• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ABSTRACT

ESTER BR SEMBIRING. Presence of Microbiological Quality of Fresh Milk as the Raw Material of Cheese. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

The aim of this study was to observe microbiological quality of fresh milk as the raw material of cheese. There were 35 milk samples taken from six farms. The total count of microorganisms, Staphylococcus aureus, and coliforms were examined with plate count method (pour plate method). The result showed that the milk samples from the third farm had the highest number of total plate count (6 973 333.3 + 4 712 126.2 cfu/ml), the fifth farm showed the highest number of Staphylococcus aureus (1 950.0 + 636.4 cfu/ml), and of coliform (321 139.2 + 4 177 723.8 cfu/ml). Compared to the maximum number of microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 01-3141-2011), all the samples (100%) from the six farms were higher than the standard. The high number of Staphylococcus aureus and coliform contamination in milk due to the inadequate personal hygiene practices and the poor cleanliness level of water, cages, and equipment. This condition should be considered as a risk of food contamination that can cause disease for the consumers.

(2)

iii

RINGKASAN

ESTER BR SEMBIRING. Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Keju mengandung vitamin A, B, dan D, serta berbagai mineral penting bagi tubuh, seperti fosfor dan kalsium. Bagi kaum vegetarian, keju dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi, yaitu 70 gram keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 gram daging. Keju secara umum dibuat dari susu sapi, namun dapat juga dibuat dari susu kambing atau domba. Mayoritas keju dibuat dari susu sapi dengan perlakuan panas atau susu pasteurisasi. Namun dalam proses pembuatan keju, tidak hanya proses perlakuan panas yang mempengaruhi kualitas keju, tetapi juga susu sebagai bahan dasar yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme, karena susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme.

Mikroorganisme yang terdapat pada susu mempengaruhi proses pembuatan produk olahan susu dan mempengaruhi keamanan serta kualitasnya, seperti Staphylococcus aureus, koliform, dan Clostridium tyrobutyricum. Staphylococcus aureus hidup di lingkungan hewan dan manusia seperti air, makanan, mukosa hidung, dan kulit manusia atau hewan serta secara alami ada dalam susu dan produk susu. Bakteri penyebab mastitis ini dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan enzim proteolitik serta sangat penting dalam kasus keracunan makanan termasuk kualitas keju. Bakteri koliform dapat membuat perusakan tekstur lebih dini dan rasa tidak enak pada keju dan merupakan ancaman kesehatan masyarakat serta digunakan sebagai mikroorganisme indikator (indicator organism) terhadap adanya kontaminasi feses.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas mikrobiologis susu segar yang dipasok sebagai bahan baku keju. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, dan higine personal pekerja kandang sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel susu segar dari enam peternakan pemasok susu segar sebagai bahan baku keju dengan jumlah yang berbeda dari setiap peternakan. Jumlah keseluruhan sampel susu segar yaitu 35 sampel yang kemudian diuji kualitas mikrobiologisnya terhadap total plate count, koliform, dan Staphylococcus aureus dengan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method).

(3)

iv peternakan, dan kebersihan pekerja kandang yang kurang baik. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas susu dan produk susu seperti keju yang dihasilkan serta dapat menimbulkan penyakit bagi konsumen.

(4)

i

KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU SEGAR

SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU

ESTER BR SEMBIRING

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2012

(6)

ii

ABSTRACT

ESTER BR SEMBIRING. Presence of Microbiological Quality of Fresh Milk as the Raw Material of Cheese. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

The aim of this study was to observe microbiological quality of fresh milk as the raw material of cheese. There were 35 milk samples taken from six farms. The total count of microorganisms, Staphylococcus aureus, and coliforms were examined with plate count method (pour plate method). The result showed that the milk samples from the third farm had the highest number of total plate count (6 973 333.3 + 4 712 126.2 cfu/ml), the fifth farm showed the highest number of Staphylococcus aureus (1 950.0 + 636.4 cfu/ml), and of coliform (321 139.2 + 4 177 723.8 cfu/ml). Compared to the maximum number of microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 01-3141-2011), all the samples (100%) from the six farms were higher than the standard. The high number of Staphylococcus aureus and coliform contamination in milk due to the inadequate personal hygiene practices and the poor cleanliness level of water, cages, and equipment. This condition should be considered as a risk of food contamination that can cause disease for the consumers.

(7)

iii

RINGKASAN

ESTER BR SEMBIRING. Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Keju mengandung vitamin A, B, dan D, serta berbagai mineral penting bagi tubuh, seperti fosfor dan kalsium. Bagi kaum vegetarian, keju dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi, yaitu 70 gram keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 gram daging. Keju secara umum dibuat dari susu sapi, namun dapat juga dibuat dari susu kambing atau domba. Mayoritas keju dibuat dari susu sapi dengan perlakuan panas atau susu pasteurisasi. Namun dalam proses pembuatan keju, tidak hanya proses perlakuan panas yang mempengaruhi kualitas keju, tetapi juga susu sebagai bahan dasar yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme, karena susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme.

Mikroorganisme yang terdapat pada susu mempengaruhi proses pembuatan produk olahan susu dan mempengaruhi keamanan serta kualitasnya, seperti Staphylococcus aureus, koliform, dan Clostridium tyrobutyricum. Staphylococcus aureus hidup di lingkungan hewan dan manusia seperti air, makanan, mukosa hidung, dan kulit manusia atau hewan serta secara alami ada dalam susu dan produk susu. Bakteri penyebab mastitis ini dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan enzim proteolitik serta sangat penting dalam kasus keracunan makanan termasuk kualitas keju. Bakteri koliform dapat membuat perusakan tekstur lebih dini dan rasa tidak enak pada keju dan merupakan ancaman kesehatan masyarakat serta digunakan sebagai mikroorganisme indikator (indicator organism) terhadap adanya kontaminasi feses.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kualitas mikrobiologis susu segar yang dipasok sebagai bahan baku keju. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kondisi sanitasi kandang, peralatan kandang, lingkungan sekitar kandang, dan higine personal pekerja kandang sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel susu segar dari enam peternakan pemasok susu segar sebagai bahan baku keju dengan jumlah yang berbeda dari setiap peternakan. Jumlah keseluruhan sampel susu segar yaitu 35 sampel yang kemudian diuji kualitas mikrobiologisnya terhadap total plate count, koliform, dan Staphylococcus aureus dengan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method).

(8)

iv peternakan, dan kebersihan pekerja kandang yang kurang baik. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas susu dan produk susu seperti keju yang dihasilkan serta dapat menimbulkan penyakit bagi konsumen.

(9)

v

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

vi

KUALITAS MIKROBIOLOGIS SUSU SEGAR

SEBAGAI BAHAN BAKU KEJU

ESTER BR SEMBIRING

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

vii Judul Skripsi : Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju Nama : Ester Br Sembiring

NIM : B04080046

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Ketua

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(12)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Kualitas Mikrobiologis Susu Segar sebagai Bahan Baku Keju.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum Papa, Mama, dan kakak-kakak tersayang (Rayland, Mega, dan Andryani) serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian (Wulan, Yuni, dan Adik). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Raymond atas waktu, perhatian, dan dukungan yang selalu diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seangkatan Avenzoar 45 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuala, Sumatera Utara pada tanggal 6 September 1990 dari ayah Sadar Sembiring (almh) dan ibu Suasana Br Purba. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 040572, Kabupaten Karo dan lulus pada tahun 2002, dilanjutkan ke SMP ASISI, Kabupaten Karo dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 1 Tigabinanga, Kabupaten Karo dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

(14)

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ………...………... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………...………... 1

Tujuan ………...…………... 3

TINJAUAN PUSTAKA ………... 4

Definisi Susu ……….. 4

Karakteristik Susu ……….. 4

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme ……… 5

Karakteristik Koliform ………... 7

Karakteristik Staphylococcus aureus ………. 9

BAHAN DAN METODE ………...……... 11

Waktu dan Tempat Penelitian ………... 11

Pengambilan dan Jumlah Sampel ………... 11

Bahan dan Alat ……….. 11

Pengujian Jumlah Total Mikroorganisme ……….. 11

Pengujian Jumlah Koliform ………... 12

Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus ………. 13

Analisis Data ……….. 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 15

Jumlah Mikroorganisme ... 15

Jumlah Koliform pada Susu ………... 18

Jumlah Staphyloccus aureus pada Susu ... 22

Pencegahan dan Pengendalian Staphyloccus aureus ... 25

SIMPULAN DAN SARAN ………... 28

Simpulan ... 28

Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ………..……... 29

(15)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Syarat mutu susu segar menurut SNI 01-3141-2011 ………... 4 2 Tipe komposisi susu (%) dari beberapa spesies ………... 5 3 Jumlah rataan hasil pengujian total plate count (TPC) dan persentase

cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju …… 15 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel

susu pemasok untuk pabrik keju ………. 18 5 Jumlah rataan Staphyloccous aureus dan persentase cemaran mikroba

(16)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji total plate count, koliform, dan Staphylococcus aureus dari

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tahun 1998 Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menghasilkan susu segar dengan jumlah hampir 1 juta kg per hari. Tahun 2009 produksi susu peternakan sapi perah di Indonesia mencapai 19 juta liter dalam setahun (BPSRI 2009). Namun konsumsi susu per kapita per tahun masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan konsumsi masyarakat negara lainnya. Tahun 2010 konsumsi susu per kapita penduduk Indonesia hanya mencapai 11.9 liter per tahun, sedangkan Thailand 31.7 liter, Filipina 22.1 liter, dan India 42.8 liter (Deptan 2010).

Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai manfaat susu dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya konsumsi susu di Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi dan busung lapar, seperti di daerah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Hasil survei tahun 2007 menyebutkan 5.4% anak balita di Indonesia mengalami prevalensi gizi buruk dan kurang gizi sebesar 13%. Faktor lain yang mempengaruhi hingga saat ini konsumsi susu menurun di Indonesia yaitu proses pengolahan susu yang kurang optimal dalam cita rasa, karena sebagian orang tidak menyukai mengonsumsi susu asli, serta adanya lactose intolerance pada manusia yang mengakibatkan individu tersebut tidak dapat mengonsumsi susu yang mengandung laktosa (McSweeney 2009).

(18)

Keju mengandung vitamin A, B, dan D, serta berbagai mineral penting bagi tubuh, seperti fosfor dan kalsium (Jay et al. 2005). Bagi kaum vegetarian, keju dapat digunakan sebagai pengganti daging karena kandungan proteinnya yang tinggi, yaitu 70 gram keju mengandung jumlah protein yang sama dengan 100 gram daging (Winarno dan Ivone 2007).

Keju secara umum dibuat dari susu sapi, namun dapat juga dibuat dari susu kambing atau domba. Mayoritas keju dibuat dari susu sapi dengan perlakuan panas atau susu pasteurisasi. Susu yang digunakan dalam pembuatan keju secara umum dipanaskan secara pasteurisasi, yaitu 72 °C minimal selama 15 detik atau 63 °C selama 30 menit. Selain itu juga dapat digunakan susu dengan pemanasan subpasteurisasi yaitu 57-68 °C minimal 15 detik. Jika yang digunakan susu non-pasteurisasi, keju harus dimatangkan (dengan cara diperam) paling sedikit selama 60 hari pada suhu tidak kurang dari 4 °C untuk mengendalikan mikroorganisme patogen (Little et al. 2008).

Dalam proses pembuatan keju, tidak hanya proses perlakuan panas yang mempengaruhi kualitas keju, tetapi juga susu sebagai bahan dasar yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme. Susu segar merupakan bahan pangan yang sangat tinggi gizinya, bukan saja bagi manusia dan hewan, tetapi juga mikroorganisme (Rasolofo et al. 2011). Susu merupakan pangan yang sangat mudah rusak dan mudah terkontaminasi bakteri sehingga susu menjadi tidak dapat diolah lebih lanjut atau tidak layak lagi dikonsumsi oleh manusia (Jay et al. 2005).

(19)

Mikroorganisme yang terdapat pada susu mempengaruhi proses pembuatan produk olahan susu dan mempengaruhi keamanan serta kualitasnya, seperti Staphylococcus aureus, koliform, dan Clostridium tyrobutyricum (Wron 2006).

Staphylococcus aureus hidup di lingkungan hewan dan manusia seperti air,

makanan, mukosa hidung, dan kulit manusia atau hewan (Vicosa et al. 2010). Bakteri penyebab mastitis ini dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan enzim proteolitik. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan makanan (Forsythe 2000).

Bakteri koliform dapat merusak tekstur lebih dini dan rasa tidak enak pada keju (Bennet 2005). Bakteri ini sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator (indicator organism) terhadap adanya kontaminasi feses. Keberadaan bakteri ini menandakan adanya kemungkinan mikroorganisme enteropatogenik atau toksigenik atau kedua-duanya yang merupakan ancaman kesehatan masyarakat (Altalhi dan Hassan 2009). Melihat banyaknya bakteri yang dapat mempengaruhi kualitas keju serta dapat menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat khususnya bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri koliform, maka perlu dilakukan penelitian terhadap susu segar dari peternakan yang memasok pabrik keju.

Tujuan

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Susu

Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapatkan perlakuan apapun. Susu segar merupakan susu murni yang tidak mengalami perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (BSN 2011). Menurut Gustiani (2009), susu segar yang baik adalah susu yang mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang, tidak mengandung atau bersentuhan dengan barang atau sesuatu yang diharamkan, tidak mengandung agen penyebab penyakit seperti mikroba patogen, antibiotik, logam berat, dan pestisida serta tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apa pun. Syarat mutu susu segar menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu susu segar menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu

4 Kadar bahan kering tanpa lemak minimum 7.8 %

5 Warna, bau, rasa, kekentalan tidak ada perubahan

6 Derajat keasaman 6.0-7.5 ⁰ SH b. Staphyloccous aureus 1 x 102 cfu/ml

c. Enterobacteriaceae 1 x 103 cfu/ml

Karakteristik Susu

(21)

manusia atau hewan yang baru lahir karena zat gizi yang dikandung sangat lengkap dengan perbandingan sempurna seperti karbohidrat, lemak susu, protein dari asam amino, mineral, dan vitamin. Komposisi susu terdiri dari air (87.20%), protein (3.50%), lemak (3.70%), abu (0.70%), bahan kering (12.80%), dan laktosa (4.90%) (Taylor 1995).

Karbohidrat susu sapi terdiri dari laktosa yaitu 5% dan hampir konsisten pada semua breed sapi. Protein susu sebagian besar terdiri dari kasein yaitu 80-85%, jika pH susu menurun menjadi 4.6 maka kasein akan berubah menjadi lapisan endapan, bagian cairan endapan tersebut disebut whey. Kandungan lemak pada susu yaitu 3.5-5% dan bervariasi pada setiap breed serta sebagian besar terdiri dari trigliserida (Jay et al. 2005).

Susu antar spesies berbeda-beda tipe komposisinya yang juga dipengaruhi oleh status nutrisi, tahap laktasi, umur, interval menyusui, dan kesehatan seperti mastitis dan penyakit lainnya (McSweeny 2009). Tipe komposisi susu (%) dari beberapa spesies dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Tipe komposisi susu (%) dari beberapa spesies (McSweeny 2009)

Spesies Bahan

Kering Lemak Protein Laktosa Abu

Sapi 12.7 3.7 3.4 4.8 0.7

Kambing 12.3 4.5 2.9 4.1 0.8

Domba 19.3 4.5 4.5 4.8 1.0

Kerbau 16.0 3.7 6.9 5.2 0.8

Penghitungan Jumlah Total Mikroorganisme

(22)

patogen atau penghasil toksin dan dapat menjadi wahana transmisi penyakit (Lukman 2009).

Pengujian mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya risiko yang berbahaya dalam pakan atau produk olahan yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu dan untuk menilai manajemen keamanan pangan serta mutu pangan berdasarkan hazard analysis critical control points (HACCP). Pengujian mikrobiologi meliputi pengujian kuantitatif dengan penghitungan dan pengujian kualitatif dengan mendeteksi ada atau tidaknya mikroorganimse pada susu, produk olahan susu, dan bahan pangan lainnya (Jasson et al. 2010).

Salah satu cara pengujian jumlah mikroorganisme pada susu yaitu metode hitungan cawan atau jumlah total mikroorganisme (total plate count). Selain pada susu, pengujian ini juga dapat digunakan pada bahan pangan lainnya seperti daging. Prinsip pengujian ini yaitu jika satu sel bakteri ditumbuhkan pada media agar, maka akan tumbuh menjadi satu koloni yang nampak dengan mata (Lukman 2009). Penghitungan dari pengujian ini yaitu berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh di media agar. Pertumbuhan mikroorganisme yang membentuk koloni dapat dianggap bahwa setiap koloni yang tumbuh berasal dari satu sel, maka dengan menghitung jumlah koloni dapat diketahui penyebaran bakteri yang ada pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya.

Pengujian jumlah total mikroorganisme merupakan cara yang paling sensitif dalam menghitung jumlah total cemaran mikroorganisme, karena pada pengujian ini hanya sel yang masih hidup yang dihitung dan dapat digunakan untuk isolasi serta identifikasi mikroba lainnya, khususnya koloni yang tumbuh dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan spesifik. Menurut Widyastika (2008) pengujian jumlah total mikroorganisme juga memiliki kelemahan, yaitu:

a. Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel mikroorganisme yang sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk suatu koloni.

b. Media dan kondisi yang berbeda mungkin menghasilkan nilai yang berbeda.

(23)

d. Memerlukan persiapan dan waktu inkhubasi beberapa hari atau hingga pertumbuhan koloni dapat dihitung.

Karakteristik Koliform

Bakteri koliform adalah bakteri berbentuk batang yang memiliki sifat anaerob fakultatif dan termasuk bakteri gram negatif. Sumber energi untuk pertumbuhan koliform berasal dari oksidasi senyawa organik (Wron 2006). Pertumbuhan bakteri yang bersifat heterotrof ini hanya memakan waktu yang singkat yaitu 15 menit sampai 20 menit. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), selang waktu yang dibutuhkan bagi sel untuk membelah menjadi dua kali lipat tergantung pada media, suhu, ketersedian oksigen, dan pH. Koliform termasuk kelompok psikotrofik yang mengalami pertumbuhan minimum pada suhu -10 °C, optimum pada suhu 20-30 °C, dan maksimum pada suhu 24 °C (Garbutt 1997).

Mekanisme untuk mendapatkan energi bakteri yang memiliki flagela peritrikus ini terdapat dua cara, yaitu apabila ada oksigen, energi diperoleh secara respirasi aerob dan apabila tidak ada oksigen maka energi diperoleh secara fermentasi anaerob. Bakteri yang termasuk kelompok koliform yaitu Escherichia coli, Edwarsiella, Citrobacter, Klebsiella, Enterobacter, Hafnia, Serratia,

Proteus, Arizona, Providentia, dan Pseudomonas. Koliform dapat dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu koliform fekal seperti Escherichia coli dan non-fekal seperti Enterobacter aerogenes (Garbutt 1997).

Escherichia coli memproduksi indol dan asam di dalam medium glukosa

tetapi tidak memproduksi asetoin. Bakteri yang tidak dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon ini dapat memproduksi karbondioksida dan hidrogen dengan perbandingan 1:1. Bakteri ini berperan dalam sintesis vitamin K serta secara normal ditemukan di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, sehingga sering terdapat dalam feses karena itu disebut bakteri fekal (Wron 2006). Adapun klasifikasi Escherichia coli menurut Songer dan Post (2005) yaitu:

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

(24)

Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia Spesies : Escherichia coli

Enterobacter aerogenes memproduksi asam lebih sedikit, membentuk

asetoin, tetapi tidak membentuk indol. Bakteri ini memproduksi karbondioksida dan hidrogen dengan perbandingan 2:1 dan dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon. Enterobacter aerogenes dapat ditemukan di dalam air, limbah dan juga pada saluran pencernaan hewan berdarah panas serta dapat menginfeksi saluran kemih (Sunatmo 2009). Bakteri ini dapat memproduksi gas lebih banyak dari pada Escherichia coli sehingga sering menyebabkan kerusakan susu, keju, dan makanan lainnya. Enterobacter aerogenes ditemukan pada tanaman atau hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan (Winarno 1993).

Menurut Supardi dan Sukamto (1999), koliform termasuk bakteri yang dapat mengubah karbohidrat melalui glikolisis. Proses yang tidak mengharuskan adanya oksigen ini merupakan proses perombakan karbohidrat menjadi asam piruvat yang akan diubah lagi menjadi asam laktat melalui fermentasi. Terbentuknya asam laktat tersebut menyebabkan turunnya pH sehingga susu menjadi asam dan menurunkan kualitas susu serta produk berbahan dasar susu.

Uji koliform dilakukan sebagai indikasi sanitasi pada proses pengolahan bahan pangan. Adanya jumlah yang besar dari koliform dalam suatu bahan pangan sangat tidak diinginkan dan menandakan sanitasi yang tidak baik. Jumlah koliform dalam susu segar yang diperbolehkan menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar adalah 20 cfu/ml.

Karakteristik Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad atau berkelompok seperti buah anggur. Nama dari Staphylococcus sendiri berasal dari bahasa Yunani yang

(25)

yaitu “gold” yang berarti bahwa bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook dan Cook 2005). Bakteri ini merupakan salah satu penyebab foodborne diseases berupa keracunan makanan (Gaman dan Sherrington 1992). Adapun klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Songer dan Post (2005) yaitu:

Kingdom : Protista Divisio : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Pertumbuhan Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh faktor dari kombinasi lingkungan fisik seperti suhu, pH, dan air (Charlier et al. 2009), mempunyai suhu optimum pada 37-40 °C, bahkan beberapa strain dapat tumbuh pada suhu rendah yaitu 6-7.8 °C dan pada pH 4.5-9.3 dengan pH optimum 7.0-7.5 (Bennet 2005). Bakteri gram positif ini menghasilkan enterotoksin yang tahan panas yang ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya, serta dilepaskan ke dalam makanan selama bakteri tumbuh dan memperbanyak diri dalam makanan (Jay 1996). Karena itu, walaupun bakteri ini mudah mati dengan pemanasan suhu 66 °C selama 10 menit, enterotoksin tersebut masih dapat bertahan pada suhu 100 °C selama 30 menit (Cliver dan Riemann 2003).

Berdasarkan serologis enterotoksin tersebut dapat dibedakan menjadi tujuh tipe yaitu SEA, SEB, SEC, SEC2, SEC3, SED, dan SEE (Forsythe 2000). Tipe A dan D banyak ditemukan dalam makanan. Batas maksimum Staphylococcus aureus dalam produk keju menurut SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar adalah

1 x 102 cfu/ml dengan uji toksin enterotoksin negatif.

Staphylococcus aureus umumnya disebarkan oleh para pengelola pangan,

selama pengolahan, pemasakan, dan penyiapannya. Sumber kontaminasi Staphylococcus aureus pada susu segar dapat berasal dari lingkungan seperti air,

(26)

tercemar oleh Staphylococcus biasanya menunjukkan bahwa galur Staphylococcus di dalam makanan yang tercemar sama dengan ada pada tubuh orang yang menangani pangan tersebut (Pelczar dan Chan 2008). Keju yang dibuat dari susu mentah atau kurang baik perlakuannya juga dapat menyebabkan masalah keracunan makanan. Selama periode 5 tahun terakhir, Staphylococcus aureus menyebabkan 5.1% wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia menyebabkan 4 orang meninggal dari 233 wabah yang dilaporkan (Normanno et al. 2005). Upaya pencegahan untuk mengurangi risiko bahaya Staphylococcus

aureus yang mencemari bahan pangan, maka pengelola pangan dan peternakan

(27)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai 23 Februari sampai dengan 11 Maret 2011. Sampel susu diambil di peternakan pemasok susu untuk pabrik keju. Pengujian Mikrobiologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pengambilan dan Jumlah Sampel

Sampel susu diambil di tempat penampungan yang berasal dari 6 peternakan pemasok susu untuk pabrik keju dengan jumlah yang berbeda-beda dari setiap peternakan. Sampel diambil dari pemerahan pagi dan sore. Peternakan 1 sebanyak 4 sampel, peternakan 2, 6 sampel, peternakan 3, 8 sampel, peternakan 4, 4 sampel, peternakan 5, 12 sampel, dan peternakan 6, 1 sampel. Jumlah keseluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 35 sampel. Volume sampel minimal 500 ml. Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel susu sapi, plate count agar (Acumedia 7157A), Vogel Johnson agar (Oxoid CM0641), violet red

bile agar (M049S Himedia), buffered pepton water (BPW) 0.1% (Pronadisa Cat.

1402.00), dan alkohol 70%.

(28)

Pengujian Jumlah Total Mikroorganimse

Pengujian jumlah total mikroorganisme menggunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml sampel dipindahkan dari 100 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5. Pengujian ini dimulai dari pengenceran 10-3 sampai 10-5. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan Petri, kemudian dituang 10 ml sampai dengan 15 ml plate count agar yang sudah didinginkan hingga suhu 45 °C pada masing-masing cawan. Suspensi dan plate count agar dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang

atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan posisi terbalik.

Cawan Petri yang mengandung jumlah koloni 25 sampai dengan 250 dipilih untuk penghitungan koloni. Penghitungan koloni dilanjutkan pada cawan Petri dengan pengenceran yang lebih tinggi bila pada cawan Petri dengan pengenceran terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat pengenceran terkecil. Semua koloni yang tumbuh dihitung dalam setiap cawan Petri. Rumus perhitungan jumlah total mikroorganisme:

Jumlah total mikroorganisme (cfu/ml) = jumlah koloni x faktor pengenceran*

*

Faktor pengenceran =

Pengujian Koliform

(29)

dengan 15 ml agar violet red bile. Suspensi dan agar violet red bile dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Setelah agar violet red bile memadat, dituang lagi 3-4 ml agar violet red bile cair 45 ºC-48 ºC (overlay) di atas permukaan agar yang telah memadat sebelumnya dan dibiarkan memadat kembali. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam sampai dengan 48 jam pada posisi terbalik.

Cawan Petri yang mengandung jumlah koloni 25 sampai dengan 250 dipilih untuk penghitungan koloni. Penghitungan koloni dilanjutkan pada cawan Petri dengan pengenceran yang lebih tinggi bila pada cawan Petri dengan pengenceran terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat pengenceran terkecil. Koloni berwarna merah keunguan dikelilingi oleh zona merah dengan diameter koloni 0.5 mm. Semua koloni yang tumbuh dihitung dalam setiap cawan Petri. Rumus perhitungan jumlah mikroba sama seperti rumus perhitungan pengujian jumlah total mikroorganisme.

Pengujian Staphylococcus aureus

Pengujian Staphylococcus aureus menggunakan metode hitungan cawan dengan cara tuang (pour plate method). Sebanyak 1 ml sampel dipindahkan dari 100 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4. Pengujian ini dimulai dari pengenceran 10-2 sampai 10-4. Selanjutnya dimasukkan sebanyak 1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke dalam cawan Petri, kemudian dituang 10 ml sampai dengan 15 ml Vogel Johnson agar. Suspensi dan Vogel Johnson agar dihomogenkan dengan cara cawan diputar ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai memadat. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37 ºC selama 24 jam sampai dengan 48 jam pada posisi terbalik.

(30)

terendah berisi < 25 koloni dan atau > 250 koloni. Namun, jika seluruh cawan Petri memiliki jumlah kurang dari 25, dicatat jumlah sebenarnya dari tingkat pengenceran terkecil. Koloni Staphylococcus aureus pada Vogel Johnson agar mempunyai ciri khas bundar, licin dan halus, konveks, diameter 2 mm sampai dengan 3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi zona opak, dengan atau tanpa zona luar yang terang (clear zone). Tepi koloni putih dan dikelilingi daerah yang terang. Konsistensi koloni seperti mentega atau lemak jika disentuh oleh ose. Galur non-lipolitik memiliki sifat koloni sama seperti di atas, tetapi tidak dikelilingi zona opak dan zona luar yang terang. Semua koloni yang tumbuh dihitung dalam setiap cawan Petri. Rumus perhitungan jumlah mikroba sama seperti rumus perhitungan pengujian jumlah total mikroorganisme.

Analisis Data

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Total Mikroorganisme

Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu yang diperiksa adalah 2 087 731.0 + 3 666 559.0 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 1 928 889 + 14 559 cfu/ml pada sampel susu sore. Hal tersebut (100%) melebihi batas jumlah mikroorganisme yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yaitu sebesar 1 000 000 cfu/ml. Sampel susu pagi memiliki kandungan mikroorganisme lebih besar dari sampel susu sore. Sampel susu dari peternak 3 menunjukkan jumlah rata-rata mikroorganisme tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah rataan hasil pengujian jumlah total mikroorganisme dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

BMCM pada susu segar = 106 cfu/ml

(32)

merupakan estimasi dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih banyak dari pada mikroorganisme sesunguhnya (Lukman 2009). Secara normal susu yang baru dikeluarkan dari ambing mengandung mikroorganisme dalam jumlah yang sedikit yaitu berkisar ratusan sampai ribuan cfu/ml. Namun jumlah mikroorganisme akan bertambah dengan adanya kontaminasi yang berasal dari tanah, air, udara, debu, peralatan pemerahan, dan pekerja (Magadan et al. 2010).

Rataan jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada susu sore. Hal tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan susu di pabrik keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore dan susu tidak disimpan pada suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme tumbuh secara cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua sel dalam waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).

Menurut Hayes dan Boor (2001), sumber kontaminasi mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu lingkungan yang meliputi air, tanah, tanaman, dan kandang, tubuh sapi, dan juga peralatan pemerahan. Sumber kontaminasi dari hewan dapat berasal dari puting yang tidak dibersihkan sebelum pemerahan, yaitu meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu mencapai 300-400 koloni/ml (Sanjaya et al. 2007). Kontaminasi tersebut dapat berupa sedimen susu yang merupakan debris atau reruntuhan kotoran yang bisa melewati saringan susu dan ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan jumlah total mikroorganisme yang tinggi. Sumber kontaminasi dari hewan juga dapat berasal dari ambing yang sakit, kondisi tersebut dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme pada susu mencapai 25 000 koloni/ml (Jørgensen et al. 2005). Selain itu, tingginya jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi juga dapat disebabkan adanya kontaminasi udara dalam kandang. Menurut Sanjaya et al. (2007), kontaminasi udara di dalam kandang dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme dalam susu sekitar 100-1 500 koloni/ml.

(33)

sehingga menjadi media pertumbuhan mikroorganisme mencapai > 106 koloni/ml (Hayes dan Boor 2001). Menurut Chambers (2002), kontaminasi mikroorganisme lainnya dapat berasal dari air yang digunakan untuk membersihkan peralatan dan kontainer pengangkut susu. Sumber kontaminasi dapat berasal dari air sumur, danau, dan sungai yang digunakan tanpa mendapat perlakuan terlebih dahulu. Mikroorganisme yang dapat mengontaminasi susu karena penggunaan air yang tercemar yaitu koliform, Clostridium, dan Streptococcus. Anderson et al. (2009) menambahkan bahwa pakan juga dapat menjadi sumber kontaminasi potensial karena beberapa patogen dapat bertahan beberapa bulan pada pakan yang kering seperti Salmonella.

Susu segar dapat mengandung mikroorganisme seperti Salmonella sp., Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, Lactobacillus sp., Streptococcus sp., Stapylococcus sp., dan Micrococcus spp. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan penyakit dan menurunkan kualitas susu yang berakibat perubahan dan penyingkiran susu karena terjadi pengasaman dan penggumpalan susu (Chye et al. 2004). Mikroorganisme yang mengontaminasi susu dikelompokkan menjadi

dua, yaitu mikroorganisme patogen dan mikroorganisme pembusuk. Mikroorganisme patogen meliputi Stapylococcus aureus, Escherichia coli, dan, Salmonella sp., sedangkan mikroorganisme pembusuk antara lain adalah Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. (Oliver et al. 2005).

Mikroorganisme patogen dan apatogen dapat berkembang dalam susu karena susu memiliki kandungan zat gizi yang tinggi dan lengkap. Mikroorganisme patogen dapat menjadi sumber zoonosis dan menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat (foodborne illnes) bila mikroorganisme tersebut mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu. Mikroorganisme apatogen bila mengontaminasi susu dan produk berbahan dasar susu akan menjadi cepat rusak, bau tengik, dan kualitasnya menurun (Sanjaya et al. 2007).

(34)

dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi. Susu yang tidak dipasteurisasi dan produk berbahan dasar susu yang dibuat dari susu yang tidak dipasteurisasi dapat menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat dan kematian, seperti Shiga toksin yang dihasilkan oleh Escherichia coli (Omiccioli et al. 2009).

Jumlah Koliform pada Susu

Jumlah rata-rata koliform pada sampel susu yang diperiksa adalah 213 114.2 + 419 045.3 cfu/ml pada sampel susu pagi dan 144 077.7 + 136 168.7 cfu/ml pada sampel susu sore. Jumlah tersebut melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Koliform pada susu segar yaitu 20 cfu/ml. Sampel susu pagi memiliki jumlah koliform lebih besar dari sampel susu sore. Sampel susu dari peternak 5 menunjukkan jumlah rata-rata koliform tertinggi dibandingkan dengan sampel susu dari peternak lain. Jumlah rata-rata mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

(35)

Tingginya rata-rata kontaminasi koliform pada semua sampel susu dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi yang berasal dari air yang digunakan dalam peternakan dan kurangnya kebersihan di dalam kandang. Air yang terkontaminasi koliform dapat terjadi karena air terkontaminasi dengan feses hewan atau manusia. Menurut Manning (2010), air yang terkontaminasi koliform merupakan sumber kontaminasi yang paling penting di sebuah peternakan karena bakteri ini dapat bertahan hidup dalam sedimen air selama enam bulan, bahkan dapat bertahan hidup sepanjang musim dingin. Air yang telah terkontaminasi dapat bercampur dengan air tanah dan menjadi sumber penularan ke tanaman dan rumput yang dimakan oleh ternak melalui sistem irigasi serta mengontaminasi sumber air yang berada di sekitar peternakan.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya jumlah koliform pada semua sampel susu (100%) yaitu jarak peternakan yang dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga meningkatkan penyebaran dan kontaminasi pada air yang berasal dari pembuangan dan penampungan kotoran manusia yang terlalu dekat dengan sumur, danau atau sungai sebagai sumber air (Winarno 1993). Tingginya jumlah koliform pada enam peternakan tersebut menunjukkan tingkat kontaminasi fekal yang tinggi pada susu. Hal ini disebabkan karena bakteri ini merupakan mikroflora normal yang hidup pada saluran pencernaan mahluk hidup berdarah panas dan dapat berada di lingkungan melalui feses (Ayu et al. 2005). Kesalahan dalam pemerahan dan penyimpanan susu yang tidak menggunakan rantai dingin.juga dapat meningkatkan jumlah bakteri di tempat penampungan susu atau kendaraan penampung susu (Altalhi dan Hassan 2009).

Escherichia coli sebagai salah satu anggota dari koliform akan tumbuh aktif

dalam suhu sekitar 37 °C. Organisme ini dapat menyebabkan pembusukan yang cepat pada susu karena mampu melakukan fermentasi laktosa pada suhu sekitar 35 °C. Escherichia coli dapat mengakibatkan penurunan kualitas susu dan produk berbahan dasar susu sebagai sumber protein karena mampu mendegradasi protein (Donnenberg 2002). Susu atau produk olahan susu yang terkontaminasi oleh Escherichia coli bila dikonsumsi akan menyebabkan gejala gastritis seperti

(36)

tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada lapisan usus, diare berdarah, dan sindrom hemolitik uremik yang ditandai dengan anemia hemolitik, serta gagal ginjal (Johnson 2002).

Escherichia coli juga dapat mengontaminasi sayur dan buah-buahan akibat

penggunaan manur sebagai pupuk (Bhunia 2008). Menurut Armstrong (2008), saat dalam pencernaan bakteri ini akan melintasi perut dan bagian pencernaan yang pada akhirnya akan masuk pada bagian paling bawah dari saluran gastrointestinal terutama pada bagian hubungan antara ileum dan kolon.

Kontaminasi dan infeksi Escherichia coli juga dapat terjadi secara langsung dari manusia ke manusia melalui kontak dengan manusia yang telah terinfeksi. Sebuah penelitian di Bangladesh menemukan 11% dari kontak individu yang terinfeksi dapat menimbulkan infeksi kepada individu lain khususnya anak-anak. Sumber infeksi Escherichia coli dapat berasal dari feses. Menurut Manning (2010), 1 gram feses mengandung 10 juta bakteri. Escherichia coli dalam jumlah 10-100 sel saja dapat menimbulkan penyakit klinis sehingga praktik kebersihan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi faktor terjadinya penularan.

Escherichia coli dapat menimbulkan penyakit intestinal atau ekstraintestinal

dari hasil ekspresi multiplikasi faktor virulensi (VFs), yaitu adhesion, toksin, siderophores, dan sistem ekskresi. Faktor-faktor tersebut berperan dalam

menurunkan imunitas, menimbulkan inflamasi, dan juga luka pada permukaan saluran pencernaan tetapi tidak berperan dalam proses replikasi (Johnson 2002). Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi sistemik (koliseptikemia) dan infeksi

(37)

Anggota koliform yang lain yang dapat mencemari susu dan menimbulkan kerugian pada peternak yaitu seperti Serratia. Mikroorganisme tersebut dapat menimbulkan warna merah atau merah jambu pada susu, Pseudomnas synxantum menyebabkan susu menjadi kuning dan juga bau yang tidak enak pada lapisan krim, dan Pseudomnas syncyanea dapat menimbulkan warna biru pada susu. Hal ini dapat mengakibatkan penyingkiran terhadap susu (Sanjaya et al. 2007). Selain pada susu, perubahan warna juga dapat terjadi pada produk olahan berbahan dasar susu, karena mikroorganisme tersebut membentuk pigmen yang merubah warna produk berbahan dasar susu seperti keju (Dwidjoseputro 1994).

Koliform dapat membuat susu berlendir, tengik, susu pecah, asam, dan menimbulkan bau (Winarno 1993). Hal tersebut membuat susu sebagai bahan keju tidak layak digunakan karena akan menghasilkan keju yang memiliki aroma dan rasa yang tidak baik serta menimbulkan rekahan atau lubang pada keju. Hal tersebut terjadi karena koliform dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas (Ayu et al. 2005).

Kadar koliform pada air yang digunakan untuk usaha peternakan maksimal 1 cfu/ml atau dapat dilakukan klorinasi dengan konsentrasi 50 ppm bila jumlah koliform melebihi batas tersebut (Effendi 2003). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari, memenuhi syarat kesehatan, dapat diminum bila sudah dimasak, maksimal total koliform adalah 0 MPN/100 ml, dan fekal koliform maksimal 0 MPN/100 ml.

Jumlah Staphylococcus aureus pada Susu

(38)

mikroorganisme pada sampel susu dari masing-masing peternak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase cemaran mikroba pada sampel susu pemasok untuk pabrik keju

Peternakan maksimum cemaran mikroorganisme pada susu segar

BMCM Staphyloccus aureuspada susu segar = 102 cfu/ml

Kontaminasi Staphylococcus aureus yang tinggi pada sampel susu dapat disebabkan adanya kontaminasi yang berasal dari pekerja, sehingga bakteri ini bertambah jumlahnya dan menimbulkan kontaminasi pada susu. Rataan jumlah mikroorganisme pada sampel susu pagi lebih tinggi daripada susu sore. Hal tersebut disebabkan oleh waktu antara pemerahan dan penerimaan susu di pabrik keju pada pagi hari lebih lama dari pada susu sore, dan susu tidak disimpan pada suhu dingin. Kondisi tersebut mengakibatkan mikroorganisme tumbuh secara cepat dengan melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua sel dalam waktu tertentu yang disebut waktu generasi (Lukman et al. 2009).

(39)

praktik higiene personal yang tidak baik dari pekerja saat pemerahan, buruknya kebersihan lingkungan sekitar kandang, dan dikaitkan dengan penanganan yang tidak tepat oleh pekerja.

Sumber kontaminasi pada sampel susu dapat juga berasal dari intramamari karena Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang dapat menginfeksi intramamari. Menurut James et al. (2003), kontaminasi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus secara umum berasal dari ambing yang mengalami mastitis klinis atau mastitis subklinis. Susu yang berasal dari ternak yang mengalami mastitis akan mengandung Staphylococcus aureus dalam jumlah yang tinggi. Peningkatan jumlah sel somatik pada kasus mastitis dan Staphylococcus aureus pada susu akan mempengaruhi kualitas susu serta hasil produk berbahan dasar susu, seperti keju. Keju mengalami perubahan rasa dan bau. Hal tersebut disebabkan adanya peningkatan aktivitas enzim proteolitik dan lipolitik yang dihasilkan oleh sel somatik dan Staphylococcus aureus (Arques et al. 2005). Protein dan lemak dalam susu merupakan komponen yang membentuk

rasa dan bau susu, sehingga jika protein dan lemak dipecah oleh mikroorganisme akan mengakibatkan susu atau produk berbahan dasar susu seperti keju menjadi tawar dan bau tengik (Rahman et al. 1992).

Staphylococcus aureus secara normal hidup pada manusia dan hewan. Bakteri yang hidup secara anaerobik fakultatif ini 30-50% hidup pada saluran hidung, tenggorokan, kulit manusia serta merupakan sumber kontaminasi terbesar ke dalam susu, produk olahan susu, dan bahan pangan lainnya (James et al. 2003). Menurut Soriano et al. (2002), manusia merupakan salah satu pembawa utama bakteri Staphyloccous aureus. Bakteri ini dapat bertahan hidup di lingkungan yang hangat dan basah seperti membran hidung manusia. Oleh sebab itu, kontaminasi Staphylococcus aureus yang terjadi pada sampel susu peternakan sebagian besar berasal dari pekerja, baik dari saluran pernapasan, kulit, dan baju pekerja. Kontaminasi juga dapat berasal dari udara, air, dan kotoran di lingkungan peternakan.

(40)

enterotoksin yang diproduksi Staphylococcus aureus (Ses) yang tahan terhadap pemanasan 100 °C selama 30 menit. Toksin tersebut akan menimbulkan gejala 2-6 jam setelah mengonsumsi susu atau produk susu yang terkontaminasi (Kousta et al. 2010). Enterotoksin merupakan eksotoksin berupa protein rantai tunggal yang

bersifat antigenik (Cretenet et al. 2011). Enterotoksin digolongkan sebagai neurotoksin berbahaya dan dapat menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis, sehingga dapat menimbulkan respon muntah yang

diawali dengan rasa mual (Adams dan Moss 2008). Menurut Malheiros et al. (2010), jumlah Staphylococcus aureus untuk menyebabkan keracunan pada manusia harus sudah mencapai minimum 1 000 cfu/g atau ml. Menurut Forsythe dan Hayes (1998), untuk menimbulkan gejala klinis pada orang dewasa Staphylococcus aureus harus menghasilkan 1 µg enterotoksin pada orang dewasa dan anak-anak 0.2 µg enterotoksin.

Staphylococcus aureus juga memproduksi eksoprotein lainnya seperti toxic shock syndrome toxin 1, the exfoliative toxin, dan leukocisin, namun hanya enterotoksin yang dapat menimbulkan penyakit (Garcia dan Heredia 2009). Menurut Lancette dan Bennet (2001), enterotoksin pada bahan pangan yang terkontaminasi dapat teridentifikasi apabila jumlah Staphylococcus aureus >106 sel/g. Hal ini menyebabkan identifikasi enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus dalam susu sulit ditemukan karena kadar enteroksin pada bahan pangan yang terkontaminasi jumlahya sangat kecil.

Keberadaan sejumlah besar Staphylococcus aureus dalam susu dalam jumlah yang tinggi bukan berarti bahwa enteroktosin juga dihasilkan dalam jumlah yang tinggi pula, karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin seperti jenis makanan, nilai pH, suhu, keberadaan oksigen, dan keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enteroktosin (Forsythe dan Hayes 1998). Normanno et al. (2005) menambahkan bahwa hanya sekitar 30% dari galur Staphylococcus aureus yang dapat menghasilkan enterotoksin.

(41)

penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan Staphylococcus aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar Staphylococcus aureus atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh Staphyloccous aureus, kondisi makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan Staphylococcus aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).

Pencegahan dan Pengendalian Staphyloccous aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat mengontaminasi susu,

produk berbahan dasar susu, dan menimbulkan keracunan pangan. Perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi dan menghilangkan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh Staphyloccous aureus, dalam proses pemerahan dan juga dalam proses pengolahan susu segar menjadi produk olahan.

(42)

Kontaminasi dapat dicegah dengan menjaga kebersihan ambing yaitu dengan membersihkan ambing dengan kain lap bersih dan penggunaan sisi berbeda dari kain lap untuk tiap puting (Handayani et al. 2010). Pencegahan kontaminasi Staphylococcus aureus juga dapat dilakukan menjaga kebersihan pada peralatan kandang yang digunakan, peralatan harus mudah dibersihkan, dan semua bahan yang kontak dengan susu tidak bersifat toksik serta tidak menimbulkan perubahan bau.

Higiene personal merupakan salah satu cara yang penting dalam pencegahan terhadap kontaminasi Staphylococcus aureus yaitu pemerah mencuci tangan dengan sabun dan air yang bersih sebelum pemerahan. Mencuci tangan dengan cara yang benar dapat mengurangi dan menghilangkan penyebaran mikroorganisme melalui tangan. Oleh karena itu, metode mencuci tangan yang benar sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Higiene personal juga dapat dilakukan dengan tidak memperkenankan pekerja yang sakit kontak dengan sapi, susu, peralatan, dan fasilitas kandang karena manusia merupakan sumber penyakit yang dapat menjadi sumber kontaminasi pada susu melalui napas, rambut, dan keringat (Marriott 1999).

Cara lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan terhadap kontaminasi Staphylococcus aureus yaitu dengan pemberian pakan dilakukan setelah pemerahan, karena Staphylococcus aureus dapat berasal dari tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak (Jørgensen et al. 2005).

Pengendalian terhadap Staphylococcus aureus dapat dilakukan dengan melakukan pemeliharan kebersihan selama perjalanan dan saat pendistribusian susu, pemanasan susu yang optimal sebelum dikonsumsi, dan penerapan rantai dingin pada susu (Shekhar et al. 2010). Gustiani (2009) menambahkan bahwa pengendalian Staphylococcus aureus dapat dilakukan melalui penerapan sistem keamanan pangan pada setiap proses produksi melalui penerapan good farming practices (GFP), good handling practices (GHP), dan good manufacturing practices (GMP). Pengendalian juga dapat dilakukan dengan meningkatkan

(43)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, sampel susu segar yang diperoleh dari semua peternakan yang dipasok sebagai bahan baku keju melebihi Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI 01-3141-2011 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroorganisme dalam Susu Segar.

2. Rataan jumlah total mikroorganisme dalam susu segar dari enam peternakan 2 046 886 +3 223 165.3 cfu/ml, koliform 167 562 + 283 724.0 cfu/ml, dan Staphylococcus aures 2 739 + 8 801.1 cfu/ml. Tingginya rata-rata cemaran

mikroorganisme tersebut terkait dengan kurangnya kebersihan lingkungan kandang dan peralatan kandang, kebersihan air yang digunakan untuk kebutuhan peternakan, dan praktik higiene personal yang kurang baik.

Saran

1. Diharapkan dapat dilakukan penelitian keberadaan koliform, Staphylococcus aures, dan bakteri patogen lainnya pada susu segar dengan

sampel yang memadai yang dilengkapi dengan wawancara dan observasi menggunakan kuesioner agar diperoleh faktor-faktor risikonya.

2. Pemerintah dan perusahaan diharapkan melakukan studi knowledge, attitude, and practices (KAP) tentang higiene dan keamanan susu segar pada kepada peternak untuk dapat dirancang program pembinaan dalam rangka mewujudkan produk hewan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). 3. Peternak diharapkan dapat meningkatkan praktik higiene yang baik selama

pemerahan dan menggunakan rantai dingin selama pendistribusian susu, serta memperhatikan kesehatan hewan ternak untuk memproleh kualitas susu segar yang baik.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology. Ed ke-3. Cambridge: RSC Pub.

Altalhi AD, Hassan SA. 2009. Bacterial quality of raw milk investigated by Escherichia coli and isolated analysis for spesific virulence-gene markers. Food Control 20:913-917.

Anderson RC, Ricke SC, Lungu B, Johnson MG, Oliver C, Horrocks SM, Nisbet DJ. 2009. Food Safety Issue and Microbiology of Beef. Di dalam: Heredia N, Wesley I, Garcia S, editor. Microbiologically Safe Food. New Jersey: John Wiley and Sons.

Armstrong GD. 2008. Pathogenic Mechanism of the Enterohemorragic Escherichia coli Some New Insights. Di dalam: Wilson CL, editor. Microbial Food Contamination. New York: CRC Pr.

Arques JL, Rodriguez G, Gaya M, Medina M. 2005. In-activation of Staphylococcus aureus in raw milk chese by combinations of high-pressure treatments and bacteriocin producing lactic acid bacteria. Journal of Applied Microbiology 98:254-260.

Atlas RM. 2006. Microbiological Media for the Examination of Food. New York: CRC Pr.

Ayu RDS, Indrawani YM, Sudiarti T. 2005. Analisis mikrobiologi Escherichia coli O157:H7 pada hasil olahan hewan sapi dalam proses produksinya.

(45)

Charlier C, Cretenet M, Even S, Le Loir Y. 2009. Interactions between Staphylococcus aureus and lactic acid bacteria an old story with new persepective. International Journal of Food Microbiology 131:30-39. Chye FY, Abdullah A, Ayob MK. 2004. Bacteriological quality and safety of

raw milk in Malaysia. Food Microbiology 21:535-541.

Cliver DO, Riemann HP. 2003. Foodborne Diseases. Ed ke-2. New York: Academic Pr.

Cook LF, Cook KF. 2005. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus aureus Infection. Philadelphia: Chelsea House Pub.

Cretenet M, Even S, Loir YL. 2011. Unveiling Staphylococcus aureus enterotoxin production in dairy product: a review of recent advances to face a new challenges. Dairy Science and Technology 91:127-150.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No Lingkungan Perairan. Ed ke-5. Yogyakarta: Kanisius.

Elmoslemany AM, Keefe GP, Dohoo IR,Wichtel JJ, Stryhn H, Dingwell RT. 2010. The association between bulk tank milk analysis for raw milk quality and on farm management practices. Preventive Veterinary Medicine 95:32-40.

Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology, and HACCP. Ed ke-3. Maryland: Aspen Pub.

Forsythe SJ. 2000. The Microbiology of Safe Food. London: Blackwell Science. Gaman PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,

Nutrisi, dan Mikrobiologi. Gardjito M, penerjemah; Kasmidjo RB editor. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: The Science of Food, an Introduction to Food Science, Nutrition and Microbiology.

Garbutt J. 1997. Essentials of Food Microbiology. London: Arnold Pr.

(46)

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Penelitian dan Pengembangan Pertanian 28:96-100.

Handayani, Baiq R, Werdiningsih, Wiharyani. 2010. Kondisi Sanitasi dan Keracunan Makanan. Nusa Tenggara Barat: Fakultas Agroteknologi dan Sosial, Universitas Mataram.

Hayes MC, Boor K. 2001. Raw Milk and Fluid Milk Products. Di dalam: Mart EH, Steele JL, editor. Applied Dairy Microbiology. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker.

Jakobsen RA, Heggebø R, Sunde EB, Skjervheim M. 2011. Staphylococcus aureus and Listeria monocytogenes in Norwegian raw milk cheese production. Food Microbiology 28:492-496.

James PS, Daifas DP, El-Khoury W, Austin JW. 2003. Microbial Safety of Bakery Product. Di dalam: Novak JS, Sapers GM, Juneja VK, editor. Microbial Safety of Minimally Processed Foods. New York: CRC Pr.

Jasson V, Jacxsens L, Luning P, Rajkovic A, Uyttendaela M. 2010. Alternative microbial methods: an overview and selection criteria. Food Microbiology 27:710-730.

Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Ed ke-5. California: Apac Pub. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA. 2005. Modern Food Microbiology. Ed ke-7.

California: Business Media.

Johnson JR. 2002. Evolution of Pathogenic Escherichia coli. Di dalam: Donnenberg M, editor. Virulence Mechanisms of a Versatile Pathogen. San Diego: Academic Pr.

Jørgensen HJ, Mørk T, Rørvik LM. 2005. The occurrence of Staphylococcus aureus on a farm with small scale production of raw milk cheese. Journal of Dairy Science 88:3810-3817.

Kousta M, Mataragas M, Panagiotis S, Eleftherios H, Drasinos. 2010. Prevalance and source of chese contamination with pathogens at farm and processing levels. Food Control 21:805-815.

Lancette GA, Bennet RW. 2001. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Di dalam: Downes FP, Ito K, editor. Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: American Public Health Association.

(47)

Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H, Soejoedono RR. 2009. Mikrobiologi Susu. Di dalam: Pisestyani H, editor. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Lukman DW. 2009. Penghitungan Jumlah Mikroorganisme dengan Metode Evaluation of growth and transfer of Staphylococcus aureus from poultry meat to surfaces of stainless steel and polyethylene and their disinfection. Food Control 21:298-301.

Manning SD. 2010. Escherichia coli Infections. America: Chelsea House Pr. Marriott NG. 1999. Principles of Food Sanitation. Ed ke-4. Maryland: An

Aspel Pub.

McSweeny PLH. 2009. Cheese Problems Soved. New York: CRC Pr.

Millogo V, Sjaunja KS, Ouedraogo GA, Agenas S. 2010. Raw milk hygiene at farms, processing units, and local markets in Burkina Faso. Food Control 21:1070-1074.

Normanno G, Firinu A, Virgilio S, Mula G, Dambrosio A, Poggiu A, Decastelli L, Mioni R, Scuota S, Bolzoni G, Giannatale E, Salinetti AP, La Salandra G, Bartoli M, Zuccon F, Pirino T, Sias S, Parisi A, Quaglia NC, Celano GV. 2005. Coagulase-positive staphylococci and Staphylococcus aureus in food products marketed in Italy. International Journal of Food Microbiology 98:73–79.

Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and dairy farm environtment: food safety and public health implications. Foodborne Pathogens and Disease 2:115-129.

Omiccioli E, Amagliani G, Brandi G, Magnani M. 2009. A new platform for real time PCR detection of Salmonella sp., Listeria monocytogenes, and Escherichia coli O157 in milk. Food Microbiology 26:615-622.

(48)

Rahman A, Farrdiaz S, Rahayu WP, Suliantari. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Insititut Pertanian Bogor.

Rasolofo EA, St-Gelais D, Lapointe G, Roy D. 2011. Molecular analysis of bacterial population structure and dynamics during cold storage of untreated and treated milk. International Journal of Food Microbiology 28:465-471.

Shekhar C, Motina E, Kumar S. 2010. Microbiological quality of raw milk and its public health significance. Journal of Dairying, Foods, and Home Agent of Animal Disease. Maryland: Elsevier.

Sunatmo TI. 2009. Mikrobiologi Esensial. Jakarta: Ardy Agency.

Soriano JM, Font G, Moltó JC, Manes J. 2002. Enterotoxigenic staphylococci and their toxins in restaurant foods. Trends in Food Science and Technology 13: 60-67.

Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Taylor SL. 1995. The Structure of Milk Implication for Sampling and Storage. Di dalam: Jensen RG, editor. Handbook of Milk Composition. New York: Academic Pr.

Vicosa GN, Moraes PM, Yamazi AK, Nero LA. 2010. Enumeration of coagulase and thermonuclease positive Staphylococcus sp. in raw milk and fresh soft cheese: an evaluation of Baird-Parker agar, rabbit plasma fibrinogen agar and the Petrifilm Staphylococcus sp. express count system. Food Microbiology 27:447-452.

(49)

Winarno FG. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Winarno FG, Ivone E. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. Bogor: M-BRIO Pr.

(50)
(51)
(52)

SNI 01-3141-2011 tentang Susu Segar

25 GMR 011 980 000 103 000 2 750 

26 GMR 012 2 750 000 116 000 53 000 Rata-rata 2 087 731 213 114.2 3 009.2

Stdev 3 666 559 419 045.4 10 240.8 Pemerahan Sore 1 AKN 005 4 100 000 160 000 1 470 2 AKN 006 2 130 000 136 000 2 880

3 SRN 003 370 000 69 000 1 850 

4 SRN 004 720 000 105 000 2 700 

5 ARI 004 660 000 84 000 410 

6 ARI 005 1 210 000 9 700 1 910

7 ARI 006 1 690 000 73 000 1 720

8 ARI 007 2 080 000 180 000 2 400 9 ARI 008 4 400 000 480 000 2 300 Rata-rata 1 928 889 144 077.8 1 960 Stdev 1 455 974 136 168.8 743.1

Persentase sesuai SNI 01-3141-2011 0.5 0 0.03

Gambar

Tabel 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel
Tabel 5 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase cemaran
Tabel 4 Jumlah rataan koliform dan persentase cemaran mikroba pada sampel
Tabel 5 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase cemaran

Referensi

Dokumen terkait

Lokasi penelitian lapangan menggunakan ruas jalan raya dengan kepadatan lalu lintas yang tertinggi yaitu di Jalan Ahmad Yani Surabaya (sesuai hasil pemantauan Departemen

Tahap usia perkembangan literasi anak menurut Ramdani dan Idris (2014), meliputi: a) pada usia anak 4-5 tahun anak dilatih memiliki kesiapan belajar membaca; b) usia

Sesuai dengan data yang telah diperoleh, pada dasarnya manajemen risiko pembiayaan adalah suatu proses yang meliputi identifikasi risiko, pengukuran risiko,

Yang bisa kami lakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut adalah dengan tetap menjalin hubungan baik dengan pelanggan dan calon pelanggan, komitmen terhadap apa yang telah

Apabila dilihat dari hasil khi- kuadratnya, keenam faktor risiko tersebut juga memang menunjukkan hasil bahwa belum ada cukup bukti yang signifikan untuk menunjuk- kan

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN.. PERUBAHAN ANGGARAN

Untuk Kepentingan Pembuktian Kualifikasi, saudara diminta untuk mempersiapkan dokumen - dokumen Asli sesuai dengan data teknis &amp; data kualifikasi perusahaan