• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai provitamin A pada produk sosis keong tutut (Bellamnya javanica van den Bush)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai provitamin A pada produk sosis keong tutut (Bellamnya javanica van den Bush)"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN

RED PALM OIL

(RPO) SEBAGAI

SUMBER PROVITAMIN A PADA PRODUK

SOSIS KEONG TUTUT

(

Bellamnya javanica

van den Bush)

YULAIKA WIDHIASTUTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

YULAIKA WIDHIASTUTI. The Utilization of Red Palm Oil (RPO) as a Source of Provitamin A in Tutut Snail (Bellamnya javanica van den Bush) Sausage Preparation. Under supervision of AHMAD SULAEMAN and LEILY AMALIA FURKON.

Background: RPO (Red Palm Oil) is a potential natural source of provitamin A due to its high carotenoid content. Meanwhile, tutut snail ia an unutilized protein source which may be used as raw material for sausage preparation. The combination of two potential food compounds in sausage product will be an innovative movement to gain the benefit of them.

Objective: To evaluate the effect of Red Palm Oil (RPO) utilization in tutut snail sausage preparation product and to observe the acceptance of the product. Design: Six formula were developed based on RPO added level (5%, 10%, 15%, 20% and 25%) and one control formula with 15% added regular frying oil. The best formula was choosen from the organoleptic test. Five organoleptic attributes used to determine the best formula were colour, odor, taste, texture and overall attribute.The best formula was evaluated and compared for its physical and chemical characteristic with the control formula.

Result: The six formula had a significant difference in colour, taste, texture and overall organoleptic attributes but no significant difference in odor. The formula with 15% RPO added was judged as the best formula. There was significant difference in hardness, water content and total caroten content between the formula with 15% RPO added and the control formula but no significant difference in pH value, ash, protein, fat and carbohydrate content. The chemical compound of the best formula was 57,49% water content; 2,94% ash content, 9,77% protein content, 10,71% fat content, 20,08% carbohydrate content and 28,47 µg/g of total caroten content.

(3)

RINGKASAN

YULAIKA WIDHIASTUTI. Pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai Sumber Provitamin A pada Produk Sosis Keong Tutut (Bellamnya javanica van den Bush). Dibawah bimbingan AHMAD SULAEMAN dan LEILY AMALIA FURKON.

Minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO) merupakan hasil pemurnian dari minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang memiliki kandungan karoten tinggi sehingga dapat menjadi sumber provitamin A yang potensial. Di Indonesia yang merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar, hal ini justru belum termanfaatkan secara maksimal. Di sisi lain, keong tutut masih dipandang sebelah mata oleh beberapa orang padahal hewan ini potensial sebagai sumber protein hewani yang murah dan belum banyak dipergunakan. Karena hal tersebut, penelitian mengenai kombinasi dari dua bahan pangan potensial ini dalam satu produk pangan dipandang sangat inovatif.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai sumber provitamin A pada produk sosis keong tutut serta mengidentifikasi penerimaan terhadap produk tersebut. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Membuat formulasi penggunaan RPO yang optimal pada pembuatan sosis keong tutut RPO; (2) Mengevaluasi mutu organoleptik sosis keong tutut RPO; (3) Mengidentifikasi karakteristik fisik sosis keong tutut RPO terpilih meliputi nilai pH, kekerasan dan kekenyalan; (4) Mengidentifikasi karakteristik kimia meliputi kandungan gizi (kadar air, kadar abu, protein dan lemak) serta total karoten dari sosis keong tutut RPO terpilih dan kontrol; (5) Menghitung kontribusi vitamin A dari karoten terhadap AKG dari satu takaran saji sosis keong tutut RPO terpilih dan kontrol.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan RPO yang dilaksanakan di Labolatorium Technopark, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. RPO yang dihasilkan memiliki total karotenoid 697,79 µg/g atau 69779 µg/100g, setara dengan 651,5 RE. Tahapan penelitian selanjutnya adalah formulasi sosis keong tutut RPO. Enam taraf formulasi dikembangkan berdasarkan persentase penambahan RPO pada produk sosis, yaitu 5% (F5), 10% (F10), 15% (F15), 20% (F20), 25% (F25) serta FC atau formulasi kontrol dengan penambahan minyak sawit komersil sebesar 15%. Sosis kemudian diujikan pada 30 panelis melalui uji organoleptik. Formula terpilih yang didapatkan kemudian dianalisis sifat fisik dan kimianya. Analisis sifat fisik yang dilakukan meliputi nilai pH, kekerasan dan kekenyalan. Sedangkan analisis sifat kimia meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat dan total karoten. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan diolah statistik menggunakan program SPSS 16 for windows.

Parameter yang diamati pada uji organoleptik adalah warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Data hasil organoleptik menunjukkan perbedaan nyata pada parameter warna, rasa, tekstur dan keseluruhan dari keenam sosis, sedangkan parameter aroma tidak ditemukan perbedaan nyata. F15 dipilih sebagai formulasi terbaik berdasarkan uji organoleptik dengan penerimaan tertinggi, di mana penerimaan terhadap aspek warna sebesar 73,3%, aspek aroma 61,7%, aspek rasa 90,0%, aspek tekstur 61,7%, dan secara keseluruhan 61,7%.

(4)

57,49%, kadar abu 2,94%, kadar protein 9,77%, kadar lemak 10,71%, kadar karbohidrat 20,08% dan kadar karoten total 28,47 µg/g.

Kontribusi protein per takaran saji (50 g) berdasarkan AKG (2004) untuk anak-anak usia 4-9 tahun rata-rata 11,69%, untuk pria umur 10-65 tahun ke atas rata-rata 8,3% dan untuk wanita 10-65 tahun ke atas rata-rata 9,5%. Kontribusi vitamin A dari karoten berdasarkan AKG (2004) sehari per takaran saji (50 g) untuk anak 4-9 tahun adalah 29,8%, untuk pria 10-65 tahun ke atas sebesar 22,18%, dan untuk wanita 10-65 tahun ke atas sebesar 25,1%.

(5)

PEMANFAATAN

RED PALM OIL

(RPO) SEBAGAI

SUMBER PROVITAMIN A PADA PRODUK

SOSIS KEONG TUTUT

(

Bellamnya javanica

van den Bush)

YULAIKA WIDHIASTUTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

Judul : Pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai Sumber Provitamin A pada Produk Sosis Keong Tutut (Bellamnya javanica van den Bush)

Nama : Yulaika Widhiastuti NIM : I14060907

Disetujui,

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Disetujui:

Dosen Pembimbing II

Leily Amalia Furkon, S.TP, M.Si NIP. 19721209 200501 2 004 Dosen Pembimbing I

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai Sumber Provitamin A pada Produk Sosis Keong Tutut (Bellamnya javanica van den Bush)”. Penulis persembahkan dengan sepenuh hati karya ini untuk yang tercinta; Ayahanda Maryadi, Ibunda Sri Mulyani dan kedua adikku Aisyah Shinta Dewi dan Husain Abdul Aziz yang telah memberikan segenap cinta dan kasih sayangnya serta doa tulus dan motivasinya pada penulis.

Selama proses penelitian ini penulis tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dan dengan setulus hati penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD dan Leily Amalia Furkon, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah memberikan ulasan dan saran perbaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing akademik. 4. Yayasan Karya Salemba Empat atas beasiswa dan pelatihan yang telah

diberikan serta DIKTI yang secara tidak langsung memberikan bantuan finansial untuk biaya penelitian ini melalui program PKM-GT.

5. Pak Mashudi atas arahan dan motivasi yang terus mengalir serta laboran dan teknisi Lab Gizi Masyarakat serta Lab Technopark dan ITP atas bantuannya selama penelitian.

6. Sahabat-sahabat Koplag, Keputren, Gizi Masyarakat dan Keluarga Mahasiswa Klaten.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Dengan keterbatasan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2011

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 6 Juli 1988 dari Ayahanda Maryadi dan Ibunda Sri Mulyani. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari TK Pertiwi Nengahan, Bayat, Klaten pada tahun ajaran 1993-1994 dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di SDN Sembung II, Wedi, Klaten pada tahun ajaran 1994-2000. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 1 Wedi, Klaten sampai tahun 2003. Setelah lulus SMP penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Klaten dan lulus tahun 2006.

Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat pada tahun kedua. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan seperti FORSIA (Forum Silaturahmi Rohis Fakultas Ekologi Manusia, Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Klaten (OMDA KMK) serta aktif menulis sebagai reporter majalah kampus EMULSI (majalah pangan dan gizi). Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan seperti kepanitiaan Seminar Kasih (Kesehatan, Gizi dan Kehamilan) oleh mahasiswa Ilmu Gizi IPB, Seminar “The

True Power of Water” oleh Keluarga Mahasiswa Klaten, Java Cup (Pertandingan Futsal antar Organisasi Mahasiswa Daerah se-Jawa), MPKMB Angkasa ‟44 (Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru), Masa Perkenalan Departemen Gizi Oxigen ‟44, Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia HERO ‟44. Selama masa kuliah penulis juga berkesempatan menerima beasiswa dari yayasan Karya Salemba Empat selama tiga tahun berturut-turut.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA RPO (Red Palm Oil) ... 4

Vitamin A ... 4

Karotenoid ... 6

Sosis ... 7

Keong Tutut ... 11

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 14

Bahan dan Alat ... 14

Tahapan Penelitian ... 14

Rancangan Penelitian ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Sosis Keong Tutut RPO ... 23

Karakteristik Organoleptik Sosis Keong Tutut RPO ... 25

Karakteristik Fisik Sosis Keong Tutut RPO ... 35

Karakteristik Kimia Sosis Keong Tutut RPO ... 37

Analisis Biaya Produksi ... 43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Prevalensi KVA pada anak dibawah lima tahun ... 5

Tabel 2 Klasifikasi status vitamin A ... 6

Tabel 3 Syarat mutu sosis daging ... 9

Tabel 6 Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut ... 13

Tabel 7 Formulasi sosis (g) ... 18

Tabel 8 Hasil analisis sifat fisik sosis ... 35

Tabel 9 Hasil analisis sifat kimia sosis ... 37

Tabel 10 Kontribusi protein per takaran saji sosis (50 g) ... 39

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Struktur kimia -karoten ... 7

Gambar 2 Keong tutut (ukuran dibandingkan tangan) ... 12

Gambar 3 Diagram alir pembuatan RPO (Mas‟ud β007) ... 15

Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan sosis ... 16

Gambar 5 Penampakan sosis setelah penggorengan ... 26

Gambar 6 Diagram nilai mutu hedonik sosis ... 27

Gambar 7 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap warna ... 29

Gambar 8 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap aroma ... 30

Gambar 9 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap rasa ... 31

Gambar 10 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap tekstur ... 33

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Formulir Uji Organoleptik ... 49

Lampiran 2 Hasil uji organoleptik ... 51

Lampiran 3 Hasil olahan statistik data organoleptik ... 70

Lampiran 4 Karakteristik fisik dan kimia sosis ... 75

Lampiran 5 Hasil analisis statistik data sifat fisik dan kimia ... 78

Lampiran 6 Dokumentasi proses penelitian ... 82

Lampiran 7 Analisis biaya produksi ... 84

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kurang Vitamin A (KVA) telah tercatat sebagai masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang selama tiga dekade terakhir. WHO menyatakan bahwa KVA diderita oleh sekitar 40% populasi dunia, terutama wanita hamil atau menyusui dan anak dibawah lima tahun (Zeba et al. 2006). Menurut West (2002), lebih dari 127 juta anak di dunia mengalami ketidakcukupan asupan vitamin A. Sejak tahun 1980-an angka kematian balita di Indonesia meningkat pada anak balita yang kurang vitamin A, bahkan sebelum terlihat adanya tanda-tanda xeroftalmia (Soekirman 2000). Hasil penelitian masalah gizi mikro di Indonesia menunjukkan bahwa kadar serum vitamin A balita rata-rata hanya 11 μg/dl dengan prevalensi xeroftalmia buta senja (XN) sebesar 1,18% (Herman 2006).

Salah satu penyebab masalah KVA adalah kurangnya asupan vitamin A (Almatsier 2006). Pangan hewani sebagai sumber vitamin A tinggi seperti hati, telur, dan susu sangat sulit dijangkau oleh masyarakat miskin, karena itu sumber provitamin A dari nabati sangat cocok dikembangkan untuk negara berkembang (Mills 2008). Salah satu jenis sumber pangan nabati tersebut adalah minyak sawit merah.

Minyak sawit merah atau Red Palm Oil (RPO) merupakan hasil pemurnian dari minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO). CPO sendiri merupakan minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) (Ketaren 2008). Berger (2005) menyebutkan, kandungan total karoten pada RPO sebesar 550 µg/g, sedangkan menurut Butt et al. (2004) total karoten RPO adalah sebesar 580 µg/g. Dengan kandungan ini, satu sendok teh RPO atau sekitar 5 gram akan menyumbang vitamin A sebesar 270,77 RE (135,38 RAE) atau 54,15% dari Angka Kecukupan Gizi dan 67,69% dari Dietary Reference Intakes (IOM 2004) untuk anak usia 4-8 tahun.

(14)

yang melimpah ini, seharusnya RPO bisa lebih dimanfaatkan. Kenyataannya, RPO masih sangat jarang digunakan di Indonesia. Warna merah dari kandungan karotennya justru dihilangkan pada proses bleaching (pemucatan) dalam rangkaian produksi minyak goreng karena warna merah ini dianggap tidak wajar pada minyak kelapa sawit.

Di sisi lain, keong tutut yang merupakan keong air tawar yang hidup di perairan dangkal berdasar lumpur dengan aliran air yang lamban seperti sawah dan rawa-rawa, ternyata memiliki keunggulan yang belum disadari masyarakat. Keong ini biasanya diolah menjadi bothok, sambal, sate, gulai, dan sebagainya. Hewan yang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang ini ternyata layak dijadikan alternatif pangan sumber protein karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi dan terjangkau secara ekonomi dibandingkan sumber protein hewani lainnya. Risjad (1996) menyebutkan keong ini memiliki kandungan protein 11,8 gram setiap 100 gram daging atau 31,89% Angka Kecukupan Gizi.

Potensi lain dimiliki keong tutut yang belum optimal pemanfaatannya adalah kandungan lemak yang cukup rendah sehingga dapat diterapkan dalam pembuatan menu diet rendah lemak untuk kasus penyakit tertentu. Menurut Risjad (1996), dalam 100 gram daging keong tutut terkandung lemak sebanyak 5,3 gram, sedangkan pada daging sapi kandungan lemaknya jauh lebih tinggi yaitu 14 gram per 100 gram berat (DKBM 2000).

(15)

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pemanfaatan Red Palm Oil (RPO) sebagai sumber provitamin A pada produk sosis keong tutut serta mengidentifikasi penerimaan panelis terhadap produk tersebut.

Tujuan Khusus

1. Membuat formulasi sosis keong tutut RPO yang paling baik; 2. Mengevaluasi mutu organoleptik sosis keong tutut RPO;

3. Mengidentifikasi karakteristik fisik sosis keong tutut RPO terpilih meliputi nilai pH, kekerasan dan kekenyalan;

4. Mengidentifikasi karakteristik kimia meliputi kandungan gizi (kadar air, kadar abu, protein dan lemak) serta total karoten dari sosis keong tutut RPO terpilih dan kontrol;

5. Menghitung kontribusi vitamin A dari karoten terhadap AKG dari satu takaran saji sosis keong tutut RPO terpilih dan kontrol.

Kegunaan

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

RPO (Red Palm Oil)

Minyak yang diperoleh dari mesokarp atau sabut buah kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) disebut minyak sawit kasar (Crude Palm Oil -CPO). Hasil pemurniannya disebut Red Palm Oil (RPO) (Ketaren 2008). Berger (2005) menyebutkan, setelah CPO dimurnikan menjadi RPO kandungan karotenoidnya sebesar 550 ppm, sedangkan menurut Butt et al. (2004) karotenoid RPO sebesar 580 ppm. Karotenoid pada RPO dapat diabsorbsi lebih baik dibandingkan sumber karotenoid nabati lainnya. Absorbsi karotenoid pada RPO sebesar 98% sedangkan karotenoid dari sumber nabati lain adalah 37-75%. Jika dibandingkan dengan karotenoid yang ada pada wortel, tingkat absorbsi karotenoid RPO sebesar 15 sampai 40 kali lebih besar (Scrimshaw 2000). Tingginya tingkat absorbsi ini disebabkan karena karotenoid RPO berada pada medium minyak (Narasinga 2000).

Suplementasi RPO telah digunakan untuk meningkatkan kadar vitamin A dalam pangan, seperti penggunaannya pada cake, biskuit, roti, cookies dan shortening (El Hadad et al. 2009). Pada penelitian Rucita (2010), RPO juga telah dimanfaatkan sebagai sumber provitamin A produk mie instan.

Vitamin A

Istilah Vitamin A yang biasa digunakan mencakup berbagai komponen kimia yang memiliki aktivitas biologis vitamin, yakni: provitamin A karotenoid, retinol dan metabolit aktifnya (Bender 2003). Aktivitas biologis vitamin A ditentukan berdasarkan konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Equivalents (RE) (Eitenmiller 2008). Satuan vitamin A dan ekivalennya berdasarkan National Research Council adalah sebagai berikut:

1,0 RE = 1,0 μg retinol = 6,0 μg -karoten = 1β,0 μg karotenoid lain

= 3,3 SI (Satuan Internasional) retinol = 9,9 SI (Satuan Internasional) -karoten

Menurut Institute of Medicine (2004), konversi komponen aktif vitamin A menjadi Retinol Activity Equivalents (RAE) adalah sebagai berikut:

(17)

= 24,0 μg α-karoten = 24,0 μg -kriptoxantin

RAE sebagai satuan provitamin A karotenoid dalam pangan bernilai dua kali lebih besar daripada RE.

Bentuk vitamin A yang paling umum dan paling aktif adalah all-trans-retinol. All-trans-retinol terdiri dari cincin -ionon yang menempel pada atom C-6 pada sisi rantai yang disusun oleh dua unit isoprena tidak jenuh (Ball 1988). Vitamin A tidak larut di dalam air, tetapi larut dalam minyak dan lemak serta pelarut organik (Eitenmiller et al. 2008). Oleh karena itu, asupan lemak yang rendah akan mengakibatkan penyerapan vitamin A yang rendah pula. Begitu juga dengan asupan protein yang rendah akan mengakibatkan kekurangan protein pengangkut serta penurunan konsentrasi vitamin A dalam plasma (Wiseman 2002).

Vitamin A umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali, tetapi sangat mudah teroksidasi oleh udara. Vitamin A akan rusak bila dipanaskan pada suhu yang tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008). Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A (Almatsier 2005).

Vitamin A berperan dalam berbagai proses faali tubuh diantaranya penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, serta pencegahan kanker dan penyakit jantung (Almatsier 2005). Oleh karena itu, asupan vitamin A yang cukup diperlukan untuk fungsi tubuh normal dan agar imunitas tubuh tetap terjaga. Kecukupan vitamin A berbeda-beda pada setiap golongan umur dan jenis kelamin.

Kekurangan vitamin A merupakan masalah serius terutama di negara berkembang. Asia Tenggara memiliki prevalensi KVA pada balita tertinggi di antara wilayah lain. Data prevalensi KVA dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Prevalensi KVA pada anak dibawah lima tahun

Wilayah Defisiensi Subklinis Defisiensi Klinis

Juta % Juta %

Afrika 49 45,8 1,08 1,0

Amerika 17 21,5 0,06 0,1

Asia

Tenggara 125 70,2 1,3 0,7

Eropa - - - -

Timur Tengah 23 31,5 0,16 0,3

Pasifik Barat 42 30,0 0,1 0,1

Total 256 40.3 2.7 0.1

(18)

Klasifikasi status vitamin A didasarkan pada kandungan vitamin A dalam serum darah. Seseorang dikatakan kekurangan vitamin A jika kadar vitamin A dalam serumnya < 20 µg/dl (Sommer dan West 1996). Klasifikasi status vitamin A lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi status vitamin A

Status vitamin A Kadar Serum

µg/dl µmol/liter

Normal ≥ β0 ≥ 0,7

Low 10 – 20 0,35 – 0,69

Deficient < 10 < 0,35

Sumber: Sommer dan West (1996)

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kegagalan dalam fungsi sistemik (dicirikan oleh kelainan perkembangan janin), gangguan dalam spermatogenesis, anemia, lemahnya fungsi imun (menurunkan jumlah dan respon mitogenik dari sirkulasi limfosit T). KVA juga dapat menyebabkan keratinisasi pada mukosa membran yang melapisi saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran urinari, kulit dan epitelium pada mata (Mahan & Stump 2004). Selain itu, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan buta senja dan berbagai perubahan pada mata (atrofi kelenjar mata, keratinisasi, melunaknya kornea, perdarahan, dan lain-lain) (Almatsier 2005).

Sehubungan dengan vitamin A dan anemia, Ramakrishnan (2001) menyatakan, defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anemia. Deplesi vitamin A pada penelitian di Amerika menyebabkan penurunan Hb. Pada penelitian tersebut, penurunan Hb tidak terjadi pada suplementasi zat besi yang dilakukan bersama vitamin A. Mekanisme pasti mengenai hal ini masih terus diteliti, salah satunya kemungkinan mobilisasi penyimpanan vitamin A yang terhambat karena defisiensi vitamin A pada reseptor transferin.

Karotenoid

Kristal karotenoid terdapat dalam beberapa bentuk dan warna yang bervariasi, mulai dari merah-orange hingga ungu kehitaman (Hendry & Houghton 1996). Bender (2003) mengklasifikasikan karotenoid berdasarkan struktur kimianya, yaitu : (1) Hydrophobic hydrocarbon carotenoid (α-, -karoten dan likopen); (2) Monohydroxycarotenoid ( - kriptoxantin); (3) Dihydroxycarotenoid (lutein, zeaxanthin).

(19)

dalam air (Hendry & Houghton 1996). Hal ini disebabkan karena karotenoid memiliki struktur yang nonpolar (Fennema 1996).

Efisiensi penyerapan karotenoid dari makanan sekitar 50-60%, tergantung bioavailabilitasnya (Olson 1991). Mahan dan Stump (2004) menyatakan bahwa banyaknya karotenoid yang dapat diserap tubuh dipengaruhi oleh faktor diet lain seperti pencernaan kompleks protein dengan karotenoid dan kadar serta jenis lemak dalam diet (vitamin larut lemak memerlukan lemak untuk penyerapan optimum).

Karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A adalah karotenoid yang mengandung cincin beta ionon yang dapat diubah menjadi vitamin A, diantaranya α-, - dan -karoten. Ketiga karotenoid ini dalam tubuh hewan akan dipecah atau diubah menjadi vitamin A (Hendry & Houghton 1996). Struktur kimia -karoten disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia -karoten

Pada manusia, sekitar 25-60% -karoten yang dikonsumsi akan diubah menjadi vitamin A, tergantung dari jenis makanan dan faktor-faktor lain (Muchtadi 1989). Beta karoten memiliki Acceptable Daily Intake (ADI) sebesar 2,5 mg/Kg berat badan (Kitts 1996).

Karoten bersifat larut dalam lemak dan stabil bersama antioksidan dan juga dapat melindungi lemak itu sendiri. Karoten juga larut dalam pelarut organik namun tidak larut dalam air (Mosquera et al. 2002). Provitamin A pada umumnya cukup stabil selama pengolahan pangan, tetapi mempunyai sifat sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2008). Pada penelitian Sulaeman et al. (2001), α- dan -karoten pada produk keripik wortel relatif stabil selama proses deep frying.

(20)

Sosis

Kata sosis berasal dari bahasa latin salsus, yang berarti daging yang diawetkan dengan penggaraman. Pembuatan sosis bertujuan untuk mengawetkan daging segar yang tidak langsung dikonsumsi. Sosis adalah contoh emulsi minyak dalam air dimana lemak berfungsi sebagai fase diskontinu dan air sebagai fase kontinu, sedangkan protein daging berfungsi sebagai pengemulsi (Kramlich 1978).

Menurut Wilson (1981), proses pembuatan sosis sangat dipengaruhi oleh kemampuan daging yang dengan penambahan garam, air serta bahan pembantu seperti polifosfat dan bahan lain yang berfungsi untuk membentuk emulsi dengan lemak yang stabil. Kestabilan emulsi ini ditunjukkan dengan tidak terpisahnya lemak dari sosis.

Berdasarkan kehalusan emulsi daging, sosis dibedakan menjadi sosis kasar dan sosis emulsi. Pada proses pembuatan sosis kasar tahap pengolahannya lebih singkat dan sederhana, yaitu menggiling daging sampai halus kemudian mencampurkannya dengan lemak sampai merata sedangkan pada proses pembuatan sosis emulsi, tahapan pencampuran dikembangkan menjadi pencampuran, pencacahan dan pengemulsian dengan menggunakan alat-alat khusus (Pearson dan Tauber 1984). Proses penggilingan bertujuan untuk membentuk daging giling dan untuk mendistribusikan lemak. Butiran-butiran lemak yang ditambahkan pada tahap pencampuran diharapkan terdistribusi dan merata (Kramlich 1978).

(21)

yang ditambahkan dan diasap. (6) Daging giling masak, merupakan sosis yang dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, diperam atau tidak diperam, dimasak dan jarang diasap. Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak dalam air. Minyak dan air adalah cairan yang tidak dapat bersatu, tetapi dalam sosis minyak dan air dapat dicampur karena adanya agen pengemuksi (Kramlich 1978). Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat mutu sosis daging

Mutu (% b/b)

Kadar air Maks 67,0

Kadar abu Maks 3,0

Kadar protein Min 13,0 Kadar lemak Maks 25,0 Kadar karbohidrat Maks 8,0 Sumber : Standar Nasional Indonesia 01-3820-1995 Bahan Pengikat Sosis

Bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, memberi tekstur padat, dan menarik air dari adonan (Tanikawa 1985).

Jenis bahan pengikat yang umum ditambahkan adalah tepung tapioka, beras, maizena, sagu, dan terigu (Tanikawa 1985). Produk-produk pati yang berasal dari serealia mampu mengikat air, namun berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya serta ada tidaknya cabang pada rantai molekulnya (Winarno 2008).

(22)

Bahan Pembantu Sosis

Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Wilson 1981). Bahan pembantu yang biasa digunakan adalah bawang putih, merica, dan garam.

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan meningkatkan cita rasa produk yang dihasilkan. Bawang putih ditambahkan dalam produk untuk memperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas bawang putih berasal dari minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih muncul jika terjadi perusakan jaringan atau pemotongan (Palungkun dan Budiarti 1992).

Merica sering ditambahkan dalam bahan makanan untuk meningkatkan citarasa sekaligus memperpanjang daya awetnya. Kemampuan meningkatkan keawetan ini berhubungan dengan sifatnya yang dapat mencegah oksidasi selama penyimpanan (Hirasa & Takemasa 1998). Merica disukai karena memiliki dua sifat penting yaitu rasa pedas dan aroma khas. Rasa pedas disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta chacivia (Rismunandar 1993).

Penggunaan garam bertujuan untuk menyempurnakan proses pelayuan daging, sehingga timbul aroma khas daging yang digunakan. Garam juga mempengaruhi aktivitas air (aw), juga mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme dengan metode yang bebas dari pengaruh racunnya (Buckle et al. 1987).

Air atau es merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan dalam adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan dalam adonan sosis adalah 20-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al. 1975). Penambahan air dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk; (1) melarutkan garam dan mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi, dan (4) mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilangan dan pembuatan adonan (Kramlich 1978).

(23)

Lemak dan Minyak dalam Sosis

Penambahan lemak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur yang empuk, rasa dan adonan yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak dalam sosis berkisar antara 5-25% (Tanikawa 1985).

Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah air dan protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering, sebaliknya apabila penambahan lemak atau minyak berlebih maka sosis yang dihasilkan akan keriput dan lunak, karena selama pemasakan terjadi kehilangan (cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian lemak terpisah (Wilson 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya. Lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari bobot daging (Wilson 1981).

Lemak yang dapat dimakan (edible) dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Lemak nabati yang dapat digunakan dalam pembuatan sosis seperti minyak jagung, minyak kelapa, minyak sawit merah, dan sebagainya. Perbedaan utama antara lemak nabati dan lemak hewani adalah pada kandungan sterolnya, dimana lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair, sedangkan lemak hewani mengandung kolesterol (Winarno 2008).

Lemak dengan kandungan asam lemak jenuh lebih sukar membentuk emulsi daripada lemak yang mengandung asam lemak dengan satu atau dua ikatan rangkap dengan jumlah atom karbon yang sama. Lemak dengan rantai asam lemak jenuh yang lebih pendek akan lebih mudah membentuk emulsi daripada lemak dengan asam lemak jenuh yang memiliki rantai lebih banyak. Penggunaan minyak nabati dalam pembuatan sosis lebih mudah membentuk emulsi daripada penggunaan lemak hewani (Christian dan Saffle 1967).

Keong Tutut

Keong tutut menurut Suwignyo (1997) memiliki klasifikasi sebagai berikut:

(24)

Genus : Bellamnya

Spesies : Bellamnya javanica van den Bush

Gambar 2 Keong tutut (ukuran dibandingkan tangan)

Keong tutut tersebar dari Sumatra sampai Irian Jaya dan merupakan keong air tawar yang hidup di perairan dangkal yang berdasar lumpur dan ditumbuhi rerumputan air, dengan aliran air yang lamban seperti sawah, rawa-rawa. Pinggir danau dan sungai kecil. Keong tutut juga lebih menyukai perairan yang jernih dan bersih (LBN 1977).

Keong ini mempunyai ciri-ciri antara lain cangkangnya berbentuk piramid dengan puncak yang tinggi dan dasar yang melingkar. Cangkangnya berwarna hijau kecoklatan dan hijau kehitaman. Terdapat epidermis dengan garis-garis melintang. Operkulum memiliki bentuk lebar yang sama dengan apertur (Sari 2002).

(25)

Tabel 6 Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut

Kandungan Gizi Tutut

Energi (Kalori) 64

Protein (g) 11,8

Lemak (g) 5,3

Karbohidrat (g) 3,0

Kalsium (mg) 299,2

Fosfor (mg) 122,5

Besi (mg) 11,7

Air (g) 75,8

Sumber : Risjad (1996)

Risjad (1996) telah melakukan studi mengenai ketersediaan dan pemanfaatan keong tutut sebagai sumber protein hewani dan menyatakan bahwa keong tutut memiliki kelebihan zat gizi dengan kandungan lemak yang rendah. Selain itu tingginya kandungan kalsium dapat memenuhi kebutuhan mineral untuk pembentukan tulang dan gigi. Dalam penelitian lainnya oleh tim PKMP Miftakhurrohmah et al. (2009), telah dilakukan formulasi sosis rendah lemak dan kolesterol berbahan dasar daging keong mas. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sosis keong mas terpilih dengan perbandingan daging keong mas dan daging ayam sebesar 40:60. Sosis ini memiliki kadar lemak yang rendah sebesar 8,56% (b/b).

(26)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan September 2010. Pembuatan RPO dilaksanakan di Labolatorium Technopark, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pembuatan produk sosis dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan dan Percobaan Makanan, Departemen Gizi Masyarakat. Penilaian organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat. sedangkan analisis fisik dan kimia dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk sosis adalah daging keong tutut yang diperoleh dari pedagang di Pasar Anyar Bogor, daging ayam Broiler (bagian dada), tapioka, garam, lada hitam bubuk, bawang putih, bawang merah, bawang bombay, jahe bubuk dan kaldu instan yang diperoleh dari toko Agro, Dramaga. Isolat protein kedelai (Isolate Soy Protein-ISP) dan STPP diperoleh dari Toko Setia Guna, Bogor. Casing yang digunakan adalah casing sintetis dari Pilot Plan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Sedangkan CPO diperoleh dari PT Multimas Nabati Asahan. Bahan kimia yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis antara lain H3PO4, H2SO4, H3BO3, NaOH, HCl, H2O, heksan, dan benzena.

Peralatan yang digunakan pada pembuatan sosis antara lain, pisau, baskom, food processor, cookies pressure (untuk memasukkan adonan ke dalam casing), timbangan digital, termometer digital, kompor dan panci. Sedangkan alat yang digunakan untuk analisis antara lain, spektrofotometer, pH meter,Texture Analyzer, timbangan analitik, Soxhlet, labu Kjeldahl, labu lemak, kertas saring, termometer, gelas kimia, bunsen, desikator, cawan porselen, oven, tanur, labu lemak dan alat bantu analisis.

Tahapan Penelitian Pembuatan Red Palm Oil (RPO)

(27)

Proses degumming dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, air dan resin (Ketaren 2008). Degumming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat 85% ke dalam CPO kemudian dipanaskan hingga suhu 80°C sambil diaduk dengan agitator, dipertahankan hingga 15 menit. Gum dibersihkan dengan aliran air menggunakan corong pemisah.

Netralisasi dilakukan untuk memisahkan asam lemak bebas dari minyak dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun. Proses netralisasi dilakukan dengan menambahkan NaOH 11,1% sesuai jumlah asam lemak bebas kemudian diaduk selama 25 menit pada suhu 59°C. Hasil yang diperoleh diendapkan selama 24 jam kemudian disentrifus.Berdasarkan penelitian Mas‟ud (β007), kecepatan sentrifus yang digunakan adalah 2500 rpm selama 25 menit. Proses sentrifusi dilakukan untuk memisahkan sabun yang terbentuk.Tahapan pembuatan RPO secara lengkap disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan RPO modifikasi Mas‟ud (β007) H3PO4

85%

NaOH 11,1%

CPO

Dipanaskan hingga 80°C hingga 15 menit

Pemisahan gum dengan aliran air

Netralisasi suhu 59°C hingga 25 menit

Diendapkan 24 jam

Sentrifusi kecepatan 3000 rpm selama 20 menit

stearin olein

(28)

Pembuatan Sosis Keong Tutut RPO

Pembuatan sosis keong tutut RPO dilakukan dengan memodifikasi penelitian yang dilakukan sebelumnya dalam Program Kreatifitas Mahasiswa bidang Penelitian mengenai „Formulasi Sosis Keong Mas Rendah Lemak dan Kolesterol sebagai Alternatif Menu Diet Hiperkolesterolemia‟ (Miftakhurrohmah et al. 2009). Pada penelitian ini diperoleh hasil ideal sesuai dengan formulasi terpilih pada uji organoleptik dengan komposisi daging keong dibanding daging ayam sebesar 60:40.

Gambar 4 Diagram alir proses pembuatan sosis Keong tutut

Perendaman air rempah-rempah

Pembersihan

Pengilingan

Pencampuran

Daging ayam 40%

Penggilingan

Pengadonan

Es

Bumbu ISP Tapioka RPO

Pengisian ke dalam casing

Perebusan (Suhu 70°C-80°C Selama 30 menit)

Penirisan (10 menit)

Sosis masak Es

(29)

Penelitian ini menggunakan perbandingan daging keong dan ayam yang sama yaitu 60:40. Modifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah digunakannya daging keong tutut. Penggunaan keong tutut disebabkan, keong ini lebih mudah didapatkan dalam skala besar karena telah diternakkan. Selain itu, keong jenis ini lebih familiar untuk dikonsumsi masyarakat, terutama wilayah Jawa Barat.

Diagram alir proses pembuatan produk dapat dilihat di Gambar 3. Keong tutut dibersihkan kemudian direndam dalam air rempah-rempah yaitu rebusan daun salam, serai, dan jahe yang telah dididihkan, selama ±15 menit untuk memudahkan pelepasan cangkang. Daging dikeluarkan dari cangkang, dibersihkan dengan air cuka dan air jeruk nipis untuk mengurangi bau amis. Setelah itu daging tutut digiling sampai halus kemudian daging ayam dimasukkan. Proses penggilingan daging selalu dilakukan bersama dengan es. Proses selanjutnya adalah penambahan bumbu, ISP, tapioka, dan RPO. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam casing dan diikat kuat. Perebusan dilakukan selama 30 menit pada suhu 70°C-80°C. Setelah 30 menit, sosis ditiriskan dan disiram dengan air dingin untuk memudahkan pengelupasan sosis dari casing.

Menurut Tanikawa (1985), jumlah penambahan minyak atau lemak untuk pembuatan sosis berkisar antara 5-25%. Lemak/minyak berperan besar terhadap palatabilitas sosis. Kekerasan cincangan daging dipengaruhi oleh kandungan lemak yang terdapat didalamnya. Penambahan minyak/lemak dalam produk sosis masih diperlukan karena lemak pada daging kurang dapat membentuk produk sosis dengan palatabilitas yang baik, sehingga untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis diperlukan penambahan minyak atau lemak, dalam hal ini minyak nabati lebih sering digunakan. RPO dalam penelitian ini, merupakan pengganti minyak/lemak yang biasa ditambahkan pada pembuatan sosis. Tujuan penambahan adalah membuat tekstur sosis tetap baik selain itu untuk meningkatkan nilai gizi provitamin A dari karoten yang terkandung dalam RPO.

(30)
[image:30.595.109.511.169.398.2]

penambahan RPO sebanyak 15%. Pada F20 ditambahkan RPO sebanyak 20% dan untuk F25 penambahan RPO sebanyak 25% sebagai batas atas penambahan. Adapun formulasi masing-masing taraf dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 7 Formulasi sosis (g)

Bahan Formulasi

FC F5 F10 F15 F20 F25

Daging Tutut 77,5 77,5 77,5 77,5 77,5 77,5

Daging ayam 51,7 51,7 51,7 51,7 51,7 51,7

ISP 14,0 14,0 14,0 14,0 14,0 14,0

Tepung Tapioka 36,0 36,0 36,0 36,0 36,0 36,0

RPO 0 6,5 12,9 19,4 25,8 32,3

Minyak sawit 19,4 0 0 0 0 0

Garam 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0

STPP 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6

Lada hitam 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0

Bawang putih 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0 6,0

Bawang merah 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0

Bawang bombay 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0 10,0

Gula 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8

Kaldu instan 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0

Jahe bubuk 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4

Air es 42,0 42,0 42,0 42,0 42,0 42,0

Total Adonan 274,4 261,5 267,9 274,4 280,8 287,3

Sosis keong tutut RPO yang disajikan dalam uji organoleptik digoreng terlebih dahulu. Proses penggorengan dilakukan selama 60 detik dengan minyak bersuhu ±180°C. Proses ini dilakukan pada semua formula agar dihasilkan sosis dengan kematangan yang sama.

Uji Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan terdiri dari uji hedonik (kesukaan) dan mutu hedonik. Jumlah panelis yang digunakan adalah 30 orang yang merupakan mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk dan dari tingkat kesukaan tersebut diperoleh formulasi terpilih. Sedangkan uji mutu hedonik dilakukan untuk mengevaluasi penilaian panelis terhadap mutu produk sosis.

(31)

Analisis Karakteristik Fisik dan Kimia 1. Analisis Fisik

a. Nilai pH (Apriyantono et al. 1989)

Sebanyak ±10 gram adonan sosis dan 90 ml akuades dihomogenkan. Selanjutnya dengan menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi, pH adonan sosis diukur. Elektroda dimasukkan ke dalam suspensi adonan sosis dengan akuades hingga pH adonan terbaca.

b. Uji Kekerasan dan Kekenyalan

Kekerasan dan kekenyalan diukur dengan alat Texture Analyzer. Sampel diletakkan tepat di bagian tengah alat dan posisi probe di atas sampel. Probe kemudian dijalankan sampai menyentuh dan masuk ke dalam sampel sehingga hasil pengukuran (peak) muncul pada grafik.

Nilai kekerasan adalah hasil rata-rata pengukuran peak yang muncul pada grafik, menunjukkan gaya yang dibutuhkan untuk menekan sosis. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gf (gramforce). Sedangkan kekenyalan merupakan hasil pembagian area di bawah grafik pada penekanan pertama dan penekanan kedua. Nilai kekenyalan terbesar adalah satu.

2. Analisis Kimia

a. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sejumlah sampel yang telah dihancurkan dengan mortar (kurang lebih 3 g) dimasukan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dimasukan ke dalam oven bersuhu 100°C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan :

a = berat sampel awal (g) b = berat cawan (g)

(32)

b. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 gram sampel yang telah dihancurkan dengan mortar ditimbang dan dimasukan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Pengabuan dilakukan di dalam tanur listrik bersuhu 400-600°C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel selanjutnya didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Keterangan:

a = berat sampel awal (g) b = berat cawan (g)

c = berat cawan dan sampel akhir (g)

c. Kadar Protein Metode Mikro-Kjeldhal (AOAC 1995)

Sejumlah kecil sampel yang telah dihancurkan yaitu sekitar 0,1 gram ditimbang dan diletakan dalam labu Kjeldhal 30 ml. Selanjutnya ditambahkan selenium mix dan H2SO4. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih.

(33)

d. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110°C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel yang telah dikeringkan di oven ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksan).

Reflusk dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada di di dalam labu lemak didestalasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100°C hingga beratnya kostan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Keterangan:

a = berat sampel awal (g) b = berat labu kosong (g)

c = berat labu dan sampel akhir (g) e. Analisis karoten (AOAC 1995)

(34)

f. Perhitungan Konversi Karoten Menjadi Vitamin A

Total karoten produk yang diperoleh dari uji spektrofotometri dikonversi menjadi -karoten dengan cara mengalikan hasil dengan 56,02% (Basiron 2005). Aktivitas vitamin A dalam RE diperoleh dengan membagi hasil menggunakan angka 6 (Eitenmiller 2008), sedangkan untuk RAE dengan membagi hasil menggunakan angka 12 (IOM 2004).

Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor. Masing-masing percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan (duplo). Perlakuan yang diberikan adalah penambahan RPO. Model yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Ai + Cij Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan penambahan RPO ke-i ulangan ke j

µ = nilai tengah umum

Ai = pengaruh penambahan RPO taraf ke-i

Cij = pengaruh acak pada perlakuan penambahan RPO ke-i ulangan ke-j

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Sosis Keong Tutut RPO

Proses pembuatan sosis keong tutut RPO diawali dengan pembersihan keong untuk mendapatkan daging bersih. Pertama-tama keong tutut dibersihkan dengan air mengalir secara berulang sampai permukaan luar bersih. Tahapan selanjutnya keong tutut diguyur dengan air rempah-rempah (jahe ukuran sedang dua buah, serai satu ikat, dan daun salam secukupnya) yang telah mendidih (100ºC), dan dibiarkan terendam selama ±15 menit. Penggunaan rempah-rempah dimaksudkan untuk mengurangi bau amis dari keong tutut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hirasa & Takemasa (1998), dimana rempah-rempah memiliki kemampuan untuk „deodorizing/masking‟ terhadap bau bahan dasar. Penggunaan rempah-rempah yaitu jahe, serai dan daun jeruk nipis akan menutup bau amis bahan dengan mengubah komponen volatil yang berbau amis menjadi nonvolatil.

Proses perendaman dengan air panas ini dilakukan untuk mempermudah pelepasan cangkang seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam pengolahan keong tutut secara tradisional. Proses ini juga bertujuan untuk mematikan bakteri patogen sesuai dengan pernyataan Varnam & Sutherland (1995), bahwa perlakuan dengan panas cukup untuk membunuh bakteri patogen vegetatif. Panas yang cukup juga dibutuhkan untuk membunuh parasit pada tubuh keong. Hal ini adalah cara paling efektif untuk mengurangi resiko infeksi parasit. Joshi (2009) memberikan peringatan untuk tidak memakan langsung daging keong mentah atau daging keong yang masih kurang matang karena keberadaan parasit trematoda. Perendaman dengan air panas pada tahap awal penanganan keong tutut diperlukan karena jika daging tutut sudah dalam casing sosis, tidak bisa dilakukan perlakuan panas yang cukup untuk membunuh bakteri patogen maupun parasit karena casing dan sistem emulsi akan rusak.

(36)

merupakan bagian yang biasa dikonsumsi. Resiko pada kesehatan tidak akan signifikan jika bagian toksid ini dihilangkan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

Daging dilumuri dengan air jeruk nipis dan cuka kemudian dibersihkan kembali di bawah air mengalir. Penggunaan cuka dan air jeruk nipis dimaksudkan untuk mengurangi bau amis. Daging tutut kemudian disimpan dalam freezer, penyimpanan ini bertujuan untuk menurunkan suhu daging sebelum digiling. Daging tutut dan daging ayam digiling bersama garam dan serpihan es sampai halus. Penambahan garam pada proses penggilingan dilakukan untuk melarutkan protein miofibril yaitu protein yang larut dengan garam (salt soluble protein). Ekstrak protein larut garam ini yang akan menyelimuti lemak selama pembentukan emulsi. Garam juga berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri serta berkontribusi memberi karakter rasa dasar (Pearson & Tauber 1984). Proses penggilingan daging selalu dilakukan bersama dengan serpihan es untuk menjaga suhu penggilingan tetap rendah, memudahkan ekstraksi protein serabut otot dan membantu pembentukan emulsi (Kramlich 1978).

Penambahan bumbu, ISP, tapioka, dan RPO yang dilakukan bersama dengan air es. Bumbu adalah substansi aromatik turunan tumbuhan atau herbal. Bumbu memberi kontribusi besar terhadap flavor sosis, juga merupakan antibakteri dan antioksidan (Pearson & Tauber 1984). Bumbu yang digunakan dalam adonan sosis ini adalah lada hitam, bawang merah goreng, bawang putih goreng, bawang bombay goreng, gula, kaldu instan dan jahe bubuk. Lada hitam dipilih karena memiliki rasa yang lebih kuat. Bawang-bawangan digoreng terlebih dahulu agar aroma yang dimiliki muncul lebih kuat. Gula digunakan untuk melengkapi flavor dan menutup rasa asin garam (Pearson & Tauber 1984). Kaldu instan mengandung monosodium glutamate (MSG) digunakan untuk mempertahankan flavor daging (Pearson & Tauber 1984). Sedangkan jahe digunakan untuk melengkapi flavor dan mengurangi bau amis.

(37)

pengikat. Keeton (2001) menyatakan, pati dapat memberikan stabilitas dan tekstur yang keras.

Penambahan RPO dilakukan untuk mendapatkan tekstur sosis yang baik. Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh tekstur yang kompak. Menurut Prince & Bernard (1987), penambahan minyak pada sosis berpengaruh positif terhadap kelembutan dan kekerasan.

Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam casing dan diikat kuat. Casing adalah wadah yang cukup fleksibel memberi bentuk pada sosis dan kuat terhadap proses pemanasan (Keeton 2001). Casing yang digunakan adalah casing sintetis karena memiliki sifat lebih kuat, tidak mudah sobek. Varnam & Sutherland (1995) menyatakan bahwa casing buatan memberikan beberapa keuntungan karena tidak memerlukan penanganan khusus sebelum digunakan, lebih kuat dan memiliki diameter yang konsisten. Sosis yang dibungkus dengan casing buatan juga memiliki bentuk lurus tidak bengkok.

Perebusan sosis dilakukan selama 30 menit pada suhu 70-80°C. Waktu perebusan tidak terlalu lama, suhu pemanasan diatur tidak terlalu tinggi. Menurut Keeton (2001), pemanasan yang terlalu panas dan dalam waktu yang lama dapat menurunkan stabilitas emulsi. Pada proses pemanasan terjadi beberapa tahap perubahan struktur. Suhu 68,3-73,9ºC adalah tahap dimana terjadi denaturasi protein. Protein miofibril menyebabkan terbentuknya gel daging yang mengikat lemak dan air dalam suatu matriks. Koagulasi terjadi pada suhu 57,2-60ºC, proses akan terus berlanjut sampai suhu 90ºC (Keeton 2001). Setelah 30 menit, sosis ditiriskan dan disiram dengan air dingin. Proses ini dilakukan untuk memudahkan pengelupasan sosis dari casing, selain itu agar sosis bisa lebih cepat dimasukikan ke dalam kulkas. Menurut Varnam & Sutherland (1995), perlakuan seperti ini dapat mengurangi resiko kontaminan dan pertumbuhan bakteri patogen.

Karakteristik Organoleptik Sosis Keong Tutut RPO

(38)
[image:38.595.119.496.210.530.2]

membentuk produk sosis dengan palatabilitas yang baik, sehingga untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis diperlukan penambahan minyak atau lemak, dalam hal ini minyak nabati lebih sering digunakan. Terdapat enam formulasi yaitu FC (0% RPO;15% minyak komersil), F5 (5% RPO), F10 (10% RPO), F15 (15% RPO), F20 (20% RPO), dan F25 (25% RPO). Penampakan produk sosis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Penampakan sosis setelah penggorengan

Uji organoleptik yang dilakukan terdiri dari uji mutu hedonik dan hedonik (kesukaan). Aspek yang dilihat meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Skala penilaian yang digunakan berkisar dari 1 sampai dengan 9. Pada penilaian mutu hedonik, mutu warna skala 1=amat sangat tidak kuning sampai 9=amat sangat kuning. Untuk mutu aroma digunakan skala 1=amat sangat amis sampai 9=amat sangat tidak amis. Pada mutu rasa digunakan skala 1=amat sangat tidak gurih sampai 9=amat sangat gurih. Untuk mutu tekstur, skala 1=amat sangat empuk sampai 9=amat sangat keras. Secara keseluruhan, skala 1=amat sangat tidak enak sedangkan skala 9=amat sangat enak. Pada uji hedonik (kesukaan), skala penilaian yang digunakan berkisar antara 1 sampai dengan 9, angka 1=amat sangat tidak suka, sedangkan 9=amat sangat suka.

F25 F20

F15

(39)
[image:39.595.109.501.107.399.2]

Gambar 6 memperlihatkan spider web hasil uji mutu hedonik produk sosis.

Gambar 6 Diagram nilai mutu hedonik sosis

Keterangan : Warna 1=amat sangat tidak kuning, 9=amat sangat kuning; aroma 1=amat sangat amis, 9=amat sangat tidak amis; rasa 1=amat sangat tidak gurih, 9=amat sangat gurih; tekstur 1=amat sangat empuk, 9=amat sangat keras; keseluruhan 1=amat sangat

tidak, 9=amat sangat enak.

Warna

Warna sangat penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Bersama-sama dengan aroma, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Secara visual, faktor warna tampil lebih dulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum mempertimbangkan faktor lain (Winarno 2008).

(40)

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penilaian mutu warna sosis. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa penilaian mutu warna terhadap sosis kontrol tanpa penambahan RPO berbeda nyata terhadap semua formula. F15 sebagai formula terpilih berbeda nyata terhadap FC, F5, F10 dan F25 tetapi tidak berbeda nyata terhadap F20. Data uji statistik mutu warna secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Semakin banyak RPO yang ditambahkan seharusnya sosis menjadi lebih berwarna oranye/merah. Namun terjadi penurunan persepsi panelis terhadap warna kuning sosis dimana pada penambahan 20% dan 25%. Diduga semakin banyak persentase RPO yang ditambahkan, semakin kuning warna sosis, tetapi selama proses penggorengan warna kuning memudar dan warna coklat akibat penggorengan lebih kuat tampak. Hal ini menyebabkan penilaian panelis terhadap warna menjadi bias. .

Menurut Wilson (1981), stabilitas warna sosis dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis pengemasan, eksposur cahaya, keberadaan bahan tambahan, kualitas casing dan keberadaan bakteri. RPO yang ditambahkan pada produk merupakan bahan tambahan yang memberikan warna oranye atau kuning pada sosis. Warna oranye atau kuning ini disebabkan karena pigmen karoten yang larut dalam minyak (Ketaren 2008). Warna yang cenderung gelap pada sosis bisa juga disebabkan karena penggunaan bumbu-bumbu yang secara alami berwarna gelap (Wilson 1981). Dalam produk ini digunakan bawang goreng serta lada hitam sehingga warna produk sosis bisa dipengaruhi juga oleh hal-hal tersebut.

Kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk berkisar antara 2,7 hingga 5,6. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,6 (biasa menuju agak suka). Berdasarkan persen panelis yang menyukai, F15 mendapat penerimaan terhadap warna paling besar dengan persentase 73,3% sedangkan penerimaan paling rendah pada sosis kontrol tanpa penambahan RPO dengan persentase 8,3%.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan aspek warna. Berdasarkan uji lanjut Duncan, nilai kesukaan terhadap F15 berbeda nyata terhadap semua formula, begitu juga dengan FC. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

(41)
[image:41.595.116.511.179.408.2]

cenderung semakin disukai. Jika dilihat dari mutu warna dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan mutu warna „kuning‟ sampai „sedikit lebih kuning‟. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap warna produk dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap warna Aroma

Aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik. Aroma ikut menentukan penerimaan pada produk pangan. Industri pangan menganggap sangat penting dilakukan uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produknya disukai atau tidak disukai (Winarno 2008).

Mutu aroma. Mutu aroma sosis berkisar antara 4,5 hingga 5,1. Pada sosis FC, F5, F20 dan F25 berturut-turut memiliki nilai mutu aroma sebesar 4,5; 4,9; 4,8 dan 4,7 artinya keempat sosis ini berada pada kisaran aroma „sedikit lebih amis‟ sampai „amis‟. Pada F10 dan F15 berturut-turut memiliki nilai mutu hedonik aroma 5,0 sampai 5,1 artinya kedua formula ini berada pada kisaran „amis‟ sampai „agak amis‟. Penambahan RPO tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik aroma.

Hedonik. Nilai kesukaan aroma pada produk berkisar antara 4,4 hingga 5,2. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,2 (biasa menuju agak suka). Berdasarkan persen penerimaan terhadap aroma, F15 memiliki

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol

F5 = sosis RPO 5%

F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25%

FCa F5b F10cd F15d F20cd F25bc

(42)

persentase penerimaan yang paling tinggi yaitu 61,7%, sedangkan penerimaan terendah adalah formula kontrol dan F5 masing-masing 36,7%.

[image:42.595.111.513.233.426.2]

Berdasarkan uji korelasi, tidak ditemukan hubungan antara mutu aroma dengan nilai kesukaan terhadap aroma. Jika dilihat dari mutu aroma dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu aroma „amis‟ sampai „sedikit lebih tidak amis‟. Tabel persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap aroma produk dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap aroma

Secara alami minyak kelapa sawit memiliki aroma khas yang ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionon (Ketaren 2008). Berdasarkan uji Anova, tidak ditemukan perbedaan yang nyata (p>0,05) pada penilaian penerimaan aspek aroma produk sosis dengan penambahan RPO 5% sampai dengan 25%, bahkan tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada nilai penerimaan aroma produk sosis terhadap kontrol yang menggunakan minyak sawit komersil. Ini berarti penambahan RPO sampai batas maksimal tidak memberikan pengaruh terhadap penerimaan aroma sosis. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Rasa

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Konsumen dapat lebih menghargai dan bersedia membayar tinggi pada makanan yang enak atau yang mereka sukai. Indera pencicip dapat membedakan empat macam rasa utama, yaitu asin, asam, manis dan pahit. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol

F5 = sosis RPO 5%

F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25%

(43)

kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008).

Mutu rasa. Mutu rasa sosis berkisar antara 4,8 hingga 5,7. Pada sosis F20 dan F25, panelis memberikan nilai 5,0 dan 4,8 artinya kedua formula ini berada pada rentang „agak gurih‟ sampai „gurih‟. Sedangkan pada FC dan F5 berturut-turut memiliki nilai mutu rasa sebesar 5,2 dan 5,1. Sedangkan untuk F10 dan F15 memiliki nilai mutu rasa yang sama yaitu 5,7 artinya keempat formula ini berada pada rentang „gurih‟ sampai „sedikit lebih gurih‟.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu rasa. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F10 dan F15 tidak berbeda nyata terhadap FC dan F5 tetapi berbeda nyata terhadap F20 dan F25. Data hasil uji statistik lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 3.

[image:43.595.98.509.469.711.2]

Hedonik. Nilai kesukaan aspek rasa pada produk berkisar antara 4,9 hingga 6,0. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 yaitu sosis keong tutut dengan penambahan RPO 15% sebesar 6,0 (agak suka). Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis memiliki salah satu tujuan memperoleh rasa dan adonan yang lebih baik. Berdasarkan persen penerimaan, F15 menjadi formula dengan persentase penerimaan paling tinggi yaitu 90,0%. Sedangkan F25 merupakan formulasi dengan penerimaan terendah yaitu 13,3%. Nilai kesukaan panelis terhadap rasa produk secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 9 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap rasa

Berdasarkan uji korelasi, tidak ditemukan hubungan antara mutu rasa

FCa F5a F10a F15b F20a F25a

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol

F5 = sosis RPO 5%

F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25%

(44)

dengan nilai kesukaan terhadap rasa. Jika dilihat dari mutu rasa dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu rasa „gurih‟ sampai „sedikit lebih gurih‟. Persentase penerimaan sosis secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penambahan sejumlah RPO memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan rasa. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa formulasi yang paling berbeda nyata terhadap formulasi lainnya adalah F15. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3. Tekstur

Tekstur adalah halus tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Aspek yang dinilai pada kriteria tekstur adalah kasar serta halusnya, dan kompak tidaknya sosis yang dihasilkan. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika (metode instrumen) atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Kemampuan protein untuk menyerap dan menahan air mempunyai peran penting dalam pembentukan tekstur dari suatu makanan (Rompis 1998).

Mutu tekstur. Mutu tekstur sosis berkisar antara 3,4 sampai 4,7. Sosis FC, F5, F10, F15 dan F25 berturut-turut memiliki nilai mutu tekstur 4,3; 4,7; 4,6; 4,8 dan 4,0. Nilai ini berarti kelima formula berada pada rentang mutu tekstur „agak empuk‟ sampai „cukup empuk‟. Fβ5 memiliki nilai mutu tekstur γ,4 artinya sosis Fβ5 berada pada rentang nilai „empuk‟ sampai „agak empuk‟.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu tekstur. Menurut uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F25 berbeda nyata terhadap semua produk. F15 sebagai formulasi terpilih berbeda nyata terhadap F20 dan F25 tetapi tidak berbeda nyata terhadap FC, F5 dan F10. Hasil uji statistik secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.

(45)
[image:45.595.113.510.213.452.2]

Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh tekstur yang kompak. Pada persen penerimaan, F15 merupakan formula dengan penerimaan paling tinggi sebesar 61,7% sedangkan formulasi dengan penerimaan terendah sebesar 13,3% yaitu F25. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap tekstur produk dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 10 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap tekstur

Penambahan sejumlah RPO memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan tekstur. Menurut uji lanjut Duncan, F25 memiliki nilai yang berbeda nyata terhadap formulasi lain dan F15 berbeda nyata terhadap FC, F20 serta F25. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Terdapat korelasi positif (r=0,140) antara mutu tekstur dengan nilai kesukaan terhadap tekstur namun sangat rendah. Artinya semakin cukup empuk (nilai mutu 5) tekstur sosis cenderung semakin disukai. Aspek tekstur sosis juga dievaluasi dengan uji mekanika (metode instrumen menggunakan Texture Analyzer). Berdasarkan uji mekanika serta uji mutu hedonik dan kesukaan dapat disimpulkan bahwa sosis yang paling disukai adalah formula dengan mutu tekstur „sedikit lebih empuk‟ sampai „cukup empuk‟ dan memiliki nilai kekerasan rata-rata 1233,50 gf dan kekenyalan 0,6615.

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol

F5 = sosis RPO 5%

F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25%

FCbc F5cd F10bcd F15d F20b F25a

(46)

Keseluruhan

Mutu keseluruhan. Mutu keseluruhan produk berkisar antara 4,6 sampai 5,5. Formulasi sosis FC, F20 dan F25 berturut-turut memiliki mutu keseluruhan 5,0; 4,9 dan 4,6 artinya ketiga formula ini berada pada rentang „agak enak‟ sampai „enak‟. Sedangkan formulasi sosis F5, F10 dan F15 berturut-turut memiliki mutu keseluruhan rata-rata 5,2; 5,3 dan 5,5 artinya ketiga formula ini berada pada rentang „enak‟ sampai „sedikit lebih enak‟. Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu keseluruhan.

[image:46.595.100.510.373.622.2]

Nilai kesukaan secara keseluruhan pada produk berkisar antara 4,6 hingga 5,6 berarti secara keseluruhan, produk dikatakan cenderung „agak sedikit disukai‟sampai „agak disukai‟. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,6 (agak disukai). Penerimaan tertinggi terdapat pada F15 sebesar 61,7% sedangkan penerimaan terendah pada F25 sebesar 13,3%. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. sedangkan nilai kesukaan panelis secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 11 Histogram nilai rataan kesukaan secara keseluruhan Penambahan RPO pada sosis secara keseluruhan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan secara keseluruhan produk sosis. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F15 berbeda nyata terhadap semua formula. Jika dilihat dari mutu keseluruhan dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu keseluruhan „enak‟ sampai „sedikit lebihenak‟.Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol

F5 = sosis RPO 5%

F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25% FCab F5b F10b F15c F20ab F25a

(47)

Karakteristik Fisik Sosis Keong Tutut RPO

[image:47.595.101.519.211.299.2]

Analisis sifat fisik yang dilakukan meliputi nilai pH adonan, kekerasan dan kekenyalan produk sosis. Analisis dilakuk

Gambar

Tabel 1 Prevalensi KVA pada anak dibawah lima tahun
Gambar 2 Keong tutut (ukuran dibandingkan tangan)
Tabel 6 Kandungan gizi dari 100 g BDD daging keong tutut
Gambar 3 Diagram alir pembuatan RPO modifikasi Mas‟ud (β007)
+7

Referensi

Dokumen terkait