KERANGKA TEORI
Kelahiran sebuah negara tidaklah terlepas dari sebuah ideologi yang menjadi dasar kehidupan politik, ekonomi, sosial yang sesuai dengan ideologi itu sendiri. Di mana hal itu tergantung akan cita-cita rakyat dan tokoh center yang dipercaya oleh rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan Jerman. Selain itu ideologi sebuah negara biasanya diarahkan atau disesuaikan oleh para tokohnya sesuai dengan situasi dan kondisi rakyat, seperti yang terjadi di Uni Soviet yang memilih Komunisme, Indonesia memilih Demokrasi Pancasila, Amerika memilih Demokrasi Liberal, kemudian Jerman pada jaman Hitler yang memilih ideologi Fasisme sebagai dasar negara.
Kondisi rakyatlah yang mendorong sebuah negara untuk merdeka, terlepas dari ketertindasan dan penjajahan serta monopoli yang menyebabkan rakyat sengsara. Sehingga dari ketertindasan itulah lahir sebuah kesadaran akan sebuah kemerdekaan. Dan kesadaran akan kemerdekaan ini lahir selaras dengan situasi politik, hukum, dan ekonomi yang ada dalam negara, hal ini biasanya dilihat dari sebab ketertindasan dan kesengsaran yang menimpa rakyat. Seperti kondisi buruh di Uni Soviet yang ditindas oleh kapitalisme sehingga mereka menuduh kapitalisme yang menjadi biang keladi kesengsaran mereka, maka perjuangan yang mereka lakukan adalah melalui ideologi Komunisme. Lalu kemudian revolusi Prancis lahir karena kondisi rakyatnya yang ditindas dan situasi politik yang di monopoli dan di dominasi oleh sistem kerajaan, di mana di dalamnya rakyat tidak merasakan kesejahteraan, kemerdekaan, dan kebahagian. Sehingga timbullah perjuangan perlawanaan rakyat yang menginginkan sebuah sistem yang
menjadikan rakyatnya sejahtera dan memiliki kebebasan dalam kehidupan bernegara. Begitu pula kelahiran ideologi fasisme di Jerman yang dipimpin oleh Adolf Hitler.
Dengan meneliti secara keseluruhan atas kelahiran fasisme yang didirikan Hitler ini tidak terlepas dari situasi dan kondisi, serta kebencian dari tokoh fasis itu sendiri yaitu Adolf Hitler terhadap Yahudi, serta ambisinya yang menyatakan bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang luhur diatas bangsa-bangsa lain di dunia.
Atas dasar itulah maka lahirlah fasisme sebagai prinsip perjuangan dan realitas yang paripurna bagi Jerman menurut Hitler di mana paham politik yang menggunakan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fasis ini merupakan simbol dari kekuasaan pejabat pemerintah. Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini.16 Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Karena kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.17
16
Vincent Bero, Musolini diantara Bayang-Bayang Hitler dan Romantika Clara Petacci, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2007), 13.
Mein Kampf karya Hitler sendiri menjelaskan bahwa karakter dari fasisme yang dibangun olehnya adalah sebuah ideologi dan panutan atau kitab sucinya rakyat Jerman untuk membebaskan diri dari kekuasaan Yahudi. Salah satu karakter ideologi fasisme Nazi adalah nasionalisme yang kuat, ini sangat patut di contoh bangsa Indonesia. Hitler mendirikan negara Nazi atas nama kesukuan dan rasial yang menjunjung tinggi ras bangsa Jerman. Hal ini tentu saja berarti upaya untuk mendapatkan keunggulan tanpa batas. Artinya nasionalisme yang berlebihan atau hyper-nationalism memang digunakan sebagai motor utama penyemangat rakyat yang akan digunakan untuk mengisi dominasi dunia dengan ras bangsa Jerman.
Hitler menuangkan pemikirannya di dalam buku yang ditulis di dalam tahanan yang Juga disimbolkan dengan semboyan 'ein volk, ein reich, ein fuhrer' atau yang dalam bahasa Indonesia di artikan “satu rakyat, satu kekaisaran, satu pemimpin”. Hubungan Nazi dengan volk atau rakyat dengan negara disebut volkgemeinschaft atau komunitas rakyat.
Fasisme dalam pengertian Hitler, tidaklah cukup sampai di sini akan tetapi mein Kampf yang telah diciptakannya menjadi sebuah doktrin agar ideologi Fasis ini mengakar dalam hati setiap rakyat Jerman. Sehingga Fasis ini bukan hanya sekedar ideologi tetapi menjadi sebuah jalan perjuangan rkyat Jerman khususnya ras Arya dalam memerangi bangsa lain yang dianggap rendah olehnya.18
17
Ruper Butler, Hitler Young Tigers (Sepak Terjang Remaja NAZI Pemuja Hitler dalam Perang Dunia II), (Jakarta: Planet Buku, 2008), 15.
18
A. Fasisme Sebagai Ideologi
Sebuah negara fasis tidak akan lahir sebelum negara itu merasakan akan kehidupan demokrasi, selain itu fasis juga lahir dalam sebuah negara industri dimana ketegangan-ketegangan ekonomi dan sosial dan sistem ini hanya dapat diatasi dengan dua cara secara liberal atau totaliter.19 Fasisme menolak liberal karena konsep didalamnya menganugrahi kebebasan dan penyeragaman, hal ini seperti yang terjadi di Jerman. Fasisme dengan taktik lihainya menggunakan segala kecemburuan dan ketakutan golongan penerima gaji dan pada waktu yang bersamaan meluncurkan propaganda terhadap elit ekonomi dan elit politiknya.20
Fasisme merupakan sebuah paham politik kekuasaan absolut tanpa demokrasi, paham yang mengedepankan bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Dengan kata lain, fasisme adalah suatu sikap nasionalisme yang berlebihan. Fasisme adalah, gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem politik dan ekonomi.21 Mereka menganjurkan pembentukan partai tunggal negara totaliter yang berusaha mobilisasi massa suatu bangsa dan terciptanya negara yang ideal untuk membentuk suatu elit pemerintahan melalui indoktrinasi, pendidikan fisik, dan eugenika kebijakan keluarga. Fasis percaya bahwa bangsa memerlukan kepemimpinan yang kuat,
19
Wiliam Ebenstain, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia, (Yogyakarta: Narasi, 2006), 106.
20
Adolf Hitler, Mein Kampf, (Jakarta: PT Suka Buku, 2010), 251.
21
identitas kolektif tunggal, dan akan dan kemampuan untuk melakukan kekerasan dan berperang untuk menjaga bangsa yang kuat.
Fasisme adalah komunisme, demokratis, individualis, anti-liberal, anti-parlemen, anti-konservatif, anti-borjuis dan anti-proletar, dan dalam banyak kasus anti-kapitalis Fasisme. menolak konsep-konsep egalitarianisme, materialisme, dan rasionalisme yang mendukung tindakan, disiplin, hirarki, dan semangat. Dalam ilmu ekonomi, fasis menentang liberalisme sebagai gerakan borjuis dan Marxisme sebagai sebuah gerakan proletar untuk menjadi eksklusif ekonomi berbasis kelas gerakan Fasis.22 Ideologi mereka seperti yang dilakukan oleh gerakan ekonomi trans-kelas yang mempromosikan untuk menyelesaikan konflik kelas ekonomi dan mengamankan solidaritas nasional dengan cara mereka mendukung, diatur multi-kelas, sistem ekonomi nasional yang terintegrasi.
Pemerintah Fasis melarang dan menekan oposisi terhadap negara. Fasisme didirikan oleh sindikalis nasional Italia dalam Perang Dunia I yang menggabungkan sayap kiri dan sayap kanan pandangan politik, tapi condong ke kanan di awal 1920-an. Para sarjana umumnya menganggap fasisme berada di paling kanan. Fasis meninggikan kekerasan, perang, dan militerisme sebagai memberikan perubahan positif dalam masyarakat, dalam memberikan renovasi spiritual, pendidikan, menanamkan sebuah keinginan untuk mendominasi dalam karakter orang, dan menciptakan persaudaraan nasional melalui dinas militer. Fasis melihat kekerasan dan perang sebagai tindakan yang menciptakan regenerasi semangat, nasional dan vitalitas.
22
Adolf Hitler sebagai pemimpin NAZI di Jerman melihat bahwa kondisi negara dan penduduk asli Jerman berada dalam penindasan, dan juga ditambah tidak adanya sifat patriotisme didalam tubuh bangsa arya23. Padahal asumsi Hitler bahwa bangsa Arya itu adalah bangsa yang tinggi diatas bangsa-bangsa lain di dunia. Akan tetapi dengan kenyataan yang justru sebaliknya itu membuat Hitler benci terhadap kaum Yahudi yang mendominasi Jerman.24 Maka Hitler pun berusaha menyadarkan kembali akan tingginya bangsa Arya terhadap penduduk Jerman dengan cara melahirkan sifat patriotis di dalam tubuh bangsa Jerman agar terbebas dari penjajahan dan menjadi bangsa yang tinggi di dunia maka lahirlah ideologi Fasisme.
Fasisme berasal dari kata fascio dari kata fasces yang berarti seikat tongkat dan kapak. Menurut para ahli sejarah bangsa Italia, fasisme adalah fascio di
combattimento, yang artinya kurang lebih “persatuan perjuangan”. Fasisme adalah
pengaturan pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan agresif imperialis. Paham fasisme hampir bersamaan dianut oleh tiga negara, yaitu Italia, Jerman dan Jepang.
Paham Fasisme di Jerman disebut Nazisme. Nazi adalah suatu partai di bawah pimpinan Adolf Hitler. Seusai Perang Dunia I, Jerman berubah menjadi Republik yang semula adalah kerajaan. Pemimpin pertama adalah Ebert, Berkuasa antara tahun 1919–1925, pemimpin selanjutnya adalah Presiden Hindenburg
23
Adolf Hitler, Mein Kampf, 32.
24
(1925–1934). Dalam pemerintahan republik ini, Jerman mengalami berbagai macam kesulitan, Baik dalam keuangan (Inflasi) maupun kekacauan ekonomi. Dalam keadaan Negara yang kacau tersebut rakyat Jerman mengharapkan orang yang kuat untuk memperbaiki keadaan. Dalam suasana yang kacau ini muncullah Adolf Hitler dengan partai Extrim yaitu NAZI.25
Adolf Hitler selalu menekankan kepada pemuda Jerman bahwa bangsa Jerman adalah bangsa yang besar yang ditakdirkan untuk memerintah dunia karena bangsa Jerman adalah bangsa berdarah Arya, yang merupakan pangkal kekuatan jerman. Namun kekuatan itu sedang terbelenggu oleh kekuatan asing, yaitu bangsa Yahudi dan Komunis.26 Orang Yahudi sebagai penyebab semua itu harus dimusnahkan. Selanjutnya, kata Adolf Hitler untuk melepaskian diri dari penderitaan dan meluaskan ruang hidup, Jerman harus membentuk angkatan perang yang sangat kuat yang dipimpin oleh seorang Fuhrer (pemimpin besar).
Seperti apa yang ditulisnya dalam Mein Kamf “Alasan anti semitisme (anti
Yahudi) harus mendorong ke arah oposisi legalyang direncanakan dan menghapuskan perlakuan khusus terhadap bangsa yahudi, itu adalah tujuan terakhirnya, bagaimanapun harus sungguh-sungguh memindahkan bangsa Yahudi
secara keseluruhan”.27
Setelah Perang Dunia I Negara Jerman yang semula berbentuk Kerajaan berubah menjadi Republik. Akan tetapi, masa pemerintahan republic ini tidak
25
Agustinus Pambudi, The Death of Adolf Hitler (Kematian Adolf Hitler), (Jakarta: Agromedia Pustaka), 25.
26
Russel, Seri Orang Termasyhur: Adolf Hitler, (Jakarta: MM Corp, 2005), 22.
27
berhasil mengatasi kekacauan ekonomi sebagai akibat Perang Dunia I, lebih lagi Jerman berada di pihak yang kalah. Dengan adanya hal tersebut, timbullah ketidakpuasan rakyat yang menimbulkan kekacauan-kekacauan, bahkan pemberontakan-pemberontakan. Sementara itu Partai Nasionalis Jerman atau National Sozialistische Deutsche Arbeiter. (NSDAP) yang disingkat dengan Nazi berkembang menjadi partai yang kuat dipimpin oleh Adolf Hitler. Nazi berusaha merebut kekuasaan tetapi gagal.28 Dipenjara itulah Hitler menulis buku Mein Kamf (Perjuanganku) isinya mengenai paham-paham Nazi. Jiwa
B. Prinsip-prinsip Fasisme
Para pelopor fasisme meninggalkan jejak ajaran mereka perihal fasisme. Hitler menulis Mein Kampft, sedangkan Mussolini menulis Doktrine of Fascism. Ajaran fasis model Italia-lah yang kemudian menjadi pegangan kaum fasis didunia, karena wawasannya yang bersifat moderat. Menurut Ebenstein, unsur-unsur pokok fasisme terdiri dari tujuh unsur-unsur29:
Pertama, ketidak percayaan pada kemampuan nalar. Bagi fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar digunakan
dalam rangka “tabu” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.
Kedua, pengingkaran derajat kemanusiaan. Bagi fasisme manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil, anggota partai
28
Rupert Butler, Sepak Terjang Remaja Nazi Pemuja Hitler dalam Perang Dunia II, (Jakarta: Planet Buku, 2008), 10.
29
melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme menolak konsep persamaan tradisi yahudi-kristen (dan juga Islam) yang berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideology yang mengedepankan kekuatan. Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak dikenal istilah
“oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara, maka mereka
adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental, mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah.
Hitler konon pernah mengatakan, bahwa “kebenaran terletak pada perkataan yang berulang-ulang”. Jadi, bukan terletak pada nilai obyektif kebenarannya.
Keempat, pemerintahan oleh kelompok elit. Dalam prinsip fasis, pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elit yang lebih tahu keinginan seluruh anggota masyarakat. Jika ada pertentangan pendapat, maka yang berlaku adalah keinginan si-elit.
Kelima, totaliterisme. Untuk mencapai tujuannya, fasisme bersifat total
dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap “kaum pinggiran”. Hal inilah yang
dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah 3 K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan penganiayaan.
Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis, dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis, bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat imperialisme.
Ketujuh, fasisime memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak menentang hukum dan ketertiban internasional.
C. Fasisme dan Totalitarianisme
Sebelum membahas masalah hubungan yang terbentuk antara fasisme dan totalisme yang menghasilkan suatu ideologi politik fasisme totaliter akan dijabarkan sekelumit mengenai pengertian sistem totalitarian, karakteristik, contoh kasus tentang perkembangan konsep totalitarian di masa sekarang. Sebagai lawan dari sistem demokrasi, sistem totalitarian adalah bentuk pemerintahan dari suatu negara yang bukan hanya selalu berusaha menguasai segala aspek ekonomi dan politik masyarakat, tetapi juga selalu berusaha menentukan nilai-nilai 'baik' dan 'buruk' dari prilaku, kepercayaan dan paham dari masyarakat. Sebagai akibatnya, tak ada lagi batas pemisah antara hak dan kewajiban oleh negara dan oleh masyarakat.
Di dalam sistem totalitarian, bukan negara yang melayani masyarakat, tetapi sebaliknya sebanyak mungkin anggota masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di lembaga-lembaga pemerintah, diwajibkan melaksanakan berbagai tugas untuk membantu penguasa membangun negara ke arah bentuk ideal. Misalnya diwajibkan menjadi anggota satu-satunya partai politik atau satu-satunya serikat buruh bentukan pemerintah. Apabila nilai-nilai komunis (atau nilai-nilai suatu agama) dianggap oleh penguasa sebagai bentuk ideal, maka nilai tersebut akan didoktrinkan ke dalam pola pikir masyarakat.
Berbagai bentuk sistem totalitarian dalam suatu pemerintahan berpijak pada ideologi-ideologi yang berbeda. Walaupun demikian, semuanya memiliki ciri-ciri bersama. Dua ciri utama totalitarian yang terpenting adalah adanya ideologi yang disebarkan dan dimasukkan ke dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat dan keberadaan partai politik tunggal agar seluruh komponen masyarakat bisa dimobilisir melalui partai tunggal tersebut. Pimpinan partai tunggal ini mengontrol sistem negara, termasuk lembaga-lembaga pengadilan dan parlemen (jika ada), lembaga-lembaga pendidikan, mengontrol komunikasi melalui radio, televisi, dan berbagai alat komunikasi (pada masa modern termasuk internet, seperti yang masih dilakukan pemerintah Republik Rakyat Cina sampai kini), bahkan bila perlu dengan mengerahkan polisi rahasia.30
Contoh sistem pemerintahan yang paling sering disebut sebagai pemerintah totalitarian adalah bekas pemerintah Uni Soviet di bawah Stalin, Jerman pada masa Nazi dan Republik Rakyat Tiongkok pada masa Mao. Regim
30
PengertianTotalitarian,<http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Totalitarian&oldid=5 094138>, diunduh 10 Januari 2012.
komunis di Uni Soviet dan Tiongkok berusaha mencapai 'nilai-nilai manusiawi yang universal' dengan menciptakan berbagai kelas masyarakat. Negara Sosial Nasionalis Jerman berusaha mewujudkan 'keunggulan dan kelebihan positif' bangsa Arya. Negara Singapura saat ini juga dapat dikategorikan ke dalam negara Totalitarian mengingat kebijakan-kebijakan yang terdapat di negara Singapura.
Dengan kemajuan teknologi (misalnya teknologi internet), perwujudan suatu pemerintah totalitarian modern mungkin berbeda dan lebih tersamar. Misalnya totalitarian pada masa sekarang tidak lagi tergantung pada keberadaan secara fisik aparat rahasia atau aparat militer yang langsung melakukan operasi pengontrolan dan pemaksaan nilai-nilai, tetapi lebih tergantung pada teknologi. Totaliterisme menggambarkan diktator partai-negara yang tersentralisir dan jalin-menjalin, yang menggunakan teror, organisasi yang mendetail, dan indoktrinasi ideologis untuk mengendalikan secara terang-terangan segenap aspek kehidupan sosial. Pada prakteknya, hal ini berarti kontrol dijalankan tidak hanya terhadap seleksi elit politik dan agenda politik, tapi juga terhadap masyarakat dan perekonomian lewat kontrol pada media, elaborasi sosialisasi publik, pencegahan mandirinya suatu organisasi dari struktur partai negara dan terakhir kepemilikan dan perencanaan ekonomi. Jadi, dalam totaliterisme, batas-batas yang populer memisahkan politik, ekonomi, dan masyarakat menjadi lenyap. Ini memungkinkan penetrasi dan despotisme yang menjadi ciri khas dalam kediktatoran modern itu.31
31
<http://www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=90:si mposium-kapitalisme-sosialisme-demokrasi&catid=7&Itemid=102>; Internet; diunduh 10 Januari 2012.
Era kekejaman rezim fasis, NAZI dan komunis Soviet sudah berlalu secara historis. Namun, jejak-jejak karakter totaliter masih membekas dalam rezim dan masyarakat sekarang. Hal ini nampak misalnya dalam logika dominasi dan rasionalitas teknologis sekaligus mentalitas konsumeristis dalam masyarakat industri maju yang berideologikan pasar bebas, akumulasi modal (kapitalisme), dan liberalisme. Herbert Marcuse menyebut masyarakat industri maju (advanced industrial society) sebagai masyarakat satu-dimensi (one-dimensional society). Pemberdayaan warga negara, konsumen yang kritis dan pembiasaan cara berpikir yang dialektis menjadi prasyarat untuk mencegah berulangnya totalitarianisme dalam peradaban umat manusia.32
Totalitarianisme, rezim totaliter, adalah kosa kata politik khas abad ke-20.
Menurut Eugene Kamenka dalam esainya ‗Totalitarianism‘,33
istilah totaliter dan totalitarianisme menggambarkan negara, ideologi, para pemimpin politik dan partai politik yang mengupayakan perubahan dan kontrol total (total transformation & control) atas masyarakat sebagai tujuan politisnya. Paradigma yang melatarbelakangi tujuan ini adalah konsep hidup yang total menyeluruh dan negara serta komunitas yang organis-kohesif. Istilah ini pertama kali muncul di panggung politik ketika digunakan oleh pemimpin rezim fasis di Italia, yaitu Mussolini, dalam pidato kenegaraan yang menyerang sisa-sisa anggota kelompok
32
Hendar Putranto, Masyarakat satu-dimensi: Wajah Baru TOTALITARIANISME?, http://hendar2006.multiply.com/journal/item/3/Konsumerisme_sebagai_totalitarianisme_wajah_ba ru_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diunduh 10 Januari 2012.
33Kamenka, Eugene, ‗Totalitarianism‘ dalam Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds.), Blackwell Companions to Philosophy: A Companion to Contemporary Political Philosophy, UK: Blackwell Reference, 1995, hlm. 629-631.
oposan dalam Parlemen pada 22 Juni 1925, dengan istilah ‗la nostra feroce voluntà totalitaria.‘ (kehendak totaliter kita—kaum Fasis yang dipimpinnya-- yang kokoh). Berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak, istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara Italia sebagaimana dirumuskan oleh pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile. Beberapa tahun setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan
menginkorporasikannya ke dalam ideologi negara sebagai ‗lo stato totalitario‘
(negara totaliter).
Di Jerman, penggunaan istilah total atau totalitär oleh rezim National Socialists (NAZI) tidak bertahan lama. Pertama kali digunakan oleh Ernst Juenger
pada 1930, konsep ini identik dengan ‗mobilisasi total‘ dalam pengertian militer.
Pada tahun-tahun berikutnya, Carl Schmitt, seorang pengacara yang kelak menjadi salah seorang ideolog terpenting dari NAZI, mendiskusikan ide ‗negara totaliter‘.
Namun karena konsep ini jarang digunakan oleh Der Führer, Adolf Hitler, mungkin karena ia tidak mau dianggap berhutang budi secara ideologis pada
Mussolini, maka istilah ‗totalitär‘ menjadi usang dan tidak lagi dipakai para
petinggi NAZI.34
Sebagai konsep politis, totalitarianisme adalah konsep yang dinamis, artinya dalam rentang ruang-waktu sejarah ia mengalami sejumlah perubahan atau pergeseran makna. Konsep totaliter seperti sudah disinggung di atas merupakan fase I dari 5 fase perkembangan pemahaman atas konsep totaliter.35 Fase
35Bdk. Hardiman, F. Budi, “Totalitarianisme,” Catatan Seminar Kuliah bagi mahasiswa program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, tidak diterbitkan, 2005, 1.
berikutnya (fase II) terjadi setelah Perang Dunia II (pasca 1945), di mana konsep totaliter cenderung diasosiasikan sebagai deskripsi negatif dan peyoratif dari fenomena baru yang berbahaya, kuat, berbasiskan ideologi dan amat bertentangan dengan kebebasan, kreativitas serta independensi, yang mengerahkan,