• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Distribusi Spasial Dan Temporal Klorofil-A Dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis Di Pantai Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variasi Distribusi Spasial Dan Temporal Klorofil-A Dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis Di Pantai Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di ujung pulau Sumatera yang terletak diantara samudera Hindia dan selat Malaka. Bagian barat-selatan Aceh yang langsung berhadapan dengan samudera Hindia memiliki keindahan pantai dan sumberdaya perikanan tangkap yang besar namun belum tereksplorasi sepenuhnya. Di perairan bagian barat-selatan ini terdapat banyak pulau besar dan pulau kecil serta sungai-sungai besar yang bermuara sehingga menyebabkan tingginya kandungan nutrien di daerah tersebut. Nutrien yang berasal dari sungai mempengaruhi keberadaan fitoplankton sebagai makanan pokok bagi biota terhadap kesuburan perairan yang meningkatkan keanekaragaman dan populasi biota yang ada di perairan tersebut.

Kesuburan perairan adalah salah satu faktor yang menyebabkan sumberdaya hayati di suatu perairan khususnya di bidang perikanan tangkap, fitoplankton sebagai salah satu sumber makanan bagi kehidupan di laut, menjadi ukuran dari kesuburan suatu perairan yang dapat mempengaruhi keberlangsungan sumberdaya hayati laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2005) bahwa perairan yang produktivitas primer fitoplankton tinggi akan mempunyai

(2)

Beberapa metode konvensional telah banyak digunakan untuk mengetahui sebaran klorofil-a di perairan, namun masih memiliki banyak kekurangan baik materi, waktu, maupun keterampilan peneliti saat pengambilan data. Teknologi penginderaan jauh dengan satelit merupakan metode alternatif untuk melengkapi metode konvensional, dengan kelebihannya seperti dalam waktu yang singkat dapat melihat areal yang luas dan dengan data deret waktu yang dihasilkan dapat melakukan pememantauan perubahan kondisi perairan dengan berkelanjutan.

Citra satelit MODIS adalah citra satelit yang diperoleh dari sensor Moderate resolution Imaging Spectroradiometer yang ditempatkan pada satelit Terra dan Aqua yang digunakan untuk melihat fenomena alam baik di darat seperti dugaan titik kebakaran hutan maupun di laut seperti ramalan cuaca dan zona potensial penangkapan ikan. Sensor MODIS pada satelit Aqua memiliki kanal cahaya tampak dengan kisaran panjang gelombang yang relatif sempit dibandingkan dengan satelit SeaWiFS, sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi distribusi klorofil-a.

(3)

Penelitian ini menggunakan data klorofil-a dan SPL serta data statistik perikanan tangkap. Data klorofil-a dan SPL berupa data rata-rata delapan harian yang dijadikan rata-rata bulanan dari hasil pendeteksian sensor satelit MODIS yang diperoleh dari situs NASA selama 5 tahun yaitu dari periode Januari 2006 sampai Desember 2010. Sedangkan data statistik perikanan tangkap diperoleh dari DKP propinsi, berupa data tahunan selama 5 tahun yaitu dari periode Januari 2006 sampai Desember 2010. Data statistik tersebut kurang memadai karena data merupakan data tahunan sehingga sulit untuk melihat tingkah laku ikan, hal ini diduga disebabkan oleh kondisi infrastruktur di Aceh belum maksimal dalam memperoleh data tersebut setelah bencana tsunami pada tahun 2004.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait sebaran klorofil-a dan SPL di perairan barat-selatan Aceh untuk melihat

kesuburan perairan serta bermanfaat untuk pengembangan dan eksplorasi perairan di bidang perikanan, dan wisata bahari.

1.2 Tujuan

(4)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara geografis berada di bagian barat Indonesia pada 20 LU-60 LU dan 950 BT-980 BT. Wilayah ini terletak di antara Teluk Benggal di bagian utara, Selat Malaka di bagian timur, Samudera Hindia di bagian barat dan Provinsi Sumatera Utara di bagian selatan. Provinsi NAD memilki luas daratan 57.365,57 km2

(http://bisnisinvestasi.acehprov.go.id/profile.php).

Wilayah pantai barat-selatan NAD terdiri dari beberapa kabupaten dimulai dari Kabupaten Aceh Singkil yang berbatasan langsung dengan provinsi Sumatera Utara hingga Kotamadya Banda Aceh yang berbatasan langsung dengan teluk Benggal. Beberapa kabupaten di pantai Barat-Selatan yaitu Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Simeulu, Aceh Jaya dan sebagian pantai kota Banda Aceh. Pantai Aceh barat-selatan merupakan daerah laut dalam karena berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Ada beberapa sungai besar yang bermuara di daerah tersebut seperti Krueng Woyla, Krueng Teunom, Krueng Meureubo (Aceh Barat), Krueng Singkil/Alas (Aceh Singkil) yang mengalir ke Samudera Hindia. Selain itu, terdapat banyak pulau di pantai barat-selatan seperti Kepulauan Simeulu (Kabupaten Simeulu), Kepulauan Banyak (Kabupaten Aceh Singkil), Pulau Rusa (Kabupaten Aceh Jaya), Pulau Dua (Aceh Selatan), Pulau Mansalar (Aceh Singkil) dan lain-lain.Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut berpenghuni seperti Kepulauan Simeulu dan Kepulauan Banyak

(5)

2.2 Potensi Perikanan di Perairan Barat-Selatan NAD

Potensi perikanan di wilayah barat-selatan NAD sangat besar khususnya dibidang budidaya laut seperti jenis komoditi rumput laut, kerapu, kakap, dan kerang mutiara dengan potensi sebaran luas ±12.014 ha seperti di Sabang, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak (Aceh Singkil). Potensi perikanan karang dengan didukung oleh adanya terumbu karang di

Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas ±274.841 ha, tersebar mulai dari Sabang, Aceh Besar, dan Pantai Barat Selatan Aceh

tereksplorasi sepenuhnya karena setelah tsunami pada tahun 2004 banyak alat penunjang perikanan tangkap yang hancur dan setelah tsunami penunjang perikanan tangkap juga belum maksimal. Sedikitnya terdapat 2 (dua) kendala dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu : (1) kerusakan lingkungan fisik pesisir, (2) permasalahan sosial dan kelembagaan. Kedua

persoalan tersebut selama ini menjadi kendala yang signifikan dalam mewujudkan pengelolaan laut dan perikanan yang berkelanjutan. Permasalahan yang berkenaan dengan pemanfaatan pesisir dan laut di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diantaranya sebagai berikut :

• Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang.

• Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai.

• Pencemaran laut akibat limbah rumah tangga dan kapal.

(6)

• Rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan kelautan dan perikanan.

• Pada umumnya nelayan tradisional tumbuh dan berkembang secara alami dan melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan naluri dan pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun.

• Kurangnya pembinaan terhadap nelayan.

• Tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan pesisir dan laut.

• Terjadinya tumpang tindih perizinan eksploitasi di wilayah pesisir dan laut.

• Belum adanya pengaturan tata ruang untuk kegiatan budidaya.

• Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yang boleh dikonversi untuk pengembangan pertambakan.

• Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan (konflik antar sektor, antar tingkat pemerintahan, dan antar daerah otonom).

• Terjadinya konflik antar nelayan (antara nelayan tradisional dan nelayan modern).

• Rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan penegakan hukum (law enforcement).

• Belum adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman permodalan usaha kepada nelayan, terutama nelayan tradisional sehingga nelayan identik dengan kemiskinan.

(7)

Dengan terjadinya peristiwa tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, kondisi pesisir dan laut Aceh yang sudah mengalami kerusakan menjadi semakin parah kerusakannya. Kementrian Negara Lingkungan Hidup menyatakan, dampak tsunami terhadap wilayah pesisir dan laut Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam sebagai berikut:

• Tercemarnya laut, air darat dan air tanah; terjadi perubahan garis pantai.

• Hilangnya proteksi alam (mangrove) yang berfungsi sebagai pelindung pemukiman dari gelombang dan angin serta sebagai daerah pemijahah

(spawning ground), daerah 8 asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) bermacam biota laut termasuk ikan.

• Tercemar dan rusaknya terumbu karang yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan pemijahan ikan.

• Berkurangnya/hilangnya sumber daya ikan dan spesies pesisir (potensi biodiversity).

• Rusaknya ekosistem lahan basah; dan rusaknya ekosistem buatan (budidaya, pelabuhan dan kampung nelayan yang memberikan dampak yang signifikan bagi kegiatan perekonomian).

Menurut nelayan yang tinggal di kecamatan Bakongan Aceh Selatan, mereka tidak melaut berdasarkan bulan terang (purnama) atau cahaya bulan yang menerangi bumi lebih banyak karena tidak ada ikan, biasanya terjadi pada

(8)

sehingga nelayan disana libur bukan berdasarkan musim tetapi menurut kebiasaan dan pengalaman yang telah dilakukan secara turun temurun.

2.3 Faktor-faktor Kesuburan Perairan

Sebaran kesuburan perairan dapat diketahui dengan memetakan sebaran konsentrasi klorofil-a yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui pola

keberadaan sumberdaya perairan. Hal ini akan membantu dalam memperkirakan waktu dan lokasi yang tepat untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan

(Hasyim, 2004).

2.3.1 Fitoplankton

Fitoplankton adalah tumbuhan sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi gerakan air (Odum, 1971). Sedangkan menurut Nontji (2006) fitoplankton merupakan tumbuhan yang berukuran mikroskopis yang hidup melayang di laut dan tidak dapat terlihat oleh mata telanjang. Kedudukan fitoplankton sebagai rantai pertama dalam jaring makanan, mengindikasi pentingnya fitoplankton sebagai penyokong kehidupan di lautan karena mampu mengubah senyawa-senyawa anorganik menjadi senyawa-senyawa-senyawa-senyawa organik yang berupa glukosa melalui proses fotosintesis (Basmi, 1999). Menurut Davis (1955), seluruh kehidupan di perairan secara langsung atau tidak langsung tergantung pada hasil fotosintesis fitoplankton (mikrofita) dan tumbuhan air (makrofita).

(9)

menyebabkan variasi kelimpahan fitoplankton di daerah subtropis sangat nyata tetapi kurang untuk daerah tropis, karena pergantian musimnya tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan parameter fisika dan kimia perairan (Raymont, 1981).

2.3.2 Klorofil-a

Klorofil adalah pigmen fotosintetik utama yang terkandung di dalam semua tanaman berfotosintesis, tumbuhan tingkat tinggi dan alga hijau (Dring,1990), dan klorofil-a merupakan bagian terpenting dalam proses

fotosintesis dan dikandung oleh sebagian besar dari jenis fitoplankton yang hidup di laut (Nontji, 1977). Stirling (1985) dalam Rachmawati (1999) menyatakan bahwa, nilai klorofil (biomassa) merupakan indikator yang baik dalam menilai produktivitas primer suatu perairan. Sementara itu, menurut Parsons et al., (1977) dalam Prihartato (2009), konsentrasi klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton di suatu perairan, sehingga klorofil-a menjadi perhatian khusus dalam studi produktivitas primer perairan. Semakin banyak kandungan klorofil-a di perairan menunjukkan semakin banyaknya biomassa fitoplankton di perairan tersebut. Oleh karena itu, pengukuran kandungan

klorofil-a dari fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer (Uno, 1982 dalam Sediadi dan Edward, 2000).

Kandungan klorofil-a dihasilkan dari fitoplankton yang berada di perairan. Fitoplakton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu

(10)

organik dari zat anorganik maka fitoplakton disebut sebagai produsen primer (primary producer) (Nontji, 2005).

Konsentrasi klorofil-a biasa disebut dengan pigmen fotosintetik dari fitoplankton. Pigmen ini dianggap sebagai indeks terhadap tingkat produktivitas biologis. Di perairan laut, indeks klorofil ini dapat dihubungkan dengan produksi ikan atau lebih tepatnya dapat menggambarkan tingkat produktivitas daerah penangkapan ikan (fishing ground) (Safruddin dan Zainuddin, 2008).

Fotosintesis merupakan proses kimiawi yang sangat rumit dan kompleks (Devlin, 1969), namun secara sederhana reaksi fotosintesis dapat ditulis sebagai berikut :

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2

Menurut Cullen (1982) dalam Geider dan Osborne (1992), klorofil-a adalah satu-satunya pigmen yang dapat ditemukan di semua organisme

photoautotroph yang melibatkan oksigen dan konsentrasi atau kandungan dari pigmen ini biasanya dapat digunakan sebagai ukuran untuk menduga jumlah materi (produksi primer) dari tanaman di dalam suatu contoh. Menurut Romauli (2009) sifat klorofil dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran fitoplankton di permukaan laut dari satelit. Apabila fitoplankton dalam jumlah yang banyak atau satu komunitas maka ciri khasnya (pigmen) yang berwarna hijau akan sangat mudah dideteksi satelit tetapi secara individu akan sangat sulit karena ukurannya yang sangat kecil. Klorofil cenderung menyerap warna biru dan merah serta memantulkan warna hijau (Nontji, 2008).

Sinar Matahari

(11)

2.3.3 Suhu Permukaan Laut (SPL)

Suhu adalah ukuran energi kinetik gerakan molekul yang terkandung dalam suatu benda (Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang 10o LU–10o LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961 dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005).

Hela dan Laevestu, 1970 dalam Muklis 2008 menyatakan bahwa suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda tergantung pada spesies daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk

(12)

25 0C. Hal ini disebabkan naiknya massa air yang berada di bawah (bersuhu rendah) ke permukaan laut.

Parameter SPL sangat penting untuk diketahui karena dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran minyak, dan pemanasan global. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) dalam Nontji (2005), upwelling di lautan dapat diidentifikasi dari sebaran SPL, di daerah SPL yang lebih rendah akan terjadi upwelling di sekitarnya, hal ini

disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas.

Upwelling juga mengangkat unsur hara ke permukaan perairan sebagai makanan pokok bagi fitoplankton, sehingga SPL yang rendah akan mengundang ikan herbivora karena terjadinya upwelling yang mengakibatkan kesuburan perairan.

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktifitas Fitoplankton

2.4.1 Cahaya Matahari

Cahaya matahari diperlukan dalam proses fotosintesis oleh fitoplankton. Umumnya permukaan perairan merupakan tempat fitoplankton dengan

produktifitas tinggi, berkaitan dengan intensitas cahaya yang optimal bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya yang diperlukan agar produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, lintang geografik dan musim (Nybakken, 1992).

(13)

dapat diserap oleh klorofil untuk reaksi fotosintesis ( Parsons et al.,1977 dalam Prihartato 2009).

2.4.2 Suhu

Suhu merupakan salah satu variable lingkungan yang mempengaruhi laju fotosintesis dan pertumbuhan algae di perairan secara alami. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu. Nilai maksimum terjadi antara selang 25-400C (Reynolds, 1990).

Suhu air terutama di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang jatuh ke permukaan air, yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian masuk ke perairan dan disimpan dalam bentuk energi (Welch, 1952). Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung suhu berperan untuk

mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan secara tidak langsung suhu merubah struktur hidrologi kolom perairan dalam hal

kerapatan air yang mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997).

2.4.3 Arus

(14)

2.4.4 Nutrien

Nutrien merupakan zat hara yang sangat penting bagi produktivitas primer fitoplankton dalam air. Nutrien dapat mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi dari klorofil-a. Nilai konsentrasi klorofil-a di daerah pesisir lebih tinggi

dibandingkan di daerah laut lepas. Hal ini diakibatkan oleh adanya pasokan suplai nutrien melalui run-off sungai dari daratan ke daerah pesisir, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas pantai karena tidak ada suplai nutrien dari daratan secara langsung (Nybakken,1992).

Nutrien utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah fosfor dan nitrogen. Kebutuhan fosfor fitoplankton berasal dari batuan fosfat. Cadangan fosfor terbesar bukan di udara tetapi terdapat pada batu karang atau endapan-endapan batuan fosfat. Pada proses pemanfaatan nitrogen, fitoplankton memiliki kecendrungan untuk secara berturut-turut mengambil nitrat, nitrit dan amonium (Nontji, 1984). Nitrogen terdapat pada bentuk-bentuk molekul protein dalam organik yang telah mati kemudian diuraikan menjadi bentuk-bentuk inorganik oleh serangkaian organisme pengurai, terutama bakteri pembentuk nitrat, hasil selanjutnya adalah zat hara nitrat yang merupakan bentuk yang siap digunakan oleh fitoplankton (Odum, 1971).

2.5 Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground)

(15)

besar yaitu memerlukan biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan. Apabila mengetahui dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan, waktu dan tenaga ( Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008).

Menurut Mukhtar (2010), daerah penangkapan ikan (fishing ground) adalah suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal, alat tangkap dapat dioperasikan, dan ekonomis. Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai daerah

penangkapan ikan. Apabila wilayah tersebut terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Apabila pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan karena berbagai faktor, seperti keadaan cuaca. Maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya karena tidak terjadinya interaksi antara ikan sebagai target dan teknologi penangkapan. Sebab-sebab utama suatu jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan adalah: (a) Perairan yang cocok untuk hidupnya baik dari segi suhu maupun salinitas. (b) Sebagai tempat mencari makanan. (c) Sebagai tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya.

(16)

tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dimana arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008).

Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan disekelilingnya. Hasil dari analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsentrasi pada kisaran suhu 18,5-21,5 0C dan berasosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0,4 mg/m3.Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan

memberikan gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bisa mendapatkan banyak ikan (Zainuddin, 2006 dalam Muklis, 2008).

2.6 Karakteristik Satelit Aqua MODIS dan Terra MODIS

Maccherone (2005) menjelaskan bahwa Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah salah satu instrumen penting dalam satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Garis edar satelit Terra di sekitar bumi diatur waktu sedemikian sehingga melintasi dari utara ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi hari, sedangkan satelit Aqua melintas dari selatan ke utara dan berada di garis khatulistiwa di sore hari. Terra MODIS dan Aqua MODIS mengamati keseluruhan permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari. Sensor MODIS dilengkapi dengan sensitifitas radiometrik tinggi (12 bit) dengan

(17)

Pada kanal 1 dan 2 memiliki resolusi spasial 250 m, kanal 3-7 sebesar 500 m dan kanal 8-36 sebesar 1 km.

Aqua yang berarti air merupakan satelit sistem observasi bumi National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi mencakup penguapan samudera, uap air di atmosfer, awan, daerah kutub serta lapisan es. Variabel yang juga diukur oleh aqua antara lain aerosol, vegetasi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005). Satelit Aqua MODIS

mempunyai orbit polar sun-synchronus, yang artinya satelit akan melewati tempat-tempat pada lintang dan waktu lokal yang sama pada ketinggian 705 km (Tabel 1).

Satelit Terra pada descending node mempunyai orbit sun-synchronous, near polar. Areal yang diliputi (swatdh width) oleh sensor ini mencakup luasan 2330 km. Satelit ini dilengkapi dengan 36 buah sensor diskrit dengan panjang gelombang 10 nm hanya terdapat pada saluran 8-16. Karakteristik temporal dari satelit ini baik digunakan untuk mengamati perubahan yang terjadi di alam. Perubahan alam mencakup pengamatan di daerah terestrial dan fenomena oseanografi seperti mengenai perubahan tutupan tanah dan produktivitas global, variabilitas dan perubahan iklim, bencana/bahaya alam, dan lapisan ozon . hal ini karena suatu daerah pengamatan dapat diamati setiap harinya secara

(18)

black body radiation akan maksimum pada suhu 300 0K (suatu pendekatan rata-rata suhu permukaan bumi). Spesifikasi teknis satelit Aqua dan Terra MODIS disajikan pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Spesifikasi Teknis dari satelit Aqua MODIS dan Terra MODIS Orbit 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m.

ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular

Luas Liputan 2330 km (cross track) dengan10 km (sepanjang nadir) Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m

Berat 228.7 kg

Tenaga 162.5 W

Kuantisasi Data 12 bit

Resolusi spasial 250 m (bands 1-2), 500 m (bands 3-7), 1000 m (bands 8-36) Umur Desain 6 tahun

Sumber : Maccherone, 2005

2.7 Karakteristik Spektral Klorofil-a dan SPL dari Citra Satelit

Kirk (1994) dalam Prihartato (2009), klorofil-a memiliki karakteristik spektral yang spesifik karena dapat mengabsorbsi sinar biru (400-515 nm) secara kuat dan merefleksikan sinar hijau (515-600 nm) sehingga mempengaruhi warna air laut. O’Reilly (1998) mengemukakan bahwa algoritma untuk ekstraksi konsentrasi klorofil diturunkan dari dua panjang gelombang adalah 443 nm dan 551 nm. Alasan digunakannya kedua panjang gelombang ini adalah karena tingkat absorbsi klorofil pada panjang gelombang 443 nm tinggi yang

(19)

551 nm rendah, maka konsentarasi klorofilnya akan tinggi. Sebaliknya rasio akan memiliki nilai tinggi jika konsentrasi klorofilnya rendah.

Menurut penelitian Safruddin dan Zainuddin (2008) yang menggunakan citra dari satelit AQUA dan sensor MODIS, indeks klorofil-a di perairan laut dapat dihubungkan tingkat produktivitas daerah penangkapan ikan (fishing ground). Keberadaan konsentrasi klorofil-a di atas 0.2 mg/m3 mengindikasikan keberadaan plankton yang cukup untuk menjaga kelangsungan hidup ikan-ikan ekonomis penting. Jadi parameter klorofil-a ini dapat dihubungkan dengan pola distribusi dan kelimpahan ikan, khususnya ikan pelagis.

Menurut Priyanti dan Hasyim (1999), citra SPL dari suatu perairan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan karena SPL dapat

menentukan adanya interaksi perairan lain seperti upwelling dan front. Penentuan SPL dari satelit dilakukan dengan radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 µm – 14 µm. Radiasi spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut berasal dari kedalaman 0.1 mm.

2.8 Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Klorofil-a dan SPL

Penginderaan jauh warna air laut adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan laut dan proses-proses yang terjadi di dalamnya berdasarkan nilai

konsentrasi dari water-leaving radiance, yang merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dan perairan yang diterima oleh satelit (Hendiarti, 2003).

(20)

sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan dari dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan (Hendiarti, 2003).

Spektrum sinar yang penting untuk tumbuhan laut adalah sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400 nm – 720 nm atau disebut juga sebagai Photosynthetically Available Radiation (PAR). Spektrum ini hampir sama dengan spectrum cahaya tampak (visible light) yaitu 360 nm – 780 nm (Parson et al, 1977 dalam Gaol, 1997). Fitoplankton mengandung klorofil-a, pigmen fotosintesis dominan yang mengabsorbsi kuat energi pada panjang gelombang biru dan merah sinar tampak (Lo, 1996). Menurut Curran (1985), klorofil-a menyerap cahaya dengan baik pada panjang gelombang 430 nm – 660 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a sangat sedikit radiasi gelombang elektromagnetik pada kanal ini.

(21)

landsat dan sebagainya. Maka data tersebut dapat digunakan untuk

menentukan/mengukur parameter dari permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur SPL, konsentrasi klorofil, kandungan uap air dan sebagainya (Mustafa, 2004).

(22)

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Agustus 2011 dengan menggunakan citra MODIS. Lokasi untuk objek penelitian adalah perairan Barat-Selatan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada koordinat 1⁰58’11,16” LU- 5⁰58’11,16” LU dan 93⁰46’03,67” BT- 99⁰55’05,53” BT (Gambar 1).

Pengolahan citra dilakukan di Laboratorium Inderaja ITK.

Gambar 1. Lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan berupa perangkat lunak dan perangkat keras dari komputer. Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data adalah: SeaDAS, Arc GIS, dan Microsoft Excel.

(23)

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data klorofil-a dan SPL yang diekstrak dari citra satelit Aqua-MODIS level 3 dengan resolusi spasial 4x4 km2 yang merupakan komposit rata-rata 8 harian dari periode Januari tahun 2006 sampai dengan Desember 2010 yang dapat diunduh dari situs 2. Data peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) propinsi Aceh tahun 1991

diperoleh dari BAKOSURTANAL.

3. Data statistik perikanan tangkap di daerah pantai barat-selatan Aceh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Aceh. Adapun data yang diperoleh adalah data tahunan selama 5 tahun, periode Januari tahun 2006 sampai Desember tahun 2010 sedangkan data hasil tangkapan adalah data

perkwartal atau permusim. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah pancing, jaring insang, jaring angkat, pukat kantong, pukat cincin, dan pukat udang dan jenis ikan yang dominan adalah cakalang, kembung, kwee, tongkol krai, dan tongkol abu-abu.

3.3 Analisis Data

3.3.1 Pemrosesan Data Citra klorofil-a dan SPL

(24)

Hasil dari pengolahan data ini berupa profil dua dimensi sebaran spasial SPL dan konsentrasi klorofil-a dalam format *tif dan data American Standard Code for Information Interchange (ASCII). Kemudian data ini diolah

menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 untuk melakukan

penyaringan data (quality control). Penyaringan data (quality control) dilakukan untuk menghilangkan data ekstrim tinggi dan data ekstrim rendah yang diduga bukan merupakan nilai dari parameter yang dicari. Quality control yang

digunakan, yakni untuk SPL (25 < SPL ≤ 33 °C) dan klorofil-a (0,01 < klorofil-a ≤ 6 mg/m3). Hasil dari penyaringan data tersebut kemudian diolah lagi

menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dan dioverlay dengan peta darat yang telah didigitasi untuk menampilkan hasil spasial. Sedangkan untuk hasil temporal dilakukan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007.

Algoritma OC3M (Ocean Chlorophyll 3-band algorithm MODIS) adalah algoritma yang dipakai dalam pengolahan citra satelit Aqua MODIS untuk menghasilkan konsentrasi klorofil-a (McClain dan Feldman, 2004). Persamaan algoritma OC3M (O'Reilly et al., 2000) adalah:

... (1) , ... (2)

Keterangan : Ca = Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) R = Rasio reflektansi

(25)

Algoritma yang dipakai untuk menghasilkan distribusi SPL adalah sebagai berikut :

MODIS_SST = c1+c2*T31 + c3*T31-32 + c4*(Sec(θ)-1)*T31-32, ... (3)

Keterangan : T31, T32 = Brighness Temperatur dari kanal 31 dan 32

θ = sudut Zenith satelit

c1, c2, c3 da c4 merupakan konstanta yang nilainya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2. Koefisien kanal 31 dan 32 untuk Aqua MODIS

Koefisien T30 – T31 ≤ 0,7 T30 – T31 > 0,7

c1 1,11071 1,196099

c2 0,9586865 0,9888366

c3 0,1741229 0,1300626

c4 1,876752 1,627125

3.3.2 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) Propinsi NAD

(26)

3.3.3 Data Statistik Perikanan Tangkap

Data statistik perikanan tangkap diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NAD, berupa data tahunan dan musiman dari tahun 2006 hingga 2010. Data yang diperoleh tersebut adalah data jumlah hasil tangkapan ikan permusim dan data jumlah trip kapal yang beroperasi dalam setahun. Selanjutnya, untuk tujuan analisis data maka jumlah data trip kapal ini dibagi 4 yang disesuaikan dengan musim dan berdasarkan kebiasaan melaut para nelayan. Nelayan di daerah pantai barat-selatan tidak libur melaut pada musim-musim tertentu tetapi mereka libur setiap bulan antara tanggal 13-20 dikarenakan bulan terang atau bulan purnama. Data tersebut digunakan untuk melakukan

penghitungan Catch Per Unit Effort (CPUE) dan kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik untuk melihat fluktuasinya selama pengambilan data. Hasil dari perhitungan CPUE tersebut dapat diketahui fluktuasi hasil tangkapan berdasarkan waktu (temporal) dan lokasi/daerah penangkapannya (spasial).

Secara singkat,untuk data dapat dilihat pada lampiran (halaman 51 hingga 53) dan untuk perolehan dan pemrosesan data diatas dapat dilihat pada Gambar 2. Persamaan CPUE adalah sebagai berikut (Putro, 2002) :

, ... (5)

Keterangan :

CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip) c (catch) = hasil tangkapan (kg)

(27)

Gambar 2. Diagram Alir Pegolahan Data Peta LLN propinsi Download Data citra MODIS Level 3

Citra SPL level 3 Quality control (data ASCII) dengan

(28)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial

Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a pada periode Januari 2006 sampai Desember 2010 berkisar antara 0,15 mg/m3 sampai 0,52 mg/m3 (Gambar 3). Konsentrasi klorofil-a setiap musim membentuk pola naik turun selama 5 tahun, yaitu pada musim T-B terlihat naik hingga tertinggi pada musim barat kemudian menurun pada musim B-T hingga terendah pada musim timur.

Konsentrasi klorofil-a bervariasi setiap musim, pada musim barat konsentrasi klorofil-a paling tinggi setiap tahun dibanding musim-musim lain, hal ini diduga karena curah hujan yang tinggi pada musim ini mengakibatkan suplai nutrien yang berasal dari daratan lebih banyak mengalir melalui sungai ke daerah pantai. Sedangkan pada saat musim timur konsentrasi klorofil-a paling rendah, hal ini diduga karena adanya pengaruh musim kemarau. Sesuai dengan pernyataan Nontji (2005) bahwa musim barat merupakan musim angin yang membawa banyak hujan sedangkan musim timur sedikit membawa hujan.

Sementara itu, perbedaan yang signifikan terjadi pada bulan Desember 2006 dimana konsentrasi klorofil-a sangat tinggi dan bulan Agustus 2010 dimana konsentrasi klorofil-a sangat rendah. Hal ini kemungkinan diduga karena adanya pengaruh Dipole Mode yang terjadi pada tahun 2010.

(29)

29 Gambar 3. Nilai rata-rata Bulanan Konsentrasi Klorofil-a di Pantai Barat-Selatan NAD dari Januari 2006 hingga Desember 2010

0

jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov

Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat

2006 2007 2008 2009 2010

(30)

Pada setiap musim selama periode Januari 2006 hingga Desember 2010, nilai maksimum dan minimum konsentrasi klorofil-a bervariasi. Nilai maksimum dan minimum tersebut disajikan pada Table 3 berikut :

Tabel 3. Nilai Maksimum dan Minimum Klorofil-a periode Januari 2006 hingga Desember 2010 (diekstrak dari citra satelit Aqua MODIS)

Musim Maksimum Minimum

Barat Desember 2006 (0.45 mg/m3) Desember 2010 (0.21 mg/m3)

B-T Maret 2007 (0.38 mg/m3) April 2010 (0.18 mg/m3)

Timur Agustus 2006 (0.28 mg/m3) Agustus 2010 (0.15 mg/m3)

T-B November 2006 (0.34 mg/m3) November 2010 (0.18 mg/m3)

Pada tahun 2010, secara spasial distribusi konsentrasi klorofil-a menyebar dari pantai hingga lepas pantai, namun di daerah pantai kandungan klorofil-a lebih tinggi di bandingkan di daerah lepas pantai (Gambar 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gordon dan Morel (1983) dalam IOCCG (2000), bahwa berdasarkan materi pembentuk warna, perairan dibagi menjadi dua kasus (case). Pada kasus satu, merupakan daerah perairan lepas pantai, komponen utama yang

mempengaruhi sifat optik/biooptik air laut adalah pigmen-pigmen fitoplankton (khusunya klorofil-a). Kasus dua, merupakan daerah pesisir, maka sifat optik air laut kemungkinan besar didominasi oleh fitoplankton, bahan sedimen (suspended material) dan material organik (yellow substances).

4.2 Distribusi Spasial Klorofil-a Berdasarkan Musim

(31)
(32)

Hal ini dikarenakan pada musim ini adalah musim hujan yang mempengaruhi peningkatan suplai nutrien dari daratan ke perairan laut.

Pada tahun 2006 hampir setiap musim (barat, B-T, dan timur) terlihat sebaran klorofil-a tinggi dan menyebar dari pesisir pantai hingga lepas pantai kecuali pada musim T-B dimana sebaran klorofil-a yang tinggi hanya berada di daerah pantai. Pada tahun 2007 sebaran klorofil-a yang tinggi, menyebar di bagian selatan Aceh yaitu di daerah Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulu dari pantai hingga lepas pantai.

Pada tahun 2008, sebaran klorofil-a yang tinggi dan menyebar dari pesisir pantai hingga lepas pantai terdapat pada saat musim barat dan musim B-T. Sementara itu, saat musim timur dan musim T-B sebaran klorofil-a terlihat rendah.

Pada tahun 2009 sebaran klorofil-a yang tinggi dan menyebar dari pesisir pantai hingga lepas pantai terdapat pada saat musim barat dan musim timur. Sedangkan saat musim peralihan (B-T dan T-B) sebaran klorofil-a terlihat rendah. Pada tahun 2010, sebaran klorofil-a tinggi berada pada saat musim barat yang menyebar dari pantai hingga lepas pantai, dan musim lain (B-T, timur, dan T-B) sebaran klorofil-a terlihat rendah dan hanya di daerah pantai.

4.3 Distribusi Suhu Permukaan laut Secara Temporal dan Spasial

(33)
(34)

Variasi SPL terlihat memiliki pola yang hampir sama setiap tahun dimana mulai meningkatnya suhu pada musim Barat hingga musim B-T dan musim timur, kemudian terjadi penurunan pada musim T-B. Namun pada tahun 2010 mengalami kenaikan dan penurunan SPL yang sinifikan, dan pada tahun 2007 juga mengalami penurunan yang signifikan (Gambar 6). Pengelompokan kategori SPL sesuai dengan kutipan daridalam Muklis (2008), untuk perairan Indonesia yaitu SPL dingin berada di bawah 27,00 ˚C, SPL hangat berkisar antara 27,00-31,00 ˚C, dan SPL panas berada di atas 31,00 ˚C.

Pada musim barat dari tahun 2006 hingga tahun 2010, SPL dikategorikan hangat dengan kisaran antara 29,6-30,3 ˚C. pada musim peralihan B-T (Maret, April, Mei) SPL berkisar pada 29,9-31,1 ˚C. SPL yang cenderung hangat tersebut diduga karena terjadi perubahan pola pergerakan angin musim yang mendorong massa air permukaan. Sesuai dengan pendapat Nontji (1993) yang menyatakan bahwa pada musim peralihan barat-timur sekitar bulan april, arus ke timur mulai melemah bahkan mulai berbalik arah hingga di beberapa tempat terjadi olakan-olakan (eddies). Namun pada bulan mei 2010 SPL mencapai 32,0 ˚C yang dikategorikan SPL panas, hal ini diduga karena pengaruh Dipole Mode yang terjadi pada tahun 2010.

(35)

31,00 ˚C, hal ini diduga karena masih adanya pengaruh Dipole Mode yang terjadi pada musim B-T.

Sementara itu, pada musim peralihan T-B (September, Oktober, November) pola sebaran SPL lebih bervariasi yaitu berkisar antara 28,7-31,0 ˚C, namun masih dalam kategori hangat. Pada tahun 2006 tingkat SPL paling rendah terjadi pada musim ini. Pada tahun 2007 SPL mengalami penurunan yang sangat signifikan di awal musim hingga pertengahan musim tetapi mengalami kenaikan lagi di akhir musim. Pada tahun 2008 SPL terlihat menurun namun masih dalam kategori hangat, pada tahun 2009 juga berkategori hangat dan pada tahun 2010 pengalami kenaikan suhu di awal musim kemudian terjadi penurunan yang signifikan pada akhir musim.

Distribusi SPL secara spasial pada tahun 2010 terlihat menyebar dari pesisir pantai hingga lepas pantai dengan membentuk pola meningkat pada awal tahun hingga pertengahan kemudian menurun hingga akhir tahun (Gambar 7). Pada bulan Januari hingga bulan Mei terlihat SPL meningkat baik di daerah pantai maupun di lepas pantai. Sementara itu, pada bulan Juni sebaran SPL mulai menurun hingga bulan Desember. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh Dipole Mode yang terjadi pada tahun 2010.

(36)

29 Gambar 6. Nilai rata-rata Bulanan SPL di Pantai Barat-Selatan NAD dari Januari 2006 hingga Desember 2010

27 28 29 30 31 32 33

jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov jan mar may jul sep nov

Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat B-T Timur T-B Barat

2006 2007 2008 2009 2010

su

h

u

(

ºC

)

bulan dan tahun

SPL

(37)

(38)

4.4 Variasi CPUE

Catch per unit effort (CPUE) adalah jumlah hasil tangkapan dibagi dengan jumlah trip kapal yang melakukan penangkapan. Nilai rata-rata CPUE setiap musim selama 5 tahun (2006-2010) untuk perairan barat-selatan Aceh bervariasi, namun secara keseluruhan mengalami peningkatan (Gambar 8). Secara

keseluruhan terlihat bahwa setiap musim peralihan baik musim B-T maupun musim T-B selalu terjadi peningkatan nilai CPUE dan sebaliknya pada musim barat dan musim timur terjadi penurunan nilai CPUE, sehingga untuk daerah pantai barat-selatan sangat baik dilakukan penangkapan ikan pada musim peralihan. Variasi CPUE secara tahunan juga memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun 2006 hingga 2010 (Gambar 9).

Peningkatan CPUE ini diduga karena semakin membaik kondisi penunjang penangkapan, baik itu alat tangkap maupun kapal penangkapan dan juga semakin membaiknya keterampilan nelayan dalam menangkap ikan serta pengetahuan tentang daerah penangkapan ikan, setelah terjadinya bencana alam berupa gempa dan gelombang tsunami pada tahun 2004 di Aceh. Faktor-faktor penunjang dalam upaya penangkapan ikan seperti bahan bakar kapal, informasi tentang keberadaan ikan, dan waktu yang cocok untuk penangkapan sangat dibutuhkan oleh nelayan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.

(39)

Gambar 8. Variasi CPUE rata-rata Musiman periode Januari 2006 hingga Desember 2010

Gambar 9. Variasi CPUE rata-rata Tahunan (2006-2010)

4.5 Hubungan Konsentrasi Klorofil-a dengan CPUE Berdasarkan Musim Konsentrasi klorofil-a dengan CPUE tidak terlihat adanya pengaruh yang signifikan (Gambar 10), hal ini dikarenakan perhitungan CPUE untuk jumlah hasil produksi ikan dilakukan semua jenis ikan herbivora dan karnivora. Pada perairan kandungan klorofil-a sangat erat kaitannya dengan rantai makanan.

0

2006 2007 2008 2009 2010

k

tahun 2006 tahun 2007 tahun 2008 tahun 2009 tahun 2010

k

g

/t

rip

(40)

Klorofil-a terdapat pada fitoplankton sebagai sumber makanan pokok dalam rantai makanan di perairan. Jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap adalah ikan Karnivora yang keberadaannya tidak secara langsung dipengaruhi oleh klorofil-a.

Secara umum, setiap musim kandungan klorofil-a cenderung tinggi yaitu diatas 0,2 mg/m3, namun pada tahun 2010 saat musim timur dan T-B kandungan klorofil-a cenderung rendah, hal ini diduga karena adanya pengaruh Dipole Mode yang terjadi pada bulan Mei 2010 (musim timur).

Gambar 10. Hubungan Konsentrasi Klorofil-a dengan CPUE periode Januari 2006 hingga Desember 2010

Pada musim barat konsentrasi klorofil-a berbanding lurus dengan CPUE, sedangkan pada musim lain (B-T, timur, dan T-B) konsentrasi klorofil-a berbanding terbalik dengan CPUE (Gambar 11). Secara keseluruhan CPUE cenderung meningkat pada setiap musim dan tertinggi terdapat pada musim T-B tahun 2009 yaitu 35,5 kg/trip dengan konsentrasi klorofil-a berkisar antara

0,26-0

2006 2007 2008 2009 2010

(41)

0,29 mg/m3. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi klorofil-a pada kisaran tersebut adalah tingkat konsentrasi yang baik untuk melakukan penangkapan ikan.

Gambar 11. Hubungan Konsentrasi Klorofil-a dengan CPUE Berdasarkan Musim

4.6 Hubungan SPL dengan CPUE Berdasarkan Musim

Setiap jenis biota perairan mempunyai tingkat atau toleransi suhu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi fisik, habitat, tempat pemijahan dan kecukupan makanan. Hal tersebut untuk melangsungkan kehidupan sehingga mempengaruhi keberadaan dan penyebarannya di suatu perairan. SPL adalah salah satu indikator untuk mengetahui keberadaan biota di suatu perairan.

(42)

aktifitas makan serta menghambat berlangsungnya proses pemijahan (Laevastu dan Hayes, 1981).

Secara umum SPL cenderung meningkat dan diatas suhu optimum untuk penangkapan, diikuti dengan meningkatnya CPUE. Seperti halnya hubungan klorofil-a dengan CPUE, hubungan SPL dengan CPUE juga tidak terlalu

berpengaruh. Namun, berdasarkan kisaran suhu optimum, hubungan SPL dengan CPUE dapat dikatakan bahwa upaya penangkapan optimal dilakukan pada musim T-B dan musim barat.

Gambar 12. Hubungan SPL dengan CPUE periode Januari 2006 hingga Desember 2010

Secara musiman memperlihatkan bahwa SPL pada kisaran 29,9-31 0C terjadinya peningkatan CPUE (Gambar 13). Hal ini mengindikasikan bahwa SPL pada kisaran tersebut adalah kisaran SPL yang baik untuk melakukan

penangkapan ikan.

2006 2007 2008 2009 2010

(43)
(44)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Variasi nilai konsentrasi klorofil-a di wilayah pantai barat-selatan NAD dari citra satelit MODIS tahun 2006 – 2010 membentuk pola yang sama setiap tahun. Pola tersebut yaitu pada musim T-B terlihat naik hingga tertinggi pada musim barat kemudian terjadi penurunan pada musim B-T hingga terendah pada musim timur. Konsentrasi klorofil-a di pantai barat-selatan NAD cukup tinggi di wilayah pesisir pantai dan semakin menurun di perairan lepas pantai. Hal ini terjadi karena banyaknya masukan zat hara (runoff) dari sungai-sungai yang bermuara di perairan tersebut.

Variasi SPL di wilayah penelitian juga memiliki pola yang hampir sama setiap tahun, dimana mulai meningkatnya SPL pada musim barat hingga musim B-T dan musim timur, kemudian terjadi penurunan tingkat SPL pada musim T-B. Namun pada tahun 2010 mengalami kenaikan dan penurunan SPL yang sinifikan, dan pada tahun 2007 juga mengalami penurunan yang signifikan.

Hubungan konsentrasi klorofil-a dengan CPUE dan SPL memperlihatkan tidak adanya pengaruh yang signifikan, hal ini dikarenakan perhitungan CPUE dilakukan untuk semua jenis ikan herbivora dan karnivora. Namun, berdasarkan kisaran klorofil-a, SPL, dan CPUE dapat dikatakan bahwa pada konsentrasi klorofil-a kisaran 0,26-0,29 mg/m3, dan SPL pada kisaran 29,9-31 0C adalah kondisi yang baik untuk melakukan penangkapan.

(45)

5.2 Saran

(46)

MENGGUNAKAN DATA SATELIT AQUA MODIS

DI PANTAI BARAT-SELATAN

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

HERU FEGIAN ARAFAT

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(47)

VARIASI DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL

KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT

MENGGUNAKAN DATA SATELIT AQUA MODIS

DI PANTAI BARAT-SELATAN NANGGROE ACEH

DARUSSALAM

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

C54060006

(48)

Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis di Pantai Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat variasi distribusi klorofil-a dan SPL yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan. Variasi distribusi klorofil-a dan SPL tersebut menggunakan data Satelit Aqua-MODIS periode Januari 2006 hingga Desember 2010 dan Data Statistik Perikanan Tangkap Propinsi NAD. Data satelit tersebut diperoleh situs

software SeaDas 10.04 Ubuntu dan dioverlay menggunakan software ArcGIS 9.3,

sedangkan data statistik perikanan tangkap digunakan untuk melihat nilai CPUE dengan menggunakan Microsoft Excel 2007.

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi klorofil-a selama 5 tahun di pantai Barat-Selatan NAD bervariasi namun cenderung menurun, kisaran konsentrasi klorofil-a adalah 0.15-0.45 mg/m3. Variasi distribusi konsentrasi klorofil-a ini tidak terlepas dari suplai nutrien yang berasal dari daratan ke perairan laut melalui sungai. Pada musim barat konsentrasi klorofil-a paling tinggi setiap tahun

dibanding musim-musim lain, hal ini diduga karena curah hujan yang tinggi pada musim ini mengakibatkan suplai nutrien lebih banyak. Sedangkan pada saat musim timur konsentrasi klorofil-a paling rendah, hal ini diduga karena adanya pengaruh musim kemarau. Secara spasial, konsentrasi klorofil-a menyebar dari pantai hingga lepas pantai, namun di daerah pantai kandungan klorofil-a lebih tinggi di bandingkan di daerah lepas pantai.

Sementara itu, SPL juga bervariasi namun cenderung hangat dan terlihat meningkat pada tahun 2010, kisaran SPL adalah 28.7-31.9 °C. Nilai rata-rata bulanan SPL terlihat memiliki variasi yang hampir sama setiap tahun yaitu mulai meningkatnya SPL pada musim barat hingga musim B-T dan musim timur, kemudian terjadi penurunan tingkat SPL pada musim T-B. Namun pada tahun 2010 mengalami kenaikan dan penurunan SPL sedangkan pada tahun 2007 hanya mengalami penurunan SPL. Variasi SPL ini dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau, serta anomali cuaca seperti Dipole Mode. Secara keseluruhan SPL di pantai Barat-Selatan ini berada di atas 270C yang mengidikasikan bahwa daerah dengan tingkat SPL hangat.

(49)

© Hak cipta milik HERU FEGIAN ARAFAT, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

(50)

MENGGUNAKAN DATA SATELIT AQUA MODIS

DI PANTAI BARAT-SELATAN

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Heru Fegian Arafat

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(51)

Judul skripsi : VARIASI DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT MENGGUNAKAN DATA SATELIT AQUA MODIS DI PANTAI BARAT-SELATAN NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama Mahasiswa : Heru Fegian Arafat Nomor Pokok : C54060006

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

NIP. 19561103 198503 1 003 Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA

Mengetahui,

NIP. 19580909 198303 1 003 Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc.

(52)

karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Variasi Distribusi Spasial dan Temporal Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis di Pantai

Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam ” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut:

1. Ayah, ibu, dan adek tercinta yang selalu memberikan semangat dan do’a yang tidak pernah putus.

2. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan motivasi kepada penulis.

3. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji. 4. Dr. Henry M. Manik, Spi, MT selaku ketua program studi.

5. National Aeronatic Space Agency (NASA) yang telah menyediakan data Citra Satelit Aqua MODIS (data klorofil-a dan suhu permukaan laut).

6. Seluruh keluarga besar ITK 43. 7. Teman-teman sebimbingan.

8. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kelautan.

Bogor, April 2012

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Amri, K. 2002. Hubungan Kondisi Oseanografi (SPL, Klorofil-a dan Arus) dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonymous. 2011. Kondisi Geografis Aceh.

Anonymous. 2011. Peluang dan Tantangan Kelautan dan Perikanan Aceh.

http://hamdani75.wordpress.com

Anonymous. 2011. Kendala Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Tangkap. (21 Juni 2011).

Juni 2011).

Arinardi, O. H., Trimianiungsih, dan Sudirjo. 1994. Pengantar Tentang Plankton serta Kisaran Kelimpahan dan Plankton Predominan di Sekitar Pulau Jawa dan Bali. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta

Basmi, J. 1999. Planktonologi : Bioteknologi Plankton Algae. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

BMKG (Badan Meteorologi klimatologi dan geofisika). 2010. Pergeseran Awal Musim Kemarau 2010 Berdasarkan Monitoring Elnino dan Lanina, Suhu Perairan Indonesia dan Dipole Mode. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.

Curran, P. J. 1985. Principles of Remote Sensing. John Wiley & Sons. New York. Davis, C. C. 1955. The marine of freshwater plankton. Michigan State University

Press USA. Michigan.

Devlin, R. M. 1969. Plant physiology. Edisi kedua. Van Nostrand Reinhold Company. New York.

Dring, M. J. 1990. Ligght harvesting and pigments composition in marine phytoplankton and makroalgae. In Light and lifein the sea. P.J. Herring, A.K. Campbell, M. Witfield, and L. Maddock, (eds). Cambridge

University Press. Cambridge.

Gaol, J. L. 1997. Pengkajian Kualitas Pantai Utara Jawa dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat-TM : Hubungan Radiasi Spektral dengan Konsentrasi Klorofil-a dan Muatan padatan Tersuspensi. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Geider, R. J. dan Bruce A. Osborne. 1992. Algae photosynthesis: the

measurement of algal gas exchange . Current Phycology 2. Routledge, Chapman & Hall, Inc. New York.

(54)

Graham, S. 2005. Aqua Project Science. From The World Wide Web:

Hasyim, B. 2004. Penerapan Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) untuk Mendukung Usaha Peningkatan Produksi dan Efisiensi Operasi Penangkapan Ikan [Laporan Ilmiah]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hatta, M. 2001. Sebaran Klorofil-a dan Ikan Pelagis: Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hendiarti, N. 2003. Investigation on Ocean Colour Control Remote Sensing in Indonesia Water Using SeaWiFS. PhD Thesis. The Faculty of

Mathematics and Natural Science. University Rostock. Rostock. Hutabarat, S. dan SM. Evans.1984. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta. IOCCG. 2000. Remote Sensing of Ocean Color in Coastal, and Other

optically-Complex Water. Sathyendranath, S.(ed), Reports of the International Ocean Colour Coordinating Group, No.3. IOCCG, Darthmouth, Canada. Laevastu, T. dan Hayes M. L. 1981. Fisheries Oseanography and Ecology.

Fishing News(Books) Ltd. London.

Lo, C. P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Maccherone, B. 2005. About MODIS. From The World Wide Web:

McClain, C and Feldmen, G. 2004 MODIS/Aqua Avaluations. NASA Ocean Color Research Team Meeting. April 14-16, 2004. Washingtong, DC. Retrived Oktober 4, 2005. 03 : 40 PM. From the World Wide Web :

Mukhtar. 2010. Pengertian Daerah Penangkapan Ika

2010)

Muklis. 2008. Pemetaan Daerah penangkapan Ikan Cakalang Dan Tongkol Di Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mustafa, J. A. 2004. MODIS Mengamati Lingkungan Global dari Angkasa. Desember 2005).

(55)

Nontji, A. 1977. Distribution of Chlorophyll-a in Banda Sea by the end of Upwelling Season. Jurnal Penelitian laut Indonesia. 14 : 43-47. Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk

Jakarta Serta kaitannya Dengan Faktor-faktor Lingkungan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Oseanologi. Jakarta

Nybakken. dan James W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Ahli bahasa oleh M. Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo. Gramedia. Jakarta

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. Philadelphia.

O’Reilly, J. E. and 24 co-authors. 2000. Ocean colour chlorophyll a algorithms for SeaWiFs, OC2, and OC4: version 4 ; SeaWiFS postlaunch calibration and validation analyses, part 3. NASA Tech. Memo. 2000-206892, vol. 11, S.B. Hooker and E.R. Firestone, Eds., NASA Goddard Space Flight Center, Greenbelt, Maryland, 9-23. From The Worl Wide Web:

Prihartato, P. K. 2009. Studi Variabilitas Konsentrasi Klorofil-a dengan

Menggunakan Data Satelit AQUA-MODIS dan SeaWiFS Serta Data In Situ di Teluk Jakarta. Skripsi.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Priyanti dan Hasyim B. 1999. Analisis Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Kaitannya dengan lokasi Penangkapan Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta 14 April 1999. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta. Hal : 22-46 Putro, S. M. E. 2002. Studi Daerah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) Kapal

Purse Seine di Perairan Utara Laut Jawa [Laporan Ilmiah]. Semarang: Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.

Rachmawati, R. 1999. Struktur Komunitas Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur Hara N dan P di Daerah Inlet Waduk Ir. H. Juanda, Jawa Barat. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(56)

Reynolds, C. S. 1990. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge.

Romauli, D. N. S. 2009. Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta Dengan Citra Satelit Landsat. Skripsi.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Safrudin dan Zainuddin M. 2008. Prediksi Daerah penangkapan Ikan Cakalang Berdasarkan Kondisi oseanografi di Perairan Kabupaten Takalar dan Sekitarnya. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Sediadi, A. dan Edward. 2000. Kandungan Klorofil-a Fitoplankton di Perairan Pulau-pulau Lease Maluku Tengah [Laporan Ilmiah]. Puslitbang oseanologi-LIPI, Jakarta.

Sujoko, Juhadi, Yudanti, W.S. 2002. Utilizing Satellite Images to Locate Fishing Ground, hal 450-453. In The Sixth pan Ocean Remote Sensing Conference (PORSEC), 3-6 September 2002, Bali, Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, dan M. K. Moosa. 1997. The Ecology of The

Indonesian Seas. Part 2. Periplus. Jakarta.

(57)

LAMPIRAN

(58)

Lampiran 1. Nilai rata-rata bulanan Klorofil-a (mg/m³) dari tahun 2006 hingga 2010

Bulan/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

jan 0,3175973 0,3311344 0,314887 0,3111952 0,396306 feb 0,2831 0,3279823 0,3513205 0,3160231 0,3615762 mar 0,2887884 0,4797429 0,3257643 0,3258086 0,2631781 apr 0,3561515 0,3827878 0,2811971 0,2310254 0,2294776 may 0,2935379 0,3633383 0,2064758 0,248675 0,2037466 jun 0,2717954 0,2555573 0,2624352 0,2422264 0,2320974 jul 0,2289949 0,2088336 0,2862478 0,2408343 0,1781848 aug 0,2213374 0,2778871 0,2304782 0,1812128 0,1535936 sep 0,2893376 0,2738138 0,2793261 0,2929996 0,1542533 oct 0,3443986 0,3866014 0,2633325 0,236019 0,359675 nov 0,3786434 0,3218968 0,3470165 0,3163671 0,1831977 dec 0,5214189 0,4021429 0,501522 0,3382431 0,2426193 Lampiran 2. Nilai rata-rata musiman Klorofil-a (mg/m³) dari tahun 2006 hingga

2010

Bulan/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

(59)

Lampiran 3. Nilai rata-rata bulanan SPL (˚C ) dari tahun 2006 hingga 2010

Bulan/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

Jan 29.7043736 29.819488 29.6923382 29.982097 30.30249 Feb 30.3028607 30.463705 30.3676811 30.13073 30.94213 Mar 30.7719144 30.900006 29.972781 30.703163 31.11531 Apr 30.7774221 30.945276 30.6307394 30.987973 31.06907 May 31.1293105 30.829706 30.7314739 30.675695 31.87091 Jun 30.8986914 30.821039 30.6796361 31.286331 31.22152 Jul 30.1185613 30.380644 30.3793355 30.964487 30.93612 Aug 30.7829535 30.287754 30.6868959 30.845047 31.30686 Sep 29.9710662 30.654355 30.3349634 30.301037 30.41778 Oct 29.4140025 28.701017 29.8708392 30.483418 30.9964 Nov 29.4870558 29.104019 29.8925518 30.127289 29.1581 Dec 29.471278 29.60135 29.316037 29.89952 29.89536

Lampiran 4. Nilai rata-rata musiman SPL (˚C ) dari tahun 2006 hingga 2010

Bulan/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

(60)

Lampiran 5. Nilai rata-rata CPUE (kg/trip) permusim dari tahun 2006 hingga 2010

Musim/Tahun 2006 2007 2008 2009 2010

Barat 16,739513 20,6054 22,4521 20,2837 24,0192 B-T 18,226226 22,8238 21,3774 26,9912 26,7436 Timur 16,910332 21,9907 24,4857 24,9856 27,0253 T-B 18,698181 23,8704 26,272 35,5535 28,40228 Tahun 2006

Musim Produksi (ton) Kapal (trip) CPUE (ton/trip) CPUE (kg/trip)

Barat 12357,20 738205,5 0,016739512 16,739513

Peralihan B-T 13454,70 738205,5 0,018226226 18,226226

Timur 12483,30 738205,5 0,016910332 16,910332

peralihan T-B 13803,10 738205,5 0,018698181 18,698181 total tahun 2006 52098,40 2952822 0,017643597 17,643597 Tahun 2007

Musim Produksi (ton) Kapal (trip) CPUE (ton/trip) CPUE (kg/trip)

Barat 12955,1 628725 0,0206054 20,6054

peralihan B-T 14349,9 628725 0,0228238 22,8238

Timur 13826,1 628725 0,0219907 21,9907

Peralihan T-B 15007,9 628725 0,0238704 23,8704 total tahun 2007 56139,0 2514900 0,0223226 22,3226 Tahun 2008

Musim Produksi (ton) Kapal (trip) CPUE (ton/trip) CPUE (kg/trip)

Barat 14278,4 635950,5 0,0224521 22,4521

peralihan B-T 13595,0 635950,5 0,0213774 21,3774

Timur 15571,7 635950,5 0,0244857 24,4857

peralihan T-B 16707,7 635950,5 0,026272 26,272 total tahun 2008 60152,8 2543802 0,0236468 23,6468 Tahun 2009

Musim Produksi (ton) Kapal (trip) CPUE (ton/trip) CPUE (kg/trip)

Barat 12681,7 625215,5 0,0202837 20,2837

Peralihan B-T 16875,3 625215,5 0,0269912 26,9912

Timur 15621,4 625215,5 0,0249856 24,9856

peralihan T-B 22228,6 625215,5 0,0355535 35,5535 total tahun 2009 67407,0 2500862 0,0269539 26,9539 Tahun 2010

Musim Produksi (ton) Kapal (trip) CPUE (ton/trip) CPUE (kg/trip)

Barat 14517,8 604425,5 0,0240192 24,0192

peralihan B-T 16164,52 604425,5 0,0267436 26,7436

Timur 16,334,8 604425,5 0,0270253 27,0253

(61)

Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut Menggunakan Data Satelit Aqua Modis di Pantai Barat-Selatan Nanggroe Aceh Darussalam. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat variasi distribusi klorofil-a dan SPL yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui daerah potensial penangkapan ikan. Variasi distribusi klorofil-a dan SPL tersebut menggunakan data Satelit Aqua-MODIS periode Januari 2006 hingga Desember 2010 dan Data Statistik Perikanan Tangkap Propinsi NAD. Data satelit tersebut diperoleh situs

software SeaDas 10.04 Ubuntu dan dioverlay menggunakan software ArcGIS 9.3,

sedangkan data statistik perikanan tangkap digunakan untuk melihat nilai CPUE dengan menggunakan Microsoft Excel 2007.

Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi klorofil-a selama 5 tahun di pantai Barat-Selatan NAD bervariasi namun cenderung menurun, kisaran konsentrasi klorofil-a adalah 0.15-0.45 mg/m3. Variasi distribusi konsentrasi klorofil-a ini tidak terlepas dari suplai nutrien yang berasal dari daratan ke perairan laut melalui sungai. Pada musim barat konsentrasi klorofil-a paling tinggi setiap tahun

dibanding musim-musim lain, hal ini diduga karena curah hujan yang tinggi pada musim ini mengakibatkan suplai nutrien lebih banyak. Sedangkan pada saat musim timur konsentrasi klorofil-a paling rendah, hal ini diduga karena adanya pengaruh musim kemarau. Secara spasial, konsentrasi klorofil-a menyebar dari pantai hingga lepas pantai, namun di daerah pantai kandungan klorofil-a lebih tinggi di bandingkan di daerah lepas pantai.

Sementara itu, SPL juga bervariasi namun cenderung hangat dan terlihat meningkat pada tahun 2010, kisaran SPL adalah 28.7-31.9 °C. Nilai rata-rata bulanan SPL terlihat memiliki variasi yang hampir sama setiap tahun yaitu mulai meningkatnya SPL pada musim barat hingga musim B-T dan musim timur, kemudian terjadi penurunan tingkat SPL pada musim T-B. Namun pada tahun 2010 mengalami kenaikan dan penurunan SPL sedangkan pada tahun 2007 hanya mengalami penurunan SPL. Variasi SPL ini dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau, serta anomali cuaca seperti Dipole Mode. Secara keseluruhan SPL di pantai Barat-Selatan ini berada di atas 270C yang mengidikasikan bahwa daerah dengan tingkat SPL hangat.

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian
Gambar 2.  Diagram Alir Pegolahan Data
Gambar 3. Nilai rata-rata Bulanan Konsentrasi Klorofil-a di Pantai Barat-Selatan NAD dari Januari 2006 hingga Desember 2010
Gambar 4. Distribusi Klorofil-a rata-rata bulanan tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada awal musim timur (bulan Juni) sebaran ATPL mulai menurun di perairan selatan Jawa ke arah laut namun di barat Sumatera masih terlihat ATPL yang tinggi, seiring

Tangkapan Nelayan perkuat dengan nilai probabilitas hasil uji statistik t elayan, nilainya pada bulan Juni 2012 sebesar 0,03, bulan Juli 2012 sebesar 0,049, dan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Sebaran Spasial Cumi-cumi (Loligo Spp.) dengan Variabel Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Data Satelit MODIS AQUA di Selat