PENDUGAAN HUBUNGAN KONDISI TOPOGRAFI DENGAN
RADIASI SPEKTRAL CITRA SATELIT TERRA MODIS L1B
(STUDI KASUS: GUNUNG GEDE DAN GUNUNG SALAK)
NURJAMAN
GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Hubungan Kondisi Topografi dengan Radiasi Spektral Citra Satelit TERRA MODIS L1B (Studi Kasus: Gunung Gede dan Gunung Salak) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Nurjaman
ABSTRAK
NURJAMAN. Pendugaan Hubungan Kondisi Topografi dengan Radiasi Spektral Citra Satelit TERRA MODIS L1B (Studi Kasus: Gunung Gede dan Gunung Salak).Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menduga hubungan radiasi spektral dengan kondisi topografi pada tutupan lahan hutan dan menganalisis hubungan suhu permukaan menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di wilayah Gunung Salak dan Gunung Gede yang diturunkan dari citra TERRA MODIS L1B pada kanal gelombang panjang (spektral radiasi emisi). Suhu permukaan diturunkan dari data TERRA MODIS L1B menggunakan kanal 31 dan 32 dengan panjang gelombang 10,780 – 11,280 dan 11,770 – 12,270 dengan menerapkan Hukum Planck. Radiasi spektral emisi (gelombang panjang termal) merespon topografi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar -0,5 sampai -0,9 sedangkan radiasi spektral reflektan (gelombang pendek) tidak merespon topografi yang ditunjukkan oleh fluktuasi nilai koefisien korelasi dengan rentang -0,7 sampai 0,3. Data citra TERRA MODIS L1B merespon topografi yang ditunjukkan oleh respon radiasi spektral emisi terhadap ketinggian. Berdasarkan data yang diturunkan dari citra TERRA MODIS L1B tersebut didapatkan hubungan berbanding terbalik antara suhu permukaan dengan topografi. Nilai suhu permukaan tertinggi dan terendah terjadi pada bulan September dan Mei. Dengan penutupan lahan yang sama (hutan), gerak semu matahari sangat berpengaruh terhadap nilai suhu permukaan. Selain gerak semu matahari masih banyak faktor lain yang mempengaruhi suhu permukaan, beberapa diantaranya yaitu efek atmosferik (pancaran dan hamburan), letak lintang dan kerapatan udara. Sensor MODIS dapat merespon topografi karena pengaruh dari kerapatan udara lembab dan panas spesifik udara yang bervariasi terhadap ketinggian dan tekanan.
ABSTRACT
NURJAMAN. Estimation of Relations Topography condition with Spectral Radiance Satellite Imagery TERRA MODIS L1B (Case Study: Mount Gede and Mount Salak).Supervised by IDUNG RISDIYANTO.
The objectives of this research are estimate the spectral radiation relationship with the topography on forest land cover and analyze the relationship of surface temperature between altitude on forest land cover in the area of Mount Salak and Mount Gede derived from MODIS TERRA L1B imagery at long wavelength channel (spectral radiation emission ). Surface temperature derived from TERRA MODIS L1B data, it use channel 31 and 32 with a wavelength of 10.780 to 11.280 and 11.770-12.270 . Spectral emission of radiation (longwave thermal) response topography indicated by the correlation coefficient of -0.5 to -0.9 while the spectral reflectance of radiation (short wave) did not respond to the topography shown by fluctuations in the value of the correlation coefficient with a range of -0.7 to 0.3. TERRA MODIS L1B image data indicated by the response to topography radiation emission spectral response of the altitude. Based on data derived from MODIS TERRA L1B image is obtained inversely proportional relationship between the temperature of the surface topography. Highest value of surface temperature and the lowest occurred in September and May. With the same land cover (forest), solar zenith angle affects the surface temperature value. In addition, there are many other factors that affect the surface temperature, some of which are atmospheric effects (emission and scattering), the latitude and air density. MODIS sensor can respond to topography due to the influence of the moist air density and specific heat of air varies with altitude and pressure.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
PENDUGAAN HUBUNGAN KONDISI TOPOGRAFI DENGAN
RADIASI SPEKTRAL CITRA SATELIT TERRA MODIS L1B
(STUDI KASUS: GUNUNG GEDE DAN GUNUNG SALAK)
GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Pendugaan Hubungan Kondisi Topografi dengan Radiasi Spektral Citra Satelit TERRA MODIS L1B (Studi Kasus: Gunung Gede dan Gunung Salak)
Nama : Nurjaman NIM : G24090046
Disetujui oleh
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc. Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. Ketua Departemen
PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah dengan judul: Pendugaan Hubungan Kondisi Topografi dengan Radiasi Spektral Citra Satelit TERRA MODIS L1B (Studi Kasus: Gunung Gede dan Gunung Salak). Selama penulisan karya ilmiah ini penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih patut penulis sampaikan pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini yaitu :
1.Ayahanda Ohen Suhendra (Almarhum), Ibunda Juju Juarsih serta kakak tercinta Yatni Dwi Suparmiati atas segala bentuk dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis di setiap saat.
2.Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan waktu, ilmu, bimbingan, kritik dan saran dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
3.Ibu Dr.Ir.Rini Hidayati, MS selaku pembimbing akademik dan Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi.
4.Bapak Prof.Dr.Ir.Ahmad Bey selaku ketua bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer yang telah memberikan ilmu, saran, perhatian dan dukungan.
5.Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang memberikan bimbingan, arahan, nasehat serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
9.Keluarga Soskemas BEM KM IPB Berkarya 2012 (ka Aha, ka Dian, Yulita, Nita, Yaya, Putri, Susi, Ardian, Faisal dan Ilham) dan Keluarga Bina Desa BEM KM IPB 2010 serta Keluarga Sanji atas inspirasi, dukungan dan doa kepada penulis.
10. Seluruh teman GFM 46, kakak GFM 44 dan GFM 45, adik GFM 47 dan GFM 48 serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, Juli 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
METODE 2
Waktu dan Tempat Penelitian 2
Bahan 2
Alat 2
Prosedur Analisis Data 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Kondisi Umum Wilayah Kajian 5
Deskripsi Profil Penutupan Lahan Menurut Ketinggian Tempat 5 Hubungan Spectral Radiance dengan Ketinggian pada Tutupan Lahan Hutan 7 Hubungan Suhu Permukaan dengan Ketinggian pada Tutupan Lahan Hutan 13
SIMPULAN DAN SARAN 17
Simpulan 17
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 20
DAFTAR TABEL
1 Luas wilayah kajian Gunung Gede dan Gunung Salak 6 2 Analisis hubungan statistik antara radiasi spektral emisi dan reflektan
terhadap ketinggian 9
3 Analisis hubungan statistik antara suhu permukaan terhadap ketinggian 16
DAFTAR GAMBAR
1 Profil penutupan lahan menurut ketinggian di wilayah Gunung Gede 6
2 Profil penutupan lahan di wilayah Gunung Gede 7
3 Profil penutupan lahan menurut ketinggian di (a) Gunung Gede dan (b)
Gunung Salak 7
4 Hubungan radiasi spektral emisi menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di wilayah Gunung Gede tahun 2003 10
5 Hubungan radiasi spektral emisi menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di wilayah Gunung Salak tahun 2003 11
6 Hubungan radiasi spektral reflektan menurut ketinggian pada tutupan
lahan hutan di wilayah Gunung Gede tahun 2003 12
7 Hubungan radiasi spektral reflektan menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di wilayah Gunung Salak tahun 2003 13 8 Hubungan suhu permukaan menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di wilayah Gunung Gede tahun 2003 15
9 Hubungan suhu permukaan menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di wilayah Gunung Gede tahun 2003 16
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian 20
2 Radiasi spektral emisi rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di Gunung Gede pada waktu berbeda 21
3 Radiasi spektral reflektan rata-rata menurut ketinggian pada penutupan
lahan hutan di Gunung Gede pada waktu berbeda 21
4 Radiasi spektral emisi rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di Gunung Salak pada waktu berbeda 22
5 Radiasi spektral reflektan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak pada waktu berbeda 22 6 Suhu permukaan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan
di Gunung Gede pada waktu berbeda 22
7 Suhu permukaan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan
di Gunung Salak pada waktu 23
8 Spesifikasi MODIS 23
10 Citra MODIS 22 Mei 2003, 09.50 AM (a); 12 Juni 2003, 10.10 AM (b); 30 Juli 2003, 10.10 AM (c); 31 Agustus 2003, 10.10 AM; (d) 23
September 2003, 10.15 AM (e) 25
11 Penutupan awan di wilayah Gunung Gede pada (a) 22 Mei, (b) 12 Juni, (c) 30 Juli, (d) 31 Agustus dan (e) 23 September 26 12 Penutupan awan di wilayah Gunung Salak pada (a) 22 Mei, (b) 12 Juni,
(c) 30 Juli, (d) 31 Agustus dan (e) 23 September 26 13 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede
22 Mei 2003 27
14 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede
12 Juni 2003 27
15 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede
30 Juli 2003 28
16 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede
31 Agustus 2003 28
17 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede
23 September 2003 29
18 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak
22 Mei 2003 29
19 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak
12 Juni 2003 30
20 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak
30 Juli 2003 30
21 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak
31 Agustus 2003 31
22 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suhu permukaaan merupakan salah satu parameter kunci keseimbangan energi pada permukaan dan merupakan variabel klimatologis yang utama yang mengendalikan fluks energi gelombang panjang melalui atmosfer.
Suhu permukaan berperan langsung dalam pendugaan fluks gelombang panjang atau berperan secara tidak langsung dalam pendugaan fluks bahang laten
(latent heat fluxes) dan bahang terasa (sensible heat fluxes) (Mannstein
1987;Sellers 1988). Selain itu banyak aplikasi lain yang menerapkan peranan suhu permukaan, seperti model evapotranspirasi (Serafini 1987; Bussieres et.al 1990), pendugaan kelembaban tanah (Price 1990) dan ilmu iklim, hidrologi, ekologi dan biogeokimia (Schmugge dan André 1991;Running et.al 1994). Konsekuensinya aplikasi-aplikasi tersebut harus mempunyai akses untuk menduga suhu permukaan baik skala lokal bahkan skala spasial yang lebih besar. Salah satu metode pendugaan suhu permukaan yaitu penginderaan jauh dengan memanfaatkan data
citra satelit. Penelitian Risdiyanto (2001) yang berjudul “Weather Monitoring
Model Based on Satelite Data” menjelaskan bahwa pendugaan suhu permukaan
dan faktor-faktor meteorologi dapat dilakukan menggunakan data citra satelit. Algoritma yang digunakan pada penelitian ini yaitu algoritma split windows. Algoritma split windows mengoreksi efek atmosfer berdasarkan diferensial absorpsi uap air pada dua kanal termal infra merah yang berdekatan dengan emisivitas permukaan/penutupan lahan sebagai masukan (input) (Qin et.al 2004). Dalam penggunaannya, algoritma ini tidak memerlukan profil suhu dan uap air di atmosfer, sederhana dan efisien secara komputasi (Wan dan Dozier 1996). Adapun penelitian suhu permukaan di berbagai penutupan lahan yang dilakukan Nurrachman (2013) menunjukkan penurunan nilai suhu permukaan terhadap topografi pada berbagai penutupan lahan. Suhu permukaan diturunkan dari nilai radiasi spektral pada citra TERRA MODIS L1B dengan menerapkan Hukum Planck. Penulis membuat sebuah hipotesis bahwa sensor MODIS dapat merespon topografi. Untuk membuktikan hipotesis tersebut penulis terlebih dahulu menduga nilai suhu permukaan di Gunung Gede dan Gunung Salak menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan yang diturunkan dari data satelit TERRA MODIS L1B dan menganalisis hubungannya.
Tujuan Penelitian
1 Menduga hubungan radiasi spektral dengan kondisi topografi pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede dan Gunung Salak
2
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2013 dengan wilayah kajian Gunung Salak dan Gunung Gede. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data citra satelit TERRA-MODIS Level 1B yang mencakup wilayah Jawa Barat (Gunung Salak dan Gunung Gede) tanggal 22 Mei 2003, 12 Juni 2003, 30 Juli 2003, 31 Agustus 2003 dan 23 September 2003. Kanal yang digunakan yaitu kanal 1, 3,dan 4 sebagai kanal reflectance dan kanal 31 dan 32 sebagai kanal emissive. Resolusi yang dipakai 1km x 1km untuk masing-masing kanal. Data tersebut dapat diunduh secara gratis di alamat:
http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/search.html
4. Peta Administrasi Wilayah Provinsi Jawa Barat. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pengolah citra (image processing) seperti HDF view, ENVI 4.5 dan ErMapper, perangkat pengolah sistem informasi geografis seperti ArcGIS, dan perangkat pengolah data seperti Microsoft Office dan Notepad ++.
Prosedur Analisis Data
Pendugaan suhu permukaan dapat dilakukan melalui pengolahan citra TERRA MODIS L1B dengan menggunakan kanal reflektan dengan panjang gelombang 0.620 – 0.670 µm (kanal 1), 0.459 – 0.479 (kanal 3) dan 0.545 – 0.565 (kanal 4) serta kanal emisi dengan panjang gelombang 10.780 - 11.280 µm (kanal 31) dan µm 11.770 - 12.270 (kanal 32). Suhu permukaan didapatkan dari konversi nilai Brightness Temperature.
Pemrosesan Awal Data Citra Satelit
Langkah-langkah pendugaan suhu permukaan menggunakan data citra satelit (TERRA MODIS L1B) dengan teknologi penginderaan jauh meliputi :
3 Efek Bowtie merupakan efek duplikasi data akibat peningkatan
Instantaneous Field Of View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km pada titik
nadir menjadi 2x5 km pada sudut scan maksimum . Penyebab terjadinya pengaruh bowtie yaitu spesifikasi dari TERRA MODIS itu sendiri yang merupakan satelit beresolusi rendah dengan cakupan (swath) yang besar (2330 km), disamping itu hal lain yang berperan dalam fenomena ini yaitu kelengkungan bumi. Pengaruh bowtie terjadi ketika sensor pemindaian mencapai sudut 15 , dan efeknya akan jelas terlihat ketika besar sudutnya meningkat (Wen 2008). Koreksi Bowtie bertujuan untuk menghilangkan kerusakan citra berupa duplikasi data akibat peningkatan Instantaneous Field Of View (IFOV) tersebut. Penghilangan
Bowtie Effect dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5.
2 Pemotongan Wilayah Kajian
Data citra satelit TERRA MODIS yang telah terkoreksi kemudian dipotong dengan data vektor wilayah Gunung Salak dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra.
Ekstraksi Nilai Parameter-Parameter Suhu Permukaan
Beberapa tahapan dilakukan untuk mendapatkan nilai suhu permukaan : 1 Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature
(Suhu Kecerahan)
Nilai brightness temperature (suhu kecerahan) dapat dihitung dari konversi nilai spectral radiance dengan menerapkan hukum Planck dari radiasi benda hitam (Kerr et.al 2000). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
2 Konversi Nilai SuhuKecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan
4
Keterangan :
Ts = Suhu Permukaan (K)
= Suhu Kecerahan kanal ke-i (K) = Emisivitas Objek kanal ke i
Algoritma Becker & Li merupakan algoritma split windows yang termasuk ke dalam kategori emissivity-dependent models dimana model tersebut mengasumsikan efek atmosfer konstan dan nilai emisivitas penutupan lahan sebagai masukan pada perhitungan (Qin et.al 2004). Dengan hanya mengetahui nilai emisivitas suatu tutupan lahan, nilai suhu permukaan sudah dapat diduga.
3 Penentuan Albedo
Persamaan yang digunakan untuk penentuan albedo menurut (USGS 2003) adalah sebagai berikut:
Keterangan:
D = Jarak astronomi bumi matahari (SA)
ESUN = Rata-rata nilai solarspectral irradiance pada kanal tertentu (Wm-2 )
L = Spectral radiance (W m-2 sr-1 m-1)
θs = Sudut Zenithmatahari (θ) (Degree)
4 Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking)
Pemisahan awan dapat dilakukan melalui pendekatan albedo awan atau menggunakan kanal 3 reflektan MODIS. Jika nilai piksel albedo atau nilai reflektan kanal 3 lebih besar dari 0.2 maka dapat dikatakan nilai tersebut sebagai awan (Xiao 2004).
5 Penentuan Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi menggambarkan ketepatan dan hubungan linear antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas atau antara sesama peubah bebas. Dalam penelitian ini, penentuan koefisien korelasi ini bertujuan untuk melihat kekuatan hubungan nilai antara reflectance spectral radiance emissive spectral radiance
dan suhu permukaan terhadap ketinggian. Persamaan yang digunakan untuk menentukan koefisien korelasi menurut Walpole (1995) adalah sebagai berikut :
∑ ∑ ∑ √ ∑ (∑ ) ∑ ∑
Keterangan :
r = Nilai koefisien korelasi = Nilai ketinggian ke-i
= Nilai reflectance spectral radiance emissive, spectral radiance dan suhu permukaan ke-i
5
Secara administratif pemerintahan, wilayah Gunung Gede mencakup ke dalam tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor (sebelah utara dan barat), Sukabumi (sebelah barat dan selatan) dan Cianjur (sebelah barat dan timur).
Gunung Salak
Gunung Salak merupakan sebuah gunung berapi yang terdapat di pulau Jawa, Indonesia. Letak astronomis puncak gunung ini ialah pada 6°43' LS dan 106°44' BT. Tinggi puncak gunung Salak 2211 m.
Secara administratif pemerintahan, Gunung Salak termasuk dalam wilayah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Deskripsi Profil Penutupan Lahan Menurut Ketinggian Tempat
Wilayah Gunung Gede dan Gunung Salak terdiri dari beberapa penutupan lahan diantaranya semak/belukar, lahan pertanian, badan air, lahan terbangun dan hutan. Penutupan lahan di Gunung Gede didominasi oleh lahan pertanian dan lahan terbangun pada ketinggian kurang dari 600 mdpl, sedangkan untuk wilayah Gunung Salak didominasi oleh semak/belukar. Pada ketinggian lebih besar dari 600 mdpl penutupan lahan di Gunung Gede dan Gunung Salak didominasi oleh hutan (Gambar 3). Menurut Oguro (2011) hutan terdiri dari beberapa jenis seperti
evergreen needleleaf forest, evergreen broadleaf forest, deciduous needleleaf
forest, deciduous broadleaf fores dan mixed forest. Pemilihan hutan sebagai
penutupan lahan kajian karena karakteristik hutan yang lebih homogen dibandandingkan dengan lahan pertanian. Lahan pertanian lebih bersifat heterogen, karena lahan pertanian itu sendiri terdiri dari beberapa penutupan lahan yang karakteristiknya cukup jauh berbeda seperti kebun/perkebunan, sawah irigasi, sawah tadah hujan dan tegalan/ladang.
6
ditutupi oleh awan, sehingga data citra dapat digunakan untuk langkah selanjutnya.
Tabel 1 Luas wilayah kajian Gunung Gede dan Gunung Salak
Wilayah
7
Gambar 2 Profil penutupan lahan di wilayah Gunung Gede
Gambar 3 Profil penutupan lahan menurut ketinggian di (a) Gunung Gede dan (b) Gunung Salak
Hubungan Spectral Radiance dengan Ketinggian pada Tutupan Lahan Hutan
Pada penelitian ini digunakan citra TERRA MODIS Level 1B1 yang merupakan satelit penginderaan jauh pasif. Pada sistem pasif, sensor merekam
1
MODIS adalah salah satu sensor yang dibawa satelit Earth Observing System (EOS AM) Terra dan (EOS PM) Aqua dan merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat,
National Aeronautics and Space Administration (NASA). MODIS merupakan sebuah instrumen penyedia data untuk proses–proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan.
8
objek (permukaan bumi) yang mendapat sinar matahari sebagai sumber energi, sehingga kualitas citra bergantung pada intensitas sinar matahari. Apabila objek tertutup awan maka objek tidak terlihat atau tidak tergambarkan. Disamping itu radiasi matahari masuk bervariasi menurut ketinggian. Radiasi datang meningkat menurut ketinggian tetapi terjadi penurunan radiasi matahari di ketinggian yang lebih tinggi melalui penyerapan dan hamburan (Whiteman 1999).
Matahari memancarkan energi radiasi elektromagnetik dengan suatu kisaran panjang gelombang. Energi elektromagentik tidak berinteraksi dengan energi itu sendiri, akan tetapi hanya dapat ditangkap atau diindera melalui interaksinya dengan suatu benda. Sensor penginderaan jauh merekam interaksi energi yang berbeda untuk membedakan antara kenampakan di permukaan bumi dan untuk membantu dalam mengkuantifikasikan kondisinya.
Semua benda diatas suhu nol absolut (-273 ) secara terus menerus memancarkan radiasi elektromagnetik. Intensitas dan sifat spektral radiasi ini merupakan fungsi dari suhu permukaan objek yang memancarkan. Suhu rata-rata sebagian besar kenampakan di permukaan bumi (tanah, air, vegetasi, batuan) berkisar pada 300 K (27 ). Objek tersebut memancarkan tenaga puncak yang berkisar pada 8-14 (Lilles dan Kiefer 1990). Kisaran panjang gelombang tersebut dapat diindera oleh kanal termal 31 dan 32 pada MODIS.
Radiasi spektral emisi berhubungan dengan energi termal yang dipancarkan suatu objek. Sedangkan radiasi spektral reflektan berhubungan dengan energi atau radiasi matahari yang dipantulkan. Nilai radiasi reflektan berbanding lurus dengan nilai albedo. Semakin besar nilai albedo maka semakin besar pula radiasi yang dipantulkan oleh suatu objek tersebut. Nilai albedo rataan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede dan Gunung Salak berturut-turut yaitu 0,1 dan 0,1 (22 Mei); 0,08 dan 0,08 (12 Juni); 0,08 dan 0,09 (30 Juli); 0,11 dan 0,09 (31 Agustus); 0,07 dan 0,08 (23 September). Kisaran nilai albedo tersebut masih dalam kisaran nilai albedo menurut penelitian yang dilakukan Risdiyanto dan Setiawan (2007) yaitu berkisar antara 0,05-0,25 untuk tutupan lahan hutan campuran. Nilai albedo rataan terkecil baik di Gunung Gede maupun Gunung Salak terdapat pada 23 September, hal ini dapat disebabkan karena pengaruh sudut datang matahari terkecil dan jarak matahari-bumi terdekat pada bulan tersebut (lihat Analisis Prosedur, rumus penentuan albedo). Jika jarak pangkat dua matahari-bumi dan radiasi spektral reflektan besar serta nilai sudut datang matahari kecil maka nilai albedo akan besar. Selain itu menurut Geiger (1961) albedo vegetasi ditentukan oleh tipe, warna dan luas daun.
Secara umum nilai radiasi spektral2 (spectral radiance) di wilayah Gunung Gede dan Gunung Salak yang teletak di 6º lintang selatan (dekat ekuator) menurun menurut ketinggian dengan tutupan lahan hutan.
Nilai radiasi spektral emisi tertinggi terjadi pada 23 September sedangkan terendah pada 22 Mei. Sedangkan untuk nilai radiasi spektral reflektan tertinggi
2
Spectral radiance radiasi spektral) adalah jumlah energi yang
9 terjadi pada 22 Mei dan 31 Agustus. Posisi matahari menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan nilai spektral radiasi tersebut dimana pada 23 September posisi matahari tepat berada di ekuator berbeda dengan 22 Mei, 12 Juni dan 30 Juli yang berada di sebelah utara ekuator.
Secara umum, terdapat hubungan terbalik antara radiasi spektral emisi dengan ketinggian, sedangkan hubungan antara radiasi spektral reflektan dengan ketinggian hampir tidak ada hubungan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi radiasi spektral emisi yang bernilai negatif terhadap ketinggian, sedangkan nilai koefisien korelasi radiasi spektral reflektan nilainya tidak konsisten, terkadang negatif, positif bahkan nol. Nilai koefisien determinasi (R square) dan koefisien korelasi radiasi spektral emisi lebih tinggi dibandingkan radiasi spektral reflektan. Nilai koefisien korelasi radiasi spektral emisi terhadap ketinggian di Gunung Gede berkisar antara -0,5 sampai -0,9 dan -0,5 sampai -0,8 untuk Gunung Salak. Nilai koefisien korelasi radiasi spektral reflektan di Gunung Gede dan Gunung Salak berkisar antara -0,7 sampai 0,3 dan -0,7 sampai 0 (Tabel 2). Berdasarkan nilai tersebut radiasi spektral reflektan tidak merespon topografi (ketinggian) sedangkan radiasi spektral emisi merespon topografi (ketinggian). Nilai R square radiasi spektral emisi 0,2-0,7 di Gunung Gede dan 0,3-0,6 di Gunung Salak menunjukkan bahwa keragaman nilai spektral radiasi dapat dijelaskan oleh 20-70 dan 30-60 persen nilai ketinggian suatu tempat. Spektral radiasi tidak hanya dipengaruhi oleh ketinggian saja. Ada faktor lain yang berpengaruh beberapa diantaranya yaitu angin, efek atmosferik (pancaran dan hamburan), letak lintang, posisi matahari, bayangan awan, polusi, kerapatan udara dan lain sebagainya.
10
11
12
13
Gambar 7 Hubungan radiasi spektral reflektan menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di wilayah Gunung Salak tahun 2003
Hubungan Suhu Permukaan dengan Ketinggian pada Tutupan Lahan Hutan
Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Pada permukaan tanah atau lahan terbuka, suhu permukaan diartikan sebagai suhu pada lapisan terluar permukaan tanah atau dikenal dengan istilah
land surface temperature (LST). Jika objeknya adalah badan air, maka suhu
permukaan merupakan suhu dari permukaan badan air. Sedangkan pada vegetasi, suhu permukaan merupakan suhu permukaan kanopi tanaman. Pada penelitian ini, objek kajian berupa hutan (vegetasi) maka suhu permukaan yang diukur berupa kanopi hutan.
14
Becker & Li dapat memberikan hasil pendekatan suhu permukaan yang baik walau tanpa informasi nilai emisivitas yang akurat sekalipun (Prasasti et al. 2007). Algoritma split windows telah banyak digunakan oleh para peneliti untuk penentuan suhu permukaan (Becker dan Li 1990;Wan dan Dozier 1996;Majumdar dan Mohanty 1998;Sobrino et.al 2001;Coll et.al 2005). Metode split windows mengoreksi efek atmosfer berdasarkan diferensial absorpsi uap air pada termal infra merah dengan emisivitas permukaan/penutupan lahan sebagai masukan (input).
Tidak berbeda jauh dengan radiasi spektral yang telah dijelaskan sebelumnya, secara umum, baik di wilayah Gunung Gede maupun di wilayah Gunung Salak nilai suhu permukaan tertinggi dan terendah terjadi pada 23 September dan 22 Mei. Dengan letak wilayah kajian yang berada pada lintang 6º (dekat garis ekuator) salah satu penyebab perbedaan nilai suhu permukaan di waktu yang berbeda tersebut yaitu gerak semu matahari dimana pada 22 Mei posisi matahari disebelah utara ekuator berbeda dengan posisi matahari pada 23 September yang tepat di ekuator. Adapun posisi matahari ketika berada di lintang 6º LS yaitu pada 18 Oktober3. Perbedaan jarak antara matahari dan bumi menyebabkan perbedaan kerapatan fluks (intensitas, ) radiasi surya di permukaan bumi (Handoko 1993).
Suhu permukaan diturunkan dari radiasi spektral dengan menerapkan Hukum Planck. Kanal yang digunakan untuk ekstraksi suhu permukaan yaitu kanal 31 dan kanal 32. Penelitian Rumondang (2011) dan Seta (2012) dalam penentuan suhu permukaan awan dan suhu permukaan untuk menentukan tinggi potensial juga digunakan kanal 31 dan 32 dengan panjang gelombang 10.780 - 11.280 µm (kanal 31) dan µm 11.770 - 12.270 (kanal 32).
Secara umum hubungan antara suhu permukaan dengan ketinggian pada 22 Mei, 12 Juni, 23 Juli, 31 Agustus dan 23 September menunjukkan tren yang sama. Terdapat hubungan terbalik antara suhu permukaan dengan ketinggian. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien korelasi yang bernilai negatif yaitu 0.6 (22 Mei), -0.8 (12 Juni), -0.6 (30 Juli), --0.8 (31 Agustus) dan -0.9 (23 September) untuk wilayah Gunung Gede dan -0,7 (22 Mei), -0,8 (12 Juni), -0,7 (30 Juli), -0,8 (31 Agustus) dan -0,8 (23 September) untuk wilayah Gunung Salak. Nilai koefisien determinasi untuk wilayah Gunung Gede dan Gunung Salak berturut-turut yaitu 0,3-0,8 dan 0,4-0,7. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman suhu permukaan dapat dijelaskan oleh 30-80 persen dan 40-70 persen nilai ketinggian suatu tempat.
15 mengurangi dan menambah radiasi yang mencapai sensor termal. Dengan demikian serapan dan hamburan atmosfer merupakan hambatan yang membuat sinyal objek di medan lebih dingin dari kenyataannya, dan pancaran atmosfer cenderung menyebabkan objek di medan lebih panas dari suhu sebenarnya.Satu dari sekian efek akan lebih kuat dari lainnya (Lilles dan Kiefer 1990).
16
Gambar 9 Hubungan suhu permukaan menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di wilayah Gunung Gede tahun 2003
Tabel 3 Analisis hubungan statistik antara suhu permukaan terhadap ketinggian
Wilayah
Kajian Parameter r R
2
r R2 r R2 r R2 r R2
Gunung Gede
Suhu
permukaan -0,646 0,416 -0,767 0,588 -0,552 0,304 -0,797 0,635 -0,909 0,826
Gunung Salak
Suhu
permukaan -0,695 0,483 -0,797 0,635 -0,660 0,436 -0,795 0,627 -0,811 0,658
17 meningkat sehingga sering terjadi tumbukan antar partikel tersebut. Pelepasan energi terjadi saat tumbukan partikel tersebut dikenal dengan istilah fluks pemanasan udara (H/sensible heat flux)4. Dari persamaan Monteith dan Unsworth (1990)5 kita dapat melihat hubungan antara suhu permukaan dengan suhu udara dan bahang terasa. Suhu permukaan berbanding lurus dengan suhu udara dan bahang terasa (sensible heat flux), bahang terasa dipengaruhi oleh kerapatan udara lembab dan panas spesifik udara. Jadi dapat disimpulkan bahwa sensor MODIS dapat merespon topografi karena pengaruh dari kerapatan udara lembab dan panas spesifik udara yang bervariasi terhadap ketinggian dan tekanan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Radiasi spektral emisi (gelombang panjang termal) merespon topografi yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi sebesar -0,5 sampai -0,9 sedangkan radiasi spektral reflektan (gelombang pendek) tidak merespon topografi yang ditunjukkan oleh fluktuasi nilai koefisien korelasi dengan rentang -0,7 sampai 0,3. Data citra TERRA MODIS L1B merespon topografi yang ditunjukkan oleh respon radiasi spektral emisi terhadap ketinggian.
Suhu permukaan dapat diturunkan dari kanal 31 dan kanal 32 pada citra TERRA MODIS L1B dengan kisaran panjang gelombang 10.780 - 11.280 µm dan 11.770 - 12.270 µm. Dari data yang diturunkan dari citra TERRA MODIS L1B tersebut didapatkan hubungan berbanding terbalik antara suhu permukaan dengan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka nilai suhu permukaannya akan semakin kecil. Secara umum, baik di wilayah gunung Gede maupun di wilayah gunung Salak nilai suhu permukaan tertinggi dan terendah terjadi pada 23 September dan 22 Mei. Sensor MODIS dapat merespon topografi karena pengaruh dari kerapatan udara lembab dan panas spesifik udara yang bervariasi terhadap ketinggian dan tekanan.
Dengan karakteristik permukaan yang sama (hutan), suhu permukaan dipengaruhi oleh gerak semu matahari. Selain itu suhu permukaan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti efek atmosferik (pancaran dan hamburan), letak lintang dan kerapatan udara.
4
Fluks pemanasan udara identik dengan spektral radiasi emisi. Jadi dapat dikatakan bahwa laju perpindahan energi (W) yang terekam oleh sensor merupakan laju perpindahan energi dari fluks pemanasan udara (H) per luas permukaan untuk satu steradian dengan panjang gelombang tertentu. Dengan kata lain sensible heat flux merupakan energi termal yang dilepaskan oleh objek dengan kisaran panjang gelombang 8- 14 yang dapat ditangkap oleh kanal 31 dan 32 pada sensor MODIS dengan resolusi spektral 10.780 - 11.280 µm (kanal 31) dan 11.770 -
18
Saran
Diperlukan evaluasi dan validasi data untuk mengetahui seberapa akurat nilai suhu permukaan yang diekstraksi dari citra MODIS L1B dan algoritma mana yang baik untuk pendugaan suhu permukaan.
Perlu dikembangkan algoritma yang memasukkan efek atmosferik secara lengkap dengan memperhitungkan faktor pancaran, hamburan dan radiatif transfer.
DAFTAR PUSTAKA
Bussieres N, Louie P Y T, Hogg W.1990.Progress report on the implementation of an algorithm to estimate regional evaportanspiration using satellite data. In Proceeding of the workshop on applications of remote sensing in hydrology, Saskaton Saskatchewan. 13-14 February.
Coll C, Caselles V and Galve J M.2005.Ground measurements for the validation of land surface temperatures derived from AATSR and MODIS data.Rem. Sens.
Consortium for Spatial Information.2013. SRTM 90m Digital Elevation Database v4.1.[internet].[diacu Feb 2013].Tersedia dari http://www.cgiar-csi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1.
Geiger R, Aron RH dan Paul T. 1961.The Climate Near The Ground. Ed ke-5. Cambridge (US) : Harvard University Press
Handoko.1993.Klimatologi Dasar:Radiasi Surya.Bogor (ID): Pustaka Jaya. Kerr Yann H, Jean Pierre Lagouarde, Francoise Nerry dan Catherine
Ottle.2000.Thermal Remote Sensing in Land Surface Processes:Land Surface Temperature Retrieval Techniques and Applications: Case of AVHRR.editor:Dale A Quattrochi dan Jeffrey C. Luvall.New York (US) :CRC Press.
Lillesand T M, Kiefer R W. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. New York(US) : John Wiley & Son, Inc.
Mannstein H.1987.Surface Energy budget, surface temperature and thermal inertia. In Remote Sensing Applications in Meteorology and Climatology. Math. Phys. Sci.(201).
Majumdar T J and Mohanty K K.1998.Derivation of landsurface temperatures from MOS-1 VTIR data using Split-Window channel computation technique.Int. J. Rem.Sens.(19):287–294.
[NASA] National Aeronautics and Space Administration.2013.Level 1 and Atmosphere Archive and Distribution System.[internet].[diacu Feb 2013].Tersedia dari http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/search.html.
[NASA] National Aeronautics and Space Administration .2013.About MODIS.
[internet].[diacu 20 Mei 2013].Tersedia dari
http://modis.gsfc.nasa.gov/data/dataprod/dataproduct.php?MOD_NUMBER=0 2.
19 Oguro Y, Ito S dan Tsuciya K.2011.Comparisons of brightness temperatures of Landsat-7/ETM+ and Terra/MODIS around Hotien Oasis in the Taklimakan Desert. Applied and Environmental Soil Science.(2011):7.
Price J C.1990.The potential of remotely sensed thermal infrared data to infer surface soil moisture and evaporation. Water Resources.(16)787-795.
Prasasti I, Sambodo KA dan Carolita I.2007.Pengkajian pemanfaatan data TERRA MODIS untuk ekstraksi data suhu permukaan lahan (spl) berdasarkan beberapa algoritma.Junt.(3):1-3.
Risdiyanto I. 2001. Weather Monitoring Model. [Tesis]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Risdiyanto I dan Setiawan R. 2007. Metode neraca energi untuk perhitungan indeks luas daun menggunakan data citra satelit multi spektral. J Agromet Indonesia. 21 (2) : 27 – 38.
Rumondang D.2011. Penurunan Nilai Albedo dan Suhu Permukaan dari Data TERRA/MODIS L1B untuk Klasifikasi Awan.[Skripsi].Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB.
Running S W, Justice C, Salomonson V, Hall D, Barker J, Kaufman Y, Strahler A, Huete A, Muller J P, Vanderbilt V, Wan Z, Teillet P.1994. Terrestrial remote sensing science and algorithms planned for EOS/MODIS. International journal of remote sensing.17:3587-3620.
Schmugge T J, André J C.1991.Land Surface Evaporation: Measurements and
Parameterization. New York (US) :Springer Verlag.
Sellers P J, Hall F G, Asrar G, Strebel D E, Murphy R E. 1988. The first ISLSCP Field Experiment (FIFE). Bullet of American Meteorology Society.69(1):22-27. Serafini V V. 1987. Estimation of the evapotranspiration using surface and
satellite data. International journal of remote sensing.8:1547-1562. Seta G A.2012. Utilization of TERRA/MODIS L1B Data for Analysis of
Horizontal Wind Profile in the Troposphere.[Skripsi].Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB.
Sobrino J A, Raissouni N and Li Z.2001.A comparative study of land surface emissivity retrieval from NOAA data.Rem. Sens. Environ.75:256–266.
[USGS]U S Geological Survey. 2003. Landsat 7 Science Data Users Handbook.[internet].[diacu pada 23 Apr 2013].Tersedia dari http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/handbook/handbook_htmls/chapter11/ch apter11.html.
Walpole R E.1995.Pengantar Statistik.Jakarta(ID):PT Gramedia Pustaka Utama. Wan Z and Dozier J.1996.A generalized split window algorithm for retrieving
land surface temperature from space.IEEE Trans. Geosci. & Rem. Sens.(34):892–905.
Wen X. 2008. A new prompt algorithm for removing the bowtie effect of MODIS L1B data. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences.37:Part B3b.
20
Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Citra TERRA
Citra Wilayah Kajian Citra Wilayah Kajian
Pemisahan Kanal Pemisahan Kanal
Band 1 Band 3 Band 4 Band 31 Band 32
Konversi Nilai Suhu Kecerahan Ke
Suhu Permukaan Suhu Permukaan Kanopi Hutan Peta DEM
SRTM
21 Lampiran 2 Radiasi spektral emisi rata-rata menurut ketinggian pada tutupan
lahan hutan di Gunung Gede pada waktu berbeda Radiasi Spektral Emisi (
Lampiran 3 Radiasi spektral reflektan rata-rata menurut ketinggian pada penutupan lahan hutan di Gunung Gede pada waktu berbeda
22
Lampiran 4 Radiasi spektral emisi rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak pada waktu berbeda
Radiasi Spektral Emisi (
Lampiran 5 Radiasi spektral reflektan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak pada waktu berbeda
Radiasi Spektral Reflektan
Lampiran 6 Suhu permukaan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede pada waktu berbeda
Suhu Permukaan rata-rata (
23 Lampiran 7 Suhu permukaan rata-rata menurut ketinggian pada tutupan lahan
hutan di Gunung Salak pada waktu Suhu permukaan rata-rata (
Tanggal
601-Lampiran 8 Spesifikasi MODIS
Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular
Scan Rate 20.3 rpm, cross track
Swath Dimensions 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir) Telescope 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with
intermediate field stop
Size 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Weight 228.7 kg
Power 162.5 W (single orbit average)
Data Rate 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) Quantization 12 bits
Spatial Resolution 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36) Design Life 6 years
24
Lampiran 9 Spesifikasi kanal MODIS
Primary Use Band Bandwidth1 Spectral
Radiance2
Spectral Radiance values are (W/m2 -µm-sr)
3
SNR = Signal-to-noise ratio
4
NE(delta)T = Noise-equivalent temperature difference
Note: Performance goal is 30-40% better than required
25 Lampiran 10 Citra MODIS 22 Mei 2003, 09.50 AM (a); 12 Juni 2003, 10.10 AM (b); 30 Juli 2003, 10.10 AM (c); 31 Agustus 2003, 10.10 AM; (d) 23 September 2003, 10.15 AM (e)
(a)
(b)
(c) (d)
26
Lampiran 11 Penutupan awan di wilayah Gunung Gede pada (a) 22 Mei, (b) 12 Juni, (c) 30 Juli, (d) 31 Agustus dan (e) 23 September
(a) (b) (c)
(d) (e)
Lampiran 12 Penutupan awan di wilayah Gunung Salak pada (a) 22 Mei, (b) 12 Juni, (c) 30 Juli, (d) 31 Agustus dan (e) 23 September
(a) (b) (c)
27 Lampiran 13 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung
Gede 22 Mei 2003
28
Lampiran 15 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Gede 30 Juli 2003
29 Lampiran 17 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung
Gede 23 September 2003
30
Lampiran 19 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak 12 Juni 2003
31
Lampiran 21 Peta nilai suhu permukaan pada tutupan lahan hutan di Gunung Salak 31 Agustus 2003
32
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada 1 September 1990 di Majalengka provinsi Jawa Barat dari pasangan Ohen Suhendra dan Juju Juarsih. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar tahun 2003 dan menengah pertama di MTs N 1 Talaga Kulon tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA 1 Majalengka dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yaitu Bina Desa BEM KM IPB tahun 2009/2010 dan 2010/2011, Lingkungan Seni Sunda Gentra Kaheman tahun 2009/2010, Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Majalengka, BEM KM IPB Berkarya tahun 2011/2012. Pada tahun 2012 penulis melakukan kegiatan magang di laboratorium Agrohidromet Balai Penelitian Agroklimat (Balitklimat) Departemen Pertanian pada tahun 2013 penulis menjadi asisten mata kuliah Meteorologi Satelit di Program Sarjana Meteorologi Terapan serta menjadi asisten peneliti mitigasi bencana banjir.