• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK SEKUNDER TIGA RODENTISIDA ANTIKOAGULAN

TERHADAP BURUNG HANTU CELEPUK

(Otus lempiji Horsfield)

ARDIANA MARTADITA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (O. lempiji Horsfield) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Febuari 2013

Ardiana Martadita

(3)

ABSTRAK

ARDIANA MARTADITA. Efek Sekunder Tiga Jenis Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus merupakan salah satu hama penting di perkebunan kelapa sawit. Hama ini sering dikendalikan dengan rodentisida. Alternatif pengendalian adalah dengan musuh alami, khususnya burung hantu celepuk. Penelitian ini bertujuan menguji efek sekunder tiga rodentisida antikoagulan terhadap burung hantu celepuk (O. lempiji). Metode yang digunakan adalah uji tanpa pilihan (no-choice test) yakni pemberian umpan kepada tikus dan burung hantu celepuk tanpa memberikan alternatif umpan lain. Dengan demikian tikus dan burung hantu celepuk tidak mempunyai pilihan umpan lain untuk dikonsumsi. Rodentisida yang digunakan memiliki bahan aktif yang berbeda yakni flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih beracun selalu mengalami penurunan. Burung hantu celepuk yang mati disebabkan oleh racun yang terakumulasi di dalam tubuhnya, dan setiap burung hantu celepuk yang mati memiliki dosis letal yang berbeda. Berdasarkan pengujian ada tiga burung hantu celepuk yang mati pada setiap rodentisida. Burung yang mati mengonsumsi rodentisida flokumafen sebesar 28.838 mg/kg, bromadiolon 20.873 mg/kg. dan brodifakum 23.675 mg/kg.

Kata kunci: Tikus putih, burung hantu celepuk, flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum

ABSTRACT

ARDIANA MARTADITA. Secondary Effects of Three Types of Anticoagulant Rodenticides to the scops owls (Otus lempiji Horsfield). Superviced by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Rat is one of the important pests in oil palm plantation. These pests are controlled by rodenticides. An alternative control is natural enemies, especially owls. This study aims to examine the secondary effects of three types of anticoagulant rodenticides to scops owls (O. lempiji). The method used is a test with no options (no-choice test) by providing feed as bait to rats and owls without providing another alternative bait. Thus, rats and scops owls do not have another choice bait for consumption. The rodenticides used have some different active ingredients such as flocoumafen, bromadiolone, and brodifacoum. The test results showed that the scops owls consumption to white poisonous rat is always decreasing. The scops owl died due to the toxins that were accumulated in the body, and every dead owls has different lethal doses. Based on the test, there are three dead owls on each rodenticides. The dead birds consumed rodenticide flocoumafen at 28,838 mg/kg, bromadiolone 20,873 mg/kg and brodifacoum 23,675 mg/kg.

(4)

EFEK SEKUNDER TIGA RODENTISIDA ANTIKOAGULAN

TERHADAP BURUNG HANTU CELEPUK

(Otus lempiji Horsfield)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian

Pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul Penelitian : Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield)

Nama Mahasiswa: Ardiana Martadita

NIM : A34090040

Disetujui oleh

Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih,M.Si Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September hingga November 2012 dengan judul Efek Sekunder Tiga Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi, bapak Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr sebagai dosen penguji tamu dan Ibu Endang Sri Ratna Ph.D selaku dosen pembimbing akademik. Tidak lupa pula terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Irham dan Bapak Parno yang telah membantu penulis dalam membantu penelitian identifikasi di LIPI dan Bapak Soban yang telah membantu penelitian di Laboraorium Vertebrata Hama. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibunda tercinta Yenita, Ayahanda Siswadi, Adinda Lia serta seluruh keluarga besar penulis, dan teman-teman tersayang Royhani, Lisa, Meyta, dan Desi atas bantuan moril maupun materil yang sudah diberikan kepada penulis.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Bogor, Febuari 2013

(7)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

BAHAN DAN METODE 3

Tempat dan Waktu 3

Bahan dan Alat 3

Metode Penelitian 4

Persiapan Hewan Uji 4

Identifikasi Burung Hantu Celepuk 4

Persiapan Rodentisida 5

Pengujian Rodentisida 5

Pengujian Lama Pemberian Tikus Beracun terhadap Burung Hantu

Celepuk 5

Pemberian Tikus sebagai Umpan Burung Hantu Celepuk Pasca

Perlakuan 6

Konversi Umpan 6

Peubah yang Diamati 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Identifikasi Burung Hantu Celepuk 7

Uji Pendahuluan 7

Tingkat Konsumsi Putih terhadap Tiga Rodentisida dengan Bahan

aktif yang berbeda 7

Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih yang

Mengonsumsi Rodentisida 10

Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tiga Rodentisida

Antikoagulan dan Keadaan Setelah Perlakluan 12

Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih Saat

Perlakuan dan Pasca Perlakuan 14

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 17

LAMPIRAN 19

(8)

DAFTAR TABEL

1 Konsumsi total tikus putih terhadap tiga jenis rodentisida antikoagulan 8 2 Konsumsi rerata tikus putih terhadap tiga jenis rodentisida antikoagulan 8 3 Konsumsi total burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang

mengonsumsi rodentisida antikoagulan 10

4 Konsumsi rerata burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang

mengonsumsi rodentisida antikoagulan 10

5 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan 12 6 Konsumsi setiap individu burung hantu celepuk terhadap rodentisida

antikoagulan dan keadaan setelah perlakuan 13

7 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dan

pasca perlakuan 15

DAFTAR GAMBAR

1 Burung hantu celepuk 3

2 Tikus putih 3

3 Rodentisida 3

4 Timbangan digital 3

5 Kurungan tikus 4

6 Kurungan burung hantu 4

7 Burung hantu celepuk yang mati 14

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan dua hari 20 2 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan dua hari 21 3 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan dua hari 22 4 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan tiga hari 23 5 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan tiga hari 24 6 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan tiga hari 25 7 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan empat hari 26 8 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan empat hari 27 9 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu

(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 29 Maret 1991 sebagai anak sulung dari pasangan Bapak Siswadi dan Ibu Yenita. Penulis menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Rembang pada tahun 2009, kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2013.

(11)

Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang penting di Indonesia karena hasilnya yang sangat menguntungkan. Tanaman ini termasuk ke dalam tanaman perkebunan yang strategis karena multifungsi sebagai bahan dasar makanan seperti minyak goreng, tidak hanya untuk minyak makan dan oleokimia, tapi juga sebagai energi. Menurut Kiswanto et al. (2008), permasalahan umum yang dihadapi dalam perkebunan antara lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Produktivitas kebun sawit rakyat rata-rata 16 ton tandan buah segar (TBS) per ha, sementara potensi produksi bila menggunakan bibit unggul sawit bisa mencapai 30 ton TBS/ha. Produktivitas CPO (Crude Palm Oil) perkebunan rakyat hanya mencapai rata-rata 2.5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per ha, sementara di perkebunan negara rata-rata menghasilkan 4.82 ton CPO per hektar dan 0.91 ton PKO per hektar, dan perkebunan swasta rata-rata menghasilkan 3.48 ton CPO per hektar dan 0.57 ton PKO per hektar.

Produksi kelapa sawit menjadi bahan baku pembuatan CPO (crude palm oil) yang sangat dibutuhkan oleh perdagangan internasional. Menurut Menurut BPS (2012), total produksi CPO yang dihasilkan oleh kelapa sawit Indonesia sekitar 14 788 270 ton per tahun, namun rata-rata produksi CPO yang dihasilkan masih di bawah rata-rata produksi Malaysia. Salah satu kendala yang mempengaruhi rendahnya produksi kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus Miller yang dapat menyebabkan tanaman kelapa sawit rusak berat (Wood 1984).

Berdasarkan hasil analisis isi lambung tikus yang ditangkap di perkebunan kelapa sawit diketahui bahwa 80% berasal dari buah kelapa sawit dan 15% berasal dari serangga. Seekor R. tiomanicus dewasa mengonsumsi buah kelapa sawit 5.94–13.7 g/hari. Kehilangan minyak sawit mentah (MSM) berjumlah 327.96- 962.38 kg/ha/thn. Kerugian ini belum termasuk buah “brondolan” yang dibawa tikus ke tempat-tempat persembunyiannya. Tandan buah luka yang disebabkan oleh tikus dapat memacu meningkatnya kadar asam lemak bebas minyak sawit. Selain itu serangan tikus pada lokasi-lokasi pengembangan tertentu dapat mengakibatkan kematian tanaman muda sebesar 20-30% (Sipayung dan Lubis 1986).

Tikus merupakan hewan liar dari ordo Rodentia (hewan pengerat), kelas Mamalia (hewan menyusui) yang sering mengganggu dalam kehidupan manusia. Hewan ini bersifat omnivora, sering menimbulkan kerusakan dan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian, perkebunan, permukiman, dan kesehatan (Meehan 1984). Tikus pohon merupakan salah satu jenis tikus yang sering ditemukan di pepohonan terutama untuk pohon kelapa dan kelapa sawit.

(12)

dari tikus adalah ular, kucing, musang, anjing, dan burung hantu putih (Priyambodo 2009).

Burung hantu putih (T. alba) merupakan hewan predator yang sering digunakan untuk mengendalikan hama tikus di perkebunan. Burung predator ini mempunyai jenis makanan yang spesifik yaitu jenis-jenis tikus. Seekor burung dewasa mampu mengonsumsi tikus pohon sebanyak lima ekor per hari dan menangkap mangsanya lebih dari kebutuhannya. Hasil studi di Malaysia menunjukkan bahwa burung hantu putih mempunyai potensi yang besar sebagai pengendali hayati tikus (Sipayung dan Thohari 1994).

Burung predator lain yang dapat digunakan untuk musuh alami tikus adalah burung hantu celepuk. Burung hantu celepuk termasuk dalam ordo Strigiformes, famili Strigidae, subfamili Striginae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji

(Suhadi 2007). Pakan utama dari burung hantu celepuk ini terdiri dari serangga besar seperti kumbang besar, serangga ordo Orthoptera, Lepidoptera, dan Mantidae. Pakan lain dari burung hantu celepuk adalah burung pipit, anak burung yang masih di sarang, tikus, dan tokek (Marks, et al. 1999 dalam Lok, et al. 2009). Keistimewaan burung hantu celepuk dibandingkan burung hantu putih yaitu harganya yang lebih murah dan populasi di alam masih cukup melimpah.

Penelitian ini menggunakan tikus putih sebagai subtitusi tikus pohon. Tikus pohon sebagai hewan uji dalam penelitian ini cukup banyak ditemukan khususnya di perkebunan kelapa sawit, namun tikus pohon tidak bisa diperoleh dalam jumlah banyak pada saat tertentu. Masalah tersebut merupakan hambatan, oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan tikus putih untuk menggantikan tikus pohon sebagai hewan uji. Penggantian hewan uji tidak berpengaruh dalam penelitian karena pada dasarnya anatomi dan fisiologi kedua spesies tikus ini hampir sama.

Tikus putih sering digunakan penelitian karena mudah diperoleh di pasaran. Penggunaan rodentisida untuk mengendalikan tikus dapat terakumulasi dalam tubuh tikus, sehingga dapat membahayakan predator tikus di alam termasuk burung hantu celepuk. Jika rodentisida yang dikonsumsi tikus dapat membahayakan burung hantu, maka populasinya di alam akan semakin berkurang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek sekunder yang terjadi pada burung hantu celepuk setelah memakan tikus putih yang mengonsumsi tiga rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif yang berbeda. Ketiga rodentisida yang digunakan untuk penelitian ini yaitu berbahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum. Menurut Eadforth et al. (1996), rodentisida tersebut sering digunakan untuk mengendalikan tikus di permukiman dan lahan pertanian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji efek sekunder dari tiga rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum yang dikonsumsi oleh tikus sebagai mangsa burung hantu celepuk

Manfaat Penelitian

(13)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi burung hantu celepuk di Laboratorium Ornitologi (Zoologi), LIPI Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan September hingga November 2012.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji yaitu burung hantu celepuk (Gambar 1), tikus putih (Gambar 2), rodentisida bahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum masing-masing dengan konsentrasi 0.005% (Gambar 3). Selain itu digunakan mangkok kecil sebagai tempat pakan dan minum, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 4), kurungan tikus (Gambar 5), kurungan tunggal (single cage) yang di dalamnya terdapat kayu sebagai tempat bertengger burung hantu celepuk (Gambar 6), kawat untuk mengambil sisa makanan burung, serta plastik untuk menimbang burung hantu dan tikus.

Gambar 1 Burung hantu celepuk Gambar 2 Tikus putih

(14)

Gambar 5 Kurungan tikus Gambar 6 Kurungan burung hantu

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Newton et al. pada tahun 1996 di Eropa Selatan. Metode yang digunakan adalah metode tanpa pilihan (no choice test) yaitu pengujian burung hantu dengan pemberian umpan tikus putih yang telah mengonsumsi rodentisida pada masa perlakuan, dan pemberian umpan tikus putih yang mengonsumsi gabah untuk masa pemulihan. Burung hantu celepuk sebagai hewan uji tidak memiliki alternatif umpan lain. Ada tiga perlakuan yang digunakan dalam pengujian ini yaitu pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida selama dua hari, tiga hari dan empat hari. Setelah perlakuan, burung hantu celepuk mengalami masa pemulihan selama tiga belas hari. Pengujian ini menggunakan lima kali ulangan untuk rodentisida berbahan aktif flokumafen dan bromadiolon serta empat kali ulangan untuk rodentisida berbahan aktif brodifakum.

Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dan burung hantu celepuk yang diperoleh dari pasar burung di Jakarta Selatan. Pada pengujian ini digunakan 126 ekor tikus putih untuk perlakuan rodentisida, dan 630 ekor untuk masa pemulihan sedangkan burung hantu celepuk yang digunakan ada 16 ekor. Dalam penelitian hanya ada 14 ekor burung hantu celepuk yang diuji karena dua ekor burung hantu celepuk yang lain mati sebelum perlakuan. Bobot tubuh tikus putih yang digunakan untuk pengujian berkisar antara 20-30 g.

Burung hantu celepuk yang mengalami perlakuan ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot awalnya. Setelah itu, burung hantu dimasukkan pada kurungan tunggal (single cage). Setiap kurungan hanya untuk satu burung dan di dalam kurungan tersebut ada kayu yang digunakan untuk bertengger. Pada setiap kurungan diberi label sebagai penanda dan mempermudah dalam melakukan pengujian.

Identifikasi Burung Hantu Celepuk

(15)

Proses identifikasi dilakukan dengan mengamati dan mengukur morfologi burung hantu celepuk.

Persiapan Rodentisida

Pengujian ini menggunakan tiga rodentisida dengan bahan aktif yang berbeda, yaitu flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum dengan konsentrasi masing-masing 0.005%. Rodentisida yang digunakan untuk pengujian merupakan rodentisida siap pakai yang berbentuk blok berwarna biru. Setiap hari 4 atau sekitar 12 g rodentisida diberikan kepada tikus putih dan ditimbang dengan menggunakan timbangan elektronik.

Pengujian Rodentisida

Pengujian pertama yaitu pemberian rodentisida sebagai umpan tikus putih yang mengalami perlakuan. Pada pengujian ini, tikus putih diberi rodentisida. Rodentisida yang diberikan merupakan antikoagulan berbahan aktif flokumafen dan bromadiolon yang diberikan kepada lima ekor tikus putih, sedangkan untuk rodentisida berbahan aktif brodifakum diberikan kepada empat ekor tikus putih. Selama masa pengujian ini, tikus putih hanya diberi rodentisida selama dua hari berturut-turut. Pemberian rodentisida selama dua hari ini berlaku untuk semua jenis rodentisida (flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum).

Rodentisida diberikan selama 2 x 24 jam dan dihitung jumlah konsumsinya. Konsumsi tikus putih terhadap rodentisida didasarkan pada jumlah rodentisida yang diberikan sekitar 12 g dikurangi dengan sisa rodentisida yang tidak dikonsumsi. Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dihitung bobot awal dan akhirnya, lalu diberi label untuk mempermudah dalam pengujian.

Pengujian Lama Pemberian Tikus Beracun terhadap Burung Hantu Celepuk Tikus yang sudah mengonsumsi racun digunakan sebagai umpan untuk burung hantu celepuk. Perlakuan yang diberikan pada burung hantu adalah lama pemberian tikus beracun yaitu dua, tiga, dan empat hari. Perlakuan dua hari artinya selama dua hari burung hantu diberi tikus putih yang telah memakan racun masing-masing sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan tiga hari, selama tiga hari burung hantu celepuk diberi makan tikus putih yang telah memakan racun sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan empat hari, selama empat hari burung hantu celepuk diberi tikus putih yang telah makan racun sebanyak dua hari pemberian. Antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain, burung hantu celepuk mengalami masa pemulihan selama 13 hari. Pada pemulihan tersebut burung hantu celepuk diberi umpan berupa tikus putih yang mengonsumsi gabah secara melimpah (ad libitum).

(16)

Sebelum pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida kepada burung hantu, maka tikus putih dimatikan terlebih dahulu. Tikus dimatikan dengan menggunakan kloroform, kemudian tubuh tikus putih dibelah dengan tujuan agar bau kloroform cepat menguap. Tikus putih yang sudah terbelah dibiarkan beberapa jam terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan dicatat bobot tubuhnya lalu diberikan kepada burung hantu. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap jumlah tikus putih yang dikonsumsi oleh burung hantu celepuk dengan cara mengurangi bobot tikus putih yang diberikan pada burung hantu celepuk dengan sisa tikus putih yang tidak dimakan atau tidak dapat dicerna.

Pemberian Tikus sebagai Umpan Burung Hantu Celepuk Pasca Perlakuan Burung hantu celepuk yang telah mengalami perlakuan mengalami masa pemulihan selama 13 hari dengan diberi makan tikus putih yang mengonsumsi gabah secara melimpah (ad libitum). Penggantian umpan burung hantu celepuk dengan tikus putih yang tidak mengonsumsi rodentisida bertujuan memberikan masa istirahat pada burung hantu celepuk sekaligus diamati efek sekunder burung hantu celepuk. Burung hantu celepuk yang tidak mati sampai masa pemulihan selesai, maka dianggap selamat (escape) dan dilanjutkan dengan perlakuan berikutnya.

Konversi Umpan

Semua data yang diperoleh dari pengujian tikus putih makan racun, burung hantu celepuk makan tikus putih racun, dan racun yang dikonsumsi burung hantu celepuk dikonversi terlebih dahulu terhadap 100 g bobot tikus putih dan burung hantu celepuk dengan rumus sebagai berikut :

Konversi umpan/ = Bobot umpan/rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100 rodentisida pada Rerata bobot tikus putih/ burung hantu (g) tikus putih/ burung

hantu celepuk (g)

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam pengujian ini adalah: (a) konsumsi tikus putih terhadap rodentisida, (b) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi rodentisida, (c) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih pada masa pemulihan selama tiga belas hari, (d) bobot tikus putih dan burung hantu celepuk sebelum dan sesudah perlakuan, dan (e) kematian burung hantu celepuk.

Analisis Data

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Burung Hantu Celepuk

Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Ornitologi, Zoologi LIPI Bogor. Seluruh burung hantu celepuk yang mengalami pengujian dibawa dan diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi dari burung hantu celepuk. Ciri-ciri burung hantu celepuk sebagai berikut : (a) tubuh burung hantu celepuk dari ujung kepala sampai ujung kaki sekitar 200 mm, (b) berwarna kecoklatan sampai abu-abu (c) berkas telinga panjang dan jelas (d) memiliki kerah di belakang leher berwarna pucat (e) tubuh bagian bawah lebih terang atau coklat atau abu-abu muda (f) terdapat bercak-bercak gelap berbentuk mata panah atau jajaran genjang (g) suara burung ketika dilakukan pengamtan di laboratorium vertebrata hama berbunyi “wuuup” dengan nada yang meninggi. Distribusi burung hantu celepuk ini adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Hasil identifikasi diperoleh bahwa semua burung hantu yang digunakan dalam pengujian yaitu burung hantu jenis Otus lempiji Horsfield. Burung hantu celepuk ini termasuk ke dalam dari kelas: Aves, ordo: Strigiformes, famili: Strigidae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji Horsfield. Identifikasi dilakukan dengan bantuan ahli burung dan mengacu kepada beberapa pustaka. Pustaka yang digunakan untuk identifikasi yaitu sebagai berikut Dickinson (2003), Del Hoyo et al. (1999), Konig et al. (1999), MacKinnon et al. (1992), dan Weick (2006).

Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan selama tiga hari dengan pemberian umpan tikus putih dengan bobot tubuh antara 20-30 g. Total keseluruhan burung yang diujikan ada 14 ekor. Semua burung hantu yang diujikan dalam kondisi sehat. Burung hantu celepuk yang sehat akan memakan umpan tikus tersebut dan tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Burung hantu celepuk yang telah melewati uji pendahuluan, dilanjutkan dengan uji perlakuan.

Setiap individu burung hantu celepuk memakan umpan berupa tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi rodentisida yang termakan dan lama kematian juga berbeda. Burung hantu celepuk yang telah memangsa tikus putih yang mengonsumsi rodentisida akan diamati efek sekundernya selama 13 hari. Apabila selama 13 hari tersebut tidak terjadi kematian, maka burung hantu tersebut dikatakan selamat (escape).

Tingkat Konsumsi Tikus Putih terhadap Tiga Rodentisida dengan Bahan Aktif yang Berbeda

(18)

Tabel 1 Konsumsi total tikus putih terhadap tiga rodentisida antikoagulan

Rodentisida Konsumsi pada perlakuan Jumlah

2 hari 3 hari 4 hari

(g/100 g bobot tubuh)

Flokumafen 22.56a 25.86a 24.82a 73.24

Bromadiolon 28.80a 32.37a 33.76a 94.93

Brodifakum 28.96a 31.33a 25.73a 85.11

Pr > F 0.085 0.058 0.027

a

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Selang Duncan pada taraf α=5%

Tabel 2 Konsumsi rerata tikus putih terhadap tiga rodentisida antikoagulan

Rodentisida Konsumsi pada perlakuan Rerata

2 hari 3 hari 4 hari berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5%

Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi tikus terhadap tiga jenis rodentisida dengan bahan aktif yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa konsumsi total tikus terhadap umpan rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon merupakan yang tertinggi (94.93 g), kemudian diikuti brodifakum sebesar (85.11 g) dan terakhir flokumafen (73.24 g). Hal ini menunjukkan bahwa tikus lebih menyukai rodentisida berbahan aktif bromadiolon daripada brodifakum dan flokumafen karena rodentisida bromadiolon memiliki bau yang lebih khas sehingga tikus putih lebih menyukai rodentisida ini.

Jumlah konsumsi tikus putih terhadap rodentisida berbahan aktif flokumafen pada perlakuan dua hari tidak berbeda nyata dengan dengan rodentisida berbahan aktif bromadiolon dan brodifakum, berdasarkan Uji Duncan α=5%. Brodifakum merupakan rodentisida yang paling banyak dikonsumsi oleh tikus putih yaitu (28.96 g), diikuti bromadiolon (28.80 g) dan yang paling rendah tingkat konsumsinya yaitu flokumafen (22.56 g).

Pengujian selanjutnya, yaitu perlakuan tiga hari tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Tingkat konsumsi tikus putih terhadap umpan beracun menunjukkan hasil yang sama. Konsumsi paling tinggi pada tikus yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon yaitu (32.37 g), kemudian diikuti brodifakum (31.33 g) dan terakhir flokumafen (25.86 g).

(19)

Tingkat konsumsi rodentisida yang paling disukai oleh tikus yaitu rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon dengan konsumsi rata-rata perlakuan sebesar 94.93 g. Semua jenis rodentisida yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bau yang berbeda, namun bau dari rodentisida bromadiolon lebih khas sehingga tikus putih lebih menyukai rodentisida ini. Rasa curiga tikus terhadap umpan beracun dengan bahan aktif flokumafen dan brodifakum menyebabkan konsumsi racun terhadap kedua jenis bahan aktif tersebut lebih sedikit daripada umpan beracun dengan bahan aktif bromadiolon.

Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus putih terhadap ketiga jenis rodentisida flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Rerata keseluruhan baik perlakuan dua hari, tiga hari, dan empat hari pada rodentisida berbahan aktif flokumafen (8.70 g). Tingkat konsumsi tikus putih terhadap rodentisida selalu mengalami penurunan dari perlakuan dua hari ke tiga hari, dan empat hari.

Tingkat rerata konsumsi tikus putih terhadap rodentisida bromadiolon sebesar 11.18 g. Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh (Priyambodo 2012 Desember 27, komunikasi pribadi), menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus pohon terhadap rodentisida bromadiolon A (5.79 g) dan bromadiolon B (3.95 g), sedangkan tingkat konsumsi rerata tikus rumah terhadap rodentisida bromadiolon C (11.01 g). Hasil data tersebut menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tikus putih lebih besar daripada tikus pohon. Hal ini diduga karena tikus putih tidak mengalami jera umpan sehingga mengonsumsi racun masih cukup tinggi. Berbeda dengan tikus pohon yang pernah mendapat perlakuan aplikasi racun, sehingga tikus pohon mengalami jera umpan dan mempengaruhi tingkat konsumsi terhadap racun.

Pengujian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh (Priyambodo 2012 Desember 27, komunikasi pribadi), terhadap racun dengan nama dagang yang berbeda dan konsentrasi serta bahan aktif yang sama menunjukkan hasil bahwa tikus pohon mengonsumsi rodentisida brodifakum A (8.57 g), brodifakum B (4.52 g), brodifakum C (7.49 g), dan brodifakum D (10.38 g). Tikus putih pada pengujian ini rata-rata mengonsumsi rodentisida berbahan aktif brodifakum sebanyak 10.45 g. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi tikus putih dan tikus hama yang mengonsumsi rodentisida berbahan aktif brodifakum D tidak berbeda jauh, namun memiliki perbedaan yang jauh dengan rodentisida brodifakum A, B, dan C. Rodentisida memiliki formulasi yang berbeda meskipun memiliki bahan aktif yang sama, sehingga tingkat konsumsi tikus juga berbeda.

Pada rodentisida flokumafen, tingkat rerata konsumsi tikus lebih kecil daripada rodentisida bromadiolon dan brodifakum yaitu (8.70 g). Pengujian yang dilakukan oleh (Priyambodo 2012 Desember 27, komunikasi pribadi), menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus rumah terhadap rodentisida flokumafen (7.43 g). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat rerata konsumsi tikus putih terhadap racun flokumafen lebih besar daripada tikus rumah. Namun perbedaan tingkat rerata konsumsi tikus putih dengan tikus rumah tidak berbeda jauh, selisih keduanya (1.27 g).

(20)

melalui umpan pendahuluan, sehingga mengalami jera umpan dan jera racun. Tikus hama sangat peka dan memiliki kecurigaan terhadap umpan beracun sehingga tingkat konsumsi tikus tersebut terhadap umpan beracun sangat rendah. Berbeda dengan tikus putih yang tidak pernah mengalami aplikasi racun sehingga tingkat konsumsi terhadap racun masih cukup tinggi.

Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih yang Mengonsumsi Rodentisida

Pengujian ini menggunakan metode no-choice test (tanpa pilihan). Pada perlakuan dua, tiga, dan empat hari burung hantu celepuk diberi umpan tikus putih yang sebelumnya telah mengonsumsi racun. Tingkat konsumsi total dan rerata burung hantu terhadap tikus yang mengonsumsi tiga jenis rodentisida dengan bahan aktif yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3 Konsumsi total burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi rodentisida antikoagulan

Rodentisida Konsumsi pada perlakuan Jumlah

2 hari 3 hari 4 hari

(g/100 g bobot tubuh)

Flokumafen 57.00a 77.89a 74.62a 209.51

Bromadiolon 54.85a 72.48a 82.33a 209.66

Brodifakum 44.01a 59.13a 72.81a 175.95

Pr > F 0.249 0.207 0.334

a

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Tabel 4 Konsumsi rerata burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi rodentisida antikoagulan

Rodentisida Konsumsi pada perlakuan Rerata

2 hari 3 hari 4 hari (g/100 g bobot tubuh)

Flokumafen 28.50a 25.96a 18.65a 24.37

Bromadiolon 27.43a 24.16a 20.58a 24.06

Brodifakum 22.01a 19.71a 18.20a 19.97

a

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

(21)

Perlakuan dua hari menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih baik pada rodentisida berbahan aktif flokumafen, bromadiolon maupun brodifakum. Jumlah tikus putih yang dikonsumsi burung hantu celepuk sebesar 57.00 g (flokumafen), selanjutnya diikuti jumlah konsumsi burung hantu celpepuk terhadap tikus putih yang memakan umpan rodentisida berbahan aktif bromadiolon (54.85 g) dan brodifakum (44.01 g).

Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi racun pada perlakuan tiga hari tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif flokumafen paling banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk pada perlakuan tiga hari yaitu (77.89 g), kemudian diikuti bromadiolon (72.48 g), dan brodifakum (59.13 g).

Pada perlakuan empat hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang terakumulasi rodentisida menunjukkan hasil yang sama. Tikus yang mengonsumsi rodentisida dengan bahan aktif bromadiolon cukup banyak dikonsumsi oleh burung hantu celepuk yaitu (82.33 g). Konsumsi burung hantu pada tikus putih yang mengandung rodentisida dengan bahan aktif flokumafen mengalami penurunan menjadi 74.62 g. Tikus putih yang mengandung rodentisida brodifakum dikonsumsi burung hantu celepuk (72.81 g).

Berdasarkan Tabel 4, konsumsi rata-rata tiap burung hantu celepuk berkisar antara 18-28 g. Burung hantu celepuk memangsa tikus putih yang mengonsumsi rodentisida flokumafen (24.37 g), diikuti bromadiolon (24.06 g) dan brodifakum (19.973 g). Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengandung rodentisida terus mengalami penurunan pada setiap perlakuan. Pada perlakuan dua hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang memakan rodentisida flokumafen sebesar 28.50 g, dan mengalami penurunan pada perlakuan tiga hari dan empat hari menjadi 25.96 g dan 18.65 g. Demikian juga untuk konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengandung racun bromadiolon dan brodifakum.

Menurut Sipayung dan Thohari (1994), tingkat konsumsi T. alba terhadap tikus pohon bisa mencapai empat ekor per hari atau sekitar 400 g. T. alba dan O. lempiji merupakan burung hantu sebagai predator tikus. Namun, kedua burung hantu ini memiliki tingkat konsumsi tikus yang berbeda. T. alba memiliki bobot tubuh rerata sekitar 500 g, sedangkan O. lempiji hanya berkisar 100 g. Jika masing-masing bobot tubuh burung hantu ini dikonversi ke 100 g bobot tubuh maka T. alba memiliki kecendurungan konsumsi terhadap tikus sekitar 80 g dan O. lempiji sekitar 25 g. Tingkat konsumsi kedua burung hantu ini cukup berbeda, O. lempiji hanya mampu mengonsumsi tikus 1/3 dari konsumsi T. alba.

(22)

Tingkat Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tiga Rodentisida Antikoagulan dan Keadaan Setelah Perlakuan Pada pengujian ini burung hantu celepuk hanya diberi umpan berupa tikus putih. Pada saat perlakuan, burung hantu celepuk diberi umpan tikus putih yang mengonsumsi rodentisida sedangkan masa pemulihan diberi tikus putih yang mengonsumsi gabah. Pengujian ini menggunakan metode tanpa pilihan (no-choice test), yaitu tidak memberikan alternatif pada burung hantu celepuk dalam mengonsumsi umpan selain tikus. Racun yang dikonsumsi oleh tikus putih terakumulasi di dalam tubuh burung hantu celepuk. Perhitungan racun yang terakumulasi dalam tubuh burung hantu celepuk dilakukan setelah semua perlakuan selesai. Hasil pengujian burung hantu celepuk yang mengonsumsi rodentisida antikoagulan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan

Rodentisida Konsumsi pada perlakuan Rerata

2 hari 3 hari 4 hari

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Hasil pengujian pada Tabel 5 menunjukkan banyaknya racun yang dikonsumsi oleh burung hantu celepuk. Konsumsi burung hantu celepuk pada perlakuan empat hari menunjukkan bahwa rodentisida bromadiolon berbeda nyata dengan flokumafen dan brodifakum, sementara itu flokumafen tidak berbeda nyata dengan brodifakum (Uji Duncan α=5%). Hal ini disebabkan tikus putih mengonsumsi bromadiolon dalam jumlah banyak dibandingkan dengan tikus lain. Dengan demikian, racun bromadiolon di dalam tubuh burung hantu celepuk akan semakin banyak pula.

Pada perlakuan dua hari dan tiga hari konsumsi burung hantu celepuk terhadap racun flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum menunjukkan tidak berbeda nyata (Uji Duncan α=5%). Pada perlakuan dua hari, rodentisida berbahan aktif bromadiolon menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi (7.79 mg/kg), diikuti oleh brodifakum (6.77 mg/kg) dan flokumafen (6.57 mg/kg). Demikian juga dengan perlakuan tiga hari, tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida bromadiolon (11.35 mg/kg), diikuti flokumafen (10.09 mg/kg) dan brodifakum (9.30 mg/kg). Tingkat konsumsi rata-rata rodentisida berbahan aktif bromadiolon paling banyak dibandingkan dengan kedua rodentisida lainya. Rata-rata burung hantu celepuk mengonsumsi rodentisida bromadiolon (11.30 mg/kg), flokumafen (8.87 mg/kg), dan brodifakum (8.53 mg/kg).

(23)

Tabel 6 Konsumsi setiap individu burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan dan keadaan setelah perlakuan

Rodentisida menunjukkan bahwa burung hantu celepuk dengan racun flokumafen mengalami kematian setelah mengonsumsi racun 28.84 mg/kg. Burung hantu celepuk yang mengonsumsi racun flokumafen mengalami kematian pada saat hari ketiga perlakuan empat hari. Bobot burung hantu celepuk individu kedua pada rodentisida flokumafen sebesar 100.27 g.

Bennet (2002), menyebutkan bahwa bromadiolon mempunyai toksisitas oral yang akut (LD50=1-3 mg/kg) tehadap beberapa spesies hewan, baik yang termasuk hewan pengerat maupun yang bukan. Pada rodentisida bromadiolon burung hantu celepuk yang mati adalah individu keempat. Burung hantu celepuk ini mati setelah mengomsumsi racun sebanyak 20.87 mg/kg dengan bobot tubuh sebesar 111.16 g.

(24)

dibandingkan dengan konsumsi racun oleh individu burung hantu yang lain. Burung hantu celepuk ini mengalami kematian saat masa pemulihan pada perlakuan empat hari dengan konsumsi racun sebanyak 25.23 mg/kg dan bobot tubuh sebesar 89.38 g.

Burung hantu celepuk yang makan tikus putih yang mengonsumsi umpan beracun ada yang menyebabkan kematian dan ada yang tidak (burung tetap hidup). Hal ini terjadi karena ada rodentisida yang terakumulasi dalam tubuh burung cukup banyak, sedangkan burung yang tetap hidup mengonsumsi rodentisida pada dosis yang tidak mematikan (sub lethal dose). Selain itu, kematian dapat terjadi karena burung hantu mengalami penurunan fisiologis, sedangkan burung hantu yang tidak mati memiliki kemampuan bertahan hidup (survival) yang tinggi.

Setiap individu burung hantu celepuk mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi racun yang termakan dan lama kematian juga berbeda. Tikus putih yang telah mengonsumsi rodentisida antikoagulan dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami kematian 2-14 hari setelah proses peracunan (Surtikanti 2007). Hal yang sama juga diasumsikan untuk burung hantu celepuk. Faktor lain yang mempengaruhi kematian burung adalah dosis letal. Berdasarkan pengujian yang sudah dilakukan burung hantu yang mati memiliki dosis letal yang berbeda pada setiap jenis rodentisida.

Gambar 7 Burung hantu celepuk yang mati

Konsumsi Burung Hantu Celepuk terhadap Tikus Putih Saat Perlakuan dan Pasca Perlakuan

(25)

Tabel 7 Konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan berdasarkan uji selang Duncan pada taraf α=5% (huruf kecil)

Hasil pengujian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dengan pasca perlakuan tidak berbeda nyata (Uji Duncan =5%). Pada perlakuan tiga hari dengan rodentisida brodifakum terjadi Kenaikan tingkat konsumsi burung hantu pasca perlakuan. Konsumsi burung hantu terhadap tikus pasca perlakuan yang mengalami penurunan menunjukkan pengaruh dari proses peracunan di dalam tubuh burung hantu, sehingga dapat menurunkan konsumsi burung hantu terhadap tikus.

(26)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Konsumsi rerata tikus putih terhadap rodentisida flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (α=5%) antar semua perlakuan. Konsumsi rerata burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi rodentisida flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum terus mengalami penurunan dari perlakuan dua hari, tiga hari, dan empat hari. Efek sekunder tiga jenis rodentisida antikoagulan terhadap burung hantu celepuk adalah kematian satu ekor burung hantu pada masing-masing rodentisida. Kematian burung hantu celepuk ini bisa disebabkan oleh kandungan racun yang ada dalam tubuh burung hantu celepuk yang cukup banyak, dan faktor lain tingkat fisologis dari burung hantu celepuk yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Tingkat konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih saat perlakuan dan pasca perlakuan cenderung mengalami penurunan.

Saran

(27)

DAFTAR PUSTAKA

[BBKP-Surabaya] Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya. 2012. Burung Hantu Tyto alba Pengendali Tikus yang Ramah Lingkungan. 2012. Surabaya (ID): RI.

[BPS] Badan Pusat Statisitik. 2011. Produksi bulanan perkebunan Indonesia. Jakarta(ID): BPS; [Internet] [diunduh pada 2012 Nov 18]. Tersedia pada : www.bps.-go.-id/-tab-sub-/-view.php-?-kat=3&-daftar=1-&id_subyek-=54-&-notab-=3.

Bennet SM. 2002. Bromadiolone [Internet] [diunduh pada 2012 Nov 5]. Tersedia pada: http://www.the-piedpiper.co.uk/th15(b).htm.

Buckle AP, Smith RH. 1994. Rodent Pest and Their Control. Cambridge (GB): University Press.

Corrigan RM. 1997. Rats and Mice. Ed ke-8. Jerman (DE): Mallis Handbook and Technical Training Company.

Del Hoyo, JA, Elliot, Sartagal J. 1999. Handbook of the Birds of the World Vol. 5 (Barn-owl to Hummingbirds). Barcelona (ES).

[Deptan]. Departemen Pertanian. 2012. Burung Hantu, Predator Tikus di Areal Tanaman Perkebunan. [Internet] [diunduh pada 2012 Okt 15] Jakarta (ID): Deptan. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id.

Dickinson, EC. 2003. The Howard & Moore Complete Checklist of the Birds of the World. Ed ke-3. London (GB): Cristopher Helm.

Eadsforth CV, Gray A, Harrison EG. 1996. Monitoring the exposure of barn owls to second-generation rodenticides in Southern Eire. Pestic Sci. 47(1996): 225-233.

Holmes D, Nash S. 1999. Burung-Burung di Jawa dan Bali. Adisoemarto S dan Prawiradilaga D, penerjemah. Jakarta (ID): Prima Centra. Terjemahan dari:

The Birds of Java and Bali.

Kiswanto, Purwanta JH, Wijayanto B. 2008. Tekonologi Budidaya Kelapa Sawit. Bogor (ID): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Tekonologi Pertanian.

Konig C, Weick F, Becking JH. 1999. A Guide to the Owls of the World. Hongkong (HK): Pica Press Sussex.

Lok AFSL, Lee TK, Lim KC. 2009. The biology of Otus lempiji cnephaues

Deignan, the Sunda scops-owl in Singapore [Internet]. Singapore: National University of Singapore; [diunduh 2012 Okt 24]. Tersedia pada: http://www.rmbr.nus.edu.sg/nis/bulletin2009/2009nis31-38.pdf.

MacKinnon J, Phillips K, Ballen BV. 2010. Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). Rahardjaningtrah W, Adikerana A, Martodihardjo P, Supardiono EK, Balen BV, penerjemah. Bogor (ID): Puslitbang Biologi-LIPI & Birdlife International-Indonesia Programme. Terjemahan dari: The Birds of Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan.

(28)

Meehan AP. 1984. Rats and Mice: Their Biology and Control. East Griendstead (GB): Rentokil limited.

Newton I, Wyllie I, Gray A, Eadsforth CV. 1994. The toxicity of the rodenticide flocoumafen to barn owls and its elimination via pellets. Pesctic Sci. 41(1994): 187-193.

Oudejans DH. 1991. Agro Pesticides, Properties and Function in Integrated Crop Protection. Economic ans Social Commision for Asia and Pacific. Bangkok (TH).

Priyambodo S. 2009. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-4. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sipayung A, Lubis AU. 1986. Tikus pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Laporan Kemajuan Penelitian PP. Marihat – Biotrop. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP. hlm 14-28.

Sipayung A, Thohari M. 1994. Penelitian pengembangbiakan burung hantu Tyto alba dalam perkebunan kelapa sawit. Buletin PPKS. 2(1994): Hlm. 97-104. [Internet]. [diunduh 2012-Nov-26];2(1994):hlm.97-104. Tersedia pada: http:/-/isjd.pdii.lipi.-go.id/-admin/-jurnal/-229497104.pdf.

Smith JW, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Suhadi O. 2007. Mengembangbiakkan Burung Hantu. Surabaya (ID): JP Books. Surtikanti. 2007. Teknik pengendalian tikus sawah (Rattus argentiventer Rob. 7

Koss) pada ekosistem sawah irigasi teknis dengan pola tanam padi-padi-beras [diseratsi]/ Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.

Walker EP. 1999. Mammals of the World. Maryland (US): The Jons Hopkins University Press.

(29)

20 dengan perlakuan dua hari

Burung Tikus Tikus makan racun (g)

Bobot tikus (g)

Burung makan tikus (g)

Burung makan racun

(mg/kg)

Rerata burung makan tikus

tanpa racun

Bobot burung (g) (g)

1 1 10.24 45.64 33.86 3.37 18.77 (n=13) 112.80

2 6.96 29.64 25.24 2.63

Total 6.00

2 1 8.82 31.64 29.18 4.06 18.32 (n=13) 100.27

2 11.67 29.96 28.89 5.61

Total 9.76

3 1 14.32 47.58 39.39 5.33 22.16 (n=13) 111.12

2 4.60 61.90 35.26 1.18

Total 6.51

4 1 7.82 37.03 27.68 2.92 22.51 (n=13) 100.04

2 4.16 33.34 22.77 1.42

Total 4.34

5 1 8.28 29.52 29.52 4.26 25.02 (n=13) 97.06

2 8.95 58.09 25.90 2.05

(30)

21

Lampiran 2 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan dua hari

Burung Tikus Tikus makan racun (g)

Bobot tikus (g)

Burung makan tikus (g)

Burung makan racun

(mg/kg)

Rerata burung makan tikus tanpa

racun

Bobot burung (g) (g)

1 1 12.82 43.43 24.72 3.55 21.44 (n=13) 102.75

2 9.12 30.60 19.03 2.76

Total 6.31

2 1 11.86 36.23 33.71 5.33 29.15 (n=13) 103.47

2 12.64 56.26 41.56 4.51

Total 9.84

3 1 10.11 38.16 23.16 2.46 17.54 (n=13) 124.36

2 15.56 54.36 22.25 2.56

Total 5.02

4 1 16.51 64.50 44.07 5.08 20.41 (n=13) 110.98

2 12.21 39.06 39.06 5.50

Total 10.58

5 1 16.34 52.30 12.24 1.98 18.95 (n=13) 96.53

2 14.20 47.44 33.63 5.21

(31)

22 dengan perlakuan dua hari

Burung Tikus Tikus makan racun (g)

Bobot tikus (g)

Burung makan tikus (g)

Burung makan racun

(mg/kg)

Rerata burung makan tikus

tanpa racun

Bobot burung (g) (g)

1 1 8.62 40.29 21.17 2.52 19.42 (n=13) 89.63

2 11.65 28.07 16.49 3.81

Total 6.33

2 1 11.65 39.96 21.36 3.73 23.55 (n=13) 83.35

2 10.94 28.03 17.21 4.02

Total 7.75

3 1 11.83 38.09 38.09 5.81 21.45 (n=13) 101.92

2 13.50 58.53 4.33 0.48

Total 6.29

4 1 10.76 34.94 20.45 3.45 19.76 (n=13) 91.10

2 14.42 53.34 21.59 3.20

(32)

23

Lampiran 4 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu celepuk pada rodentisida flokumafen dengan perlakuan tiga hari

(33)
(34)

25

Lampiran 6 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu celepuk pada rodentisida brodifakum dengan perlakuan tiga hari

(35)

dengan perlakuan empat hari

(36)

27

Lampiran 8 Tingkat konsumsi dan bobot tubuh tikus putih dan burung hantu celepuk pada rodentisida bromadiolon dengan perlakuan empat hari

(37)

28 dengan perlakuan empat hari

(38)
(39)

ABSTRAK

ARDIANA MARTADITA. Efek Sekunder Tiga Jenis Rodentisida Antikoagulan terhadap Burung Hantu Celepuk (Otus lempiji Horsfield). Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO.

Tikus merupakan salah satu hama penting di perkebunan kelapa sawit. Hama ini sering dikendalikan dengan rodentisida. Alternatif pengendalian adalah dengan musuh alami, khususnya burung hantu celepuk. Penelitian ini bertujuan menguji efek sekunder tiga rodentisida antikoagulan terhadap burung hantu celepuk (O. lempiji). Metode yang digunakan adalah uji tanpa pilihan (no-choice test) yakni pemberian umpan kepada tikus dan burung hantu celepuk tanpa memberikan alternatif umpan lain. Dengan demikian tikus dan burung hantu celepuk tidak mempunyai pilihan umpan lain untuk dikonsumsi. Rodentisida yang digunakan memiliki bahan aktif yang berbeda yakni flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum. Hasil pengujian menunjukkan bahwa konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih beracun selalu mengalami penurunan. Burung hantu celepuk yang mati disebabkan oleh racun yang terakumulasi di dalam tubuhnya, dan setiap burung hantu celepuk yang mati memiliki dosis letal yang berbeda. Berdasarkan pengujian ada tiga burung hantu celepuk yang mati pada setiap rodentisida. Burung yang mati mengonsumsi rodentisida flokumafen sebesar 28.838 mg/kg, bromadiolon 20.873 mg/kg. dan brodifakum 23.675 mg/kg.

Kata kunci: Tikus putih, burung hantu celepuk, flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum

ABSTRACT

ARDIANA MARTADITA. Secondary Effects of Three Types of Anticoagulant Rodenticides to the scops owls (Otus lempiji Horsfield). Superviced by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Rat is one of the important pests in oil palm plantation. These pests are controlled by rodenticides. An alternative control is natural enemies, especially owls. This study aims to examine the secondary effects of three types of anticoagulant rodenticides to scops owls (O. lempiji). The method used is a test with no options (no-choice test) by providing feed as bait to rats and owls without providing another alternative bait. Thus, rats and scops owls do not have another choice bait for consumption. The rodenticides used have some different active ingredients such as flocoumafen, bromadiolone, and brodifacoum. The test results showed that the scops owls consumption to white poisonous rat is always decreasing. The scops owl died due to the toxins that were accumulated in the body, and every dead owls has different lethal doses. Based on the test, there are three dead owls on each rodenticides. The dead birds consumed rodenticide flocoumafen at 28,838 mg/kg, bromadiolone 20,873 mg/kg and brodifacoum 23,675 mg/kg.

(40)

Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang penting di Indonesia karena hasilnya yang sangat menguntungkan. Tanaman ini termasuk ke dalam tanaman perkebunan yang strategis karena multifungsi sebagai bahan dasar makanan seperti minyak goreng, tidak hanya untuk minyak makan dan oleokimia, tapi juga sebagai energi. Menurut Kiswanto et al. (2008), permasalahan umum yang dihadapi dalam perkebunan antara lain rendahnya produktivitas dan mutu produksinya. Produktivitas kebun sawit rakyat rata-rata 16 ton tandan buah segar (TBS) per ha, sementara potensi produksi bila menggunakan bibit unggul sawit bisa mencapai 30 ton TBS/ha. Produktivitas CPO (Crude Palm Oil) perkebunan rakyat hanya mencapai rata-rata 2.5 ton CPO per ha dan 0,33 ton minyak inti sawit (PKO) per ha, sementara di perkebunan negara rata-rata menghasilkan 4.82 ton CPO per hektar dan 0.91 ton PKO per hektar, dan perkebunan swasta rata-rata menghasilkan 3.48 ton CPO per hektar dan 0.57 ton PKO per hektar.

Produksi kelapa sawit menjadi bahan baku pembuatan CPO (crude palm oil) yang sangat dibutuhkan oleh perdagangan internasional. Menurut Menurut BPS (2012), total produksi CPO yang dihasilkan oleh kelapa sawit Indonesia sekitar 14 788 270 ton per tahun, namun rata-rata produksi CPO yang dihasilkan masih di bawah rata-rata produksi Malaysia. Salah satu kendala yang mempengaruhi rendahnya produksi kelapa sawit adalah Rattus tiomanicus Miller yang dapat menyebabkan tanaman kelapa sawit rusak berat (Wood 1984).

Berdasarkan hasil analisis isi lambung tikus yang ditangkap di perkebunan kelapa sawit diketahui bahwa 80% berasal dari buah kelapa sawit dan 15% berasal dari serangga. Seekor R. tiomanicus dewasa mengonsumsi buah kelapa sawit 5.94–13.7 g/hari. Kehilangan minyak sawit mentah (MSM) berjumlah 327.96- 962.38 kg/ha/thn. Kerugian ini belum termasuk buah “brondolan” yang dibawa tikus ke tempat-tempat persembunyiannya. Tandan buah luka yang disebabkan oleh tikus dapat memacu meningkatnya kadar asam lemak bebas minyak sawit. Selain itu serangan tikus pada lokasi-lokasi pengembangan tertentu dapat mengakibatkan kematian tanaman muda sebesar 20-30% (Sipayung dan Lubis 1986).

Tikus merupakan hewan liar dari ordo Rodentia (hewan pengerat), kelas Mamalia (hewan menyusui) yang sering mengganggu dalam kehidupan manusia. Hewan ini bersifat omnivora, sering menimbulkan kerusakan dan kerugian dalam kehidupan manusia antara lain dalam bidang pertanian, perkebunan, permukiman, dan kesehatan (Meehan 1984). Tikus pohon merupakan salah satu jenis tikus yang sering ditemukan di pepohonan terutama untuk pohon kelapa dan kelapa sawit.

(41)

dari tikus adalah ular, kucing, musang, anjing, dan burung hantu putih (Priyambodo 2009).

Burung hantu putih (T. alba) merupakan hewan predator yang sering digunakan untuk mengendalikan hama tikus di perkebunan. Burung predator ini mempunyai jenis makanan yang spesifik yaitu jenis-jenis tikus. Seekor burung dewasa mampu mengonsumsi tikus pohon sebanyak lima ekor per hari dan menangkap mangsanya lebih dari kebutuhannya. Hasil studi di Malaysia menunjukkan bahwa burung hantu putih mempunyai potensi yang besar sebagai pengendali hayati tikus (Sipayung dan Thohari 1994).

Burung predator lain yang dapat digunakan untuk musuh alami tikus adalah burung hantu celepuk. Burung hantu celepuk termasuk dalam ordo Strigiformes, famili Strigidae, subfamili Striginae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji

(Suhadi 2007). Pakan utama dari burung hantu celepuk ini terdiri dari serangga besar seperti kumbang besar, serangga ordo Orthoptera, Lepidoptera, dan Mantidae. Pakan lain dari burung hantu celepuk adalah burung pipit, anak burung yang masih di sarang, tikus, dan tokek (Marks, et al. 1999 dalam Lok, et al. 2009). Keistimewaan burung hantu celepuk dibandingkan burung hantu putih yaitu harganya yang lebih murah dan populasi di alam masih cukup melimpah.

Penelitian ini menggunakan tikus putih sebagai subtitusi tikus pohon. Tikus pohon sebagai hewan uji dalam penelitian ini cukup banyak ditemukan khususnya di perkebunan kelapa sawit, namun tikus pohon tidak bisa diperoleh dalam jumlah banyak pada saat tertentu. Masalah tersebut merupakan hambatan, oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan tikus putih untuk menggantikan tikus pohon sebagai hewan uji. Penggantian hewan uji tidak berpengaruh dalam penelitian karena pada dasarnya anatomi dan fisiologi kedua spesies tikus ini hampir sama.

Tikus putih sering digunakan penelitian karena mudah diperoleh di pasaran. Penggunaan rodentisida untuk mengendalikan tikus dapat terakumulasi dalam tubuh tikus, sehingga dapat membahayakan predator tikus di alam termasuk burung hantu celepuk. Jika rodentisida yang dikonsumsi tikus dapat membahayakan burung hantu, maka populasinya di alam akan semakin berkurang. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek sekunder yang terjadi pada burung hantu celepuk setelah memakan tikus putih yang mengonsumsi tiga rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif yang berbeda. Ketiga rodentisida yang digunakan untuk penelitian ini yaitu berbahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum. Menurut Eadforth et al. (1996), rodentisida tersebut sering digunakan untuk mengendalikan tikus di permukiman dan lahan pertanian.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji efek sekunder dari tiga rodentisida antikoagulan dengan bahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum yang dikonsumsi oleh tikus sebagai mangsa burung hantu celepuk

Manfaat Penelitian

(42)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kemudian dilanjutkan dengan identifikasi burung hantu celepuk di Laboratorium Ornitologi (Zoologi), LIPI Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan September hingga November 2012.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji yaitu burung hantu celepuk (Gambar 1), tikus putih (Gambar 2), rodentisida bahan aktif flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum masing-masing dengan konsentrasi 0.005% (Gambar 3). Selain itu digunakan mangkok kecil sebagai tempat pakan dan minum, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 4), kurungan tikus (Gambar 5), kurungan tunggal (single cage) yang di dalamnya terdapat kayu sebagai tempat bertengger burung hantu celepuk (Gambar 6), kawat untuk mengambil sisa makanan burung, serta plastik untuk menimbang burung hantu dan tikus.

Gambar 1 Burung hantu celepuk Gambar 2 Tikus putih

(43)

Gambar 5 Kurungan tikus Gambar 6 Kurungan burung hantu

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan modifikasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Newton et al. pada tahun 1996 di Eropa Selatan. Metode yang digunakan adalah metode tanpa pilihan (no choice test) yaitu pengujian burung hantu dengan pemberian umpan tikus putih yang telah mengonsumsi rodentisida pada masa perlakuan, dan pemberian umpan tikus putih yang mengonsumsi gabah untuk masa pemulihan. Burung hantu celepuk sebagai hewan uji tidak memiliki alternatif umpan lain. Ada tiga perlakuan yang digunakan dalam pengujian ini yaitu pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida selama dua hari, tiga hari dan empat hari. Setelah perlakuan, burung hantu celepuk mengalami masa pemulihan selama tiga belas hari. Pengujian ini menggunakan lima kali ulangan untuk rodentisida berbahan aktif flokumafen dan bromadiolon serta empat kali ulangan untuk rodentisida berbahan aktif brodifakum.

Persiapan Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih dan burung hantu celepuk yang diperoleh dari pasar burung di Jakarta Selatan. Pada pengujian ini digunakan 126 ekor tikus putih untuk perlakuan rodentisida, dan 630 ekor untuk masa pemulihan sedangkan burung hantu celepuk yang digunakan ada 16 ekor. Dalam penelitian hanya ada 14 ekor burung hantu celepuk yang diuji karena dua ekor burung hantu celepuk yang lain mati sebelum perlakuan. Bobot tubuh tikus putih yang digunakan untuk pengujian berkisar antara 20-30 g.

Burung hantu celepuk yang mengalami perlakuan ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui bobot awalnya. Setelah itu, burung hantu dimasukkan pada kurungan tunggal (single cage). Setiap kurungan hanya untuk satu burung dan di dalam kurungan tersebut ada kayu yang digunakan untuk bertengger. Pada setiap kurungan diberi label sebagai penanda dan mempermudah dalam melakukan pengujian.

Identifikasi Burung Hantu Celepuk

(44)

Proses identifikasi dilakukan dengan mengamati dan mengukur morfologi burung hantu celepuk.

Persiapan Rodentisida

Pengujian ini menggunakan tiga rodentisida dengan bahan aktif yang berbeda, yaitu flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum dengan konsentrasi masing-masing 0.005%. Rodentisida yang digunakan untuk pengujian merupakan rodentisida siap pakai yang berbentuk blok berwarna biru. Setiap hari 4 atau sekitar 12 g rodentisida diberikan kepada tikus putih dan ditimbang dengan menggunakan timbangan elektronik.

Pengujian Rodentisida

Pengujian pertama yaitu pemberian rodentisida sebagai umpan tikus putih yang mengalami perlakuan. Pada pengujian ini, tikus putih diberi rodentisida. Rodentisida yang diberikan merupakan antikoagulan berbahan aktif flokumafen dan bromadiolon yang diberikan kepada lima ekor tikus putih, sedangkan untuk rodentisida berbahan aktif brodifakum diberikan kepada empat ekor tikus putih. Selama masa pengujian ini, tikus putih hanya diberi rodentisida selama dua hari berturut-turut. Pemberian rodentisida selama dua hari ini berlaku untuk semua jenis rodentisida (flokumafen, bromadiolon, dan brodifakum).

Rodentisida diberikan selama 2 x 24 jam dan dihitung jumlah konsumsinya. Konsumsi tikus putih terhadap rodentisida didasarkan pada jumlah rodentisida yang diberikan sekitar 12 g dikurangi dengan sisa rodentisida yang tidak dikonsumsi. Tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dihitung bobot awal dan akhirnya, lalu diberi label untuk mempermudah dalam pengujian.

Pengujian Lama Pemberian Tikus Beracun terhadap Burung Hantu Celepuk Tikus yang sudah mengonsumsi racun digunakan sebagai umpan untuk burung hantu celepuk. Perlakuan yang diberikan pada burung hantu adalah lama pemberian tikus beracun yaitu dua, tiga, dan empat hari. Perlakuan dua hari artinya selama dua hari burung hantu diberi tikus putih yang telah memakan racun masing-masing sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan tiga hari, selama tiga hari burung hantu celepuk diberi makan tikus putih yang telah memakan racun sebanyak dua hari pemberian. Perlakuan empat hari, selama empat hari burung hantu celepuk diberi tikus putih yang telah makan racun sebanyak dua hari pemberian. Antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain, burung hantu celepuk mengalami masa pemulihan selama 13 hari. Pada pemulihan tersebut burung hantu celepuk diberi umpan berupa tikus putih yang mengonsumsi gabah secara melimpah (ad libitum).

(45)

Sebelum pemberian tikus putih yang mengonsumsi rodentisida kepada burung hantu, maka tikus putih dimatikan terlebih dahulu. Tikus dimatikan dengan menggunakan kloroform, kemudian tubuh tikus putih dibelah dengan tujuan agar bau kloroform cepat menguap. Tikus putih yang sudah terbelah dibiarkan beberapa jam terlebih dahulu, kemudian ditimbang dan dicatat bobot tubuhnya lalu diberikan kepada burung hantu. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap jumlah tikus putih yang dikonsumsi oleh burung hantu celepuk dengan cara mengurangi bobot tikus putih yang diberikan pada burung hantu celepuk dengan sisa tikus putih yang tidak dimakan atau tidak dapat dicerna.

Pemberian Tikus sebagai Umpan Burung Hantu Celepuk Pasca Perlakuan Burung hantu celepuk yang telah mengalami perlakuan mengalami masa pemulihan selama 13 hari dengan diberi makan tikus putih yang mengonsumsi gabah secara melimpah (ad libitum). Penggantian umpan burung hantu celepuk dengan tikus putih yang tidak mengonsumsi rodentisida bertujuan memberikan masa istirahat pada burung hantu celepuk sekaligus diamati efek sekunder burung hantu celepuk. Burung hantu celepuk yang tidak mati sampai masa pemulihan selesai, maka dianggap selamat (escape) dan dilanjutkan dengan perlakuan berikutnya.

Konversi Umpan

Semua data yang diperoleh dari pengujian tikus putih makan racun, burung hantu celepuk makan tikus putih racun, dan racun yang dikonsumsi burung hantu celepuk dikonversi terlebih dahulu terhadap 100 g bobot tikus putih dan burung hantu celepuk dengan rumus sebagai berikut :

Konversi umpan/ = Bobot umpan/rodentisida yang dikonsumsi (g) x 100 rodentisida pada Rerata bobot tikus putih/ burung hantu (g) tikus putih/ burung

hantu celepuk (g)

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam pengujian ini adalah: (a) konsumsi tikus putih terhadap rodentisida, (b) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih yang mengonsumsi rodentisida, (c) konsumsi burung hantu celepuk terhadap tikus putih pada masa pemulihan selama tiga belas hari, (d) bobot tikus putih dan burung hantu celepuk sebelum dan sesudah perlakuan, dan (e) kematian burung hantu celepuk.

Analisis Data

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Burung Hantu Celepuk

Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Ornitologi, Zoologi LIPI Bogor. Seluruh burung hantu celepuk yang mengalami pengujian dibawa dan diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan mengamati ciri-ciri morfologi dari burung hantu celepuk. Ciri-ciri burung hantu celepuk sebagai berikut : (a) tubuh burung hantu celepuk dari ujung kepala sampai ujung kaki sekitar 200 mm, (b) berwarna kecoklatan sampai abu-abu (c) berkas telinga panjang dan jelas (d) memiliki kerah di belakang leher berwarna pucat (e) tubuh bagian bawah lebih terang atau coklat atau abu-abu muda (f) terdapat bercak-bercak gelap berbentuk mata panah atau jajaran genjang (g) suara burung ketika dilakukan pengamtan di laboratorium vertebrata hama berbunyi “wuuup” dengan nada yang meninggi. Distribusi burung hantu celepuk ini adalah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali. Hasil identifikasi diperoleh bahwa semua burung hantu yang digunakan dalam pengujian yaitu burung hantu jenis Otus lempiji Horsfield. Burung hantu celepuk ini termasuk ke dalam dari kelas: Aves, ordo: Strigiformes, famili: Strigidae, genus: Otus dan spesies: Otus lempiji Horsfield. Identifikasi dilakukan dengan bantuan ahli burung dan mengacu kepada beberapa pustaka. Pustaka yang digunakan untuk identifikasi yaitu sebagai berikut Dickinson (2003), Del Hoyo et al. (1999), Konig et al. (1999), MacKinnon et al. (1992), dan Weick (2006).

Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan selama tiga hari dengan pemberian umpan tikus putih dengan bobot tubuh antara 20-30 g. Total keseluruhan burung yang diujikan ada 14 ekor. Semua burung hantu yang diujikan dalam kondisi sehat. Burung hantu celepuk yang sehat akan memakan umpan tikus tersebut dan tidak menunjukkan tanda-tanda sakit. Burung hantu celepuk yang telah melewati uji pendahuluan, dilanjutkan dengan uji perlakuan.

Setiap individu burung hantu celepuk memakan umpan berupa tikus putih yang mengonsumsi rodentisida dengan jumlah yang berbeda sehingga dosis letal (lethal dose) dari konsentrasi rodentisida yang termakan dan lama kematian juga berbeda. Burung hantu celepuk yang telah memangsa tikus putih yang mengonsumsi rodentisida akan diamati efek sekundernya selama 13 hari. Apabila selama 13 hari tersebut tidak terjadi kematian, maka burung hantu tersebut dikatakan selamat (escape).

Tingkat Konsumsi Tikus Putih terhadap Tiga Rodentisida dengan Bahan Aktif yang Berbeda

Gambar

Tabel 1  Konsumsi total tikus putih terhadap tiga rodentisida antikoagulan
Tabel 5  Konsumsi burung hantu celepuk terhadap rodentisida antikoagulan
Tabel  6    Konsumsi  setiap  individu  burung  hantu  celepuk  terhadap  rodentisida  antikoagulan dan keadaan setelah perlakuan
Tabel 7    Konsumsi  burung  hantu  celepuk  terhadap  tikus  putih  saat  perlakuan  dan pasca perlakuan
+5

Referensi

Dokumen terkait