• Tidak ada hasil yang ditemukan

Radiografi sebagai penunjang diagnosis dan penentu tingkat keparahan laminitis pada kuda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Radiografi sebagai penunjang diagnosis dan penentu tingkat keparahan laminitis pada kuda"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

EKA NURHAYATI. Radiografi sebagai Penunjang Diagnosis dan Penentu Tingkat Keparahan Laminitis pada Kuda. Dibimbing oleh DENI NOVIANA dan BUDHY JASA WIDYANANTA.

Laminitis merupakan peradangan pada laminae, jaringan tipis yang menghubungkan dinding kuku dengan coffin bone/os phalanx III dan struktur lain pada kaki kuda. Selain pemeriksaan klinis dapat pula dilakukan pemeriksaan radiografi sebagai penunjang diagnosis. Radiografi terhadap kasus laminitis dilakukan untuk mendiagnosis tingkat keparahan kasus laminitis yang terjadi. Enam ekor kuda didiagnosis menderita lamintis pada satu atau keempat kakinya dan diambil gambar radiografinya. Sembilan belas gambar radiografi diperoleh dan dibaca, serta diukur berdasarkan indikator radiografi yang digunakan sebagai parameter penentuan tingkat keparahan laminitis. Indikator radiografi terdiri atas Palmar angle (rotasi dari os phalanx III), lebar zona H-L (horn lamellar zone), jarak extensor process-coronary band (EP–CB), SDT (sole depth at tip)/SDW (sole depth at wings), dan soft tissue changes. Tingkat keparahan laminitis terbagi atas tingkat I, II, III, dan IV. Berdasarkan hasil pada laminitis Tingkat I ditandai dengan rotasi os phalanx III sebesar 5 derajat, lebar zona H-L sekitar 16/20 mm, jarak EP-CB dan nilai SDT/SDW berada dalam kisaran normal, serta perubahan pada jaringan yang terbatas pada permukaan distal os phalanx III. Laminitis Tingkat IV biasanya ditandai dengan rotasi os phalanx III lebih dari 15 derajat, lebar zona H-L dan jarak EP-CB meningkat, tapi nilai SDT/SDW menurun dan disertai menembusnya os phalanx III ke bagian sole. Perubahan pada jaringan ditandai dengan sole yang terbuka dan os phalanx III yang terlihat.

(2)

RADIO

PENE

OGRAFI S

ENTU TIN

FAKU

INS

SEBAGAI

NGKAT K

EKA

ULTAS KE

STITUT P

I PENUNJ

KEPARAH

KUDA

NURHAY

EDOKTE

PERTANIA

BOGOR

2011

JANG DIA

HAN LAM

YATI

RAN HEW

AN BOGO

AGNOSIS

MINITIS P

WAN

OR

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kuku Kuda ... 3

2.2 Laminitis dan Founder ... 3

2.3 Kausa ... 5

2.4 Patogenesis ... 9

2.5 Gejala Klinis dan Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis ... 11

2.6 Radiograf Kasus Laminitis ... 13

2.7 Teknik Pengambilan Radiograf ... 14

2.8 Perbandingan Radiograf Kuku Normal dan Kuku Laminitis ... 17

2.9 Prognosis ... 18

2.10 Terapi Kasus Laminitis ... 19

BAB III BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat ... 24

3.2 Alat dan Bahan ... 24

3.3 Metode Analisis 3.3.1 Pengambilan Radiograf dan Pengumpulan Sampel ... 24

3.3.2 Pencucian film ... 25

3.3.3 Analisis Sampel ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Diagnosis Kasus Laminitis berdasarkan Klinis dan Penyebab Laminitis ... 28

4.2 Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis berdasarkan Interpretasi Radiograf ... 32

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ... 36

5.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA

... 37
(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pembagian tingkat keparahan laminitis berdasarkan pemeriksaan radiografi ... 26

2 Pemeriksaan klinis terhadap kuda yang didiagnosis menderita laminitis ... 28

3 Faktor penyebab terjadinya laminitis ... 29

4 Hasil pemeriksaan radiografi dan penentuan tingkat keparahan laminitis ... 33

(5)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Anatomi kuku kuda ... 3 2 Struktur internal kuku kuda ... 4 3 Radiograf founder (laminitis kronis) yang diikuti rotasi os phalanx III ... 5 4 Posisi berdiri kuda penderita laminitis A. Laminitis pada kedua kaki depan B.

Laminitis pada kaki kanan depan ... 12 5Posisi pengambilan radiograf A. Lateromedial B. Dorsopalmar C.

Dorsoproximal-palmarodistal oblique D. Palmaroproximal-palmarodistal oblique E. Dorsal 45º lateralpalmaromedial oblique (D45° LPM O) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) ... 16 6 A. Radiograf kasus laminitis lateromedial normal B. Radiograf kasus laminitis

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Form Rekam Medik kuda penderita laminitis ... 44

2 Radiograf Right Fore posisi lateromedial pada Kuda I ... 45

3 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda I ... 45

4 Radiograf Right Fore posisi lateromedial pada Kuda II ... 46

5 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda II ... 46

6 Radiograf Right Hind posisi lateromedial pada Kuda II ... 47

7 Radiograf Left Hind posisi lateromedial pada Kuda II ... 47

8 Radiograf Right Fore posisi lateromedial pada Kuda III ... 48

9 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda III... 48

10 Radiograf Right Hind posisi lateromedial pada Kuda III ... 49

11 Radiograf Left Hind posisi lateromedial pada Kuda III ... 49

12 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda IV ... 50

13 Radiograf Right Fore posisi lateromedial pada Kuda V ... 50

14 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda V ... 51

15 Radiograf Right Hind posisi lateromedial pada Kuda V ... 51

16 Radiograf Left Hind posisi lateromedial pada Kuda V ... 52

17 Radiograf Right Fore posisi lateromedial pada Kuda VI ... 52

18 Radiograf Left Fore posisi lateromedial pada Kuda VI ... 53

19 Radiograf Right Hind posisi lateromedial pada Kuda VI ... 53

20 Radiograf Left Hind posisi lateromedial pada Kuda VI ... 54

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Radiografi sebagai Penunjang Diagnosis dan Penentu Tingkat Keparahan Laminitis pada Kuda adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing, serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

(8)

ABSTRACT

EKA NURHAYATI. Radiographic Examination as a Supporting Diagnosis for Determination of the Laminitis Severity in Horses. Under direction of DENI NOVIANA and BUDHY JASA WIDYANANTA.

Laminitis is an inflammation of the laminae, sensitive tissue that connects hoof wall to the coffin bone/3rd phalanx and other structures of the horse’s foot. Along with the clinical examination, radiographic examination also can be done as a supporting diagnosis for laminitis. In this study, radiographic examination of laminitis was done in order to determine the severity of laminitis. Six horses which were clinically and radiographically diagnosed with laminitis were used in this study. Nineteen radiographic images were obtained and analyzed by radiographic indicators as the parameters to determine the severity grade of laminitis. The radiographic indicators consists of palmar angle (rotation of 3rd phalanx), horn lamellar zone width (H-L Zone), extensor process-coronary band distance (EP–CB), SDT (sole depth at tip)/SDW (sole depth at wings), and soft tissue changes. The severity grade of laminitis was divided into grade I, II, III, and IV. The result showed Grade I laminitis was characterized by 5 degrees rotation of 3rd phalanx, H-L zone width approximately 16/20 mm, EP-CB distance within normal limits, SDT/SDW both within a few mm of normal, and soft tissue changes limited to a subtle lucent line dorsal to dorsal surface of 3rd phalanx. Grade IV laminitis was indicated by more than 15 degrees rotation of 3rd phalanx, H-L zone width and EP-CB distance increased but SDW/SDT greatly decreased equally and followed penetration of the 3rd phalanx through the sole. Soft tissue changes was marked lucency along dorsal surface of 3rd phalanx and sole was opened and 3rd phalanx was exposed.

(9)

ABSTRAK

EKA NURHAYATI. Radiografi sebagai Penunjang Diagnosis dan Penentu Tingkat Keparahan Laminitis pada Kuda. Dibimbing oleh DENI NOVIANA dan BUDHY JASA WIDYANANTA.

Laminitis merupakan peradangan pada laminae, jaringan tipis yang menghubungkan dinding kuku dengan coffin bone/os phalanx III dan struktur lain pada kaki kuda. Selain pemeriksaan klinis dapat pula dilakukan pemeriksaan radiografi sebagai penunjang diagnosis. Radiografi terhadap kasus laminitis dilakukan untuk mendiagnosis tingkat keparahan kasus laminitis yang terjadi. Enam ekor kuda didiagnosis menderita lamintis pada satu atau keempat kakinya dan diambil gambar radiografinya. Sembilan belas gambar radiografi diperoleh dan dibaca, serta diukur berdasarkan indikator radiografi yang digunakan sebagai parameter penentuan tingkat keparahan laminitis. Indikator radiografi terdiri atas Palmar angle (rotasi dari os phalanx III), lebar zona H-L (horn lamellar zone), jarak extensor process-coronary band (EP–CB), SDT (sole depth at tip)/SDW (sole depth at wings), dan soft tissue changes. Tingkat keparahan laminitis terbagi atas tingkat I, II, III, dan IV. Berdasarkan hasil pada laminitis Tingkat I ditandai dengan rotasi os phalanx III sebesar 5 derajat, lebar zona H-L sekitar 16/20 mm, jarak EP-CB dan nilai SDT/SDW berada dalam kisaran normal, serta perubahan pada jaringan yang terbatas pada permukaan distal os phalanx III. Laminitis Tingkat IV biasanya ditandai dengan rotasi os phalanx III lebih dari 15 derajat, lebar zona H-L dan jarak EP-CB meningkat, tapi nilai SDT/SDW menurun dan disertai menembusnya os phalanx III ke bagian sole. Perubahan pada jaringan ditandai dengan sole yang terbuka dan os phalanx III yang terlihat.

(10)

© Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(11)

PENE

ENTU TIN

sebagai

FAKU

INS

NGKAT K

EKA

i salah satu s Sarjana Ke Fakultas

ULTAS KE

STITUT P

KEPARAH

KUDA

NURHAY

SKRIPSI

syarat untuk edokteran He Kedokteran

EDOKTE

PERTANIA

BOGOR

2011

HAN LAM

YATI

memperoleh ewan pada n Hewan

RAN HEW

AN BOGO

MINITIS P

h gelar

WAN

OR

(12)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Radiografi sebagai Penunjang Diagnosis dan Penentu Tingkat Keparahan Laminitis pada Kuda

Nama Mahasiswa : Eka Nurhayati

NRP : B04070075

Program Studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disetujui

Drh. Deni Noviana, Ph. D Drh. Budhy Jasa Widyananta, M.Si Pembimbing 1 Pembimbing 2

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(13)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, serta berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada Drh. Deni Noviana, Ph,D dan Drh. Budhy Jasa Widyananta, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan penuh semangat selama penelitian serta penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Drh. Eva Harlina, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan masukan dan semangat selama menempuh pendidikan di fakultas. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada staf dan pegawai Bagian Bedah dan Radiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, kepada Equestrina Equine Service, Drh. Fitri Dewi Fathiyah, Drh. Rizqi Putratama dan Drh. Nanda Aditya Sukma yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Kepada teman-teman seperjuangan di Wisma Geulis (Yunita, Kenyo, Fuji, Fitri, Millah, Sari, Herti, Archi, Emil, dan Titi), teman-teman satu penelitian (Vully dan Wayan), adik-adik bimbingan Asisten Anatomi (Ica, Puri, Tantina, Pucan, Rani, Eca, Uya, Chiko, Riza, Bambang), anggota Paduan Suara Gita Klinika, keluarga besar Gianuzzi ’44 atas kebersamaannya, adik-adik kelas Avenzoar ’45, Geochelon ’46, serta semua pihak yang tidak bisa penulis sampaikan satu per satu, terimakasih atas segala dukungan, doa, dan semangat dalam membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak dan Mama atas doa dan cintanya. Terimakasih kepada kakak tercinta Kiki Maryati, SE dan Drh. Muhamad Yusup atas semangatnya, keponakan tercinta Kinetha dan Kean, serta keluarga besar Muhammad Miptahudin atas curahan kasih sayangnya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, terutama di bidang medis veteriner.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Januari 1989. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Muhammad Miptahudin dan Eti Cahyati. Pada tahun 1998 penulis masuk ke SDN Bangka 3 Bogor dan lulus tahun 2003. Penulis melanjutkan studinya di SMPN 2 Bogor hingga tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis masuk ke SMAN 3 Bogor dan lulus tahun 2007.

Penulis melanjutkan studi dengan mengikuti jalur USMI IPB tahun 2007 dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kampus dan luar kampus.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaki kuda menunjukkan suatu bentuk adaptasi yang ekstrim untuk dapat berlari cepat. Kaki depan dan kaki belakang kuda mempunyai pembagian fungsi spesifik yang cenderung berbeda di antara keduanya, baik pada saat kuda istirahat maupun bergerak. Kaki depan menopang 55%-60% dari total berat tubuh pada saat istirahat dan meredam getaran saat kuda berlari cepat, terutama saat kuda mendarat dari lompatan (jumping), sedangkan kaki belakang berfungsi sebagai pendorong saat kuda berjalan dan berlari. Keempat kaki kuda mempunyai fungsi utama yang sama yaitu sebagai penahan tubuh dan saling bekerja sama untuk menjaga keseimbangan tubuh dalam berbagai variasi gerakan. Bagian tubuh kuda paling distal dilindungi oleh kuku yang terbentuk dari keratinisasi epitel kulit. Kuku kuda merupakan pertumbuhan lanjutan dari kulit yang membungkus dan melindungi coffin bone/os phalanx III, tulang rawan kuku, persendian, os sesamoid distal, tendon, ligament, pembuluh darah dan saraf (Budras et al 2009).

Domestikasi kuda pada lingkungan dan cara yang berbeda mengakibatkan kuku mengalami keausan (Kacker & Panwar 1996). Menurut Estep (2006), kebanyakan pemilik dan perawat kuda kurang perhatian terhadap kondisi kuku kuda, sehingga kuku kuda sangat rentan terhadap kerusakan dan penyakit. Keadaan ini juga diduga menjadi penyebab perubahan struktur internal seperti perubahan letak tendo dan ligamentum, perubahan posisi tulang, dan kerusakan jaringan.

(16)

Radiografi atau sinar-x telah ditemukan lebih dari satu abad yang lalu dan telah digunakan dalam penanganan terhadap pasien untuk tujuan medis (Reed 2011). Pemanfaatan radiografi dalam praktik kuda adalah untuk mengevaluasi tulang, serta mengetahui respon tulang terhadap kerusakan dan penyakit, sehingga dapat dihubungkan dengan gejala klinis suatu penyakit (Weaver & Barakzai 2009). Penggunaan radiografi pada kasus laminitis sangat bermanfaat karena dapat menggambarkan status pergeseran dan perubahan dari os phalanx III di dalam hoof capsule, serta memberikan informasi terhadap diagnosis dan prognosis kasus laminitis (Pollitt 2008). Kasus laminitis yang menyerang kuda banyak dilaporkan oleh berbagai negara, sedangkan di Indonesia belum banyak laporan mengenai kasus laminitis pada kuda. Perlu dilakukan evaluasi terhadap kasus laminitis melalui pemeriksaan klinis secara menyeluruh dan disertai dengan pemeriksaan radiografi.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendiagnosis kasus laminitis pada kuda berdasarkan pemeriksaan klinis, radiograf dan membagi derajat keparahan dari kasus laminitis tersebut.

1.3 Manfaat

(17)

BAB

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kuku Kuda

Kuku merupakan organ tubuh yang penting bagi kehidupan kuda. Kuku kuda mempunyai fungsi dan peran yang cukup berat, sehingga rentan akan terjadinya kelainan dan penyakit. Kelainan atau penyakit pada kuku kuda dapat disebabkan oleh kelainan konformasi, faktor kongenital, kesalahan penapalan dan perawatan yang tidak baik, sehingga kuku kuda harus dirawat dengan baik dan teratur (Putro 2008). Penyakit kuku yang sering terjadi pada kuda adalah laminitis.

Gambar 1 Anatomi kuku kuda (Sumber: Floyd & Mansmann 2007).

2.2 Laminitis dan Founder

Laminitis merupakan peradangan pada laminae, jaringan tipis yang menghubungkan dinding kuku dengan coffin bone/os phalanx III dan struktur lain

Heel Lateral groove of frog

Coronary groove

Hoof wall 

Frog 

Central groove of frog 

Insensitive

laminae  Perioplic

groove

Space occupied by cunnean

part of digital cushion

Bulbs of the heels

white line Bar

(18)

pada kaki kuda. Laminae berperan penting dalam memantapkan tulang pada bagian dalam kaki, ketika terjadi peradangan pada laminae kekokohan tulang mengalami gangguan dan tulang mengalami kerusakan (Gambar 2). Peradangan pada kejadian laminitis diawali dengan ischemia dan kematian sel. Kematian sel terjadi karena tidak memperoleh suplai nutrisi dari pembuluh darah (Redden 1998). Laminitis menimbulkan ancaman bagi semua kuda dan secara umum dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling penting pada kuda dan mempengaruhi kesejahteraan kuda. Pengaruh laminitis dapat menyebabkan stamina kuda menurun dan sakit di daerah digit yang parah, sehingga kuda tidak mampu beraktivitas dengan baik (Collins et al. 2010).

Gambar 2 Struktur internal kuku kuda (Sumber: Pollitt 2001).

(19)

Founder diawali dengan dinding kuku/wall yang terus tumbuh dalam keadaan tidak normal, sehingga merusak laminae dan memisahkan wall dengan tulang/os phalanx III. Tulang tersebut kemudian berputar dan terdorong menuju bagian telapak kaki/sole, dan pada kasus yang serius diikuti dengan menembusnya/penetrationos phalanx III ke bagian sole (Rooney 2007). Menurut Pollitt (2007), os phalanx III juga dapat menembus hoof capsule, merusak arteri, vena, dan menimbulkan rasa sakit yang parah.

Gambar 3 Radiograf founder (Laminitis Kronis) yang diikuti rotasi os phalanx III (Sumber: Farrow 2006).

2.3 Kausa

Kepekaan pemilik hewan atau owner seharusnya menjadi petunjuk serta pendukung diagnosis karena sejarah yang diberikan dapat membantu dokter hewan untuk mendiagnosis dan menentukan prognosis. Menurut Redden (1998), kasus laminitis dapat dikelompokkan berdasarkan breed, penggunaan/aktivitas dan paling banyak menyerang kuda dewasa, serta jarang ditemukan pada kuda berusia kurang dari satu tahun. Laminitis dapat terjadi karena berbagai faktor dan permasalahan umum yang mendahului terjadinya laminitis diantaranya:

1. Kelebihan konsumsi gandum atau rumput (terutama pada hewan yang obesitas).

2. Demam yang berkepanjangan. 3. Kolik.

4. Retained placenta. 5. Pneumonia. 6. Pleuritis.

(20)

8. Salmonella colitis. 9. Stress.

10. Unilateral lameness.

Menurut Bergsten (2003) penyakit ini dapat disebabkan oleh asupan karbohidrat berlebihan, perubahan setelah melahirkan, pemotongan kuku, lantai pijakan yang keras, dan pemusatan berat tubuh pada satu kaki karena pincang. Morrison (2010), mengemukakan bahwa laminitis dapat terjadi secara akut, subakut, dan berkembang menjadi tahap yang kronis dengan berbagai tingkatan kegagalan struktural, serta kegagalan mekanis dari digit.

Pendapat lain menyatakan bahwa penyebab laminitis tidak diketahui, akan tetapi ada beberapa keadaan yang sering mendahului kasus laminitis. Hewan dalam keadaan ini dapat beresiko tinggi mengalami laminitis dan keadaan ini dapat terjadi tunggal maupun kombinasi (Van et al. 2010). Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya laminitis diantaranya:

1. Obesitas/kegemukan.

(21)

2. Racun tanaman.

Laminitis dapat terjadi sebagai komplikasi dari beberapa tanaman yang beracun. Racun dari tanaman dapat menyebabkan kerusakan sistem pencernaan atau perubahan pergerakan dan fungsi yang dapat menginduksi terjadinya laminitis, gejala klinis terlihat seperti keadaan keracunan. Saat racun tanaman masuk dan mengikuti sirkulasi darah dapat menyebabkan sirkulasi terganggu sampai terjadi hemolisis pada bagian kaki sehingga suplai nutrisi dan oksigen untuk daerah kaki berkurang, laminae menjadi rusak dan dapat mengakibatkan terjadinya laminitis (Kellon 2007).

3. Iatrogenik.

Pemberian sediaan kortikosteroid pada kuda rentan menyebabkan laminitis. Kortikosteroid tidak menginduksi laminitis setiap kali digunakan, tetapi ada risiko yang dapat ditimbulkan akibat penggunaan kortikosteroid. Kortikosteroid yang diinduksikan pada kuda biasanya cepat berkembang menjadi founder/penetration os phalanx III. Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang, seperti triamcinolone dan dexamethasone untuk mengobati gatal juga sangat berbahaya, bahkan campuran obat-obatan yang mengandung kortikosteroid dapat menyebabkan laminitis, sehingga penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan laminitis merupakan kontraindikasi (Kellon 2007).

4. Hormonal.

Kasus laminitis pada hewan tua terjadi karena neoplasia pars intermedia kelenjar hipofisis, polydipsic, diabetes dan hipotiroid Laminitis yang terjadi merupakan kelanjutan dari tumor yang diderita oleh kuda (Kellon 2007). 5. Kecelakaan, trauma mekanik dan stress.

Laminitis dapat terjadi karena latihan yang terus menerus, perjalanan pada kondisi yang panas/dingin, lantai pijakan yang keras (Redden 1998).

6. Kelebihan senyawa nitrogen.

(22)

urea sangat tinggi dalam tubuh dapat menekan pertumbuhan, mempengaruhi osmolaritas dan amonia yang diserap tubuh yang dapat menjadi racun. Racun tersebut akan beredar dalam darah sampai pada bagian kaki dan dapat menyebabkan laminitis. Laminitis juga dapat terjadi karena mengkonsumsi langsung bahan pupuk yang mengandung nitrat dan saat musim semi metabolisme alam dalam menghasilkan nitrogen meningkat di dataran rendah yang dipenuhi padang rumput, sehingga rumput yang dikonsumsi kuda dapat mengakibatkan gangguan hati dan ketidakseimbangan detoksikasi yang selanjutnya dapat berujung pada kejadian laminitis (Frape 2010).

7. Penyebab lain yang dapat mendukung terjadinya laminitis adalah Hipofisis Pars Intermedia Disfungsi (HPID) atau Cushing’s Syndrome. HPID adalah kelainan patologi kelenjar endokrin (endocrinopathy) yang menyerang kuda tua dan dampak lanjutan dari kelainan tersebut adalah laminitis dan diabetes tipe II (Schott 2004).

8. Penyakit Cushing Peripheral (Equine Metabolic Syndrome) merupakan penyakit metabolisme yang melibatkan kortisol dan resistensi insulin. Kejadian ini memiliki kesamaan dengan diabetes tipe II pada manusia. Adipocytes perifer (sel-sel lemak) mensintesis adipokinase yang sejalan dengan kortisol, sehingga gejalanya seperti Cushing’s Syndrome (Kellon 2007).

9. Retained placenta terjadi sesaat setelah proses kelahiran, yaitu plasenta sulit dikeluarkan dan jika tetap berada dalam rahim akan menjadi racun serta sistemik ke dalam aliran darah yang selanjutnya dapat menyebabkan laminitis (Redden 1998).

10.Kesalahan pemotongan kuku dan pemasangan ladam (sepatu kuda).

(23)

dan white line. White line merupakan unsur tipis dan rapuh yang menghubungkan dinding kuku bagian dalam dan sole yang selalu tumbuh sekitar 8 mm pada tiap bulan. Unsur tersebut jika mengalami kerusakan atau trauma akibat pemotongan kuku dan pemasangan ladam yang tidak benar dapat memicu terjadinya peradangan pada jaringan atau unsur disekitarnya termasuk peradangan pada laminae (laminitis) (Karle et al. 2010).

11.Ras/breed.

Kasus laminitis dapat dikelompokkan berdasarkan ras/breed (Redden 1998). Kuda poni yang gemuk memiliki insidensi yang tinggi terhadap laminitis, selain itu kuda jenis Thoroughbred, Arabians Horse, American Quarter Horse, American Saddlebreds, dan kuda persilangan juga memiliki peluang untuk menderita laminitis. Hal tersebut dikarenakan kuda jenis tersebut biasa digunakan untuk pertandingan atau pacuan, serta konformasi tulang dan substansi otot yang lebih jika dibandingkan dengan jenis kuda lainnya (Edwards 1973). Jenis ras lain yang memiliki peluang menderita laminitis diantaranya, Warmblood dan Lusitano. Jenis kuda Warmblood merupakan jenis kuda yang memiliki substansi tulang, dan otot yang lebih dibandingkan dengan keturunan lainnya (Marcella 2006). Kuda jenis Lusitano merupakan kuda dengan berat badan sekitar 500 kg namun memiliki bentuk kaki kecil, sehingga beban kaki dalam menopang tubuh sangat besar dan hal tersebut dapat menjadi predisposisi terjadinya laminitis pada kuda jenis tersebut (Huggett 2010).

2.4 Patogenesis

(24)

kapiler laminae. Akibatnya terjadi ischaemia yang diikuti dengan reperfusi dan terpisahnya laminae (Rendle 2006).

Kehilangan glukosa dan keberadaan reaktif oksigen spesies (ROS) hasil dari ischaemia dan kegagalan reperfusi merupakan aktivator potensial dalam pengeluaran Matrix Metalloproteinase (MMPs). Siklo-oksigenase-2 (COX-2) yang meningkat pada sel epitel laminae, otot polos pembuluh darah, sel endotel, ekstravasasi leukosit dan pelepasan sitokin inflamasi juga merupakan penginduksi MMPs yang potensial (Rendle 2006). Matrix Metalloproteinase (MMPs) adalah kelompok enzim Zinc metallo-endopeptidase yang disekresikan oleh sel berfungsi dalam perubahan bentuk komponen matriks ektraseluler (ECM) (Alexander 2002). Menurut Black et al. (2006) MMPs merupakan enzim yang dapat ditemukan dalam jaringan lain seperti perubahan bentuk tulang, persendian, endometrium, tumor ganas yang bermetastasis. Secara normal fungsi dari MMPs di sekitar laminae adalah untuk mempertahankan struktur dari laminae (Pollitt 2008).

Faktor pemicu laminitis dibawa secara hematogen dari usus ke laminae. Hal ini mengakibatkan aktivitas berlebih dari MMPs yang mendegradasi matriks ekstraseluler, komponen membran basal, dan molekul yang melekat pada membran basal sampai sel-sel basal. Jika peningkatan MMPs tersebut terjadi pada laminae kuku, maka struktur laminae tersebut rusak dan dapat menyebabkan terpisahnya laminae dari ikatannya. Hal tersebut yang memicu terjadinya laminitis (Rendle 2006).

(25)

untuk meningkatkan respon terhadap bakteri patogen (Coondoo 2011). Pemeriksaan histologis dari laminae selama tahap awal laminitis 12-18 jam memberikan gambaran dari pembengkakan endotel di dalam kapiler dan arteriol, serta terjadi perubahan laminae epidermis, sel-sel basal, dan membran basal secara histologis (Pollitt & Visser 2010).

2.5 Gejala Klinis dan Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis

Selama fase perkembangan dan sebelum munculnya gejala klinis berupa rasa sakit pada kaki, kuda mengalami masalah dengan satu atau lebih sistem tubuh, diantaranya pencernaan, pernafasan, reproduksi, ginjal, endokrin, musculoskeletal, kulit, dan kekebalan tubuh. Penyimpangan yang terjadi secara multisystemic di dalam organ jauh dari jaringan laminae di kaki, namun akibat keadaan sistemik dalam tubuh menyebabkan pemisahan dan disorganisasi laminae kaki secara anatomi (Pollitt 2007).

Gejala klinis pada kejadian laminitis akut meliputi peningkatan pulsus (denyut nadi), panas pada dinding kuku/wall, dan kepincangan. Peningkatan denyut nadi dan panas pada dinding kuku sering mendahului kepincangan (Hunt & Wharton 2010). Kepincangan sering dimulai pada 36 jam setelah konsumsi karbohidrat secara berlebihan. Selain itu, gejala klinis laminitis dapat terlihat dalam waktu 6 sampai 8 jam setelah menelan supernatan dari kayu walnut hitam (Peroni et al. 2005; Belknap 2010).

Menurut Pollitt (2008) pada kasus akut timbul rasa sakit dan kepincangan pada saat berjalan dan berlari, namun belum diikuti dengan perpindahan os phalanx III. Kasus kronis dapat terjadi jika pada saat kasus akut kuda masih bertahan hidup, biasanya ditandai dengan kepincangan yang ringan namun berlangsung lama, sakit pada kaki yang parah, degenerasi laminae kuku, dan disertai dengan perpindahan kuku serta penetrasi os phalanx III ke bagian telapak kaki (sole).

Floyd (2007a) membagi kasus laminitis berdasarkan tingkat keparahan dan gejala klinis menjadi beberapa tingkat (grade):

(26)

Tingkat 2: Stiff (kaku) dan menolak berputar saat berjalan, berjalan tapi terlihat pincang.

Tingkat 3: Melawan apabila diangkat kakinya.

Tingkat 4: Menolak untuk bergerak kecuali dipaksa, panas di wall dan coronet, rasa sakit yang parah.

Gambar 4 Posisi berdiri kuda penderita laminitis A. Laminitis pada kedua kaki depan (Sumber: Pollitt 2008), B. Laminitis pada kaki kanan depan.

Gejala klinis laminitis bervariasi, dari ringan sampai sangat parah. Jika perubahan reaksi laminae di kaki sangat cepat, maka menimbulkan rasa sakit yang parah. Kasus rotasi total dapat dilihat dalam 48-72 jam setelah timbulnya rasa sakit. Variasi gejala klinis tersebut karena faktor-faktor seperti berat badan, tingkat keparahan dari reaksi sistemik atau kerusakan usus. Karakteristik kuda ketika mengalami laminitis adalah kaki depan diperluas ke depan tubuh dalam upaya untuk meringankan rasa sakit saat menahan beban. Selain itu, tubuh bagian depan ditempatkan lebih ke depan dalam upaya untuk menahan berat tubuh dengan tungkai tertekuk untuk mengurangi tegang pada tendo fleksor (Gambar 4A) (Floyd 2007a).

Otot-otot punggung dan glutealis terlihat tegang dan kuda tidak pernah terlihat nyaman. Jika laminitis mempengaruhi kaki belakang, keadaannya lebih dari kaki depan dan mirip dengan penyakit stringhalt. Hal tersebut terjadi karena rasa sakit akibat menahan berat badan sehingga menyebabkan refleks penarikan. Kuda akan melakukan penolakan dengan memukul atau memanipulasi gerakan kaki, serta tidak mampu untuk berdiri pada satu kaki depan dalam waktu yang lama.

(27)

Menurut Menzies-Gow et al. (2010) beberapa gejala laminitis atau founder yang terlihat seperti:

1. Kepincangan, gemetar, serta telapak kaki bengkak. 2. Panas pada dinding kuku dan pulsus digitalis meningkat.

3. Palpasi dan penekanan pada daerah kaki memberikan reaksi positif. 4. Keengganan untuk berjalan atau ragu-ragu dalam melangkah.

5. Posisi kaki khas dengan kaki depan lebih menjulur ke depan untuk mengurangi tekanan dan kaki belakang berada jauh di belakang untuk menopang berat tubuhnya.

6. Perubahan bentuk dinding kuku yang menjadi lebih luas dan tidak normal, serta white line melebar, dan disertai serous/abses.

7. Kecenderungan untuk berbaring.

Perjalanan penyakit dapat berlangsung selama pertumbuhan kuku sehingga menyebabkan perubahan bentuk laminae, degenerasi osphalanx III dan rotasi os phalanx III yang menjauhi dinding kuku. Tekanan tunggal dari tepi os phalanxIII menyebabkan lekukan tunggal sampai menjadi datar. Pada kasus yang ekstrim os phalanx III menembus laminae sampai terjadi nekrosis dan akhirnya terjadi kerusakan osphalanx III (Floyd 2007a).

2.6 Radiograf Kasus Laminitis

(28)

Teknik diagnosis terhadap kasus laminitis juga dapat menggunakan Magnetic Resonance Imagine (MRI), manfaat penggunaan MRI karena dapat menggambarkan ketebalan dinding kuku bagian dorsal dan sudut rotasi os phalanx III. MRI juga dapat memperlihatkan peningkatan ukuran dan jumlah saluran pembuluh darah, perubahan pada coronae corium, distensi distal sendi interphalangeal, serta menginterpretasikan garis gas pada laminae dan kerusakan pada permukaan os phalanx III yang lebih baik dari pemeriksaan radiografi (Murray et al. 2003). MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi tendon, ligament, cartilago, dan struktur mineral kaki secara bersamaan (Zani et al. 2009). MRI adalah teknik pencitraan/penggambaran struktur organ tubuh hewan berupa potongan-potongan halus cross-sectional (Farrow 2006).

2.7 Teknik Pengambilan Radiograf

Posisi pengambilan radiograf secara umum terdiri atas lateromedial, dorsopalmar, dorsoproximal-palmarodistal oblique untuk navicular bone (Schramme 2007). Posisi lateromedial biasa digunakan untuk mengambil radiograf os phalanx III, navicular bone, persendian interphalangeal distal, sebagian dari os phalanx II dan semua jaringan lunak kaki (Redden 2003). Kaki kuda ditempatkan pada sebuah wooden block setebal 10-15 cm dengan posisi horizontal sehingga sinar-x dapat berpusat pada kaki Gambar 5A. Sebuah penanda (radiopaque marker) dapat digunakan dan disimpan di tepi wooden block untuk membentuk garis horizontal pada radiograf sehingga mempermudah proses pembacaan hasil (Pollitt 2008).

(29)

Posisi dorsoproximal-palmarodistal oblique (Gambar 5C) dapat dilakukan dengan dua tingkat paparan sinar-x. Paparan yang rendah biasanya digunakan untuk pengambilan radiograf pedal bone, sedangkan pada paparan yang tinggi digunakan untuk pengambilan radiograf navicular bone (Weaver & Barakzai 2009).

A

 

B

C

(30)
[image:30.612.253.388.77.300.2]

Gambar 5 Posisi pengambilan radiograf A. Lateromedial, B. Dorsopalmar, C. Dorsoproximal-palmarodistal oblique, D. Palmaroproximal-palmarodistal oblique, E. Dorsal 45º lateral palmaromedial oblique (D45° LPMO) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) (Sumber: Weaver & Barakzai 2009).

: Sumber sinar-x.

Pengambilan radiograf lainnya dapat dilakukan pada posisi palmaroproximal-palmarodistal oblique yang biasa dilakukan untuk melihat gambaran permukaan cortex dan medulla navicular bone (Gambar 5D), serta pada posisi dorsal 45º lateral palmaromedial oblique (D45° LPMO) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) (Gambar 5E), posisi ini biasa digunakan untuk pengambilan radiograf pemukaan palmar dari pedal bone (Weaver & Barakzai 2009).

Pengambilan radiograf pada semua posisi menggunakan nilai kVp (kilovoltage peak) sebesar 70, mAs (milliamperage second) 1,0 dan FFD (focal spot film distance) 70 cm dengan panjang gelombang sinar-x berkisar antara 10 nm-100 pm. Nilai kVp adalah energi yang dihasilkan oleh sinar-x untuk melakukan penetrasi melalui benda/bagian tubuh sehingga mencapai permukaan film. Nilai mAs merupakan jumlah elektron dalam waktu tertentu yang keluar dari katoda menuju anoda untuk menghasilkan sinar-x di dalam tabung sinar-x. Focal spot film distance merupakan jarak fokus spot tabung sinar-x dengan permukaan

(31)

film, pada hewan kecil FFD yang digunakan 100 cm, sedangkan pada hewan besar FFD yang digunakan 70 cm (Thrall 2002).

2.8 Perbandingan Radiograf Kuku Normal dan Kuku Laminitis

[image:31.612.146.483.508.631.2]

Orientasi normal os phalanx III berdasarkan radiograf adalah tidak adanya pergeseran, perubahan tempat atau rotasi os phalanx III, hal tersebut dikarenakan ikatan antar laminae sebagai penghubung os phalanx III dengan dinding kuku masih kuat atau belum ada kerusakan (Gambar 6A). Radiograf kuku yang menderita laminitis ditunjukkan dengan adanya kerusakan pada dinding kuku, rotasi os phalanx III dan penetration os phalanx III ke bagian sole, serta rusaknya ikatan laminae yang menghubungkan dinding kuku dengan os phalanx III yang ditunjukkan dengan terbentuknya emphasis zone (Gambar 6B) (Thrall 2002). Emphasis zone yang terbentuk akibat laminitis merupakan garis/celah halus yang berwarna lebih hitam (lucent) pada radiograf. Menurut Farrow (2006), Gambaran yang terlihat sebagai garis halus berwarna lebih hitam (lucent) pada saat terjadi rotasi os phalanx III merupakan akumulasi gas. Gas tersebut terbentuk diantara os phalanx III dan dinding kuku akibat kontaminasi atmosfir (atmospheric contamination) oleh penetrasi os phalanx III yang menembus sole atau oleh drainage pada bagian coronary band. Pendapat lain menyatakan bahwa gas tersebut dapat dilepaskan dari hemoglobin sekunder untuk disintegrasi sel darah merah sebagai suplai daerah ekstremitas

Gambar 6 A Radiograf Lateromedial normal. (Sumber: Weaver & Barakzai 2009), B Radiograf Lateromedial laminitis diikuti penetration os phalanx III.

(32)

2.9 Prognosis

Keberhasilan penanganan dan pengobatan terhadap laminitis akan menentukan prognosis kasus laminitis tersebut. Menurut Van (2010), prognosis terhadap kasus laminitis bervariasi tergantung pada:

1. Durasi kejadian.

2. Tingkat keparahan/tingginya perubahan yang terjadi. 3. Jumlah kaki yang terserang.

4. Kasus/penyakit yang menjadi penyebab.

James et al. (2010) mengemukakan bahwa prognosis terhadap kasus laminitis dapat dihubungkan dengan tingkat keparahan dan perubahan sudut dari distal phalanx (os phalanx III), jika tidak disertai dengan kontrol menggunakan obat-obatan dan pelindung pada kaki prognosis buruk (infausta). Apabila kejadian laminitis disertai dengan rotasi os phalanx III sebesar 5° atau kurang prognosis baik (fausta) selama terapi yang tepat. Akan tetapi, kejadian laminitis yang disertai dengan menembusnya os phalanx III ke telapak kaki (sole) prognosis buruk (infausta).

Menurut Pollitt (2001), terdapat beberapa kriteria untuk menentukan prognosis dari kasus laminitis, yaitu:

1. Pada kasus laminitis akut tidak ada radiograf mengenai perpindahan os phalanx III dalam hoof capsule dan selama 48 jam, tidak ada peningkatan denyut nadi, dan setelah diberikan terapi yang tepat kuda dapat berangsur pulih.

2. Perpindahan letak os phalanx III prognosis dapat menjadi baik sampai buruk (fausta-infausta).

3. Kuda dengan peningkatan jarak antara os phalanx III dan dinding kuku bagian dorsal dengan atau tidak disertai rotasi os phalanx III, sering memberikan kesembuhan yang nyata.

(33)

2.10 Terapi Kasus Laminitis

Terapi terhadap kasus laminitis dapat dilakukan dengan tahapan terapi secara causalis, symptomatic, dan supportive. Terapi secara causalis diberikan sesuai dengan penyebab dan perdisposisi terjadinya laminitis. Kuda yang menderita laminitis akibat resistensi insulin dan Cushing’s Syndrome (Equine Metabolic Syndrome) dapat diberikan terapi berupa makanan rendah glukosa seperti rice brain, karena pakan dengan kadar glukosa tinggi seperti biji-bijian dan molasses mengakibatkan resistensi insulin yang menyerang kuda di kemudian hari (Ross & Williams 2005).

Laminitis akibat kelebihan asupan karbohidrat dapat ditangani dengan mengatur pola pakan melalui diet dan mengganti pakan secara bertahap yaitu mengurangi konsumsi karbohidrat yang kemudian diganti dengan protein. Kandungan nutrisi pada kuda yang melakukan diet harus diperhatikan, biasanya pada kuda yang diet, kandungan lemak, protein, dan karbohidrat tidak lebih dari 5%, 7-12%, dan 20% (Frape 2010). Terapi lain yang dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis karena kelebihan asupan karbohidrat berupa pemberian antibiotik seperti Virginiamycin®. Dosis yang dapat diberikan sebanyak 5 g/kgBB selama 4 hari sebelum pemberian pakan yang mengandung karbohidrat tinggi untuk mencegah produksi asam D-laktat yang berasal dari bakteri di dalam usus. Kasus laminitis akibat overload grain dapat diberikan mineral oil atau

activated charcoal(Pollitt 2008).

(34)

Kasus laminitis karena endotoxemia dapat diberikan anti-endotoksin hyperimmune plasma secara intravena seperti flunixin meglumine (Finadyne®) dengan dosis 0, 25 mg/kg TID atau 1,1 mg/kg BID, sediaan tersebut memiliki efek anti-endotoksin dengan mengurangi produksi prostaglandin melalui penghambatan siklooksigenase. Ketoprofen dengan dosis 2,2 mg/kgBID secara intravena dapat diberikan untuk menggantikan flunixin (Kellon 2007).

Terapi secara symptomatic merupakan terapi yang diberikan pada kuda penderita laminitis berdasarkan gejala klinis yang tampak dengan tujuan agar laminitis tidak berkembang menjadi lebih parah. Preparat Non Steroidal Anti Inflammatory Drug (NSAID) dapat diberikan sebagai terapi symptomatic. NSAID adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Fungsi dari pemberian NSAID pada kasus laminitis adalah untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri (Dannhard & Laufer 2000).

Jenis NSAID yang dapat diberikan diantaranya asam asetil salisilat, di samping sebagai obat antiradang, asam asetil salisilat memiliki peranan lain dalam terapi obat, yaitu sebagai zat penghambat agregasi trombosit (Steinhilber 2002). NSAID lain yang dapat diberikan sebagai obat antiradang phenylbutazone, indometasin dan ibuprofen (Dannhard & Laufer 2000). Dosis phenylbutazone yang dapat diberikan sebanyak 4,4 mg/kg IV/PO setiap 12 jam, berfungsi untuk mengurangi rasa sakit pada kaki dan memberi kenyamanan pada kuda untuk bergerak. Kuda yang menderita laminitis akut dapat diberikan phenylbutazone dengan dosis menurun selama 2 minggu dimulai dengan dosis 2,2 mg/kg sampai 1,1 mg/kg. Laminitis yang terjadi diawali dengan penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) dan terapi yang dapat diberikan berupa hydrotherapy (kompres menggunakan air panas), serta pemberian obat sebagai vasodilator seperti isoxuprine hydrochloride, acepromazine dan glyceryl trinitrate (Pollitt 2008).

(35)

seperti timothy, orchard dan brome, serta  cool season grasses (rumput pada musim dingin) seperti bermuda baik diberikan pada kuda yang menderita laminitis. Pengobatan menggunakan tanaman tradisional seperti Aconitum napellus, Belladonna, Nux vom, Calcarea fluorica juga dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis (Ross & Williams 2005).

Pemberian vitamin dan mineral dalam menjaga sistem imun dan kesehatan kuku seperti vitamin C untuk mengobati peradangan dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Ross & Williams 2005). Vitamin E, zinc, biotin, dan methionine diberikan sebagai suplemen untuk kuku dan membantu detoksifikasi hati dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis (Kellon 2007). Suplemen seperti zinc, biotin, dan methionine dapat ditambahkan dalam pakan kuda yang menderita laminitis. Manfaat pemberian suplemen tersebut adalah untuk pertumbuhan kuku, perkembangan dinding kuku agar lebih kuat, kokoh dan mengkilat. Biotin merupakan suplemen essential untuk sintesis keratin-protein dan formasi rantai panjang asam lemak dalam perkembangan intercellular matrix dari tanduk kuku (hoof horn) (Mulling & Lischer 1999). Zinc dan methionine berperan penting sebagai enzim katalisator dalam sintesis keratin yang berfungsi terhadap kesehatan kuku (Sobhanirad et al. 2010).

(36)

terhadap bagian toe (ujung) dan sole (telapak kaki) dari os phalanx III pada saat berdiri (Gambar 7B).

Pollitt (2008) mengemukakan bahwa terapi terhadap kuda yang menderita laminitis dapat menggunakan Natural Balance Shoe yaitu ladam khusus yang diberikan pada kuda penderita laminitis yang dibentuk untuk membantu kuda selama bergerak, namun terbatas pada kasus laminitis dengan kerusakan laminae yang sobek atau terpisah karena faktor mekanik (Gambar 7C).

[image:36.612.138.485.235.391.2]

Gambar 7 A. Pemotongan kuku (Sumber: Foor 2007), B. Pemasangan Four point shoe, C. Natural Balance Shoe (Sumber: Pollitt 2008).

Terapi lain yang dapat diberikan dengan melakukan bandaging (penggantian perban), dressing dan cleansing secara teratur, serta pada kasus rotasi os phalanx III ≥15° dapat dilakukan check ligament desmotomy yaitu pemotongan check ligament (ligamentum accessorium) pada tendon flexor digitalis profundus. Check ligament secara anatomi berfungsi untuk melindungi otot dan persendian terhadap peregangan yang berlebihan dari tendon flexor digitalis profundus (Floyd 2007b). Check ligament desmotomy pada kasus laminitis kronis dapat dilakukan apabila terdapat kelainan pada kuku yang tidak dapat diperbaiki dengan pemotongan dan pemasangan ladam (White 1995).

Kasus laminitis juga dapat diterapi dengan melakukan bloodletting yaitu, pengeluaran darah dari tubuh melalui pembuluh darah untuk terapi suatu penyakit atau kelainan seperti, nekrosa jaringan, hydrops, kembung dan demam (Cramer 2006). Terapi tersebut dapat dilakukan pada kuda yang menderita laminitis, darah dikeluarkan melalui vena jugularis sebanyak 5-10 L disesuaikan dengan berat

(37)

badan kuda. Tujuan pengeluaran darah tersebut adalah untuk mengeluarkan racun yang beredar dalam tubuh yang menjadi penyebab terjadinya laminitis. Setelah melakukan bloodletting kuda dapat diberikan pakan yang telah ditambahkan elektrolit dan saline (Schneider 2000).

Perkembangan kasus laminitis yang terjadi pada setiap kuda selama proses terapi berbeda-beda, tergantung tingkat keparahan laminitis berdasarkan pemeriksaan radiograf dan keinginan pemilik hewan terhadap tindakan terapi, karena terapi kasus laminitis merupakan terapi yang membutuhkan waktu lama dan dengan biaya yang besar. Menurut Pollitt (2008), terapi kasus laminitis yang efektif terjadi ketika mekanisme disintegrasi antara laminae dengan dinding kuku secara anatomi dipahami. Terapi juga dapat berjalan efektif apabila penyakit primer yang mendasari terjadinya laminitis ditangani dengan baik, sehingga kemungkinan peningkatan keparahan laminitis tidak terjadi.

(38)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Juli sampai dengan September 2011. Data diperoleh dari foto radiografi kaki kuda di Equestrina Equine Service dan kartu rekam medik setiap pasien.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin sinar-x unit portable, lampu illuminator, apron, kaset film, tempat penyimpanan film, holder/frame, marker, dan processing machine (mesin pencucian) manual. Alat pengukur untuk membaca radiograf adalah busur, penggaris, serta kamera.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah film yang terbuat dari bahan tipis polyester yang dilapisi silver halide kristal dengan bahan perekat (adhesif). Bahan pencuci film seperti larutan developer (hidroquinon dan sodium carbonat), larutan fixer (garam ammonium thiosulfat), dan larutan washer (air keran).

3.3 Metode Analisis

3.3.1 Pengambilan Radiograf dan Pengumpulan Sampel

Radiograf diperoleh dari kuda yang didiagnosis menderita laminitis pada satu atau keempat kakinya dari berbagai stable di daerah Bogor dan Jakarta. Posisi pengambilan radiograf dilakukan pada posisi lateromedial dengan menempatkan cassette film di bagian medial kaki dan sinar-x diletakan sejajar dengan sudut 90° atau tegak lurus terhadap kaki. Pengambilan radiograf pada posisi lateromedial menggunakan nilai kVp (kilovoltage peak) sebesar 70, mAs (milliamperage second) 1,0 dan FFD (focal spot film distance) 70 cm dengan panjang gelombang sinar-x berkisar antara 10 nm-100 pm.

(39)

stable, durasi terjadinya laminitis, penyebab laminitis dan anamnesa, gejala klinis, terapi, prognosis, serta keterangan.

3.3.2 Pencucian film

Setelah melakukan pengambilan radiograf, film dicuci dengan cara manual. Tahapan pencucian film dimulai dengan memasukkan film pada larutan developer selama 3-5 menit, fungsi dari larutan tersebut adalah mengubah ion perak bromida dalam kristal menjadi logam perak. Tahapan selanjutnya memasukkan film ke dalam larutan fixer dalam waktu 2 kali waktu pencucian pada larutan developer, fungsinya adalah mengubah kristal bromida menjadi tidak berkembang lagi dan menyingkirkan senyawa perak yang tidak tersinari. Pencucian selanjutnya dengan menggunakan larutan washer yang berfungsi membersihkan dari kelebihan atau sisa-sisa perak bromida pada film dengan waktu pencucian 30-40 menit dan selanjutnya film dikeringkan.

3.3.3 Analisis Sampel

Pembacaan radiograf dilakukan di Laboratorium Bedah dan Radiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan menggunakan illuminator. Tujuan pembacaan radiograf tersebut agar memperoleh informasi mengenai tingkat keparahan yang dialami oleh kuda penderita laminitis pada setiap kakinya.

Radiograf yang akan dianalisis digantung pada illuminator sesuai prosedur standar. Kondisi lingkungan mempengaruhi proses pembacaan film, seperti pencahayaan yang cukup dari lampu illuminator, mengurangi cahaya ruangan yang tidak perlu dan memfokuskan pengamatan pada titik tertentu. Analisis radiograf dimulai dengan pencatatan tanggal pengambilan radiograf dan keterangan lain yang menunjang seperti kVp (kilovolt peak), mAs (milliampere second), dan FFD (Focus Film Distance) (Floyd & Mansmann 2007).

(40)

pemeriksaan klinis kuda, radiograf, dan sejarah keseluruhan kasus laminitis yang terjadi.

[image:40.612.134.510.247.417.2]

Menurut Floyd (2007a), terdapat indikator radiografi yang digunakan untuk menentukan tingkat keparahan laminitis yang diderita, diantaranya sudut palmar (palmar angle), lebar zona H-L (horn lamellar zone width), jarak extensor process-coronary band (EP–CB), tebal sole terhadap tip dan wings dari os phalanx III, seperti pada Tabel 1 dan Gambar 7.

Tabel 1 Pembagian tingkat keparahan laminitis berdasarkan pemeriksaan radiografi

Indikator Radiografi

Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV Nilai normal PA (°) 5-9 10-14 ≥15 >15, sering

20-30

3-5

Lebar zona H-L (mm)

±16/20 ±20/25 ±25/30 ±25/30 disertai rotasi 15-19 Jarak EP-CB (mm) Dalam batas normal

±15-16 ±16-30 ≥30 ±14

SDT/SDW (mm) 20/23 SDT menurun (±10-12) SDW meningkat SDT menurun tajam SDW meningkat tajam

SDT ≤0 jika P3 menembus sole

20/23

CB: coronary band, EP: extensor process, H-L: horn-lamellar, PA: palmar angle, P3: os phalanx III; SDT: sole depth at tip dari P3, SDW: sole depth at wings dari P3 Sumber: Floyd (2007a)

Gambar 8 Indikator radiografi dalam pembagian tingkat keparahan laminitis (Sumber: Floyd & Mansmann 2007).

Besar PA (palmar angle), Lebar zona H-L (horn-lamellar), Jarak EP-CB (extensor process-coronary band), SDT (sole depth at tip dari P3),

[image:40.612.200.437.456.606.2]
(41)

Radiograf yang dibaca (n=19) berasal dari enam ekor kuda yang diperoleh dari berbagai stable. Pengambilan radiograf dan pembacaan radiograf tidak dilakukan pada semua kaki dari setiap kuda. Hal tersebut karena anamnesa kejadian laminitis yang berbeda-beda, pada beberapa kuda hanya menderita laminitis pada satu kaki atau dua kaki. Radiograf yang diperoleh kemudian dibaca dengan melakukan pengukuran terhadap indikator radiografi secara manual.

Menurut Floyd (2007a), besar PA (palmar angle) adalah besar sudut yang dibentuk oleh os phalanx III pada bagian heels dengan sole, sedangkan lebar zona H-L (horn lamellar) diukur jarak dari permukaan bagian dorsal os phalanx III dengan permukaan luar dinding kuku bagian dorsal meliputi jaringan tipis (laminae). Lebar zona H-L diukur pada dua tempat yaitu pada bagian dorsal dari processus extensorius os phalanx III dan pada bagian dorsal-distal ujung os phalanx III, dalam keadaan normal nilai lebar zona H-L (horn lamellar) adalah 15-19 mm. Menurut Pollitt (2001), kuda dengan berat badan sekitar 400-450 kg jarak dari os phalanx III dengan dinding kuku atau lebar zona H-L (horn lamellar) sekitar 15-17 mm.

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Diagnosis Kasus Laminitis berdasarkan Klinis dan Penyebab

Laminitis

[image:42.612.103.494.382.639.2]

Kuda yang didiagnosis menderita laminitis terdiri atas tiga ekor kuda betina dan tiga ekor kuda jantan. Kuda betina terdiri atas Kuda I, Kuda II, dan Kuda III, sedangkan kuda jantan terdiri atas Kuda IV, Kuda V, dan Kuda VI. Kuda I didiagnosis menderita laminitis pada kedua kakinya, Kuda II, III,V, dan VI didiagnosis menderita laminitis pada keempat kakinya, sedangkan Kuda IV didiagnosis menderita laminitis pada satu kakinya. Parameter pemeriksaan klinis berdasarkan pada panas di kaki, pincang, posisi tubuh/berdiri, kondisi tubuh dan gejala klinis lain yang timbul. Hasil pemeriksaan klinis dari keenam kuda terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemeriksaan klinis terhadap kuda yang didiagnosis menderita laminitis

Kuda

Gejala Klinis Pincang Posisi

tubuh/berdiri

Kondisi tubuh Gejala klinis lain yang terlihat

I ++ Berdiri dengan

satu kaki lebih ke depan

Gemuk -

II +++ Berbaring Kurus -

III ++++ Posisi berdiri khas Kurus Urin berwarna merah Diare

IV + Berdiri dengan

satu kaki lebih ke depan

Medium -

V ++ Posisi berdiri

dengan satu kaki lebih ke depan dan

kadang-kadang berbaring

Gemuk -

VI ++++ Berbaring Posisi berdiri khas dengan kedua kaki depan lebih ke

depan

Kurus Diare

+: ringan, ++: sedang, +++: parah, ++++: sangat parah

(43)

walaupun dengan menggunakan tumit (heel) (Pollitt 2008). Gejala klinis lain terhadap kuda yang menderita laminitis adalah panas pada dorsal permukaan dinding kuku, peningkatan pulsus digitalis, peka terhadap pengujian pada kuku, pembengkakan coronary band, dan perubahan posisi berdiri. Gejala klinis yang parah dapat diikuti dengan rotasi dan menembusnya os phalanx III ke bagian sole (Stokes et al. 2004).

[image:43.612.123.509.421.579.2]

Faktor penyebab terjadinya laminitis berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada keenam ekor kuda dapat dikelompokkan sebagai akibat dari: 1) gangguan metabolik (metabolic syndrome); 2) trauma; 3) perawatan yang kurang baik, serta 4) nutrisi (Tabel 3). Kellon (2007) mengemukakan bahwa kuda yang menderita laminitis pada keempat kakinya dikarenakan gangguan metabolik, sedangkan yang menderita laminitis pada satu atau kedua kakinya disebabkan penyakit lain selain dari gangguan metabolik. Menurut Frank et al. (2010) metabolic syndrome atau Equine Metabolic Syndrome (EMS) adalah gangguan kompleks dengan komponen utama terdiri atas peningkatan adiposity, IR (Insulin Resistence), dan laminitis.

Tabel 3 Faktor penyebab terjadinya laminitis Kuda Durasi penanganan

laminitis

Penyebab dan predisposisi

I 6 bulan Sole pressure dan peladaman/sole hemaatoma Over feeding/over weight

II 8 bulan Metabolic syndrome (retained placenta) Metritis

III 6 bulan Metabolic syndrome (Post kolik/diare hebat) Endotoxemia

IV 3 bulan Over feeding/over weight Sole hematoma, stone brush V 1,5 tahun Over feeding/over weight

Sole hematoma

VI 4 bulan Metabolic syndrome (Post kolik) Endotoxemia

(44)

terganggu sampai terjadi hemolisis yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya laminitis. Laminitis yang terjadi pada kuda betina akibat retained placenta juga diyakini sebagian besar akibat proliferasi bakteri gram negatif dalam placenta yang kemudian terjadi endotoxemia (Kellon 2007).

Kuda II didiagnosis menderita laminitis selama kurang lebih 8 bulan, gejala klinis yang terlihat selama kuda tersebut menderita laminitis yaitu selalu berbaring, terjadi perubahan struktur pada bagian telapak kaki (sole) menjadi lebih cembung (convex sole), serta mengalami kekurusan karena nafsu makan berkurang. Laminitis yang terjadi pada Kuda II karena kuda tersebut menderita metritis yaitu penyakit nonsistemik bakterial pada saluran reproduksi kuda. Infeksi bakteri tersebut akibat acute endometritis, vaginitis, cervicitis yang berlangsung secara bersamaan dan mengeluarkan cairan mucopurulent vaginal discharge dalam jumlah sedikit maupun dalam jumlah banyak (Timoney 2011).

Kolik adalah gangguan pencernaan yang sering terjadi pada kuda dan bukan suatu penyakit tetapi gejala umum yang berasal dari nyeri di daerah abdominal (Foreman 2004). Menurut Cohen & Gibbs (1999) kolik sangat penting karena menjadi salah satu penyebab kematian pada kuda. Laminitis yang terjadi pada Kuda III dan Kuda VI diakibatkan kolik yang disertai dengan diare hebat yang selanjutnya mengakibatkan endotoxemia dalam tubuh kuda tersebut. Endotoxemia yang terjadi pada kuda dewasa dapat dipengaruhi oleh gangguan pada saluran pencernaan seperti radang usus dan ischemia akibat infeksi bakteri pada rongga pleura dan peritoneum (Moore 2005).

(45)

Laminitis yang diderita oleh kuda I, IV, dan V terjadi akibat trauma dan nutrisi karena pemberian grain (biji-bijian) yang terlalu tinggi. Selain itu, pada Kuda I diikuti dengan kelainan konformasi dari struktur kaki low heel (tumit yang terlalu rendah) dan flat sole. Gejala klinis yang terlihat pada Kuda I yaitu recurrent lameness, keadaan ini kuda akan mengalami kepincangan yang berulang dan terus menerus, dan sakit disertai panas pada bagian kuku saat dilakukan palpasi dan manipulasi.

Tumit (heel bulbs) adalah bagian kuku yang akan mengalami kontak pertama kali dengan tanah sehingga berat tubuh akan menumpu pada bagian ini. Bagian tumit yang terlalu rendah (low heel) mempercepat kaki mencapai tanah sehingga berat tubuh akan ditransfer ke bagian sole. Bagian dalam sole juga terdapat banyak pembuluh darah dan saraf yang apabila terlalu banyak mengalami tekanan karena menopang berat tubuh akan menyebabkan terjadinya gangguan suplai darah dan oksigen. Hal tersebut yang dapat menjadi faktor pendukung terjadinya laminitis (Bergsten 2003).

Kuda I, Kuda IV dan Kuda V menderita laminitis akibat trauma karena adanya kesalahan pada saat penapalan. Gejala klinis yang ditampilkan dari keadaan tersebut yaitu recurrent lameness dan sakit yang disertai panas pada bagian kuku saat dilakukan palpasi dan manipulasi. Menurut Bergsten (2003), kesalahan pada saat penapalan sering disertai dengan kesalahan pemotongan kuku atau saat kuku dibersihkan. Kesalahan tersebut dapat mengakibatkan peradangan pada daerah corium hingga terjadi edema dan pendarahan. Pendarahan pada corium akan terus berkembang hingga mencapai tanduk kuku (horn capsule) yang selanjutnya membentuk ulkus pada telapak kaki, white line pada dinding luar kuku, dan area toe. Perubahan posisi tulang dapat terjadi akibat ulkus dan pendarahan pada telapak kaki tersebut, dan terkadang membentuk cincin laminitic saat terjadi gangguan pertumbuhan tanduk kuku berikutnya.

(46)

dalam sekum menyebabkan proliferasi bakteri gram positif yang memproduksi asam laktat dan terjadi peningkatan keasaman (asidosis) (Mallem et al. 2003; Bailey et al. 2003). Menurut Ross dan Williams (2005), konsumsi grain (bji-bijian) dalam jumlah banyak dapat menghasilkan konsentrasi pati yang tinggi dan proliferasi bakteri di hindgut seperti Streptococcus bovis, Streptococcus dan Lactobacillus spp equines. Bakteri tersebut tidak hanya menurunkan pH usus, tetapi juga membunuh bakteri menguntungkan dalam usus.

Menurut Pollitt (2008), keadaan tersebut membunuh dan melisiskan sebagian besar bakteri sehingga mengakibatkan pengeluaran toksin yang berasal dari dinding sel dan material genetik dari bakteri tersebut (endotoksin, eksotoksin, microbial DNA). Permeabilitas usus meningkat akibat iritasi lapisan usus oleh keasaman yang tinggi, kemudian menyebabkan endotoksin dan eksotoksin akan diserap ke dalam darah. Endotoxemia dalam sirkulasi sangat menggangu terutama di bagian ekstremitas dan dapat menyebabkan laminitis (Pollitt & Visser 2010; Tóth et al. 2009).

4.2 Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis berdasarkan Interpretasi

Radiograf

Pollitt (2001) menyatakan bahwa pembagian grade (tingkat) keparahan laminitis berawal pada tahun 1948 dicetuskan oleh Nils Obel seorang dokter hewan yang berasal dari Swedia. Pembagian tersebut berdasarkan kaitan antara kepincangan dengan keparahan yang terlihat secara klinis. Kuda dengan grade (tingkat) I ditandai dengan menopang berat badan pada satu kaki dan bergantian ke kaki lainnya, tetapi kuda masih dapat bergerak bebas. Grade (tingkat) II kepincangan jelas terlihat terutama saat berputar dan menyeret saat berjalan. Pada grade (tingkat) III kuda tidak mau bergerak dan menolak saat kaki diangkat karena rasa sakit yang diderita. Grade (tingkat) IV merupakan tingkatan paling parah yakni kuda lebih sering berbaring, tidak mau bergerak maupun berjalan.

(47)

phalanx III sebesar 5°-10° dan grade (tingkat) IV rotasi os phalanx III lebih dari 10° dan disertai penetrasi os phalanx III ke bagian sole. Menurut Floyd (2007a) banyak sistem yang digunakan untuk menentukan grade (tingkat) keparahan laminitis. Akan tetapi, sistem yang banyak digunakan pada saat ini merupakan gabungan dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiograf, dan venogram untuk melihat keparahan laminitis. Penentuan tingkat keparahan laminitis berdasarkan hasil pemeriksaan radiograf terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pemeriksaan radiograf dan penentuan tingkat keparahan laminitis Kuda Posisi

Kaki

PA

(°)

Lebar Zona H-L (mm) Jarak EP-CB (mm) SDT/SDW (mm) Tingkat

I RF 5 21/25 20 14/25 I

LF 10 21/22 19 15/30 II

II RF 12 22/39 20 1/30 II

LF 17 28/35 18 1/38 III

RH 11 20/21 15 20/23 II

LH 8 18/21 16 20/20 I

III RF 5 23/24 20 1/10 I

LF 9 25/28 25 4/11 I

RH 8 31/32 23 3/17 I

LH 9 25/27 25 3/15 I

IV LF 14 25/32 22 16/40 III

V RF 12 24/27 17 4/20 II

LF 9 16/17 17 11/13 I

RH 6 19/19 20 4/10 I

LH 8 16/17 15 8/26 I

VI RF 28 36/46 5 22/54 IV

LF 55 50/60 30 0/45 IV

RH 11 20/26 19 8/22 II

LH 10 22/28 17 18/30 II

Nilai normal* 3-5 15-19 ±14 20/23

CB: coronary band, EP: extensor process, H-L: horn-lamellar, LF: left fore, LH: left hind, RF: right fore, RH: right hind, PA: palmar angle, P3: os phalanx III; SDT: sole depth at tip dari P3, SDW: sole depth at wings dari P3 *(Floyd 2007a).

(48)
[image:48.612.117.513.156.312.2]

Gambaran perubahan yang terjadi pada tiap kaki dari setiap kuda terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Gambaran perubahan jaringan antara os phalanx III dan permukaan wall

Kuda

Perubahan jaringan antara os phalanx III dan permukaan wall

Keterangan RF LF RH LH

I + + - - -

II + + + + Gas terlihat di antara wall dan corium pada bagian tip os phalanx III (LF, RH, LH) III + + + + Gas terlihat di antara wall dan corium (RF.

LF, RH)

IV + - - - Gas terlihat di antara wall dan corium

V + + + + -

VI + + + + Gas terlihat di antara wall dan corium (RF, LF, LH)

Rotasi dan penetrasi os phalanx III (LF) LF: left fore, LH: left hind, RF: right fore, RH: right hind

+:ada perubahan, - : tidak ada perubahan

Menurut Farrow (2006), pengambilan radiograf dari sisi lateral (lateral view) dapat menggambarkan keparahan rotasi os phalanx III dengan melihat hubungan antara os phalanx III dengan dinding kuku. Keparahan yang terlihat berupa degenarasi kaki akibat laminitis dan terlepas/bergesernya os phalanx III dari posisi normal.

Floyd (2007a) menyatakan keparahan rotasi menjadi indikasi penentuan grade (tingkat) keparahan laminitis. Radiograf kuda dengan grade (tingkat) I adalah terbentuknya garis halus berwarna lebih hitam (lucent) terbatas pada permukaan dorsal os phalanx III. Grade (tingkat) II terbentuknya garis halus berwarna lebih hitam (lucent) yang lebih luas daripada tingkat I dan garis halus tersebut terdapat di distal dan ujung bawah os phalanx III. Grade (tingkat) III terlihat disorganisasi laminae dorsalis dengan corium disertai peningkatan warna kehitaman pada kedua daerah tersebut, sedangkan radiograf pada grade (tingkat) IV terjadi rotasi cranial yang ditandai dengan warna lebih hitam di sepanjang permukaan dorsal dan distal os phalanx III dan lebih luas pada bagian distal, juga disertai menembusnya os phalanx III ke bagian sole.

(49)

(atmospheric contamination) oleh penetrasi os phalanx III yang menembus sole atau oleh drainage pada bagian coronary band. Pendapat lain menyatakan bahwa gas tersebut dapat dilepaskan dari hemoglobin sekunder untuk disintegrasi sel darah merah sebagai suplai daerah ekstremitas. Selain itu, laminitis dapat mempengaruhi konstruksi dari dinding kuku, permukaan dinding kuku akan terlihat bergelombang dan jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut menggunakan venogram akan terlihat kerusakan pada pembuluh darah di bagian dalam (Farrow 2006).

(50)

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Kasus laminitis dapat didiagnosis berdasarkan anamnesa/penyebab kejadian laminitis, gejala klinis, dan pemeriksaan radiografi. Berdasarkan anamnesa/penyebab laminitis kuda yang digunakan dalam penelitian ini menderita laminitis karena gangguan metabolik, trauma, perawatan yang kurang tepat, dan nutrisi. Derajat keparahan laminitis yang diderita oleh masing-masing kuda terlihat dari hasil pemeriksaan radiografi. Berdasarkan radiograf masing-masing kuda, laminitis dengan derajat keparahan tingkat I, II, dan III sudah disertai dengan rotasi os phalanx III tanpa menembusnya os phalanx III, sedangkan derajat keparahan tingkat IV disertai dengan rotasi hebat os phalanx III serta menembusnya os phalanx III ke bagian sole.

5.2 Saran

Diagnosis radiografi laminitis sangat membantu dalam menentukan tingkat keparahan laminitis, sehingga perlu dilakukan radiografi lanjutan untuk memonitor penyakit tersebut selama proses terapi berlangsung.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander P. January 2002. Extracellular matrix protease and proteins technical guide. CN biosciences vol 2.

Bailey SR, Marr CM, Elliott J. 2003. Identification and quantification of amines in the equine cecum. Res Vet Sci 74:1132-1138.

Belknap JK. 2010. Black walnut extract: an inflammatory model. Vet Clin North Am Equine Pract 26(1):95-101.

Bergsten C. 2003. Causes, risk factors, and revention of laminitis and related claw lesions. Acta Vet Scand Suppl 98:157-166.

Black SJ, Lunn DP, Yin C, Hwang M, Lenz SD, Belknap JK. 2006. Leukocyte emigration in the early stages of laminitis. Vet Immunol Immunopathol 109,161-166.

Brezoen A, Van HW, Hanekamp JC. 1999. Emergence of a debate AGPs and Public Health Human Health and Antibiotic Growth Promoters (AGPs): Reassessing the risk. Heidel App Nederl Found 131 pp.

Budino FEL, Thomaz MC, Kronka N, Nakaghi LSO, Tucci FM, Fraga AL, Scandolera AJ, Huaynate RAR. 2005. Effect of probiotic and prebiotic inclusion in weaned piglet diets on structure and ultra-structure of small intestine. Braz Arch Biol Technol 6:921–929.

Budras K-L, Sack WO, Röck S. 2009. Anatomy of the Horse. Germany: Schlütersche Verlagsgesellschaft hlm 4, 26.

Cohen N, Gibbs P. 1999. Dietary and other management factors associated with equine colic. Am Ass Equine Pract 45:96–98.

Collins SN, Pollitt C, Wylie CE, Matiasek K. 2010. Laminitic pain: parallels with pain states in humans and other species. Vet Clin North Am Equine Pract 26(3):643-71.

Coondoo A. 2011. Cytokines in dermatology a basic overview. Indian J Dermatol 56(4).

Cramer P. 2006. History of bloodletting. TuftScope Vol 5.

(52)

Edwards GB. 1973. Anatomy and Conformation of the Horse. Madison: Dreenan Press.

Estep DQ. 2006. Interactions with horse and human-animal bond. Di dalam: Bertone JJ. Equine Geriatric and Medicine Surgery. British: Saunders Elsevier hlm 9-10.

Farrow CS. 2006. Veterinary Diagnostic Imaging: The Horse. Missouri: Mosby Elsevier hlm 36-42.

Floyd AE, Mansmann RA. 2007. Equine Podiatry. British: Saunders Elsevier hlm 6, 321, 326.

Floyd AE. 2007a. Grading the laminitic horse. Di dalam: Floyd AE, Mansmann RA. Equine Podiatry. British: Saunders Elsevier hlm 320-327.

Floyd AE. 2007b. An approach to the treatment of the laminitic horse. Di dalam: Floyd AE, Mansmann RA. Equine Podiatry. British: Saunders Elsevier hlm 347-358.

Foor D. 2007. Balancing and shoeing the equine foot. Di dalam: Floyd AE, Mansmann RA. Equine Podiatry. British: Saunders Elsevier hlm 379, 389. Foreman JH. 2004. Abdominal distention. Di dalam: Reed SM

Gambar

Gambar 1 Anatomi kuku kuda (Sumber: Floyd & Mansmann 2007).
Gambar 2 Struktur internal kuku kuda (Sumber: Pollitt 2001).
Gambar 3 Radiograf founder (Laminitis Kronis) yang diikuti rotasi os phalanx III (Sumber: Farrow 2006)
Gambar 4 Posisi berdiri kuda penderita laminitis A. Laminitis pada kedua kaki depan (Sumber: Pollitt 2008), B
+7

Referensi

Dokumen terkait