• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA

TM 999 (

Capsicum annuum

) SECARA KONVENSIONAL DAN

PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

FAHRUDIN SURAHMAT

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ABSTRAK

FAHRUDIN SURAHMAT. Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO.

Pengelolaan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 secara konvensional dan PHT dilaksanakan di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Bogor dengan tujuan untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman cabai keriting TM 999 secara konvensional dan PHT. Penelitian ini merupakan sebuah observasi mengenai pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya konvensional dan PHT. Budidaya konvensional merupakan praktik pengelolaan tanaman cabai yang umum dilakukan oleh petani, pengendalian hama dan penyakit pada budidaya ini dilakukan dengan menerapkan aplikasi pestisida secara intensif. Budidaya PHT merupakan strategi pengelolaan tanaman yang menerapkan pendekatan alami dan meminimalisir penggunaan pestisida kimia. Budidaya PHT dan konvensional memberikan hasil yang hampir sama terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 terlihat lebih baik pada budidaya PHT, sedangkan budidaya konvensional memberikan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan keberadaan hama dan penyakit. Nilai rata-rata tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter, jumlah cabang dan produksi cabai keriting pada budidaya PHT sebesar 67.33 cm, 32.99 cm, 0.96 cm, 51.53 dan 1.85 kg, sedangkan pada budidaya konvensional 57.67 cm, 26.19 cm, 0.81 cm, 45.29 dan 1.45 kg. Budidaya PHT mendukung perkembangan organisme lain yang berguna bagi tanaman, sehingga tanaman cabai berkembang dengan optimal. Keberadaan hama dan penyakit pada tanaman cabai seperti, Empoasca sp., lalat buah, puru, bercak daun, antraknosa dan virus kuning lebih banyak terlihat pada budidaya PHT daripada konvensional, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua pengendalian tersebut. Penelitian lebih lanjut mengenai peluang dan tantangan budidaya PHT dalam budidaya cabai masih perlu untuk dilakukan, sebagai upaya penyempurnaan konsep budidaya PHT pada tanaman cabai.

(3)

PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA

TM 999 (

Capsicum annuum

) SECARA KONVENSIONAL DAN

PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

FAHRUDIN SURAHMAT

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT

Nama Mahasiswa : Fahrudin Surahmat

NIM : A34061840

Disetujui,

Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc Dosen Pembimbing

Diketahui,

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc Ketua Departemen

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur tanggal 5 September 1987 sebagai putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chamsun dan Ibu Badriyah.

Tahun 2006 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Tumpang dan diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Setelah menempuh tingkat persiapan bersama (TPB) selama 2 semester penulis memilih Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB sebagai mayor dan Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Pertanian sebagai minor studi.

(6)

PRAKATA

Rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu tercurahkan kepada Tuhan yang merahmati seisi alam, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)” sebagai syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Chamsun, Ibu Badriyah, Yanuar dan Nisa‟ yang telah memberikan kehangatan dalam sebuah keluarga serta semua dukungan yang telah diberikan.

2. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan nasihat.

3. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membantu selama masa kuliah.

4. Dr. Ir. Sri Hendrastuti, Msc selaku dosen penguji tamu.

5. Bapak Dadang, Slamet, Edi yang selalu membantu selama pengamatan. 6. Dosen, laboran dan staf Departemen Proteksi tanaman.

7. Mbak Dama yang membantu memperbaiki skripsi.

8. Teman-teman sekelas PTN 43 atas kebersamaannya selama masa kuliah. 9. Teman-teman seperjuangan di UKM Uni Konservasi Fauna.

10. Penghuni shelter Balio, baik penghuni asli maupun yang temporer.

11. Penghuni rumah bambu (Akmal, Ayi‟, Paus, Age, Purwanto, Putra, Mujib,

Nanang, Safi‟)

12. Semua teman dimanapun berada.

Semua hal yang ada tidaklah sempurna, namun penulis berharap skripsi ini menjadi sebuah awal bagi sesuatu yang lebih baik.

Bogor, Agustus 2011

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Tanaman Cabai ... 3

Cabai Keriting Hibrida TM 999 ... 3

Budidaya Tanaman Cabai ... 4

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ... 6

BAHAN DAN METODE ... 12

Waktu danTempat... 12

Metode ... 12

Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 ... 12

Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh ... 13

Pengamatan ... 14

Analisis Data ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT ... 15

Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 ... 16

Perkembangan Hama dan Penyakit ... 18

Thrips ... 18

Empoasca sp. ... 20

Lalat Buah ... 21

Puru ... 22

Bercak Daun ... 24

Antraknosa... 25

Virus Kuning ... 26

Produksi Cabai Keriting Hibrida TM 999... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA... ... 30

(8)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 PertumbuhanTanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 ... 17 2 Perkembangan SeranganThrips pada Tanaman Cabai Keriting

Hibrida TM 999 ... 19 3 Perkembangan Serangan Empoasca sp. pada Tanaman Cabai

Keriting Hibrida TM 999 ... 20 4 Perkembangan Serangan Lalat Buah pada Tanaman Cabai

Keriting Hibrida TM 999 ... 22 5 Perkembangan Penyakit Puru pada Tanaman Cabai Keriting

Hibrida TM 999 ... 23 6 Perkembangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Cabai

Keriting Hibrida TM 999 ... 24 7 Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai

Keriting Hibrida TM 999 ... 25 8 Perkembangan Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai

(9)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999

pada Budidaya Konvensional ... 18 2 Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999

pada Budidaya PHT ... 18 3 Gejala Serangan Thrips pada Daun Cabai Keriting Hibrida TM 999 19 4 Gejala Serangan Empoasca sp. ... 21 5 Gejala Serangan Lalat Buah pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999 22 6 Gejala Penyakit Puru pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999 .... 23 7 Gejala Penyakit Bercak Daun pada Daun Cabai Keriting

Hibrida TM 999 ... 25 8 Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999 26 9 Gejala Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai Keriting

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Analisis Ragam Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting

Hibrida TM 999 ... 34 2 Analisis Ragam Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai

Keriting Hibrida TM 999 ... 34 3 Analisis Ragam Hasil Panen Tanaman Cabai Keriting Hibrida

TM 999 ... 36 4 Perbandingan Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas penting pertanian di Indonesia, tanaman ini memiliki tingkat permintaan dan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Luas lahan produksi cabai di Indonesia mencapai 237 520 ha, dengan tingkat produksi cabai sebesar 1 332 356 ton (Deptan 2010). Budidaya cabai dapat dilakukan di dataran rendah maupun tinggi, tantangan terbesar dalam budidaya cabai adalah keberadaan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit tanaman menurunkan tingkat kualitas dan kuantitas produksi cabai. Beberapa hama dan penyakit penting yang menyerang tanaman cabai adalah thrips, kutu daun, antraknosa dan bercak daun (Pracaya 1999).

Sebagian besar petani cabai di Indonesia masih menggunakan pestisida kimia dalam menggendalikan keberadaan hama dan penyakit. Survei yang dilakukan oleh Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB di Tegal, Garut, Pengalengan, Magelang, Nganjuk dan Blitar, menunjukkan bahwa petani masih menggunakan pestisida kimia secara rutin dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Aplikasi pestisida kimia dilakukan setiap seminggu sekali atau kurang lebih sekitar 20 kali selama satu musim tanam. Pemilihan jenis dan aplikasi pestisida kimia yang digunakan dilakukan dengan kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Petani masih menggunakan pestisida berkategori sangat berbahaya dan prior infrom concern (PIC), kategori PIC merupakan pestisida yang tingkat persistensi di alam yang tinggi, berdasarkan konvensi Stockholm (2004) pestisida jenis ini secara internasional dilarang atau dibatasi penggunaannya.

Pestisida kimia memang terbukti efektif dan efisien dalam mengendalikan hama dan penyakit, namun aplikasi pestisida kimia yang dilakukan mampu menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia menimbulkan kematian pada musuh alami, resistensi dan menyebabkan munculnya hama dan penyakit baru. Aplikasi pestisida kimia juga menyebabkan kematian pada organisme selain hama dan penyakit, kondisi ini menyebabkan hilangnya kemampunan alami lingkungan dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman (natural control). Selain itu, residu pestisida yang tersisa pada buah cabai membahayakan kesehatan konsumen.

(12)

memungkinkan perkembangan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman cabai, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai menjadi optimal.

Konsep PHT mulai dikembangkan pada tahun 1976, setelah banyak laporan mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia. Program PHT semakin gencar dilaksanakan pada tahun 1989 dengan fokus utama pada tanaman padi. Sosialisasi budidaya PHT kepada petani dilakukan melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT), program ini merupakan serangkaian kegiatan pelatihan dan praktik budidaya PHT pada tanaman padi. Namun, sampai saat ini kegiatan budidaya PHT masih belum memasyarakat di kalangan petani, tingginya tingkat kekhawatiran petani mengenai kemungkinan gagal panen menyebabkan pestisida kimia masih tetap digunakan dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Disamping itu, penerapan budidaya PHT di lapangan cukup berat dan tidak semudah budidaya konvensional. Budidaya PHT perlu ditunjang dengan berbagai pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman, bioekologi hama dan penyakit, informasi dasar mengenai morfologi, fisiologi dan genetik dari masing-masing hama dan penyakit, interaksi antara hama dan penyakit dengan tanaman dan lingkungan, dan potensi munculnya kerugian secara ekonomi (Gray et al. 2009).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman cabai keriting TM 999 secara konvensional dan PHT terhadap pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman.

Manfaat Penelitian

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai

Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh para pelancong. Jenis dan ragam tanaman cabai cukup banyak, diperkirakan terdapat 20 jenis cabai di seluruh dunia. Jenis cabai yang umum dibudidayakan oleh masyarakat adalah C. annuum, C. frutescens, C. chinense, C. pendulum dan C. pubescens (Basu et al. 2003). Buah cabai memiliki rasa dan aroma yang khas, beberapa jenis kuliner nusantara menggunakan cabai sebagai salah bahan pelengkapnya. Buah cabai mengandung vitamin, gizi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. Buah cabai tidak hanya dimanfaatan sebagai bahan penambah rasa, aroma atau hiasan pada makanan, buah cabai juga digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan obat-obatan (Duke 2002).

Klasifikasi

Kingdom : Tumbuhan

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : annum

Agronomi. Cabai merupakan tanaman berkayu dengan panjang batang utama berkisar antara 20-28 cm dan diameter batang antara 1.5-2.5 cm (Hewindati 2006). Percabangan batang berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm dengan diameter cabang dikotom sekitar 0.5-1 cm. Bentuk percabangan menggarpu dengan posisi daun berselang-seling, daun berbentuk hati, lonjong atau agak bulat telur (Dermawan 2010).

(14)

Cabai Keriting Hibrida TM 999

Cabai keriting hibrida TM 999 merupakan salah satu varietas dari C.

annuum yang berasal dari Hungnong, Korea. Tanaman tegak dengan pertumbuhan tanaman yang kuat dan kokoh, tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 110-140 cm. Pembungaan berlangsung terus-menerus sehingga dapat dipanen dalam jangka waktu yang panjang. Bentuk buah yang dihasilkan ramping dengan ujung buah runcing, buah berukuran 12.5 x 0.8 cm dengan berat buah sekitar 5-6 g. Buah muda berwarna hijau dengan kulit buah agak mengkilat, setelah masak warna buah berubah menjadi merah. Panen dapat dilakukan setelah tanaman berumur 90 hst untuk dataran rendah dan 105 hst pada dataran tinggi. Produksi cabai keriting hibrida TM 999 berkisar antara 0.8-1.2 kg setiap tanamannya.

Budidaya Tanaman Cabai

Persiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan dari sampah dan sisa tanaman, kemudian dilakukan penggemburan tanah. Penggemburan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul atau traktor dengan kedalaman tanah kurang lebih 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan bedeng, umumnya tinggi bedeng sekitar 0.4 m, lebar 1 m dan jarak antar bedeng 40-50 cm. Bedeng yang telah siap kemudian ditutup dengan menggunakan mulsa perak. Pembuatan lubang tanam dilakukan dengan jarak sekitar 60 cm.

Kegiatan persemaian dimulai dengan menyiapkan media semai, media semai yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 2 : 1. Campuran tersebut diaduk secara merata dan dimasukkan ke dalam polibag yang berukuran 4 x 6 cm. Benih yang telah diperam dimasukan kedalam polibag yang telah disediakan, kemudian ditutup dengan sedikit media semai. Polibag yang telah terisi benih cabai kemudian diletakkan pada petak semai. Penyiraman dilakukan dua kali sehari atau disesuaikan dengan kondisi cuaca.

Pemindahan bibit cabai ke lahan dilakukkan ketika bibit sudah berumur 25 hari setelah semai (hss) atau ketika tanaman telah memiliki daun sebanyak 4-5 helai. Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dikeluarkan dari polibag dengan cara mengepal polibag terlebih dahulu sebelum merobeknya. Bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan posisi tegak dan ditutup dengan tanah. Pemberian ajir dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) pada bagian luar lubang tanam dengan jarak sekitar 10 cm. Setelah cabai berumur 15-21 hst dilakukan pengikatan dengan menggunakan tali.

(15)

Panen dilakukan ketika buah telah berwarna merah secara keseluruhan, umumnya panen dilakukan ketika tanaman cabai berumur 2 bulan. Panen dilakukan dengan memetik buah beserta tangkainya atau dengan menarik buah secara berlawanan dengan arah buah. Interval panen 3-5 hari sekali dengan masa panen 1-2 bulan atau lebih. Buah yang cacat (karena penyakit atau penyebab lain) dipisahkan dari buah yang lain.

Budidaya Konvensional. Budidaya konvensional pada tanaman cabai merupakan kegiatan budidaya tanaman yang umum dilakukan oleh petani, penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan secara intensif. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif dimulai sejak munculnya gerakan revolusi hijau di Indonesia. Selama revolusi hijau, teknologi di bidang pertanian berkembang pesat dan telah digunakan dalam meningkatkan produktivitas pertanian.

Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang terbukti berhasil meningkatkan produktivitas pertanian, namun dampak negatif yang ditimbulkan cukup besar bagi pertanian. Sekitar akhir tahun 1970 beberapa ahli pertanian melaporkan adanya berbagai permasalahan yang muncul dari penggunaan pestisida kimia dalam bidang pertanian (Oka 1978). Permasalahan yang muncul seperti resistensi hama, munculnya outbreak hama dan penyakit, pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia (Resosudarmo et al. 2011).

Penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman masih tetap dilakukan petani sampai saat ini. Petani masih menganggap bahwa penggunaan pestisida kimia merupakan pilihan yang tepat dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Dampak negatif yang ditimbulkan dari aplikasi pestisida yang dilakukan oleh petani semakin besar karena penggunaannya yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Kondisi ini dipicu oleh minimnya informasi mengenai dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan pestisida, serta tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap kemungkinan gagal panen.

Budidaya Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Stern et al. (1959)

memperkenalkan konsep “pengendalian terpadu” ketika penggunaan pestisida kimia seperti organoklorin, organopospat (Ops) dan karbamat menjadi pilihan utama dalam mengendalikan hama dan penyakit. Konsep pengendalian hama terpadu (PHT) didasarkan pada ambang ekonomi dan ekologi, dimana pengendalian kimia dan biologi dikembangkan secara bersama-sama dan sinergis. Penggunaan agen hayati dan pendekatan rasional merupakan kunci utama strategi PHT yang mampu memenuhi tantangan di bidang pertanian (Ishaaya 2003; Horowitz dan Ishaaya 2004; Ishaaya et al. 2005). Ehler et al. (2006) dalam Weiss

et al. (2009) memaparkan bahwa PHT merupakan suatu kegiatan bersama yang mencakup pengelolaan hama, monitoring hama, musuh alami dan agen antagonis. Penggunaan pestisida dan taktik pengendalian hama berdasarkan nilai ambang ekonomi.

(16)

tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam, pemupukan, pengairan, jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen antagonis dan budidaya lainnya. Sedangkan upaya responsif adalah upaya pengendalian yang didasarkan pada informasi status hama dan penyakit dan faktor yang berpengaruh pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya dari tindakan yang perlu dilakukan. Upaya ini meliputi penggunaan musuh alami, pestisida nabati, pengendalian mekanis, antraktan dan pestisida kimia.

Konsep PHT di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1976, pada tahun 1989 dikembangkan program PHT yang fokus pada tanaman padi. Pemerintah mendukung pengembangan PHT dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3 tahun 1986 mengenai pelarangan 57 formulasi insektisida pada tanaman padi. Perkembangan PHT cukup signifikan dalam periode tahun periode 1989-1999 melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT). Program ini membantu petani untuk menerapkan konsep PHT pada budidaya padi dan tanaman pangan, melalui serangkaian kuliah dan praktek langsung di lapangan.

Budidaya PHT terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia, serta mendukung pertanian yang berkelanjutan. Minimnya penggunaan bahan kimia berdampak positif bagi kesehatan tanah dan mendukung perkembangan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman. Secara teknis budidaya PHT memang terkesan lebih rumit daripada budidaya konvensional, kemungkinan hal inilah yang menyebabkan budidaya PHT kurang diminati oleh petani. Kurangnya informasi mengenai program PHT dan berbagai hal yang mendukungnya merupakan permasalahan utama dalam penerapan PHT di Indonesia.

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

Empoasca sp.

Empoasca sp. merupakan serangga penghisap cairan tanaman yang berukuran kecil (sekitar 3-4 mm). Umumnya serangga ini berbentuk brachyptera, yaitu serangga yang memiliki sayap pendek dan aktif pada malam hari (Capinera 2001). Serangga ini menjadi hama penting pada tanaman kapas, selain kapas serangga ini juga menyerang rumput, bunga, sayuran, buah, semak, palem dan gulma.

(17)

Kutu Kebul

Bemisia tabaci (Genn) (Hemiptera : Aleyrodidae)

Kutu kebul merupakan salah satu serangga dari famili Aleyrodidae yang dijumpai menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub-tropis. Kisaran inang serangga ini cukup luas dan dapat mencapai populasi yang besar dalam waktu yang cepat apabila kondisi kondisi lingkungan menguntungkan. Beberapa tanaman pertanian yang menjadi inang kutu kebul adalah kentang, timun, melon, labu, terong, cabai, lettuce dan brokoli.

Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh aktivitas imago dan nimfa yang mengisap cairan daun, gejala yang timbul berupa becak nekrotik pada daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul menghasilkan embun madu, embun madu yang dihasilkan lebih susah dihilangkan daripada yang dihasilkan oleh aphid, karena ukuran embun madu yang dihasilkan lebih besar. Embun madu merupakan media yang baik bagi tumbuhnya embun jelaga, keberadaan embun jelaga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada daun. Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat 60 jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain Geminivirus, Closterovirus, Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus.

Pengendalian dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pergiliran tanaman (rotasi) dengan tanaman bukan inang, seperti tanaman tomat, cabai, kentang dan mentimun. Pemasangan perangkap warna, kelambu dan sanitasi tanaman yang terserang merupakan pengendalian teknis yang mampu menekan populasi hama ini. Secara biologi pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinelidae) atau parasitoid nimfa Encarcia formosa.

Kutu daun melon

Aphis gossypii (Glover) (Hemiptera: Aphididae)

Penyebaran hama ini sangat luas, meliputi daerah beriklim tropis dan sedang kecuali Canada bagian utara dan Asia bagian utara. Kisaran inang dari hama ini cukup luas, seperti tanaman dari family Fabaceaae (Legumes, Lucerne), Solanaceae, Cucurbitaceae dan asteraceae. Kutu daun menyebabkan kerusakan yang cukup serius pada beberapa tanaman sayuran, seperti asparagus, cabai, terong dan okra. Selain tanaman sayuran, kutu daun juga menyebabkan kerusakan yang cukup parah pada jeruk, kapas dan melon.

(18)

Pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan musuh alami seperti, parasitoid Aphelinus gossypi (Timberlake), Lysiphlebus testaceipes

(Cresson), predator Coccinella transversalis atau cendawan entomopatogen

Neozygitesfresenii.

Lalat Buah

Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae)

Keragaman jenis dari lalat buah (Tephhritidae) di seluruh dunia cukup tinggi, kurang lebih terdapat sekitar 4000 jenis lalat buah yang tersebar di seluruh dunia. Beberapa jenis dari serangga ini merupakan hama penting pada pertanian, diantaranya adalah lalat buah dari genus Anastrepha, Ceratitis dan Bactrocera. Genus Bactrocera terdiri dari 350-375 jenis, sedangkan jenis yang umum menjadi hama pada genus ini adalah Bactrocera dorsalis (Hendel). Lalat buah tercatat telah menyerang lebih dari 150 jenis buah dan sayuran, termasuk jeruk, jambu biji, mangga, pepaya, alpukat, pisang, tomat, ceri Suriname, jambu, markisa, kesemek, nanas, persik, pir, aprikot, ara, dan kopi. Alpukat, manga dan pepaya merupakan buah-buahan yang sering diserang oleh hama ini.

Lalat buah oriental menyebabkan kebusukan pada buah, gejala pada buah yang terserang ditandai dengan adanya titik hitam pada bagian pangkal buah, gejala ini timbul karena bekas tusukan ovipositor lalat dewasa yang memasukkan telurnya. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini menyerang dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama. Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman, pembungkusan, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid.

Thrips

Thrips parvispinus (Karny) (Thripidae:Thysanoptera)

Thrips menjadi hama penting pada beberapa tanaman pertanian di Indonesia dan mampu menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hama ini berasal dari Asia Tenggara, penyebaran hama ini meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Papua Nugini dan Australia Utara, Hawaii, kepulauan Mikronesia, dan Yunani. Di Indonesia, serangga ini menyerang beberapa tanaman di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Hama ini bersifat polifag dengan tanaman inang utama cabai, bawang merah, bawang daun dan jenis bawang lainnya dan tomat.Sedangkan tanaman inang lainnya tembakau, kopi, ubi jalar, waluh, bayam, kentang, kapas, tanaman dari famili Crusiferae, Crotalaria dan kacang-kacangan.

(19)

benjolan seperti tumor. Pertumbuhan tanaman yang terserang akan terhambat, kerdil bahkan mati pucuk. Thrips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan virus keriting. Pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan memasang mulsa perak, melakukan sanitasi, pergiliran tanaman dan aplikasi insektisida.

Ganjur Cabai

(Asphondylia sp) (Diptera: Ceccidomyiidae)

Hama ganjur cabai merupakan hama baru yang menyerang tanaman cabai. Buah cabai yang terserang akan mengalami malformasi, bentuk buah memuntir dan membengkak (Orphanides 1975; Harris 1975). Kerusakan yang ditimbulkan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi buah. Serangan hama ini sering terlihat pada buah muda daripada buah matang, buah muda yang terserang masih berkembang dan matang meskipun dengan ukuran yang lebih kecil. Hama ganjur cabai meletakkan telur pada saat cabai mulai berbunga, sehingga ketika larva menetas mendapatkan makanan berupa jaringan daging buah muda. Gejala serangan pada buah terlihat pada kisaran 7-10 hari setelah peneluran, lama stadium telur dan larva masing-masing 3 dan 7 hari (Orphanides 1975).

Gallagheret et all. (2002) menyarankan pengendalian preventif dengan memanfaatkan musuh alami dan tindkan pengendalian secara fisik, mekanik dan kimia.

Antraknosa (Colletotrichum capsici)

Penyakit ini menyerang bagian buah cabai, baik buah yang masih muda maupun yang sudah masak. Cendawan ini termasuk salah satu patogen yang terbawa oleh benih. Penyebaran penyakit ini terjadi melalui percikan air, baik air hujan maupun alat semprot. Suhu optimum bagi perkembangan cendawan ini berkisar antara 20–24° C.

Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat. Warna hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus), apabila kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah muda. Luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah lingkaran konsentris dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam waktu yang tidak lama buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan membusuk, ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan.

(20)

Layu Bakteri (Pseudomonas solanacearum)

Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum, bakteri ini ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa tanaman, pengairan, nematoda atau alat-alat pertanian. Selain itu, bakteri ini mampu bertahan selama bertahun-tahun di dalam tanah dalam keadaan tidak aktif. Penyakit ini cepat meluas terutama di tanah dataran rendah.

Gejala awal ditandai dengan munculnya kelayuan yang tidak permanen pada tanaman cabai, namun pada stadia lanjut kelayuan terjadi secara menyeluruh dan permanen. Tanaman cabai mengalami kelayuan dan mati pada kurun waktu 3 hari atau lebih. Keberadaan bakteri pada tanaman dapat diketahui dari adanya cairan berwarna coklat susu berlendir, semacam asap yang keluar dari jaringan pembuluh apabila batang dimasukkan ke dalam air.

Pengendalian dilakukan dengan menyingkirkan tanaman yang terserang dengan segera sehingga tidak menyebar ke tanaman yang lain. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga bedengan tanam selalu dalam kondisi kering di luar. Rotasi tanaman mampu mengurangi resiko serangan penyakit tersebut. Secara kimiawi, pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga hidroksida, konsentrasi yang digunakan adalah 5 - 10 g/liter. Aplikasi dilakukan pada lubang tanam sebanyak 200 ml/tanaman dengan interval waktu 10 - 14 hari dan dimulai saat tanaman mulai berbunga.

Bercak Daun (Cercospora capsici)

Bercak daun disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici, cendawan ini mampu bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Gejala awal penyakit ditandai dengan munculnya bercak berbentuk bulat pada daun tanaman cabai. Serangan yang berat dapat menyebabkan daun berguguran, sehingga pertumbuhan tanaman kurang optimal. Cendawan ini juga menyerang batang, tangkai daun serta tangkai bunga.

Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan membuang tanaman yang terserang sekaligus membersihkan lingkungan disekitar tanaman. Secara kimia dapat juga dicegah dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida atau mankozeb.

Virus gemini

(21)
(22)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2010 di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Metode

Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999

Lahan Konvensional. Lahan yang digunakan diolah sebagaimana pengolahan lahan pada umumnya, tanah dibersihkan dari sampah dan sisa tanaman sebelumnya. Tanah kemudian digemburkan dan dibuat bedengan, pada bedengan yang telah siap ditambahkan pupuk kandang sebanyak dua karung, diratakan dan kemudian ditutup dengan mulsa perak. Benih yang digunakan adalah benih cabai keriting hibrida TM 999, sebelum disemaikan benih terlebih dahulu direndam dengan air hangat selama kurang lebih 1 jam. Setelah direndam benih cabai dikering anginkan dan disemai pada media persemaian. Ketika tanaman sudah berumur 14 hari setelah semai dilakukan penyemprotan dengan

pupuk NPK majemuk dengan merek dagang “Gandasil D”, dosis yang digunakan adalah 0.5 g/l air.

Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 minggu setelah tanam (mst), pupuk yang digunakan adalah pupuk dasar seperti Urea, Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah dengan aplikasi larutan kotoran hewan (kohe), larutan kohe dibuat dengan mencampurkan kotoran hewan dan Efektif Mikroorganism (EM-4) yang dibiarkan selama 1 minggu. Dosis EM-4 yang digunakan adalah sebanyak 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe dilakukan ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 minggu setelah tanam (mst).

Penanggulangan hama dan penyakit tanaman cabai dilakukan dengan menyemprotkan pestisida kimia pada tanaman cabai. Penyemprotan pestisida dilakukan setiap 2 minggu sekali ketika tanaman cabai berumur 15, 30, 45, 60, 75, dan 90 hari setelah tanam (hst). Ketika tanaman sudah memasuki masa produksi, penyemprotan dilakukan seminggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Pestisida yang digunakan dikenal dengan nama dagang Dithane yang berbahan aktif karbamat, Curacron yang berbahan aktif profenofos, Antracol yang berbahan aktif propineb dan Actara yang berbahan aktif thiamethoxan, aplikasi pestisida dilakukan dengan dosis 5-10 g/l untuk fungisida dan 5 cc/l untuk insektisida.

(23)

disiapkan disemprot dengan larutan dekomposer maximum (Decomax) dengan dosis 10 cc/liter air. Decomax merupakan dekomposer alami yang mengandung

Zygosaccharonyces fermentasi dan Pichia guilliermondii, bakteri ini merupakan perombak selulosa. Perlakuan pada benih dilakukan dengan merendam benih dalam larutan Actigrow dengan dosis 10 cc/ltr selama kurang lebih 6 jam.

Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorrescens yang terkandung di dalam Actigrow diharapkan mampu mengurangi keberadaan patogen yang terdapat pada benih. Benih yang telah direndam kemudian dikeringanginkan dan disemaikan. Ketika persemaian telah berumur 14 hss dilakukan penyemprotan Actigrow dengan dosis 10 cc/liter air.

Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 mst, pupuk yang digunakan adalah Urea, Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah

dengan aplikasi larutan kotoran hewan (kohe), larutan kohe dibuat dengan mencampurkan kotoran hewan dan Decomax yang dibiarkan selama 1 minggu dengan dosis 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe dilakukan ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 mst.

Penanggulangan hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menyemprotkan Fitplanta dan Actigrow pada tanaman cabai. Fitplanta merupakan penyehat tanaman yang mempunyai fungsi ganda sebagai pupuk dan biopestisida alami yang mengandung unsur makro dan mikro, bakteri dan aktinomycetes antagonis. Penyemprotan Fitplanta dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu ketika tanaman cabai berumur 14, 28, 42/50, dan 90 hst. Dosis penyemprotan yang dilakukan adalah 10 cc/l, penyemprotan dilakukan secara merata pada semua bagian tanaman cabai. Aplikasi Actigrow dilakukan ketika tanaman cabai telah berumur 30, dan 60 hst. Dosis yang digunakan adalah 10 cc/l air, aplikasi Actigrow dilakukan dengan menyiramkan larutan disekitar perakaran tanaman cabai.

Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh

Penentuan Petak Perlakuan. Penentuan petak perlakuan dilakukan secara berurutan, petak 1, 3 dan 5 merupakan petak budidaya secara PHT, sedangkan petak 2, 4 dan 6 merupakan petak budidaya konvensional. Petak budidaya PHT dikelilingi oleh tanaman penghalang yang berupa singkong dan jagung, sedangkan petak budidaya konvensional tidak dikelilingi oleh tanaman penghalang. Pergantian antara petak budidaya PHT dengan konvensional diberi jarak kurang lebih 50 cm.

(24)

Pengamatan

Pertumbuhan Tanaman. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali, ketika tanaman berumur 2, 4 dan 10 mst. Pengamatan dilakukan dengan melihat tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah pucuk. Pengukuran tinggi tanaman dan tinggi cabang dikotom dilakukan dengan menggunakan penggaris pancang, tinggi tanaman diukur dari tanah sampai daun bagian atas. Sedangkan tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman sampai percabangan pertama. Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan posisi horisontal dan sejajar dengan mulsa perak.

Hama dan Penyakit. Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali dengan melihat kejadian hama dan penyakit pada masing-masing tanaman contoh yang telah ditentukan. Pengamatan dilakukan dengan melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh hama dan penyakit pada beberapa bagian tanaman cabai keriting, seperti pucuk daun, daun dan buah cabai keriting. Pengamatan pada pucuk daun dilakukan untuk melihat gejala serangan thrips dan Empoasca sp., daun untuk melihat gejala penyakit bercak daun dan buah untuk melihat gejala serangan lalat buah, puru dan antraknosa.

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan kejadian penyakit dengan kerusakan parsial, yaitu kerusakan yang terjadi pada beberapa bagian tanaman. Penghitungan persentase kerusakan dilakukan dengan menggunakan rumus,

Kejadian penyakit (%) = (n ÷ N) X 100% n : ∑ bagian tanaman terserang N : ∑ total bagian tanaman.

Produksi. Pengamatan produksi buah cabai dilakukan ketika tanaman sudah memasuki masa generatif. Pengamatan dilakukan dengan menghitung total panen pada masing-masing petak.

Analisis Data

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Sebagian besar petani di Indonesia menerapkan budidaya jenis ini dalam mengembangkan tanaman cabai. Penggunaan pestisida kimia yang intensif pada kegiatan budidaya menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia yang intensif dipicu oleh minimnya informasi mengenai teknologi budidaya tanaman yang ramah lingkungan dan tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap kemungkinan gagal panen. Kondisi ini diperparah dengan cara aplikasi pestisida kimia yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku.

Besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia mengharuskan adanya pembatasan atau pengurangan penggunaannya dalam budidaya tanaman. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan budidaya tanaman secara pengendalian hama terpadu (PHT). PHT merupakan strategi budidaya tanaman yang menerapkan pendekatan budidaya alami dan ramah lingkungan. Konsep budidaya PHT telah terbukti mampu meminimalisir penggunaan pestisida kimia dalam kegiatan budidaya tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memanfaatkan agen antagonis, musuh alami dan meningkatkan ketahanan alami tanaman. Penggunaan pestisida kimia dalam budidaya PHT hanya dilakukan ketika upaya pengendalian yang lain gagal dan disesuaikan dengan nilai ambang ekonomi, sehingga kerugian ekonomi pada budidaya cabai dapat dihindari.

Budidaya konvensional yang diterapkan pada penelitian ini mengadopsi praktik budidaya cabai yang dilakukan oleh petani, mulai dari pengolahan lahan sampai dengan panen. Praktik budidaya cabai konvensional yang dilakukan pada penelitian ini disajikan secara lengkap di dalam lampiran. Aplikasi pestisida kimia dalam budidaya konvensional tidak sepenuhnya sama dengan yang dilakukan oleh petani, penelitian ini hanya mengadopsi jenis-jenis pestisida kimia yang umum digunakan oleh petani dalam megendalikan hama dan penyakit pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Jenis pestisida kimia yang digunakan umumnya dikenal dengan nama dagang Dithane, Curacron, Antracol dan Actara.

(26)

dan penyakit (Kaymak 2010). Aplikasi kedua bakteri ini juga membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai keriting dengan cara memproduksi zat pengatur tumbuhan (ZPT) dan meningkatkan penyerapan fosfat pada akar tanaman. Selain itu, kedua bakteri ini juga mampu merangsang pembentukan antibodi dan fitoaleksin pada tanaman yang membantu meningkatkan kesehatan tanaman (Dardanelli 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa budidaya PHT mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi cabai keriting hibrida TM 999, namun masih kurang begitu baik dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Secara umum, kedua jenis budidaya yang dilakukan pada penelitian ini memberikan hasil yang hampir sama terhadap budidaya cabai keriting hibrida TM 999. Uji selang ganda Duncan yang dilakukan terhadap hasil penelitian tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata yang signifikan diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan.

Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999

Berdasarkan hasil pengamatan pertumbuhan tanaman, budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan hasil yang lebih baik daripada konvensional. Secara umum pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak PHT terlihat lebih cepat, tanaman tumbuh lebih subur dan perkembangan tanaman optimal. Budidaya PHT membantu tanaman cabai keriting hibrida TM 999 mengoptimalkan unsur-unsur penting yang dibutuhkannya, sehingga tanaman mampu berkembang dengan baik.

Parameter yang diamati seperti tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah cabang menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada budidaya cabai secara PHT. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa parameter tinggi tanaman pada budidaya keriting hibrida TM 999 secara PHT memiliki nilai yang lebih tinggi daripada konvensional, walaupun setelah dilakukan uji lanjut tidak menunjukkan adanya nilai beda nyata diantara kedua jenis budidaya yang dilakukan. Perbedaan tertinggi dapat dilihat pada pengamatan ke-2 mst. Tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman dimana cabang pertama mulai terbentuk. Budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT menunjukkan nilai tinggi cabang dikotom yang lebih tinggi daripada konvensional, perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-4 mst.

(27)

Tabel 1 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Sifat agronomi Umur saat

pengamatan (mst) Konvensional PHT

Tinggi tanaman

2 31.53a 46.80a

4 66.80a 75.20a

10 74.67a 80.00a

Tinggi cabang

Dikotom 2 17.13a 30.73a

4 29.97a 33.93a

10 31.47a 34.30a

Diameter

2 0.49a 0.66a

4 0.91b 1.06a

10 1.03a 1.14a

Jumlah cabang

2 5.73a 12.47a

4 39.13a 52.27a

10 91.00a 89.87a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Aplikasi mikroorganisme bermanfaat seperti Bacillus polymyxa dan

Pseudomonas fluorescens yang dilakukan pada budidaya PHT mampu memacu pertumbuhan tanaman cabai. Kedua mikroorganisme tersebut merupakan bagian dari plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang berfungsi sebagi pupuk hayati (Vessey 2003). PGPR mampu mengikat nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi senyawa yang siap diserap oleh tanaman (Dardanelli et al.

(28)

(a) (b) (c)

Gambar 2 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya Konvensional: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst

(a) (b) (c)

Gambar 3 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya PHT: (a) 2 mst, (b) 4 mst, (c) 10 mst

Perkembangan Hama dan Penyakit

Thrips (Thrips parvispinus Karny)

Gejala serangan thrips terlihat dari adanya bercak berwarna putih atau keperakan yang tidak beraturan pada daun cabai. Setelah beberapa waktu bercak tersebut akan berubah menjadi cokelat tembaga. Daun cabai yang terserang akan mengeriting/keriput dan kemudian mati. Serangan berat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan muncul benjolan seperti tumor. Keberadaan thrips menyebabkan pertumbuhan tanaman cabai terganggu, tanaman menjadi kerdil atau bahkan mati pucuk. Terhambatnya pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada lahan penelitian menyebabkan terganggunya proses produksi buah.

(29)

Tabel 2 Perkembangan gejala thrips pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Umur saat pengamatan

(mst)

Rata-rata gejala serangan (pucuk tanaman)

Rata-rata persentase gejala serangan (%) Konvensional PHT Konvensional PHT

1 0.40a 1.13a 26.67a 63.33a

2 2.20a 6.73a 31.46a 60.55a

3 5.87a 15.40a 59.70a 68.46a

4 5.33a 6.80a 25.71a 17.65a

5 6.73a 5.93a 21.55a 11.27a

6 5.60a 4.93a 16.06a 10.11a

7 4.13a 2.47a 9.26a 4.71a

8 4.67a 2.00a 6.27a 2.42a

9 6.27b 2.40a 8.01b 2.75a

10 5.47a 2.80a 7.54a 3.10a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Secara umum terlihat bahwa persentase serangan thrips cukup tinggi pada tanaman muda, kemudian semakin berkurang ketika tanaman memasuki masa berbuah. Thrips menyukai tanaman cabai yang masih muda atau pucuk tanaman, ketika tanaman memasuki masa generatif hama ini lebih sering terlihat meyebabkan kerusakan pada bunga. Thrips memanfaatkan celah kecil pada pangkal daun atau bunga sebagai tempat bersembunyi dari predator atau ketika dilakukan kegiatan pengendalian. Kondisi ini cukup menyulitkan tindakan pengendalian yang dilakukan pada lahan penelitian, kondisi hujan yang tidak menentu juga mempengaruhi keefektifan dari tindakan pengendalian yang dilakukan.

(30)

Empoasca sp.

Keberadaan Empoasca sp. pada tanaman cabai menimbulkan bercak berwarna putih pada daun. Hama ini merupakan serangga penghisap cairan tanaman, aktifitas makan yang dilakukan oleh hama ini menimbulakan bercak putih pada daun tanaman cabai. Empoasca sp. terlihat cukup banyak pada daun tanaman cabai, terutama pada daun muda atau pucuk tanaman. Keberadaan tanaman terong di sekitar lahan penelitian merupakan salah satu faktor melimpahnya Empoasca sp. pada tanaman cabai.

Pengendalian Empoasca sp. dilakukan bersaman dengan thrips, aplikasi Fitplanta dan insektisida kimia dilakukan untuk mengurangi serangan hama ini pada lahan penelitian. Pengendalian yang dilakukan masih belum mampu mengurangi keberadaan Empoasca sp., hama ini masih terlihat cukup melimpah pada lahan penelitian. Faktor utama yang menyebabkan kurang efektifnya pengendalian yang dilakukan adalah kemampuan mobilitas Empoasca sp. yang tinggi, serta keberadaan inang lain disekitar lahan penelitian. Hama ini akan menghindar ketika aplikasi dilakukan, baik penyemprotan Fitplanta maupun insektisida kimia. Setelah 1 atau 2 hari kemudian hama ini kembali terlihat menyerang tanaman cabai.

Berdasarkan hasil pengamatan gejala serangan Empoasca sp. yang disajikan pada Tabel 3, diketahui bahwa pengendalian secara PHT dan konvensional menunjukkan hasil yang hampir sama pada tingkat serangan hama

Empoasca sp. Pengendalian secara konvensional terlihat sedikit lebih efektif dan mampu menekan keberadaan hama ini pada tanaman cabai. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 10 kali pengamatan pada tingkat serangan

Empoasca sp., terdapat 3 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata. Tingkat perbedaan tertinggi terlihat pada pengamatan ke-10 mst.

Tabel 3 Perkembangan serangan Empoasca sp. pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I,

Konvensional PHT Konvensional PHT

(31)

Gejala serangan Empoasca sp. lebih banyak terlihat pada budidaya PHT, hampir semua tanaman cabai yang terdapat pada lahan penelitian terserang oleh hama ini. Empoasca sp. juga terlihat menyerang tanaman cabai yang ditanam secara konvensional, namun serangan yang terjadi tidak sebesar pada budidaya PHT. Tindakan pengendalian yang dilakukan pada budidaya konvensional mampu mengurangi jumlah hama ini secara langsung, beberapa Empoasca sp. terlihat mati setelah dilakukan aplikasi pengendalian pada budidaya ini.

Gambar 5 Gejala serangan Empoasca sp. : (a) serangga dewasa, (b) bercak putih

Lalat Buah (Bactrocera spp.)

Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah, buah yang terserang akan membusuk dan kemudian jatuh ke tanah. Lalat buah menyebabkan kerusakan pada buah cabai yang masih muda maupun buah yang sudah matang. Gejala awal terlihat dari adanya titik hitam pada bagian pangkal buah, titik hitam pada pangkal buah muncul karena aktifitas lalat buah dewasa yang memasukkan telurnya pada buah cabai. Telur tersebut akan menetas dan berkembang di dalam buah cabai. Larva yang terdapat di dalam buah menimbulkan kerusakan dari dalam, buah menjadi berwarna kuning pucat dan layu. Kualitas buah cabai yang terserang hama ini akan menurun dan tidak layak untuk dipasarkan. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini menyebabkan kerusakan dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama. Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman, pembungkusan buah, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid.

Pengendalian lalat buah pada penelitian ini dilakukan secara alami dan kimia, pengendalian alami dilakukan dengan mengaplikasikan Fitplanta, sedangkan pengendalian kimia dilakukan dengan mengaplikasikan insektisida kimia. Kedua pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kedua jenis pengendalian yang dilakukan masih belum mampu menekan serangan lalat buah.

b

(32)

Tabel 4 Perkembangan serangan lalat buah pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Umur saat pengamatan

(mst) Konvensional PHT

1 0.00a 0.00a

2 0.00a 0.00a

3 0.00a 0.00a

4 0.00a 0.60a

5 0.00b 0.47a

6 0.07a 0.80a

7 0.20a 0.67a

8 0.20a 1.07a

9 0.27a 0.53a

10 0.00a 2.00a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Serangan lalat buah pada lahan penelitian terlihat cukup kecil dan tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar pada budidaya cabai yang dilakukan. Perkembangan populasi lalat buah tidak berlangsung dengan baik, kondisi tanah yang padat dan sering tergenang air kurang mendukung perkembangan pupa dari lalat buah. Disamping itu, sanitasi yang dilakukan terhadap buah yang terserang cukup efektif dalam menurunkan tingkat serangan hama ini.

Gambar 6 Gejala serangan lalat buah pada buah cabai keriting hibrida TM 999

Puru

Puru merupakan penyakit baru yang terlihat menyerang tanaman cabai keriting hibrida TM 999 , penyakit ini ini disebabkan oleh Asphondylia capsici

(33)

Pengendalian yang dilakukan pada penelitian ini tidak terlalu spesifik, karena tingkat serangan yang relatif kecil dan secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian. Gejala serangan puru lebih sering terlihat pada budidaya PHT. Kedua jenis budidaya yang dilakukan menunjukkan hasil yang hampir sama terhadap keberadaan penyakit puru. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan sebanyak 10 kali, diketahui bahwa pengamatan ke-8 mst menunjukan adanya tingkat perbedaan yang nyata.

Tabel 5 Perkembangan penyakit puru pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Umur saat pengamatan

(mst) Konvensional PHT

1 0.00a 0.00a

2 0.00a 0.00a

3 0.00a 0.00a

4 0.00a 0.00a

5 1.27a 2.00a

6 0.80a 2.20a

7 1.07a 1.47a

8 0.00b 2.07a

9 2.00a 1.87a

10 2.07a 2.47a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Penyakit puru yang terlihat pada lahan pertanaman cabai keriting hibrida TM 999 tidak menimbulkan kerugian yang besar. Serangan penyakit ini memang hanya terlihat pada beberapa buah saja, namun dampak yang ditimbulkan pada buah cabai perlu diwaspadai karena mampu menurunkan kualitas dan kuantitas buah. Buah menjadi tidak layak untuk dikonsumsi, karena terjadi penghitaman pada bagian dalam buah dan rasa buah menjadi agak pahit.

(34)

Bercak Daun (Cercospora sp.)

Bercak daun merupakan salah satu jenis penyakit yang umum menyerang tanaman cabai di Asia Tenggara. Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada daun, batang dan akar. Gejala serangan penyakit ini mulai terlihat dari munculnya bercak berwarna coklat pada daun, ukuran bercak bisa mencapai sekitar 1 inci. Bercak daun mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar pada budidaya cabai, daun yang terserang akan layu dan rontok. Serangan berat meyebabkan tanaman cabai kehilangan hampir semua daunnya, kondisi ini akan mempengaruhi kemampuan cabai dalam menghasilkan buah. Kondisi lingkungan yang selalu hujan mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit bercak daun.

Berdasarkan Tabel 6 serangan penyakit bercak daun mulai muncul pada pengamatan ke-5 mst, penyebaran penyakit bercak daun sangat terbatas dan tidak meluas. Gejala penyakit hanya terlihat menyerang beberapa tanaman cabai di lahan penelitian. Upaya pengendalian yang dilakukan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata, baik pengendalian secara PHT maupun konvensional. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya nilai perbedaan nyata diantara kedua pengendalian, yaitu pada pengamatan ke- 8 dan 10 mst.

Tabel 6 Perkembangan penyakit bercak daun pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I,

Konvensional PHT Konvensional PHT

1 0.00a 0.00a 0.00a 0.00a tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

(35)

Gambar 8 Gejala penyakit bercak daun pada daun cabai keriting hibrida TM 999

Antraknosa (Colletotrichum sp.)

Petani cabai umumnya menyebut penyakit ini dengan nama “patek”, karena

gejala yang ditimbulkan menyerupai penyakit kulit pada manusia. Antraknosa merupakan penyakit penting pada tanaman cabai, keberadaan penyakit ini pada pertanaman cabai mampu menurunkan kuantitas dan kualitas buah cabai dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Gejala awal terlihat dari adanya bercak kecil pada buah cabai, bercak tersebut akan meluas dan membentuk sebuah lingkaran konsentris. Buah cabai yang terserang akan mengkerut dan tetap melekat pada cabang tanaman cabai. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada semua buah cabai, baik buah yang masih muda maupun yang sudah matang. Penyebaran penyakit antraknosa ke tanaman lain dilakukan melalui percikan air.

Tabel 7 Perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Umur saat pengamatan

(mst) Konvensional PHT

1 0.00a 0.00a

2 0.00a 0.00a

3 0.00a 0.00a

4 0.00a 0.00a

5 0.00a 0.00a

6 0.00a 0.00a

7 0.00a 0.87a

8 0.67a 3.47a

9 1.20b 10.60a

10 2.13b 17.40a

(36)

Berdasarkan Tabel 7, serangan penyakit antraknosa mulai terlihat pada pengamatan ke-7 mst. Penyakit ini mampu menimbulkan kerusakan pada waktu tanaman cabai mulai berbuah. Serangan antraknosa semakin meningkat pada pengamatan berikutnya dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar pada lahan pertanaman cabai. Serangan terberat terlihat pada pengamatan ke-10 mst, hampir semua tanaman cabai pada lahan penelitian terserang penyakit ini. Pengendalian secara konvensional menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan serangan penyakit antraknosa. Terdapat 2 kali pengamatan yang menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam mengendalikan penyakit ini, yaitu pada pengamatan ke-9 dan 10 mst.

Pengendalian antraknosa pada budidaya cabai harus didukung dengan kegiatan sanitasi, baik sanitasi terhadap lingkungan di sekitar pertanaman maupun buah yang terserang. Sanitasi yang kurang optimal menyebabkan melimpahnya inokulum pada lahan penelitian, sehingga penyebaran penyakit ini mampu meluas dan menyebabkan kerusakan dengan cepat. Kondisi cuaca di lahan penelitian yang sering diguyur air hujan, serta lokasi penanaman yang berada di bawah sangat mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit antraknosa.

\

Gambar 9 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai keriting hibrida TM 999

Virus Kuning

Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai ditandai dengan

munculnya “vein clearing” pada helaian daun, serangan penyakit ini pada

umumnya dimulai dari pucuk daun. Daun yang terserang akan berwarna kuning dengan tulang daun yang menebal dan terjadi penggulungan daun. Serangan tingkat lanjut menyebabkan daun mengecil dan pengkerdilan tanaman, tanaman yang telah terserang tidak mampu menghasilkan buah.

(37)

Tabel 8 Perkembangan penyakit virus pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Umur saat pengamatan

(mst) Konvensional PHT

1 0.33a 0.00a

2 0.33a 0.00a

3 0.33a 0.00a

4 0.33a 2.33a

5 1.33a 3.33a

6 1.33a 3.33a

7 5.33a 4.67a

8 5.33a 4.67a

9 5.33a 4.67a

10

5.33a 4.67a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

Gambar 10 Gejala penyakit virus kuning pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999

Produksi Cabai keriting hibrida TM 999

(38)

Panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau ketika embun sudah mulai menguap, apabila kondisi cuaca sedang hujan sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pemanenan. Panen pada kondisi hujan akan meningkatkan resiko kebusukan ketika buah disimpan, buah cabai yang dipanen pada waktu hujan sebaiknya dikering anginkan terlebih dahulu. Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan sanitasi buah yang terserang penyakit antraknosa. Kegiatan sanitasi yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan pemanenan sebaiknya dihindari, karena akan meningkatkan laju penyebaran penyakit antraknosa.

Berdasarkan tabel produksi cabai keriting hibrida TM 999 diketahui bahwa tingkat produktivitas buah pada budidaya PHT lebih baik daripada konvensional. Rata-rata hasil panen buah cabai pada budidaya PHT lebih tinggi daripada konvensioanal, rata-rata panen tertinggi terdapat pada panen ke-4. Berdasarkan hasil panen dilakukan diketahui bahwa budidaya secara PHT lebih baik, walaupun perbedaan rata-rata panen cabai keriting hibrida TM 999 antara budidaya secara PHT dengan konvensional cukup kecil.

Tabel 9 Produksi tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan PHT di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Panen ke- Konvensional PHT

1 0.47a 0.70a

2 0.97a 1.13a

3 1.40a 2.00a

4 2.30a 3.10a

5 2.10a 2.33a

Keterangan: Angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 5 % berdasarkan uji selang ganda Duncan

(39)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Budidaya PHT yang diterapkan pada cabai keriting hibrida TM 999 terbukti memberikan hasil yang lebih baik pada pertumbuhan tanaman. Rata-rata nilai tinggi tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter batang dan jumlah cabang menunjukkan angka yang lebih tinggi daripada budidaya konvensioanal. Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan pada kedua jenis budidaya memberikan hasil yang hampir sama, walaupun terlihat bahwa kejadian hama dan penyakit lebih banyak muncul pada budidaya PHT. Kondisi lingkungan dan kurangnya sanitasi berpengaruh besar terhadap munculnya hama dan penyakit pada budidaya cabai keriting hibrida TM 999 secara PHT. Produksi rata-rata buah cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya PHT menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada budidaya konvensional.

Saran

Budidaya PHT yang diterapkan pada cabai keriting hibrida TM 999 terbukti menunjukkan hasil yang hampir sama dengan budidaya konvensional, baik dari sisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman maupun tingkat kejadian hama dan penyakit. Penggunaan bahan-bahan alami dan pemanfaatan mikroorganisme di sekitar lahan penanaman memberikan efek positif bagi keberlangsungan kegiatan pertanian. Namun, kegiatan budidaya PHT masih sangat minim dilakukan oleh petani di Indonesia, kurangnya minat petani terhadap budidaya PHT merupakan topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Terdapat beberapa faktor lain diluar kegiatan budidaya yang berpengaruh terhadap penerapan budidaya PHT pada bidang pertanian, seperti kondisi sosial petani, pasar dan alur informasi mengenai PHT.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2006. Produksi cabe menurut provinsi. Departemen Pertanian

[internet]. [diunduh 4 Desember 2010]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id/tampil.php?page=inf_basisdata.

[Anonim]. 2008. Informasi spesies. Plantamor [internet]. [diunduh 10 November 2010]. Tersedia pada: Http://www.plantamor.com/index.php? plant= 271.

Altieri MA, Nicholls CI. 2004. Biodiversity and pest management in agroecosystems. Ed ke-2. New York: Food Product Press.

Bailey PT. Pests of fields crops and pastures: identification and control. Collingwood: CSRIO Pub.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Ed ke-6. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Capienera JL. 2001. Handbook of vegetable pests. San Diego : Academic Press.

Crosby KM. 2008. Pepper. Di dalam: Prohens J dan Nuez F, editor. Vegetables

II. New York: Springer. Hlm 221.

Dardanelli MS, Carletti SM, Paulucci NS, Medeot DB, Caceres EAR, Vita FA, Bueno M, Fumero MV, Garcia MB. Benefits of plants-promoting rhizobacteria and rhizobia in agriculture. Di dalam: Maheshwari DK, editor.

Plant Growth and Health Promoting Bacteria. Munster: Springer. hlm 1-20.

George RAT. 2009. Vegetable seed production. Ed ke-3. UK : CABI.

(41)

Funderburk J. Management of the western flower thrips (Thysanoptera: Thripidae) in fruiting vegetables. Academic One File [Internet]. [diunduh 2011 Agustus 4]. Tersedia pada: http://go.galegroup.com/ps/i.do?&id=n GALE%7CA197418732&v= 2.1&u =idipb&it=r&p=AONE&sw=w.

Gray EM, Ratcliffe ST, Rice ME. 2009. The IPM paradigm: concepts, strategies and tactics. Di dalam: Radcliffe EB, Hutchinson WD, Cancelado RE.

Integrated Pest Management. New York: Cambridge University Press.

Harpenas A, Dermawan R. 2010. Budidaya cabai unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hewindati, Yuni T. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.

Horst RK. 2008. Westcott’s plant disease handbook. Ed ke-7. New York: Springer.

Igbedioh SO. 1991. Effects of agricultural pesticides on humans, animals, and higher plants in developing countries. Academic One File [Internet]. [diunduh 2011 Juli 29]. Tersedia pada: http://find.galegroup. com/gtx/infomark.do?&contentSet=IAC Documents&type= retrieve&tabID =T002&prodId=AONE&docId=A11119862&source=gale&srcprod=AONE &userGroupName=idipb&version=1.0.

Ishaaya I. 2009. Biorational control of arthropod pests : application and resistance management. Springer Link [Internet]. [diunduh 2011 Agustus 5]. Tersedia pada: http://dx.doi.org.vdicp.health.fgov.be:8080/10.1007/978-90-481-2316-2.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Moretto A. 2004. Occupational aspects of pesticide toxicity in humans. Di dalam: Marss TC, Ballantyne B. Pesticide Toxicology and International Regulation. England. John Wiley & Sons, Ltd.

Mukhopadhyay S. 2010. Plant virus, vector. USA: Science Publishers.

(42)

Oka IN. 2005. Pengendalian hama terpadu. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Pickersgill B. 1984. Migrations of chili peppers, Capsicum spp., in the Americas. Di dalam: Stone D, editor. Pre-Columbian Plant Migration. Papers of the Peabody Museum of Archeology and Ethnology. Ed ke-76. Cambridge: Harvard University Press. hlm 105-123.

Pracaya. 1999. Hama dan penyakit tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya.

[RI] Presiden Republik Indonesia. 1986. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1986 tentang Peningkatan Pengendalian Hama Wereng Coklat pada Tanaman. Jakarta (ID): RI.

Rubatzky V E, Yamaguchi M. 1999. Sayuran dunia 3. Ed ke-2. Bandung : ITB Bandung.

Semangun H. 1998. Penyakit penting tanaman hortikultura. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Setiadi. 1996. Bertanam cabai. Jakarta: Penebar Swadaya.

Singh K, Tyagi SK. 2008. Medicinal plants. Jaipur: The Diamond Printing Press.

Tjahjadi N. 1991. Bertanam cabai. Yogyakarta: Kanisius.

Toogood A. 1999. Plant propagation. USA: DK Publishing Book.

Vaughan JG, Geisser CA. 2009. The new oxford book of food plants. New York: Oxford University Prees.

Walter GH. 2005. Insect pest management and ecological research. New York : Cambridge University Press.

(43)
(44)

Lampiran 1 Analisis ragam pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan pht di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Peubah Pengamatan Uji Fa Uji Duncan

B1b B2c Tinggi tanaman

2 tn 46.800a 31.533a

4 tn 75.200a 66.800a

10 tn 80.00a 74.667a

Tinggi cabang

dikotom 2 tn 30.733a 17.133a

4 tn 33.933a 29.967a

10 tn 34.300a 31.467a

Diameter

2 N 0.663a 0.487a

4 N 1.063a 0.907b

10 tn 1.143a 1.033a

Jumlah cabang

2 N 12.467a 5.733a

4 tn 52.267a 39.133a

10 tn 91.000a 89.867a

a

sn = sangat nyata, n = nyata, tn = tidak nyata. b

B1 = budidaya cabai besar secara pht. c

B2 = budidaya cabai besar secara konvensional.

Lampiran 2 Analisis ragam hama dan penyakit pada tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak konvensional dan pht di desa Cibatok I, Cibungbulang, Bogor 2010

Peubah Pengamatan Uji F Uji Duncan

B1 B2

Thrips

1 tn 1.1333a 0.4000a

2 tn 6.733a 2.200a

3 tn 15.400a 5.867a

4 tn 6.800a 5.333a

5 tn 6.7333a 5.9333a

6 tn 5.6000a 4.9333a

7 tn 4.133a 2.467a

8 tn 4.667a 2.000 a

9 n 6.2667a 2.4000b

Gambar

Tabel 1 Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada petak
Gambar 3   Pertumbuhan tanaman cabai keriting hibrida TM 999  pada budidaya
Tabel 2  Perkembangan gejala thrips pada tanaman cabai keriting hibrida TM
Tabel 3 Perkembangan serangan Empoasca sp. pada tanaman cabai keriting
+7

Referensi

Dokumen terkait