• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN JANTUNG KELINCI

NEW ZEALAND WHITE

(

Oryctolagus cuniculus

) DENGAN RADIOGRAFI TORAKS

AWAN SUBANGKIT

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

AWAN SUBANGKIT. Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks. Dibimbing oleh HARRY SOEHARTONO dan RIKI SISWANDI.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran jantung kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) melalui pemeriksaan radiografi yang dianastesi dengan kombinasi ketamin dan xylazin yang berbeda. Kelinci dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok A dianestesi menggunakan kombinasi dosis ketamin 35mg/kg BB dan xylazin 5 mg/kg BB (n=5). Kelompok B dianestesi menggunakan kombinasi dosis ketamin 40 mg/kg BB dan xylazin 5 mg/kg BB (n=3) sementara kelompok C dianestesi dengan menggunakan kombinasi ketamin 45 mg/kg BB dan xylazin 5 mg/kg BB (n=3). Parameter yang diamati dari arah pandang left laterolateral: 1) panjang apicobasilar jantung (AB), 2) lebar jantung (CD), 3) jarak antara tepi cranial costae kelima dan tepi caudal costae ketujuh tegak lurus dengan os vertebrae (R5-7), dan 4) kedalaman vertikal toraks (H). Parameter yang diamati dari arah pandang dorsoventral: 1) panjang jantung (L), 2) lebar jantung (W); dan 3) lebar toraks (T). Hasil pengamatan parameter jantung yang diukur pada arah pandang left laterolateral dan dorsoventral menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan. Nilai vertebrae heart size (VHS) diperoleh dari penjumlahan long axis dan short axis pada arah pandang left laterolateral. Nilai rata-rata keseluruhan long axis (A) adalah 4.35±0.26 v dan short axis (B) adalah 3.59±0.30 v, maka nilai rata-rata keseluruhan VHS adalah 7.94±0.49 v. Pada arah pandang dorsoventral, nilai dari panjang jantung (L) adalah 4.32±0.29 cm, nilai dari lebar jantung (W) adalah 3.33±0.26 cm, dan nilai lebar toraks (T) adalah 5.85±0.30 cm. Dalam kondisi normal, lebar jantung (W) harus lebih kecil 2/3 dari lebar toraks (T), dan didapat nilai yaitu 3.33<3.72 yang artinya masih dalam batas normal seperti mamalia lainnya. Rasio terbaik untuk memperkirakan dimensi jantung normal pada arah pandang left laterolateral adalah long axis dibandingkan dengan kedalaman vertikal toraks, sedangkan pada arah pandang dorsoventral adalah panjang jantung dibandingkan dengan lebar jantung.

Kata kunci: anastesi ketamin-xylazin, kelinci New Zealand White, pengukuran jantung, radiografi toraks

ABSTRACT

AWAN SUBANGKIT. Heart Measurements of New Zealand White Rabbits (Oryctolagus cuniculus) with Thoracic Radiographs. Supervised by HARRY SOEHARTONO and RIKI SISWANDI.

(5)

mg/kg combination of ketamine and xylazine (n=3) while group C were anaesthetized using 45 mg/kg and 5 mg/kg combination of ketamine and xylazine (n=3). Parameter of observation from left laterolateral view were: 1) the apicobasilar length of the heart (AB), 2) the width of the heart (CD), 3) the distance between the cranial edge of the fifth rib and the caudal edge of the seventh rib perpendicular to the spine (R5-7), and 4) the vertical depth of the toraks (H). Parameter of observation from dorsoventral view were: 1) the length of the heart (L), 2) the width of the heart (W), and 3) the width of the thorax (T). The result from the heart parameters observation that were measured in left laterolateral view and dorsoventral view shows theres no significantly differ among the groups (P > 0.05). The vertebrae heart size (VHS) values obtained from the sum of the length of the long and the short axes on left laterolateral view. The long axes mean values (A) were 4.35±0.26 v and the short axes mean values (B) were 3.59±0.30 v, therefore VHS mean values were 7.94±0.49 v. On the dorsoventral view, the length of the heart mean values (L) were 4.32±0.29 cm, the width of the heart mean values (W) were 3.33±0.26 cm, and the width of the thorax mean values (T) were 5.85±0.30 cm. In normal conditions, the width of the heart should be less than two-thirds the width of the thorax and values obtained of 3.33<3.72 it shows that the heart is in the normal range. The best ratio to calculated the normal heart dimension in the left laterolateral view was compared the long axes with the vertical depth of the thorax, whereas in dorsoventral view, the length of the heart was compared with the width of the heart.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi

PENGUKURAN JANTUNG KELINCI

NEW ZEALAND WHITE

(

Oryctolagus cuniculus

) DENGAN RADIOGRAFI TORAKS

AWAN SUBANGKIT

DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi : Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks

Nama : Awan Subangkit NIM : B04080067

Disetujui oleh

drh. R. Harry Soehartono M.App.Sc., Ph.D Pembimbing I

drh. Riki Siswandi MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet (K) Wakil Dekan

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengukuran Jantung Kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan Radiografi Toraks”. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi bayak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Harry Soehartono M.App Sc., Ph.D selaku pembimbing pertama dan drh. Riki Siswandi MSi selaku pembimbing kedua, atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. drh. Arief Boediono Ph.D, PAVet(K) selaku dosen pembimbing akademik penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Katim dan Kosasih selaku petugas laboran di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Talitha Khairunisa dan Pardede sebagai rekan sepenelitian, keluarga besar FKH IPB angkatan 45 (Avenzoar), Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) IPB, dan semua pihak yang tidak bisa penulis sampaikan satu per satu. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ayah, ibu, adik, dan seluruh keluarga tercinta atas doa, cinta, dan kasih sayang kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, terutama di bidang medis veteriner.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Radiografi 2

Interpretasi Radiografi 2

Interpretasi Radiografi Toraks 3

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Bahan 4

Alat 5

Tahap Persiapan 5

Pengambilan Radiograf 6

Pencucian Film 6

Teknik Pengambilan Data Radiografi 6

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Pengukuran Jantung pada Arah Pandang Dorsoventral 10 Pengukuran Jantung pada Arah Pandang Left Laterolateral 11

Perbandingan Parameter Jantung 12

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

(13)

DAFTAR TABEL

1 Rataan nilai status fisiologis kelinci setiap kelompok perlakuan 10 2 Nilai parameter jantung kelinci pada arah pandang radiograf

dorsoventral (n=11) 11

3 Nilai vertebral heart size (VHS) kelinci New Zealand White pada arah

pandang radiograf left laterolateral (n=11). 12

4 Perbandingan rata-rata dan standar deviasi untuk evaluasi radiografi kelinci New Zealand White pada arah pandang left laterolateral. 14 5 Perbandingan rata-rata dan standar deviasi untuk evaluasi radiografi

kelinci New Zealand White pada arah pandang dorsoventral 14

DAFTAR GAMBAR

1 Kelinci New Zealand White 4

2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian 5

3 Posisi pengambilan gambar radiografi toraks pada kelinci New Zealand

White 6

4 Radiograf toraks arah pandang left laterolateral pada kelelawar 7 5 Pengukuran VHS arah pandang left laterolateral toraks pada anjing 8 6 Modifikasi pengukuran VHS kelinci New Zealand White pada arah

pandang left laterolateral toraks 8

7 Radiograf toraks arah pandang dorsoventral pada kelelawar 9 8 Radiograf toraks kelinci New Zealand White pada arah pandang

dorsoventral 10

9 Pengukuran VHS kelinci New Zealand White pada arah pandang left

laterolateral toraks 12

10 Radiograf toraks kelinci New Zealand White pada arah pandang left

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak penemuan sinar X pada tahun 1895, bidang radiologi diagnostik telah berkembang cepat baik didunia kedokteran manusia maupun kedokteran hewan. Penggunaan sinar X dalam diagnosis meningkat kira-kira 5% sampai 10% setiap tahun. Kira-kira 80% kegiatan harian di departemen radiologi adalah pemeriksaan atau evaluasi gambaran radiografi toraks untuk mendiagnosa penyakit pada hewan kecil (Thrall 2002).

Pada hewan domestik, pengukuran jantung dengan radiografi toraks digunakan sebagai alat diagnostik utama dalam mendeteksi penyakit jantung dan evaluasi perkembangan penyakit jantung sebelum dilakukan pengobatan (Gardner et al. 2007). Penyakit jantung seperti kardiomiopati, valvulopati, endokarditis, dan defek septum ventrikel merupakan penyakit yang dilaporkan pada kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) (Onuma et al. 2009). Pengukuran jantung dengan radiografi toraks merupakan pemeriksaan yang relatif lebih cepat, lebih murah, dan mudah dilakukan dibandingkan pemeriksaan lain seperti echocardiography (Soetikno dan Derry 2011).

Pengukuran jantung kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) sudah dilakukan oleh Onuma et al. (2009) menggunakan metode Vertebral Heart Size (VHS) pada kelinci dengan berat badan ≥1,6 kg yang digunakan sebagai kriteria penilaian untuk mendeteksi pembesaran jantung. Penelitian tentang evaluasi ukuran jantung kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) dengan cara mengukur nilai besar jantung terhadap rongga toraks (cardiothoracic ratio) dan membandingkan setiap parameter pengukuran jantung kelinci yang diteliti belum ada hingga saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai hal tersebut pada jantung kelinci New Zealand White (Oryctolagus cuniculus) yang nantinya dapat digunakan sebagai alat diagnostik utama dalam mendeteksi penyakit jantung dan evaluasi perkembangan penyakit jantung.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini menentukan pengaruh anastesi kombinasi ketamin dan xylazin pada ukuran jantung kelinci New Zealand White dengan interpretasi gambaran radiografi di daerah toraks.

Manfaat Penelitian

(15)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Radiografi

Radiografi atau sinar X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman pada tanggal 8 November 1895, sehingga sinar-X ini juga disebut sinar Röentgen. Radiografi adalah penggunaan sinar pengion seperti sinar X dan sinar gamma untuk membentuk bayangan objek yang dikaji pada film. Sinar X merupakan pancaran gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnet dengan panjang gelombang berkisar 10 nm-100 pm (Reed 2011).

Sinar X mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia, yaitu sinar X tidak dipengaruhi oleh medan magnet, bergerak lurus, memiliki daya tembus yang semakin kuat apabila tegangan listrik yang digunakan semakin tinggi, serta dapat menghitamkan kertas potret. Sinar X mempunyai sifat-sifat tertentu yang menguntungkan dalam pemakaiannya di bidang kedokteran, salah satunya adalah sebagai sarana untuk terapi penyakit tumor serta untuk memberikan pencitraan organ yang mengalami kelainan seperti metastatik pulmonary neoplasia, heart disease, intestinal obstruksi, fraktura. Aplikasi sinar X harus hati-hati karena sinar X dapat menimbulkan kelainan biologi seperti kerusakan sel-sel hidup, penghitaman kulit, kerontokan rambut, serta dapat menyebabkan nekrosa yang kemudian berkembang menjadi kanker kulit (Corwin 2001).

Interpretasi Radiografi

Interpretasi radiografi merupakan suatu proses membaca hasil pemaparan sinar X yang berperan untuk membantu diagnosa klinis (Goaz dan White 1994). Ada beberapa tahap yang harus diperhatikan untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan berujung pada diagnosa yang akurat yaitu pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik, teknik radiografi yang benar, dan evaluasi radiograf (Morgan dan Wolvekomp 2004).

Pemeriksaan anamnesa selalu dilengkapi dengan signalemen serta rekam medik lain yang digunakan untuk mendiagnosa. Signalemen hewan terdiri atas nama hewan, jenis hewan, ras, warna rambut, warna kulit, jenis kelamin, umur dan tambahan khusus berupa berat badan, petanda buatan, petanda bawaan, petanda khusus, dan penggunaan hewan. Anamnesa hewan diketahui dari pemilik hewan atau dari orang yang berhubungan dekat dan mengetahui keadaan hewan. Anamnesa yang tidak benar dapat memberikan diagnosa yang diambil salah dan tidak akurat (Thrall dan Widmer 2002).

(16)

3 Prosedur radiografi yang benar memberikan hasil radiograf yang benar sehingga memudahkan dalam pembacaan. Prosedur yang salah dapat menyebabkan radiograf tidak mempunyai nilai diagnosa sama sekali apabila radiograf tersebut tidak dapat dibaca serta informasi yang diinginkan dari radiograf hewan tidak dapat ditemukan. Selain prosedur radiografi, harus diperhatikan juga tata cara pengamatan radiografi yang benar agar tidak salah dalam menyimpulkan diagnosa. Radiografi merupakan gambaran dua dimensi dari suatu struktur atau organ yang tiga dimensi sehingga perlu diimajinasikan ke dalam bentuk asalnya yang berupa tiga dimensi. Untuk mendapatkan imajinasi tiga dimensi tersebut, pengambilan foto harus dengan posisi sudut pandang yang tepat serta diperlukan minimal dua radiograf dengan sudut pandang yang berbeda ketika pengamatan radiografi (Tayal 2004).

Evaluasi radiograf dilakukan pada semua bagian dari foto radiograf yang diambil. Terdapat beberapa pendekatan dalam melakukan evaluasi, yaitu pendekatan melalui sistem organ, organ, dan daerah organ atau area. Pendekatan melalui sistem organ adalah pendekatan dengan evaluasi dari susunan organ yang membentuk sistem dalam tubuh, contohnya sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, dan lain-lain. Pendekatan melalui organ adalah pendekatan evaluasi dari organ-organ yang ditemukan, contohnya jantung, hati, usus dan lain-lain. Pendekatan melalui area adalah pendekatan dengan evaluasi dari area yang ditemukan, contohnya regio abdomen area epigastrikus, mesogastrikus, dan hipogastrikus. Berdasarkan ketiganya pendekatan evaluasi tersebut, pendekatan dengan sistem organ adalah yang paling disarankan untuk digunakan. Hal ini karena pendekatan dengan sistem organ lebih mudah dan berurut sesuai dengan susunan organ dalam sistem (Tayal 2004).

Evaluasi radiograf digunakan untuk menentukan dan menjelaskan adanya kelainan dari pasien. Kelainan tersebut dapat berupa perubahan dari organ atau struktur berupa perubahan ukuran, bentuk atau kontur, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas (radiopacity atau radiolucent), dan perubahan fungsi normal organ. Setelah evaluasi radiograf selesai, kelainan yang ditemukan dikonfirmasi dengan anamnesa dan data rekam medik dari pasien untuk mengambil kesimpulan diagnosa. Apabila terdapat diagnosa banding yang mungkin dari kelainan tersebut dengan gejala yang mirip, maka kelainan tersebut dibandingkan dan diambil satu kelainan khas yang muncul dari suatu penyakit untuk mengambil kesimpulan akhir diagnosa (Tayal 2004).

Interpretasi Radiografi Toraks

(17)

4

Pemeriksaan radiografi toraks menggunakan dua arah pandang, yaitu left laterolateral dan dorsoventral (DV). Arah pandang left laterolateral digunakan untuk melihat perubahan pada jantung dan vaskularisasi darah (Smith 2009). Menurut Thrall (2002) arah pandang dorsoventral sangat penting dalam pemeriksaan jantung karena pada posisi ini jantung lebih dekat dengan sternum dan letak jantung mendekati posisi normal dalam toraks ketika hewan berada pada posisi tubuh normal.

METODE

Waktu dan Tempat

Kelinci New Zealand White dipelihara di kandang Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengambilan gambar dan data radiografi dilaksanakan mulai dari tanggal 22 Februari sampai dengan 18 April 2012. di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Hewan percobaan menggunakan 11 ekor kelinci New Zealand White jantan dengan rata-rata bobot badan 3-4 kg (Gambar 1). Anastesi umum menggunakan kombinasi xylazine (Ilium xylazil®-100, Troy) dan ketamine (Ilium ketamil®-100, Troy). Pencucian film secara manual menggunakan larutan developer (Kodak GBX, Carestream Health, Inc.), larutan rinser, larutan fixer (Kodak GBX, Carestream Health, Inc.), dan washer (air keran).

(18)

5 Alat

Mesin sinar X stasioner (Diagnostic X-Ray Unit VR-1020, MA Medical Corporation, Nakanodai-Japan) (Gambar 2), meja khusus röntgen, kaset film yang dilengkapi dengan intensifying screen (Gambar 2), film Roentgen ukuran 24 x 30 (Kodak Medical X-Ray Film), apron yang dilapisi dengan timbal dengan tebal 0.35 mm (Gambar 2), sarung tangan karet dengan ketebalan timbal 0.25 mm, marker, hanger, illuminator (Gambar 2), processing machine (mesin pencuci) manual (Gambar 2) dan camera digital single lens reflect (DSLR) tipe Canon®.

Tahap Persiapan

Sebelas ekor kelinci dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Kelompok pertama (A) berjumlah 5 ekor kelinci mendapatkan perlakuan kombinasi ketamine-xylazine melalui injeksi intramuskular pada musculus semimembranosus dengan dosis ketamine 35 mg/kg BB dan xylazine 5 mg/kg BB, kelompok kedua (B) berjumlah 3 ekor kelinci mendapatkan perlakuan kombinasi ketamine-xylazine dengan dosis ketamine 40 mg/kg BB dan xylazine 5 mg/kg BB, sementara kelompok ketiga (C) berjumlah 3 ekor kelinci mendapatkan perlakuan kombinasi ketamine-xylazine dengan dosis ketamine 45 mg/kg BB dan xylazine 5 mg/kg BB. Gambar 2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian. (A) mesin sinar X

(19)

6

Pengambilan Radiograf

Radiografi dilakukan segera setelah kelinci berada dalam kondisi anastesia. Kaset diisi dengan film berukuran 24 x 30 cm di ruang gelap (dark room) dan digunakan untuk satu kali pengambilan radiograf. Posisi pengambilan radiograf bagian toraks dilakukan pada arah pandang left laterolateral (LL) dan dorsovental (DV) seperti yang ditunjukan pada dan Gambar 3 dengan nilai kVp yang digunakan antara 54-58 kVp tergantung ketebalan jaringan yang akan ditembus oleh sinar X. Nilai mAs yang digunakan adalah 1.2 mAs.

Pencucian Film

Setelah melakukan pengambilan radiograf, film dicuci secara manual diruang gelap. Tahapan pencucian film dimulai dengan film dimasukkan ke larutan developer selama 3-5 menit pada suhu diantara 15º C-27º C, fungsi dari larutan tersebut adalah mengubah ion perak bromida dalam kristal menjadi logam perak. Setelah itu, film dimasukkan ke larutan rinser selama beberapa detik (16-20 detik) bertujuan menyingkirkan larutan developer agar tidak terbawa kelarutan fiksasi. Tahapan selanjutnya film dimasukkan ke dalam larutan fixer yang berbentuk garam ammonium dalam waktu dua kali waktu pencucian pada larutan developer, fungsinya adalah mengubah kristal bromida menjadi tidak berkembang lagi dan menyingkirkan senyawa perak yang tidak tersinari. Pencucian selanjutnya dengan menggunakan washer (air keran) yang berfungsi untuk membersihkan dari sisa-sisa perak bromida pada film dengan waktu pencucian 30-40 menit dan selanjutnya film dikeringkan dan diberi label.

Teknik Pengumpulan Data Radiografi

(20)

7 pada daerah toraks. Data diperoleh dengan melakukan pengukuran terhadap besar jantung.

Parameter yang diukur pada arah pandang left laterolateral toraks meliputi panjang apicobasilar jantung (AB), lebar jantung tegak lurus AB (CD) (pengukuran diambil pada aspek terluas), jarak antara costae kelima dan tepi caudal costae ketujuh, tegak lurus dengan os vertebrae (R5-7), dan kedalaman vertikal toraks dari ventral os vertebrae hingga dorsal os sternum yang berbatasan dengan bifurcatio trakhea (H) (Gambar 4) (Gardner et al. 2007).

Gambar 4 Radiograf toraks arah pandang left laterolateral pada kelelawar. AB = panjang apicobasilar jantung; CD = lebar jantung tegak lurus AB (pengukuran diambil pada aspek terluas); R5-7 = jarak antara costae kelima dan tepi caudal costae ketujuh, tegak lurus dengan os vertebrae; H= kedalaman vertikal toraks dari ventral os vertebrae hingga dorsal os sternum yang berbatasan dengan bifurcatio trakhea (Gardner et al. 2007).

Parameter lain yang diukur pada arah pandang left laterolateral adalah Vertebrae heart size (VHS). Cara pengukuran jantung dengan menggunakan metode VHS pada hewan kecil seperti anjing dan kucing yaitu dengan membandingkan ukuran besar jantung dengan panjang vertebrae thoracic melalui gambaran radiografi, pengukuran VHS dimulai dari tepi cranial vertebrae thoracic ke-4 (Gambar 5) (Buchanan dan Bücheler 1995). Penghitungan VHS dengan penjumlahan dari long axis dan short axis (VHS = long axis + short axis), long axis merupakan pengukuran dari carina sampai ke apex jantung dan short axis merupakan pengukuran luas bagian jantung pada sumbu tegak lurus terhadap sumbu panjang (Litster et al. 2005; Ghadiri et al. 2007).

(21)

8

Gambar 5 Pengukuran VHS arah pandang left laterolateral toraks pada anjing. Long axis (A) dan short axis (B) dibandingkan dengan panjang ruas os vertebrae, dimulai dari tepi cranial tubuh vertebrae thoracic ke-4 (VHS = A + B) (Gülanber et al. 2005).

(22)

9

Gambar 7 Radiograf toraks arah pandang dorsoventral pada kelelawar. L = panjang maksimum jantung; W = lebar maksimum jantung; dan T = lebar toraks (Gardner et al. 2007).

Analisis Data

Hasil pengukuran dinyatakan dalam rataan dan standar deviasi. Data diolah menggunakan SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik menggunakan metode One Way-Analyse of Variant (ANOVA). Uji ini kemudian dilanjutkan dengan uji DUNCAN pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

(23)

10

Tabel 1 Rataan nilai status fisiologis kelinci setiap kelompok perlakuan

Status Fisiologis Kelompok Perlakuan Referensi

A B C

Bobot badan (Kg) 3.34±0.19a 3.10±0.00a 3.13±0.06a - Frekuensi Denyut

Jantung (x/menit)

144.80±46.94a 158.67±15.14a 113.33±11.55a 130-325 (Harcourt dan Brown 2002 ) Frekuensi Napas

(x/menit)

146.40±54.30a 179.00±81.43a 165.33±22.03a 32-168 (Linn 2000) Temperatur

Rektal (°C)

39.08±1.30a 39.40±0.46a 38.57±0.31a 38.6-40.1 (Linn 2000) Keterangan: huruf superscript yang sama (a) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya

perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan.

Pengukuran Jantung pada Arah Pandang Dorsoventral

Radiograf arah pandang dorsoventral menunjukan gambaran radiografi jantung dan pengukuran jantung yang dilakukan pada kelinci New Zealand White (Gambar 8). Pada arah pandang dorsoventral, dari 11 gambaran radiografi yang didapat umumnya jantung terlihat sedikit berada pada sisi kiri rongga toraks dengan bentuk siluet jantung bulat (Gambar 8).

(24)

11 Menurut Thrall (2002) pemeriksaan radiograf toraks dengan arah pandang dorsoventral dipilih sebagai pemeriksaan jantung, karena posisi jantung lebih dekat dengan sternum dan letak jantung mendekati posisi normal dalam toraks ketika hewan berada pada posisi tubuh normal. Kondisi normal nilai ukuran besar jantung terhadap rongga toraks pada arah pandang dorsoventral yaitu lebar maksimum jantung (W) harus lebih kecil 2/3 dari lebar rongga toraks (T) (O’Sullivan dan O’Grady 2004). Pengukuran ini sudah pernah dilakukan sebelumnya pada mamalia lainnya seperti anjing, kucing dan kelelawar (Gardner et al. 2007).

Tabel 2 Nilai parameter jantung kelinci pada arah pandang radiograf dorsoventral (n=11)

Kelompok Perlakuan

Parameter (cm)

Panjang jantung (L) Lebar jantung (W) Lebar toraks (T)

A 4.20±0.27a 3.26±0.23a 5.78±0.36a

B 4.43±0.40a 3.30±0.36a 5.80±0.10a

C 4.40±0.17a 3.47±0.25a 6.03±0.35a

Rataan 4.32±0.29 3.33±0.26 5.85±0.30

Keterangan: huruf superscript yang sama (a) pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan interpretasi radiograf pada kelinci, nilai ukuran lebar maksimum jantung W=3.33 cm dan ukuran lebar rongga toraks T=5.85 cm (Tabel 2). Pada penelitian ini, nilai total (T) sebesar 5.85 cm di kali 2/3 atau 2/3T dan di dapat nilai yaitu 3.33<3.72, berarti masih dalam batas normal seperti mamalia lainnya. Hasil uji statistik setiap parameter jantung yang diukur pada ketiga perlakuan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan yang ditunjukkan dengan huruf superscript yang sama (Tabel 2).

Pengukuran Jantung pada Arah Pandang Left Laterolateral.

Radiograf arah pandang left laterolateral menunjukan gambaran radiografi jantung dan pengukuran VHS yang dilakukan pada kelinci New Zealand White (Gambar 9). Dari 11 gambaran radiografi yang didapat, umumnya sumbu memanjang jantung membentuk sudut 45 derajat terhadap sternum. Bentuk siluet jantung bulat, basis jantung mengarah ke craniodorsal, dan bagian apex jantung berada pada garis tengah pertemuan diafragma dan sternum (Gambar 9).

(25)

12

Gambar 9 Pengukuran VHS kelinci New Zealand White pada arah pandang left laterolateral toraks. Long axis (A) dan short axis (B) dibandingkan dengan panjang ruas os vertebrae, dimulai dari tepi cranial tubuh vertebrae thoracic ke-4 (VHS = A + B).

Interpretasi radiograf untuk penilaian vertebral heart size (VHS) 11 ekor kelinci New Zealand White jantan pada arah pandang left laterolateral diuji menggunakan rata-rata dan standar deviasi memberikan penilaian vertebral heart size (VHS) yaitu 7.94±0.49 vertebrae (Tabel 3). Hasil penelitian sebelumnya oleh Onuma et al. (2009) yang dilakukan pada 15 kelinci dengan berat badan ≥1,6 kg diperoleh nilai VHS 7.99±0.58 vertebrae. Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan sebagai kriteria penilaian yang berguna untuk mendeteksi dilatasi jantung. Hasil uji statistik setiap parameter jantung yang diukur pada ketiga perlakuan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan yang ditunjukkan dengan huruf superscript yang sama (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai vertebral heart size (VHS) kelinci New Zealand White pada arah pandang radiograf left laterolateral (n=11)

Kelompok Perlakuan

Parameter (v)

Long axis (A) Short axis (B) Vertebrae heart size (VHS)

A 4.32±0.16a 3.54±0.29a 7.86±0.36a

B 4.57±0.06a 3.77±0.45a 8.33±0.50a

C 4.17±0.40a 3.50±0.17a 7.67±0.57a

Rataan 4.35±0.26 3.59±0.30 7.94±0.49

Keterangan: huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan.

Perbandingan Parameter Jantung

(26)

13 dibandingkan dengan parameter lainnya (Gambar 10). Pada perbandingan parameter jantung, data yang diuji sebagai distribusi data normal dihitung berdasarkan rata-rata dan standar deviasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5. Rasio yang paling efisien untuk memprediksi ukuran normal jantung adalah rasio yang memiliki standar deviasi terendah (Gardner et al. 2007).

Gambar 10 Radiograf toraks kelinci New Zealand White pada arah pandang left laterolateral. AB = panjang apicobasilar jantung; CD = lebar jantung tegak lurus AB; R5-7 = jarak antara costae kelima dan tepi caudal costae ketujuh, tegak lurus dengan os vertebrae; H = kedalaman vertikal toraks dari ventral os vertebrae hingga dorsal os sternum yang berbatasan dengan bifurcatio trakea.

(27)

14

Tabel 4 Perbandingan rata-rata dan standar deviasi untuk evaluasi radiografi kelinci New Zealand White pada arah pandang left laterolateral

Kelompok Perlakuan Rasio (cm)

AB/CD AB/H H/CD AB/R5-7

A 1.24±0.11a 0.97±0.07a 1.21±0.14a 1.60±0.22a

B 1.24±0.16a 0.99±0.01a 1.23±0.15a 1.66±0.09a

C 1.23±0.09a 1.07±0.06a 1.32±0.02a 1.57±0.14a

Rataan 1.24±0.11 1.00±0.07 1.25±0.12 1.61±0.16

Keterangan: huruf superscript (a) yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya

perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan, AB: panjang apicobasilar jantung; CD: lebar jantung tegak lurus AB (pengukuran diambil pada aspek terluas); R5-7: jarak antara costae kelima dan tepi caudal costae ketujuh, tegak lurus dengan os vertebrae; H: kedalaman vertikal toraks dari ventral os vertebrae hingga dorsal os sternum yang berbatasan dengan bifurcatio trakhea.

Tabel 5 Perbandingan rata-rata dan standar deviasi untuk evaluasi radiografi kelinci New Zealand White pada arah pandang dorsoventral

Kelompok Perlakuan Rasio (cm)

T/W L/W perbedaan yang nyata (p>0.05) antar kelompok perlakuan, L: panjang maksimum jantung; W: lebar maksimum jantung; dan T: lebar toraks.

Perubahan nilai parameter yang diperoleh dapat terjadi pada kedua arah pandang yaitu dorsoventeral dan left laterolateral apabila hewan mengalami suatu kelainan pada jantung. Pada arah pandang dorsoventral, apabila terjadi peningkatan panjang jantung (L) melebihi nilai normal menandakan terjadinya pembesaran pada ventrikel kanan jantung. Pembesaran ventrikel kanan dapat dijumpai pada hewan yang mengalami gagal jantung kanan, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot, dan kompleks Eisenmenger (Root dan Bahr 2002). Sedangkan peningkatan lebar jantung (W) melebihi nilai normal terjadi bila ada pembesaran pada atrium kiri, ventrikel kiri, dan ventrikel kanan. Pembesaran atrium kiri dapat dijumpai pada hewan yang mengalami gagal jantung kiri, patent ductus arteriosus, dan insufisiensi mitral. Pembesaran ventrikel kiri dapat dijumpai pada gagal jantung kiri dan patent ductus arteriosus. Sedangkan adannya pembesaran ventrikel kanan menandakan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot, dan kompleks Eisenmenger (Root dan Bahr 2002).

(28)

15 dapat dijumpai pada hewan yang mengalami gagal jantung kanan, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot, dan kompleks Eisenmenger. Sedangkan pembesaran ventrikel kiri dapat dijumpai pada gagal jantung kiri dan patent ductus arteriosus (Root dan Bahr 2002). Peningkatan lebar jantung (CD) melebihi nilai normal terjadi bila ada pembesaran pada atrium kiri dan ventrikel kanan. Pembesaran atrium kiri dapat dijumpai pada hewan yang mengalami gagal jantung kiri, patent ductus arteriosus, dan insufisiensi mitral. Sedangkan pembesaran ventrikel kanan menandakan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot, dan kompleks Eisenmenger (Root dan Bahr 2002).

Gagal jantung kiri terjadi ketika curah (output) ventrikel kiri kurang dari volume total darah yang diterima dari jantung kanan melalui sirkulasi pulmoner sehingga mengakibatkan terjadinya bendungan di sirkulasi paru-paru dan tekanan darah sistemik turun. Penyebab paling umum dari gagal ventrikel kiri adalah infark miokard. Penyebab lain meliputi hipertensi sistemik, stenosis atau insufisiensi aorta, dan kardiomiopati. Stenosis mitral dan insufisiensi mitral juga dapat menyebakan gejala gagal jantung kiri.

Pada gambaran radiografi terlihat atrium kiri membesar, menyebabkan carina menjadi miring akibat terjadinya perpindahan bronkus utama kiri ke arah atas atau penonjolan ruang jantung ke posterior pada arah pandang laterolateral. Ventrikel kiri memanjang, menyebabkan perpindahan basis jantung ke arah atas. Pada tahap awal gagal jantung kiri, terbentuk edema pulmonal interstisial. Pada awalnya merupakan penonjolan pembuluh darah pada lobus atas akibat meningkatnya tekanan vena pulmonalis dan penyempitan pembuluh darah pada lobus bawah. Seiring meningkatnya tekanan vena pulmonalis, terjadi edema interstisialis dan cairan kemudian berkumpul di daerah interlobular dengan garis septal di bagian perifer. Edema pulmonal alveolus juga terjadi ketika alveolus di paru-paru yang seharusnya berisi udara, terisi oleh cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah paru akibat tekanan vena yang meningakat. Pada radiograf, cairan yang melewati rongga alveolus (bayangan alveolus) terlihat kabur dan gambaran berkabut pada region perihilar (Root dan Bahr 2002).

Gagal jantung kanan merupakan konsekuensi sekunder gagal jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru-paru pada gagal jantung kiri. Gagal jantung kanan murni paling sering muncul bersama hipertensi pulmoner berat kronis yang menghalangi aliran-aliran darah dari ventrikel kanan (cor pulmonale). Pada radiograf arah pandang laterolateral, gagal jantung kanan ditandai dengan pembesaran gambaran jantung kanan yang apex jantungnya tampak lebih bulat dan terangkat ke atas. Kadang-kadang juga disertai dengan pembesaran atrium kanan, terlebih jika ada regurgitasi katup trikuspidalis. Sedangkan pada arah pandang dorsoventral, pembesaran ventrikel kanan terlihat menempel ke hemitoraks kanan, membentuk tanda D terbalik. Selain itu vena cava terlihat membesar pada kedua arah pandang, yaitu laterolateral dan dorsoventral (Root dan Bahr 2002).

(29)

16

dan siluet jantung terlihat memanjang pada arah pandang dorsoventral (Root dan Bahr 2002).

Stenosis pulmonal adalah suatu keadaan terdapatnya obstruksi anatomis atau penyempitan pada jalan keluar ventrikel kanan yang menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan antara ventrikel kanan dan kiri. Obstruksi yang menghalangi aliran darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan dan penurunan aliran darah paru-paru. Stenosis pulmonal dapat terjadi pada bagian supravalvular (sesudah katup), valvular (pada katup), dan subvalvular (sebelum katup).

Pada gambaran radiografi terlihat penonjolan pulmonal karena adanya dilatasi batang arteri pulmonalis poststenosis pada arah pandang dorsoventral. Pada arah pandang laterolateral, batas antara jantung dan vena cava cranialis kadang-kadang terlihat membulat karena adanya pembesaran atrium kanan dan dilatasi arteri pulmonalis. Sedangkan pada kedua arah pandang, terlihat adanya pembesaran jantung dengan apex yang terangkat, menandakan adanya hipertrofi ventrikel kanan. Pengaruh jangka panjang dari stenosis pulmonal meliputi dyspnea, exercise intolerance, dan tanda-tanda radiografi dari gagal jantung kanan sesuai dengan tingkat keparahan obstruksi yang terjadi (Root dan Bahr 2002).

Insufisiensi mitral atau regurgitasi mitral adalah kelainan katup mitral yang ditandai dengan aliran balik (regurgitasi) sebagian volume darah dari ventrikel kiri menuju atrium kiri. Pada insufisiensi mitral, aliran darah saat sistol terbagi dua yaitu sebagian ke aorta dan sisanya ke atrium kiri. Pada gambaran radiografi terlihat adanya pembesaran atrium kiri karena peningkatan beban volume atrium kiri. Ventrikel kiri juga mengalami pembesaran, menyebabkan apex jantung bergeser ke lateral. Seperti yang terjadi pada gagal jantung kiri, pada insufisiensi mitral juga terjadi penonjolan pembuluh darah paru, edema pulmonal interstitial, dan edema pulmonal alveolus (Root dan Bahr 2002).

Tetralogi Fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Kelainan yang terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang dari bagian infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama besar dengan lubang aorta. Tetralogi Fallot ditandai dengan empat kelainan anatomi yaitu (1) defek septum ventrikel yaitu lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel; (2) stenosis pulmonal, terjadi karena penyempitan katup pembuluh darah yang keluar dari ventrikel kanan menuju paru, selain itu bagian otot dibawah katup juga menebal dan menimbulkan penyempitan; (3) aorta overriding, terjadi ketika pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri mengangkang sekat ventrikel, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari ventrikel kanan; (4) hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal.

Kelainan yang ditemukan pada gambaran radiografi yaitu adanya pembesaran ventrikel kanan yang menandai adanya hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran ventrikel kiri palsu karena adanya perpindahan ke arah kiri dari apex jantung. Dilatasi poststenosis dari batang arteri pulmonalis mungkin terlihat juga pada gambaran radiografi (Root dan Bahr 2002).

(30)

17 septum ventrikel, dan hipertrofi ventrikel kanan. Umumnya kompleks Eisenmenger disebabkan oleh defek septum ventrikel, yang memungkinkan darah untuk mengalir dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Peningkatan aliran darah dan tekanan darah di paru-paru menyebabkan kerusakan yang progresif pada pembuluh darah kecil di paru-paru. Seiring waktu, pembuluh-pembuluh darah ini akan menebal atau menjadi tersumbat sehingga aliran darah dari paru-paru terhambat menyebabkan darah yang kurang mengandung oksigen dipompa keseluruh tubuh. Gambaran Radiografi seperti pada tetralogi Fallot yaitu ventrikel kanan membesar yang menandai adanya hipertrofi ventrikel kanan (Root dan Bahr 2002).

Efek agen anestesi pada fungsi jantung harus dipertimbangkan juga ketika melakukan pengukuran jantung. Anestesi memiliki efek besar pada frekuensi jantung, kontraktilitas otot jantung, dan mungkin pada dimensi jantung. Pada pemeriksaan echocardiography, peningkatan dimensi jantung akibat pengaruh kombinasi xylazine-ketamine sudah dilaporkan pada anjing oleh Soesatyoratih (2011) dan kemungkinan dapat terjadi juga pada dimensi jantung kelinci. Xylazine yang termasuk pada golongan alpha-2 adrenoreceptor mempunyai efek mendepres sistem kardiovaskular melalui efek xylazine pada alpha-2 reseptor yang menghambat pelepasan norepinephrin melalui penekanannya pada sistem saraf simpatis mengakibatkan penurunan kontraktilitas otot jantung. Penurunan kontraksi otot jantung ini mengakibatkan perluasan dari dimensi interna ruang ventrikel sehingga ventrikel lebih banyak menampung darah dari atrium dan jantung akan memompakan darah keluar sesuai dengan jumlah darah yang masuk, sedangkan ketamine mempunyai efek menstimulasi sistem saraf simpatis mengakibatkan terjadinya peningkatan kontraksi otot jantung. Jika ketamine dikombinasikan dengan alpha-2 agonis seperti xylazine maka akan terjadi penurunan efek dari ketamine (Seymour dan Novakovski 2007)

Dampak dari pemberian kombinasi xylazine-ketamine adalah terjadinya penurunan frekuensi jantung, peningkatan dimensi internal ruang ventrikel jantung pada saat diastol maupun sistol yang diikuti oleh peningkatan dari stroke volume (Soesatyoratih 2011). Kelinci yang diamati pada penelitian tidak terjadi peningkatan dimensi internal jantung ruang ventrikel jantung pada saat diastol maupun sistol karena radiografi hanya berupa siluet jantung yang tidak menunjukkan jantung diastol maupun sistol. Hasil uji statistik dari ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) sehingga peningkatan dosis ketamine kemungkinan tidak mempengaruhi dimensi internal ruang ventrikel jantung pada saat diastol maupun sistol.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(31)

18

dimensi jantung normal pada arah pandang left laterolateral adalah long axis dibandingkan dengan kedalaman vertikal toraks, sedangkan pada arah pandang dorsoventral adalah panjang jantung dibandingkan dengan lebar jantung.

Saran

Pemeriksaan jantung melalui radiografi toraks dapat dilakukan pada hewan yang memiliki kelainan gangguan jantung. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan status kesehatan selain pemeriksaan fisik, seperti pemeriksaan echocardiography serta pemeriksaan hematologi dan biokimia darah.

DAFTAR PUSTAKA

Bonagura DJ. 2000. Cardiovascular Radiography. Di dalam Birchard JS, Sherding RG. Saunders Manual of Small Animal Practice. 2nd edition. St. Louis, Missouri: W.B. Saunders Co.

Buchanan JW, Bücheler J. 1995. Vertebral scale system to measure canine heart size in radiographs. Journal of the American Veterinary Medical Association 206:194–199.

Corwin EJ. 2001. Buku Radiografi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gardner A, Thompson MS, Fontenot D, Gibson N, Heard DJ. 2007. Radiographic

evaluation of cardiac size in flying fox species (Pteropus rodricensis, P. hypomelanus, and P. vampyrus). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 38 (2): 192-200.

Ghadiri A, Reza A, Abdolrahman R, Ali Y. 2007. Radiographic measurement of vertebral heart size in healthy stray cats. Journal of Feline Medicine and Surgery 10: 61-65.

Goaz PW, White SC. 1994. Oral Radiology Principles and Interpretation. 3rd

edition. St.louis: The CV. Mosby Company.

Gülanber EG, Gönenci R, Kaya Ü, Aksoy Ö, Biricik HS. 2005. Vertebral scale system to measure heart size in thoracic radiographs of shepherd (kangal) dogs. Turkish Journal of Veterinary & Animal Science 29:723-726.

Harcourt F, Brown. 2002. Textbook of Rabbit Medicine. Edinburg: Butterworth Heinmenn.

Kleine LJ. 1994. Radiology of Acute Abdominal Disorders in the Dog and Cat. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning System Co.

Linn JM. 2000. Laboratory Animal Medicine and Science Series II. Washington: University of Washington.

(32)

19 Morgan JP, Wolvekamp P. 2004. Atlas of Radiology of the Traumatized Dog and

Cat. 2nd edition. Hannover: Schlütersche Verlagsgesellschaft mbH.

Onuma M, Ono S, Ishida T, Shibuya H, Sato T. 2009. Radiographic measurement of cardiac size in 27 rabbits. Journal of Veterinary Medical Science 72(4): 529-531.

O'Sullivan ML, O'Grady MR. 2004. Clinical Evaluation of Heart Disease. VetGo. [Internet]. [diunduh 2012 Agu 3]. Tersedia pada: http://vetgo.com/cardio/ concepts/concsect.php?sectionkey=2&section=Clinical%20Evaluation%20of% 20Heart%20Disease.

Owens MJ, Biery ND. 1999. Radiographic Interpretation for the Small Animal Clinician. 2nd edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins.

Reed AB. 2011. The history of radiation use in medicine. Journal of Vascular

Soetikno RD, Derry. 2011. Kesesuaian antara foto toraks dan mikroskopis sputum pada evaluasi respons pengobatan tuberculosis paru setelah enam bulan pengobatan. Majalah Kedokteran Bandung 43(3): 140-5.

Tayal R. 2004. Radiographic Diagnosis in Pet Practice. Di dalam Chander S: Compendium of Training Pet Animal Practices. Hisar: CCS Haryana Agricultural University.

Thrall DE, Widmer WR. 2002. Phisics and Principle of Interpretation. Di dalam Thrall DE: Textbook of Vetrinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London: WB Saunders Co.

(33)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 14 Mei 1989 dari ayah yang bernama Drs. Aja Supriatna dan ibu yang bernama Mamay Sukmaya. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 1 Cikatomas pada tahun 1996-2002, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Cikatomas tahun 2002-2005. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Cikatomas dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Gambar

gambar dan data radiografi dilaksanakan mulai dari tanggal 22 Februari sampai
Gambar 2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian. (A) mesin sinar X
Gambar 4  Radiograf toraks arah pandang  left laterolateral pada kelelawar. AB =
Gambar 5  Pengukuran VHS arah pandang  left laterolateral toraks pada anjing.
+3

Referensi

Dokumen terkait

effective if they are personalised.” It is assumed that when the students write their own vocabulary by themselves, they will remember those words for a long

Melaporkan pembelajaran sampai dengan presentasi hasil pembelajaran berupa pementasan sesuai Petunjuk Teknis Bantuan Pemerintah Penyelenggaraan Gerakan Seniman

melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Klasifikasi Decision Tree Dengan Algoritma C4.5

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada

Pengalaman positif yang dirasakan akibat pernikahan dapat membuat tingkat kesejahteraan psikologis penyandang tunarungu wicara akan berbeda dibandingkan penyandang

Berlandaskan beberapa permasalahan yang dihadapi, pengembangan model pembe- lajaran yang akan dilaksanakan dibatasi pada model pembelajaran mata kuliah Teknik

Fosil memiliki bentuk fisik artistik tekstur dan warna yang unik serta nilai riwayat lampau, berkaitan dengan itu dalam penciptaan karya lukis ini penulis memakai

Wajib melakukan konfirmasi sebelum melakukan perawatan di luar negara Indonesia ke nomor Pelayanan Medis 24 Jam (6221) 29976381. Imprint kartu kredit akan diminta sesuai ketentuan RS