• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi Dan Eliminasi Virus Pada Umbi Bawang Merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi Dan Eliminasi Virus Pada Umbi Bawang Merah"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI DAN ELIMINASI VIRUS PADA UMBI

BAWANG MERAH

ASTRI WINDIA WULANDARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

ASTRI WINDIA WULANDARI. Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang Merah. Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT dan SOBIR.

Salah satu penyebab rendahnya produksi bawang merah secara nasional adalah ketersediaan benih yang berkualitas tinggi. Kualitas benih bawang merah ditentukan antara lain oleh status kesehatan benih. Benih yang berkualitas adalah benih yang bebas patogen termasuk bebas dari infeksi virus. Oleh karena itu sangat diperlukan upaya untuk menyediakan benih bawang merah yang bebas virus. Tanaman bawang merah dapat terinfeksi oleh virus dari kelompok Potyvirus (OYDV/Onion Yellow Dwarf Virus, SYSV/Shallot Yellow Stripe Virus, dan LYSV/Leek Yellow Stripe Virus), Carlavirus (SLV/Shallot Latent Virus dan GCLV/Garlic Common Latent Virus), dan Alexivirus (MbLV/Shallot Mite borne Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C, Gar-V-D dan GMV/Garlic Mosaic Virus). Penyakit yang disebabkan oleh virus bersifat sistemik dan apabila sudah ada dalam jaringan benih, akan sulit untuk dieliminasi dan dapat menyebabkan degenerasi. Infeksi virus pada tanaman bawang merah di lapangan maupun umbi di tempat penyimpanan belum banyak diketahui di Indonesia.

Tujuan penelitian adalah mendeteksi virus dari umbi bawang merah, mempelajari potensi perlakuan air panas dalam mengeliminasi infeksi virus pada umbi bawang merah dan mempelajari potensi perlakuan air panas yang dikombinasi dengan teknik kultur jaringan dalam mengeliminasi infeksi virus pada umbi bawang merah. Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2013 hingga Juli 2015, bertempat di Laboratorium dan Rumah kaca Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, serta Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor (IPB). Umbi benih bawang merah diambil dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling, yaitu sampel yang diambil mewakili 2 elemen pelaku usahatani bawang merah (petani dan pedagang) dari 5 daerah penghasil bawang merah (Brebes, Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Bandung). Diperoleh 10 kultivar bawang merah yaitu Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut, Sumenep, Jawa, Batu Merah, Batu Putih dan Jalaksana.

Kegiatan penelitian diawali dengan identifikasi virus menggunakan metode DIBA (Dot blot immunobinding assay) dengan antibodi OYDV, SLV, dan GCLV. Sampel uji terdiri atas umbi, dan daun hasil penanaman umbi (metode growing on test), masing-masing sebanyak 15 sampel/kultivar/daerah. Sampel uji yang positif terinfeksi virus digunakan sebagai bahan perlakuan pemanasan. Pengamatan morfologi umbi bawang merah pada kultivar Bima Curut, Sumenep, Batu Merah dan Jalaksana meliputi karakter diameter, jumlah lapisan dan kekerasan umbi, menggunakan 10 umbi untuk masing-masing karakter.

(6)

metode DIBA. Perlakuan air panas yang paling baik yaitu 45 C dan 50 C selama 15 dan 30 menit dikombinasikan dengan kultur jaringan pada media MS, 2ip 2 mg L-1 dan GA3 0.3 mg L-1. Keberadaan virus pada planlet hasil kultur jaringan dideteksi menggunakan metode RT-PCR.

Berdasarkan deteksi virus dengan metode DIBA, sampel bawang merah positif terinfeksi OYDV, SLV dan GCLV dengan rata-rata persentase infeksi virus pada jenis sampel umbi bawang merah berkisar antara 0% sampai 100%, sedangkan pada sampel daun bawang merah jumlah sampel yang terinfeksi virus berkisar antara 53.33% sampai 100%. Hasil deteksi tersebut dapat digunakan untuk merekomendasikan metode deteksi virus dari umbi bawang merah, yaitu dengan metode growing on test sebelum dilakukan uji serologi. Pengamatan morfologi umbi bawang merah menunjukkan bawang merah kultivar Batu Merah memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima Curut dan Jalaksana. Jumlah lapis kultivar Batu Merah lebih banyak dibandingkan kultivar Sumenep dan Jalaksana. Kultivar Jalaksana mempunyai tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima Curut dan Jalaksana.

Hasil pengamatan setelah perlakuan air panas pada suhu 40 C, 45 C, 50 C dan 55 C selama 15 dan 30 menit terhadap jumlah umbi yang tumbuh dan insidensi virus yang dikonfirmasi dengan metode DIBA menunjukkan bahwa pertumbuhan umbi kultivar Jalaksana lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Bima Curut, Sumenep dan Batu Merah. Insidensi virus tertinggi pada kultivar Jalaksana dan terendah pada kultivar Batu Merah. Perlakuan suhu 50 C selama 30 menit dapat menekan insidensi virus sebesar 90 % pada kultivar Batu Merah. Perlakuan suhu pemanasan yang terbaik yaitu 45 °C dan 50 °C selama 15 menit dan 30 menit karena dapat menekan insidensi virus tetapi tidak mengganggu pertumbuhan umbi.

Perlakuan air panas pada suhu 45 C dan 50 C selama 15 dan 30 menit yang dikombinasikan dengan kultur jaringan menunjukkan bahwa jumlah eksplan yang tumbuh pada kultivar Bima Curut cenderung lebih banyak, hal tersebut menunjukkan bahwa kultivar Bima Curut lebih toleran terhadap perlakuan pemanasan dibandingkan kultivar Sumenep. Daya tumbuh eksplan dan jumlah daun kedua kultivar menunjukan kecenderungan yang sama pada perlakuan suhu dan waktu pemanasan. Berdasarkan hasil deteksi virus pada plantlet bawang merah diketahui bahwa insidensi virus pada kultivar Sumenep cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pada kultivar Bima Curut. Perlakuan suhu 45 °C selama 15 menit pada kultivar Bima Curut dapat menekan insidensi Potyvirus dan Carlavirus sampai 100%. Perlakuan suhu 50 °C selama 15 menit pada kultivar Sumenep dapat menekan Potyvirus sampai 100%.

(7)

SUMMARY

ASTRI WINDIA WULANDARI. Detection and Elimination of Shallot Viruses from Bulbs. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and SOBIR.

Availability of high quality seed became an important constraint for productivity of shallot in Indonesia. One indicator of high quality seeds is determined by its seed health status, including free from virus infection. Therefore, the effort to provide virus-free seed bulbs should become a priority in disease management scheme. Major viruses causing diseases on shallot has been reported, i.e. Potyvirus (OYDV /Onion Yellow Dwarf Virus, SYSV/Shallot Yellow Stripe Virus, and LYSV/Leek Yellow Stripe Virus), Carlavirus (SLV/Shallot Latent Virus and GCLV/Garlic Common Latent Virus), and Alexivirus (MbLV/Shallot Mite borne Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C, Gar-V-D and GMV/Garlic Mosaic Virus). Virus infection occurs systemically, difficult to eliminate from plant tissues, and may cause degeneration. Limited data and information is available for virus infection on shallot in field as well as storage in Indonesia.

The aims of this research were to detect viruses from shallot’s bulbs, to

evaluate the potential of hot water treatment for elimination of virus infection

from shallot’s bulbs, and from tissue culture plantlets. Research was conducted

since August 2013 to July 2015, in Laboratory and Screen house of Plant Virology, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, and Laboratory of Tissue Culture, Center for Tropical Horticulture Study, Bogor Agricultural University (IPB). Bulbs was collected from West Java and Central Java with purpossive sampling method, i.e. taken from farmers and bulb sellers in Brebes, Cirebon, Kuningan, Majalengka and Bandung. Ten cultivars of shallot was collected, i.e. Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut, Sumenep, Jawa, Batu Merah, Batu Putih and Jalaksana.

Virus identification was first proceeded using DIBA (Dot blot immune binding assay) method with specific antibodies for OYDV, SLV, and GCLV. Bulbs and leaves collected from growing on test method was used for the identification assay, i.e. 15 samples/cultivar/location. Samples giving positive

reaction was then used for hot water treatment assay. Observation of bulb’s (cv

Bima Curut, Sumenep, Batu Merah and Jalaksana) morphology, using 10 samples for each character, involved bulb diameter, number of layers, and hardiness of bulb. Hot water treatment was given to bulbs using one of 4 temperatures, i.e. 40 C, 45 C, 50 C and 55 C, each with 2 different times, i.e. 15 and 30 min. Bulbs was then grown on soil media containing sterilized compost. One month later, virus was detected using DIBA method. The best hot water treatment, i.e. 45 C and 50 C for 15 and 30 min, was then combined with tissue cuture using MS media, 2ip 2 mg L-1dan GA3 0.3 mg L-1. Confirmation of virus infection on tissue culture plantlet was detected using RT-PCR method.

Based on detection using DIBA method, infection of OYDV, SLV, and GCLV was found 0% to 100% from bulb samples, and 53.55% to 100% from leaf samples. This result can be used to give recommendation for virus detection

(8)

diameter of cv Batu Merah was bigger than those of cv Sumenep, Bima Curut and Jalaksana. Number of layers was also higher in cv Batu Merah than those of cv Sumenep, and Jalaksana. Level of hardiness was found higher in cv Jalaksana than those of cv Sumenep, Bima Curut and Batu Merah.

Observation on bulb growth following hot water treatment showed that cv Jalaksana grew better than cv Bima Curut, Sumenep, and Batu Merah. Highest virus incidence was found on cv Jalaksana, where as the lowest virus incidence was on cv. Batu Merah. Hot water treatment on 50 C for 30 min was able to suppress virus incidence up to 90% on cv Batu Merah. Overall, the best hot water treatment was 45 °C and 50 °C for 15 and 30 min due to its ability to suppress

virus incidence without effecting bulb’s growth.

Hot water treatment of bulb on 45 C and 50 C for 15 and 30 min that was combined with tissue culture showed that the highest number of explants grown and number of leaf was found on cv Bima Curut. This result indicated better tolerance of cv Bima Curut compared to cv Sumenep. Virus detection from the two cultivars showed that virus incidence is higher on cv Sumenep than those of cv Bima Curut. Hot water treatment on 45 C for 15 min on cv Bima Curut was able to suppress incidence of Potyvirus and Carlavirus up to 100%. Similarly, hot water treatment on 50 C for 15 min on cv Sumenep was able to suppress incidence of Potyvirus up to 100%.

It is necessary to provide virus-free shallot’s bulbs in order to improve seed bulb quality. Hot water treatment of bulbs followed by tissue culture has the potential to be used as one method to develop virus-free shallot bulb.

.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Fitopatologi

DETEKSI DAN ELIMINASI VIRUS PADA UMBI

BAWANG MERAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi

Bawang Merah” ini dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc dan Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan, serta dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MScAgr yang telah memberikan pengayaan ilmu, Dr Efi Toding Tondok, SP. MScAgr sebagai dosen penguji, Direktur Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB beserta staf yang telah membantu selama penelitian, rekan-rekan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi IPB, rekan-rekan Fitopatologi angkatan 2012, Kepala Balai dan rekan-rekan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran atas dukungannya, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan beasiswa.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Ibunda, Ayah dan Mamih mertua serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Teruntuk suami tercinta dan anak-anak, terima kasih banyak atas segala doa, curahan kasih sayangnya, dukungan dan pengertiannya kepada penulis selama ini.

Penelitian ini dibiayai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Proyek kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) serta Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Syarat Tumbuh Bawang Merah 5

Virus Utama pada Bawang Merah 5

Metode Deteksi Virus pada Bawang Merah 7

Eliminasi Virus dengan Perlakuan Air Panas 8 Teknik Kultur Jaringan dengan Metode Propagasi Tanaman In-vivo

8

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Bahan dan Alat 11

Pengambilan Sampel 11

Deteksi Virus dari Sampel Umbi dengan Metode DIBA 11

Deteksi Virus dengan Metode RT-PCR 12

Pengamatan Morfologi Umbi Bawang Merah 14

Perlakuan Panas pada Umbi Bawang Merah 15

Kultur Jaringan Bawang Merah 15

Analisa Data 16

4 HASIL dan PEMBAHASAN 17

Survei dan Pengambilan Sampel 17

Deteksi Virus dari Sampel Umbi 18

Deteksi Virus dari Sampel Daun 19

Morfologi Umbi Bawang Merah 21

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Pertumbuhan umbi dan Insidensi Virus

(16)

DAFTAR ISI

Pengaruh Perlakuan Air Panas yang Dikombinasikan dengan Kultur Jaringan

24

5 SIMPULAN 29

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 34

RIWAYAT HIDUP 38

DAFTAR TABEL

1 Komposisi bahan RT-PCR untuk volume satu reaksi (10 µl) 13 2 Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 µl) 14 3 Primer yang digunakan untuk amplifikasi virus bawang merah

menggunakan metode PCR

14 4 Kultivar bawang merah yang diperoleh dari beberapa lokasi di daerah

Jawa Barat dan Jawa Tengah

17 5 Rata-rata infeksi virus pada sampel umbi bawang merah 18 6 Rata-rata infeksi virus pada sampel daun bawang merah 19 7 Rata-rata diameter umbi, jumlah lapis dan kekerasan umbi pada empat

kultivar bawang merah

21 8 Insidensi virus (%) di rumah kaca pada 29 HST setelah perlakuan air

panas pada umbi beberapa kultivar bawang merah

22 9 Insidensi virus pada daun bawang merah setelah perlakuan air panas

berdasarkan hasil deteksi dengan metode DIBA

23 10 Insidensi virus pada planlet bawang merah setelah kombinasi perlakuan

pemanasan dan kultur jaringan berdasarkan hasil deteksi dengan metode RT-PCR

(17)

DAFTAR GAMBAR

kontrol positif; dan kolom 18, kontrol negatif

20

3 Sampel bawang merah kultivar Sumenep (A), Bima Curut (B), Batu Merah (C) dan Jalaksana (D)

21 4 Pertumbuhan eksplan kultivar Sumenep pada media MS+2ip+GA3, (A)

perlakuan 45°C, 15’; (B) 45°C, 30’; (C) 50°C, 15’; (D) 50°C, 30’; dan dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (1,3,5) 45°C, 15 menit; (7,9,11) 45°C, 30 menit; (13,15,17) 50°C, 15 menit; (19,21,23) 50°C, 30 menit; (25,27,29) kontrol (suhu ruang); (k+) kontrol positif

27

7 Hasil RT-PCR kultivar Sumenep setelah perlakuan air panas dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (A) 45°C, 15 menit; (B,D,F) 45°C, 2 Pengaruh perlakuan kultivar, suhu pemanasan dan waktu pemanasan

terhadap pertumbuhan umbi

34 3 Pengaruh perlakuan kultivar, suhu pemanasan, waktu pemanasan dan

kombinasi ketiganya terhadap daya tumbuh dan jumlah daun eksplan

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai arti penting bagi masyarakat baik dari aspek nilai ekonomisnya yang tinggi maupun aspek kandungan gizinya. Dalam dekade terakhir ini permintaan akan bawang merah untuk konsumsi dan bibit dalam negeri mengalami peningkatan, sehingga Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Peningkatan produksi dan mutu hasil bawang merah harus senantiasa ditingkatkan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk mengurangi volume impor (Sumarni dan Hidayat 2005). Luas panen bawang merah di Indonesia pada tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 berturut-turut 93 667, 99 519, 98 937 dan 119 966 ha dengan produksi berturut-turut 893 124, 964 221, 1 010 773 dan 1 227 838 ton (BPS 2015).

Salah satu penyebab rendahnya produksi bawang merah secara nasional adalah terbatasnya ketersediaan benih yang berkualitas tinggi. Beberapa faktor yang berperan dalam menentukan kualitas benih bawang merah ialah umur simpan benih (2.5-3 bulan), umur panen yang tepat, ukuran benih (5-6 g), umbi benih berwarna cerah dengan kulit mengkilat, umbi benih bernas, sehat, padat tidak keropos dan tidak lunak, umbi benih tidak terserang hama dan penyakit (Iriani 2013). Penyakit yang disebabkan oleh virus bersifat sistemik dan apabila sudah ada dalam jaringan benih, akan sulit untuk dieliminasi dan dapat menyebabkan degenerasi. Penurunan hasil panen umbi bawang merah akibat penyakit mosaik berkisar antara 21.57-54.90% dengan kehilangan hasil panen bawang merah akibat virus mencapai rata-rata 35.95% (Gunaeni et al. 2001).

Menurut Fajaro et al. (2001) dan Shahraeen et al. (2008), bawang merah dapat terinfeksi oleh virus dari kelompok Potyvirus (OYDV/Onion Yellow Dwarf Virus, SYSV/Shallot Yellow Stripe Virus, dan LYSV/Leek Yellow Stripe Virus), Carlavirus (SLV/Shallot Latent Virus dan GCLV/Garlic Common Latent Virus), dan Allexivirus (SMbLV/Shallot Mite borne Latent Virus, Gar-V-B, Gar-V-C, Gar-V-D dan GMV/Garlic Mosaic Virus). Diantara virus yang menginfeksi bawang merah, OYDV dan SYSV paling banyak dilaporkan menginfeksi tanaman bawang-bawangan (Barg 1995, Helguera et al. 1997).

Jenis virus yang menginfeksi bawang merah di Indonesia dilaporkan oleh Duriat (1990), Duriat et al. (1990) dan Sutarya et al. (1993) terdiri atas OYDV, LYSV, dan SLV dengan insidensi penyakit berkisar antara 29.75-76.36%. Kehilangan hasil akibat infeksi virus pada bawang merah belum banyak yang melaporkan karena selama ini petani menganggap penurunan produksi bawang merah diakibatkan oleh patogen lain. Menurut Walkey (1990), tanaman bawang putih yang terinfeksi OYDV dan LYSV dapat menyebabkan kehilangan hasil masing-masing sebesar 63% dan 54%. Kehilangan hasil akibat virus pada bawang putih varietas Lumbu Hijau dan Lumbu Hitam di Indonesia berkisar antara 16.67-39.35% (Gunaeni dan Sutarya 1996). Pengaruh infeksi virus-virus tersebut terhadap produksi tanaman bawang merah belum banyak dilaporkan.

(20)

2

satu teknik yang dapat mengeliminasi virus dari jaringan umbi bawang merah adalah teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu teknik isolasi bagian tanaman, seperti protoplasma, sel/sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi individu tanaman lengkap. Kultur jaringan biasanya dilakukan menggunakan media buatan yang ditambahkan dengan beberapa zat pengatur tumbuh (ZPT) tertentu untuk menghasilkan tanaman seperti yang diharapkan (Gunawan 1987).

Kultur jaringan saat ini dikembangkan untuk membantu mengeliminasi patogen yang terdapat dalam tumbuhan, berguna juga untuk memperbanyak tanaman secara cepat, biotransformasi, dan manipulasi genetik. Hasil penelitian Noveriza et al. (2012) menunjukkan bahwa tanaman nilam, yang diperbanyak dari kultur meristem apikal ukuran 0.5-1 mm, menghasilkan 33.3-99.9% tanaman bebas Potyvirus. Teknik kultur meristem menjadi pilihan untuk pemurnian bibit dari induk tanaman yang terinfeksi virus seperti pada kentang, bawang merah dan bawang putih. Bibit yang bebas virus akan menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang baik. Hasil penelitian kultur meristem untuk bawang merah dan bawang putih menunjukkan bahwa bibit yang dihasilkan tidak terinfeksi virus, diharapkan bibit yang sudah dimurnikan dari virus tersebut mempunyai produksi yang tinggi. Hasil penelitian dengan menggunakan pucuk mikro bawang merah menunjukkan peningkatan hasil yang cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan bibit biasa (Yunus 2009).

Efisiensi teknik kultur jaringan untuk eliminasi virus dapat ditingkatkan dengan kombinasi perlakuan fisik seperti terapi pemanasan dan kimiawi menggunakan senyawa antiviral sintetik. Hasil penelitian Budiarto et al. (2008) menunjukkan bahwa perlakuan pemanasan dalam inkubator pada kondisi hari panjang pada suhu 38-40 oC selama 3 minggu yang diikuti kultur meristem dapat membebaskan 100% plantlet krisan dari infeksi Chrysanthemum Virus-B (CVB). Upaya mengeliminasi virus dari umbi bawang merah masih perlu dilakukan karena kebutuhan benih sehat akan terus meningkat seiring dengan target pencapaian produktivitas bawang merah nasional. Kombinasi teknik kultur jaringan dan perlakuan fisik maupun kimiawi diharapkan dapat menjadi metode yang tepat untuk menghasilkan benih bawang merah bebas virus.

Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

(21)

3 1. Jenis virus apa saja yang menginfeksi bawang merah?

2. Berapa suhu optimum dan waktu yang dibutuhkan untuk eliminasi virus? 3. Apakah kombinasi perlakuan air panas dan kultur jaringan dapat

mengeliminasi virus?

Penelitian berjudul “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang

Merah” telah dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut. Alur pelaksanaan kegiatan penelitian adalah survei lapangan, pengambilan sampel, dan deteksi virus, dilanjutkan dengan perlakuan panas dan kultur jaringan (Gambar 1).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Mendeteksi virus dari umbi bawang merah

2. Mempelajari potensi perlakuan air panas dalam mengeliminasi infeksi virus pada umbi bawang merah

3. Mempelajari potensi perlakuan air panas yang dikombinasi dengan teknik kultur jaringan dalam mengeliminasi infeksi virus pada umbi bawang merah.

Manfaat Penelitian

(22)

4

(23)

5

2

TINJAUAN PUSTAKA

Syarat Tumbuh Bawang Merah

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) termasuk famili Liliaceae dan merupakan sayuran semusim, berumur pendek dan diperbanyak secara vegetatif menggunakan umbi, maupun secara generatif dengan biji (True shallot seed/TSS). Tanaman bawang merah cocok tumbuh di dataran rendah sampai tinggi, yaitu berkisar 0-1000 m di atas permukaan laut (dpl). Ketinggian optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan bawang merah adalah 0-450 m dpl.

Tanaman bawang merah peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan cahaya matahari minimal 70% penyinaran, suhu udara 25 C-32 C, dan kelembaban nisbi 50%-70%. Waktu tanam bawang merah yang baik adalah pada musim kemarau dengan ketersediaan pengairan yang cukup, yaitu pada bulan April/Mei setelah padi dan pada bulan Juli/Agustus. Penanaman bawang merah di musim kemarau biasanya dilakukan pada lahan bekas padi sawah atau tebu, sedangkan penanaman di musim hujan dilakukan pada lahan tegalan. Bawang merah dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman cabai merah. Dalam budidaya tanaman bawang merah, perlu diperhatikan beberapa hal seperti pola tanam, pemilihan varietas, kualitas umbi bibit, kerapatan tanaman, pengolahan tanah, penanaman dan pemupukan, pengairan, pengendalian hama dan penyakit, serta pemanenan (Sumarni dan Hidayat 2005).

Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur sedang sampai liat, drainase dan aerasi yang baik, mengandung bahan organik yang cukup dan pH tanah netral (5.6-6.5). Tanah yang paling cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah aluvial atau kombinasinya dengan tanah glei-humus atau latosol. Tanah lembap dengan air yang tidak menggenang disukai oleh tanaman bawang merah. Di Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah adalah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates (Yogyakarta), Lombok Timur dan Samosir (Sunarjono dan Soedomo 1989).

Virus Utama pada Bawang Merah

Virus utama yang menginfeksi bawang merah di Indonesia dilaporkan oleh Duriat (1990), Duriat et al. (1990) dan Sutarya et al. (1993) yaitu OYDV, LYSV, dan SLV. Hasil penelitian Mohammad et al. (2007) menunjukkan bahwa OYDV, SLV, LYSV dan GCLV menginfeksi tanaman bawang putih di Siria Selatan dengan insidensi penyakit sebesar 15 – 90%.

Onion yellow dwarf virus (OYDV)

(24)

6

mengecil walaupun tetap padat. OYDV menginfeksi 86% tanaman bawang putih dan bawang merah di Asia. OYDV apabila bergabung dengan SLV dan SYSV menunjukkan gejala semakin parah, namun gejala dapat tidak tampak dengan bertambahnya umur tanaman (Chen et al. 2005; Yanju et al. 2010).

OYDV termasuk genus Potyvirus, partikel virus berbentuk filamen, tidak terbungkus, umumnya berlekuk-lekuk (flexuous), panjang sekitar 772–823 nm dengan berat protein selubung sekitar 34 kDa (Takaichi et al. 2001). Virus ini ditularkan oleh M. persicae dan beberapa famili dari Aphididae secara non persisten serta dapat ditularkan secara mekanis. Virus tidak ditularkan secara kontak antara tanaman terinfeksi dan tanaman sehat, tidak ditularkan melalui biji maupun serbuk sari. Penyebaran virus secara alami dibantu serangga vektor dan melalui bahan perbanyakan vegetatif dari bawang yang terinfeksi (Brunt et al. 1996; Diekmann 1997). Virus dapat dideteksi secara serologi dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), namun pada awal pertumbuhan tanaman sulit dideteksi karena konsentrasi virus sangat rendah (Van Dijk 1993; Brunt et al. 1996).

Shallot yellow stripe virus (SYSV)

Infeksi SYSV menimbulkan gejala pada daun bawang merah berupa garis-garis mosaik berwarna kuning tipis dan merupakan gejala ringan. Isolat SYSV yang virulen dapat menyebabkan malformasi, hambatan pertumbuhan tanaman, dan nekrosis. Inokulasi pada tanaman indikator C. quinoa dan C. amaranticolor menyebabkan terjadinya lesio lokal (Diekmann 1997).

Virus ini termasuk genus Potyvirus, bentuk partikel virus berlekuk-lekuk (flexuous) dengan panjang sekitar 700–800 nm. Virus ini ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, dapat ditularkan secara mekanis namun tidak ditularkan melalui biji. Selain melalui vektor, penyebaran virus ini lebih banyak melalui bahan tanaman yang terinfeksi (Van Dijk 1993; Van der Vlugt et al. 1999). Virus ini telah dilaporkan tersebar luas di Asia (Diekmann 1997) termasuk di Indonesia, China, dan Thailand (Van der Vlugt et al. 1999), namun belum dilaporkan menyebabkan kehilangan secara ekonomi. Inang SYSV adalah bawang merah, bawang multiplier, chinese chive, bawang putih, bawang bombai dan rakkyo. SYSV dapat dideteksi dengan Triple Antibody Sandwich (TAS)-ELISA menggunakan antibodi monoklonal (Barg et al. 1997).

Shallot latent virus (SLV)

Infeksi tunggal SLV pada bawang merah, bawang putih, bawang bombai dan bawang daun tidak menunjukkan gejala dan kurang mempunyai arti penting. Tetapi jika infeksinya menyertai infeksi virus lain (dari genus Potyvirus), virus ini dapat memperparah kerusakan dan menyebabkan kehilangan hasil yang serius. Selain pada bawang merah dan bawang putih, SLV mempunyai kisaran inang yang luas dalam famili Alliaceae dan ditemukan pada lebih dari 80 jenis Allium spp. Virus ini tersebar luas di Asia dan Eropa, serta pernah dilaporkan di Meksiko (Van Dijk 1993; Barg et al. 1997).

(25)

7 melalui kutudaun kurang efisien dibandingkan Potyvirus, sehingga penyebaran virus ini lebih banyak melalui bahan perbanyakan vegetatif. Penularan SLV melalui benih khususnya pada bawang merah dan bawang putih belum dilaporkan (Van Dijk 1993). Menurut Klukackova et al. (2004), virus dapat terbawa biji bawang putih, yaitu OYDV (51%), GarCLV (33%), SLV (31%), dan GarMbFV (33%)

Metode serologi (ELISA) dapat digunakan untuk deteksi SLV. Namun untuk deteksi sampai tingkat strain agak sulit, karena adanya keragaman antar strain SLV (Barg et al. 1994).

Metode Deteksi Virus pada Bawang Merah

Virus pada tanaman umumnya dideteksi menggunakan metode serologi. Prinsip uji serologi adalah interaksi antara antigen dan antibodi yang bersifat spesifik sehingga terbentuk komplek antigen-antibodi. Beberapa metode serologi yang sering digunakan ialah ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay), DIBA (Dot blot immunobinding assay) dan TBIA (Tissue blot immunosorbent assay) (Harlow dan Lane 1999). Perez-Egusquiza (2009) menggunakan ELISA untuk mendeteksi ShMbLV (Shallot Mite-borne Latent Virus) pada tanaman bawang merah.

Metode DIBA menggunakan membran nitropure nitrocellulose (NPN) sebagai media reaksi. Cairan tanaman hasil penggerusan tanaman segar diteteskan pada kertas membran kemudian direaksikan dengan antibodi (Lin et al. 1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Dijkstra dan De Jager 1998). Dalam pengerjaannya, teknik DIBA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus. Selain itu sampel yang sudah diteteskan pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010). Teknik DIBA dapat mendeteksi keberadaan TMV dalam ekstrak tanaman sakit yang telah disimpan dalam nitrocellulose membrane (NCM) selama 42 hari pada suhu 29 C (Somowiyarjo et al. 1997).

(26)

8

Eliminasi Virus dengan Perlakuan Air Panas

Metode yang umum digunakan untuk memproduksi propagul tanaman yang bebas virus, viroid dan fitoplasma adalah dengan perlakuan panas (heat treatment). Awalnya perlakuan panas diperlakukan pada keseluruhan tanaman pada suhu konstan yang berkisar 35 C- 40 C. Meskipun banyak tanaman yang mati setelah perlakuan tersebut, beberapa tanaman yang bertahan dapat menjadi tanaman yang bebas virus. Bagian tanaman tersebut lebih tahan terhadap suhu tinggi daripada jaringan tanaman lainnya. Sutrawati (2009) melaporkan bahwa perlakuan air panas pada suhu 58°C selama 40 menit pada bahan stek nanas mampu mengeliminasi PMWaV-2 tanpa mengurangi daya tumbuh dan vigor stek nanas.

Banyak virus yang dapat dieliminasi dari tanaman inangnya dengan perlakuan panas. Setelah beberapa tahun, untuk memperbesar peluang mendapatkan tanaman bebas virus metode perlakuan panas dimodifikasi yaitu dikombinasikan dengan kultur meristem apikal. Perlakuan panas dapat dilakukan dengan penggunaan udara panas (hot air treatment) maupun air panas (hot water treatment). Perlakuan air panas dengan waktu yang singkat lebih sering digunakan daripada perlakuan udara panas. Selain menyebabkan terjadinya dehidrasi tanaman, perlakuan udara panas kurang efektif dibandingkan perlakuan air panas. Perlakuan air panas umumnya diperlakukan pada bagian tanaman dorman seperti biji, maupun tunas. Namun untuk tanaman yang sedang tumbuh lebih sering digunakan perlakuan udara panas, pada suhu 35 C sampai 40 C selama beberapa hari atau beberapa minggu (Hadidi et al. 1998).

Perlakuan panas in vivo menghambat replikasi virus di dalam tanaman, translokasi virus dan proses-proses dalam tanaman. Perlakuan panas dengan suhu di atas 37 C mampu menghambat multiplikasi banyak virus, merusak movement dan coat protein virus yang juga berperan dalam translokasi sistemik virus dalam tanaman. Perlakuan panas in vivo tidak hanya berpengaruh terhadap virus di dalam tanaman, tetapi juga menghambat proses fotosintesis, meningkatkan respirasi gelap, dan mereduksi translokasi karbohidrat, mempengaruhi sintesis protein, mempengaruhi pembelahan sel, pertumbuhan sel dan hormon tumbuhan. Perubahan proses dalam tumbuhan juga dapat mempengaruhi virus dalam tumbuhan tersebut (Hadidi et al. 1998).

Teknik Kultur Jaringan dengan Metode Propagasi Tanaman In-vivo

Kultur jaringan tanaman adalah suatu upaya mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti protoplas, sel, jaringan dan organ, kemudian mengkulturkannya pada nutrisi buatan yang steril di bawah kondisi lingkungan terkendali sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat beregenersi menjadi tanaman lengkap kembali. Gamborg dan Shyluk (1981), menyatakan bahwa berdasarkan jenis eksplan yang digunakan dalam sistem kultur jaringan tanaman, dikenal sejumlah tipe kultur, seperti kultur organ (biji, meristem, nodus tunggal, potongan daun, akar, serta tunas), kultur kalus, kultur sel dan kultur protoplas.

(27)

9 embryogenesis, serta kompetensi dan determinasi inisiasi eksplan. Setiap tahapan dari proses-proses tersebut dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan eksplan, medium kultur dan faktor-faktor lingkungan termasuk eliminasi mikroorganisme, seperti cendawan dan bakteri. Semua faktor-faktor tersebut dimanipulasi untuk memaksimalkan hasil yang dicapai dalam bentuk jumlah dan mutu propagul yang didapatkan (Hartmann et al. 1990).

Menurut Biondi dan Thorpe (1982), terdapat 3 prinsip utama yang terlibat dalam kultur jaringan dan mendasari terminologi kultur jaringan tersebut. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) isolasi bagian tanaman dari tanaman utuh seperti organ, jaringan, atau sel, (2) memelihara bagian tanaman tersebut dalam lingkungan yang sesuai dan dalam kondisi yang tepat, dan (3) pemeliharaan dalam kondisi aseptik.

Keberhasilan teknik kultur jaringan dipengaruhi oleh interaksi antara faktor-faktor yaitu seleksi bahan tanaman, teknik sterilisasi eksplan, komposisi medium dasar, keterlibatan zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin, serta faktor-faktor lingkungan dimana kultur ditempatkan. Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah ukuran eksplan yang digunakan. George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa semakin kecil ukuran eksplan, akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi, baik secara internal maupun eksternal, namun laju kehidupanpun akan rendah. Sebaliknya, semakin besar ukuran eksplan, akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan makin besar.

Perkembangan dan pertumbuhan eksplan meliputi proses organogenesis yang terbagi dalam (1) organogenesis secara langsung adalah terbentuknya pucuk-pucuk adventif secara langsung pada permukaan eksplan, seperti daun, tanpa melalui pembentukan kalus, (2) organogenesis secara tidak langsung yaitu bila pembentukan pucuk-pucuk adventif terjadi pada permukaan kalus yang terbentuk terlebih dahulu pada permukaan eksplan (Nagasawa dan Finer 1988; Hussey 1978). Kultur jaringan memerlukan media buatan yang terdiri atas unsur makro dan mikro dalam bentuk garam, asam amino, vitamin, suplemen organik lain, sumber karbon, dan ZPT. Media yang akan digunakan bergantung pada tujuan dan jenis tanaman serta jenis dan umur jaringan yang akan dikulturkan.

(28)

10

(29)

11

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Agustus 2013 hingga Juli 2015, bertempat di Laboratorium dan Rumah kaca Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Hortikutura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang merah varietas lokal, antibodi OYDV, GCLV dan SLV, bahan dan alat untuk melakukan kultur jaringan, deteksi virus dengan metode DIBA, dan RT-PCR.

Pengambilan Sampel

Umbi benih bawang merah diambil dari daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpossive sampling, dimana sampel yang diambil mewakili 2 elemen pelaku usahatani bawang merah (petani dan pedagang) dari 5 daerah penghasil bawang merah (Brebes, Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Bandung). Diperoleh 10 kultivar bawang merah yaitu Bima Brebes, Nganjuk, Timur Carwan, Ilokos, Bima Curut, Sumenep, Jawa, Batu Merah, Batu Putih dan Jalaksana. Sebanyak masing-masing 100 umbi bawang merah diambil dari setiap kultivar, kemudian diambil 15 sub sampel untuk tahap deteksi virus yang terdiri atas deteksi langsung dari sampel umbi dan daun hasil penanaman umbi.

Deteksi Virus dari Sampel Umbi dengan Metode DIBA

Infeksi virus pada umbi dideteksi dari 2 jenis sampel, yaitu langsung dari sampel umbi dan dari daun setelah umbi ditanam pada media tanam. Sebelum ditanam, bagian kulit luar umbi yang mengering dibersihkan terlebih dahulu. Bagian ujung umbi, sepanjang kurang lebih 1/4 bagian dari seluruh umbi, kemudian dipotong. Tujuan pemotongan umbi untuk mempercepat pertumbuhan tunas dan merangsang tumbuhnya umbi samping (Hidayat 2004). Umbi kemudian ditanam di dalam polybag yang berisi media tanah dan pupuk kandang steril. Satu bulan setelah penanaman umbi dilakukan pengujian keberadaan virus dengan menggunakan metode DIBA.

(30)

12

suhu ruang. Membran kemudian direndam dalam larutan blocking non fat milk (50 ml TBS ditambah 2% Triton X-100 dan 2% skim milk) selama 1 jam sambil digoyang menggunakan multi shaker EYELA dengan kecepatan 50 rpm pada suhu ruang. Membran selanjutnya dicuci 5 kali selama 5 menit dengan dH2O sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Membran kemudian direndam dalam 20 ml TBS yang mengandung 20 l antibodi pertama OYDV/SLV/GCLV ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2% dan diinkubasi selama satu malam pada suhu 4 C. Membran dicuci sebanyak 5 kali masing-masing dalam 1x tris buffer saline tween dengan 0.05% Tween 20 (TBST) selama 5 menit sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm, kemudian direndam dalam 20 ml TBS yang mengandung konjugat (antibodi kedua) sebanyak 40 l untuk OYDV/SLV dan 20 l untuk GCLV ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2%. Membran diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm, kemudian dicuci sebanyak 5 kali selama 5 menit dengan TBST sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Khusus untuk deteksi SLV, membran selanjutnya direndam dalam 20 ml TBS yang mengandung 20 l antibodi ketiga ditambah non fat milk dengan konsentrasi akhir 2%, kemudian diinkubasi selama 60 menit sambil digoyang dengan kecepatan 50 rpm, dan dicuci kembali dengan TBST. Tahap terakhir, membran direndam selama 5 menit dalam 10 ml bufer AP (Tris-HCl 0.1 M, NaCl 0.1 M, MgCl2 5 mM dan air) yang mengandung 1 tablet nitro blue

tetrazolium dan bromochloroindolil phosphate (NBT+BCIP). Reaksi positif ditandai oleh perubahan warna membran menjadi ungu pada tempat cairan tanaman diteteskan dan reaksi dapat dihentikan dengan merendam membran dalam dH2O.

Pengamatan persentase infeksi virus menggunakan rumus sebagai berikut :

Persentase infeksi virus = Jumlah sampel terinfeksi x 100% Jumlah sampel yang diuji

Deteksi Virus dengan Metode RT-PCR

Deteksi virus dari plantlet hasil kultur jaringan dilakukan dengan metode RT-PCR. Tahapan metode RT-PCR meliputi tahapan ekstraksi RNA, sintesis complementary DNA (cDNA), amplifikasi target DNA, dan visualisasi hasil amplifikasi.

Ekstraksi RNA. Ekstraksi RNA secara manual mengikuti metode CTAB (Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 0.1 g sampel tanaman digerus dengan bantuan nitrogen cair, kemudian ditambahkan 500 μ

(31)

13 kecepatan 13 000 rpm selama 11 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dengan hati-hati, kemudian ditambahkan Isopropanol (volume sebanding dengan supernatan yang diperoleh). Tabung mikro dibolak-balik sehingga terlihat benang-benang RNA, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 6 menit. Setelah disentrifugasi campuran supernatan dan Isopropanol dipindahkan secara hati-hati sehingga menyisakan pelet RNA. Etanol 70% sebanyak 500 µl ditambahkan ke dalam tabung yang berisi pelet RNA, tabung disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 6 menit, etanol dibuang lalu pelet dikeringkan dengan cara tabung diletakkan secara terbalik di atas tisu selama 15 menit. Pelet dilarutkan dalam 50 µl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8.0 mM EDTA), dan RNA dapat langsung digunakan atau disimpan pada suhu -20 C.

Sintesis complementary DNA (cDNA). Produk ekstraksi RNA total digunakan sebagai template untuk sintesis cDNA. Sintesis cDNA terjadi melalui proses transkripsi balik RNA menggunakan ensim transcriptase MMuLV (Moloney Murine Leukimia Virus) (Tabel 1). Sintesis cDNA dilakukan

μ RNA dan primer Poty 1 sebanyak 0.75 μ

diinkubasi pada suhu 65 C selama 2 menit dalam penangas air. Setelah 2 menit tabung diangkat dari penangas air, kemudian tabung direndam dalam es, selanjutnya dicampurkan komponen reaksi lainnya. Setelah semua komponen reaksi dicampurkan, tabung diinkubasi pada suhu 37 C selama 60 menit menggunakan heat block dan dilanjutkan pada 70 C selama 2 menit menggunakan penangas air. Produk reaksi transkripsi balik berupa cDNA selanjutnya digunakan untuk tahapan amplifikasi

Tabel 1 Komposisi bahan RT-PCR untuk volume satu reaksi (10 l)

Komponen Volume untuk 1 reaksi ( l)

Bufer RT 2.00

dNTP 10 mM 0.50

DTT 50 mM 0.35

RNAse Inhibitor 0.35

MMuLV 0.35

dH2O 3.70

Primer Poty 1 0.75

RNA 2.00

Volume total 10.00

(32)

14

Tabel 2 Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25 l)

Komponen Volume untuk 1 reaksi ( l)

dH2O 9.5

*) R, primer Reverse; F, primer Forward

Amplifikasi dilakukan sebanyak 1 siklus pada 95 C selama 1 menit, selanjutnya 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada 94 C selama 20 detik, anneling pada 56 C selama 1 menit, dan sintesis pada 72 C selama 1 menit, kemudian khusus untuk siklus terakhir ditambah tahapan sintesis 72 C selama 3 menit. Amplifikasi DNA target dilakukan menggunakan mesin Veriti Thermal Cycler (Applied Biosystem).

Visualisasi DNA. DNA dielektroforesis pada tegangan 50 volt selama 50 menit menggunakan 1% gel agarosa yang dilarutkan dalam bufer 0.5x Tris-Borate EDTA (TBE), kemudian direndam dalam larutan Etidium bromida selama 29 menit. Penanda ukuran DNA yang digunakan adalah 1 kb DNA Ladder (Thermo). Visualisasi DNA dilakukan di bawah UV transluminator dan didokumentasikan dengan kamera digital.

Pengamatan Morfologi Umbi Bawang Merah

(33)

15 Kekerasan

umbi =

Nilai rata-rata pembacaan alat x 0.1 mm (beban plunger + beban tambahan) x 5 detik?

Perlakuan Panas pada Umbi Bawang Merah

Bahan tanaman yang digunakan untuk perlakuan air panas yaitu umbi bawang merah yang terinfeksi virus (berdasarkan hasil deteksi dengan metode DIBA). Umbi bawang merah tanpa perlakuan panas digunakan sebagai pembanding.

Perlakuan air panas diuji dengan cara umbi bawang merah dimasukkan ke dalam kantung jala plastik (waring), kemudian direndam dalam penangas air dengan suhu 40 °C, 45 °C, 50 °C dan 55 °C masing-masing selama 15 menit dan 30 menit. Umbi yang telah diberi perlakuan air panas kemudian dikeringanginkan. Bagian tanaman yang telah diberi perlakuan air panas kemudian di tanam pada media tanah dan pupuk kandang steril di rumah kaca. Tanaman tersebut dipelihara selama 4 minggu. Setiap minggu dilakukan pengamatan insidensi virus dan daya tumbuh umbi. Setelah tanaman berumur 4 minggu diambil sampel daunnya untuk diuji keberadaan virusnya dengan metode DIBA.

Hasil yang terbaik dari perlakuan air panas di rumah kaca yaitu pada suhu 45 °C dan 50 °C selama 15 menit dan 30 menit dikombinasikan dengan kultur jaringan. Perlakuan air panas diuji seperti yang diuraikan di atas. Umbi yang telah diberi perlakuan air panas diambil bagian meristemnya. Satu bulan setelah subkultur, planlet diambil sampel daunnya untuk diuji keberadaan virusnya dengan metode RT-PCR

Kultur Jaringan Bawang Merah

Umbi bawang merah yang telah diberi perlakuan air panas, diambil bagian meristemnya dengan ukuran 4 mm kemudian ditanam pada media MS0. Dua minggu kemudian eksplan di pindah ke media MS yang ditambah dengan ZPT 2ip 2 mg L-1 dan GA3 0.3 mg L-1 (Dinarti et al. 2007).

Peralatan dan botol sebelum digunakan untuk kultur jaringan dicuci bersih, kemudian disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC dan tekanan 17.5 psi selama satu jam. Umbi bawang merah yang akan digunakan terlebih dahulu dikupas dan dicuci bersih dengan deterjen. Umbi direndam di dalam fungisida dengan bahan aktif Streptomisin sulfat dan Benomyl masing-masing 1 g L-1 selama 24 jam. Sterilisasi berikutnya dilakukan di laminar air flow cabinet.

(34)

16

ditanam pada media prakondisi pada kerapatan 2 eksplan per botol, dan diinkubasi di dalam ruang kultur dengan suhu 20 oC sampai 25 oC selama 7 hari. Prakondisi eksplan menggunakan media MS (Murashige dan Skoog 1962) yang dimodifikasi dengan penambahan 30 g gula. Kultur diinkubasi di ruang kultur bersuhu 20 oC sampai 22 oC, dengan lama pencahayaan/fotoperiode 16 jam terang dan 8 jam gelap (Budiono 2004). Media perbanyakan menggunakan media yang sama dengan prakondisi tetapi ditambah zat pengatur tumbuh 2ip 2 mg L-1 dan GA3 0.3 mg L-1 (Dinarti et al. 2007).

Pengamatan plantlet meliputi insidensi virus, daya tumbuh eksplan dan jumlah daun. Plantlet hasil kultur jaringan dikonfirmasi bebas virus dengan metode RT-PCR seperti diuraikan di atas.

Analisis Data

Penelitian di rumah kaca menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor. Faktor pertama adalah 4 kultivar bawang merah yaitu Bima Curut, Sumenep, Jalaksana dan Batu Merah. Faktor kedua adalah suhu pemanasan dengan 5 taraf yaitu 40 C, 45 C, 50 C, 55 C dan suhu ruang (kontrol). Faktor ketiga adalah waktu pemanasan dengan 2 taraf yaitu 15 dan 30 menit. Masing-masing perlakuan terdiri atas 5 umbi dan diulang 2 kali.

Penelitian di laboratorium kultur jaringan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor. Faktor pertama adalah 2 kultivar bawang merah yaitu Bima Curut, dan Sumenep. Faktor kedua adalah suhu pemanasan dengan 3 taraf yaitu 45 C, 50 C, dan suhu ruang (kontrol). Faktor ketiga adalah waktu pemanasan dengan 2 taraf yaitu 15 dan 30 menit. Masing-masing perlakuan terdiri atas 10 eksplan diulang 3 kali pada media MS0 dan 6 eksplan diulang 3 kali pada media MS ditambah ZPT.

(35)

17

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei dan Pengambilan Sampel

Sebanyak 12 kultivar bawang merah diperoleh dari Cirebon, Brebes, Majalengka, Kuningan, dan Bandung (Tabel 4). Kondisi fisik benih saat diperoleh dari penangkar benih atau petani menunjukkan ciri-ciri mutu benih yang baik, yaitu ukuran umbi seragam, padat, kulit umbi tidak terkelupas, serta warna umbi berkilau. Ukuran umbi, warna umbi, bentuk umbi dan hasil dapat dijadikan kriteria mutu yang terkait dengan preferensi petani dalam memilih mutu bawang merah (Basuki 2009).

Masa simpan benih saat dibeli berkisar antara 60 hari sampai 80 hari setelah panen. Pelaku penyimpanan benih bawang merah pada umumnya adalah pedagang dan atau petani produsen (sebagian hasil panen untuk kebutuhan musim tanam berikutnya). Umbi hasil panen mendapat perlakuan sebelum disimpan, yaitu pertama-tama umbi dibersihkan dan dijemur sekitar 10 hari menggunakan

alas jemur “gribig” dan atau lantai jemur (semen), di “preceli”/”butik”, diikat

dalam gedengan besar, lalu disemprot dengan fungisida. Ikatan bawang merah selanjutnya disimpan dengan menggantungnya di teras rumah. Selama penyimpanan dilakukan pemeliharaan dengan cara diseleksi setelah ± 25 hari untuk membuang umbi yang busuk. Proses penyimpanan benih di gudang juga sangat menentukan tingkat kualitas benih yang dihasilkan. Penyimpanan yang tidak sempurna akan mendatangkan kerugian akibat susut bobot yang tinggi (Iriani 2013). Penurunan mutu bawang merah selama dalam penyimpanan diakibatkan oleh kerusakan mekanis, fisiologis dan mikroorganisme yang dicirikan dengan penurunan kadar air, pertunasan, pertumbuhan akar, pelunakan umbi, busuk dan tumbuhnya cendawan (Komar et al. 2001).

Tabel 4 Kultivar bawang merah yang diperoleh dari beberapa lokasi di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah

Kultivar Daerah asal benih umbi Pemilik benih

Bima Curut Tanjung-Brebes, Jawa Tengah Petani Bima Brebes Cirebon, Jawa Barat Pedagang benih

Nganjuk Cirebon, Jawa Barat Pedagang benih

Timur Carwan Cirebon, Jawa Barat Petani

Ilokos Cirebon, Jawa Barat Petani

Sumenep Majalengka, Jawa Barat Pedagang benih

Sumenep Kuningan, Jawa Barat Pedagang benih

Jawa Kuningan, Jawa Barat Pedagang benih

Batu Merah Pacet-Bandung, Jawa Barat Petani benih Sumenep Pacet-Bandung, Jawa Barat Petani benih Batu Putih Pacet-Bandung, Jawa Barat Petani benih Jalaksana Pacet-Bandung, Jawa Barat Petani benih

(36)

18

Deteksi Virus dari Sampel Umbi

Hasil deteksi virus dengan metode DIBA menunjukkan bahwa sampel umbi bawang merah positif mengandung virus. Rata-rata persentase infeksi virus pada jenis sampel umbi bawang merah dari lima daerah pengambilan sampel berkisar antara 0% sampai 100%. Infeksi campuran OYDV, SLV dan GCLV terdeteksi sebanyak 58.33%, infeksi campuran OYDV dan GCLV, dan OYDV dan GCLV berturut-turut terdeteksi sebesar 8.33% dan 33.33%. Rata-rata infeksi virus dari yang tertinggi berturut-turut ialah OYDV (75.57%), SLV (41.95%) dan GCLV (10%) (Tabel 5).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam satu umbi bawang merah sering terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus, sehingga infeksi kompleks oleh beberapa jenis virus tersebut dapat seluruhnya menyebabkan gejala. Gunaeni et al. (2011a) melaporkan bahwa infeksi OYDV dan SYSV dapat menurunkan bobot umbi bawang merah sebesar 4.65% pada varietas Bima Curut dan Filipina, sedangkan menurut Bagi et al. (2012) kehilangan hasil yang disebabkan infeksi OYDV dapat menurunkan bobot umbi sebesar 21.5%.

OYDV, LYSV dan SLV dapat ditularkan oleh serangga M. persicae, M. ascalonicum dan Aphis fabae secara non persisten (Blackman dan Eastop 1995; Walkey 1990). Belum banyak informasi mengenai keberadaan serangga Myzus dan Aphis pada tanaman bawang merah di Indonesia. Wulandari et al. (2001) melaporkan terjadinya infeksi virus pada tanaman bawang bombai yang berasal dari biji mungkin disebabkan oleh vektor kutudaun yang berasal dari pertanaman di sekitarnya. Duriat (1985) melaporkan bahwa dinamika populasi kutudaun pada tanaman kentang telah diteliti selama 4 tahun (1979-1982) di empat lokasi di Jawa Barat. Di daerah tropis, kutudaun akan menjadi masalah dalam penularan virus. Hal ini terjadi karena di daerah tropis, kutudaun selalu aktif dan berkembang biak sepanjang waktu karena ketersediaan tanaman inang selalu ada sepanjang waktu. Tabel 5 Rata-rata infeksi virus pada sampel umbi bawang merah

(37)

19 Menurut Shahraeen et al. (2008), OYDV, LYSV, GCLV, SLV, GarV-B, GarV-C dan GarV-D dapat pula menyebabkan infeksi pada umbi. Bawang merah selalu diperbanyak secara vegetatif, sehingga virus berkembang dan terakumulasi pada umbi dan terbawa oleh benih. Apabila umbi yang mengandung virus digunakan sebagai benih pada pertanaman berikutnya, maka umbi tersebut dapat tumbuh menjadi sumber inokulum bagi tanaman sehat lainnya.

Deteksi Virus dari Sampel Daun

Sama halnya pada sampel umbi bawang merah, infeksi lebih dari satu virus juga terdeteksi dari sampel daun bawang merah. Jumlah sampel yang terinfeksi semakin parah. Gejala virus umumnya klorosis, mosaik bergaris vertikal kuning terputus-putus, daun bergaris vertikal hijau dan ukuran daun menjadi relatif lebih kecil (Gunaeni et al. 2011a). Gejala akan tidak tampak seiring dengan bertambahnya umur tanaman (Yanju et al. 2010). Penelitian Gunaeni et al. (2011b) menyatakan bahwa sebanyak 20 sampel bawang merah yang diambil dari Jawa Barat dan Jawa Tengah terdeteksi SYSV 95%. Parrano et al. (2007) melaporkan bahwa OYDV, LYSV, GVX dan GCLV juga menginfeksi tanaman bawang putih.

(38)

20

Reaksi positif terhadap antibodi ditemukan lebih tinggi dari sampel daun dibandingkan dengan dari sampel umbi (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa untuk deteksi virus terbawa benih, sebaiknya umbi bawang perlu ditumbuhkan terlebih dahulu agar konsentrasi virus yang terdapat di dalam jaringan umbi (yang umumnya dalam konsentrasi rendah) dapat meningkat (Kurniawan dan Suastika 2013). Infeksi virus pada tanaman bawang-bawangan akan terakumulasi dari satu generasi ke generasi lainnya melalui organ perbanyakan vegetatif (umbi). Virus terbawa umbi (benih), dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman akan terhambat, karena virus berkembang bersama dengan pertumbuhan tanaman (van Dijk 1993). Konsentrasi virus pada infeksi tanaman secara sistemik kemungkinan berbeda pada seluruh bagian jaringan tanaman bahkan pada jaringan yang berdekatan (Matthews 1970).

Metode DIBA mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang digunakan sangat sederhana sehingga dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Dijkstra dan de Jager 1998; Suryadi et al, 2009). Dalam pengerjaannya, metode DIBA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus. Selain itu sampel yang sudah diteteskan pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010). Metode DIBA dapat mendeteksi keberadaan TMV dalam ekstrak tanaman sakit yang telah disimpan dalam nitrocellulose membrane (NCM) selama 42 hari pada suhu 29 C (Somowiyarjo et al. 1997).

Gambar 2 Reaksi perubahan warna pada membran dengan metode DIBA pada sampel umbi (A) dan sampel daun (B) menggunakan antibodi SLV. Kolom 1-15, sampel bawang merah; kolom 16, bufer; kolom 17, kontrol positif; dan kolom 18, kontrol negatif

Anggaraini dan Hidayat (2014) melaporkan bahwa batas sensitivitas DIBA lebih tinggi dibandingkan dengan metode I-ELISA untuk mendeteksi BCMV. Metode DIBA memerlukan antibodi yang lebih sedikit dibandingkan dengan I-ELISA untuk pengujian dengan sampel yang sama. Ditinjau dari segi kemudahan pelaksanaan pengujian, baik metode I-ELISA dan DIBA termasuk metode yang mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat yang canggih. Hal ini disebabkan hasil I-ELISA dan DIBA dapat ditentukan secara kualitatif, dengan membandingkan warna substrat antar sampel, kontrol positif, kontrol negatif, dan larutan penyangga.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 A

(39)

21 Hasil penelitian Manzila et al. (2005) menunjukkan bahwa pengujian virus pada daun kacang tanah yang terinfeksi PStV (Peanut stripe virus) dengan antibodi poliklonal dengan metode DIBA efektif sampai pengenceran 500 kali.

Morfologi Umbi Bawang Merah

Hasil uji T terhadap rataan diameter umbi bawang merah menunjukkan bahwa kultivar Batu Merah memiliki diameter lebih besar dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima Curut dan Jalaksana. Jumlah lapis kultivar Batu Merah lebih banyak dibandingkan kultivar Sumenep dan Jalaksana. Kultivar Jalaksana mempunyai tingkat kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Sumenep, Bima Curut dan Jalaksana (Tabel 7 dan Lampiran 1).

Tabel 7 Rata-rata diameter umbi, jumlah lapis dan kekerasan umbi empat kultivar bawang merah

Kultivar Diameter umbi (mm) Jumlah lapis Kekerasan umbi

(mm/152 g.5 detik)

Sumenep 17.93 3.30 1.32

Bima Curut 15.19 2.20 2.10

Batu Merah 26.62 4.10 1.48

Jalaksana 19.39 2.90 1.05

Gambar 3 Sampel bawang merah kultivar Sumenep (A), Bima Curut (B), Batu Merah (C) dan Jalaksana (D)

A B

(40)

22

Pengaruh Perlakuan Air Panas terhadap Pertumbuhan Umbi dan Insidensi Virus

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah umbi yang tumbuh berbeda sangat nyata pada 6-29 HST. Perlakuan suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan umbi pada 6 – 29 HST, sementara waktu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah umbi yang tumbuh pada 22 HST dan 29 HST. Kombinasi kultivar dengan suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata pada 22 HST, sedangkan kombinasi kultivar dengan waktu pemanasan tidak berbeda nyata. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan berpengaruh sangat nyata pada 15 HST dan berpengaruh nyata pada 22-29 HST. Kombinasi kultivar, suhu dan waktu pemanasan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan umbi pada 6 HST (Lampiran 2).

Pertumbuhan umbi kultivar Jalaksana lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Bima Curut, Sumenep dan Batu Merah pada 29 hari setelah tanam, walaupun pada 6 hari setelah tanam sampai 15 hari setelah tanam menunjukan kecenderungan yang sama. Umbi bawang merah kultivar Bima Curut, Sumenep, Batu Merah dan Jalaksana masih dapat bertahan hidup setelah direndam dalam air panas pada suhu 50 °C, namun tidak mampu bertahan hidup pada suhu yang lebih tinggi. Jumlah umbi kultivar Bima Curut yang tumbuh rendah, jika waktu perendaman lebih dari 15 menit; sedangkan ketiga kultivar lainnya masih dapat tumbuh setelah dilakukan perendaman selama 15 dan 30 menit. Jumlah umbi yang tumbuh semakin menurun seiring bertambahnya suhu pemanasan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat toleransi tanaman terhadap suhu tinggi. Berdasarkan keempat kultivar yang diuji, kultivar Bima Curut mempunyai tingkat toleransi yang lebih rendah. Gunaeni et al. (2008) melaporkan bahwa perlakuan suhu 30 °C dan 37 °C dengan waktu pemanasan 1 sampai 8 minggu masih memungkinkan umbi bawang putih tumbuh dengan baik, dengan keberhasilan tumbuh berkisar antara 80 % sampai 100 %.

Tabel 8 Insidensi virus (%) di rumah kaca pada 29 HST setelah perlakuan air panas pada umbi beberapa kultivar bawang merah

Perlakuan Kultivar

Suhu (°C)

Waktu

(menit) Bima Curut Sumenep Batu Merah Jalaksana

(41)

23 Tabel 9 Insidensi virus pada daun bawang merah setelah perlakuan air panas

berdasarkan hasil deteksi dengan metode DIBA

Kultivar Perlakuan Jumlah sampel terinfeksi (%)

Suhu (°C) Waktu (menit) OYDV SLV GCLV

(42)

24

tertinggi pada kultivar Jalaksana dan terendah pada kultivar Batu Merah. Hal ini menunjukkan bahwa kultivar Jalaksana lebih toleran terhadap perlakuan air panas dibandingkan ketiga kultivar lainnya.

Hasil DIBA menunjukkan bahwa perlakuan air panas dengan suhu 45 °C dan 50 °C selama 15 menit pada kultivar Bima Curut dapat mengeliminasi OYDV sebesar 100%; sedangkan pada suhu 55 °C selama 15 menit dapat mengeliminasi OYDV dan SLV sebesar 100%. Perlakuan air panas dengan suhu 45 °C selama 15 menit dan 30 menit pada kultivar Sumenep mampu menekan OYDV berturut-turut sebesar 100% dan 20%, sementara perlakuan air panas dengan suhu 55 °C selama 30 menit hanya mampu menekan OYDV sebesar 16.67%. Perlakuan air panas pada kultivar Batu Merah dengan suhu 40 °C selama 15 menit dan 30 menit dapat menekan SLV berturut-turut sebesar 100% dan 30%. Perlakuan air panas dengan suhu 45 °C dan 55 °C selama 30 menit mampu menekan SLV berturut-turut sebesar 30% dan 100%, sementara pada suhu 50 °C selama 15 menit dapat menekan OYDV dan SLV sebesar 44.44% dan 22.22%, selama 30 menit hanya mampu menekan SLV sebesar 30%. Perlakuan air panas pada kultivar Jalaksana dengan suhu 45 °C dan 55 °C selama 15 menit mampu mengeliminasi OYDV penyimpanan 30 C yang dikombinasikan dengan lamanya penyimpanan 5 minggu dapat mengurangi persistensi dan degradasi kandungan SLV, OYDV, dan GCLV dalam benih bawang putih dan dapat menekan gejala virus secara visual.

Berdasarkan hasil pengamatan setelah perlakuan air panas terhadap daya tumbuh umbi, insidensi virus yang dikonfirmasi dengan metode DIBA menunjukkan bahwa perlakuan suhu pemanasan yang terbaik yaitu 45 °C dan 50

°C selama 15 menit dan 30 menit. Perlakuan tersebut kemudian dikombinasikan dengan kultur jaringan. Kultivar yang dipilih untuk perlakuan kombinasi adalah Bima Curut dan Sumenep, karena kultivar tersebut banyak dibudidayakan oleh petani di daerah Brebes dan Cirebon.

Pengaruh Perlakuan Air Panas yang Dikombinasikan dengan Kultur Jaringan

Hasil pengamatan 1 minggu setelah inisiasi, eksplan tidak mengalami kontaminasi baik pada Bima Curut dan Sumenep. Setelah 2 minggu eksplan dipindahkan ke media perbanyakan menggunakan media yang sama dengan prakondisi tetapi ditambah zat pengatur tumbuh 2ip 2 mg L-1 dan GA3 0.3 mg L-1

(43)

25 HST. Kombinasi kultivar, suhu dan waktu pemanasan tidak berpengaruh terhadap daya tumbuh eksplan (Lampiran 3).

Jumlah daun tidak berbeda nyata antara 2 kultivar uji, walaupun pada 28 HST jumlah daun kultivar Sumenep lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar Bima Curut. Perlakuan suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun, sementara waktu pemanasan tidak mempengaruhi jumlah daun. Kombinasi kultivar dengan suhu pemanasan berpengaruh sangat nyata dan nyata terhadap jumlah daun berturut-turut pada 21 HST dan 28 HST. Kombinasi kultivar dengan waktu pemanasan berbeda nyata dan sangat nyata terhadap jumlah daun berturut-turut pada 21 HST dan 28 HST, sedangkan kombinasi kultivar, suhu dan waktu pemanasan berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 28 HST (Lampiran 3).

Jumlah eksplan yang tumbuh pada kultivar Bima Curut cenderung lebih banyak, hal tersebut menunjukkan bahwa kultivar Bima Curut lebih toleran terhadap perlakuan pemanasan dibandingkan dengan kultivar Sumenep. Daya tumbuh eksplan dan jumlah daun kedua kultivar menunjukan kecenderungan yang sama pada perlakuan suhu dan waktu pemanasan, meskipun pada suhu 50 °C dan waktu pemanasan selama 30 menit memiliki nilai yang lebih tinggi, namun tidak jauh berbeda kecuali pada perlakuan suhu ruang. Pertumbuhan eksplan dengan perlakuan pemanasan pada suhu 50 °C menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pemanasan pada suhu 45 °C (Gambar 4 dan Gambar 5). Hal ini karena perlakuan pemanasan yang diikuti dengan kultur meristem mampu mengembalikan potensi pertumbuhan planlet yang terganggu akibat keberadaan partikel virus pada jaringan tanaman. Pulihnya performa pertumbuhan mengindikasikan bahwa kandungan partikel virus pada tanaman tereliminasi sehingga eksplan mampu mengabsorsi hara secara optimal dari dalam media dan memaksimalkan proses metabolisme untuk mensintesis unsur-unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan vegetatif (Styer dan Chin 1983).

Infeksi virus pada planlet dideteksi dengan primer universal Potyvirus dan

Carlavirus. Pita spesifik Potyvirus berukuran 750 pb berhasil diamplifikasi dari

kultivar Bima Curut dan Sumenep berturut-turut dari 3 dan 4 sampel (Gambar 6

dan 7). Pita spesifik Carlavirus berukuran 716 pb berhasil diamplifikasi dari

kultivar Bima Curut dan Sumenep berturut-turut dari 4 dan 10 sampel (Gambar 6 dan 7).

(44)

26

Kombinasi perlakuan pemanasan dan kultur jaringan berpotensi untuk menekan infeksi beberapa jenis virus dengan suhu dan waktu pemanasan tertentu.

Converse dan Tanne (1984) melaporkan bahwa beberapa jenis virus mengalami penurunan multipikasi pada suhu 35-43 °C selama selang waktu tertentu. Penerapan metode kombinasi termoterapi dan kultur meristem dilakukan untuk mengurangi tingkat kesulitan aplikasi. Metode kombinasi ini dilaporkan lebih efektif untuk mengeliminasi beberapa jenis virus dibandingkan dengan metode tunggal, yaitu kultur meristem atau termoterapi. Noveriza et al. (2012) melaporkan bahwa kultur meristem apikal pada tanaman nilam berhasil mengeliminasi virus sebanyak 33.3-99.9%. Dilaporkan oleh Budiarto et al. (2008) bahwa perlakuan pemanasan dalam inkubator pada kondisi hari panjang pada suhu 38-40 oC selama 3 minggu yang diikuti kultur meristem dapat membebaskan 100% plantlet krisan dari infeksi Chrysanthemum Virus-B (CVB).

Tabel 10 Insidensi virus pada plantlet bawang merah setelah kombinasi perlakuan pemanasan dan kultur jaringan berdasarkan hasil deteksi dengan metode RT-PCR

Kultivar Perlakuan pemanasan (suhu; waktu)

Insidensi virus* (%) Potyvirus Carlavirus

Bima Curut 45 °C;15 menit 0/3 (0) 0/3 (0)

45 °C;30 menit 1/3 (33.33) 0/3 (0) 50 °C;15 menit 1/3 (33.33) 1/3 (33.33) 50 °C;30 menit 0/3 (0) 1/3 (33.33) Tanpa perlakuan 1/3 (33.33) 2/3 (66.67)

Sumenep 45 °C;15 menit 1/1 (100) 1/1 (100)

45 °C;30 menit 1/3 (33.33) 1/3 (33.33) 50 °C;15 menit 0/3 (0) 2/3 (66.67) 50 °C;30 menit 2/3 (66.67) 3/3 (100) Tanpa perlakuan 0/3 (0) 3/3 (100) *Insidensi virus, rasio jumlah sampel dengan reaksi positif pada hasil deteksi

dengan jumlah total sampel yang diuji

Gambar 4 Pertumbuhan eksplan Sumenep pada media MS+2ip+GA3, (A)

perlakuan 45°C, 15’; (B) 45°C, 30’; (C) 50°C, 15’; (D) 50°C, 30’ dan

(E) Tanpa perlakuan B

(45)

27

Gambar 5 Pertumbuhan eksplan Bima Curut pada media MS+2ip+GA3, (A)

perlakuan 45°C, 15’; (B) 45°C, 30’; (C) 50°C, 15’; (D) 50°C, 30’ dan

(E) Tanpa perlakuan

Gambar 6 Hasil RT-PCR kultivar Bima Curut setelah perlakuan panas dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (1,3,5) 45 °C, 15 menit; (7,9,11) 45 °C, 30 menit; (13,15,17) 50 °C, 15 menit; (19,21,23) 50

°C, 30 menit; (25,27,29) kontrol (suhu ruang); (k+) kontrol positif

750 bp

E D

C B

A

715 bp A

(46)

28

Gambar 7 Hasil RT-PCR kultivar Sumenep setelah perlakuan panas dikombinasikan dengan kultur jaringan menggunakan primer universal Potyvirus (A) dan Carlavirus (B), (A) 45°C, 15 menit; (B,D,F) 45°C, 30 menit; (H,I,J) 50°C, 15 menit; (K,M,O) 50°C, 30 menit; (Q,S,U) kontrol (suhu ruang); (k+) kontrol positif

715 bp 750 bp

A

Gambar

Gambar 1 Alur penelitian “Deteksi dan Eliminasi Virus pada Umbi Bawang
Tabel 1 Komposisi bahan RT-PCR untuk volume satu reaksi (10
Tabel 2 Komposisi bahan PCR untuk volume satu reaksi (25
Tabel 4 Kultivar bawang merah yang diperoleh dari beberapa lokasi di daerah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan strategi yang bersifat deskriptif, yaitu dengan menggambarkan karakteristik atau status secara sistematis,

Pada game ini NPC akan diberikan kecerdasan buatan menggunakan metode Fuzzy Sugeno hanya untuk Raja NPC untuk merubah perilaku yang sesuai dengan kemampuan pemain dalam memainkan

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku makan dalam konsumsi lemak dan serat antara mahasiswi kesehatan dan non- kesehatan, baik yang

Prinsip dalam matematika adalah suatu ide tentang konsep-konsep dan hubungan di antara konsep-konsep, dengan kata lain prinsip adalah suatu ide yang menghubungkan dua

Pengaruh Good Corporate Governance dan Kompensasi Bonus terhadap Manajemen Laba dengan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel Moderating Pada Perusahaan Consumer Goods

Dari hasil penelitian terlihat bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik ,lebih banyak bersikap positif dalam menghadapi masa menopause, sikap positif wanita

Penelitian dari Mirhaghjou, Niknami, Moridi, Pakseresht dan Kazemnejad (2016) pada 675 wanita menopause di Iran menunjukkan wanita yang menikah memiliki kualitas hidup

Ada perbedaan stres kerja pada anggota polisi sabhara antara kelompok eksperimen yang diberi perlakuan berupa pelatihan efikasi diri dengan kelompok kontrol yang tidak diberi