• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Aktivitas Fisik Dan Aktivitas Kognitif Terhadap Kejadian Demensia Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan. 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Aktivitas Fisik Dan Aktivitas Kognitif Terhadap Kejadian Demensia Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan. 2012"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

i

PADA LANSIA DI KELURAHAN SUKABUMI

SELATAN TAHUN 2012

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Oleh :

Dian Fithria Hidayaty

NIM :109103000031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puja dan puji syukur disampaikan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif terhadap Kejadian Demensia Pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012” walaupun dalam bentuk yang sederhana.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah mewarnai cakrawala baru pada peradaban umat manusia sehingga dengan itu penulis memperoleh nuansa untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil.

Dengan terselesainya skripsi ini, penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya penelitian ini, khususnya kepada :

1. Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih untuk semua dukungan serta memberikan masukan untuk penelitian saya.

2. DR. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR selaku Kepala Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, atas segala dukungan serta pemberian izin untuk sidang skripsi saya.

(6)

vi

4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggungjawab riset Program Studi Pendidikan Dokter 2009, yang telah banyak

“menyadarkan” saya dengan mem-follow-up di setiap akhir modul untuk mempercepat penyelesaiaan penelitian ini.

5. dr. Erike Anggraini S, M.Pd dan dr. Isa Multazam Noor, Sp.KJ selaku penguji yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji pada sidang skripsi ini dan memberikan koreksi dan saran yang telah memperkaya diri ini dengan banyak ilmu.

6. Untuk Bapak Ibnu Sofa selaku Lurah beserta staff Kelurahan Sukabumi Selatan, kader-kader puskesmas, ketua-ketua RW dan ketua-ketua RT serta lansia-lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan yang telah bersedia menjadi responden. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga terealisasilah penelitian ini. Terima kasih untuk kerjasama, bantuan, dan do‟anya.

7. Drs. H. Abdul Muhit, MM sebagai ayah penulis dan Hj. Susanti sebagai ibu penulis, terima kasih atas dukungan dan do‟a dari kalian, betapa bersyukurnya saya menjadi buah hati kalian. Adik-adikku yang bawel tapi baik, terima kasih atas keramaian yang kalian ciptakan.

8. Sahabat-sahabatku tersayang Adinda, Angelia, Ayesha, Eka, Lia, Rahmatul, Resti, serta teman-teman seperjuangan Adelita, Reani, Ibnu dan Wildan terima kasih untuk semuanya.

9. Seluruh staff di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah, terutama mba pipit yang bersedia untuk direpotkan oleh kami para mahasiwa. Terima kasih banyak atas jasa-jasanya.

Ciputat, 18 September 2012

(7)

vii

Fisik Dan Aktivitas Kognitif Terhadap Kejadian Demensia Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan. 2012

Saat ini di seluruh dunia jumlah lansia di perkirakan mencapai 500 juta dan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Seiring meningkatnya usia, risiko terjadinya demensia juga mengalami peningkatan. Salah satu faktor risiko yang berkaitan dengan demensia adalah aktivitas fisik, dan aktivitas kognitif. Lansia yang melakukan aktivitas baik fisik maupun kognitif dapat menurunkan risiko demensia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik, kognitif dan karakteristik responden terhadap kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan. Penelitian ini menggunakan kuesioner dari Verghese untuk aktivitas fisik dan kognitif, serta menggunakan kuesioner Mini Mental State Examination untuk diagnosis demensia. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional selama bulan Juli-Agustus 2012. Pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling dengan responden 101 lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia yang menderita demensia adalah kelompok dengan aktivitas fisik rendah (64,8%) dengan p = 0,024 (OR = 2,715) dan aktivitas kognitif rendah (46,3%), dengan p = 0,008 (OR = 3,640). Dengan demikian, aktivitas fisik dan aktivitas kognitif yang cukup dapat menurunkan risiko demensia.

Kata Kunci : Demensia, aktivitas fisik, dan aktivitas kognitif. ABSTRACT

Dian Fithria Hidayaty. Medicine Study Programe. Correlation between physical and cognitive activities with dementia of the elderly in the South Sukabumi Village. 2012

Today, the number of elderly in the world reach 500 million, and in 2025 will reach 1.2 billion. With increasing age, the risk of dementia also increased. One of the risk factors associated with dementia is a physical and cognitive activity. Elderly who involve physical and cognitive activities may decrease the risk of dementia. This research‟s aim to know the correlation between physical and cognitive activities and characteristic of subject with dementia of the elderly in the South Sukabumi Village. This research use Verghese‟s questionaires for the physical and cognitive activities and use Mini Mental State Examination for diagnostic dementia. This research use cross sectional design during July until August 2012. The method of sampling is cluster random sampling with total of responden is 101. The result showed that the elderly who suffer from dementia is group with low physical activity (64,8%) with p value = 0,024 (OR = 2,175) and low cognitive activity (46,3%) with p value = 0,008 (OR = 3,640). So, physical activity and cognitive activity can reduce the risk of dementia.

(8)

viii

2.1.3. Perubahan yang Terjadi pada Berbagai Sistem Tubuh pada Proses Menua…………... 6

2.2. Demensia………. 9

2.2.1. Definisi……….………….. 9

2.2.2. Epidemiologi……….………. 10

2.2.3. Klasifikasi Demensia…………...……….. 10

2.2.4. Patobiologi dan Patogenesis..………... 12

2.2.5. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Demensia………... 14

2.2.6. Diagnosis………... 18

2.3. Kerangka Konsep……….... 22

2.4. Definisi Operasional……….... 24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……….. 25

3.1. Jenis dan Desain Penelitian………... 25

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 25

3.3. Populasi dan Sampel……...……… 25

(9)

ix

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 29

4.1. Gambaran Karakteristik Responden……….... 29

4.2. Gambaran Kejadian Demensia……… 30

4.3. Gambaran Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif…….. 31

4.4. Hubungan Umur dengan Demensia….………... 33

4.5. Hubungan Jenis Kelamin dengan Demensia………... 33

4.6 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Demensia……. 34

4.7. Hubungan Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif dengan Demensia………... 35

4.8. Keterbatasan Penelitian………... 36

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 37

5.1. Kesimpulan……….. 37

5.2. Saran……….... 38

DAFTAR PUSTAKA………. 39

(10)

x

Tabel 2.1. Kemunduran dan Kelamahan Lansia.……….. 9 Tabel 2.2 Penyakit Penyebab Demensia……….. 17 Tabel 4.1. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden

pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012….. 29

Tabel 4.2. Distribusi Responden Menurut Kategori Tingkat Pendidikan pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun

2012………..

30

Tabel 4.3. Distribusi Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan

Sukabumi Selatan Tahun 2012……...……….. 31

Tabel 4.4. Distribusi Responden Menurut Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun

2012………..

31

Tabel 4.5. Presentase Aktivitas Fisik Lansia...……….. 32 Tabel 4.6. Presentase Aktivitas Kognitif Lansia ……….. 32 Tabel 4.7. Distribusi Rata-rata Umur Responden dengan Kejadian

Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan

Tahun 2012……….……….. 33

Tabel 4.8. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi

Selatan Tahun 2012……….. 33

Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi

Selatan Tahun 2012……….. 34

Tabel 4.10. Distribusi Responden Menurut Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi

(11)

xi

(12)

xii

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih.1 Saat ini di seluruh dunia jumlah lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Di Indonesia sendiri pada tahun 2000, jumlah lansia meningkat mencapai 9,99% dari seluruh penduduk Indonesia (22.277.700 jiwa) dengan umur harapan hidup usia 65-70 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 30 juta orang dengan umur harapan hidup 70-75 tahun.2

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, dan tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.3 Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6 %. Saat ini usia harapan hidup mengalami peningkatan, hal ini diperkirakan akan meningkatkan pula prevalensi demensia, dan di seluruh dunia di perkirakan lebih dari 30 juta penduduk menderita demensia dengan berbagai sebab.4 Di Indonesia sendiri, menurut data profil kesehatan yang di laporkan oleh Departemen Kesehatan tahun 1998, terdapat 7,2 % populasi usia lanjut 60 tahun keatas menderita demensia. Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi.2

Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan demensia adalah aktivitas fisik, dan aktivitas kognitif.2 Aktivitas untuk mengisi waktu senggang pada lansia dapat menurunkan risiko demensia. Jenis aktivitas tersebut melibatkan fungsi kognitif dan fisik. Pada lansia yang melakukan aktivitas melibatkan fungsi kognitif dapat menurunkan risiko demensia.5 Penelitian dr.R.W.Bowers dari Universitas Bowling Green menunjukkan, setelah 10 minggu jogging, pada

(14)

mereka yang semula hanya duduk saja, ternyata meningkatkan daya ingat dan daya pikir lebih tajam.6

Demensia juga berkaitan dengan umur dan jenis kelamin. Sekitar 5 % usia lanjut 65-70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia di atas 85 tahun. Penyakit ini adalah penyebab yang paling umum dari gangguan intelektual yang berat pada orang lanjut usia.2 Penelitian di Jakarta Barat rata-rata umur lansia dengan demensia adalah 70,03 tahun, sedangkan lansia yang tidak demensia memiliki rata-rata umur 66,08 tahun.7 Pengaruh umur dengan kejadian demensia adalah semakin meningkatnya umur, semakin tinggi pula risiko demensia.8 Demensia terjadi lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Penderita demensia pada usia 65 dan 69 tahun sekitar 1,4% pria dan 1,5% wanita, pada usia 70 dan 74 tahun sekitar 3,1% pria dan 2,2% wanita, pada usia antara 75 dan 79 sekitar 5,6% pria dan 7,1% wanita , pada usia antara 80 dan 84 sekitar 10,2% pria dan 14,1% wanita, dan pada usia 85 atau lebih sekitar 19,6% pria dan 27,5% wanita.9 Kejadian demensia pada pria dibandingkan wanita ternyata wanita lebih banyak mengalami demensia, akan tetapi tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin dengan demensia.7 Tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan kejadian demensia pada lansia. Lansia dengan pendidikan rendah lebih berpeluang mengalami demensia dibanding lansia dengan pendidikan tinggi.7

Pada penderita demensia terjadi penurunan daya ingat terutama memori jangka pendek, perubahan kepribadian yang bermanifestasi menjadi perilaku yang tidak sopan, berkurangnya interaksi sosial, depresi, paranoid dan lain sebagainya. Selain itu terdapat pula perubahan dalam cara mempertimbangkan dan mempersepsikan sesuatu, kemampuan berbahasa dan perilaku motorik. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan lansia.

(15)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan antara aktivitas fisik dan kognitif dengan kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang di atas, hipotesis pada penelitian ini adalah: Ada hubungan antara aktivitas fisik dan kognitif dengan kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dan kognitif terhadap kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

b. Mengetahui prevalensi Demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

c. Mengetahui gambaran aktivitas fisik pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

d. Mengetahui gambaran aktivitas kognitif pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

e. Mengetahui hubungan antara aktivitas fisik terhadap kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012 f. Mengetahui hubungan antara aktivitas kognitif terhadap kejadian

demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012 g. Mengetahui hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis

(16)

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Subyek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan subyek penelitian mengenai hubungan aktivitas fisik, aktivitas kognitif, dan karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) terhadap kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan tahun 2012.

1.5.2 Kelurahan Sukabumi Selatan

Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan tentang hubungan aktivitas fisik, aktivitas kognitif, dan karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) terhadap kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan tahun 2012 sebagai bahan pertimbangan dalam intervensi penyuluhan atau pelayanan khusus pada lansia yang dapat dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki status kesehatan lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan.

1.5.3 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hasil Penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan di masa mendatang khususnya dalam penatalaksanaan penderita demensia pada lansia. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penelitian selanjutnya.

1.5.4 Peneliti

a. Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

2.1.1 Definisi Lanjut Usia

Lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.10 Ada beberapa pembagian lansia, antara lain menurut WHO, Depkes RI, dan menurut pasal 1 Undang – undang No.4 tahun 1965. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut : kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (≥ 65 tahun) sebagai senium.2 Sedangkan menurut pasal 1

Undang-Undang No. 4 tahun 1965 : “Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia

lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain”.11

Berdasarkan World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. 1

2.1.2 Proses Menua

Kesehatan lansia dipengaruhi proses menua. Proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan ini menyebabkan kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan dan kemampuan bertahan hidup berkurang. Proses menua setiap individu dan setiap organ tubuh berbeda, hal ini dipengaruhi gaya hidup, lingkungan, dan penyakit degeneratif.12

Proses menua merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi

(18)

satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan, keterbatasan fungsional, ketidakmampuan, dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.12

2.1.3 Perubahan yang Terjadi pada Sistem Tubuh pada Proses Menua Proses menua pada berbagai organ seperti sistem endokrin, kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal, penginderaan, muskuloskeletal, komposisi tubuh, otak, ginjal dan saluran kemih pada lansia dijelaskan sebagai berikut :

a. Sistem Endokrin

Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah post prandial meningkat 10 mg/dl/dekade), insulin serum meningkat, HbA1c meningkat, IGF-1 berkurang, penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA), penurunan terstosteron bebas maupun yang bioavailable, penurunan hormon T3, peningkatan hormon paratiroid, penurunan produksi vitamin D oleh kulit, ovarian failure disertai menurunnya hormon ovarium, serta peningkatan kadar homosistein serum.13

b. Kardiovaskular

Tidak ada perubahan frekuensi jantung saat istirahat, penurunan frekuensi jantung maksimum, berkurangnya pengisian ventrikel kiri, berkurangnya sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA, hipertrofi atrium kiri, kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama, menurunnya respon inotropik, kronotropik, lusitropik, terhadap stimulasi beta adrenergik, menurunnya curah jantung maksimal, menurunnya hipertrofi sebagai respon terhadap peningkatan volume dan tekanan, peningkatan atrial natriuretic peptide

(ANP) serum, lapisan subendotel menebal dengan jaringan ikat, ukuran dan bentuk yang irregular pada sel-sel endotel, fragmentasi elastin pada lapisan media dinding arteri, serta peningkatan resistensi vaskular perifer.13

c. Tekanan Darah

(19)

d. Paru – Paru

Meningkatnya volume residual, berkurangnya efektivitas batuk dan fungsi silia, peningkatan diameter trakea dan saluran pernafasan atas, penurunan massa jaringan paru, penurunan tekanan maksimum ekspirasi dan inspirasi, berkurangnya kekuatan otot-otot pernapasan, serta kekakuan dinding dada.13 e. Hematologi

Berkurangnya cadangan sumsum tulang akibat kebutuhan yang meningkat,

attenuated retikulosis terhadap pemberian eritropoietin.13 f. Ginjal

Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, menurunnya kapasitas konsentrasi dan dilusi, berkurangnya sekresi akibat pembebanan asam, meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi, serta menurunnya aktivasi vitamin D.13

g. Regulasi suhu tubuh

Berkurangnya vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah kutaneus, berkurangnya produksi keringat, dan meningkatnya suhu inti untuk mulai berkeringat.12

h. Otot

Massa otot berkurang secara bermakna karena berkurangnya serat otot, infiltrasi lemak ke berkas otot, peningkatan kelemahan, dan berkurangnya laju metabolisme basal.12

i. Tulang

Melambatnya penyembuhan fraktur, berkurangnya massa tulang, dan berkurangnya formasi osteoblast tulang.12

j. Sistem Saraf Perifer

Hilangnya neuron motor spinal, berkurangnya sensasi getar terutama di kaki, berkurangnya sensitivitas terhadap suhu.13

k. Sistem Saraf Pusat

Berkurangnya massa otak, berkurangnya aliran darah otak dan terganggunya perfusi, berkurangnya myelin dan total lemak di otak, berubahnya

(20)

l. Gastrointestinal

Berkurangnya ukuran dan aliran darah hati, terganggunya klirens obat oleh hati, terganggunya respon cedera pada mukosa lambung, berkurangnya kontraksi kolon yang efektif, dan berkurangnya absorbsi kalsium.13

m. Penginderaan

Terganggunya adaptasi gelap, pengeruhan pada lensa, ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat (presbyopia), berkurangnya sensitivitas terhadap kontras, berkurangnya lakrimasi, deteksi penghidu berkurang 50%, berkurangnya rasa haus dan terganggunya kontrol haus oleh endorpin, meningkatnya respon ambang vestibuler dan berkurangnya jumlah sel rambut pada organ korti, hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral, defisit pada proses sentral, kesulitan untuk membedakan sumber bunyi, dan terganggunya kemampuan membedakan target dari sumber bunyi.13

n. Jaringan Adiposa

Meningkatnya aktivitas aromatase dan peningkatan kemungkinan lipolisis.12 o. Sistem Imun

Berkurangnya imunitas yang dimediasi sel, rendahnya afinitas produksi antibodi, meningkatnya autoantibodi, berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat, terganggunnya fungsi makrofag, atrofi organ timus dan hilangnya hormon timus, serta berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang.12

p. Fungsi Kognitif

Kemampuan meningkatkan fungsi intelektual berkurang, berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama proses transmisi, berkurangnya kemampuan untuk mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.12

(21)

Tabel 2.1 Kemunduran dan kelemahan lansia

Kemunduran dan Kelemahan Lansia 1. Pergerakan dan kestabilan terganggu 2. Intelektuan terganggu (demensia) 3. Isolasi diri (depresi)

4. Inkontinensia dan impotensia 5. Defisiensi imunologis

6. Infeksi, konstipasi, dan malnutrisi 7. Latrogenesis dan insomnia

8. Kemunduran penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, komunikasi, dan integrasi kulit

9. Kemunduran proses penyembuhan

Sumber : Masalah kesehatan pada golongan lanjut usia, oleh R. Boedhi Darmodjo (Arisman,2004)

2.2 Demensia

2.2.1 Definisi

Beberapa definisi demensia dikemukakan sebagai berikut:

a. Sindroma demensia dapat didefinisikan sebagai deteriorasi atau kemunduran kapasitas intelektual yang diakibatkan oleh penyakit di otak. Sindrom ini ditandai oleh gangguan kognitif, emosional, dan psikomotor. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IIIR menambahkan bahwa agar dapat digolongkan sebagai demensia, kemunduran fungsi luhur yang diderita harus sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaannya, aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain.12

b. DSM IV (1994) mendefinisikan demensia sebagai sindrom yang diakibatkan oleh banyak kelainan yang ditandai oleh gangguan tingkat intelektual yang sebelumnya lebih tinggi. Gangguan mencakup memori dan bidang kognitif lainnya (termasuk berbahasa, orientasi, kemampuan konstruksional, berfikir abstrak, kemampuan memecahkan persoalan dan praksis) dan harus cukup berat sehingga mengganggu kemampuan okupasional atau sosial atau keduanya. Perubahan kepribadian dan afek sering dijumpai.12

(22)

d. Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Pasien demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.3

e. Demensia adalah suatu sindroma klinis dengan terjadinya kemunduran intelektual. Demensia pada umumnya melibatkan deteriorasi pada memori satu atau lebih fungsi intelektual lain seperti bahasa, berpikir tempat dan orientasinya, pemecahan masalah, dan berpikir abstrak.15

2.2.2. Epidemiologi

Demensia cukup sering dijumpai pada lansia, menimpa sekitar 10 % kelompok usia di atas 65 tahun dan 47% kelompok usia di atas 85 tahun. Pada sekitar 10-20 % kasus demensia bersifat reversibel atau dapat diobati.12 Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah 5,6 %.3

Data dari pemeriksaan otopsi menunjukkan bahwa demensia Alzheimer, jenis multi-infark serta jenis campuran (Alzheimer+multi-infark) merupakan penyebab yang paling sering dijumpai. Prevalensi Alzheimer lebih tinggi pada wanita dan demensia multi-infark lebih banyak dijumpai pada pria.12 Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body, demensia fronto-temporal (FTD), dan demensia pada penyakit Parkinson.3

2.2.3. Klasifikasi Demensia

Demensia diklasifikasikan menjadi 6 , yaitu : a. Penyakit Alzheimer

(23)

penyakit ini. Pada penyakit ini, sel di dalam area otak yang mengendalikan fungsi mental dan memori dihancurkan oleh protein abnormal yang tersimpan di dalam otak. Orang dengan penyakit Alzheimer juga mempunyai tingkat bahan kimia otak yang kurang dari normal disebut neurotransmitter sebagai pengendali fungsi penting otak. Penyakit Alzheimer tidak tetap dan tidak diketahui perawatannya, akan tetapi, pengobatan dapat memperlambat progresivitas penyakit.

b. Demensia Vaskular

Demensia vaskular merupakan jenis demensia yang paling umum dan disebabkan oleh peredaran darah yang lemah ke otak. Pada multi infark demensia, beberapa stroke ringan atau infark muncul di tempat aliran darah beredar minimal ke bagian otak. Peningkatan demensia vaskular dapat terjadi pada langkah langkah yang tidak diketahui. Dengan demensia jenis ini, pengendalian tekanan darah yang baik, tidak mengkonsumsi rokok, pengendalian penyakit yang dapat menyebabkan gangguan vaskular dapat membantu menghambat kemajuan penyakit ini.

c. Penyakit Parkinson

Penderita penyakit ini secara khas mengalami kekauan otot, bermasalah pada saat berbicara, dan tremor. Demensia dapat berkembang secara lambat pada penyakit ini, tetapi tidak semua orang dengan penyakit parkinson mempunyai demensia. Pemikiran, memori, perkataan, dan pengambilan keputusan paling mungkin berpengaruh.

d. Lewy Body Dementia

Penyakit demensia jenis ini disebabkan cadangan protein mikroskopik abnormal di dalam sel saraf, disebut lewy body, cadangan protein ini menghancurkan sel dari waktu ke waktu. Cadangan ini dapat menyebabkan gejala khas dari penyakit Parkinson, seperti kekakuan otot dan tremor, seperti halnya demensia serupa dengan penyakit Alzheimer. Lewy body dementia

(24)

penyakit Alzheimer dapat bermanfaat untuk beberapa orang dengan penyakit ini.

e. Alcohol-related dementia

Kerusakan otak dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang terlalu banyak. Hal penting untuk orang dengan jenis demensia ini adalah berhenti total mengkonsumsi alkohol, agar penyakit ini tidak berkembang lebih lanjut. f. Pick disease (frontotemporal demensia/FTD)

Pick disease adalah bentuk keanehan yang jarang merusak sel di bagian depan otak. Perubahan kepribadian dan perilaku pada umumnya lebih dulu muncul dibandingkan permasalahan bahasa dan kehilangan memori.

2.2.4. Patobiologi Dan Patogenesis

Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,

neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan

Hirano bodies. Plak neuritik mengandung b-amyloid ekstraseluler yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara plak difus (nonneuritik) adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amiloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak B-amyloid dan studi mengenai ikatan high avidity antara Apo E dengan B-amyloid menunjukkan bukti hubungan antara amiloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada pathogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom down (trisomy-21), yang diderita oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun.3

(25)

Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung

tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen heliks. Individu usia lanjut yang normal juga diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di bebrapa lapisan hipokampus dan korteks entohirnal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain, seperti

subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika (boxer’s

dementia), dan the parkinsonian dementia complex of Guam.3

Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan abnormalitas sunstansia alba. Infark jaringan otak yang terjadi setelah stroke dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan hemisfer mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada

stroke yang mengenai beberapa bagian otak/multi-infract dementia/atau hemisfer kiri otak. Sementara abnormalitas substansia alba (diffuse white matter disease

atau leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya terjadi berhubungan dengan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. Abnormalitas substansia alba ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai

cerebral autosomal dominant artheriopathy with subaortical infarcts and

leukoencephalopathy/CADASIL, yang secara klinis terjadi demensia yang progresif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat migrain dan stroke berulang tanpa hipertensi.3

(26)

substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik.

Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi, ubiquitin, dan protein presinaps yang disebut alfa-synuclein. Jika pada seorang penderita demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain adanya lewy body maka kondisi ini disebut diffuse lewy body disease, sementara bila ditemukan juga plak amiloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer.3

Defisit neurotransmitter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradenergik dan serotonin, somatostatisn-like reactivity, dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer, defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.3

2.2.5. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Demensia

a. Aktivitas Fisik Dan Aktivitas Kognitif

Pada penelitian Verghese, dkk (2003) dilaporkan bahwa demensia berhubungan dengan berkurangnya partisipasi dalam mengisi waktu senggang. Jenis aktivitas harus melibatkan fungsi kognitif dan fisik. Kegiatan fisik yang dapat dilakukan antara lain bermain tenis, bersepeda, berjalan kaki, atau mengerjakan pekerjaan rumah. Sedangkan kegiatan yang menggunakan fungsi kognitif, yaitu membaca buku atau koran, menulis, mengisi teka teki silang, permainan kartu, partisipasi dalam kelompok diskusi, atau memainkan alat musik.5

Kegiatan olahraga dapat menenangkan pikiran, memperbaiki daya ingat, mengurang kecemasan dan depresi. Selain itu, olahraga dapat menolong otak untuk berfungsi dengan baik secara intelek. Pengaruh olahraga terhadap kesehatan mental dijelaskan pada teori sebagai berikut 4 :

(27)

Dalam tubuh manusia, adanya satu sistem hormon yang berfungsi sebagai

morfin disebut “endogenous opioids”. Reseptornya terdapat di dalam hipotalamus dan sistem limbik otak, daerah yang berhubungan dengan emosi dan tingkah laku manusia. Sistem hormon ini, salah satunya adalah beta-endorfin, bukan hanya mengurangi rasa nyeri dan memberikan kekuatan, tetapi juga menambah daya ingat, menormalkan selera seks, tekanan darah, dan ventilasi. Saat berolahraga, kelenjar pituitari menambah produksi beta-endorfin dan sebagai hasilnya beta-endorfin naik di dalam darah kemudian dialirkan juga ke otak, sehingga mengurangi nyeri, cemas, depresi, dan perasaan letih.

2. Gelombang Otak Alfa

Penelitian Dr. James Wiese melaporkan bahwa selama olahraga, ada penambahan gelombang alfa di otak. Gelombang alfa di otak ini sudah lama diketahui berhubungan dengan rileks dan keadaan santai seperti pada waktu bermeditasi. Gelombang alfa ini terlihat pada seseorang yang

jogging dari 20-30 menit, dan tetap dapat diukur setelah olahraga tersebut berakhir. Para peneliti mengemukakan bahwa bertambahnya kekuatan gelombang alfa memberikan kontribusi kepada kejiwaan, termasuk berkurangnya kecemasan dan depresi.

3. Penyalur Saraf otak

(28)

b. Tingkat pendidikan

Pada beberapa penelitian melaporkan bahwa tingkat pendidkan berhubungan signifikan dengan kejadian demensia. Menurut The Canadian Study of Health and Aging Tahun 1994 dalam Purnakarya tahun 2008 dijelaskan bahwa lansia dengan tingkat pendidikan yang rendah berpeluang 4 kali mengalami demensia dibandingkan lansia berpendidikan tinggi.7

c. Umur

Umur merupakan faktor risiko utama terhadap kejadian demensia. Hubungan ini berbanding lurus yaitu semakin meningkatnya umur semakin tinggi pula risiko kejadian demensia. Satu dari 50 orang pada kelompok umur 65-70 tahun berisiko demensia, sedangkan satu dari lima orang pada kelompok umur lebih dari 80 tahun berisiko demesia.4

d. Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian demensia, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk berkembangnya demensia.4

e. Genetik

Beberapa pasien demensia memiliki gen demensia. Namun, sebagian orang yang memiliki gen demensia hanya sedikit yang berkembang gen nya menjadi demensia.4

f. Riwayat penyakit

(29)

Tabel 2.2 Penyakit Penyebab Demensia

A. Demensia „ideopatik”

(gangguan degeneratif primer atau metabolik) 1. A. Penyakit Alzheimer (AD)

B. Demensia senilis jenis Alzheimer (SDAT)

Degenerasi primer terutama di pariotemporal

2. Penyakit pick Degenerasi primer terutama di lobus frontal

3. A. Khorea Huntington

B. Parkinsonisme dengan demensia C. Palsy supranukler progresif

D. Sklerosis lateral amiotropik (ALS) dengan demensia

Degenerasi primer terutama subkortikal 2. Infark yang letaknya strategis 3. Ensefalopati hipertensif

Penyakit Binswanger

4. Demensia hipoksis / hemodinamik

(30)

Selain itu dampak rokok terhadap jantung, paru-paru, dan sistem vascular dapat meningkatkan risiko demensia.4

h. Riwayat benturan di kepala

Seseorang yang mengalami cedera berulang pada kepala atau kecelakaan mobil meningkatkan risiko demensia.16 Luka pada kepala yang parah atau berulang-ulang berada pada risiko lebih tinggi dari perkembangan demensia. Hal ini karena benturan atau cedera kepala menyebabkan proses penyakit pada individu yang peka. Orang yang sudah menderita luka kepala serius karena tinju cenderung akan menderita satu jenis demensia, dikenal sebagai demensia

pugilistica, hal ini serupa dengan demensia disebabkan timbul beserta luka di kepala.16

i. Asupan zat gizi

Gizi dilihat sebagai salah satu faktor untuk mencegah penyakit Alzheimer atau jenis demensia lain. Bayak penelitian menunjukkan bahwa stress oksidatif dan akumulasi radikal bebas terlibat dalam patofisiologi penyakit. Radikal bebas yang melampaui batas bertanggung jawab terhadap peroksidasi lemak berlebihan, hal ini dapat mempercepat proses degenerasi saraf. Harapan hidup meningkat terutama berhubungan dengan menurunnya patologi penyakit degeneratif, terutama memperlambat munculnya penyakit degeneratif otak.17

2.2.6. Diagnosis

Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau tidak, juga harus ditentukan berat ringannya penyakit, serta tipe demensianya. Hal ini berpengaruh pada penatalaksanaan dan prognosisnya.3 Kriteria diagnosis demensia mencakup :

1. Kemampuan intelektual menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan dan lingkungan. Pasien dengan gangguan kognitif tanpa bukti adanya kemunduran fungsional yaitu kinerja di pekerjaan dan di masyarakat tidak terganggu, tidak memenuhi kriteria demensia menurut DSM IV. Pasien ini sering diklasifikasikan dengan berbagai sebutan,

(31)

follow-up, banyak dari pasien ini kemudian ternyata menderita demensia yang progresif.

2. Defisit kognitif selalu melibatkan fungsi memori, biasanya didapatkan gangguan berfikir abstrak, menganalisis masalah, gangguan pertimbangan, afasia, apraksia, kesulitan konstruksional dan perubahan kepribadian. 3. Pasien dalam keadaan sadar.

a. Anamnesis

Waktu mengambil anamnesis, banyak segi kemampuan mental atau fungsi luhur yang dapat dinilai. Waktu menanyakan alamat, pekerjaan, riwayat pendidikan, keadaan keluarga, telah dapat diperoleh kesan mengenai memori, kelancaran berbicara, kooperasi, dan cara mengucapkan kata.

Dari keluarga dan orang yang dekat dengan pasien, dapat diperoleh data mengenai mulainya serta cepatnya perburukan gejala, gangguan kepribadian, tingkah laku, serta adanya depresi. Perlu ditelusuri melalui anamnesis dan aloanamnesis mengenai kesulitan dalam pekerjaan, dan kesulitan dalam pergaulan. Apakah pasien menjadi tidak suka berkonversasi, meninggalkan hobinya atau minatnya, suka tersesat di lingkungan yang sudah dikenal, perubahan kepribadian, menjadi mudah kesal, humor berkurang. Telusuri perjalanan demensianya, apakah mendadak, lambat laun, gradual, seperti anak tangga/step-wise, progresif, stasioner. Telusuri apakah ada keluhan lain atau gejala lain dan bagaimana perjalanannya, misalnya: hemiparesis, afasia dan nyeri kepala.

b. Pemeriksaan Keadaan Mental

Dari bentuk gangguan mental tidak jarang kita dapat menduga diagnosis etiologi. Tes mental harus mencakup penilaian atensi, orientasi, memori jangka pendek dan jangka panjang, berbahasa, praksis, hubungan visuospasial, berhitung dan pertimbangan.

(32)

Gambar 1 . Mini Mental State Examination

Sumber : Folstein, dkk. 1975

Data ini diperoleh dari jawaban responden pada kuesioner Mini Mental State Examination dengan total nilai 30, kemudian akan dihitung nilainya dan diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu demensia dengan nilai 0 – 24 dan tidak demensia dengan nilai 25 – 30.

c. Pemeriksaan Fisik Dan Neurologis

(33)

tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia.19

d. Pemeriksaan Penunjang

(34)

2.3 Kerangka Konsep

Demensia dapat diperngaruhi oleh asupan zat gizi yang kurang, riwayat penyakit, genetik, riwayat benturan di kepala, kebiasaan merokok, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, serta aktivitas fisik dan aktivitas kognitif. Asupan gizi seperi karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin yang kurang akan menimbulkan stress oksidatif, yang akan menimbulkan peroksida lemak berlebih, dan akibatnya akan mempercepat proses degenerasi saraf, hal ini merupakan risiko untuk demensia. Seseorang yang mempunyai gen demensia juga berrisiko mengalami demensia. Riwayat benturan di kepala yang akan menimbulkan proses penyakit juga merupakan faktor risiko demensia. Penyakit infeksi dan metabolisme yang tidak ditangani serta diabaikan dapat memicu terjadinya demensia. Penyebab demensia

(35)
(36)

2.4 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Skala ukur

Hasil ukur

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik, aktivitas kognitif, dan karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) dengan kejadian demensia pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan tahun 2012

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mulai Bulan Juli sampai Agustus 2012.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasinya yaitu lansia berumur ≥ 60 tahun di Kelurahan Sukabumi Selatan dengan pembatasan populasi berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Jumlah sampel sebanyak 101 diambil pada tanggal 15 – 17 Agustus 2012. Pengambilan sample dilakukan dengan cara Cluster Random Sampling. Jumlah sampel dihitung dengan rumus :

N =

Keterangan :

N = jumlah sample

Zα = kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, maka Zα bernilai 1,96

Zβ = kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%, maka Zβ bernilai 0,84

P2 = proporsi demensia, berdasarkan kepustakaan 0,24 Q2 = 1- P2 =1 – 0,24 = 0,76

P1 – P2 = ditetapkan sebesar 0,2 P1 = P2 + 0,2 = 0,24 + 0,2 = 0,44

(38)

Q1 = 1- P1 = 1- 0,44 = 0,56

P = (P1+P2) / 2 = ( 0,44 + 0,24)/2 = 0,34 Q = 1-P = 1- 0,6 = 0,66

N =

N = 62

Sampel minimum sebanyak 62, peneliti menggunakan cara pengambilan sampel metode cluster random sampling dan mendapatkan sampel di RW 08 yang berjumlah 56 lansia, dan di RW 02 yang berjumlah 36 lansia, jadi jumlah responden keseluruhan ada 92 lansia, jika ditambah 10 % = 101 lansia.

3.4 Cara Kerja Penelitian 3.4.1 Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi

Lansia berusia ≥ 60 tahun di Kelurahan Sukabumi Selatan Bisa berbahasa Indonesia

Tidak mampu berkomunikasi secara tertulis dan verbal (buta huruf, tuli)

Bersedia menjadi responden

Responden berada di tempat pada saat pengumpulan data. b. Kriteria Eksklusi

Lansia yang tidak kooperatif 3.4.2 Variabel

(39)

3.4.3 Skema Penelitian

3.5 Managemen Data

3.5.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah :

1) Kuesioner Mini mental State Examination (MMSE)

2) Kuesioner aktivitas fisik dan aktivitas kognitif (Verghese, dkk, 2003) 3) Kuesioner karakteristik responden (umur, jenis kelamin serta tingkat

pendidikan). 3.5.2. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan memasukkan data ke dalam program komputer Statistical Package for Social Science (SPSS) untuk diolah lebih lanjut dengan tahapan coding, editing, structuring, entry, dan cleaning. 3.5.3. Analisa Data

Jenis masalah pada penelitian ini adalah analitik komparatif kategorik tidak berpasangan. Analisis untuk jenis masalah seperti ini yang dapat digunakan adalah uji Chi Square, Fisher.

Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan

Mengisi kuesioner karakteristik responden

(data pribadi responden)

kuesioner aktivitas fisik dan aktivitas kognitif (Verghese, dkk , 2005)

Tes demensia ( MMSE)

(40)

3.6 Etik Penelitian

Etik penelitian yang kami lakukan dalam penelitian ini yaitu

1. Membuat surat keterangan penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Mengajukan permohonan penelitian kepada Kelurahan Sukabumi Selatan

Selatan dengan melengkapi persyaratan yang diminta

3. melakukan informed concent kepada responden, agar tidak melanggar hak-hak dan privasi responden

(41)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Gambaran Karakteristik Responden

Penelitian ini dilakukan pada l01 lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan yang dilakukan pada RW 002 yang berjumlah 36 dan RW 008 yang berjumlah 56 serta ditambahkan 10% menjadi 101 lansia, dengan kisaran umur 60-80 tahun. Tidak ada lansia yang masuk kriteria eksklusi ataupun menolak untuk menjadi responden. Kemampuan responden menjawab kuesioner dipengaruhi daya ingat dan daya dengar responden. Penelitian ini dilakukan baik pada lansia laki – laki maupun lansia perempuan. Tingkat pendidikan lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan bervariasi, mulai dari yang paling rendah adalah tidak tamat SD dan paling tinggi adalah tamat perguruan tinggi. Analisis univariat karakteristik responden dapat dilihat pada table 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Karakteristik responden Jumlah (101) Presentase(%) Umur sebanyak 45 lansia (44,6). Hasil ini tidak jauh beda dengan penelitian Purnakarya di Jakarta Barat bahwa lansia pada kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 59,6% 6

, demikian juga penelitian Handjani di Jakarta bahwa lansia pada kelompok umur

(42)

60 – 69 tahun sebanyak 64,6 %.20 Distribusi jenis kelamin responden tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Responden laki-laki jumlahnya lebih banyak yaitu 51 orang ( 50,5%) sedangkan responden perempuan sebanyak 50 orang (49,5%). Distribusi tingkat pendidikan responden umumnya adalah tamat SD sebanyak 36 orang (35,6%) dan yang paling sedikit adalah tamat SMP sebanyak 5 orang (5%). Hal ini sesuai dengan data di Kelurahan Sukabumi Selatan bahwa lansia umumnya berpendidikan rendah yaitu tidak tamat SD, tamat SD dan Tamat SMP.

Tabel 4.2 Distribusi Responden Menurut Kategori Tingkat Pendidikan Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Tingkat Pendidikan Jumlah (101) Presentase(%)

Rendah 61 60,4

Tinggi 40 39,6

Tingkat pendidikan responden dikategorikan menjadi tingkat pendidikan

rendah yaitu apabila responden mengikuti pendidikan selama ≤ 9 tahun atau tidak

tamat SD, tamat SD, dan tamat SMP, sedangkan tingkat pendidikan tinggi yaitu apabila responden mengikuti pendidikan selama > 9 tahun atau tamat SMA dan tamat perguruan tinggi. Distribusi kategori tingkat pendidikan responden umumnya pendidikan rendah sebanyak 61 orang (60,4%) sedangkan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 40 orang (39,6%). Hasil ini sama dengan penelitian Purnakarya pada tahun 2008 di Jakarta Barat bahwa sebesar 62,5 % lansia berpendidikan rendah dengan rincian lansia yang tidak tamat SD (36,2%), tamat SD 21,3%, dan tamat SMP (7,8%).7

4. 2 Gambaran Kejadian Demensia

Demensia adalah status klinis dengan terjadinya kemunduran intelektual. Demensia pada umumnya melibatkan deteriorasi pada memori satu atau lebih fungsi intelektual yang lain seperti bahasa, berpikir tempat dan orientasinya, pemecahan masalah, dan berpikir abstrak .7

(43)

dibandingkan penelitian demensia di Jakarta oleh Handajani pada tahun 2006, yaitu lansia yang mengalami demensia sebesar 62,5 %.20 Akan tetapi hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Purnakarya di Jakarta Barat yaitu sebesar 47,5% lansia yang mengalami demensia.15

Tabel 4.3 Distribusi Kejadian Demensia Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Variabel Dependen Jumlah (101) Persentase (%)

Demensia 54 53,5 Tidak Demensia 47 46,5

4.3 Gambaran Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif Hasil penelitian menunjukkan Nilai terendah aktifitas fisik pada lansia adalah 3 dan nilai tertinggi aktivitas fisik pada lansia adalah 14. Sedangkan nilai terendah aktivitas kognitif pada lansia adalah 4 dan nilai tertinggi aktivitas kognitif pada lansia adalah 16. Gambaran nilai aktivitas fisik dan aktivitas kognitif pada lansia dapat dilihat pada table 4.4

Tabel 4.4 Distribusi Responden Menurut Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif Pada Lansia Di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Variabel Independen Jumlah (101) Presentase (%) Aktivitas Fisik

Hasil penelitian ini didapatkan nilai aktivitas fisik rendah sebanyak 54 lansia (53,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Purnakarya bahwa jumlah lansia yang beraktivitas fisik rendah lebih besar dibanding lansia dengan aktivitas tinggi.7 Sedangkan nilai aktivitas kognitif rendah pada penelitian ini sebesar 34 lansia (33,7%). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Purnakarya di Jakarta bahwa aktivitas rendah lebih tinggi dibanding aktivitas tinggi.7

(44)

dikarenakan perbedaan budaya di Negara Barat tempat Verghese melakukan penelitian dan di Indonesia. Hasil seperti di atas tergambar dalam tabel berikut : Tabel 4.5. Presentase Aktivitas Fisik Lansia

No. Aktivitas Fisik %

1 Senam 10.1

2 Bersepeda 7.3 3 Aktivitas dengan kelompok 9.9 4 Badminton/Tenis meja 8.1 5 Berenang 1.0 6 Berjalan kaki 23.6 7 Menaiki tangga/menanjak 12.3 8 Mengerjakan pekerjaan rumah 16.9 9 Mengasuh bayi/balita 10.8

Aktivitas kognitif yang paling dominan yaitu partisipasi dalam kelompok diskusi (37,8 %). Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar lansia menyebutkan bahwa partisipasi dalam kelompok diskusi ini adalah mengikuti pengajian yang diadakan di musholla/ masjid di lingkungan sekitar. Sedangkan aktivitas bermain alat music tidak mendapatkan presentase sama sekali (0%) dikarenakan tidak ada lansia yang melakukan aktivitas ini. Hal ini dikarenakan budaya di Kelurahan Sukabumi Selatan berbeda dengan budaya di Negara Barat tempat Verghese melakukan penelitian.

Tabel 4.6 Presentase Aktivitas Kognitif Lansia

(45)

4.4. Hubungan Antara Umur Dengan Kejadian Demensia

Tabel 4.7 Distribusi Umur Responden dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Catatan : *) analisis chi-square

Dari hasil analisis didapatkan sebanyak 11 lansia (20,4%) pada kelompok umur 60-69 tahun dan sebanyak 43 lansia (79,6%) pada kelompok umur ≥ 70 mengalami demensia. Hasil uji statistic didapatkan nilai p = 0,000, berarti ada hubungan bermakna antara umur dengan kejadian demensia. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Purnakarya di Jakrta Barat yang melaporkan ada hubungan umur lansia dengan demensia.7 Hasil rasio odds yaitu sebesar 88, berarti lansia yang berumur ≥ 70 tahun memiliki kemungkinan 88 kali untuk mengalami demensia dibandingkan lansia usia 60-69 tahun.

Kejadian demensia meningkat seiring meningkatnya umur lansia sesuai laporan Alzheimer’s disease tahun 2007. Hal ini dapat dijelaskan karena berat otak dan sel – sel neuron berkurang saat seseorang memasuki masa lansia, sehingga lansia mengalami kemunduran sebesar 20-45 % dalam kecepatan menulis tangan, memasang kancing dan memotong dengan pisau. Selain itu, lansia menjadi lebih lambat mengolah informasi, menurunnya daya ingat jangka pendek, berkurangnya kemampuan otak untuk membedakan stimulus atau rangsang yang datang dan kemampuan kalkulasi 18

4.5. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia

Tabel 4.8 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

(46)

Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan kejadian demensia diperoleh bahwa ada sebanyak 26 lansia (48,1%) laki-laki dengan demensia. Sedangkan diantara lansia perempuan, ada 28 lansia (51,9%) dengan demensia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,759, berarti tidak ada perbedaan signifikan antara lansia laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini sama dengan penelitian demensia di Jakarta Barat oleh Purnakarya tahun 2008.7 Dari hasil ini disimpulkan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengalami demensia.

4.6. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia

Tabel 4.9 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Tingkat Pendidikan

Demensia Rasio Odds (95 % CI) p value Tidak Demensia Demensia

n (%) n (%)

Tinggi 27 (57,4) 13 (24,1) 4,258 (1,819 – 9,968) 0,001* Rendah 20 (42,6) 41 (75,9)

Catatan : *)analisis chi-square

(47)

4.7Hubungan antara Aktivitas Fisik dan Aktivitas Kognitif dengan Kejadian Demensia

Tabel 4.10 Distribusi Responden Menurut Aktivitas Fisik dengan Kejadian Demensia pada Lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan Tahun 2012

Variabel

Hasil Penelitian pada 101 responden menemukan sebanyak 35 lansia (64,8%) dengan nilai aktivitas fisik rendah dan sebanyak 19 lansia (35,2%) dengan nilai aktivitas fisik tinggi mengalami demensia. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,014, berarti hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia. Hasil penelitian ini didukung penelitian Verghese,dkk tahun 2003 yang melaporkan bahwa kejadian demensia behubungan dengan berkurangnya partisipasi dalam mengisi waktu senggang dengan aktivitas fisik.5 Menurut Kuantaraf, dkk tahun 1996 memaparkan bahwa kegiatan aktivitas fisik seperti olahraga dapat menenangkan pikiran, memperbaiki daya ingat, mengurangi kecemasan dan depresi. Selain itu, olahraga dapat menolong otak untuk berfungsi dengan baik secara intelektual.6 Hasil rasio odds yaitu sebesar 2,715, berarti lansia dengan aktivitas rendah memiliki kemungkinan 3 kali untuk mengalami demensia dibandingkan lansia yang berpendidikan tinggi.

(48)

rasio odds yaitu sebesar 3,640, berarti lansia dengan aktivitas kognitif memiliki kemungkinan 4 kali untuk mengalami demensia dibandingkan lansia dengan aktivitas kognitif tinggi.

4.8Keterbatasan Penelitian

Penelitian tentang demensia di Kelurahan Sukabumi Selatan belum pernah dilakukan sebelumnya. Keterbatasan ini menyebabkan peneliti sulit untuk membandingkan hasil penelitian dengan penelitian lain yang sejenis. Peneliti lebih banyak membandingkan hasil penelitian yang dilakukan kota-kota lain bahkan negara-negara lain yang mungkin karakteristiknya berbeda dengan kelurahan Sukabumi Selatan.

Desain pada penelitian ini adalah desain cross sectional (potong lintang). Desain ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pengamatan variabel independen dan variabel dependen diamati pada waktu yang bersamaan saat pengumpulan data saja. Hal ini mengakibatkan kekuatan hubungan antarvariabel independen dengan variabel dependen ditegakkan berdasarkan asumsi dari responden.

Kuesioner untuk mengukur demensia pada responden menggunakan alat ukur Mini Mental State Examination (MMSE) (Folstein,dkk, 1975). Alat ukur ini dipakai untuk skrining demensia. Hasil nilai MMSE dapat bias, karena berpengaruh terhadap pendidikan. Orang dengan demensia apabila berpendidikan tinggi, nilai MMSE dapat tinggi sedangkan orang yang tidak demensia apabila berpendidikan rendah, nilai MMSE rendah.7

Kuesioner yang digunakan untuk menilai aktivitas fisik dan aktivitas kognitif yaitu kuesioner Verghese yang dibuat berdasarkan aktivitas lansia di Negara Barat. Hal ini dapat menjadi bias, dikarenakan penelitian yang dilakukan di Kelurahan Sukabumi Selatan ini, sangat kental dengan budaya Timur, khususnya dalam hal aktivitas.

(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian pada lansia di Kelurahan Sukabumi Selatan pada tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa :

5.1.1 Gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) didapatkan mayoritas kelompok umur 60 – 69 (55,4%) , tingkat pendidikan rendah (60,4%), dan jumlah yang berimbang antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

5.1.2 Prevalensi Demensia adalah sebesar 53,5 %

5.1.3 Mayoritas responden (53,5%) memiliki aktivitas fisik rendah dan sebagian besar responden memiliki aktivitas kognitif tinggi (66.3%)

5.1.4 Terdapat hubungan bermakna antara aktivitas kognitif dengan demensia (p = 0,008), Risk Rasio 2,715, 95 % Cl (1,211 – 6,084)

5.1.5 Terdapat hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan demensia (p = 0,024) Risk Rasio (3,640), 95 % Cl (1,209 – 2,387)

5.1.6 Hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan) dengan kejadian demensia adalah sebagai berikut :

a. Terdapat hubungan bermakna antara umur dengan kejadian demensia (p = 0,000), Risk Rasio (87,955), 95 % CI (18,417 - 420.044).

b. Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian demensia (p = 0,759).

c. Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan demensia (p = 0,001), Risk Rasio (4,258), 95 % CI (1,819 – 9,968)

(50)

5.2Saran

5.2.1 Bagi Dinas Kesehatan atau puskesmas di Kelurahan Sukabumi Selatan agar memberi perhatian terhadap aktivitas fisik dan aktivitas kognitif. Perhatian tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan penyuluhan mengenai aktivitas fisik dan aktivitas kognitif yang baik untuk menurunkan kejadian demensia.

5.2.2 Bagi Dinas Kesehatan di Kelurahan Sukabumi Selatan perlu mengembangkan program kegiatan lansia yang mencakup aktivitas fisik dan aktivitas kognitif lansia seperti senam lansia rutin, pengajian lansia dan pengadaan posbindu

(51)

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Neurology : Age and Dementia [Online] 2005 [Cited 2012 Feb 10]. Available from:URL http://who.int/en

2. Departemen Kesehatan RI.. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan. Jakarta : Direktorat Bina Kesehatan Keluarga; 2001

3. Setiati S, Harimurti K, Govinda A. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya

dalam Sudoyo, Aru W. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006

4. Alzheimer‟s Association. 2007. Alzheimer‟s Facts and Figures 2007. Diunduh dari : www.dementia-in-europe. 21 Januari 2012.

5. Verghese J, Lipton RB, Katz MJ at al. Leisure Activities and the Risk of Dementia in the Elderly. The New England Journal of Medicine [Serial Online] 2003 June 19 [Cited 2012 Jan 20]; . Available from:URL: http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa022252

6. Kuantara KL, Jonathan K.. Olahraga Sumber kesehatan. Bandung: Percetakan Advent Indonesia; 1996

7. Purnakarya I. Analisa Pola Makan dan Faktor Lainnya yang Berhubungan dengan Kejadian Demensia Pada Lansia di Wilayah Jakarta Barat, (Tesis). Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI, Depok; 2008

8. Alzheimer‟s Association. Alzheimer‟s Facts and Figures. Diunduh dari : http://www.alznyc.org/news/March/2007/alzFS.asp. 20/1/2012

9. McNamara, Patrick. Dementia : History and Incidence Volume 1.California: Praeger; 2011

10.Hardywinoto, S. Panduan Gerontologi : Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Jakarta : PT Gramedia; 2005

(52)

12.Lumbantobing. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011

13.Arisman. Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC; 2004

14.Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat; 2010

15.Ravaglia G, Forti P, Maioli F, at al. Plasma amino acid concentrations in patients with amnestic mild cognitive impairment or Alzheimer disease. The American Journal of Clinical Nutrition [Serial Online] 2004 August [Cited 2012 Jan 21]; 80(2). Available from:URL: http://ajcn.nutrition.org/content/80/2/483.full.pdf+html

16.Boustani M, et al. Health care for dementia. Diunduh www.ncbi.nlm.nih.gov. 10/3/2012

17.Nourhashemi F, Guyonnet SG, Andrieu S. Alzheimer Disease : protective factors. The American Journal of Clinical Nutrition [Serial Online] 2000 Feb [Cited 2012 Jan 20]; 71(2). Available from:URL: http://ajcn.nutrition.org/content/71/2/643s.full?sid=2582c62a-a51d-45ed-89bb-8003e9bfc5e0

18.Folstein, MF, Folstein, SE, Mchugh, PR. Mini-mental state - practical method for grading cognitive state of patients for clinician. Journal of Psychiatric Research 1975;12:189–98.

19.Lumbantobing. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2006

20.Handajani, YS. Indeks Pengukuran Disabilitas dan Prediksi Kualitas Hidup Pada Masyarakat Usia Lanjut di DKI Jakarta, (Disertasi). Program Pasca sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI. Depok; 2006

21.Karp A., Stephanie PG, Wanga H, et al. Mental Physical and Social Components Leisure Activities Equally Contribute to Decrease Dementia

(53)

Lampiran 1 Kuesioner Nama Responden : (ibu/Bapak) ……….

Kode Responden : 0……..

HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DAN AKTIVITAS KOGNITIF TERHADAP KEJADIAN DEMENSIA DI KELURAHAN SUKABUMI

SELATAN TAHUN 2012

PERSYARATAN PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Tujuan dan tahapan penelitian ini telah dijelaskan kepada saya. Saya memahami bahwa penelitian ini dibuat untuk perkembangan pengetahuan ilmiah dan semua prosedur tidak menyalahi kode etik.

Saya telah membaca dan memahami isi lembar informasi dan persetujuan ini. Saya mengerti bahwa saya tidak terpaksa untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Saya mengerti bahwa semua informasi yang saya berikan terjamin kerahasiaannya.

Saya setuju untuk berperan serta dalam penelitian ini.

Nama :………

Tanda Tangan : ………...

Nama Pendamping (jika ada) : ………

Tanda Tangan Pendamping : ………

(54)

Lampiran 1 Kuesioner (lanjutan) A. DATA RESPONDEN

1. Kode responden :………

2. Nama :………

3. Alamat : ………

4. Nomor Telepon/Hp : ………

5. Jenis Kelamin : 1. Laki – laki 2. Perempuan

6. Tanggal lahir :…….…………(lihat kartu identitas)

7. Umur :……….tahun

8. Pendidikan formal terakhir : 1) Tidak sekolah/tidak tamat SD 2) Tamat SD atau sederajat 3) Tamat SMP atau sederajat 4) Tamat SMU atau sederajat

5) Tamat akademi atau perguruan tinggi 9. Status pernikahan :

1. Menikah 2) Duda/Janda 3) Tidak menikah 10. Pekerjaan semasa aktif :

1. Tidak bekerja / rumah tangga 2. Wiraswasta

3. Pegawai swasta

(55)

Lampiran 1 Kuesioner (lanjutan) B. AKTIVITAS FISIK (Verghese,dkk, 2003, dengan modifikasi)

(56)

Lampiran 1 Kuesioner (lanjutan) C. AKTIVITAS KOGNITIF (Verghese,dkk, 2003, dengan modifikasi)

(57)

Lampiran 1 Kuesioner (lanjutan) KUESIONER 2

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

Skor Maks

Skor Lansia 1. Orientasi

Sekarang (hari), (tanggal), (bulan), (tahun), dan (musim) apa?

Sekarang kita berada di mana ?

(jalan), (kelurahan), (kecamatan), (kota), (propinsi)

5

5

2. Registrasi

Pewawancara menyebutkan 3 nama benda, 1 detik untuk satu benda. Kemudian mintalah responden mengulang tiga nama benda tersebut. Berilah skor 1 untuk setiap jawaban yang benar. Bila masih salah, ulanglah penyebutan ke-3 nama benda tersebut sampai responden dapat mengulanginya sampai benar. Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah (Buku – Mangkuk – Payung)

3

3. Atensi dan Kalkulasi

Hitunglah berturut – turut selang 7 mulai dari 100 ke bawah. Berilah angka untuk setiap jawaban yang benar. Berhentilah setelah 5 hitungan (93, 86, 79, 72, 65) atau

kemungkinan lain, ejalah kata “kartu” dari akhir ke awal

(58)

(u – t – r – a – k) 4. Mengingat

Tanyalah kembali nama ke – 3 benda yang telah disebutkan di atas. Berilah 1 angka untuk setiap jawaban yang benar

3

5. Bahasa

a) Apakah nama benda – benda ini ?

(perlihatkan 2 benda, misalnya pulpen dan arloji) b) Ulanglah kalimat berikut :

“jika tidak, dan atau tapi”

c) Laksanakan 3 buah perintah ini :

Ambil kertas dengan tangan kananmu Lipatlah kertas itu pada pertengahan Letakkanlah kertas itu di lantai d) Baca dan laksanakan perintah berikut :

“PEJAMKAN MATA ANDA”

e) Tulislah sebuah kalimat(kalimat harus mengandung subjek dan objek dan harus mempunyai makna) f) Tirulah gambar ini

2

1

3

1

1

1

Gambar

Gambar 2.1. Mini Mental State Examination.......................................................20
Tabel 2.1 Kemunduran dan kelemahan lansia
Tabel 2.2 Penyakit Penyebab Demensia
Gambar 1 . Mini Mental State Examination
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian demensia pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jember.. Kata kunci : aktivitas

Oleh karena itu dilakukan penelitian hubungan asupan zat gizi mikro, aktivitas fisik, latihan kecerdasan, dan karakteristik responden (jenis kelamin, umur, dan tingkat

Hubungan aktivitas fisik dan obesitas Pada penelitian ini menyimpulkan bahwa setelah dikontrol confounder variables (variabel wilayah, umur, jenis kelamin, status

Tujuan pada penelitian ini adalah mendeskripsikan karakteristik responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, aktivitas fisik mingguan, tingkat

Judul Skripsi : Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro, Aktivitas Fisik, dan Latihan Kecerdasan dengan Kejadian Demensia pada Lansia Di Kelurahan Depok Jaya Tahun 2009.. Telah

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti yaitu usia, riwayat hipertensi, aktivitas fisik dan tingkat pendidikan tidak menun- jukkan adanya

HUBUNGAN TINGKAT AKTIVITAS FISIK DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL REHABILITASI LANJUT USIA CIPARAY KABUPATEN BANDUNG Nurdina ABSTRAK Dengan bertambahnya usia,

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Resiko Jatuh pada Lansia Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 20 responden dengan aktivitas fisik termasuk kategori kurang, terdapat lebih dari