• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses pembuatan sosis keong tutut RPO diawali dengan pembersihan keong untuk mendapatkan daging bersih. Pertama-tama keong tutut dibersihkan dengan air mengalir secara berulang sampai permukaan luar bersih. Tahapan selanjutnya keong tutut diguyur dengan air rempah-rempah (jahe ukuran sedang dua buah, serai satu ikat, dan daun salam secukupnya) yang telah mendidih (100ºC), dan dibiarkan terendam selama ±15 menit. Penggunaan rempah-rempah dimaksudkan untuk mengurangi bau amis dari keong tutut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hirasa & Takemasa (1998), dimana rempah-rempah memiliki kemampuan untuk „deodorizing/masking‟ terhadap bau bahan dasar. Penggunaan rempah-rempah yaitu jahe, serai dan daun jeruk nipis akan menutup bau amis bahan dengan mengubah komponen volatil yang berbau amis menjadi nonvolatil.

Proses perendaman dengan air panas ini dilakukan untuk mempermudah pelepasan cangkang seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam pengolahan keong tutut secara tradisional. Proses ini juga bertujuan untuk mematikan bakteri patogen sesuai dengan pernyataan Varnam & Sutherland (1995), bahwa perlakuan dengan panas cukup untuk membunuh bakteri patogen vegetatif. Panas yang cukup juga dibutuhkan untuk membunuh parasit pada tubuh keong. Hal ini adalah cara paling efektif untuk mengurangi resiko infeksi parasit. Joshi (2009) memberikan peringatan untuk tidak memakan langsung daging keong mentah atau daging keong yang masih kurang matang karena keberadaan parasit trematoda. Perendaman dengan air panas pada tahap awal penanganan keong tutut diperlukan karena jika daging tutut sudah dalam casing sosis, tidak bisa dilakukan perlakuan panas yang cukup untuk membunuh bakteri patogen maupun parasit karena casing dan sistem emulsi akan rusak.

Keong tutut dikeluarkan dari cangkang setelah proses perendaman air panas dengan cara dicungkil menggunakan tusuk gigi. Bagian tubuh yang digunakan adalah bagian kaki. Bagian tengah yaitu organ dalam dan usus yang berisi kotoran dihilangkan karena menyebabkan rasa menjadi pahit. Selain itu, Chen et al. (2004) menyatakan bahwa mayoritas akumulasi mikrosistein yang merupakan zat toksik pada tubuh keong terdapat di hepatopankreas, saluran pencernaan dan gonad. Akumulasi terendah terdapat pada bagian kaki yang

merupakan bagian yang biasa dikonsumsi. Resiko pada kesehatan tidak akan signifikan jika bagian toksid ini dihilangkan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

Daging dilumuri dengan air jeruk nipis dan cuka kemudian dibersihkan kembali di bawah air mengalir. Penggunaan cuka dan air jeruk nipis dimaksudkan untuk mengurangi bau amis. Daging tutut kemudian disimpan dalam freezer, penyimpanan ini bertujuan untuk menurunkan suhu daging sebelum digiling. Daging tutut dan daging ayam digiling bersama garam dan serpihan es sampai halus. Penambahan garam pada proses penggilingan dilakukan untuk melarutkan protein miofibril yaitu protein yang larut dengan garam (salt soluble protein). Ekstrak protein larut garam ini yang akan menyelimuti lemak selama pembentukan emulsi. Garam juga berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri serta berkontribusi memberi karakter rasa dasar (Pearson & Tauber 1984). Proses penggilingan daging selalu dilakukan bersama dengan serpihan es untuk menjaga suhu penggilingan tetap rendah, memudahkan ekstraksi protein serabut otot dan membantu pembentukan emulsi (Kramlich 1978).

Penambahan bumbu, ISP, tapioka, dan RPO yang dilakukan bersama dengan air es. Bumbu adalah substansi aromatik turunan tumbuhan atau herbal. Bumbu memberi kontribusi besar terhadap flavor sosis, juga merupakan antibakteri dan antioksidan (Pearson & Tauber 1984). Bumbu yang digunakan dalam adonan sosis ini adalah lada hitam, bawang merah goreng, bawang putih goreng, bawang bombay goreng, gula, kaldu instan dan jahe bubuk. Lada hitam dipilih karena memiliki rasa yang lebih kuat. Bawang-bawangan digoreng terlebih dahulu agar aroma yang dimiliki muncul lebih kuat. Gula digunakan untuk melengkapi flavor dan menutup rasa asin garam (Pearson & Tauber 1984). Kaldu instan mengandung monosodium glutamate (MSG) digunakan untuk mempertahankan flavor daging (Pearson & Tauber 1984). Sedangkan jahe digunakan untuk melengkapi flavor dan mengurangi bau amis.

Isolat protein kedelai (ISP) digunakan sebagai ekstender untuk memperluas permukaan sosis dan mengurangi cooking loss pada sosis dengan jumlah daging yang sedikit. ISP juga memberikan perlindungan terhadap oksidasi lemak (Varnam & Sutherland 1995). ISP juga ditambahkan untuk membentuk tekstur sosis yang baik sesuai Keeton (2001) yang menyebutkan bahwa ISP dapat mempertahankan bentuk dan penampakan seperti daging. Pembentukan tekstur yang kompak juga dibantu dengan penambahan tapioka sebagai bahan

pengikat. Keeton (2001) menyatakan, pati dapat memberikan stabilitas dan tekstur yang keras.

Penambahan RPO dilakukan untuk mendapatkan tekstur sosis yang baik. Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh tekstur yang kompak. Menurut Prince & Bernard (1987), penambahan minyak pada sosis berpengaruh positif terhadap kelembutan dan kekerasan.

Adonan yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam casing dan diikat kuat. Casing adalah wadah yang cukup fleksibel memberi bentuk pada sosis dan kuat terhadap proses pemanasan (Keeton 2001). Casing yang digunakan adalah casing sintetis karena memiliki sifat lebih kuat, tidak mudah sobek. Varnam & Sutherland (1995) menyatakan bahwa casing buatan memberikan beberapa keuntungan karena tidak memerlukan penanganan khusus sebelum digunakan, lebih kuat dan memiliki diameter yang konsisten. Sosis yang dibungkus dengan casing buatan juga memiliki bentuk lurus tidak bengkok.

Perebusan sosis dilakukan selama 30 menit pada suhu 70-80°C. Waktu perebusan tidak terlalu lama, suhu pemanasan diatur tidak terlalu tinggi. Menurut Keeton (2001), pemanasan yang terlalu panas dan dalam waktu yang lama dapat menurunkan stabilitas emulsi. Pada proses pemanasan terjadi beberapa tahap perubahan struktur. Suhu 68,3-73,9ºC adalah tahap dimana terjadi denaturasi protein. Protein miofibril menyebabkan terbentuknya gel daging yang mengikat lemak dan air dalam suatu matriks. Koagulasi terjadi pada suhu 57,2-60ºC, proses akan terus berlanjut sampai suhu 90ºC (Keeton 2001). Setelah 30 menit, sosis ditiriskan dan disiram dengan air dingin. Proses ini dilakukan untuk memudahkan pengelupasan sosis dari casing, selain itu agar sosis bisa lebih cepat dimasukikan ke dalam kulkas. Menurut Varnam & Sutherland (1995), perlakuan seperti ini dapat mengurangi resiko kontaminan dan pertumbuhan bakteri patogen.

Karakteristik Organoleptik Sosis Keong Tutut RPO

Enam formulasi sosis dikembangkan berdasarkan taraf penambahan RPO. Pembatasan penambahan RPO dilakukan berdasarkan pernyataan Tanikawa (1985) dimana jumlah penambahan minyak atau lemak untuk pembuatan sosis berkisar antara 5-25%. Penambahan minyak/lemak dalam produk sosis masih diperlukan karena lemak pada daging kurang dapat

membentuk produk sosis dengan palatabilitas yang baik, sehingga untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis diperlukan penambahan minyak atau lemak, dalam hal ini minyak nabati lebih sering digunakan. Terdapat enam formulasi yaitu FC (0% RPO;15% minyak komersil), F5 (5% RPO), F10 (10% RPO), F15 (15% RPO), F20 (20% RPO), dan F25 (25% RPO). Penampakan produk sosis dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Penampakan sosis setelah penggorengan

Uji organoleptik yang dilakukan terdiri dari uji mutu hedonik dan hedonik (kesukaan). Aspek yang dilihat meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Skala penilaian yang digunakan berkisar dari 1 sampai dengan 9. Pada penilaian mutu hedonik, mutu warna skala 1=amat sangat tidak kuning sampai 9=amat sangat kuning. Untuk mutu aroma digunakan skala 1=amat sangat amis sampai 9=amat sangat tidak amis. Pada mutu rasa digunakan skala 1=amat sangat tidak gurih sampai 9=amat sangat gurih. Untuk mutu tekstur, skala 1=amat sangat empuk sampai 9=amat sangat keras. Secara keseluruhan, skala 1=amat sangat tidak enak sedangkan skala 9=amat sangat enak. Pada uji hedonik (kesukaan), skala penilaian yang digunakan berkisar antara 1 sampai dengan 9, angka 1=amat sangat tidak suka, sedangkan 9=amat sangat suka.

F25 F20

F15

Gambar 6 memperlihatkan spider web hasil uji mutu hedonik produk sosis.

Gambar 6 Diagram nilai mutu hedonik sosis

Keterangan : Warna 1=amat sangat tidak kuning, 9=amat sangat kuning; aroma 1=amat sangat amis, 9=amat sangat tidak amis; rasa 1=amat sangat tidak gurih, 9=amat sangat gurih; tekstur 1=amat sangat empuk, 9=amat sangat keras; keseluruhan 1=amat sangat

tidak, 9=amat sangat enak. Warna

Warna sangat penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diproses maupun makanan yang diproses. Bersama-sama dengan aroma, rasa dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Secara visual, faktor warna tampil lebih dulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum mempertimbangkan faktor lain (Winarno 2008).

Mutu warna. Mutu warna produk sosis berkisar antara 2,9 hingga 5,6. Sosis kontrol memiliki nilai mutu warna 2,9, artinya sosis kontrol berada pada rentang mutu warna „sangat tidak kuning‟ sampai „agak sedikit kuning‟. Pada formulasi F5, F10 dan F25 berturut-turut memiliki nilai mutu warna 4,5; 4,9 dan 4,8 artinya ketiga formula ini berada pada rentang mutu warna „agak kuning‟ sampai „kuning‟. F15 memiliki nilai mutu warna 5,6 artinya formula ini berada pada rentang mutu warna „kuning‟ sampai „sedikit lebih kuning‟.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penilaian mutu warna sosis. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa penilaian mutu warna terhadap sosis kontrol tanpa penambahan RPO berbeda nyata terhadap semua formula. F15 sebagai formula terpilih berbeda nyata terhadap FC, F5, F10 dan F25 tetapi tidak berbeda nyata terhadap F20. Data uji statistik mutu warna secara lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Semakin banyak RPO yang ditambahkan seharusnya sosis menjadi lebih berwarna oranye/merah. Namun terjadi penurunan persepsi panelis terhadap warna kuning sosis dimana pada penambahan 20% dan 25%. Diduga semakin banyak persentase RPO yang ditambahkan, semakin kuning warna sosis, tetapi selama proses penggorengan warna kuning memudar dan warna coklat akibat penggorengan lebih kuat tampak. Hal ini menyebabkan penilaian panelis terhadap warna menjadi bias. .

Menurut Wilson (1981), stabilitas warna sosis dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis pengemasan, eksposur cahaya, keberadaan bahan tambahan, kualitas casing dan keberadaan bakteri. RPO yang ditambahkan pada produk merupakan bahan tambahan yang memberikan warna oranye atau kuning pada sosis. Warna oranye atau kuning ini disebabkan karena pigmen karoten yang larut dalam minyak (Ketaren 2008). Warna yang cenderung gelap pada sosis bisa juga disebabkan karena penggunaan bumbu-bumbu yang secara alami berwarna gelap (Wilson 1981). Dalam produk ini digunakan bawang goreng serta lada hitam sehingga warna produk sosis bisa dipengaruhi juga oleh hal-hal tersebut.

Kesukaan. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk berkisar antara 2,7 hingga 5,6. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,6 (biasa menuju agak suka). Berdasarkan persen panelis yang menyukai, F15 mendapat penerimaan terhadap warna paling besar dengan persentase 73,3% sedangkan penerimaan paling rendah pada sosis kontrol tanpa penambahan RPO dengan persentase 8,3%.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan aspek warna. Berdasarkan uji lanjut Duncan, nilai kesukaan terhadap F15 berbeda nyata terhadap semua formula, begitu juga dengan FC. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Terdapat korelasi positif (r=0,237) antara mutu warna dengan nilai kesukaan terhadap warna walaupun rendah. Artinya semakin kuning warna sosis

cenderung semakin disukai. Jika dilihat dari mutu warna dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan mutu warna „kuning‟ sampai „sedikit lebih kuning‟. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap warna produk dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap warna Aroma

Aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik. Aroma ikut menentukan penerimaan pada produk pangan. Industri pangan menganggap sangat penting dilakukan uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produknya disukai atau tidak disukai (Winarno 2008).

Mutu aroma. Mutu aroma sosis berkisar antara 4,5 hingga 5,1. Pada sosis FC, F5, F20 dan F25 berturut-turut memiliki nilai mutu aroma sebesar 4,5; 4,9; 4,8 dan 4,7 artinya keempat sosis ini berada pada kisaran aroma „sedikit lebih amis‟ sampai „amis‟. Pada F10 dan F15 berturut-turut memiliki nilai mutu hedonik aroma 5,0 sampai 5,1 artinya kedua formula ini berada pada kisaran „amis‟ sampai „agak amis‟. Penambahan RPO tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik aroma.

Hedonik. Nilai kesukaan aroma pada produk berkisar antara 4,4 hingga 5,2. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,2 (biasa menuju agak suka). Berdasarkan persen penerimaan terhadap aroma, F15 memiliki

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol F5 = sosis RPO 5% F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25% FCa F5b F10cd F15d F20cd F25bc Formula

persentase penerimaan yang paling tinggi yaitu 61,7%, sedangkan penerimaan terendah adalah formula kontrol dan F5 masing-masing 36,7%.

Berdasarkan uji korelasi, tidak ditemukan hubungan antara mutu aroma dengan nilai kesukaan terhadap aroma. Jika dilihat dari mutu aroma dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu aroma „amis‟ sampai „sedikit lebih tidak amis‟. Tabel persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap aroma produk dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 8 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap aroma

Secara alami minyak kelapa sawit memiliki aroma khas yang ditimbulkan oleh persenyawaan beta ionon (Ketaren 2008). Berdasarkan uji Anova, tidak ditemukan perbedaan yang nyata (p>0,05) pada penilaian penerimaan aspek aroma produk sosis dengan penambahan RPO 5% sampai dengan 25%, bahkan tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada nilai penerimaan aroma produk sosis terhadap kontrol yang menggunakan minyak sawit komersil. Ini berarti penambahan RPO sampai batas maksimal tidak memberikan pengaruh terhadap penerimaan aroma sosis. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Rasa

Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Konsumen dapat lebih menghargai dan bersedia membayar tinggi pada makanan yang enak atau yang mereka sukai. Indera pencicip dapat membedakan empat macam rasa utama, yaitu asin, asam, manis dan pahit. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol F5 = sosis RPO 5% F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25% FCa F5ab F10ab F15b F20ab F25a

kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 2008).

Mutu rasa. Mutu rasa sosis berkisar antara 4,8 hingga 5,7. Pada sosis F20 dan F25, panelis memberikan nilai 5,0 dan 4,8 artinya kedua formula ini berada pada rentang „agak gurih‟ sampai „gurih‟. Sedangkan pada FC dan F5 berturut-turut memiliki nilai mutu rasa sebesar 5,2 dan 5,1. Sedangkan untuk F10 dan F15 memiliki nilai mutu rasa yang sama yaitu 5,7 artinya keempat formula ini berada pada rentang „gurih‟ sampai „sedikit lebih gurih‟.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu rasa. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F10 dan F15 tidak berbeda nyata terhadap FC dan F5 tetapi berbeda nyata terhadap F20 dan F25. Data hasil uji statistik lebih lanjut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Hedonik. Nilai kesukaan aspek rasa pada produk berkisar antara 4,9 hingga 6,0. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 yaitu sosis keong tutut dengan penambahan RPO 15% sebesar 6,0 (agak suka). Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis memiliki salah satu tujuan memperoleh rasa dan adonan yang lebih baik. Berdasarkan persen penerimaan, F15 menjadi formula dengan persentase penerimaan paling tinggi yaitu 90,0%. Sedangkan F25 merupakan formulasi dengan penerimaan terendah yaitu 13,3%. Nilai kesukaan panelis terhadap rasa produk secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 9 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap rasa

Berdasarkan uji korelasi, tidak ditemukan hubungan antara mutu rasa

FCa F5a F10a F15b F20a F25a

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol F5 = sosis RPO 5% F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25% Formula

dengan nilai kesukaan terhadap rasa. Jika dilihat dari mutu rasa dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu rasa „gurih‟ sampai „sedikit lebih gurih‟. Persentase penerimaan sosis secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penambahan sejumlah RPO memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan rasa. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa formulasi yang paling berbeda nyata terhadap formulasi lainnya adalah F15. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3. Tekstur

Tekstur adalah halus tidaknya suatu irisan pada saat disentuh dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Aspek yang dinilai pada kriteria tekstur adalah kasar serta halusnya, dan kompak tidaknya sosis yang dihasilkan. Tekstur makanan dapat dievaluasi dengan uji mekanika (metode instrumen) atau dengan analisis secara penginderaan menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Kemampuan protein untuk menyerap dan menahan air mempunyai peran penting dalam pembentukan tekstur dari suatu makanan (Rompis 1998).

Mutu tekstur. Mutu tekstur sosis berkisar antara 3,4 sampai 4,7. Sosis FC, F5, F10, F15 dan F25 berturut-turut memiliki nilai mutu tekstur 4,3; 4,7; 4,6; 4,8 dan 4,0. Nilai ini berarti kelima formula berada pada rentang mutu tekstur „agak empuk‟ sampai „cukup empuk‟. Fβ5 memiliki nilai mutu tekstur γ,4 artinya sosis Fβ5 berada pada rentang nilai „empuk‟ sampai „agak empuk‟.

Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu tekstur. Menurut uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F25 berbeda nyata terhadap semua produk. F15 sebagai formulasi terpilih berbeda nyata terhadap F20 dan F25 tetapi tidak berbeda nyata terhadap FC, F5 dan F10. Hasil uji statistik secara lengkap disajikan pada Lampiran 3.

Kesukaan. Nilai kesukaan tekstur pada produk berkisar antara 3,4 hingga 4,8 berarti tekstur produk dikatakan cenderung „agak tidak disukai‟ menurut panelis. Hal ini diduga karena tekstur sosis yang kurang kompak jika dibandingkan dengan tekstur sosis komersil. Pada produk sosis, daging tutut yang digunakan telah mengalami proses perendaman dengan air panas untuk mempermudah pengeluaran dari cangkang. Proses ini diduga membuat protein daging telah terdenaturasi sebagian sehingga menyebabkan sosis kurang kompak. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 yaitu sosis keong tutut dengan penambahan RPO 15% sebesar 4,8 (menuju biasa/normal).

Menurut Tanikawa (1985), penambahan lemak/minyak dalam sosis bertujuan untuk memperoleh tekstur yang kompak. Pada persen penerimaan, F15 merupakan formula dengan penerimaan paling tinggi sebesar 61,7% sedangkan formulasi dengan penerimaan terendah sebesar 13,3% yaitu F25. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap tekstur produk dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 10 Histogram nilai rataan kesukaan terhadap tekstur

Penambahan sejumlah RPO memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan tekstur. Menurut uji lanjut Duncan, F25 memiliki nilai yang berbeda nyata terhadap formulasi lain dan F15 berbeda nyata terhadap FC, F20 serta F25. Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Terdapat korelasi positif (r=0,140) antara mutu tekstur dengan nilai kesukaan terhadap tekstur namun sangat rendah. Artinya semakin cukup empuk (nilai mutu 5) tekstur sosis cenderung semakin disukai. Aspek tekstur sosis juga dievaluasi dengan uji mekanika (metode instrumen menggunakan Texture Analyzer). Berdasarkan uji mekanika serta uji mutu hedonik dan kesukaan dapat disimpulkan bahwa sosis yang paling disukai adalah formula dengan mutu tekstur „sedikit lebih empuk‟ sampai „cukup empuk‟ dan memiliki nilai kekerasan rata-rata 1233,50 gf dan kekenyalan 0,6615.

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol F5 = sosis RPO 5% F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20% F25 = sosis RPO 25% FCbc F5cd F10bcd F15d F20b F25a Formula

Keseluruhan

Mutu keseluruhan. Mutu keseluruhan produk berkisar antara 4,6 sampai 5,5. Formulasi sosis FC, F20 dan F25 berturut-turut memiliki mutu keseluruhan 5,0; 4,9 dan 4,6 artinya ketiga formula ini berada pada rentang „agak enak‟ sampai „enak‟. Sedangkan formulasi sosis F5, F10 dan F15 berturut-turut memiliki mutu keseluruhan rata-rata 5,2; 5,3 dan 5,5 artinya ketiga formula ini berada pada rentang „enak‟ sampai „sedikit lebih enak‟. Penambahan RPO berpengaruh nyata (p<0,05) pada penilaian panelis terhadap mutu keseluruhan.

Nilai kesukaan secara keseluruhan pada produk berkisar antara 4,6 hingga 5,6 berarti secara keseluruhan, produk dikatakan cenderung „agak sedikit disukai‟sampai „agak disukai‟. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada F15 sebesar 5,6 (agak disukai). Penerimaan tertinggi terdapat pada F15 sebesar 61,7% sedangkan penerimaan terendah pada F25 sebesar 13,3%. Persentase penerimaan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3. sedangkan nilai kesukaan panelis secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 11 Histogram nilai rataan kesukaan secara keseluruhan Penambahan RPO pada sosis secara keseluruhan memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap nilai kesukaan secara keseluruhan produk sosis. Berdasarkan uji lanjut Duncan, diperoleh bahwa F15 berbeda nyata terhadap semua formula. Jika dilihat dari mutu keseluruhan dan kesukaan, produk yang paling disukai adalah sosis dengan kisaran mutu keseluruhan „enak‟ sampai „sedikit lebihenak‟.Tabel hasil uji statistika secara lebih lengkap ditampilkan pada Lampiran 3.

Keterangan

1 = amat sangat tidak suka

2 = sangat tidak suka

3 = tidak suka

4 = agak tidak suka

5 = biasa

6 = agak suka

7 = suka

8 = sangat suka

9 = amat sangat suka

FC = sosis kontrol F5 = sosis RPO 5% F10 = sosis RPO 10% F15 = sosis RPO 15% F20 = sosis RPO 20%

Dokumen terkait