JERMAN)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Ario Rahmana Putra
106033201162
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
▸ Baca selengkapnya: pernyataan di atas, pengelompokan daerah pada fenomena di atas menggunakan konsep....
(2)(3)(4)(5)v ABSTRAKSI
Skripsi ini menganalisa dampak permasalahan tentang historis kekuasaan di Jerman yang dipegang oleh Adolf Hitler yang menerapkan ideologi Fasisme sebagai dasar negara di Jerman yang terjadi pada periode 1933-1945.tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa dampak positif dan negatif dari diterapkannya ideologi Fasisme yang diberlakukan oleh Adolf Hitler sebagai dasar negara Jerman. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dari berbagai literatur yang berkaitan dengan ideologi Fasisme Hitler di Jerman. Peneliti menemukan, bahwa persoalan tentang diberlakukannya ideologi Fasisme di Jerman oleh Adolf Hitler merupakan hasil dari sintesisnya warga Jerman yang kala itu sudah mencapai titik klimaks dari perseturuan anatara suku asli Jerman (bangsa Arya) dengan suku Yahudi sebagai penakluk. Sehingga timbullah kesadaran dalam diri rakyat Jerman untuk terlepas dari belenggu dominasi bangsa Yahudi. Dan Adolf Hitler adalah salah satu rakyat Jerman yang sadar akan hal itu. Sehingga dari proses terjadinya konflik ini timbullah ide dalam dirinya untuk menerapkan ideologi Fasisme di Jerman. Dan kehadiran akan ideologi ini menjadikan Jerman negara yang dalam kurun waktu singkat menjadi negara yang kuat, selain itu kehidupan negara pun menjadi lebih sejahtera dibandingkan dengan pemerintahan sebelum Hitler. Tetapi disisi lain justru dengan lahirnya ideologi Fasis di Jerman, Jerman melakukan penjajahan terhadap negara-negara lain. Sehingga pada akhirnya hal ini lah yang menjadikan timbullnya Perang Dunia II dan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teori.
Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah bagaimana Hitler muncul kepanggung kekuasaan di Jerman dengan ideologi Fasismenya sehingga memicu terjadinya perang dunia II dan bagaimana Hitler menawarkan solusi bagi krisis ekonomi, politik, dan sosial di Jerman dengan ideologi Fasismenya. Dari hasil analisa dengan menggunakan landasan teori diatas, maka dapat disimpulakan bahwa Ideologi Fasisme lahir di Jerman terjadi melalui 2 dimensi, yaitu adanya penindasan secara ekonomi, politik, dan kehidupan sosial terhadap rakyat Jerman oleh bangsa Yahudi, terjadinya perang dunia II adalah hasil dari prinsip dasar bahwa dengan lahirnya fasisme membuahkan pemikiran bahwa rakyat Jerman adalah suku bangsa Arya yang luhur dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
vi
Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Rasul pembawa misi pembebasan dari pemujaan berhala, Rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga dan sahabat Nabi beserta seluruh ummat Islam.
Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayah-Nya, Alhamdulillah penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul: Ideologi Fasisme ( Pemikiran Adolf Hitler Atas Konsep Fasisme Di Jerman ) Penulis menyadari, penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan serta menjadi pekerjaan yang berat bagi penulis yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
Bapak Prof. DR. Bahtiar Effendy, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. sebagai kepala Jurusan Ilmu Politik yang selalu murah senyum dengan mahasiswanya ketika bertemu. Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si. sebagai Sekretaris Jurusan Ilmu Politik, tanpa arah dan masukan Bapak mungkin skripsi ini belum tentu dapat selesai, dan terima kasih juga kepada Bapak yang telah meminjamkan buku-buku kepada penulis untuk memperkaya literatur dalam menyusun skripsi ini. Ibunda Suryani, M.Si.selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki. Kepada dosen-dosen Jurusan Ilmu Politik yaitu Bapak A.Bakir Ihsan, Bapak Sirojudin, Ibu Haniah Hanafi, Ibu Ghefarina Djohan, dan dosen-dosen Ilmu Politik lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namanya.
Ayahanda H. Rachman Saleh (alm) dan Ibunda Mariana Sudirman, terima kasih atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tidak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Doa ayahanda dan ibunda khususnya, senantiasa penulis harapakan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih untuk kk ku Diani Indah Rahmitasari yang telah memberikan semangat kepada penulis, untuk terus berjuang sampai skripsi ini terselesaikan.
vi
Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006/2007 yaitu Dedi, Hakim, Lukman, Rahmat, Thoriq, Ihwan, Haikal, Yana, Fiki dan kawan-kawan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya.
Terima kasih juga kepada kawan-kawan HSC (Humanis Social Community) yaitu Eko, Ridho, Anwar, Rifat, Hawasi, Fikri, Yebi, Bara, dan Rikih. Yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada adik angkatanku Santi dan spupu ku Marsya yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam membuat skripsi. Dan buat sobat Haikal yang telah mengajarkan dan membimbing untuk mempermudah penulis dalam menyusun skripsi sewaktu di kosan maupun di waktu senggang.
Terima kasih kepada Sobat Republik Ngablu Jhone, Ijal, Ucok, dan Oky dll, yg udah ngajarin Ilmu-ilmu diplomasi Ngablu nya, dan juga buat para sobat pasukan angin yg udah ngajarin dan memberi pengetahuan baru, Mas Yanto & Bang Olih.
Akhirnya penulis ucapkan terima kasih banyak kepada seluruh komponen yang telah berjasa memberikan kontribusinya, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan amal budi baik mereka dengan sebaik-baiknya balasan. Dan skripsi ini walaupun masih banyak kekurangan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 14 September 2013
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Dan Mamfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistemmatika Penulisan ... 10
BAB II KERANGKA TEORI A. Fasisme Sebagai Ideologi ... 11
B. Prinsip-Prinsip Fasisme ... 20
C. Fasisme dan Totalitarianisme ... 22
BAB III BIOGRAFI ADOLF HITlER A. Riwayat Hidup ... 34
1. Riwayat Pendidikan ... 37
2. Kondisi Lingkungan ... 38
POLITIK, DAN EKONOMI DI JERMAN PADA TAHUN 1933- 1939
A. Naiknya Adolf Hilter Kepanggung Kekuasaan Jerman ... 46
B. Startegi Kekuasaan Adolf Hitler Di Jerman ... 48
1. Intervensi Kebijakan Politik Adolf Hitler ... 50
2. Pembenahan Ekonomi Di Jerman ... 55
3. TujuanFasisme Hilter ... 57
C. Politik Jermana Pasca Runtunya Fasisme Adolf Hitler ... 59
BAB V KESIMPULAN ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjelang Perang Dunia II, muncul beberapa rezim pemerintahan di
Eropa yang bisa dibedakan berdasarkan menurut ideologi-ideologi besar dunia.
Seperti Demokrasi Liberal di Amerika, Prancis, dan Belanda, Komunisme di
Rusia, Cekoslowakia dan Cina, dan Fasisme di Jerman dan Italia. Dari sekian
Ideologi yang ada di dunia itu, ideologi fasisme lah yang memiliki akar historis
yang menjadi benih terjadinya Perang Dunia II, dimana hal ini dimotori oleh
Adolf Hitler.
Adolf Hitler adalah seorang tokoh politik yang telah berhasil menguasi
Jerman dengan fasismenya. Tokoh ini sangat dikenal oleh dunia dengan
perjuangannya menarik perhatian masyarakat Jerman untuk menerapkan ideologi
fasis dalam sebuah tatanan negara yaitu di Jerman. Tokoh ini dianggap sebagai
orang yang bertanggung-jawab atas kematian puluhan juta jiwa semasa Perang
Dunia II, keberaniannya ini sesuai dengan apa yang dikatakannya dalam Mein
Kamf: “satu cara termudah mencapai kemenangan melawan akal budi adalah
kekuatan dan teror”.1 Sehingga ini menyebabkan Adolf Hitler akan tetap dicatat
sebagai tokoh revolusi di Eropa khususnya Jerman Raya dari belenggu sektarian
di Eropa khususnya Jerman dari kaum Yahudi.
Dalam salah satu literatur disebutkan bahwa Hitler awalnya adalah seorang
tentara biasa yang tidak memiliki kecerdasan, bahkan dalam lingkungan
1
keluarganya dia termasuk anak yang bodoh diantara saudara-saudaranya.2 Akan
tetapi setelah Hitler bermain di panggung politik, namanya menjadi besar karena
kecerdasannya dalam berorasi, yang memikat seluruh penduduk Jerman, dan dia
pun membuat tentara menjadi semangat.3 Hitler adalah satu dari segelintir tentara
rendahan yang sanggup tampil dalam sejarah politik dunia, membawa Jerman
keluar dari ancaman negara sekutu dan bangkit menjadi penguasa Eropa.
Situasi dan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang selalu di monopoli
oleh pihak Yahudi terhadap rakyat Jerman, menimbulkan berbagai penderitaan
yang dialami oleh rakyat Jerman. Belum lagi penyerangan-penyerangan yang
dilakukan pihak luar negeri terhadap Jerman, karena Jerman saat itu adalah negara
yang lemah yang selalu menjadi negara boneka negara-negara lain.
Pengalaman hidup selama di Vienna dijadikan pelajaran oleh Adolf Hitler.
Bahkan dalam literaturnya Mein Kampf tokoh ini menyebut kehidupan di Vienna
sebagai “Tahun-tahun belajar dan kesengsaraan di Vienna”.4 Dia menulis jeritan
akan kondisi Vienna itu sebagai titik jenuh sehingga menimbulkan kebencian dan
dendam terhadap Yahudi, seperti apa yang diungkapkannya:
“Vienna adalah pusat Monarki Danubi tua, tetapi secara ekonomi juga. Tuan rumah pejabat-pejabat tinggi, pejabat-pejabat pemerintah, para seniman, dan para cendikiawan berhadapan dengan kekuatan ketentaraan pekerja yang lebih besar, dan berdampingan dengan kesejahtraan aristokratikdan komersial yang tersisa bersama dengan kemiskinan yang menyedihkan. Di luar Istana ring berkeliaran ribuan pengangguran, dan di bawahnya Via Triumphalis Austria tua ini berdampingan dengan para tunawisma dalam kesuraman dan Lumpur sungai-sungai kecil.
Hampir tidak ada kota di Jerman dimana masalah social dapat dipelajari dengan lebih baik dari pada di Vienna. Dimana didalamnya
2
Theodore Russel, Hitler: Seri Orang Termasyhur, (Jakarta: MM Corp, 2005), 22.
3
Rusel, Hitler: Seri Orang Termasyhur, 5
4
terdapat ketinggian-ketinggian kota yang didasarkan pada keangkuhan
kaum Yahudi”.5
Dari banyak kejadian yang dirasakan oleh Hitler, maka timbullah rasa
nasionalisme yang tinggi dalam dirinya, bahkan karena amat tinggi cintanya
terhadap Jerman mengakibatkan dia mengatakan bahwa semua kejadian buruk
yang menimpa Jerman adalah karena Yahudi.6 Selain dari itu, tokoh ini pun
menulis karyanya yang menguak bagaimana Fasisme di Jerman menjadi sebuah
ideologi politik, yang pada awalnya adalah bukanlah sebuah ideologi, akan tetapi
dianggap sebagai solusi politik dalam menghadapi situasi Jerman yang cheos.
Dalam situasi dan kondisi yang krisis multidimensional inilah sehingga
timbul rasa nasionalisme Hitler untuk memperjuangkan dan membebaskan
negaranya dari penindasan, bahkan dia bercita-cita untuk mengusai negara, dan
menjadikan bangsa Jerman sebagai bangsa yang tinggi atau bisa disebut sebagai
bangsa Arya (suku bangsa yang paling mulia).7 Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi lahirnya ideologi Fasisme yaitu:
Pertama, Hitler melahirkan ide Fasismenya atas situasi dan kondisi yang
mencengkram saat di Jerman yaitu daerah dimana ketika Hitler singgah di Wina.8
Wina merupakan daerah yang sangat didominasi oleh suku Yahudi yang telah
menindas rakyat, sehingga rakyat Jerman mengalami penderitaan, banyak
pengangguran, tidak adanya keadilan sosial. Tetapi Hitler melihat sedikit harapan
yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat Jerman bahwa dalam tubuh mereka
5
Hitler, Mein Kampf, 35.
6
Russel, Hitler: Seri Orang Termasyhur, 15.
7
Hitler, Mein Kampf, 321.
8
masih ada sifat Nasionalisme.9 Sehingga itu semua dimanfaatkan oleh Hitler
untuk menggerakan rakyat Jeman demi sebuah cita-cita untuk membebaskan
Jerman dari belenggu Yahudi.
Kedua, Nazi, partai berpengaruh yang dia pimpin, serta The Third Reich,
visi masa depan Jerman yang dia perjuangkan, memang merupakan fenomena
tersendiri. Begitu pula dengan angkatan perang Jerman yang sanggup menguasai
begitu cepat ke negara-egara sekitar Jerman. Namun, Hitler adalah sosok central
yang jauh lebih fenomenal.
Ketiga, pemikiran politik Hitler dan ideologi Fasisme merupakan sebuah
kerangka politik yang dia gunakan untuk mengatur Jerman. Karena menurutnya
hanya dengan diimplementasikannya Fasisme, Jerman dapat kembali pada
kejayaan dan tidak ditindas oleh kaum Yahudi. Demi terciptanya sebuah tatanan
politik Jerman di bawah kekuasaanya, Hitler memiliki kerangka politik yang
dikemasnya melalui Fasisme yang telah dia jelaskan lewat karyanya Mein Kampf.
Hitler menulis dengan sebuah perhitungan politik yang cerdik, yang
kemudian diteruskan dengan gerakan Nasionalis- Sosialis sehingga terbangunlah
Fasisme dengan kerangka politik Hitler yaitu:
1. Strateginya dimulai dengan melakukan propaganda dengan
menyadarkan rakyat Jerman akan krisis yang melanda Jerman adalah
dikarenakan orang-orang Yahudi. Sehingga hal ini menimbulkan
perlawanan dari rakyat Jerman, bahkan untuk melakukan
peperangan.10
9
Russel, Hitler: Seri Orang Termasyhur, 15.
10
2. Propaganda dilakukan kepada kaum buruh agar mereka menjadi
seorang Nasionalis- Sosialis Jerman sehingga mereka ingin melakukan
gerakan untuk Negara. Dan ini harus dilakukan oleh seorang
proklamator yang berani memimpin jutaan kaum buruh yang dapat
memberikan dorongan baru untuk kemajuan Jerman.11
3. Revolusi, hal ini bisa disebut titik klimaks kerangka yang disuguhkan
oleh Adolf Hitler. Diamana Revolusi yang disebutnya itu adalah
sebuah gerakan heroic yang harus timbul dari rasa nasionalis warga
negaranya, dan revolusi akan gagal bila hal ini lahir bukan oleh rasa
pembelaan tanah air di dalam negara itu.12
Dari beberapa hal diatas maka jelaslah bahwa keinginan Hitler untuk
meguasai dunia lahir dari arah dimana fasis yang awalnya bagi Hitletr merupakan
solusi bagi negaranya, berubah menjadi sebuah ideologi yang tidak hanya dikenal
oleh masyarakat Jerman, tetapi oleh masyarakat dunia. Sehingga hal ini menjadi
menarik untuk dibahas secara mendalam, dengan membuka kembali literatur Mein
Kampnya.
Atas dorongan itulah penulis mencoba menggali kembali proses transisi
politik menuju kebangkitan Fasisme-Hitler di Jerman. Melalui literaturnya Mein
Kamp dan karya-karya lain yang membicarakan masalah ideology Fasisme di
Jerman.
11
Russel, Hitler: Seri Orang Termasyhur, 354.
12
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Proses transisi di Jerman yang dimotori oleh Adolf Hitler, merupakan
taktik politik yang begitu cepat dan mendapat kesuksesan. Hal ini tidak terlepas
dari faktor-faktor luar yang menyebabkan ideologi fasis yang dikenalkan Hitler ini
begitu dekat dengan hati rakyatnya, sehingga pada waktu partai yang dipimpin
Hitler memenangkan pemilu.
Perjuangan yang dilakukan Hitler ini mendapat tanggapan baik dari pihak
rakyat dan militer. Sehingga pantas bila Hitler hanya dengan kurun waktu yang
singkat dapat menguasai Jerman, bahkan hampir setengah dari Eropa telah
dikuasainya. Selain itu, disela-sela kesibukannya sebagai pemimpin di Jerman,
Hitler telah berhasil membuat sebuah literatur, yang isinya merupakan pemikiran
politik, dan programnya dalam mengorganisir Jerman agar terbebas dari
kungkungn Yahudi dan Komunis yang telah menghancurkan kehidupan social,
ekonomi, dan politik di Jerman.13
Agar pembahasan skripsi ini tidak melebar, maka dari itu penulisannya
akan di fokuskan oleh Adolf Hitler pada perkembangan ekonomi, sosial, dan
politik di Jerman pada tahun 1933-1939.
Maka dari itu pertanyaan yang akan digali dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana Hitler dengan ideologi Fasisme muncul ke panggung
kekuasaan pada Perang Dunia II?
2. Bagaimana Hitler menawarkan solusi bagi krisis ekonomi, sosial, dan
politik di Jerman pada masa itu?
13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendalami proses transisi politik di Jerman dengan
menerapkan ideologi Fasis sebagai dasar negara di bawah Adolf Hitler
2. Serta menggali konsep-konsep politik dalam karya Mein Kampf yang telah
berhasil menjadikan Jerman negara yang kuat
3. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan penulis.
Adapun manfaat dari penelitian yakni :
A.Manfaat Akademis
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan
strata satu (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik pada
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
B.Manfaat Praktis
1. Menambah Wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi
pada khususnya bahwa transisi yang terjadi di Jerman adalah merupakan
sebuah usaha Hitler dan rakyat Jerman untuk terbebas dari krisis
multidimensional dan politik sektarian yang dilakukan oleh Yahudi. Meskipun
itu semua menjadikan Hitler berasumsi bahwa Jerman adalah bangsa Aria.
Akan tetapi yang patut kita ambil hikmah dari sejarah Jerman itu yaitu usaha
antara pemerintah dan rakyat yang saling bekerjasama itu menjadikan negara
itu terbebas dari krisis.
2. Bagi Fakultas, diharapkan memberi sumbangan kepustakaan dalam
D. Tinjauan Pustaka
Banyak terdapat studi atau tulisan mengenai sejarah dari seorang Hitler.
Mulai dari bagaimana seorang Hitler kecil hidup dengan begitu banyak kejadian
yang mengenaskan, hingga ia tumbuh dewasa dan dapat menjadi seorang
pemimpin yang disegani. Diantara studi-studi sebelumnya terdapat banyak
menggunakan pendekatan-pendekatan historis. Oleh karena itu, untuk
mempertajam studi sebelumnya, maka studi ini pun meninjau mengenai biografi
Adolf Hitler. Akan tetapi dalam studi ini yang akan dipertajam adalah mengenai
Fasisme yang dijadikan ideologi oleh Hitler, dan dari sinilah dapat diketahui
bagaimana Hitler dapat menjadi penguasa bagi Bangsanya.
D. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik
pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa,
ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang di tuju. Namun yang
tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang
ditemukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian
yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut
kajian literatur.14
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berangkat dari
generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas
tersebut dideskripsikan dan di analisis secara kompherenshif, holistic, dan
14
komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan
ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.
Menurut Bogdan dan Taylor (1973).15 penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku
yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung
dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga,
atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi
hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistic).
Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah
satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan
untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek
tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa
dan menginterpretasi tokoh Hitler secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat
dikenali secara mendalam bagaimana sang tokoh secara pribadi dengan melihat
konsep dia, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan pemikiran,
karya, dan prilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba
menggeneralisasikan tokoh Adolf Hitler, dari sisi pemikiran politiknya khususnya
Ideologi Fasisme sebagai solusi dalam memperbaiki kondisi Jerman.
Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib
bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan,
merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar
teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan data, maupun dalam menafsirkan
data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif
15
secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang di peroleh. Jadi, penelaahan ini
tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi,
memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika
penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta agar penulisan ini menjadi lebih sistematis, maka
skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub
yang terdiri sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Penulisan ini dimulai bab pertama, yang menjelaskan latar belakang
masalah. Dimana didalamnya berbicara tentang awal mula terjadinya
proses transisi di Jerman yang dikepalai oleh Adolf Hitler dengan
menawarkan fasis sebagai solusi politik bagi kekacauan di Jerman, yang
mana awal kemunculannya itu dikarenakan kebenciannya terhadap bangsa
Yahudi, yang dianggap olehnya sebagai biang terjadinya kekacauan dalam
semua bidang di Jerman. Hal inilah yang kemudian penulis jadikan
sebagai batasan dan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya isi dari bab ini adalah mengenai tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II BIOGRAFI ADOLF HITLER
Selanjutnya dalam bab kedua, berisi mengenai ruang lingkup kehidupan
Adolf Hitler mulai dari kondisi lingkungan, latar pendidikannya, sampai
mempengaruhi terhadap karya Mein Kampf yang telah ditulisnya. Pada
bab ini juga ditulis sedikit tentang substansi dari Mein Kampf, juga
karakter Adolf Hitler dalam memandang kondisi politik di negaranya yang
mengalami krisis sosial, politik, dan ekonomi dan sarat dengan konflik
sektarian antara bangsa Yahudi dengan rakyat Jerman yang tertindas,
sehingga mempengaruhi kondisi Adolf Hitler yang membuatnya berpikir
untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan konsep fasismenya.
BAB III ASAL USUL FASISME DAN PERKEMBANGANNYA
Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan sejarah asal usul dan definisi
dari fasisme, yang kemudian diterapkan menjadi ideologi negara di
Jerman. Karena fasisme tidak hanya dipakai Adolf Hitler, akan tetapi kala
itu Benito Musolini sebagai pemimpin di Italia pun menerapkan ideologi
tersebut. Sehingga perlulah untuk membahas ini agar dapat dibedakan
antara konsep fasismenya Hitler dan Musolini. Agar dalam
pembahasannya tidak kabur dan salah paham dalam menanggapi
konsepnya.
BAB IV FASISME SEBAGI SOLUSI DAN IDEOLOGI POLITIK DI
JERMAN
Pada bab keempat, masuk pada bab pembahasan masalah, dimana
didalamnya penulis menjelaskan tentang bagaimana fasisme menjadi
ideologi dan solusi politik di Jerman. Untuk memprjelas itu semua
ditambahkan beberapa poin yang menjelaskan dan menguatkan kenapa
Adolf Hitler menjadikan Fasisme sebagai solusi dan ideologi di Jerman.
Selanjutnya dalam bab ke lima adalah bab penutup, dimana dalam bab ini
penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini, serta tidak
lupa menambah saran, agar penulisan skripsi ini lebih bermakna
BAB II
KERANGKA TEORI
Kelahiran sebuah negara tidaklah terlepas dari sebuah ideologi yang
menjadi dasar kehidupan politik, ekonomi, sosial yang sesuai dengan ideologi itu
sendiri. Di mana hal itu tergantung akan cita-cita rakyat dan tokoh center yang
dipercaya oleh rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan Jerman. Selain itu
ideologi sebuah negara biasanya diarahkan atau disesuaikan oleh para tokohnya
sesuai dengan situasi dan kondisi rakyat, seperti yang terjadi di Uni Soviet yang
memilih Komunisme, Indonesia memilih Demokrasi Pancasila, Amerika memilih
Demokrasi Liberal, kemudian Jerman pada jaman Hitler yang memilih ideologi
Fasisme sebagai dasar negara.
Kondisi rakyatlah yang mendorong sebuah negara untuk merdeka, terlepas
dari ketertindasan dan penjajahan serta monopoli yang menyebabkan rakyat
sengsara. Sehingga dari ketertindasan itulah lahir sebuah kesadaran akan sebuah
kemerdekaan. Dan kesadaran akan kemerdekaan ini lahir selaras dengan situasi
politik, hukum, dan ekonomi yang ada dalam negara, hal ini biasanya dilihat dari
sebab ketertindasan dan kesengsaran yang menimpa rakyat. Seperti kondisi buruh
di Uni Soviet yang ditindas oleh kapitalisme sehingga mereka menuduh
kapitalisme yang menjadi biang keladi kesengsaran mereka, maka perjuangan
yang mereka lakukan adalah melalui ideologi Komunisme. Lalu kemudian
revolusi Prancis lahir karena kondisi rakyatnya yang ditindas dan situasi politik
yang di monopoli dan di dominasi oleh sistem kerajaan, di mana di dalamnya
rakyat tidak merasakan kesejahteraan, kemerdekaan, dan kebahagian. Sehingga
menjadikan rakyatnya sejahtera dan memiliki kebebasan dalam kehidupan
bernegara. Begitu pula kelahiran ideologi fasisme di Jerman yang dipimpin oleh
Adolf Hitler.
Dengan meneliti secara keseluruhan atas kelahiran fasisme yang didirikan
Hitler ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi, serta kebencian dari tokoh fasis
itu sendiri yaitu Adolf Hitler terhadap Yahudi, serta ambisinya yang menyatakan
bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang luhur diatas bangsa-bangsa lain di dunia.
Atas dasar itulah maka lahirlah fasisme sebagai prinsip perjuangan dan
realitas yang paripurna bagi Jerman menurut Hitler di mana paham politik yang
menggunakan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini,
nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme
diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti
seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan
pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fasis ini
merupakan simbol dari kekuasaan pejabat pemerintah. Pada abad ke-20, fasisme
muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini.16 Sementara itu di Jerman, juga
muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu
Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena
yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan
rasisme yang sangat sangat kuat. Karena kuatnya nasionalisme sampai mereka
membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.17
16
Mein Kampf karya Hitler sendiri menjelaskan bahwa karakter dari fasisme
yang dibangun olehnya adalah sebuah ideologi dan panutan atau kitab sucinya
rakyat Jerman untuk membebaskan diri dari kekuasaan Yahudi. Salah satu
karakter ideologi fasisme Nazi adalah nasionalisme yang kuat, ini sangat patut di
contoh bangsa Indonesia. Hitler mendirikan negara Nazi atas nama kesukuan dan
rasial yang menjunjung tinggi ras bangsa Jerman. Hal ini tentu saja berarti upaya
untuk mendapatkan keunggulan tanpa batas. Artinya nasionalisme yang
berlebihan atau hyper-nationalism memang digunakan sebagai motor utama
penyemangat rakyat yang akan digunakan untuk mengisi dominasi dunia dengan
ras bangsa Jerman.
Hitler menuangkan pemikirannya di dalam buku yang ditulis di dalam
tahanan yang Juga disimbolkan dengan semboyan 'ein volk, ein reich, ein fuhrer'
atau yang dalam bahasa Indonesia di artikan “satu rakyat, satu kekaisaran, satu
pemimpin”. Hubungan Nazi dengan volk atau rakyat dengan negara disebut
volkgemeinschaft atau komunitas rakyat.
Fasisme dalam pengertian Hitler, tidaklah cukup sampai di sini akan tetapi
mein Kampf yang telah diciptakannya menjadi sebuah doktrin agar ideologi Fasis
ini mengakar dalam hati setiap rakyat Jerman. Sehingga Fasis ini bukan hanya
sekedar ideologi tetapi menjadi sebuah jalan perjuangan rkyat Jerman khususnya
ras Arya dalam memerangi bangsa lain yang dianggap rendah olehnya.18
17
Ruper Butler, Hitler Young Tigers (Sepak Terjang Remaja NAZI Pemuja Hitler dalam Perang Dunia II), (Jakarta: Planet Buku, 2008), 15.
18
A. Fasisme Sebagai Ideologi
Sebuah negara fasis tidak akan lahir sebelum negara itu merasakan akan
kehidupan demokrasi, selain itu fasis juga lahir dalam sebuah negara industri
dimana ketegangan-ketegangan ekonomi dan sosial dan sistem ini hanya dapat
diatasi dengan dua cara secara liberal atau totaliter.19 Fasisme menolak liberal
karena konsep didalamnya menganugrahi kebebasan dan penyeragaman, hal ini
seperti yang terjadi di Jerman. Fasisme dengan taktik lihainya menggunakan
segala kecemburuan dan ketakutan golongan penerima gaji dan pada waktu yang
bersamaan meluncurkan propaganda terhadap elit ekonomi dan elit politiknya.20
Fasisme merupakan sebuah paham politik kekuasaan absolut tanpa
demokrasi, paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah
bangsa lain. Dengan kata lain, fasisme adalah suatu sikap nasionalisme yang
berlebihan. Fasisme adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik.
Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan
sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi.21 Mereka menganjurkan
pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu
bangsa dan terciptanya negara yang ideal untuk membentuk suatu elit
pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan
keluarga. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat,
19
Wiliam Ebenstain, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia, (Yogyakarta: Narasi, 2006), 106.
20
Adolf Hitler, Mein Kampf, (Jakarta: PT Suka Buku, 2010), 251.
21
identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan
dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat.
Fasisme adalah komunisme, demokratis, individualis,
anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam
banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak konsep-konsep egalitarianisme,
materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, dan
semangat. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme sebagai gerakan
borjuis dan Marxisme sebagai sebuah gerakan proletar untuk menjadi eksklusif
ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis.22 Ideologi mereka seperti yang dilakukan
oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang mempromosikan untuk menyelesaikan
konflik kelas ekonomi dan mengamankan solidaritas nasional dengan cara mereka
mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang terintegrasi.
Pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme
didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang Dunia I yang
menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke
kanan di awal 1920-an. Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di
paling kanan. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai
memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi
spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam
karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer.
Fasis melihat kekerasan dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi
semangat, nasional dan vitalitas.
22
Adolf Hitler sebagai pemimpin NAZI di Jerman melihat bahwa kondisi
negara dan penduduk asli Jerman berada dalam penindasan, dan juga ditambah
tidak adanya sifat patriotisme didalam tubuh bangsa arya23. Padahal asumsi Hitler
bahwa bangsa Arya itu adalah bangsa yang tinggi diatas bangsa-bangsa lain di
dunia. Akan tetapi dengan kenyataan yang justru sebaliknya itu membuat Hitler
benci terhadap kaum Yahudi yang mendominasi Jerman.24 Maka Hitler pun
berusaha menyadarkan kembali akan tingginya bangsa Arya terhadap penduduk
Jerman dengan cara melahirkan sifat patriotis di dalam tubuh bangsa Jerman agar
terbebas dari penjajahan dan menjadi bangsa yang tinggi di dunia maka lahirlah
ideologi Fasisme.
Fasisme berasal dari kata fascio dari kata fasces yang berarti seikat tongkat
dan kapak. Menurut para ahli sejarah bangsa Italia, fasisme adalah fascio di
combattimento, yang artinya kurang lebih “persatuan perjuangan”. Fasisme adalah
pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran
partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan agresif imperialis.
Paham fasisme hampir bersamaan dianut oleh tiga negara, yaitu Italia, Jerman dan
Jepang.
Paham Fasisme di Jerman disebut Nazisme. Nazi adalah suatu partai di
bawah pimpinan Adolf Hitler. Seusai Perang Dunia I, Jerman berubah menjadi
Republik yang semula adalah kerajaan. Pemimpin pertama adalah Ebert, Berkuasa
antara tahun 1919–1925, pemimpin selanjutnya adalah Presiden Hindenburg
23
Adolf Hitler, Mein Kampf, 32.
24
(1925–1934). Dalam pemerintahan republik ini, Jerman mengalami berbagai
macam kesulitan, Baik dalam keuangan (Inflasi) maupun kekacauan ekonomi.
Dalam keadaan Negara yang kacau tersebut rakyat Jerman mengharapkan orang
yang kuat untuk memperbaiki keadaan. Dalam suasana yang kacau ini muncullah
Adolf Hitler dengan partai Extrim yaitu NAZI.25
Adolf Hitler selalu menekankan kepada pemuda Jerman bahwa bangsa
Jerman adalah bangsa yang besar yang ditakdirkan untuk memerintah dunia
karena bangsa Jerman adalah bangsa berdarah Arya, yang merupakan pangkal
kekuatan jerman. Namun kekuatan itu sedang terbelenggu oleh kekuatan asing,
yaitu bangsa Yahudi dan Komunis.26 Orang Yahudi sebagai penyebab semua itu
harus dimusnahkan. Selanjutnya, kata Adolf Hitler untuk melepaskian diri dari
penderitaan dan meluaskan ruang hidup, Jerman harus membentuk angkatan
perang yang sangat kuat yang dipimpin oleh seorang Fuhrer (pemimpin besar).
Seperti apa yang ditulisnya dalam Mein Kamf “Alasan anti semitisme (anti
Yahudi) harus mendorong ke arah oposisi legalyang direncanakan dan
menghapuskan perlakuan khusus terhadap bangsa yahudi, itu adalah tujuan
terakhirnya, bagaimanapun harus sungguh-sungguh memindahkan bangsa Yahudi
secara keseluruhan”.27
Setelah Perang Dunia I Negara Jerman yang semula berbentuk Kerajaan
berubah menjadi Republik. Akan tetapi, masa pemerintahan republic ini tidak
25
Agustinus Pambudi, The Death of Adolf Hitler (Kematian Adolf Hitler), (Jakarta: Agromedia Pustaka), 25.
26
Russel, Seri Orang Termasyhur: Adolf Hitler, (Jakarta: MM Corp, 2005), 22.
27
berhasil mengatasi kekacauan ekonomi sebagai akibat Perang Dunia I, lebih lagi
Jerman berada di pihak yang kalah. Dengan adanya hal tersebut, timbullah
ketidakpuasan rakyat yang menimbulkan kekacauan-kekacauan, bahkan
pemberontakan-pemberontakan. Sementara itu Partai Nasionalis Jerman atau
National Sozialistische Deutsche Arbeiter. (NSDAP) yang disingkat dengan Nazi
berkembang menjadi partai yang kuat dipimpin oleh Adolf Hitler. Nazi berusaha
merebut kekuasaan tetapi gagal.28 Dipenjara itulah Hitler menulis buku Mein
Kamf (Perjuanganku) isinya mengenai paham-paham Nazi. Jiwa
B. Prinsip-prinsip Fasisme
Para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme.
Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism.
Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis
didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein,
unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur-unsur29:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme,
keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti
benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan
dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah
sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka.
Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai
28
Rupert Butler, Sepak Terjang Remaja Nazi Pemuja Hitler dalam Perang Dunia II, (Jakarta: Planet Buku, 2008), 10.
29
melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain
dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep
persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek
kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan.
Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan.
Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah
“oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka
adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka
mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan
dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah.
Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang
berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis,
pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh
anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah
keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total
dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang
dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu:
kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat,
kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum
penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu
negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat
memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka
mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas
bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras
mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau
dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban
internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar
negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak
adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai
derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak
menentang hukum dan ketertiban internasional.
C. Fasisme dan Totalitarianisme
Sebelum membahas masalah hubungan yang terbentuk antara fasisme dan
totalisme yang menghasilkan suatu ideologi politik fasisme totaliter akan
dijabarkan sekelumit mengenai pengertian sistem totalitarian, karakteristik, contoh
kasus tentang perkembangan konsep totalitarian di masa sekarang. Sebagai lawan
dari sistem demokrasi, sistem totalitarian adalah bentuk pemerintahan dari suatu
negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan
politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai 'baik' dan
'buruk' dari prilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya,
tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh
Di dalam sistem totalitarian, bukan negara yang melayani masyarakat,
tetapi sebaliknya sebanyak mungkin anggota masyarakat, khususnya mereka yang
bekerja di lembaga-lembaga pemerintah, diwajibkan melaksanakan berbagai tugas
untuk membantu penguasa membangun negara ke arah bentuk ideal. Misalnya
diwajibkan menjadi anggota satu-satunya partai politik atau satu-satunya serikat
buruh bentukan pemerintah. Apabila nilai-nilai komunis (atau nilai-nilai suatu
agama) dianggap oleh penguasa sebagai bentuk ideal, maka nilai tersebut akan
didoktrinkan ke dalam pola pikir masyarakat.
Berbagai bentuk sistem totalitarian dalam suatu pemerintahan berpijak
pada ideologi-ideologi yang berbeda. Walaupun demikian, semuanya memiliki
ciri-ciri bersama. Dua ciri utama totalitarian yang terpenting adalah adanya
ideologi yang disebarkan dan dimasukkan ke dalam berbagai aspek kehidupan
sehari-hari masyarakat dan keberadaan partai politik tunggal agar seluruh
komponen masyarakat bisa dimobilisir melalui partai tunggal tersebut. Pimpinan
partai tunggal ini mengontrol sistem negara, termasuk lembaga-lembaga
pengadilan dan parlemen (jika ada), lembaga-lembaga pendidikan, mengontrol
komunikasi melalui radio, televisi, dan berbagai alat komunikasi (pada masa
modern termasuk internet, seperti yang masih dilakukan pemerintah Republik
Rakyat Cina sampai kini), bahkan bila perlu dengan mengerahkan polisi rahasia.30
Contoh sistem pemerintahan yang paling sering disebut sebagai
pemerintah totalitarian adalah bekas pemerintah Uni Soviet di bawah Stalin,
Jerman pada masa Nazi dan Republik Rakyat Tiongkok pada masa Mao. Regim
30
PengertianTotalitarian,<http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Totalitarian&oldid=5 094138>, diunduh 10 Januari 2012.
komunis di Uni Soviet dan Tiongkok berusaha mencapai 'nilai-nilai manusiawi
yang universal' dengan menciptakan berbagai kelas masyarakat. Negara Sosial
Nasionalis Jerman berusaha mewujudkan 'keunggulan dan kelebihan positif'
bangsa Arya. Negara Singapura saat ini juga dapat dikategorikan ke dalam negara
Totalitarian mengingat kebijakan-kebijakan yang terdapat di negara Singapura.
Dengan kemajuan teknologi (misalnya teknologi internet), perwujudan
suatu pemerintah totalitarian modern mungkin berbeda dan lebih tersamar.
Misalnya totalitarian pada masa sekarang tidak lagi tergantung pada keberadaan
secara fisik aparat rahasia atau aparat militer yang langsung melakukan operasi
pengontrolan dan pemaksaan nilai-nilai, tetapi lebih tergantung pada teknologi.
Totaliterisme menggambarkan diktator partai-negara yang tersentralisir dan
jalin-menjalin, yang menggunakan teror, organisasi yang mendetail, dan indoktrinasi
ideologis untuk mengendalikan secara terang-terangan segenap aspek kehidupan
sosial. Pada prakteknya, hal ini berarti kontrol dijalankan tidak hanya terhadap
seleksi elit politik dan agenda politik, tapi juga terhadap masyarakat dan
perekonomian lewat kontrol pada media, elaborasi sosialisasi publik, pencegahan
mandirinya suatu organisasi dari struktur partai negara dan terakhir kepemilikan
dan perencanaan ekonomi. Jadi, dalam totaliterisme, batas-batas yang populer
memisahkan politik, ekonomi, dan masyarakat menjadi lenyap. Ini
memungkinkan penetrasi dan despotisme yang menjadi ciri khas dalam
kediktatoran modern itu.31
31
Era kekejaman rezim fasis, NAZI dan komunis Soviet sudah berlalu secara
historis. Namun, jejak-jejak karakter totaliter masih membekas dalam rezim dan
masyarakat sekarang. Hal ini nampak misalnya dalam logika dominasi dan
rasionalitas teknologis sekaligus mentalitas konsumeristis dalam masyarakat
industri maju yang berideologikan pasar bebas, akumulasi modal (kapitalisme),
dan liberalisme. Herbert Marcuse menyebut masyarakat industri maju (advanced
industrial society) sebagai masyarakat satu-dimensi (one-dimensional society).
Pemberdayaan warga negara, konsumen yang kritis dan pembiasaan cara berpikir
yang dialektis menjadi prasyarat untuk mencegah berulangnya totalitarianisme
dalam peradaban umat manusia.32
Totalitarianisme, rezim totaliter, adalah kosa kata politik khas abad ke-20.
Menurut Eugene Kamenka dalam esainya ‗Totalitarianism‘,33
istilah totaliter dan
totalitarianisme menggambarkan negara, ideologi, para pemimpin politik dan
partai politik yang mengupayakan perubahan dan kontrol total (total
transformation & control) atas masyarakat sebagai tujuan politisnya. Paradigma
yang melatarbelakangi tujuan ini adalah konsep hidup yang total menyeluruh dan
negara serta komunitas yang organis-kohesif. Istilah ini pertama kali muncul di
panggung politik ketika digunakan oleh pemimpin rezim fasis di Italia, yaitu
Mussolini, dalam pidato kenegaraan yang menyerang sisa-sisa anggota kelompok
32
Hendar Putranto, Masyarakat satu-dimensi: Wajah Baru TOTALITARIANISME?, http://hendar2006.multiply.com/journal/item/3/Konsumerisme_sebagai_totalitarianisme_wajah_ba ru_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diunduh 10 Januari 2012.
33Kamenka, Eugene, ‗Totalitarianism‘ dalam Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds.),
Blackwell Companions to Philosophy: A Companion to Contemporary Political Philosophy, UK: Blackwell Reference, 1995, hlm. 629-631.
oposan dalam Parlemen pada 22 Juni 1925, dengan istilah ‗la nostra feroce
voluntà totalitaria.‘ (kehendak totaliter kita—kaum Fasis yang dipimpinnya--
yang kokoh). Berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak,
istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara Italia
sebagaimana dirumuskan oleh pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile. Beberapa
tahun setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan
menginkorporasikannya ke dalam ideologi negara sebagai ‗lo stato totalitario‘
(negara totaliter).
Di Jerman, penggunaan istilah total atau totalitär oleh rezim National
Socialists (NAZI) tidak bertahan lama. Pertama kali digunakan oleh Ernst Juenger
pada 1930, konsep ini identik dengan ‗mobilisasi total‘ dalam pengertian militer.
Pada tahun-tahun berikutnya, Carl Schmitt, seorang pengacara yang kelak menjadi
salah seorang ideolog terpenting dari NAZI, mendiskusikan ide ‗negara totaliter‘.
Namun karena konsep ini jarang digunakan oleh Der Führer, Adolf Hitler,
mungkin karena ia tidak mau dianggap berhutang budi secara ideologis pada
Mussolini, maka istilah ‗totalitär‘ menjadi usang dan tidak lagi dipakai para
petinggi NAZI.34
Sebagai konsep politis, totalitarianisme adalah konsep yang dinamis,
artinya dalam rentang ruang-waktu sejarah ia mengalami sejumlah perubahan atau
pergeseran makna. Konsep totaliter seperti sudah disinggung di atas merupakan
fase I dari 5 fase perkembangan pemahaman atas konsep totaliter.35 Fase
35Bdk. Hardiman, F. Budi, “Totalitarianisme,” Catatan Seminar Kuliah bagi mahasiswa
berikutnya (fase II) terjadi setelah Perang Dunia II (pasca 1945), di mana konsep
totaliter cenderung diasosiasikan sebagai deskripsi negatif dan peyoratif dari
fenomena baru yang berbahaya, kuat, berbasiskan ideologi dan amat bertentangan
dengan kebebasan, kreativitas serta independensi, yang mengerahkan,
menggerakkan, dan mengatur massa dengan tujuan-tujuan jahat. Pemikir seperti
Borkenau menulis bukunya The Totalitarian Enemy pada 1940 dan Aldous
Huxley, pada 1944, menuduh para pemikir sayap-kiri dan Partai Pekerja di Inggris
sebagai ‗kaum totaliter yang bersemangat‘.
Fase III dari perkembangan konsep totaliter merupakan fase debat ilmiah
yang sarat nuansa akademis dan bukan lagi melulu manifestasi politik yang real.
Seorang Profesor politik hukum negara (Staatsrechtsprofessor) kenamaan dari
Harvard University, Carl Joachim Friedrich (1901-1984), bersama Z.K.
Brzezinski pada 1956 menerbitkan buku Totalitarian Dictatorship and Autocracy
yang memainkan peranan penting mengintroduksi konsep totaliter dalam wacana
akademis, khususnya ilmu politik. Menurut Friedrich, totalitarianisme adalah
bentuk pemerintahan yang unik dan baru dan mempunyai 6 karakteristik pokok
yang umum dijumpai baik dalam rezim fasis Italia, Nasional Sosialis (NAZI)
maupun komunis Rusia di bawah Stalin, sebagai berikut:36
1. Mempunyai ideologi resmi negara yang memperjuangkan kondisi
sempurna-final dari umat manusia, dan semua orang yang berada di wilayah negara
tersebut harus memeluk ideologi ini.
36
2. Mempunyai satu partai tunggal yang biasanya disimbolkan atau dikebawahkan
pada satu sosok pemimpin. Partai ini terorganisasi secara hirarkis dan
kekuasaannya melampaui atau erat terkait dengan birokrat negara.
3. Mempunyai tingkat penguasaan teknologi yang canggih serta monopoli atas
persenjataan dan pasukan militer.
4. Monopoli yang mendekati total-komplet atas sarana-sarana komunikasi massa.
5. Mempunyai seperangkat sistem kontrol fisik atau psikologis lewat teror.
6. Penguasaan dan pengarahan keseluruhan ranah ekonomi secara terpusat.
Leonard Schapiro dalam Totalitarianism37 menganalisa kontur dan fitur
dari totalitarianisme dengan pertama-tama mengiyakan pentingnya enam poin
karakteristik rezim totaliter seperti yang ditawarkan oleh Friedrich di atas
(Schapiro menyebut enam poin versi Friedrich sebagai “the six-point syndrome,”
karena betapapun dikritik dari berbagai penjuru, keenam poin ini masih
mendominasi wacana seputar totalitarianisme hingga sekarang). Berikutnya,
Schapiro menguraikan dua arus besar yang mengkritik konsepsi Friedrich di
atas.38 Menurutnya, (1) ada sejumlah pemikir yang mengkritik detil dari the
point syndrome. Mereka berupaya menambahkan atau mengurangi isi dari the
six-point syndrome, misalnya dengan menyepakati dua faktor lain yang sama
pentingnya dengan keenam poin versi Friedrich, yaitu (a) adanya teori dominasi
dunia yang tersirat dalam ideologi resmi rezim, dan (b) adanya kebutuhan rezim
untuk memobilisasi massa secara terus menerus. Dari sisi lain, ada yang
37
Schapiro dan Leonard, Totalitarianism, (London: Macmillan, 1972), 13-71.
38
mengkritik argumen Friedrich menyangkut monopoli kontrol atas persenjataan
dan militer sebab penguasaan persenjataan dan militer adalah faktor esensial bagi
setiap bentuk pemerintahan agar tetap mempunyai otoritas atas warganya, dan hal
ini berarti bukan kekhasan bentuk pemerintahan totaliter. Arus kritik kedua (2)
menerima enam poin yang diajukan Friedrich dengan atau tanpa modifikasi,
namun mereka berargumen bahwa keunikan dan kebaruan yang disimpulkan
Friedrich menyangkut hakikat rezim totaliter tidak lagi bisa dipertahankan. Semua
fitur ini (the six-point syndrome) sudah ada dan bisa ditemukan dalam
rezim-rezim lain, baik di masa lampau maupun di masa sekarang.39 Kehadiran teknologi
modern dalam rezim totaliter, salah satu poin penting yang ditekankan Friedrich,
hanya membedakan rezim ini dengan rezim-rezim lain dalam skala tingkat / level
(degree), dan bukan jenis (kind).
Sementara itu, Hannah Arendt dalam karya monumentalnya The Origins
of Totalitarianism (1951) berupaya memetakan asal-usul rezim totaliter secara
fenomenologis dengan menganalisa fenomena psikologis massa dan individu.40
Menurutnya, totalitarianisme adalah rezim gerakan massa41 yang berkarakter
39
Dalam wikipedia, the free encyclopedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Totalitarianism yang terakhir dimodifikasi isinya pada 6 Juli 2005, 02:33 WIB), selain NAZI Jerman, fasis Italia, dan Uni Soviet, yang termasuk rezim-rezim totaliter adalah komunis Cina, Ba‘athist Irak, Ba‘athist Siria, Libia di bawah Muammar al-Qadaffi, rezim Khmer Merah di Kamboja, the Laotian Pathet Lao (Laos), Republik Sosialis Vietnam, dan Republik Demokratis Rakyat Korea
40
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, New York: Meridian Books, 1951, bab X, “A Classless Society”, & bab XI “The Totalitarian Movement”, hlm. 305-388.
41
impermanensi, yang memegang kekuasaan sejauh dan selama mereka membuat
segala sesuatu di sekelilingnya bergerak dan rezim ini mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri yang luar biasa sekaligus tidak mempunyai kesinambungan
(absence of continuity). Sementara itu, secara ontologis-antropologis, karakter
individu dalam rezim totaliter adalah manusia massa yang teratomisasi secara
sosial, mengalami individualisasi yang ekstrem, apolitis dan mudah
di-depolitisasi, tercerabut dari keberakarannya (kelas, keluarga, ruang privat,
jati-diri, self-interest) yang merupakan mangsa empuk untuk dimanipulasi, dijadikan
target propaganda dan bulan-bulanan teror42, untuk kemudian dicampakkan dalam
kamp konsentrasi di Auswitzsch oleh rezim NAZI atau dibuang ke Siberia (Gulag
Archipelago) oleh rezim Bolshevik Rusia.43 Cita-cita dan karakteristik rezim
totaliter yang bertemu dengan karakter manusia massa seperti disinggung atas bisa
who for one reason or another have acquired the appetite for political organization. Masses are not held together by a consciousness of common interest and they lack that specific class articulateness which is expressed in determined, limited, and obtainable goals. ,The term masses applies only where we deal with people who either because of sheer numbers, or indifference, or a combination of both, cannot be integrated into any organization based on common interest, into political parties or municipal governments or professional organizations or trade unions. Potentially, they exist in every country and form the majority of those large numbers of neutral, politically indifferent people who never join a party and hardly ever go to the polls.”
42
Arendt, Hannah ,341- 344. Arendt menulis “Propaganda and terror present two sides of
the same coin…Propaganda is indeed part and parcel of „psychological warfare’; but terror is
more. Terror continues to be used by totalitarian regimes even when its psychological aims are
achieved… Where the rule of terror is brought to perfection, as in concentration camps,
propaganda disappears entirely… propaganda .. is one, and possibly the most important, instrument of totalitarianism for dealing with the nontotalitarian world; terror…is the very esence of of its form of government.” Di lembar lain (ibid., hlm. 354), Arendt menulis bahwa “propaganda NAZI yang paling efektif adalah cerita konspirasi orang-orang Yahudi untuk menguasai dunia (dan bahwa) isu Yahudi adalah simbol kemunafikan dan ketidakjujuran dari seluruh sistem.”
43
menghasilkan definisi gerakan totaliter sebagai berikut: gerakan totaliter adalah
organisasi massa dari gugus individu yang teratomisasi, terisolasi.44
Secara khusus, Paul M. Hayes dalam Fascism45menyoroti karakteristik
rezim fasis di Italia dan Jerman yang menurutnya mempunyai beberapa ciri pokok
berikut ini:
Konsep superioritas rasial, yang termanifestasi dalam kampanye
pembasmian kaum Yahudi (anti-Semitisme) dan Slav. Meskipun konsep
superioritas rasial ini tidak begitu digelorakan oleh rezim fasis Italia, dan lebih
nampak dalam rezim NAZI (dengan konsep ‗Volk’—yang menandai superioritas
ras mereka di atas ras-ras lain secara alamiah, sekaligus erat diasosiasikan dengan
karakteristik bangsa Jerman seperti perjuangan, ganjaran (reward) dan dominasi),
namun tokoh-tokoh pemikir fasis Italia seperti Farinacci dan D‘Annunzio adalah
orang-orang berpikiran rasis. Di belakang ide superioritas ras Jerman, kita bisa
menyebutkan pengaruh filsuf Fichte (yang mengatakan bahwa Jerman adalah
rakyat yang paling sejati / Urvolk dan hanya orang Jermanlah yang benar-benar
mempunyai Volk dan mempunyai kecintaan yang real dan rasional terhadap
bangsanya), Jahn (yang menggabungkan atribut fisik dan mental dari orang
Jerman menjadi sebuah filsafat ras yang inkoheren), Arndt (yang percaya pada
keunggulan ras Nordic), von der Marwitz (penggiat awal dari kampanye melawan
kaum Yahudi), Görres (yang lewat karyanya Das Wachstum der Historie berhasil
mempropagandakan konsep mitos rakyat unggul, yaitu kemurnian dan kekuatan
dari ras Jerman), Arthur Gobineau (yang menekankan pentingnya ras sebagai
44
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, 323.
45
faktor esensial dalam proses peradaban, dan menggariskan struktur hirarkis dari
ras-ras, di mana ras Teutons menempati tempat paling unggul di antara ras-ras lain
di muka bumi ini), Schemann, Wagner, Dühring dan Lagarde.
Kombinasi yang aneh dari konsep Darwinisme-Sosial dengan
Imperialisme Sosial, kemakmuran nasional, penyebaran peradaban Barat yang
‗maju‘, mistisisme religius, dan teori racial destiny yang kesemuanya mau
menggarisbawahi kompleksitas faktor yang mempengaruhi muncul dan
berkembangnya rezim totaliter.
Sementara Slavoz Žižek dalam bagian Introduksi buku yang dieditnya,
Mapping Ideology46, menarik perhatian kita akan pentingnya ideologi dan
sekaligus kritik atas ideologi dalam sebuah rezim yang berkuasa (existing order).
Namun, menurut Žižek, ada juga kekeliruan sejarah yang menganggap bahwa
Fasisme adalah sebuah ideologi. Adorno, misalnya, menolak memperlakukan
Fasisme sebagai ideologi (dalam pengertian ‗legitimasi rasional atas tatanan atau
rezim yang sedang berkuasa‘), sebab ‗ideologi Fasis‘ tidak mempunyai koherensi
sebuah konstruksi rasional yang selalu mensyaratkan analisa konseptual dan
refutasi ideologis-kritis. Dengan kata lain, ‗ideologi Fasis‘ bukan ‗kebohongan
yang dialami sebagai kebenaran‘ (tanda pengenal dari ideologi yang sejati).
‗Ideologi Fasis‘ bahkan tidak dianggap serius oleh orang-orang yang
mempromosikannya; status ideologi Fasis adalah melulu instrumental, dan pada
46Žižek, Slavoz , The Spectre of Ideology” dalam Žižek, Slavoz
akhirnya amat tergantung dari pemaksaan yang datang dari luar (external
coercion).47
Fase IV dari perkembangan pemahaman konsep ‗totalitarianisme‘ dipakai
pada era Perang Dingin (Cold War), terutama untuk mencirikan ‗teror konsumsi‘
dalam masyarakat kapitalistis, seperti dibahas oleh Herbert Marcuse dalam One
Dimensional Man (1964). Kita akan segera membahas ciri totaliter dalam
masyarakat industri maju dalam bagian selanjutnya dari paper ini. Fase kelima
berlangsung setelah runtuhnya Sosialisme Soviet (1989). Konsep totaliter
mengalami renaisans dan dipakai sebagai konsep ilmiah. Namun dalam
realpolitik, seorang presiden USA George W. Bush belum lama ini pun masih
memakai istilah ‗totalitarian‘ ketika menyebut Korea Utara, Iran dan (Ba‘athist)
Iraq sebagai “Poros Setan” (Axis of Evil). Melihat arus sejarah dan perkembangan
politik seratus tahun terakhir, secara tentatif kita bisa mengatakan bahwa ada
kemungkinan fase-fase berikutnya dari ‗totalitarianism‘, aplikabilitas konsep ini
dalam realpolitik dan flexibilitasnya dalam wacana akademis juga kemungkinan
besar masih akan terus berlanjut.
47Žižek, Slavoz ,
BAB III
BIOGRAFI ADOLF HITLER
A.Riwayat Hidup
Adolf Hitler dilahirkan Tanggal 20 April 1889 di Brunau Austria.
Ayahnya seorang pegawai Pabean yang bernama Schikl bruber. Masa
kanak-kanaknya dijalani dengan sering sakit-sakitan, pemalu dan bermuka pucat. Dan
kadang kala Hitler tiba-tiba marah pada siapapun yang tidak sependapat
dengannya termasuk pada ibunya sendiri. Hitler keluar dari sekolah pada usia
enam belas tahun.48
Hitler memiliki cita-cita untuk menjadi seorang seniman, sehingga
setelah dia menyeleseikan studinya, dia mencoba untuk melanjutkan
pendidikannya ke akademi seni rupa di Wina. Akan tetapi dua kali dia di tolak
oleh akademi itu. Selama beberapa tahun Hitler bertahan hidup di Wina karena
cita-cita yang ada dalam benaknya. Dalam kehidupannya yang sulit itu, Hitler
melakukan pekerjaan serabutan seperti mencetak postcard, membersihkan karpet,
dan menjadi seorang kondektur. Tinggal di rumah sewaan, dengan hanya makan
sayur kaldu tanpa daging. Semua itu dia curahkan dalam benaknya bahwa
kegagalan yang dialaminya adalah disebabkan orang-orang Yahudi49.
Yahudi telah melakukan dominasi ekonomi terhadap Jerman, hal ini
telah dimulai sejak bahkan sebelum perang media, di mana yang dibahas di
dalamnya adalah masalah saham. Sehingga efek dari dominasi ini mengakibatkan
48
Jules Archer, Kisah Para Diktator (Biografi Politik Para Penguasa Fasis, Komunis, Despotis, dan Tiran), Yogyakarta: NARASI, 2004, h. 142.
49
industri-industri di Jerman mengalami kebangkrutan akibat dari serangan
sistematis kapitalisasi keuangan yang tamak.50
Pada tahun 1919, ketika usianya 30 tahun Hitler bergabung dengan
partai buruh Jerman, visi politiknya begitu jelas yaitu menjadikan bangsa Arya
menjadi bangsa yang tinggi yang tidak diinjak-injak oleh bangsa manapun,
bahkan bangsa Arya harus menjadi bangsa penguasa dunia.51
Dari kondisi dan situasi inilah Hitler memiliki kebencian yang amat
sangat terhadap perilaku Yahudi terhadap Jerman. Ketika Hitler muda, ia
mencoba masuk menjadi militer, akan tetapi pada akhirnya dia masuk kedalam
lingkungan politik. Dan disinilah awal mula terbentuknya SS dan Waffen-SS.
Awal mulanya Waffen-SS tidak terlepas dari terbentuknya Stosstruppe
Adolf Hitler (SAH) pada Maret 1923. Stosstruppe Adolf Hitler atau yang biasa
dsingkat dengan SAH adalah sebagai pelindung pribadi Hitler selama perjalanan
dinas untuk keperluan partai. Anggota awal SAH berjumlah 12 orang dan
seluruhnya adalah mantan serdadu Stosstruppe (pasukan elit penyerang di PD I)
dengan Julius Schreck sebagai penggagas sekaligus pimpinannya. Selain itu SAH
dibentuk atas kekhawatiran Hitler terhadap berkembang pesatnya Sturmabteilung
(SA) di bawah komando Ernst Rohm. Mereka berisikan selain mantan serdadu
reguler PD I dan Freikorps, juga preman, pemabuk dan bandit jalanan.52
50
Adolf Hitler, Mein Kamp ,251.
51
Agustinus Pambudi, Kematian Adolf Hitler, , 29.
52