• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae)."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA

Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)

MIA NURATNI YANTI RACHMAN A351080051

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae) ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Mia Nuratni YR

(3)

ABSTRACT

MIA NURATNI YANTI RACHMAN. The Biology and Predation Rate of Predatory Mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), on Its Prey

Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Supervised by SUGENG SANTOSO and PUDJIANTO

Predatory mite, Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae), is a potensial predator of a polyphagous spider mite, Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Research was conducted to study the biological characteristics of N. longispinosus, including the life table, life cycle, fecundity,functional response, numerical response, prey prefference, and the ability of individual predatory mite in suppressing the prey population. The study revealed that the life cycle of N. longispinosus was short, i. e. 3.23 days. The oviposition period was 8.76 days with maximum daily egg production was 4 eggs/female/day when the predatory mite was 6 days old. When fed with T. kanzawai, the intrinsic rate of increase (rm) of N. longispinosus was 0.44, mean

generation time (T) was 4.05 days, and ner reproduction rate (R0) was 24.96

(4)

RINGKASAN

MIA NURATNI YANTI RACHMAN. Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Evans (Acari: Phytoseiidae) pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae). Dibimbing oleh SUGENG SANTOSO dan PUDJIANTO.

Tetranychus kanzawai Kishida termasuk dalam famili Tetranychidae dan merupakan spesies tungau hama yang sering menimbulkan kerugian secara ekonomis. Salah satu pengendalian tungau hama Tetranychidae adalah pemanfaatan tungau predator. Neoseiulus longispinosus merupakan agen hayati potensial untuk pengendalian tungau Tetranychidae. Tungau predator tersebut adalah predator lokal Indonesia yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat biologi dan potensi tungau predator N. longispinosus pada tungau hama T. kanzawai.

Neraca hayati merupakan salah satu percobaan yang dilakukan untuk mengetahui biologi tungau predator N. longispinosus. Sedangkan potensi predasi diketahui dengan melakukan percobaan tanggap fungsional, tanggap numerik, preferensi mangsa, kemampuan menekan populasi mangsa oleh individu betina, dan potensi pemangsaan predator selama masa perkembangan pradewasa. Data neraca hayati dianalisis dengan rumus parameter demografi. Tanggap fungsional diuji dengan fungsi polinom yang akan membedakan tanggap fungsional tipe II dan III. Sementara parameter lainnya dianalisis menggunakan excel dan SPSS.

Hasil analisis data neraca hayati menunjukkan bahwa N. longispinosus

memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa

populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm adalah 0.44

betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas λ sebesar 1.55 betina/betina/hari. Distribusi sebaran umur N. longispinosus memperlihatkan bahwa sebagian besar populasi sekitar 83.78% merupakan populasi pradewasa dan siasnya 16.22% adalah populasi dewasa.

Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa realtif singkat yaitu 3.23 hari. Waktu tersebut merupakan waktu yang paling singkat karena pada umumnya tungau predator Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan selama 4 hari. Masa oviposisi lebih singkat yaitu 8.76 hari namun keperidian yang diperoleh lebih tinggi. Nilai keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir telur.

N. longispinosus memiliki kurva sintasan tipe I. Hal ini menandakan bahwa tingkat kematian N. longispinosus yang tinggi dialami saat N. longispinosus berumur tua. Mortalitas mulai terjadi saat imago N. longispinosus

(5)

berumur 3 hari. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir.

Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa. Sebagian besar imago N. longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T. kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur.

N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai memiliki tanggap fungsional tipe III. Tanggap fungsional tipe III ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa. Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama sehingga N. longispinosus berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien.

Tanggap numerik N. longispinosus yang diberikan mangsa T. kanzawai

menunjukkan model respons langsung. Model respons langsung merupakan model yang menunjukkan dimana populasi predator akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mangsa.

Kemampuan individu imago betina tungau predator N. longispinosus

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR Neoseiulus longispinosus Evans (ACARI: PHYTOSEIIDAE) PADA TUNGAU HAMA

Tetranychus kanzawai Kishida (ACARI: TETRANYCHIDAE)

MIA NURATNI YANTI RACHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Biologi dan Potensi Predasi Tungau Predator Neoseiulus longispinosus (Acari: Phytoseiidae)

pada Tungau Hama Tetranychus kanzawai Kishida (Acari: Tetranychidae)

Nama : Mia Nuratni Yanti Rachman

NRP : A 351080051

Program Studi : Entomologi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr. Dr. Ir. Pudjianto, MSi

Ketua anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sugeng Santoso, MAgr dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi selaku pembimbing. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Wawan, teman-teman Entomologi 2008 (Yani, bang Dedi, kak Kiki, pak Umbu, mbak Nella, mbak Rika, pak Gatot, pak Aser), Nia, Putri, dan teman-teman Wisma Bintang (Nahrin dkk) yang membantu penulisan tesis baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Papa, Mama, suami serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas beasiswa pascasarjana yang diperoleh.

Bogor, Juli 2011

Mia Nuratni YR

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 23 September 1982 dari ayah H. Taufik Rachman dan ibu Hj. Fatmah AF. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bekasi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Pada tahun 2006, penulis menamatkan sarjana.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………... i

DAFTAR GAMBAR……….. ii

PENDAHULUAN………... 1

Latar belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Tungau Merah Tetranychus kanzawai ... 3

Karakter Morfologi ... 3

Bioekologi ... 3

Tungau Predator Famili Phytoseiidae ... 4

Tungau Predator Neoseiulus longispinosus ... 6

Karakter Morfologi ... 6

Bioekologi ... 8

Neraca Hayati……… .. 9

Tanggap Fungsional………. 10

Tanggap Fungsional Tipe I ... 11

Tanggap Fungsional Tipe II ... 12

Tanggap Fungsional Tipe III ... 13

Tanggap Numerik……… 13

Preferensi Mangsa……… 14

BAHAN DAN METODE ... 17

Waktu dan Tempat ... 17

Metode Penelitian ... 17

Pemeliharaan Tungau ... 17

Neraca Hayati Tungau Predator N.longispinosus ... 18

Preferensi Mangsa ... 19

Tanggap Fungsional……… 20

Tanggap Numerik……… 21

Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator……….. . 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Neraca Hayati ... 23

Siklus Hidup dan Perkembangan ... 25

Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian ... 28

Preferensi Stadia Mangsa ... 30

Tanggap Fungsional ... 31

(12)

Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Betina Predator

N.longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai 36

PEMBAHASAN UMUM ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Statistik demografi N. longispinosus... 24 2. Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus

pada persebaran umur stabil ... 25 3. Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang

dibiakkan pada T. kanzawai ... 27 4. Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa

T. kanzawai yang mangsa N. longispinosus ... 31 5. Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa

yang dimangsa N.longispinosus………. 33

6. Rataan predasi, produksi telur predator

dan ratio predator:mangsa………. 35 7. Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir

pengamatandi laboratorium……… 38 8. Jumlah kumulatif stadia predator yang ditemukan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tetranychus kanzawai ... 3

2. Bagian dorsal Phytoseiidae ... 5

3. Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus ... 7

4. Tipe pola kawin N.longispinosus……… 8

5. N. longispinosus………. 9

6. Grafik tanggap fungsional tipe I……… 12

7. Grafik tanggap fungsional tipe II……….. 12

8. Grafik tanggap fungsional tipe III………. 13

9. Potongan daun ubi kayu………. 17

10. Sintasan dan rata-rata jumlah telur harian tungau predator……… 29

11. Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam………. 31

12. Kurva tanggap fungsional………... 33

13. Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus………... 34

14. Laju rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa berbeda………. 36

15. Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator……….. 37

(15)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Salah satu famili tungau yang menjadi pusat perhatian dalam pertanian

adalah Tetranychidae. Sebagian besar spesies famili Tetranychidae merupakan

hama yang bersifat polifag (Kalshoven 1981; Walter & Proctor 1999; Zhang

2003). Tetranychus kanzawai Kishida merupakan salah satu spesies famili

Tetranychidae yang sangat merusak dan bersifat kosmopolit (Walter & Proctor

1999; Zhang 2003; Kasap 2005). Tungau ini dapat dijumpai di berbagai belahan

dunia dan menyerang lebih dari 100 spesies tanaman termasuk tanaman pertanian

dan tanaman hias (Zhang 2003). Tanaman yang terinfestasi T. kanzawai akan

memiliki gejala seperti berikut: permukaan bawah daun berwarna perak

kekuningan sampai kecoklatan, jaring-jaring menutupi daun dan batang serta

kering dan mati bila populasi tungau sangat padat (Zhang 2003).

Pengendalian hayati merupakan salah satu pengendalian yang dilakukan

untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh T. kanzawai. Pengendalian hayati

menggunakan musuh alami T. kanzawai seperti tungau predator dari famili

Phytoseiidae, sudah dilakukan di beberapa Negara. Beberapa tungau predator

bahkan telah dibiakkan secara komersial (Driesche & Bellows 1996; Zhang 2003).

Phytoseiulus persimilis dan Amblyseius californicus merupakan contoh spesies

yang telah diproduksi secara komersial (Luz 2003; Cakmak et al. 2004). Di

Indonesia, Yulianah (2008) melaporkan adanya tungau predator yang berasosiasi

dengan T. kanzawai pada tanaman stroberi di Cisarua dan Lembang. Tungau

predator yang ditemukan oleh Yulianah (2008) termasuk famili Phytoseiidae,

spesies Amblyseius longispinosus.

Neoseiulus (Amblyseius) longispinosus merupakan tungau predator lokal

Indonesia. Tungau predator ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun

1952, dan dilaporkan berasosiasi dengan Tetranychus bimaculatus pada tanaman

ubi kayu (Evans 1952). N. longispinosus mudah dijumpai pada tanaman yang

terinfestasi tungau Tetranychidae. Hal tersebut berkaitan dengan preferensi

mangsa dan tipe predator N. longispinosus yangtermasuk dalam tipe predator II,

(16)

Kongchuensin et al. 2006). Kelimpahan N. longispinosus relatif tinggi berkaitan

dengan karakter spesies ini yang dapat digunakan sebagai agens hayati tungau

Tetranychidae. Oleh karena itu, potensi N. longispinosus sebagai agens hayati

tungau Tetranychidae di Indonesia relatif tinggi.

Beberapa negara di Asia seperti Thailand, Philipina dan Taiwan telah

mempelajari dan memanfaatkan N. longispinosus sebagai agens hayati

pengendalian tungau. Sebaliknya, pengetahuan biologi dan ekologi tentang N.

longispinosus di Indonesia masih minim, padahal peluang penggunaan N.

longispinosus sebagai agens hayati cukup tinggi. Oleh karena itu, faktor-faktor

yang berkaitan dengan bioekologi predator ini perlu dipelajari untuk mengetahui

potensi tungau predator N. longispinosus dalam pengendalian tungau T. kanzawai

di Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) mengetahui pertumbuhan dan

perkembangan tungau predator N. longispinosus yang meliputi neraca hayati,

lama hidup, dan fekunditas; (2) preferensi mangsa; (3) tanggap fungsional; (4)

tanggap numerik tungau predator; dan (5) kemampuan individu imago betina N.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tungau Merah Tetranychus kanzawai Karakter Morfologi

Siklus hidup T. kanzawai terdiri dari telur, larva, nimfa (protonimfa dan

deutonimfa) dan dewasa. Telur umumnya diletakkan pada permukaan bawah

daun tapi terkadang juga pada permukaan atas daun bila populasi T. kanzawai

berlimpah. Telur berbentuk bulat seperti bola dan saat baru diletakkan berwarna

putih bening. Larva dan nimfa berwarna hijau kekuningan dengan bintik gelap

pada bagian dorsolateral idiosoma seperti pada gambar 1 (Ehara 2002). Tungau

dewasa umumnya berwarna merah atau merah kekuningan (Ehara 2002). Warna

tubuh imago T. kanzawai terkadang dipengaruhi oleh tanaman inangnya. Tungkai

berwarna kekuningan. Betina dewasa berukuran sekitar 400-500 µm dan jantan

dewasa lebih kecil dengan hysterosoma yang meruncing. Imago T. kanzawai

jantan memiliki knob yang besar pada aedeagus (Zhang 2003).

Gambar 1 Tetranychus kanzawai (a, pradewasa; b, dewasa; sumber Ehara, 2002)

Bioekologi

T. kanzawai pertama kali ditemukan pada tanaman murbei di Jepang

(Kishida 1927). Walter & Proctor (1999) menyatakan bahwa sebelum perang

dunia II, tungau ini merupakan hama sekunder. Penggunaan pestisida kimiawi

secara intensif menyebabkan perubahan status pada spesies ini.

Spesies tungau ini bersifat kosmopolit dan dapat dijumpai hampir di

seluruh belahan dunia. T. kanzawai merupakan spesies tungau hama yang cukup

terkenal di Asia. Tungau ini mudah dijumpai pada pertanaman teh sehingga

(18)

dikenal juga sebagai tungau merah teh. Selain itu, T. kanzawai dapat menyerang

lebih dari 100 spesies tanaman. Pada umumnya tungau ini mudah dijumpai di

lapangan, namun juga menjadi hama pada pertanaman dalam rumah kaca seperti

anggur, stroberi, dan lain-lain.

Gejala kerusakan yang diakibatkan oleh tungau hama ini bervariasi

tergantung jenis tanamannya. Nekrotik merupakan gejala yang pasti terjadi pada

daun yang terserang tungau hama ini, kemudian daun tersebut mengering.

Populasi tungau yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian tanaman.

Populasi T. kanzawai dapat meningkat dalam waktu yang cepat. Hal ini

berkaitan dengan waktu perkembangan T. kanzawai yang singkat, yaitu berkisar

12-19 hari pada suhu 20-25°C (Zhang 2003). Keberhasilan hidup sampai tahap

imago dapat mencapai 80 %. Nisbah kelamin bersifat female biased dengan nilai

1:3. Imago betina memiliki lama hidup yang lebih panjang dibandingkan imago

jantan. Tingkat fekunditas bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu. Satu imago

betina dapat bertelur sebanyak 28-76 butir pada kisaran suhu 15-30°C (Zhang

2003).

Tungau Predator Famili Phytoseiidae

Kelompok tungau predator yang banyak digunakan sebagai agens

pengendali hama tanaman berasal dari famili Phytoseiidae. Selain memakan

tungau fitofag, tungau predator famili Phytoseiidae juga memakan serangga kecil

yang berada di tanaman. Beberapa spesies juga memakan nematoda, spora

cendawan, polen, dan eksudat tanaman.

Famili Phytoseiidae memiliki tiga subfamili yaitu Amblyseiinae,

Phytoseiinae, dan Typhlodrominae. Spesies tungau yang telah dikembangkan

secara komersial adalah genera Neoseiulus dan Phytoseiulus yang termasuk dalam

subfamili Amblyseiinae dan Phytoseiinae (Zhang 2003).

Siklus hidup tungau predator terdiri dari telur, larva, protonimfa,

deutonimfa, dan imago. Telur memiliki bentuk oval memanjang dan berwarna

bening. Kelembapan yang tinggi yaitu berkisar 90-100%, dibutuhkan untuk

penetasan telur. Perilaku makan larva berbeda untuk beberapa spesies. Beberapa

(19)

beberapa spesies membutuhkan makanan untuk perkembangannya. Pada

umumnya perkembangan tungau predator lebih cepat dibandingkan dengan

tungau Tetranychus sp. Sebagian besar tungau predator membutuhkan waktu

sekitar satu minggu untuk perkembangannya. Beberapa spesies Phytoseiulus

bahkan dapat menyelesaikan siklus hidupnya dalam waktu 4 hari.

Famili Phytoseiidae bersifat pseudo-arrhenotokous, yaitu menghasilkan

keturunan jantan haploid dari telur yang dibuahi yang akan kehilangan genom

induk pada awal perkembangan (Walter & Proctor 1999). Oleh karena itu,

kopulasi sangat penting dalam reproduksi. Nisbah kelamin jantan:betina adalah

1:3 (Zhang 2003). Watson (2008) menjelaskan bahwa secara morfologi

perbedaan antara tungau betina dan jantan terletak pada bagian lapisan pelindung

ventral. Tungau jantan hanya memiliki satu lapisan ventral sedangkan tungau

betina memiliki tiga lapis pelindung, yaitu sternal, genital dan anal.

Seta merupakan salah satu unsur dalam klasifikasi tungau. Beberapa

peneliti memiliki penamaan letak seta pada idiosoma dorsal tungau. Pada gambar

2, Zhang (2003) mendeskripsikan ciri khas pada famili Phytoseiidae yaitu

idiosoma bagian dorsal memiliki tidak lebih dari 24 pasang seta dan pada bagian

J1, J3, serta J4 tidak terdapat seta.

Salah satu ciri khas tungau predator adalah pergerakannya yang cepat. Hal

tersebut disebabkan oleh tungkai tungau predator yang relatif panjang. Olfaktori

sangat berguna dalam pencarian mangsa sehingga tungau predator dapat

mengetahui tanaman yang terinfestasi oleh tungau fitofag (Boom et al. 2002;

Zhang 2003, Nachappa 2008 ).

(20)

Tungau Predator Neoseiulus longispinosus Karakter Morfologi

N. longispinosus termasuk dalam famili Phytoseiidae, ordo Mesostigmata.

Gerson et al. (2003) menyatakan bahwa N. longispinosus sangat berhubungan

dekat dengan N. womersleyi secara biosistematika. Penampakan morfologi secara

kasat mata hampir sama untuk kedua predator ini. Bentuk tungau betina N.

longispinosus lebih besar dibandingkan tungau betina N. womersleyi (Gerson et

al. 2003). Zhang (2003) menambahkan bahwa N. longispinosus memiliki tekstur

seta lebih halus dan panjang pada seta S5.

Siklus hidup N. longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa,

deutonimfa dan dewasa. Telur berbentuk oval dan transparan serta berwarna

putih bening. Perubahan warna telur menjadi putih agak keruh terjadi saat

menjelang penetasan. Telur diletakkan secara individu pada permukaan bawah

daun. Stadia telur berlangsung selama 1-2 hari (Puspitarini 2005; Yulianah 2008).

Larva N. longispinosus berwarna putih dengan 3 pasang tungkai. Pada

stadia larva, predator tidak mengkonsumsi mangsa. Mobilitas larva terbilang

pasif karena cenderung lebih banyak diam. Masa stadia larva pada umumnya

relatif singkat dan biasanya hanya dalam hitungan jam.

Stadia nimfa terdiri dari protonimfa dan deutonimfa. Pada stadia ini,

predator lebih aktif dalam mobilitas dan memangsa. Nimfa berwarna putih agak

keruh dan memiliki 4 pasang tungkai. Setelah memangsa, warna nimfa berubah

menjadi putih kekuningan atau kemerahan pada bagian dorsal. Lama stadia nimfa

biasanya berlangsung selama satu hari.

Tungau dewasa memiliki banyak seta pada bagian dorsal. Lapisan dorsal

memiliki 17 pasang seta. Gambar 3 menunjukkan bahwa seluruh seta pada bagian

dorsal berukuran panjang dan berduri kecuali seta pada J1 dan S5 (Zhang 2003).

Tungau dewasa memiliki warna yang sama seperti pada stadia nimfa. Tungau

betina dewasa memiliki ukuran rata-rata sekitar 350 µm. Ukuran tungau dewasa

jantan lebih kecil dibandingkan tungau dewasa betina. Perbedaan tungau jantan

dan betina terletak pada bagian genitalia. Tungau jantan memiliki kaliks

spermateka berbentuk seperti botol. Lama hidup tungau jantan lebih pendek

(21)

Gambar 3 Bentuk dan jumlah seta pada bagian dorsal N. longispinosus (Zhang 2003)

Kopulasi terjadi ketika tungau betina menjadi dewasa. Tungau dewasa

jantan akan menunggu deutonimfa betina. Saat penantian tersebut, tungau jantan

akan menjaga area di sekeliling deutonimfa berada. Vantornhout (2006)

menyatakan bahwa detonimfa memiliki feromon seks yang dapat menarik tungau

jantan. Apabila tungau jantan lain memasuki area tersebut maka akan terjadi

pertarungan. Perilaku kawin tungau jantan N. longispinosus cukup unik (Gambar

4). N. longispinosus memiliki pola kawin tipe Phytoseiulus. Tipe Phytoseiulus

memiliki karakter saling berhadapan lalu tungau jantan akan merayap secara

(22)

Gambar 4 Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006)

Bioekologi

Neoseiulus longispinosus dilaporkan berada di Indonesia pertama kali

dengan nama Typhlodromus longispinosus (Evans 1952). Kongchuesin et al.

(2005) menyatakan bahwa populasi N. longispinosus akan melimpah pada

tanaman yang terinfestasi tungau merah dengan produksi jaring yang banyak pada

permukaan bawah daun. Predator ini banyak dijumpai pada tanaman ubi kayu

yang terinfestasi tungau Tetranychidae terutama T. kanzawai di Indonesia

(Santoso, komunikasi pribadi). Selain itu, predator ini juga ditemui pada tanaman

stroberi dan jeruk di lapangan (Puspitarini 2005; Yulianah 2008). N.

longispinosus ditemukan pada 33 spesies tanaman di Thailand (Kongchuesin et al.

(23)

Gambar 5 N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi)

N. longispinosus banyak ditemui di beberapa negara seperti di India, Cina

bagian timur, Philiphina, Indonesia, Thailand, Malaysia, Taiwan, Hawaii,

Pakistan, Papua Nugini, Australia dan New Zealand (Gerson et al. 2003;

Kongchuensin et al. 2005; Raza 2008).

Masa siklus hidup N. longispinosus dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

terutama suhu. Zhang (2003) melaporkan bahwa perkembangan N. longispinosus

berlangsung selama 5 hari pada suhu 28 °C. Penelitian Puspitarini (2005) dan

Yulianah (2008) menunjukkan hasil yang sama bahwa siklus hidup N.

longispinosus berlangsung selama 4-5 hari dalam kondisi laboratorium. Hal ini

memperlihatkan bahwa siklus hidup N. longispinosus lebih cepat dibandingkan

siklus hidup tungau Tetranychidae.

Neraca Hayati

Neraca hayati merupakan ringkasan pernyataan tentang kehidupan

individu dalam populasi atau kelompok (Price 1997). Lincoln et al. (1982)

mendefinisikan neraca hayati sebagai tabulasi data mortalitas lengkap dari

populasi terhadap umur. Neraca hayati merupakan riwayat perkembangan cohort

yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Neraca hayati berisi informasi dasar

tentang mortalitas dan kelangsungan hidup suatu populasi dalam penjelasan

statistik. Informasi tersebut diperlukan untuk mengetahui dinamika populasi

(24)

Pertumbuhan populasi suatu organisme akan dipengaruhi oleh tiga faktor

yaitu kelahiran, kematian dan migrasi. Pertumbuhan populasi positif terjadi bila

angka kelahiran lebih besar daripada angka kematian dan migrasi bernilai 0

(angka emigrasi = angka imigrasi). Apabila terjadi sebaliknya maka akan terjadi

pertumbuhan populasi negatif (Oka 1995).

Neraca hayati digolongkan menjadi dua tipe yaitu neraca hayati horizontal

yang lebih bersifat spesifik umur dan neraca hayati vertikal yang bersifat spesifik

waktu (Bellows & Van Driesche 1992). Neraca hayati horizontal meliputi

penghitungan berulang terhadap suatu kelompok (cohort) tunggal yang terdiri dari

umur individu yang sama. Data yang berasal dari suatu kejadian tunggal yang

diasumsikan bahwa semua generasinya saling lingkup dengan sempurna karena

kelas umur yang secara simultan sama, merupakan neraca kehidupan vertikal.

Parameter-parameter yang terdapat dalam neraca hayati meliputi laju

reproduktif kotor (GRR), laju reproduktif bersih (Ro), waktu generasi (T), laju

pertambahan intrinsik (r), laju pertambahan terbatas (λ) dan doubling time (DT) (Rauf dan Hidayat 1987). Parameter tersebut berisi informasi dasar seperti

keperidian, kemampuan hidup harian, nisbah kelamin dan laju pertambahan suatu

organisme dalam analisa dinamika populasi. Laju reproduktif kotor (GRR) adalah

rata-rata jumlah keturunan betina per generasi (Σ mx). Laju reproduktif bersih

(Ro) menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Waktu

generasi (T) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup

per generasi. Laju pertambahan intrinsik (r) menggambarkan laju pertambahan

populasi pada keadaan lingkungan konstan, sumber daya tak terbatas serta

kematian yang terjadi hanya disebabkan oleh faktor fisiologi (Birch 1948). Laju pertambahan terbatas (λ) menunjukkan nilai kelipatan populasi organisme per hari. Doubling time (DT) merupakan kemampuan organisme berkembang dalam

satu generasi. Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki nilai

laju pertambahan intrinsik yang berkisar dari 0.1 - 0.4 (Escudero LA & Ferragut

F. 2005; Vasconcelos et al. 2008).

(25)

Tanggap Fungsional

Keberhasilan pengendalian hayati ditentukan oleh dinamika interaksi

predator-mangsa. Perubahan jumlah mangsa dapat direspons oleh predator.

Peningkatan jumlah generasi predator (tanggap numerik) dan tingkat predasi

predator secara individu (tanggap fungsional) merupakan respon predator

terhadap perubahan jumlah mangsa (Taylor 1984).

Tanggap fungsional merupakan respon perilaku predator terhadap

perubahan jumlah mangsa dalam waktu yang relatif singkat. Keefektifan predator

atau parasitoid dapat dilihat dari tanggap fungsionalnya. Salah satu ciri predator

yang baik adalah memiliki tanggap fungsional yang tinggi.

Tanggap fungsional merupakan komponen yang sangat esensial dari

dinamika interaksi antara predator/parasitoid dan mangsa/inang serta sangat

penting untuk determinasi stabilitas dari sistem yang dikelola (Oaten & Murdoch

1975 dalam Wang & Ferro 1998). Tanggap fungsional menggambarkan

hubungan antara jumlah mangsa/inang yang dikonsumsi/diparasit per

predator/parasitoid dan kepadatan mangsa/inang (Wang & Ferro 1998; Speight

1999). Holling 1959 dalam Hassel 2000 menggolongkan tanggap fungsional

menjadi tiga tipe: linier (Tipe I), hiperbolik (Tipe II), dan sigmoid (Tipe III).

Tanggap Fungsional Tipe I

Tanggap fungsional tipe I memiliki grafik bersifat linier. Hal ini

menunjukkan hubungan yang bersifat konstan. Tingkat predasi meningkat secara

linier dengan peningkatan kepadatan mangsa, kemudian tingkat predasi menjadi

konstan setelah predator berada dalam kondisi kenyang.

Tipe I berasal dari modifikasi sederhana tanggap fungsional linier dari

persamaan Lotka-Volterra. Tipe I dijumpai pada interaksi yang stabil. Tanggap

fungsional tipe I biasa ditemukan pada predator yang bersifat pasif seperti

(26)

Gambar 6 Grafik tanggap fungsional tipe I. Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar A; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar B (Vantornhout 2006)

Tanggap Fungsional Tipe II

Tanggap fungsional tipe II memiliki grafik yang bersifat hiperbolik.

Model tipe II berasal dari persamaan cakram Holling. Tingkat predasi meningkat

seiring dengan peningkatan kepadatan mangsa secara konstan pada awalnya

hingga kepadatan mangsa maksimum. Penurunan tingkat predasi akan terjadi

secara cepat seiring meningkatnya mangsa sehingga terjadi bentuk grafik yang

hiperbolik.

Pada tanggap fungsional tipe II terdapat waktu penanganan dan laju

pemangsaan. Tanggap fungsional tipe II juga mudah ditemukan dalam kondisi

lingkungan yang stabil. Grafik tipe II umumnya ditemukan pada predator atau

parasitoid.

(27)

Tanggap Fungsional Tipe III

Tanggap fungsional tipe III memiliki grafik sigmoid. Tingkat predasi

bersifat cekung pada kepadatan mangsa rendah, tapi akan bersifat cembung pada

kepadatan mangsa tinggi. Tanggap fungsional tipe III dapat terjadi karena

pembelajaran hal baru, perubahan kemampuan, atau hal lain yang belum diketahui

yang terkadang disebut sebagai ekspresi preferensi. Sebagian besar proses

menyertai perubahan nutrisi dari satu tipe mangsa ke tipe mangsa lainnya.

Tanggap fungsional tipe III biasanya terjadi pada lingkungan sekitar kepadatan

mangsa yang seimbang. Ketika kepadatan mangsa bertambah banyak, predator

pun meningkat dan pengaruh stabilisasi lain mengakibatkan perilaku predator

hilang. Stabilitas pada sistem tanggap fungsional tipe III dipengaruhi seluruh

komponen dari biologi spesies dan interaksi antar spesies tersebut (Taylor 1984).

Grafik tipe III umumnya terdapat pada predator yang memangsa beberapa spesies

(Sharov 1996 dalam Hidrayani 2002).

Model tanggap fungsional tipe III menggambarkan bentuk grafik secara

sigmoid. Pada awalnya predasi terjadi secara lambat kemudian meningkat cepat

seiring bertambahnya kepadatan mangsa lalu tingkat predasi akan menurun pada

kepadatan mangsa yang lebih tinggi lagi hingga mencapai kejenuhan.

(28)

Tanggap Numerik

Setiap makhluk hidup membutuhkan nutrisi untuk pertumbuhan dan

perkembangannya. Sumber daya makanan yang berlimpah akan memberikan

keuntungan bagi makhluk hidup tersebut. Nutrisi makanan yang berlimpah akan

mempengaruhi tingkat reproduksi makhluk hidup dan secara tidak langsung

berkontribusi terhadap generasi berikutnya.

Peningkatan populasi mangsa dapat menyebabkan perubahan laju

penyerangan per individu predator. Selain itu, peningkatan populasi mangsa juga

dapat mengakibatkan perubahan kepadatan populasi predator. Perubahan populasi

predator ini merupakan respon atau tanggap terhadap peningkatan populasi

mangsa. Respon atau tanggap ini disebut sebagai tanggap numerik.

Tarumingkeng (1992) menguraikan mekanisme terjadinya tanggap

numerik sebagai berikut. Pertama, peningkatan populasi predator karena imigrasi

yang berasal dari daerah sekeliling. Hal ini berkaitan dengan perilaku predator

yang berkelompok dan menempati daerah-daerah dengan tingkat kerapatan

populasi predator yang tinggi. Sekelompok burung yang bergerombol di tempat

dengan kepadatan populasi belalang yang tinggi. Kedua, peningkatan populasi

predator karena peningkatan reproduksi (Ro). Waktu generasi (Ro) predator

umumnya lebih lama daripada waktu generasi (Ro) mangsa. Hal tersebut

menimbulkan penundaan dalam perubahan keterpautan kepadatan atau senjang

waktu (lag). Senjang waktu (lag) menyebabkan terjadinya peningkatan

reproduksi predator.

Tanggap numerik dibatasi oleh waktu generasi makhluk hidup tersebut.

Makhluk hidup yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek cenderung

memiliki respon lebih cepat dengan tingkat fluktuasi terhadap kelimpahan sumber

(29)

Preferensi Mangsa

Makanan merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi suatu

makhluk hidup dalam kehidupan seperti bertahan dan berkembang. Kualitas dan

kuantitas makanan adalah aspek penting untuk diperhatikan dalam pertumbuhan

dan perkembangan makhluk hidup. Kualitas makanan akan berkaitan langsung

dengan fisiologi makhluk hidup. Keberadaan jumlah makanan akan

mempengaruhi kelimpahan populasi suatu makhluk hidup.

Mangsa merupakan sumber daya nutrisi penting bagi predator. Mangsa

yang berbeda dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan predator.

Oleh karena itu, tungau predator memiliki preferensi mangsa. Berdasarkan

preferensi mangsa, tungau predator dapat digolongkan dalam 4 tipe (Zhang 2003),

yaitu: 1) predator spesialis, hanya memakan spesies Tetranychus yang

menghasilkan sarang yang besar contoh spesies dari genera Phytoseiulus; 2)

tungau Phytoseiidae yang memiliki preferensi makan tungau Tetranychinae,

terkadang tungau kecil, dan polen contoh spesies Neoseiulus californicus

(McGregor); 3) predator generalis yang memakan berbagai jenis tungau, polen,

dan serangga tapi tidak dapat mengendalikan spesies Tetranychus yang

menghasilkan sarang yang besar contoh Iphiseius degenerans Berlese; dan 4)

predator generalis tungau dan serangga tapi bersifat spesialis terhadap polen

contoh spesies dari genera Euseius. N. longispinosus termasuk predator tipe 2,

yang memiliki preferensi mangsa pada tungau Tetranychidae dan juga dapat

memakan polen (Gerson et al. 2003; Zhang 2003).

(30)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-September 2010 di Laboratorium

Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor.

Metode Penelitian Asal Tungau

Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus diperoleh

dari tanaman ubi kayu di daerah Dramaga, dan dibiakkan di laboratorium dalam

suatu arena.

Arena Percobaan

Arena percobaan berupa petri dish berdiameter 8 cm. Busa (diameter ± 7

cm) diletakkan dalam arena lalu kapas diletakkan di atas busa dan diberikan air

hingga jenuh. Setelah itu, potongan daun ubi kayu yang berukuran 3 cm x 3 cm

diletakkan di atas kapas. Air ditambahkan pada arena percobaan apabila kapas

atau busa mulai terlihat kering. Potongan daun ubi kayu dalam arena percobaan

diganti setiap 3 hari.

Gambar 9 Potongan daun ubi kayu

Pemeliharaan Tungau

Tungau hama T. kanzawai dan tungau predator N. longispinosus dipelihara

dalam laboratorium dengan suhu 25-29°C dan RH 60-70%, menggunakan

(31)

Neraca Hayati Tungau Predator N. longispinosus

Percobaan neraca hayati bertujuan untuk mengetahui parameter demografi,

siklus hidup, perkembangan, sintasan dan sebaran umur tungau predator N.

longispinosus. Seratus telur predator ditempatkan secara individual pada arena

percobaan yang baru. Semua telur predator yang digunakan berasal dari umur

yang sama. Satu hari sebelum perlakuan, tiga ekor tungau betina T. kanzawai

juga ditempatkan dalam setiap arena percobaan dan dibiarkan bertelur.

Telur-telur yang dihasilkan dijadikan mangsa bagi predator dalam arena percobaan.

Metode pengamatan terbagi menjadi dua tahap yaitu stadia pradewasa dan

dewasa. Pada stadia pradewasa, pengamatan dilakukan setiap 6 jam untuk melihat

lama pergantian stadia dan jumlah predator yang masih hidup. Pengamatan pada

stadia dewasa dilakukan setiap 24 jam. Tungau dewasa jantan dan betina

dipasangkan. Setelah itu, pengamatan dilakukan dengan melihat parameter seperti

fekunditas, lama hidup, masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Selama

pengamatan berlangsung, tungau predator diberi mangsa berbagai stadia tungau

hama yang berlimpah. Penggantian daun dilakukan setiap 3 hari.

Analisis data neraca hayati tipe kohort menggunakan tabel kehidupan dan

grafik klasifikasi kurva keberhasilan hidup. Data biologi dianalisis menggunakan

excel.

Perumusan neraca hayati merupakan langkah pertama dalam menghitung

laju pertambahan intrinsik (r). Perhitungan parameter r didasarkan hanya pada

populasi betina, dan diasumsikan bahwa jantan cukup tersedia di sekitarnya.

Beberapa parameter yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah sebagai

berikut (Tarumingkeng 1992):

1. x adalah kelas umur kohort (hari);

2. ax adalah jumlah individu yang hidup pada setiap umur pengamatan;

3. lx adalah proporsi individu yang hidup pada umur x (l : living, lx = ax/a0);

4. dx adalah jumlah individu yang mati di setiap kelas umur (d. : death, dx = lx–

lx+1);

5. qx adalah proporsi mortalitas pada masing-masing umur (qx = dx/ax);

6. Lx merupakan jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur

(32)

7. Tx adalah jumlah individu yang hidup pada kelas umur x = 0 …w (x = w

adalah kelas umur terakhir) ( ); , T1 = T0 – L0, T2 = T1

– L1, Tx = Tx-1– Lx-1;

8. ex adalah harapan hidup individu pada setiap kelas umur x (ex = Tx/lx);

9. mx adalah keperidian spesifik individu-individu pada kelas umur x atau

jumlah anak betina perkapita yang lahir pada kelas x;

10. lxmx adalah banyaknya anak yang dilahirkan pada kelas umur x, lxmx

merupakan proporsi banyaknya anak (betina) dilahirkan oleh semua individu

(betina) sepanjang generasi kohort dan disebut laju reproduksi bersih (R0);

11. xlxmx adalah perkalian x, lx, dan mx untuk setiap kelas umur x yang

digunakan untuk mengaproksimasi lamanya generasi (Tc);

12. px (peluang survival) adalah proporsi individu yang hidup pada kelas umur x

dan mencapai kelas umur x + 1 (px = Lx+1/Lx). Parameter ini digunakan

dalam matriks proyeksi Leslie untuk memprediksi pertumbuhan populasi

secara diskrit.

Dari data neraca hayati tersebut perhitungan dilanjutkan untuk

menentukan parameter-parameter demografi lainnya (Price 1997) seperti:

1. Laju reproduksi kotor (GRR) = ∑ mx

2. Laju reproduksi bersih (Ro) = ∑ lxmx

3. Waktu generasi (Tc) = ∑ x lxmx / ∑ lxmx

4. Laju pertambahan intrinsik = Log e R0/Tc

Preferensi Tungau Predator terhadap Mangsa

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui preferensi mangsa tungau

predator N. longispinosus pada tingkat stadia (telur, nimfa, dan imago) tungau

hama T. kanzawai. Stadia mangsa yang digunakan dalam percobaan adalah telur,

nimfa, dan imago T. kanzawai. Jumlah telur, nimfa, dan imago yang digunakan

berbeda berturut-turut 25 butir, 10 ekor dan 5 ekor. Perbedaan jumlah tersebut

didasarkan pada jumlah maksimum pada uji tanggap fungsional. Perlakuan

diulang sebanyak 10 kali.

Tungau predator yang digunakan berumur sama yaitu imago berumur 2

(33)

percobaan dimodifikasi dalam percobaan preferensi mangsa. Tiga potongan daun

ubi kayu berukuran 1.5 cm x 1.5 cm diletakkan dalam satu arena percobaan.

Setiap helai daun berisi mangsa (telur, nimfa dan imago) yang berbeda dengan

jumlah mangsa yang sama. Jarak antar daun berkisar 0.5-1.0 cm. Penghubung

antar daun digunakan jembatan parafilm selebar 2 mm dan berbentuk T. Tungau

predator diletakkan di tengah jembatan. Pengamatan dilakukan setiap 30 menit

selama 3 jam dengan menghitung jumlah mangsa dan keberadaan tungau predator

pada tiap helai daun dalam arena percobaan.

Data percobaan preferensi mangsa dianalisis menggunakan excel dengan

melihat keberadaaan imago N. longispinosus pada arena percobaan setiap 30

menit selama 3 jam.

Tanggap Fungsional

Percobaan tanggap fungsional merupakan percobaan yang dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara tingkat predasi tungau predator N. longispinosus

dengan tingkat kepadatan tungau hama T. kanzawai. Mangsa yang digunakan

dalam percobaan ini adalah stadia telur. Kepadatan telur yang digunakan adalah

5, 10, 20, 40 dan 80 butir telur. Masing-masing perlakuan diulang 10 kali.

Percobaan tanggap fungsional menggunakan arena percobaan seperti pada

percobaan neraca hayati. Imago T. kanzawai dimasukkan dalam arena percobaan

tersebut dan dibiarkan selama 24 jam agar bertelur dan telur-telur tersebut yang

digunakan dalam uji tanggap fungsional.

Predator yang digunakan berasal dari stadia imago yang berumur 2 hari.

Predator-predator tersebut dipuasakan selama 8 jam secara individu. Pemuasaan

tersebut bertujuan agar pencernaan setiap predator dalam kondisi yang sama saat

dilakukan perlakuan. Setelah 8 jam, predator tersebut dimasukkan dalam arena

percobaan yang berisi telur dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, telur-telur

yang tersisa dihitung.

Tipe tanggap fungsional diketahui dengan menggunakan regresi logistik.

Regresi logistik berasal dari proporsi mangsa yang diserang (Ne/No) sebagai

(34)

diuji sesuai pada fungsi polinom yang menggambarkan hubungan Ne/No dan No

sebagai berikut:

=

Keterangan: P0 = titik potong

P1 = koefisien linear

P2 = koefisien kuadratik

P3 = koefisien kubik

Pendugaan parameter (P) dilakukan dengan prosedur PROC CATMOD

SAS (SAS Institute 1989). Tanggap fungsional tipe II akan digambarkan dengan

nilai P1 yang lebih kecil dari 0 atau negatif (P1 < 0). Tanggap fungsional tipe III

akan ditunjukkan dengan nilai P1 yang positif (P1 > 0) namun P2 bernilai negatif

(P2 < 0). Pada tanggap fungsional tipe II dan III terdapat waktu penanganan

mangsa (Th) dan laju pencarian mangsa (a). Pendugaan Th dan a didapatkan dari

persamaan cakram Holing untuk tanggap fungsional tipe II dan persamaan Hassel

untuk tanggap fungsional tipe III (Hassel 1978).

Tanggap Numerik

Percobaan tanggap numerik dilakukan hampir sama dengan percobaan

tanggap fungsional, bertujuan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan

populasi predator dengan tingkat kepadatan hama. Kepadatan telur yang

digunakan adalah 5, 10, 20, 40 dan 80 butir. Masing-masing perlakuan diulang 10

kali. Beberapa imago T. kanzawai dimasukkan dalam setiap arena percobaan dan

dibiarkan selama 24 jam. Telur-telur yang dihasilkan dihitung untuk digunakan

dalam percobaan tanggap numerik dan imago dipindahkan dari arena percobaan.

Predator yang digunakan adalah stadia imago yang berumur 2 hari. Setelah 24

jam, pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur predator yang dihasilkan dalam

(35)

Kemampuan Menekan Populasi Mangsa oleh Individu Predator

Percobaan ini bertujuan mengetahui kemampuan individu tungau predator

menekan populasi mangsa dengan kepadatan mangsa yang berbeda. Kepadatan

imago mangsa yang digunakan sebagai berikut: 4, 8, 16 dan 32 ekor.

Imago-imago mangsa dibiarkan selama 24 jam. Setelah itu, seekor N. longispinosus

betina berumur 5-6 hari dimasukkan dalam arena percobaan yang telah berisi

mangsa. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah semua stadia

predator dan mangsa yang ada dalam arena percobaan. Pengamatan berlangsung

selama 3 hari. Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan kontrol

(tanpa predator) hanya diulang sebanyak 3 kali dan pengamatan berlansung

selama 96 jam.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Neraca Hayati

N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari

dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi pada

tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang

sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan

intrinsik rm adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas (λ)

sebesar 1.55 betina/betina/hari.

Nilai laju pertambahan intrinsik rm tungau predator N. longispinosus

adalah 0.44 betina/betina/hari. Nilai rm tersebut lebih tinggi dibandingkan rm

Tetranychidae. Nilai rm Tetranychidae memiliki kisaran 0.1 - 0.3 (Wrensch 1979;

Razmjou et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa populasi tungau predator N.

longispinosus berkembang lebih cepat dibandingkan tungau Tetranychidae. Oleh

karena itu, N. longispinosus cenderung memiliki potensi tinggi sebagai musuh

alami dalam pengendalian tungau Tetranychidae. Nilai rm diperoleh dari

persamaan Σe-rx

lx mx = 1 (Carey 1993).

GRR dan Ro menunjukkan tingkat reproduksi N. longispinosus yang diberi

mangsa T. kanzawai. Nilai GRR adalah 32.78 individu, yang menunjukkan

rata-rata jumlah keturunan betina per generasi. Ro bernilai 24.96 individu,

menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Nilai GRR

dan Ro N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai lebih tinggi

dibandingkan dengan mangsa lain (Puspitarini 2005; Thongtab et al 2002).

Jumlah keturunan betina yang relatif tinggi berimplikasi pada jumlah telur

yang dihasilkan dalam suatu populasi. Birch (1948) menyatakan bahwa makin

besar jumlah telur yang dihasilkan maka makin besar nilai laju pertambahan

intrinsik suatu organisme. Krebs (1978) menambahkan bahwa makin cepat

tercapainya puncak reproduksi maka makin besar nilai r suatu spesies. Nilai r

dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu reproduksi pada umur muda, jumlah telur yang

dihasilkan setiap bertelur, dan meningkatnya ulangan peneluran yang berarti

(37)

Perkembangan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari (λ)

dapat dilihat pada tabel 1. λ sering juga disebut sebagai laju pertambahan terbatas, yang memiliki arti nilai perkembangan tungau predator pada lingkungan yang terbatas. Nilai λ = 1.55 per satuan hari, yang berarti bahwa perkembangan setiap individu pada setiap generasi menjadi satu individu pada keadaan lingkungan yang terbatas (Tarumingkeng 1992). Bila nilai λ > 1 maka terjadi pertambahan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari.

T dan DT merupakan parameter statistik demografi yang berkaitan dengan

waktu. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup N.

longispinosus per generasi (T) adalah 4.05 hari. Nilai T yang hampir sama juga

ditunjukkan pada penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2002).

Doubling time (DT) memiliki nilai sebesar 1.586 hari, yang mengisyaratkan

kemampuan N. longispinosus berkembang dalam satu generasi.

Tabel 1 Statistik demografi N. longispinosus

Parameter demografi Nilai Satuan

GRR 32.78 Individu

Ro 24.96 Individu/induk/generasi

rm 0.44 Individu/induk/hari

T 4.05 Hari

λ 1.55 Hari

DT 1.59 Hari

Pendugaan kelimpahan populasi suatu serangga merupakan implikasi

praktis dari sebaran umur stabil terutama serangga yang memiliki stadia

pradewasa yang tidak terlihat atau tersembunyi (Birch 1948). Selain itu, sebaran

umur stabil suatu populasi juga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah

pertambahan populasi.

Distribusi sebaran umur N. longispinosus pada percobaan ini menunjukkan

bahwa 83.78% populasi pradewasa dan sisanya 16.22% merupakan populasi

dewasa (tabel 2). Proporsi telur memiliki nilai paling tinggi di antara populasi

pradewasa. Nilai proporsi telur adalah 36.26 %. Deutonimfa memiliki nilai

(38)

Asumsi yang dihasilkan dari data distribusi sebaran umur N. longispinosus

menunjukkan bahwa sebagian besar populasi N. longispinosus didominasi oleh

populasi pradewasa. Implikasinya pada penarikan contoh di lapangan adalah

jumlah imago N. longispinosus di lapangan yang relatif rendah tidak

menggambarkan jumlah populasi N. longispinosus yang sebenarnya. Populasi

pradewasa juga mempengaruhi jumlah populasi yang sebenarnya. Populasi telur

N. longispinosus yang terkadang tersembunyi memiliki proporsi yang relatif besar

dalam menentukan keadaan populasi N. longispinosus. Percobaan ini dilakukan

dalam skala laboratorium maka faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi

[image:38.595.104.514.91.800.2]

populasi dalam lingkungan yang alami tidak diperhitungkan.

Tabel 2 Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil

Fase perkembangan (stadia) Proporsi (%)

Pradewasa

Telur

83.78

36.26

Larva 23.29

Protonimfa 14.86

Deutonimfa 9.37

Dewasa 16.22

Siklus Hidup dan Perkembangan

Siklus hidup N longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa,

deutonimfa, dan dewasa yang ditunjukkan pada Tabel 3. N. longispinosus

meletakkan telur secara acak pada permukaan bawah daun ubi kayu. Telur

berbentuk oval dan berwarna putih transparan. Croft et al. (1999) menyatakan

bahwa ukuran telur 13 tungau Phytoseiidae yang diteliti, memiliki kisaran panjang

bervariasi dari 184.5–243.5 µm dan Phytoseiulus persimilis memiliki ukuran telur yang paling besar. Puspitarini (2005) menunjukkan bahwa telur N. longispinosus

yang dibiakkan pada Panonychus citri memiliki panjang berkisar 330-370 µm dan

(39)

longispinosus lebih besar dibandingkan ukuran telur P. persimilis. Telur

membutuhkan waktu perkembangan yang paling lama yaitu 1.40 hari.

Stadia larva merupakan stadia yang mudah diamati dan dibedakan dari

stadia lainnya. Ciri khas stadia larva adalah 3 pasang tungkai yang dimilikinya.

Pada stadia ini, larva berwarna putih dan masih bersifat pasif bergerak. Larva N.

longispinosus memiliki panjang rata-rata 230 µm dan lebar rata-rata 220 µm

(Puspitarini 2005). Larva sebagian besar tungau predator tidak makan sehingga

pada stadia ini tidak membutuhkan mangsa (Thongtab et al.2001; Zhang 2003).

Larva memiliki waktu perkembangan yang paling singkat yakni hanya 0.49 hari.

Waktu tersebut tidak berbeda nyata dengan penelitian Puspitarini (2005) dan

Thongtab et al. (2001).

Perubahan stadia larva menjadi protonimfa dapat dilihat pada jumlah

tungkai. Protonimfa memiliki 4 pasang tungkai dan berwarna putih keruh. Pada

stadia protonimfa, N. longispinosus mulai aktif untuk mencari mangsa.

Protonimfa N. longispinosus akan berubah warna setelah memakan mangsa,

menjadi merah kecoklatan. Masa protonimfa berlangsung selama 0.64 hari.

Setelah itu, N. longispinosus akan memasuki stadia deutonimfa. Lama masa

deutonimfa berkisar 0.70 hari. Masa protonimfa dan deutonimfa N. longispinosus

yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki waktu paling singkat dibandingkan N.

longispinosus yang dibiakkan pada P. citri (Puspitarini 2005) dan T. urticae

(Thongtab et al. 2001). Deutonimfa memiliki morfologi badan yang lebih besar

dan idiosoma yang pipih dibandingkan protonimfa. N. longispinosus bergerak

aktif mencari mangsa pada stadia deutonimfa. Protonimfa dan deutonimfa dapat

memangsa semua stadia mangsa yang terdapat dalam arena.

Tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran berkisar 200-490 µm,

Jarang sekali tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran lebih dari 500 µm.

Tungau dewasa N. longispinosus jantan dan betina memiliki ukuran yang berbeda.

N. longispinosus betina memiliki panjang dan lebar rata-rata berturut-turut: 400

µm dan 290 µm. Sementara panjang dan lebar rata-rata N. longispinosus jantan

lebih kecil yaitu 230 µm dan 170 µm (Puspitarini 2005). N. longispinosus

memiliki warna tubuh putih kekuningan keruh dan mengkilat serta seta-seta yang

(40)

mengikuti warna mangsanya. Ketika N. longispinosus diberikan mangsa imago T.

kanzawai yang berwarna merah, maka warna N. longispinosus akan berwarna

merah kecoklatan.

Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa

relatif singkat, yaitu 3.23 (Tabel 3). Pada umumnya tungau predator famili

Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan yang relatif lebih cepat dan singkat

dari Tetranychidae (Zhang 2003). Penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et

al. (2001) menunjukkan bahwa lama perkembangan N. longispinosus dari telur

hingga menjadi dewasa adalah 4.78 hari dan 4.23 hari. Waktu perkembangan N.

longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai lebih cepat. Hal ini dapat

disebabkan oleh pengalaman predator terhadap mangsa karena selama pembiakan

N. longispinosus diberikan mangsa T. kanzawai.

Tabel 3 Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang dibiakkan pada

T.kanzawai

Parameter Durasi (hari) (mean ± SD)a

Lama perkembangan pradewasa 3.23 ± 0.41

Telur 1.40 ± 0.32

Larva 0.49 ± 0.01

Protonimfa

Deutonimfa

0.64 ± 0.21

0.70 ± 0.31

Lama hidup betina 16.78 ± 7.44

Periode praoviposisi

Periode oviposisi

Periode pascaoviposisi

1.55 ± 0.57

8.76 ± 4.68

1.92 ± 2.91

Lama hidup jantan 22.28 ± 7.02

Keperidian (butir/betina) 32.78 ± 1.31

Nisbah kelamin (♂:♀) 1: 2.13

Tabel 3 juga memberikan informasi berbagai parameter kehidupan tungau

dewasa N. longispinosus. Dewasa N. longispinosus betina memiliki masa

[image:40.595.99.515.117.782.2]
(41)

lebih lama dibandingkan masa praoviposisi dan pascaoviposisi. Masa oviposisi N.

longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 8.76 hari. Masa oviposisi

tersebut lebih singkat dibandingkan dengan masa oviposisi N. longispinosus yang

dibiakkan pada tungau merah jeruk P. citri (Puspitarini 2005) dan Eotetranychus

cendanai (Thongtab et al. 2001). Namun, keperidian yang diperoleh lebih tinggi

dibandingkan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001).

Keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur yang diletakkan per

hari adalah 3.39 butir. Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan penelitian N.

longispinosus yang dilakukan oleh Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008).

Jumlah telur rata-rata N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki

nilai yang hampir sama dengan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. urticae

yaitu 3.36 butir (Kongchuensin et al. 1989 dalam Thongtab et al. 2001). Hal

tersebut menunjukkan bahwa T. kanzawai merupakan mangsa yang sesuai bagi

perkembangan N. longsipinosus.

Lama hidup tungau jantan lebih lama dibandingkan lama hidup tungau

betina. Tungau jantan memiliki lama hidup yaitu 22.28 hari sedangkan lama

hidup tungau betina hanya berkisar 16.78 hari. Nisbah kelamin N. longispinosus

yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 1:2.13. Penelitian Escudero & Ferragut

(2005) menunjukkan nisbah kelamin 1:2 untuk P. persimilis yang diberikan

mangsa T. urticae, T. turkestani, dan T. ludeni.

Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian

Sintasan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup dari suatu populasi

dalam bentuk persen. Sintasan tungau predator N. longispinosus dari

pengamatan harian ditunjukkan pada Gambar 9. Kurva sintasan tungau predator

N. longispinosus memperlihatkan bahwa mortalitas mulai terjadi pada saat tungau

predator N. longispinosus berumur 2 hari. Penurunan sintasan terus terjadi sampai

semua tungau predator betina mati yang terjadi pada saat tungau predator berumur

32 hari. Kurva sintasan tungau predator N. longispinosus termasuk dalam kurva

sintasan tipe I (Tarumingkeng 1992). Kurva sintasan tipe I menunjukkan bahwa

(42)

tungau predator N. longispinosus berumur tua. Penelitian Puspitarini (2005) juga

menunjukkan kurva sintasan tipe 1 untuk N. longispinosus yang diberikan mangsa

P. citri. Namun tingkat mortalitas pada N. longispinosus yang diberikan mangsa

P. citri terjadi pada umur 4 hari dan lama hidup yang lebih singkat yaitu 27 hari

(Puspitarini 2005). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh mangsa yang

diberikan pada N. longispinosus.

Gambar 10 Kurva sintasan (lx) dan rata-rata jumlah telur harian (mx) tungau

predator N. longispinosus

Selain informasi sintasan tungau predator N. longispinosus, gambar 9 juga

menunjukkan informasi tentang rata-rata produksi telur per hari yang diletakkan

oleh individu betina yang hidup pada umur tertentu (mx). Kurva mx

memperlihatkan bahwa tungau predator N. longispinosus mulai mengalami

oviposisi saat berumur 3 hari. Penelitian Thongtab et al. (2001) juga menyatakan

masa oviposisi N. longispinosus yang diberikan E. cendanai yaitu 3.57 hari.

Produksi telur meningkat pada awal umur predator dan menurun seiring

pertambahan umur predator. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau

predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4

butir. Gambar 9 juga memberikan informasi tentang masa praoviposisi, oviposisi,

dan pascaoviposisi. Masa praoviposisi relatif singkat yaitu 1.55 hari.

N.longispinosus memasuki stadia dewasa saat hari ke-3. Pada saat tungau

predator betina N. longispinosus berumur 4 hari mulai terlihat peningkatan

produksi telur sehingga ini merupakan awal masa oviposisi N. longispinosus.

Masa oviposisi berlangsung selama 21 hari, berawal saat N. longispinosus 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 Rat

(43)

berumur 4 hari hingga berumur 24 hari. Rata-rata jumlah telur harian tertinggi

terjadi pada tungau predator N. longispinosus berumur 6 hari. Oleh karena itu,

puncak mx terjadi pada tungau predator betina N. longispinosus umur 6 hari.

Kurva mx mengalami fluktuasi setelah tungau predator N. longispinosus berumur

6 hari. Pada saat berumur 24 hari, N. longispinosus mulai memasuki masa

pascaoviposisi. Masa pascaoviposisi terjadi saat tungau predator N. longispinosus

berumur 25 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa N. longispinosus memiliki

potensi relatif besar sebagai agen pengendali tungau Tetranychidae karena

peletakkan telur terjadi pada awal sehingga cukup menguntungkan dari segi

pengendalian tungau Tetranychidae.

Preferensi Stadia Mangsa

Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa (telur, nimfa, dan imago T.

kanzawai) berkaitan dengan perilaku pencarian dan pengenalan mangsa oleh

predator. Perilaku N. longispinosus tersebut didukung oleh suatu stimuli dari

mangsa. Stimuli tersebut dapat berupa gerakan atau tanda yang ditinggalkan oleh

mangsa. Keberadaan stimuli yang cukup tinggi dapat meningkatkan peluang

predator untuk menemukan mangsa (Dickens 1999).

Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan

perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi

perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa (Gullan & Cranston 1994).

Preferensi keberadaan imago N. longispinosus pada arena percobaan

selama 3 jam ditunjukkan pada gambar 11. Sebagian besar imago N.

longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T.

kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan

yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur. Bahkan mangsa dalam

stadia imago tidak dikunjungi oleh N. longispinosus pada waktu pengamatan ke-2,

3, dan 6. Jenis, stadia dan ukuran tubuh mangsa yang bervariasi memiliki

pengaruh terhadap preferensi predator (Yang & Li 2002). Semakin besar instar

nimfa mangsa maka semakin kecil preferensi terhadap mangsa. Penyebab

penurunan preferensi predator tersebut mungkin dikarenakan bentuk dan ukuran

(44)

untuk memangsa. Mekanisme pertahanan mangsa dalam bentuk karakteristik

mangsa merupakan bagian dari proses interaksi predator dan mangsa (Holling

1961).

Gambar 11 Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam

Tanggap Fungsional

Hasil analisis regresi logistik predasi N. longispinosus pada mangsa telur

Tetranychus kanzawai diperlihatkan pada tabel 4. Hubungan kepadatan mangsa

dan tingkat predasi memperlihatkan tanggap fungsional tipe III. Hal tersebut

ditunjukkan oleh hasil analisis regresi logistik. Tanggap fungsional tipe III

ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan

bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian

menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa (Sabelis 1985).

Tabel 4 Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa T. kanzawai yang dimangsa N. longispinosus

Parameter Nilai Penduga Standar Error Pa

Titik potong -6.0075 430.0 0.9889

Linear 2.0273 129.0 0.9875

Kuadratik -0.1347 8.5996 0.9875

a P=probability 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 2 3 4 5 6

Ju m lah i mago N . lo n g is p ino su s

Waktu pengamatan (per 30 menit)

Telur

Nimfa

(45)

Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap

fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama (Hassel

1976; Hassel 1978). Fernandez & Corley (2003) menambahkan bahwa predator

atau parasitoid yang memiliki tanggap fungsional tipe III berpotensi sebagai agen

biokontrol yang efisien.

Tipe tanggap fungsional ditentukan oleh perilaku memburu dan menangani

mangsa. Laju pencarian mangsa akan meningkat pada kepadatan mangsa yang

tinggi hingga mencapai kejenuhan. Penambahan populasi mangsa akan

menurunkan laju pencarian predator. Laju pemangsaan diduga berkaitan dengan

waktu penanganan mangsa (mengenal dan memburu) dimana preferensi predator

akan menentukan laju pencarian mangsa (Tarumingkeng 1992).

Waktu penanganan mangsa (Th) merupakan salah satu karakter penting

dalam interaksi mangsa-predator. Waktu penanganan ini meliputi mengenal,

memburu dan menangani mangsa. Kepadatan populasi mangsa sangat berkaitan

dengan waktu penanganan mangsa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5. Kepadatan

populasi mangsa yang rendah membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Kepadatan mangsa sebanyak 5 butir telur membutuhkan waktu yang paling lama

yaitu 4.06 jam. Sebaliknya pada kepadatan populasi mangsa yang tinggi, predator

membutuhkan waktu yang relatif pendek. Waktu penanganan mangsa paling

pendek yaitu 1.21 jam ditunjukkan pada kepadatan mangsa 40 butir telur.

Gambar

Gambar 4  Tipe pola kawin N. longispinosus (Vantornhout 2006)
Gambar 5  N. longispinosus (a, telur; b, tungau dewasa; Koleksi Pribadi)
Gambar 7  Grafik tanggap fungsional tipe II.  Hubungan antara mangsa yang dimakan (Ne) dengan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar C; hubungan antara proporsi mangsa yang dimakan (Ne/N) dan kepadatan mangsa yang tersedia (N) pada gambar D (Vantornhout 2006)
Tabel 2  Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada analisis tersebut merekomendasikan bahwa untuk menangkap ikan kuniran di perairan pantai Teluk Mandar sebaiknya menggunakan mata jaring yang lebih besar dari 4 cm, hal ini

Keterangan Gambar: Pada Sequence Diagram Stage game 3, Pada saat pemain membuka aplikasi Game , pemain akan melihat beberapa pilihan menu utama Kemudian,

Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang mandiri secara politik dan ekonomi,

Pada tahap kriptografi vigenere , plaintext akan dienkripsi dengan kunci yang digunakan dan akan menghasilkan ciphertext , kemudian pada tahap steganografi LSB ciphertext

REKAPITULASI KARTU INVENTARIS BARANG (KIB) B PERALATAN DAN

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Astari (2012) yang menyimpulkan ada pengaruh yang signifikan antara senam lansia dengan penurunan tekanan

Selain dari kesan langsung penyakit mental terhadap keluarga terhadap ahli keluarga pesakit, ia dikatakan turut memberi kesan langsung kepada penjaga di mana

mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap Skor Kesehatan Bank –.. bank go public di