasa bebas. Proses ini akan
berterusan, sehingga golongan terkaya ini memonopoli segala faktor pengeluaran, dan
25 Semua negara yang telah mencoba mengikuti teori Karl Marx gagal mengurangi
kemiskinan. Kini hampir semua ahli ekonomi dan ahli sejarah ekonomi menggunakan
teori ekonomi bebas untuk mengurangi kemiskinan.
2.2. Ukuran Kemiskinan
Ada dua macam ukuran kemiskinan yang umum dan dikenal antara lain :
1. Kemiskinan Absolut
Konsep kemiskinan pada umumnya selalu dikaitkan dengan pendapatan dan
kebutuhan, kebutuhan tersebut hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau kebutuhan
dasar ( basic need ).
Kemiskinan dapat digolongkan dua bagian yaitu :
a. Kemiskinan untuk memenuhi bebutuhan dasar.
b. Kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
2. Kemiskinan Relatif
Menurut Kincaid ( 1975 ) semakin besar ketimpang antara tingkat hidup orang kaya dan
miskin maka semakin besar jumlah penduduk yang selalu miskin.Sehingga Bank Dunia
(world bank ) membagi aspek tersebut dalam tiga bagian antara lain :
a. Jika 40 % jumlah penduduk berpendapat rendah menerima kurang dari 12 %
pendapatan nasionalnya maka pembagian pembangunan sangat timpang.
b. Apabila 40 % lapisan penduduk berpendapatan rendah menikmati antara 12 – 17 % pendapatan nasional dianggap sedang.
c. Jika 40 % dari penduduk berpendapatan menengah menikmati lebih dari 17 %
pendapatan nasional maka dianggap rendah.
2.3. Kebijakan Dalam Mengurangi Kemiskinan
1. Pembangunan Sektor Petanian
Sektor pertanian memiliki peranan penting di dalam pembangunan karena sector
tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan masayrakat di
pedesaan berarti akan mengurangi jumlah masyarakat miskin. Terutama sekali teknologi
disektor pertanian dan infrastruktur.
26 Sumberdaya manusia merupakan investasi insani yang memerlukan biaya yang
cukup besar, diperlukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan
masyrakat secara umum, maka dari itu peningkatan lembaga pendidikan, kesehatan
dan gizi merupakan langka yang baik untuk diterapkan oleh pemerintah.
3. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
Mengingat LSM memiliki fleksibilitas yang baik dilingkungan masyarakat
sehingga mampu memahami komunitas masyarakat dalam menerapkan rancangan dan
program pengentasan kemiskinan.
2.4. Masalah Dualisme 2.4.1. Konsep Dualisme
Konsep dualisme mempunyai 4 unsur pokok, yaitu :
1. Dua keadaan bersifat superior dan keadaan bersifat inferior yang bisa hidup
berdampingan pada ruang dan waktu yang sama.
2. Kenyataan hidup berdampingannya dua keadaan yang berbeda bersifat kronis dan
bukan tradisional.
3. Derajat superioritas dan inferioritas tidak menunjukkan kecenderungan yang menurut,
bahkan terus meningkat.
2.4.2. Dualisme tersebut dapat dibedakan antara lain :
1. Dualisme sosial
Penemuan seorang ekonom Belanda JH. Boeke, tentang sebab – sebab kegagalan dari kebijaksanaan dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat.
2. Dualisme Ekologis
Clifford Geertz tahun 1963 mengenalkan konsep ini, menggambarkan pola – pola sosial dan ekonomi yang membentuk keseimbangan internal.
3. Dualisme Teknologi
Benjamin Higgins ( 1956 ) mempertayakan kesahihan dan observasi yang lebih khusus
27 Higgins menemukan bahwa asal mula dualisme adalah perbedaan teknologi antara
sektor modern dan sector tradisional.
4. Dualisme Finansial
Hla Myint ( 1967 ) meneruskan studi Higgins tentang peranan pasar modal dalam
proses terjadinya dualisme. Pengertian dualisme financial menunjukkan bahwa pasar
uang dapat dipisahkan ke dalam 2 kelompok yaitu pasar uang yang terorganisir dengan
baik (organized money market) dan pasar uang yang tidak terorganisir ( unorganized
money market ).
5. Dualisme Regional
Dualisme Regional ada dua jenis yaitu :
a. Dualisme antar daerah perkotaan dan pedesaan.
b. Dualisme antar pusat negara, pusat industri dan perdangangan dengan
daerah-daerah lainnya dalam negara tersebut.
2.4.3. Pengaruh Dualisme Terhadap Pembangunan.
1. Mekanisme pasar tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
2. Sumberdaya yang tidak digunakan secara efesien.
3. Mempersulit proses perkembangan kesempatan kerja.
4. Menambah kerumitan masalah pengangguran.
2.4.4. Masalah Kependudukan dan Ketenega kerjaan Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dimaksud adalah masalah pertumbuhan jumlah penduduk yang
sangat tinggi dan biasanya menimbulkan masalah antara lain :
a. Struktur usia muda.
b. Jumlah pengangguran yang semakin serius.
c. Urbanisasi.
Strutur Usia Muda dan Penyebaran Penduduk
Ada 3 ciri pokok yang menandai perkembangan dan permasalahan kependudukan di
Indonesia antara lain :
28 b. Penyebaran penduduk antara daerah yang tidak seimbang.
c. Kualitas kehidupan penduduk yang perlu ditingkatkan.
A.3.5. Teori Perangkap Kemiskinan dari Malthus
Ada tiga kritik utama terhadap teori Malthus dan Neo Malthusian, yaitu :
1. Teori itu tidak memperhitungkan peranan dan dampak dari kemajuan teknologi.
2. Teori itu didasarkan pada suatu hipotesa tentang hubungan secara makro antara
pertumbuhan penduduk dan tingkat pendapatan perkapita.
3. Teori itu merupakan perhatian kepada variabel yang keliru yaitu pendapatan perkapita
sebagai faktor penentu utama tingkat pertumbuhan penduduk
2.5. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemiskinan baik secara langsung maupun
tidak langsung :
1. Tingkat kemiskinan cukup banyak.
2. Mulai dari tingkat dan laju pertumbuhan output ( produktivitas tenaga kerja ).
3. Tingkat inflasi.
4. Tinggat Infestasi.
5. Alokasi serta kualitas sumber daya alam.
6. Tingkat dan jenis pendidikan.
7. Etos kerja dan motivasi pekerja.
Sektor pertanian merupakan pusat kemiskinan di Indonesia ada tiga factor penyebab
utama antara lain :
1. Tingkat produktivitas yang rendah disebabkan oleh jumlah pekerja disektor tersebut
terlalu banyak, sedangkan tanah, kapital, dan teknologi terbatas serta tingkat pendidikan
petani yang rata-ratanya sangat rendah.
2. Daya saing petani atau dasar tukar domistik ( term of trade ) komoditi pertanian terhadap
out put industri semakin lemah.
3. Tingkat diversifikasi usaha disektor pertanian ke jenis-jenis komoditi nonfood yang
memiliki prospek pasar ( terrutama ekspor ) dan harga yang lebih baik masih sangat
terbatas.
29 Langkah berikut adalah mencari solusi yang relevan untuk memecahkan problem itu
(strategi mengentaskan kelompok miskin dari lembah kemiskinan ).
1. Konsep Kemiskinan
Paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan antara lain :
a. Kemiskinan absolut.
b. Kemiskinan relatif.
c. Kemiskinan subyektif.
2. Dimensi Kemiskinan
Sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan untuk mendekati masalah
kemiskinan antara lain :
a. Perspektif kultural ( cultural perspective ).
b. Perspektif struktural atau situasional ( situational perspective ).
Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis :
a. Individual.
b. Keluarga.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan pekerjaan menggunakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
menjelaskan dan menyajikan suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu
obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang.menghimpun data dan menyajikannya. Pendekatan pelaksanaan pekerjaan
menggunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dilaksanakan untuk merumuskan indikator rawan pangan yang
relevan dengan wilayah yang dikaji. Pendekatan kualitatif digunakan sebagai pembanding
dan memperjelas data kuantitatif yang ada dengan memakai strategi studi kasus. Strategi
studi kasus dipilih karena kekhasan masalah, selain kemampuannya dalam menjelaskan
fenomena sosial secara lebih mendalam (Cresswel, 1994; Babie 2004 dalam Sitorus,1999).
3.1. Lokasi dan Waktu kegiatan
Lokasi pelaksanaan pekerjaan adalah di seluruh kecamatan yang ada di
Kabupaten Ku;on Progo. Waktu pelaksanaan kegiatan dilaksanakan selama 2 tahun.
3.2. Data Penunjang
Dilihat dari sumbernya, data dasar yang digunakan dalam Studi ini ada dua jenis
yaitu data sekunder dan data primer.
1. Data Skunder
Data ini merupakan data yang telah dikumpulkan dan sajikan oleh pihak lain.
Adapun data sekunder yang akan digunakan dalam studi ini adalah data time series
lima tahun terakhir.
a. Data sosial ekonomi penduduk menurut kecamatan di seluruh kabupaten:
Jumlah penduduk/kepala keluarga miskin (keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I)
b. Data pendukung lainnya.
Data-data sekunder yang disebutkan dimuka dikumpulkan dari berbagai sumber
resmi, yaitu:
1) BPS,
31 3) Dinas Pertanian,
4) BKKBN
5) Dinas Kesehatan
2. Data Primer
Data ini merupakan data yang diperoleh langsung dari obyek studi. Adapun data
primer yang digunakan dalam studi ini diantaranya meliputi: kondisi visual lapangan,
informasi masyarakat langsung, pendapat dan pandangan dari pemerintah daerah
3.3. Indikakator Kemiskinan
Untuk melakukan identifikasi kemiskinan di suatu daerah dilakukan dengan
menetapkani indikator kemiskinan terlebih dahulu. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
memudahkan penelompokan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sesuai dengan
kelengkapan data dan permasalahan yang ada agar apa yang menjadi maksud, tujuan serta
sasaran penyusunan dokumen dan validasi data penduduk miskin dapat diwujudkan.
Kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo terjadi disebabkan berbagai hal, terutama adanya
ketimpangan atau kesalahan dalam tatanan sistem ekonomi-sosial sehingga masyarakat
tidak dapat mengakses sumber–sumber pendapatan yang tersedia sehingga tidak dapat meningkatkan taraf kesejahteraan (man made poverty). Kemiskinan ini dapat terjadi karena
kesalahan dalam kebijakan dan strategi pembangunan serta pilihan kebijakan makro yang
tidak tepat.
Kemiskinan seperti terjadi di Kabupaten Kulon Progo ini terjadi terutama disebabkan
rendahnya kualitas SDM dan SDA sehingga masyarakat tidak dapat berproduksi dengan
optimal. Pada kondisi ini unit-unit produksi tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga
tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik dari aspek sosial ekonomi
maupun aspek lingkungan. Kata kunci dari pola kemiskinan ini adlaah ketidakberdayaan
masyarakat sbeagai subyk pembangunan. Pada gambar 1 berikut dijelaskan pola dua
macam kemiskinan.
3.3.1. Karakteristik Rumah Tangga Miskin
Hasil pendataan BPS pada tahun 2010 menunjukkan sebagian besar dari
rumahtangga miskin mempunyai 4,9 anggota rumahtangga. Jumlah rata rata anggota
32 Ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar
dibanding rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di daerah perkotaan rata rata
mempunyai 5,1 anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga miskin di daerah
perdesaan rata rata mempunyai 4,8 anggota rumahtangga. Dari angka ini dapat diketahui
bahwa beban rumahtangga miskin di daerah perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup
ternyata lebih besar daripada rumahtangga miskin di daerah perdesaan.
Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan kepala
rumahtangga yang rendah. Data yang disajikan BPS memperlihatkan bahwa 72,01% dari
rumahtangga miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD,
dan 24,32% dipimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan
yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Sekitar 57,02%
rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD,
dan 31,38% dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan SD. Ciri ini menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan kepala rumahtangga miskin di perkotaan lebih tinggi dibanding
kepala rumahtangga di perdesaan. Ciri rumah tangga miskin yang erat kaitannya dengan
tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Menurut
data BPS, penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari kegiatan
pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa termasuk
perdagangan, bangunan dan pengangkutan, dan selebihnya merupakan penerima
pendapatan. Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak
mengalami pergeseran.
Dengan membedakan menurut daerah dapat dicatat bahwa sebagian besar atau
sekitar 75,7% rumahtangga miskin di perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan
di sektor pertanian. Lebih dari 75% rumahtangga miskin di perkotaan memperoleh
penghasilan utama dari kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian dan hanya 24,0%
rumahtangga miskin mengandalkan pada sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak
rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Kegiatan ekono
mi perkotaan yang lebih beragam memberikan sumber penghasilan yang beragam pula
bagi rumahtangga miskin di perkotaan.
Informasi tentang profil kemiskinan di perdesaan sangat diperlukan oleh pengambil
kebijakan terutama untuk penanganan masalah kemiskinan. Keterangan mengenai jenis
persoalan dan akar permasalahan yang dihadapi berbagai jenis segmen penduduk miskin
33 Dengan mengetahui profil kemiskinan di perdesaan, pengambil kebijakan bisa lebih
memfokuskan pada program pengentasan kemiskinan di perdesaan sehingga dapat lebih
sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin tersebut. Berbagai program pengentasan
kemiskinan yang didasari pemahaman menyeluruh mengenai karakteristik sosial demografi
dan dimensi ekonomi penduduk miskin dapat membantu perencanaan, pelaksanaan, dan
hasil target yang baik. Karena, salah satu prasyarat keberhasilan program program
pembangunan sangat tergantung pada ketepatan pengidentifikasian target grup dan target
area. Data-data tentang profil kemiskinan di Indonesia menurut provinsi dipaparkan pada
34 Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Provinsi
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
(%) Garis Kemiskinan (Rp)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
Nangroe Aceh
Darussalam 173.4 688.5 861.9 14.65 23.54 20.98 308,306 266,285 278,389
Sumatera Utara 689.0 801.9 1490.9 11.34 11.29 11.31 247,547 201,810 222,898
Sumatera Barat 106.2 323.8 430.0 6.84 10.88 9.50 262,173 214,458 230,823
Riau 208.9 291.3 500.3 7.17 10.15 8.65 276,627 235,267 256,112
Jambi 110.8 130.8 241.6 11.80 6.67 8.34 262,826 193,834 216,187
Sumatera Selatan 471.2 654.5 1125.7 16.73 14.67 15.47 258,304 198,572 221,687
Bengkulu 117.2 207.7 324.9 18.75 18.05 18.30 255,762 209,616 225,857
Lampung 301.7 1178.2 1479.9 14.30 20.65 18.94 236,098 189,954 202,414
Bangka Belitung 21.9 45.9 67.8 4.39 8.45 6.51 289,644 283,302 286,334
Kepulauan Riau 67.1 62.6 129.7 7.87 8.24 8.05 321,668 265,258 295,095
DKI Jakarta 312.2 - 312.2 3.48 - 3.48 331,169 - 331,169
Jawa Barat 2350.5 2423.2 4773.7 9.43 13.88 11.27 212,210 185,335 201,138
Jawa Tengah 2258.9 3110.2 5369.2 14.33 18.66 16.56 205,606 179,982 192,435
DI Yogyakarta 308.4 268.9 577.3 13.98 21.95 16.83 240,282 195,406 224,258
Jawa Timur 1873.5 3655.8 5529.3 10.58 19.74 15.26 213,383 185,879 199,327
Banten 318.3 439.9 758.2 4.99 10.44 7.16 220,771 188,741 208,023
Bali 83.6 91.3 174.9 4.04 6.02 4.88 222,868 188,071 208,152
Nusa Tenggara Barat 552.6 456.7 1009.4 28.16 16.78 21.55 223,784 176,283 196,185 Nusa Tenggara Timur 107.4 906.7 1014.1 13.57 25.10 23.03 241,807 160,743 175,308
Kalimantan Barat 83.4 345.3 428.8 6.31 10.06 9.02 207,884 182,293 189,407
Kalimantan Tengah 33.2 131.0 164.2 4.03 8.19 6.77 220,658 212,790 215,466
Kalimantan selatan 65.8 116.2 182.0 4.54 5.69 5.21 230,712 196,753 210,850
Kalimantan Timur 79.2 163.8 243.0 4.02 13.66 7.66 307,479 248,583 285,218
35 Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan Menurut Provinsi
Propinsi Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin
(%) Garis Kemiskinan (Rp)
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
Sulawesi Tengah 54.2 420.8 475.0 9.82 20.26 18.07 231,225 195,795 203,237
Sulawesi Selatan 119.2 794.2 913.4 4.70 14.88 11.60 186,693 151,879 163,089
Sulawesi Tenggara 22.2 378.5 400.7 4.10 20.92 17.05 177,787 161,451 165,208
Gorontalo 17.8 192.0 209.9 6.29 30.89 23.19 180,606 167,162 171,371
Sulawesi Barat 33.7 107.6 141.3 9.70 15.52 13.58 182,206 165,914 171,356
Maluku 36.3 342.3 378.6 10.20 33.94 27.74 249,895 217,599 226,030
Maluku Utara 7.6 83.4 91.1 2.66 12.28 9.42 238,533 202,185 212,982
Papua Barat 9.6 246.7 256.3 5.73 43.48 34.88 319,170 287,512 294,727
Papua 26.2 735.4 761.6 5.55 46.02 36.80 298,285 247,563 259,128
53 3.3.2. Pemetaan Keiskinan di Kabupaten Kulon Progo
Sesuai dengan pendekatan pengukuran dan analisis penyebab kemiskinan di
Kabupaten Kulon Progo digambarkan pada Gambar 1. berikut.
Gambar 1. Berbagai Faktor Penyebab Kemiskinan
Dari bebragai faktor penyebab kemiskinan tersebut, kemudian dapat dilakukan
penetapan indikator dan parameter pengukuran kemiskinan. Penentuan indikator dan parameter
ini juga mengacu pada pendekatan yang dilakukan oleh Biiro Pusat Statistik, khususnya untuk
tahun 2010. Adapun indikator yang dimaksud adalah seperti pada tabel 2. sebagai berikut.
Tabel 2. Ukuran Indikator Kemiskinan
Aspek Penyebab Kemiskinan
Indikator kemiskinan Masyarakat
Parameter Skor
Maks (N)
Bobot (B)
54 Aspek Penyebab Kemiskinan Indikator kemiskinan Masyarakat
Parameter Skor
Maks (N) Bobot (B) Score Maks (NxB) 1. Aspek
Ekonomi (30%)
1) Pendapatan tetap
Rata-rata penghasilan masyarakat minimal Rp. 259.128.
10 1 10
2) Ketergantungan pada sektor pertanian
Sumber pendapatan tidak tergantung dari sektor pertanian
7,5 1 7,5
3) Kegiatan wirausaha /industri
Ada kegiatan wirausaha /industri
7,5 1 7,5
4) Penganggguran Masyarakat memiliki penghasilan tetap
5 1 5
2. Aspek Geografi (20%)
1) Kondisi topografi
Mendukung kegiatan ekonomi
5 1 5
2) Kondisi geografis
Mendukung kegiatan ekonomi
5 1 5
3) Ada sumber daya alam yang sduah terolah
Ada dan sudah terolah 5 1 5
4) Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi
Ada dan lancar 5 1 5
3. Kesehatan (25%)
1) Akses Kesehatan
a. Tidak ada akses ke sarana kesehatan Tidak mampu
membiayai pelayanan kesehatan
10 0,6
0,4
6
4
2) Sikap hidup a. Budaya hidup tidak sehat
b. Adat yang tidak mendukung
7 0,2
0,3
3
4
3) Tempat Tinggal a. Rumah tidak kokoh/ permanen.
b. Tidak memiliki MCK sendiri.
c. Tidak menggunakan fasilitas energi. d. Kesulitan air bersih.
8 0,2
0,2 0,2 0,2 2 2 2 2 4. Pendidikan dan Sosial (25%)
1) Pendidikan a. Tidak tamat sekolah dasar 6 tahun. b. Tidak mampu
membiayai anggota keluarga pendidikan 9 tahun
c. Akses ke Sekolah Menengah Atas
15 0,5
0,25
0,25
9
3
55 Aspek
Penyebab Kemiskinan
Indikator kemiskinan Masyarakat
Parameter Skor
Maks (N)
Bobot (B)
Score Maks (NxB) 2)Budaya d. Sikap mental dan
perilaku positif
5 1 5
3)Jumlah Keluarga.
e. Tanggungan keluarga lebih besar sama dengan 4 orang.
5 1 5
Jumlah 100 100
Keterangan : Batasan masyarkat suatu kecamatan masuk kriteria miskin apabila memperoleh skor < 71
Dari hasil penentuan indicator dan penghitungan skor dapat kita buat peta wilayah kemiskinan
di Kabupaten Kulon Progo, dan dari hasil pemetaan kemiskinan dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo.
Gambar 2. Kerangka kerja penelitian
BAB IV
GAMBARAN UMUM KABUPATEN KULON PROGO
4.1. Geografis, Administratif, dan Kondisi Fisik Kabupaten Kulon Progo 4.1.1. Letak, Batas, dan Luas Wilayah
Kemiskinan
Produktifitas menurun
PDRB menurun
Problem keamanan lingkungan
Penyusunan indicator dan pemetaan kemiskinan di Kabupaten Kulon Progo propinsi DIY
KEBIJAKAN PENGURANGAN
56 Kabupaten Kulon Progo secara geografis terletak antara 70 38'42" – 70 59'3" Lintang Selatan dan 1100 1'37" – 1100 16'26" Bujur Timur, merupakan bagian wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian paling barat serta dibatasi oleh :
Sebelah Barat : Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah.
Sebelah Timur : Kabupaten Sleman dan Bantul, Prov. D.I. Yogyakarta
Sebelah Utara : Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Sebelah Selatan : Samudera Hindia.
Secara fisiografis, di sisi timur Kabupaten Kulon Progo dibatasi oleh Sungai Progo yang
memisahkan kabupaten ini dengan Kabupaten Sleman dan Bantul. Sungai Progo merupakan
sungai terbesar yang melintasi Provinsi DIY dengan hulu di Gunung Sumbing Kabupaten
Wonosobo dan bermuara di Samudera Hindia. Sungai ini mempunyai pengaruh besar terhadap
perekonomian penduduk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di sekitar aliran
sungai yang dimanfaatkan untuk budidaya sektor pertanian.
Luas area kabupaten Kulon Progo adalah 58.628,311 Ha yang meliputi 12 kecamatan
dengan 87 desa, 1 kelurahan dan 917 pedukuhan. Kecamatan terluas adalah Samigaluh dan
Kokap, masing-masing yaitu 12% dari total wilayah Kabupaten, sedangkan wilayah terkecil
adalah Kecamatan Wates. Dari luas total kabupaten, 24,89 % berada di wilayah Selatan yang
meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur, 38,16 % di wilayah tengah yang
meliputi Kecamatan Lendah, Pengasih, Sentolo, Kokap, dan 36,97 % di wilayah utara yang
meliputi Kecamatan Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Tabel 2.1. berikut ini
memberikan informasi luas wilayah tiap kecamatan di Kabupaten kulon Progo.
Tabel 4.1
Nama, Luas Wilayah Kecamatan dan Jumlah Desa/Kelurahan
Kecamatan Jumlah
Desa/Kelurahan
Luas Kecamatan
(Ha) (%)
Temon 15 3,629,890 6.20
Wates 8 3,200,239 5.47
Panjatan 11 4,459,230 7.62
Galur 7 3,291,232 5.62
57
Sentolo 8 5,265,340 9.00
Pengasih 7 6,166,468 10.54
Kokap 5 7,379,950 12.61
Girimulyo 4 5,390,424 9.21
Nanggulan 6 3,960,670 6.77
Kalibawang 4 5,296,368 9.05
Samigaluh 7 6,929,308 11.84
Total 88 58,528,248 100
72 Iklim merupakan rata-rata kondisi cuaca dalam periode yang panjang. Suhu dan curah
hujan merupakan dua unsur iklim yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Suhu rata-rata
di Kabupaten Kulon Progo berkisar 25-29 0C. Berdasarkan analisis data curah hujan bulanan
tahun 2006-2010, diketahui bahwa curah hujan tahunan di Kabupaten Kulon Progo mencapai di
atas 1.907,4 mm pada tahun2007. Curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada Bulan
Desember, sedangkan terendah terjadi pada Bulan Agustus. Nilai ini mengikuti pola distribusi
musim di Indonesia, yaitu bulan-bulan basah pada musim penghujan (November-April) dan
bulan-bulan kering pada musim kemarau (Mei-Oktober).
Curah hujan dan hari hujan dari tahun 2006-2010 menurut 5 stasiun hujan di Gejagan,
[image:40.612.132.478.336.564.2]ingkung, Gembongan, Beji, Brosot Kabupaten Kulon Progo adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2
Curah Hujan dan Hari Hujan Tahun 2005-2010
73 4.2. Demografi / Kependudukan
Data jumlah penduduk kabupaten Kulon progo tahun 2009 -2010 merupakan hasil
pendataan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon progo, sedangkan data tahun 2011
diperoleh dari hasil Pendataan Keluarga Miskin Kabupaten Kulon progo yang dilaksanakan
dengan mengacu Perbup No 39 tahun 2011, jumlah Penduduk Kabupaten Kulon Progo pada
bulan Desember tahun 2011 sebanyak 473.397 jiwa. Adapun persebaran penduduk tiap
[image:41.612.177.448.79.228.2]kecamatan tahun 2009 -2011 seperti tecantum dalam tabel berikut:
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Bulan Desember 2009 – 2011
Dari data di atas tampak bahwa penyebaran penduduk Kulonprogo masih berkumpul di
3 Kecamatan, yaitu Pengasih sebesar 11,33 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Wates
74 Wates, dan Sentolo adalah 3 Kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak yang masing-masing berjumlah 53.632 orang, dan 52.717 orang, 50.669 orang.
Sedangkan Kecamatan Girimulyo merupakan kecamatan yang paling sedikit penduduknya,
yakni sebanyak 27.022 orang. Berdasarkan perbandingan jumlah total penduduk dengan luas
wilayah kabupaten, rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kulonprogo adalah sebanyak 807
orang per kilo meter persegi atau 8,07 jiwa per hektar. Kecamatan yang paling tinggi tingkat
kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Wates yakni sebanyak 1647 orang per kilo meter
persegi atau 16.47 jiwa per hektar. Sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan
Samigaluh yakni 455 orang perkilo meter persegi atau 4.55 jiwa per hektar.
Sementara laju pertumbuhan penduduk Kulonprogo per tahun selama sepuluh tahun
terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 0.66 persen. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi
di Kulonprogo ada di tiga kecamatan yakni Kecamatan Temon, Wates, dan Pengasih yaitu 0.81
persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang terendah di Kecamatan Kokap sebesar
-0,57 persen. Meskipun Kecamatan Sentolo menempati urutan kedua dari jumlah penduduk,
namun dari sisi laju pertumbuhan penduduk menempati urutan keempat sebesar 0.77 persen.
Sebaliknya, Kecamatan Temon yang jumlah penduduknya menempati urutan terendah ke-4
setelahda urutan tertinggi atau sama dengan Kecamatan Wates dan Kecamatan Pengasih.
Untuk menghitung proyeksi jumlah penduduk untuk tahun berikutnya, digunakan angka
kecendurungan (tren) dari rata-rata laju pertumbuhan jumlah penduduk tiap kecamatan
beberapa tahun 2000- 2010 rumus:
(N+1) = N x (100+r) : 100
Dimana :
N+1 : Jumlah Penduduk proyeksi 1 tahun berikutnya
N : jumlah penduduk tahun 2011
r : trend prosentase pertambahan penduduk tahun 2000-2010
Sedangkan proyeksi penduduk Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011-2017 disajikan
75 Tabel 4.4.
Proyeksi Penduduk Tiap Kecamatan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2011-2017
4.3. Keuangan dan Perekonomian Daerah
Salah satu indikator ekonomi dalam pencapaian tingkat kesejahteraan adalah aktifitas
perputaran uang di suatu wilayah. Berdasarkan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 Pasal 6
ayat(1), dijelaskan bahwa ada empat sumber Pendapatan Asli Daerah yang memegang
peranan penting dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu (i) pajak daerah , (ii) retribusi
daerah, (iii) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, (iv) serta lain–lain pendapatan asli daerah yang sah. Kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah di Kabupaten Kulon Progo
mengalami peningkatan. Namun tingkat ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat (DAU)
masih sangat besar.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN, yang
terdiri dari Dana Bagi hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Serta Dana Alokasi Khusus
(DAK). Dana Perimbangan ini merupakan transfer dana dari Pemerintah Pusat dan merupakan
satu kesatuan yang utuh. Proporsi Dana Perimbangan yang sangat besar terhadap kontribusi
APBD menunjukkan bahwa Kabupaten Kulon Progo masih sangat tergantung terhadap
Pemerintah Pusat. Sedangkan lain-lain pendapatan daerah yang sah di APBD, terdiri dari
pendapatan hibah, dana hasil bagi pajak dengan provinsi, dana penyesuaian dan otonomi
khusus, Serta bantuan keuangan dari provinsi maupun pemda lainnya. Adapun gambaran
76 Tabel 4.5.
[image:44.612.126.485.347.590.2]Ringkasan Realisasi APBD 5 Tahun terakhir
Tabel 4.6.
Ringkasan anggaran Sanitasi dan Belanja Modal Sanitasi per Penduduk Tahun 2007-2011
4.4. Kebijakan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
77 tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiscal
adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran Negara dan
pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiskal. Contoh kebijakan fiskal
adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi
kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau
menaikkan pajak agar tercipta kestabilan. Cara demikian disebut dengan pengelolaan
anggaran.
Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G),
jumlah transfer pemerintah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah, sehingga
dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK/2012 tanggal 16 April 2012, indeks
fiskal daerah diatur oleh menteri keuangan dengan maksud untuk perencanaan lokasi dan
alokasi Dana Urusan Bersama (DUB) serta penentuan besaran penyediaan Dana daerah untuk
Urusan Bersama (DDUB), seperti pelaksanaan bantuan langsung masyarakat Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan Perkotaan. Dalam
perhitungan pemerintah menggunakan fiskal daerah (data kemampuan daerah, data transfer ke
daerah, dan data belanja pegawai negeri sipil) serta non fiskal daerah seperti jumlah penduduk,
persentasi jumlah penduduk miskin, indeks kemahalan konstruksi. Besaran Indeks fiskal dan
kemskinan daerah terdiri dari Indeks Ruang Fiskal Daerah (IRFD) dan Indeks Persentasi
Penduduk Miskin (IPPMD). Adapun besarnya Indeks Ruang Fiskal Daerah kabupaten Kulon
78 Tabel 4.7.
Data Indeks Ruang Fiskal Kabupaten Kulon Progo 5 Tahun Terakhir
4.5. PDRB dan Struktur Perekonomian
Salah satu indikator makro untuk melihat kinerja perekonomian secara riil di suatu
daerah digambarkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan
PDRB atas dasar harga konstan pada tahun yang bersangkutan terhadap tahun
sebelumnya.Pada tahun 2010 nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 3.55 triliun rupiah
atau meningkat sekitar 248,113 miliar rupiah dibandingkan dengan nilai pada tahun 2009.
Sedangkan berdasarkan atas harga konstan, nilai PDRB Kabupaten Kulon Progo tahun 2010
79 Gambar 4.1. Nilai PDRB Kabupaten Kulon Progo Tahun 2006-2010
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2010 digambarkan oleh laju
pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2010 dibandingkan dengan nilai
PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 perekonomian Kabupaten
Kulon Progo mengalami peningkatan sebesar 3,97 persen. Dibandingkan tahun 2009, laju
pertumbuhan tahun 2010 melambat 0,74 poin. Melambatnya laju pertumbuhan ini disebabkan
karena melambatnya pertumbuhan pada sektor pertanian dan sektor jasa-jasa yang
mempunyai kontribusi yang dominan pada total pembentukan PDRB. Sehingga melambatnya
kedua sektor tersebut berpengaruh pada pertumbuhan secara keseluruhan. Secara sektoral,
sembilan sektor pembentukan PDRB mengalami pertumbuhan positif. Di tahun 2010 sektor
pertambangan dan penggalian mengalami laju pertumbuhan paling tinggi sebesar 8,81 persen.
Pada urutan kedua sektor keuangan persewaan, dan jasa perusahaan mengalami pertumbuhan
sebesar 8,55 persen disusul oleh sektor listrik, gas, dan air bersih yang tumbuh mencapai 6,52
[image:47.612.173.443.359.511.2]persen.
Gambar 4.2. Peranan Sektoral PDRB Kabupaten Kulon Progo Tahun 2010
Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kabupaten
Kulon Progo tahun 2009 sebesar 3,286 triliun rupiah. Dengan jumlah penduduk sebesar
374.921 jiwa, PDRB per kapitanya mencapai Rp. 8.765.255. PDRB per kapita diperoleh dengan
cara membagi nilai tambah (PDRB) atas dasar harga berlaku dengan jumlah penduduknya.
PDRB per kapita merupakan salah satu indikator untuk menilai kemakmuran penduduk. Dilihat
80 terbesar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Kulon Progo adalah sektor pertanian sebesar
24,11 persen; diikuti sektor jasa-jasa sebesar 19,92 persen dan di posisi ketiga yaitu sektor
perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 16,40 persen. Sedangkan sektor
dengan kontribusi terkecil adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan sumbangan
[image:48.612.132.485.202.308.2]kontribusinya sebesar 0,86 persen.
Tabel 4.8.
Data Perekonomian Umum Daerah Tahun 2007-2010
4.6. Sosial dan Budaya
Kondisi dan perkembangan sosial dan budaya di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2011
dapat dipantau melalui indikator ketersediaan fasilitas pendidikan masyarakat.
4.6.1. Fasilitas Pendidikan
a. Ketersediaan Sekolah Bagi Penduduk Usia Sekolah Rasio ketersediaan sekolah adalah
jumlah sekolah tingkat pendidikan dasar per 10.000 jumlah penduduk usia pendidikan
dasar. Rasio ini mengindikasikan kemampuan untuk menampung semua penduduk usia
pendidikan dasar. Selama tahun 2006 hingga tahun 2010, rasio ketersediaan
sekolah/penduduk usia sekolah pada tingkat pendidikan dasar mengalami peningkatan.
Hal ini berarti, beban sebuah sekolah untuk menampung penduduk usia sekolah
menjadi lebih ringan dan dapat mengindikasikan adanya perbaikan layanan pendidikan.
Sedangkan rasio ketersediaan sekolah/penduduk usia sekolah SMA/MA/SMK
mengalami peningkatan, yang menunjukkan adanya perbaikan layanan pendidikan, di
mana terdapat peningkatan jumlah sekolah yang ada untuk menampung penduduk usia
81 Tabel 4.9.
Rasio Ketersediaan Sekolah/Penduduk Usia SD dan SMP/MTs Tahun 2006-2010
b. Persentase Sekolah Pendidikan Dasar (SD/MI dan SMP/MTs) Kondisi Bangunan Baik
Data menunjukkan adanya kerusakan baik ringan maupun berat pada bangunan
sekolah SD/MI dan SMP/MTs di Kabupaten Kulon Progo pada Tahun 2010. Kecamatan
Wates merupakan kecamatan dengan jumlah kerusakan bangunan SD/MI terbanyak,
yaitu 23 rusak ringan dan 23 rusak berat, dan Nanggulan merupakan kecamatan
82 Tabel 4.10
Kondisi Bangunan Sekolah Dirinci Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010
c. Persentase Pendidikan Menengah (SMA/MA/SMK) Kondisi Bangunan Baik Data
menunjukkan adanya kerusakan baik ringan maupun berat pada bangunan sekolah
SMA/MA/SMK di Kabupaten Kulon Progo pada Tahun 2010. Kecamatan Wates
merupakan kecamatan dengan jumlah kerusakan ringan dan berat terbanyak pada
bangunan SMA/SMK/MA. Namun begitu secara keseluruhan, Bangunan SMA/MA/SMK
di Kabupaten Kulon Progo tidak begitu banyak mengalami kerusakan berat.
Tabel 4.11.
[image:50.612.176.441.492.667.2]83 4.6.2. Lingkungan Permukiman Kumuh
Berdasarkan Laporan Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Pemerintah Daerah Tahun 2009,
luas kawasan permukiman kumuh di Kabupaten Kulon Progo hanya seluas 5 ha atau sekitar
0,01 % dari luas wilayah Kabupaten Kulon Progo. Berdasarkan Renstra Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009-2012, permukiman kumuh di Kabupaten Kulon Progo
adalah adalah permukiman dengan karakteristik ruang di dalam rumah yang terbagi menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, seperti kondisi sarana prasarana lingkungan yang masih rendah
baik kualitasnya maupun kuantitasnya dengan kondisi sosial ekonomi penduduk yang masih
relatif rendah pula. Berdasarkan LPPD Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009, kinerja urusan
lingkungan permukiman kumuh di Kabupaten Kulon Progo mencapai 0,01%. Angka tersebut
dapat diartikan bahwa hampir tidak ada permukiman kumuh di Kabupaten Kulon Progo. Pada
tabel berikut ini dapat dilihat kinerja capaian untuk urusan lingkungan permukiman kumuh
Tabel 4.12.
Kinerja Capaian Urusan Lingkungan Permukiman Kumuh Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009
BAB V
HASIL ANALISIS KONDISI KEMISKINAN DI KABUPATEN KULON PROGO
5.1. Posisi Perekonomian Kabupaten Kulon Progo
Struktur ekonomi dan struktur sosial tiap kabupaten di DIY berbeda satu sama lain yang
didasarkan pada Typology Klassen. Berdasarkan laju pertubuhan PDRB dan kontribusi
dalam pembentukan PDRB kabupaten terhadap PDRB provinsi dapat dikelompokan
menjdai beberapa kategori.
Dalam analisis Typology Klassen dibagi menjadi 4 kategori :
a. Daerah Maju Berkembang Cepat
Daerah yang memiliki cirri Kontribusi PDRB Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
propinsi 1 dan Rerata Pertumbuhan PDRB (kab/Kota)/Rerata PDRB Propinsi 1
84 Daerah yang memiliki cirri Kontribusi PDRB Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
propinsi 1 dan Rerata Pertumbuhan PDRB (kab/Kota)/Rerata PDRB Propinsi 1
c. Daerah Potensial
Daerah yang memiliki cirri Kontribusi PDRB Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
propinsi 1 dan Rerata Pertumbuhan PDRB (kab/Kota)/Rerata PDRB Propinsi 1
d. Daerah Relatif Tertinggal
Daerah yang memiliki ciri Kontribusi PDRB Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
propinsi 1 dan Rerata Pertumbuhan PDRB (kab/Kota)/Rerata PDRB Propinsi 1.
Perkembangan Ekonomi Kabupaten/Kota Terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2007-2011
Proporsi Pertumbuhan
Kontribusi PDRB Kabupaten/Rerata Kontribusi PDRB Propinsi
1
Kontribusi PDRB Kabupaten/Rerata Kontribusi PDB Propinsi 1
Rerata Pertumbuhan PDRB Kabupate/Rerata PDB Propinsi 1
Daerah Maju Berkembang Cepat Kota Yogyakarta Daerah Berkembang Cepat Kabupaten Bantul Rerata Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Rerata PDB Propinsi 1
Daerah Potensial Kabupaten Sleman
Daerah Relatif Tertinggal
Kabupaten Gungung Kidul Kabupaten Kulon Progo Sumber: DIY dalam angka 2007-2011 (diolah)
5.2. Perkembangan PDRB Kabupaten Kulon Progo
Perkembangan PDRB Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 sd 2011
Lapangan Usaha 2007 2008 2009 2010 2011
Pertanian 424,719 454,656 474,560 467,714 496,676
Pertambangan & Penggalian 17,686 17,027 18,527 12,664 15,395
Industri Pengolahan 251,351 255,420 261,033 271,689 268,349
Listrik, Gas dan air Bersih 9,611 10,333 11,006 11,586 12,068
Bangunan 77,911 82,096 85,790 91,657 100,658
Perdagangan, hotel & Res-toran 266,357 281,420 293,574 307,245 329,807 Pengangkutan & Komunikasi 163,555 171,336 179,404 184,299 188,623 Keuangan, persewaan & jasa
Perusahaan 98,323 101,551 110,230 116,678 117,684
Jasa-jasa 278,112 288,531 294,178 317,694 341,076
85 5.3. Analisis Location Quotienst (LQ)
Location Quotient (LQ) merupakan alat analisis untuk mengetahui ada tidaknya
spesialisasi suatu wilayah untuk sektor (industri) tertentu.
LQ = (Eij/Ej)/(Ein/En)
dimana, Eij : Kesempatan kerja di sektor I di wilayah j
Ej : Kesempatan kerja di wilayah j
Ein : Kesempatan kerja di sektor I di negara n
Eij : Kesempatan kerja di negara n
Interpretasi dari hasil perhitungan dengan formula tersebut adalah :
Jika nilai LQ > 1, maka wilayah j untuk sektor I ada spesialisasi (Tingkat spesialisasi wilayah > tingkat spesialisasi nasional)
Jika nilai LQ = 1, maka wilayah j untuk sektor I ada spesialisasi (Tingkat spesialisasi wilayah = tingkat spesialisasi nasional)
Jika nilai LQ < 1, maka wilayah j untuk sektor I ada spesialisasi (Tingkat spesialisasi wilayah < tingkat spesialisasi nasional)
Analisis LQ menunjukan bahwa seluruh kota/kabupaten baik yang berada dalam
kawasan andalan maupun kawasan bukan andalan, memiliki LQ yang lebih besar dari satu
pada beberapa subsektor lapangan usaha. Artinya, semua kabupaten/kota memiliki subsektor
unggulan dan penetapan kawasan andalan berdasarkan persyaratan sektor unggulan dapat
dipandang tepat.
Perkembangan LQ Kabupaten Kulon Progo Tahun 2007 sd 2011
Lapangan Usaha
Nilai LQ Rerata
LQ
2008 2009 2010 2011
1. Pertanian 1.49 1.49 1.49 1.62 1.52
2. Pertambangan dan Penggalian 1.45 1.54 1.06 1.15 1.30
3. Industri Pengolahan 1.14 1.13 1.13 1.04 1.11
4. Listrik, gas dan Air bersih 0.67 0.68 0.70 0.12 0.54
5. Bangunan 0.52 0.53 0.54 0.56 0.54
6. Perdagangan, restoran dan hotel 0.81 0.81 0.82 0.83 0.82
7. Angkutan dan Komunikasi 1.01 1.00 0.99 0.94 0.98
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 0.67 0.69 0.70 0.65 0.68
9. Jasa-jasa 1.03 1.02 1.06 1.07 1.04
86 5.4. Analisis Tipologi Klasen
Dengan menggunakan penghitungan Tipology Klassen, terlihat sebaran masing-masing
sektor ditunjukan dalam tabel. Berdasarkan penghitungan Tipology Klassen dibagi menjadi :
a. Sub sektor Maju
Subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor Kab/kota/Rerata kontribusi PDRB
kab/kota 1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/Kota)/Rerata PDRB kab / kota 1
b. Sub Sektor Berkembang
Subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor Kab/kota/rerata kontribusi PDRB
kab/kota 1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/Kota)/Rerata PDRB kab/ kota 1
c. Sub Sektor potensial
Subsektor yang memiliki ciri kontribusi subsektor Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
kab/kota 1 dan rerata Pertumbuhan subsektor (kab/Kota)/Rerata PDRB kab / kota 1
d. Sub sektor terrbelakang
Subsektor yang memiliki ciri Kontribusi subsektor Kab/kota/Rerata Kontribusi PDRB
kab/kota 1 dan rerata pertumbuhan subsektor (kab/Kota)/Rerata PDRB kab / kota 1
Dari hasil perhitungan pada table di bawah ini terlihat bahwa sub-sektor maju terdiri dari
sektor pertanian dan jasa-jasa. Sedangkan sub sektor berkembang adalah sektor listrik, gas
dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran. Sektor Potensial adalah sektor
pertambangan dan industri pengolahan. Sedangkan sub sektor terbelakang adalah sektor
pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
Klasen Typology Kabupaten Kulon Progo
Tahun 2007-2011 Proporsi
Pertumbuhan X 1
Xi 1 X Xi
1
XXi Sub Sektor Maju
Pertanian Jasa-jasa
Sub Sektor Berkembang Listrik, gas dan air bersih
Bangunan Perdagangan, Hotel dan
87
1
X Xi
Sub sektor Potensial Pertambangan Industri Pengolahan
Sub Sektor Terbelakang Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Sumber: BPS Kabupaten Kulon Progo, 2008-2011 (diolah)
5.5. Analisis Shift-Share
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi tiap-tiap subsektor terhadap
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Analisis Shift-share dapat digunakan untuk
mendeskripsikan trend agregat secara statistik, shift-share analisis mengklarifikasikan
perubahan PDRB setiap saat dalam wilayah yang diperbandingkan dengan tiga kategori,
komponen dalam membentuk shift-share diantaranya adalah PDRB di sektor tertentu (i) tingkat
wilayah, laju pertumbuhan PDB tingkat nasional (rn), laju pertumbuhan PDB di sektor tertentu (i)
di tingkat nasional (rin), dan laju pertumbuhan PDRB di sektor tertentu (i) tingkat wilayah (rij).
Komponen perubahan secara nasional mempresentasekan komponen pembagian
nasional untuk perhitungan dimana laju pertumbuhan regional yang telah mengalami perubahan
diikuti perubahan secara tepat dalam tingkat nasional untuk semua sub sektor dalam tingkat
nasional untuk semua sub sektor dalam periode penilaian.
Jika pertumbuhan di tingkat regional berbeda dengan nasional (berupa positip atau
negatif dalam pergeseran PDRB), secara total pergeseran terdiri dari pergeseran struktural juga
pergeseran mengenai pembagian proporsional.
Dampak perubahan PDRB dimana dalam perhitungan di tingkat regional berubah sesuai
dengan tipe dari PDRB dalam sub sektor tertentu (termasuk cepat atu lambatnya laju
pertumbuhan nasional). Pergeseran terdiri dari perbedaan dalam pergeseran juga pengetahuan
tentang dampak regional dimana perhitungan PDRB regional berubah seiring dengan faktor
88 Perkembangan shift Share Kabupaten Kulon Progo Tahun 2009 sd 2011
Lapangan Usaha
2009 2010 2011
Nij Mij Cij Dij Nij Mij Cij Dij Nij Mij Cij Dij 1. Pertanian 20,036 739 -3,928 16,847 21,189 -27,937 16,153 9,406 24,927 5,829 -18,987 11,768 2. Pertamb dan Penggalian 839 793 -222 1,410 574 -4,581 4,599 591 773 2,547 -2,517 803 3. Industri Pengolahan 13,101 -7,364 9,638 15,375 12,309 -1,218 3,515 14,606 13,468 -16,767 17,132 13,833 4. Listrik, gas dan Air bersih 465 252 -204 513 525 86 -36 574 606 -104 53 555 5. Bangunan 3,622 238 4,238 8,099 4,152 2,116 -2,304 3,964 5,052 4,833 -4,332 5,553 6. Perdag, restoran dan hotel 12,395 284 19,321 32,000 13,920 388 5,782 20,090 16,552 7,667 -752 23,467 7. Angkutan dan Komunikasi 7,575 873 47,867 56,315 8,350 -3,321 18,040 23,069 9,466 -5,041 22,762 27,188 8. Keua, Pesw dan Jasa Persh 4,654 4,767 146,808 156,229 5,286 1,539 -62,540 -55,715 5,906 -4,892 -42,343 -41,329 9. Jasa-jasa 12,420 -6,663 26,278 32,036 14,393 11,003 -12,367 13,029 17,118 7,985 -5,278 19,825 PDRB 75,107 -6,081 249,797 318,823 80,697 -21,925 -29,159 29,613 93,867 2,058 -34,262 61,663
Sumber: BPS Kabupaten Kulon Progo (Data diolah) Keterangan :
Nij : Pengaruh Pertumbuhan Provinsi Mij : Pengaruh Bauran Industri
89 Dari tabel hasil analisis diatas, terlihat pada tahun 2011 terjadi pergeseran
pembangunan di Kabupaten Kulon Progo, artinya pergeseran pembangunan dapat dilihat dari
laju pertumbuhan yang signifikan, sedangkan pengaruh keunggulan kompetitif mengalami
penurunan terutama di sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (akibat krisis Eropa
dan Amerika) Dari hasil analisis shift-share pada tahun 2011 secara keseluruhan dengan
melihat analisis shift-share pada PDRB mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun
2010, tetapi secara keseluruhan semua sektor terjadi penurunan keunggulan kompetitif
dibandingan tahun 2010 pada PDRB dalam wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Perubahan Shift Share Kabupaten Kulon Progo 2009-2011
5.6. Analisis Perubahan Struktur
Proses transformasi (perubahan struktur ekonomi) dari suatu perekonomian diawali
dengan dominasi oleh sektor primer (pertanian dan pertambangan) menuju perekonomian yang
didominasi sektor industri manufaktur (sekunder), disamping proses pertumbuhan ekonomi dan
proses peningkatan pendapatan perkapita adalah bagian dari proses pembangunan ekonomi.
Berdasarkan data pada tahun 2011 peran pertanian justru mengalami penurunan 0,07