• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan keharmonisan keluarga dengan Kenakalan remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan keharmonisan keluarga dengan Kenakalan remaja"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN

KENAKALAN REMAJA

); ' . '" i '""" ;-;.;_;

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh:

Imam Fahrni Umami

NIM: 101070023073

Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam

memperoleh gelar Sarjana ヲゥセセセpNj_Yゥ@ セ@ .. -. _,

•iari . NNNNNNNNMセGww`JQGキZオMゥアカLGrMセ@

fgl. ;

iエZZZ」コ[ZセZセセBGGGBGhh|hhセ@

No. lnduk :

Q.(J.J -

t

1..::::-

2t'TG'o"

klasifikasi • ... __

.

···

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Pembimbing I

Oleh:

Imam Fahrni Umami NIM: 101070023073

Di Bawah Bimbingan:

Pembimbing II

S. Evangeline I. Suaidy, M.Si.. Psi NIP: 5150411217

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi yang berjudul Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan remaja telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada: Senin, 7 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 7 Desember 2009 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D

NIP. 130 885 522 NIP. 195661223 198303 2001

Anggota: Penguji I

セMMM

Ors. Rachmat Mulyono, M.Si., Psi

NIP. 150 293 240

Pembimbing I

Dr . Fadhilah Sura a a M.Si

NIP. 195661223 198303 2001

Penguji II

NIP. 195661223 198303 2001

S. Evangeline I. Suaidy, M.Si., Psi

(4)

Kupersembahkan Karya sederhanaku ini untuk kedua orang tuaku tercinta Yang tidak pernah lelah untuk mendorong dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan kuliah ini, keringat dan cucuran air matanya takkan kusia-siakan lagi.

Untuk keponakan dan kakak-kakakku yang sangat kusayangi, Terima kasih alas semua pengorbanannya.

(5)

(A) Fakultas Psikologi (B) November 2009 (C) Imam Fahrni Umami

(D) Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja (E) xiv + 95 halaman

(F) Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan karena belum diperolehnya status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi dalam status anak-anak. Secara umum usia remaja berkisar antara 12 sampai 22 tahun yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan baik dalam bentuk fisik emosi maupun psikologisnya. Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menjadi masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku yang menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang

mengganggu. Melihat kondisi tersebut, apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai perilaku menyimpang dan tingkah laku negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat atau yang biasanya disebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.

Kenakalan remaja adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut melanggar aturan atau norma (baik norma agama, norma hukum maupun norma-norma lainnya yang berlaku di masyarakat) yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

Keharmonisan keluarga adalah situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai oleh kasih sayang dan rasa saling percaya

sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i SMP DUA MEI Ciputat

(6)

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel penelitian berdasarkan analisa koefisien korelasi.

Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi Product Moment

dari Pearson dan diuji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach, untuk skala kenakalan remaja diperoleh 31 item valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0, 9110, sedangkan untuk skala keharmonisan keluarga diperoleh 26 item valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,8908, semua item yang valid dalam kedua skala ini digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan program SPSS versi 15 for Windows dengan teknik uji korelasi Product Moment dari Pearson. Dari hasil penelitian diperoleh rhitung sebesar -0.159 lebih kecil dari r1abe1 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0.316. Dengan demikian, maka hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja diterima. Arah hubungan yang dihasilkan menunjukkan arah yang negatif, yang

bermakna ada kecenderungan semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin berkurang kenakalan remaja meskipun hubungan tersebut tidak signifikan.

Bagi peneliti selanjutnya penulis berharap dapat menggali masalah ini lebih dalam dan sebaiknya responden yang diambil lebih bervariasi atau bila memungkinkan dapat digunakan kombinasi dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan jumlah responden yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh sebuah gambaran menyeluruh

mengenai keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Selain itu, adanya variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap

(7)

karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah untuk Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang sempurna untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini hingga akhir zaman, serta kepada keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa mendampinginya dalam menyebaran ajaran kebenaran.

Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dedikasi dari berbagai pihak yang telah membantu kelancarannya sehingga penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat penulis akan memberikan rasa terima kasih kepada semua pihak tersebut, diantaranya: 1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Jahja

Umar, Ph.D beserta jajaran pimpinan lainnya.

2. lbu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Dosen Pembimbing I dan lbu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Dosen Pembimbing II, yang di tengah kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan dan saran dalam penulisan skrispsi ini.

3. lbu solicha, M.Si, Dosen Penasehat Akademik penulis serta seluruh dosen Fakultas Psikologi yang teiah banyak memberikan ilmu dan arahannya.

4. Orang tua tercinta, Hasan Djayadi dan Didoh Hidayatulmilah yang telah memberikan kasih sayang dan doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT guna keberhasilan dan kebahagiaan anak-anaknya. Terima kasih yang tak terhingga ananda ucapkan dari hati yang paling dalam. Ya Allah, Berikanlah kemuliaan untuk kedua orang tuaku ini, Amin. 5. Untuk kakak-kakak tercinta; Neneng Fatimatu Zahra, Nunung Nurlaela,

(8)

6. Semua keponakanku tersayang: Ulfa, Fikri, Syahla, Salwa, Nabiel dan Najwa serta calon adiknya yang masih dalam kandungan, senyum kalian selalu membuat penulis rindu dan bahagia.

7. Teruntuk Furi lndriyani, orang yang sangat istimewa yang selalu

mendampingi penulis baik suka maupun duka, terutama dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih alas kepedulian, kasih sayang, bantuan moral dan materiil, saran serta kesetiaannya mendampingi dan menunggu penulis selama ini.

8. Untuk sahabatku Abdul kholiq, teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2001, Aan, Sibul, Rahmat, Akbar yang udah mau berbagi tinta printernya, saudaraku Dadang, Azis, Fikri, Mang Arif, Badrus, lntan dan Ros yang

udah minjemin kartu perpustakaannya. Serta teman-teman yang tidak

dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan support serta kritik yang mernbangun.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya. Amin

Jakarta, November 2009

(9)

Lembar Pengesahan ... iii

Persembahan ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vii

Daftar lsi ... ix

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Skema ... xiv

BABIPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. ldentifikasi Masalah ... 8

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.3.1. Pembatasan masalah ... 8

1.3.2. Perumusan masalah ... 9

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1. Tujuan penelitian ... 9

1.4.2. Manfaat penelitian ... 1 O 1. Manfaat teoritis ... 1 O 2. Manfaat praktis ... 1

o

1.5. Sistematika Penulisan ... 1 O BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kenakalan Remaja ... 12
(10)

2.1.4. Definisi kenakalan remaja ... 20

2.1.5. Bentuk dan aspek kenakalan remaja ... 21

2.1.6. Latar belakang kenakalan remaja ... 24

2.1.7. Karakteristik kenakalan remaja ... 25

2.1.8. faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja ... 28

2.1.9. Upaya-upaya mengatasi kenakalan remaja ... 33

2.2. Keharmonisan Keluarga ... 36

2.2.1. Pengertian keluarga ... 36

2.2.2. Ciri-ciri keluarga ... 40

2.2.3. Peran dan fungsi keluarga ... 40

2.2.4. Pengertian keharmonisan keluarga ... 41

2.2.5. Aspek-aspek keharmonisan keluarga ... 43

2.2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga ... 46

2.3. Kerangka Berpikir ... 48

2.4. Hipotesis ... 52

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jen is Penelitian ... 53

3.1.1. Pendekatan dan metodologi penelitian ... 53

(11)

3.3.2. Teknik pengambilan sampel ... 55

3.4. Teknik pengumpulan data ... 55

3.4.1. Metode dan instrumen pengumpulan data ... 55

3.4.2. Teknik uji instumen penelitian ... 60

1. Uji validitas ... 60

2. Uji reliabilitas ... 64

3.5. Teknik analisa data ... 65

3.6. Prosedur penelitian ... 66

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gamba ran Um um Subjek Peneliti ... 68

4.1.1 Gamba ran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 68

4.1.2. Gambaran subjek berdasarkan penyebaran skor ... 68

1. Kategorisasi skor kenakalan remaja ... 68

2. Kategori skor keharmonisan keluarga ... 71

4 2 P . . enguj1an 1po es1s ... .. H.

t .

73 4.3. Hasil Tambahan ... 74

4.3.1. Keharmonisan keluarga __ ... _ .... _ ... _ ... 7 4 4.3.2. kenakalan remaja ... 78

(12)

DAFT AR PUST AKA ... 88

(13)

Table 3.2 Blue Print Kenakalan Remaja --- 57

Table 3.3 Blue Print Keharmonisan Keluarga --- 58

Table 3.4 Blue Print Hasil Try Out Skala Kenakalan Remaja --- 61

Tabel 3.5 Blue Print Hasil Try Out Skala Keharmonisan Keluarga --- 63

Tabel 3.6 Tingkat reliabilitas --- 64

Tabel 4.1 Jenis kelamin --- 68

Tabel 4.2 Kategorisasi Skor Kenakalan Remaja --- 69

Tabel 4.3 Tingkat kenakalan remaja berdasarkan jenis kelamin --- 70

Tabel 4.4 Tingkat keharmonisan keluarga berdasarkan jenis kelamin ___ 71 Tabel 4.5 Perbandingan antara kenakalan remaja dengan keharmonisan keluarga ... ____ --- _____ --- _______________ 72 Tabel 4.6 Hasil uji korelasi --- 74

Tabel 4.7 Nilai R square keharmonisan keluarga ___________________________________ 76 Tabel 4.8 Uji konstanta aspek keharmonisan keluarga --- 76

[image:13.518.30.454.100.585.2]
(14)
[image:14.518.88.434.172.510.2]
(15)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan karena belum diperolehnya status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi dalam status anak-anak. Secara umum usia remaja berkisar antara 10 sampai 22 tahun

yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan baik dalam bentuk fisik emosi maupun psikologisnya (Santrock, 2003). Para ahli membagi rentangan usia remaja ini berdasarkan sudut pandang masing-masing sehingga terjadi perbedaan antara permulaan dan berakhirnya masa remaja.

Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menjadi masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku yang menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang

mengganggu. Melihat kondisi tersebut, apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai perilaku menyimpang dan tingkah laku negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat atau yang

biasanya dist:ibut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.

(16)

Secara mayoritas pelaku kenakalan remaja berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi kejahatan pada usia 15 - 19 tahun, dan sesudah usia 22 tahun kasus kejahatan menurun (dalam Kartono, 2006). Hal ini disebabkan karena mulainya proses pendewasaan, sehingga remaja mulai bisa

mempertimbangkan setiap perilaku agar tidak menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat.

Secara umum kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di dalam

masyarakat di mana ia hidup dan terkandungnya unsur-unsur anti-normatif.

Kartini Kartono (2006) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat sosial disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut kenakalan. lstilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, mulai dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2006).

(17)

pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerasan dan perbuatan-perbuatan Jainnya yang bisa meresahkan masyarakat.

Jika dilihat dari aspek sikap dan jenis perbuatan, maka Johnson (dalam

Monks, 1999) membagi kenakalan remaja ke dalam dua jenis, yaitu

kenakalan sosiologis dan kenakalan individual. Kenakalan sosiologis terjadi jika seorang remaja menentang seluruh konteks (termasuk norma, adat, budaya dan lain-lainnya) sosial kecuali konteks sosialnya sendiri. Dalam

kondisi tersebut kebanyakan remaja yang nakal tidak merasa bersalah bila melakukan kejahatan yang merugikan orang lain asal bukan dari

kelompoknya sendiri. Sedangkan kenakalan individual, remaja tersebut memusuhi semua orang, baik tetangga, kawan bahkan kedua orang tuanya

sendiri.

Mengenai masalah kenakalan remaja, telah banyak pendapat dan penelitian yang mengungkapkan berbagai faktor-faktor yang melatarbelakangi

munculnya kenakalan remaja ini. Bila dihubungkan dengan kondisi

masyarakat Indonesia saat ini, terlihat bahwa remaja menghadapi pergeseran

dalam sistem nilai, terutama dalam etika pergaulan serta gaya hidup. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya tayangan di media televisi yang memperlihatkan pergaulan yang lebih permisif dan memperlihatkan budaya hedonis.

(18)

tertentu dari perkembangan di masa remaja telah menjadi model berperilaku

bagi sebagian remaja Indonesia. Akibatnya remaja mengalami kebingungan

dan kekaburan dalam dirinya, hal yang beresiko menimbulkan perilaku yang tidak sesuai/ma/adaptive (Elfida, 2005).

Remaja yang melakukan perilaku menyimpang atau kenakalan biasanya

kurang memiliki kontrol diri atau justru menyalahgunakan kontrol diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri disamping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif subjektif, yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya mereka sangat egoistis dan suka menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya.

Pengaruh sosial dan kultur di masyarakat memiliki peranan yang besar dalam pembentukan atau pengondisian tingkah laku kriminal remaja. Perilaku

menyimpang yang dilakukan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurangnya bahkan tidak adanya konformitas terhadap norma-norma, baik norma sosial maupun norma agama (Kartono, 2006).

Kenakalan yang dilakukan oleh remaja sangat beragam mulai dari perbuatan

(19)

pelanggaran hukum sampai dengan perbuatan yang melanggar hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa

senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media masa (Gunarsa, 1989).

Salah satu bentuk kenakalan remaja yang sering terjadi adalah perkelahian yang melibatkan pelajar pada usia muda. Kenakalan remaja dalam hal

perkelahian, dapat digolongkan ke dalam dua jenis delikuensi, yaitu

situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi.

Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada dalam satu geng atau organisasi yang norma, aturan, dan

kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggota termasuk berkelahi. Sebagai

anggota, mereka bangga melakukan apa yang diharapkan (Tambunan, 2008). Kejadian itu berkaitan dengan emosinya yang dikenal dengan masa

"strom dan stress", yaitu perasaan frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis

(20)

dipengaruhi oleh faktor internal, lingkungan tempat tinggal, keluarga, dan

sekolah.

Menurut Dadang Hawari (1999) bahwa remaja hidup dalam tiga kutub yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik pengaruh yang positif maupun negatif. Ketiga kutub tersebut adalah keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Secara umum mekanisme penyimpangan perilaku pada masa

remaja dipengaruhi oleh ketiga kutub ini.

Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gaga! memberi cinta kasih dan perhatian akan memupuk

kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Demikian pula jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan,

maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya. Kondisi keluarga yang nyaman adalah kondisi yang mampu

memberikan rasa aman, merasa dihargai dan adanya sikap saling pengertian

(21)

Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orang tua sebagai figur teladan bagi anak (Hawari, 1999). Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap

usia terutama pada masa remaja.

Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis

mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan di sekitarnya (Hurlock, 1973).

Kondisi keluarga yang harmonis yang di dalamnya terdapat rasa saling pengertian, saling menerima satu sama lain, saling menghargai, saling

mempercayai, dan saling mencintai, akan memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan kepribadian remaja yang termasuk dalam masa transisi tersebut (Gunarsa, 2007). Sehingga remaja akan memersepsikan rumahnya sebagai tempat yang menyenangkan dan tidak akan mencari kesenangan

ditempat lain. Orang tua menganggap anaknya sebagai manusia yang patut

(22)

1.2. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan

masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kenakalan remaja?

2. Faktor-faktor apakah yang mendukung terbentuknya keharmonisan

keluarga?

3. Apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan

remaja?

4. Seberapa besarkah peranan keharmonisan keluarga dalam mempengaruhi kenakalan remaja?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan masalah

Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penelitian ini akan

diberi batasan sebagai berikut:

1. Remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan

orang dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional; Dengan rentangan usia antara 12 - 21 tahun.

(23)

masyarakat) yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.

3. Keharmonisan keluarga adalah situasi dan kondisi dalam keluarga

dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana

yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai oleh kasih sayang dan rasa saling percaya

sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan keharmonisan keluarga adalah apa yang dirasa oleh remaja itu sendiri.

1.3.2. Perumusan masalah

Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

(24)

1.4.2. Manfaat penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi wahana

perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan, psikologi keluarga, dan psikologi sosial terutama yang berhubungan dengan kenakalan remaja.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua, pendidik

dan remaja mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja,

serta menambah pengetahuan yang bisa digunakan sebagai langkah

preventif dalam menghadapi masalah kenakalan remaja.

1.5. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 KAJIAN PUST AKA

(25)

bentuk dan aspek-aspek kenakalan remaja, latar belakang kenakalan remaja,

karakteristik kenakalan remaja, faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan

remaja, upaya-upaya mengatasi kenakalan remaja.

Keharmonisan keluarga meliputi: Pengertian keluarga, Pengertian

keharmonisan keluarga, aspek-aspek keharmonisan keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga; Kerangka berpikir dan

hipotesis.

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Terdiri dari: Jenis penelitian meliputi: Pendekatan dan metodologi penelitian. Definisi variabel dan operasional variabel. Pengambilan sampel meliputi: populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel. Teknik pengumpulan data meliputi: metode dan instrumen penelitian, teknik uji instrumen; dan diakhiri dengan uraian tentang teknik analisa data.

BAB 4 PRESENT ASI DAN ANALISA DAT A

Terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, presentasi data dan

pembahasan hasil penelitian.

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

DAFT AR PUST AKA

(26)

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kenakalan Remaja

2.1.1. Definisi remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat

penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik dan seksual sehingga mampu bereproduksi. Salzman (dalam Yusuf, 2002)

mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian

(independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian

terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Ausubel (dalam Mi.inks, 1999) mengatakan bahwa remaja berada dalam

status interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang

tua dan sebagian diperoleh melalui usaha se11diri yang selanjutnya

memberikan prestise tertentu kepadanya. Status ini berhubungan dengan

masa peralihan yang timbul sesudah kematangan seksual atau masa

pubertas.

(27)

Berdasarkan perspektif relasi interpersonal, remaja merupakan suatu periode

yang mengalami perubahan dalam hubungan sosial, yang ditandai dengan

berkembangnya minat terhadap lawan jenis ataupun pengalaman pertama dalam mengapresiasikan cintanya. Kegagalan dalam menjalin hubungan sosial kemungkinan besar akan menjadi penghambat bagi perkembangan sosial selanjutnya, baik dalam persahabatan, pernikahan ataupun dalam

berkeluarga.

WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat

konseptual, dengan adanya tiga krieria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, secara lengkap definisi tersebut sebagai berikut:

a. lndividu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. lndividu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Mengenai batasan usia remaja, para ahli memberikan batasan yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang harus

(28)

seperti kondisi sosio-kultural, kondisi ekonomi bahkan pengetahuan

lingkungan tempat remaja tinggal. Sehingga terdapat perbedaan rentangan

usia antara satu daerah dengan yang lainnya.

Santrock (2003) mengatakan bahwa periode remaja dimulai pad a usia 10-13

tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Sedangkan Monks (1999) memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Sumadi Suryabrata (1981) membagi rentang masa remaja menjadi tiga,

masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan

masa remaja akhir 18-21 tahun. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, dan masa remaja akhir 17-18 tahun. Hal ini berdasarkan tanda-tanda fisik yang menunjukkan kematangan seksual dengan timbulnya gejala-gejala biologis.

Menurut Zakiah Daradjat (1977) bahwa batasan usia remaja jika dilihat dari

segi psikologis akan lebih banyak bergantung pada keadaan masyarakat di mana remaja itu tinggal. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah

(29)

anak-anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun. Akan tetapi untuk akhir masa remaja tidak sama, pada masyarakat pedesaan

jika seorang anak pertumbuhan jasmaninya telah tampak sempurna maka ia

akan diberi kepercayaan dan tanggung jawab sebagai orang dewasa, pada

remaja perempuan sudah bisa dinikahkan dan dengan demikian masa remajanya berakhir. Sedangkan di masyarakat perkotaan yang lebih maju pola pikirnya biasanya banyak persyaratan yang diperlukan agar seseorang dapat diterima sebagai orang dewasa yang mampu diberi tanggung jawab. Untuk itu perlu diperpanjang usia remaja sampai kira-kira 21 tahun.

Sarlito W. Sarwono (2001) membuat batasan mengenai remaja Indonesia.

Menurutnya remaja Indonesia adalah individu yang berada pada usia 11-24 tahun dan belum menikah. Usia 11 tahun adalah saat seseorang mulai mengalami perubahan seksualnya, yang umumnya berakhir pada usia 24 tahun. Seseorang yang sudah menikah biarpun usianya masih muda (di

bawah 18 tahun) akan tetap dianggap dan diperlakukan sebagai orang

dewasa.

(30)

sampai dengan 21 tahun bagi perempuan dan 13-22 tahun bagi laki-laki, hal ini disebabkan karena pada perempuan usia matangnya lebih cepat

dibandingkan dengan laki-laki. Jika dibagi menjadi remaja awal dan remaja

akhir, maka remaja awal berada dalam usia 12/13-17/18 tahun, sedangkan

remaja akhir berada pada usia 17/18-21/22 tahun

2.1.2. Ciri - ciri masa remaja

Pappalia (dalam Suroyah, 2003) mengungkapkan bahwa masa remaja memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Terjadinya perubahan-perubahan besar dalam diri remaja yang

membutuhkan penyesuaian diri baik dari pihak remaja maupun dari pihak orang tua. Perubahan tersebut adalah:

a. Perubahan fisik yang meliputi perubahan biologis yang terjadi begitu cepat dan kematangan organ seksual yang memungkinkan untuk melakukan reproduksi.

b. Perubahan kognitif, ditandai dengan berkembangnya kemampuan

untuk berpikir abstrak, memanipulasi dan mengoperasikan informasi, menggunakan konsep dan membuat hipotesa.

c. Perubahan psikologis yang paling menonjol pada remaja adalah emosi yang masih labil, kemampuan untuk mandiri, mengembangkan nilai-nilai kehidupan dan kemampuan untuk menjalin hubungan

(31)

2. Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Erikson (dalam Gunarsa, 1989) berpendapat bahwa pada masa remaja tujuan utama

seluruh perkembangannya adalah pembentukan identitas diri. Menurut Singgih D. Gunarsa (1989) identitas diri merupakan suatu persatuan yang terbentuk dari azas-azaz, cara hidup dan pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Persatuan ini merupakan inti pada seseorang yang menentukan cara melihat diri sendiri dalam pergaulannya

dengan orang lain. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas ini akan merasa bahwa dirinya menyenangkan dan diterima sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasinya akan menderita krisis identitas.

3. Masa remaja merupakan masa yang menyenangkan sekaligus membawa masalah, baik bagi remaja sendiri maupun bagi orang tua. Di satu pihak ia mempunyai keinginan kuat untuk bebas dari orang tua, namun di pihak lain ia membutuhkan orang tua untuk memberikan dukungan dan

bimbingan.

4. Awareness of sexuality merupakan aspek penting dalam pembentukan

identitas diri yang berhubungan dengan self-image dalam menjalin

hubungan terutama dengan lawan jenis. Proses ini bermula pada masa remaja dan terus berlangsung sampai masa dewasa.

(32)

6. Karakteristik lain dari remaja adalah kesadaran diri (self-consciousness)

yang berlebihan atau terlalu ekstrim. Mereka berasumsi bahwa apa yang orang lain pikirkan sama dengan apa yang ia pikirkan tentang dirinya. Begitu pula dengan se/f-centeredness, dimana remaja memiliki keyakinan

bahwa dirinya spesial, memiliki pengalaman unik dan berbeda dengan orang lain.

Menurut Singgih D. Gunarsa (1983) bahwa remaja memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Adanya kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan

sebagai akibat dari perkembangan fisik yang bisa menyebabkan timbulnya perasaan rendah diri.

2. Sikap menentang dan menantang orang tua maupun orang dewasa lainnya, hal ini merupakan ciri yang menunjukkan keinginan remaja untuk merenggangkan ikatannya dengan orang tua dan menunjukkan

ketidaktergantungannya kepada orang tua ataupun kepada orang lain. 3. Kegelisahan. Perasaan tidak tenang menguasai remaja, hal ini terjadi

karena begitu banyaknya keinginan remaja tetapi dia sendiri tidak sanggup memenuhinya.

4. Banyaknya fantasi, khayalan dan bualan.

(33)

Dari dua pendapat di alas, rumusan ciri-ciri perkembangan masa remaja

dalam penelitian ini meliputi:

1. Terjadinya perubahan besar yang membutuhkan pnyesuaian diri, perubahan tersebut meliputi: perubahan fisik yang pesat, perubahan kognitif yang ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, terjadinya perubahan psikologis yang ditandai dengan kondisi emosi yang labil.

2. Masa pencarian identitas diri.

3. Sikap menentang terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya, hal ini mengindikasikan adanya keinginan untuk mandiri (independence) dari

ketergantungan terhadap orang lain.

4. Kegelisahan. Perasaan tidak tenang menguasai remaja, hal ini terjadi karena begitu banyaknya keinginan remaja tetapi dia sendiri tidak sanggup memenuhinya.

5. Adanya kecenderungan membentuk kelompok atau bergaul dengan

golongan yang sebaya.

2.1.3. Tugas-tugas perkembangan remaja

Menurut Hurlock (1999) tugas-tugas perkembangan remaja itu adalah:

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita

(34)

4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa

lainnya.

6. Mempersiapkan karir ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keuangan.

8. Memperoleh pangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dalam mengembangkan ideologi.

Sedangkan untuk tugas-tugas perkembangan remaja awal, Mar'at

Samsunuwijati (dalam Nihayah, 2006) mengemukakan lebih spesifik tugas-tugas perkembangannya, yaitu sebagai berikut:

1. Menerima perubahan tubuh yang dialaminya.

2. Dapat berinteraksi dengan teman sebayanya.

3. Menerima peran sesuai jenis kelamin yang akan menuju ke arah dewasa.

2.1.4. Definisi kenakalan remaja

kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan

remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga

mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang (Kartono, 2005).

(35)

ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat

sebagai suatu kelainan dan disebut "kenakalan".

Simanjuntak memberikan pengertian berdasarkan tinjauan sosiokultural,

bahwa juvenile delinquency adalah suatu perbuatan apabila bertentangan

dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti-sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif (dalam Sudarsono, 2004).

Bimo Walgito dan Fuad Hasan memberikan pengertian kenakalan remaja sebagai perbuatan anti sosial yang melawan hukum yang dilakukan oleh

anak-anak khususnya remaja, dan jika dilakukan oleh orang dewasa

dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan (dalam Sudarsono, 2004).

Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja

(36)

mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Jika perbuatan melanggar hukum ini dilakukan oleh orang

dewasa, maka dinamakan tindakan kejahatan. Namun apabila dilakukan oleh anak-anak tidak termasuk ke dalam tindakan kriminal, sehingga tidak

dikenakan sangsi hukum formal dan tindakan tersebut hanya disebut dengan kenakalan bukan kejahatan.

2.1.5. Bentuk dan aspek kenakalan remaja

Singgih D. Gunarsa (1989), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok, yaitu:

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Seperti:

a. Berbohong b. Membolos

c. Kabur dari rumah d. Keluyuran

e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain

f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk g. Berpesta pora semalaman tanpa ada pengawasan

(37)

1. Secara berkelompok makan di rumah makan tanpa bayar atau naik bis

tanpa membeli karcis

J. Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri dengan berbagai tujuan

k. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau menggunakan narkoba.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum atau kejahatan dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Kejahatan ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat ringannya

pelanggaran tersebut, seperti:

a. Perjudian dan segala macam bentuknya yang menggunakan uang. b. Pencurian dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan, seperti

pencopetan, perampasan, penjambretan. c. Penggelapan barang.

d. Penipuan dan pemalsuan.

e. Pelanggaran norma susila, menjual gambar dan film porno.

f. Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.

g. Tindakan-tindakan anti sosial, seperti perbuatan yang merugikan orang

lain.

h. Percobaan pembunuhan.

i. Menyebabkan kematian orang lain.

(38)

k. Menggugurkan kandungan.

I. Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.

Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat

bentuk yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti: perusakan,

pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak

sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.

Berdasarkan bentuk-bentuk kenakalan remaja yang dikemukakan oleh

Singgih D. Gunarsa dan Jensen, maka bentuk-bentuk kenakalan remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua tindakan yang melanggar aturan atau norma yang berlaku yang dapat mengakibatkan kerugian

(39)

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam

undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Seperti: berbohong, membolos, kabur dari rumah, keluyuran, memiliki dan memba Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan

sebagai pelanggaran hukum. Seperti: membawa senjata tajam, bergaul dengan teman yang memberikan pengaruh buruk, berpesta pora, makan dan naik kendaraan umum tanpa bayar, membaca buku porno,

berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan undang-undang dan hukum yang berlaku. Kejahatan ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran tersebut, seperti: berjudi, pencurian,

penggelapan barang, penipuan, pelanggaran norma susila, pembunuhan, menggugurkan kandungan, penganiayaan berat.

1.1.6. Latar belakang kenakalan remaja

Singgih D. Gunarsa (1989) mengungkapkan latar belakang terbentuknya kenakalan remaja dilihat dari berbagai kondisi, yaitu sebagai berikut:

1. Kondisi remaja yang bersangkutan:

a. Kekurangan penampungan emosional. Mencapai kematangan

emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi

(40)

sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok

teman sebayanya. Apabila lingkungan keluarga cukup kondusif yang diwarnai dengan keharmonisan, saling mempercayai, saling

menghargai dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung

dapat mencapai kematang emosionalnya. Dalam menghadapi perubahan emosional tersebut tidak sedikit remaja bersifat defensif,

reaksi ini berupa tingkah laku agresif dan melarikan diri dari kenyataan

(Yusuf, 2002).

b. Kelemahan dalam mengendalikan dorongan dan kecenderungan.

c. Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan. d. Kekurangan dalam pembentukan hati nurani 2. Kondisi lingkungan:

a. Lingkungan keluarga. Kondisi keluarga yang tidak nyaman seperti seringnya terjadi pertengkaran antara orang tua (tension), kehilangan kehangatan (warmth less), hubungan buruk antara orang tua dan anak

(bad parent-child relationship), dan seringnya orang tua "absen" di

rumah, kesemuanya ini bisa memberikan kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku pada remaja (Hawari, 1999).

b. Lingkungan masyarakat:

(41)

2. Faktor sosial politik, sosial ekonomi, dengan mobilisasi-mobilisasi yang sesuai dengan kondisi secara keseluruhan atau kondisi-kondisi setempat, seperti di kota-kota besar dengan ciri-ciri khasnya.

3. Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan

bermacam-macam kenakalan remaja.

2.1. 7. Karakteristik kenakalan remaja

Singgih D. Gunarsa (1989) mengungkapkan beberapa ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja, yaitu:

1. Dalam pengertian nakal, harus terlihat adanya perbuatan yang bersifat melanggar hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral. 2. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang asosial yaitu bertentangan

dengan norma sosial yang ada di lingkungannya.

3. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh remaja yang berusia antara 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh batas-batas umur, juga ditentukan oleh status perkawinan. Maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja

adalah perbuatan yang dilakukan oleh remaja yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah.

(42)

Sedangkan untuk karakteristik remaja yang nakal, Kartini kartono (2006),

mengungkapkan beberapa karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :

1. Perbedaan struktur intelektual

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Rahayu Haditono menunjukkan bahwa kebanyakan dari jumlah anak-anak delinkuen yang diteliti mempunyai skor

inteligensi di bawah rata-rata (69,59%) dan sebagian kecil mempunyai skor yang tinggi (6,9%) (Monks, 1999).

2. Perbedaan fisik dan psikis

Remaja yang nakal memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka

lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. 3. Ciri karakteristik individual

Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :

1. Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa

depan.

2. Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

3. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak

(43)

4. Mereka senang menceburkan diri dalam kegialan lanpa berpikir yang merangsang rasa kejanlanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang lerkandung di dalamnya.

5. Pada umumnya mereka sangal impulsif dan suka lanlangan dan

bahaya.

6. Hali nurani lidak alau kurang lancar fungsinya.

7. Kurang memiliki disiplin dan konlrol diri sehingga mereka menjadi liar danjahat.

Conger (dalam Monks, 1999) menyalakan bahwa remaja nakal biasanya mempunyai ciri-ciri seperti kepercayaan diri yang linggi, sifat memberonlak,

ambivalen lerhadap olorilas, mendendam, curiga, destruktrif, implusif dan

menunjukan konlrol balin yang kurang.

Dari beberapa karaklerislik kenakalan remaja di alas, yang dijadikan landasan dalam penelilian ini adalah:

1. Kenakalan remaja merupakan semua perbuatan yang melanggar hukum

dan pelanggaran terhadap nilai-nilai dan moral oleh remaja berusia sekilar 13-17 lahun, baik secara berkelompok maupun perorangan. 2. Secara inleleklual, remaja nakal biasanya memiliki skor inleligensi di

(44)

3. Rata-rata remaja yang nakal hnya berorientasi pada masa sekarang tanpa memikirkan masa depan dan pada umumnya mereka sangat

implusif dan menyukai tantangan yang berbahaya untuk merangsang

kejantanannya.

4. selain itu, mereka memiliki tingkat kepercayan diri yang tinggi, cenderung untuk memberontak dengan sikap ambivalen terhadap otoritas,

mendendam, curiga dan cenderung destruktifyang menunjukkan kontrol

batin yang sangat rendah.

2.1.8. Faktor - faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja

Dalam bukunya, Sudarsono (2004) mengungkapkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah kondisi keluarga.

Adapun kondisi keluarga yang dapat menimbulkan kenakalan adalah: 1. Keluarga yang broken home. Pada dasarnya kenakalan remaja yang

disebabkan karena broken home dapat diatasi dengan cara-cara tertentu. Dalam keluarga yang broken home cara mengatasinya adalah orang tua

hendaklah mampu memberikan kasih sayang sepenuhnya sehingga anak merasa tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya. Di samping itu

keperluan anak secara jasmani (sandang, pangan dan papan) harus dipenuhi sebagaimana layaknya.

Pada prinsipnya struktur keluarga dalam broken home sudah tidak lengkap

(45)

masyarakat. Jika kondisi ketiga kutub itu tidak kondusif, maka akan memicu

timbulnya penyimpangan perilaku.

1. Kutub Keluarga

Kriteria kondisi keluarga yang tidak sehat yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang pada remaja:

a) Keluarga yang tidak utuh (broken home by death, separation, divorce).

b) Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah.

c) Hubungan interpersonal antara anggota keluarga yang tidak harmonis.

d) Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak hanya dalam bentuk materi bukan dari pada kejiwaan.

2. Kutub Sekolah

Kondisi sekolah yang tidak baik dapat mengganggu proses belajar mengajar yang pada saatnya dapat memberikan peluang pada anak didiknya untuk berperilaku menyimpang. Kondisi tersebut antara lain:

a) Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai.

b) Kuantitas dan kualitas tenaga pengajar yang tidak memadai. c) Kuantitas dan kualitas Tenaga non guru yang tidak memadai d) Kesejahteraan guru yang tidak memadai.

e) Kurikulum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama kurang.

(46)

3. Kutub Masyarakat

Kutub rnasyarakat ini dibagi rnenjadi dua faktor, yaitu:

a. Faktor kerawanan rnasyarakat (lingkungan), terdiri dari:

1) Ternpat-ternpat hiburan yang dibuka hingga larut rnalarn bahkan sarnpai

dini hari.

2) Peredaran alkohol, narkotika dan obat-obatan terlarang. 3) Pengangguran.

4) Anak-anak putus sekolah/anak jalanan.

5) Wanita tuna susila

6) Beredarnya bacaan dan tontonan yang sifatnya porno dan rnengandung

kekerasan.

7) Perurnahan kurnuh dan padat. 8) Pencernaran lingkungan.

9) Tindak kekerasan dan krirninalitas. 10) Kesenjangan sosial.

b. Faktor daerah rawan (gangguan kearnanan), terdiri dari: 1) Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat adiktif lainnya.

2) Perkelahian perorangan ataupun rnassal. 3) Kebut-kebutan.

4) Pencurian, perarnpasan, penodongan, perarnpokan. 5) Perkosaan

(47)

dimengerti bila remaja membutuhkan kesempatan untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengan orang yang mereka anggap dewasa, yang pada

umumnya adalah orang tua mereka. Kehidupan keluarga yang harmonis itulah yang sangat mendukung perkembangan remaja yang baik, dimana

orang tua bisa berperan sebagai figur yang penuh perhatian, memperhatikan kebutuhan secara fisik dan psikisnya, adanya komunikasi yang harmonis, serta saling menyayangi dan menghargai, sehingga remaja akan mempunyai

persepsi interpersonal yang positif tentang keluarganya.

Menurut Syamsu Yusuf (2002), Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah:

1. Kelalaian orang tua dalam mendidik anak terutama dalam memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama

2. Sikap atau perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak

3. Perselisihan atau konflik orang tua (antar anggota keluarga) 4. Kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit (miskin)

5. Perceraian orang tua

6. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai moral)

7. Diperjualbelikannya minuman dan obat terlarang secara bebas 8. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang tidak terkontrol

(48)

10. Beredarnya film atau bacaan porno secara bebas 11. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok

12. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang

2.1.9. Upaya - upaya mengatasi kenakalan remaja

Menurut Singgih D. Gunarsa (1989) usaha penanggulangan masalah

kenakalan remaja dapat dibagi dalam tindakan preventif, represif dan kuratif. 1. Tidakan preventif yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah timbulnya

kenakalan-kenakalan. Tindakan ini terbagi kedalam dua bidang, yaitu: 1) Usaha pencegahan secara umum, meliputi:

a. Usaha mengenal dan mengetahui ciri-ciri umum maupun yang khas pada perkembangan remaja.

b. Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh para

remaja. Terutama yang bisa menyebabkan timbulnya kenakalan

remaJa.

c. Usaha pembinaan remaja, usaha ini terdiri dari:

a) Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

b) Memberikan pendidikan mental dan pribadi melalui pelajaran agama, budi pekerti dan etika.

c) Menyediakan sarana-sarana dan menciptakan suasana yang

(49)

d) Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial

keluarga maupun masyarakat dimana terjadi banyaknya

kenakalan remaja.

2) Usaha pencegahan secara khusus yang dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan perilaku remaja, baik itu orang tua maupun guru di

sekolah dengan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling dengan tujuan:

a. Pengenalan diri sendiri

b. Penyesuaian diri: Mengenal dan menerima tuntutan dan

menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.

c. Orientasi diri: Mengarahkan pribadi remaja ke arah pembatasan antara diri pribadi dan sikap sosial dengan penekanan pada

kesadaran nilai-nilai sosial, moral dan etika.

2. Tindakan represif. Usaha ini dilakukan dengan memberikan hukuman

terhadap berbagai pelanggaran terhadap norma-norma yang disepakati, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini

dilakukan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kenakalan remaja. 3. Tindakan kuratif dan rehabilitasi. Tindakan ini dilakukan setelah tindakan

pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu untuk mengubah

(50)

Sedangkan menurut Sudarsono (2004) upaya penanggulangan kenakalan remaja dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Upaya menumbuhkan kesadaran hukum. Dengan memberikan

penjelasan secara luas dan rinci kepada para remaja tentang beberapa aspek yuridis yang relevan dengan perbuatan-perbuatan nakal yang

dilakukan oleh mereka. Dengan demikian, para remaja akan dapat memiliki pemahaman, penghayatan dan berperilaku hukum yang sehat.

Usaha untuk mencapai kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum yang dapat divisualisasikan dalam beragam bentuk dan jenisnya. Tolak ukur indikasi tersebut dapat dilihat dari pengetahuan tentang hukum, pemahaman kaidah-kaidah hukum, sikap terhadap

norma-norma hukum dan berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. lnternalisasi nilai-nilai kaidah sosial. Dalam setiap masyarakat pasti

memiliki norma-norma sosial yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap anggotanya. Usaha untuk memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat hampir sama dengan internalisasi norma agama.

3. lnternalisasi nilai-nilai norma agama. Hal ini dilakukan dengan

melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangannya.

Dalam upaya menanggulangi kenakalan remaja tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak saja, misalkan orang tua, akan tetapi harus adanya kerja

(51)

pentingnya upaya penanggulangan kenakalan remaja. Karena remaja tinggal dalam tiga lingkungan dasar yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, maka ketiga elemen ini harus mampu melakukan perannya masing-masing dengan

baik dengan menciptakan kondisi yang kondusif yang bisa mendukung perkembangan remaja menuju yang lebih positif. Terlebih lagi kondisi

keluarga yang harmonis dengan adanya hubungan yang ideal antar sesama anggota keluarga dan usaha-usaha untuk menanamkan nilai moral yang

positif akan mampu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan pada remaja.

2.2. KEHARMONISAN KELUARGA

2.2.1. Pengertian keluarga

Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia.

Sebagian besar manusia tumbuh dan berkembang dan didewasakan dalam lingkungan keluarga dan sejak masa bayi mereka sudah menghirup iklim

(52)

tertentu yang mengikat setiap anggota menjadi satu kesatuan (Kartono,

1986).

Mengenai pengertian keluarga, menurut Gunarsa dan Ny. Gunarsa (1995)

bahwa keluarga adalah tempat yang penting dimana anak memperoleh keterampilan dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil di dalam masyarakat, dan keluargapun sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, karena suasana dalam keluarga mempunyai pengaruh dalam perkembangan emosi, respons reaktif anggota keluarganya terutama anak-anak.

Sedangkan menurut F.J. Brown (dalam Yusuf, 2002) jika dipandang secara

sosiologis bahwa keluarga dapat diartikan menjadi dua macam, yaitu: a) dalam arti luas keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan klan atau marga; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan anak. Hal ini senada dengan definsi

keluarga yang terdapat dalam Kamus Lengkap Psikologi, yang menyatakan

(53)

Begitu juga dengan Dadang Hawari (1999), yang mendefinisikan keluarga

sebagai suatu matriks sosial atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spritual, dimana seluruh anggota keluarga terikat oleh status ikatan yang khusus

untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan.

Dari beberapa pendapat di atas hampir semuanya memiliki kesamaan bahwa yang namanya keluarga merupakan suatu kelompok individu yang di

dalamnya terdapat beberapa faktor penentu seperti adanya ikatan dan

adanya hubungan darah yang secara emosional memiliki ikatan yang sangat kuat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Sedangkan untuk bentuk dan pola keluarga sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu 1) keluarga inti (nuclear family) atau keluarga kecil, yang terdiri

dari suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan termasuk juga anak tiri Qika ada). 2) Keluarga luas (extended family) atau keluarga

besar, yang keanggotaannya tidak hanya meliputi suami, istri dan anak-anak yang belum berkeluarga, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya

tinggal dalam sebuah rumah tangga besama, seperti mertua, adik, kakak ipar

(54)

2.2.2. Ciri-ciri keluarga

Maciver (dalam Yusuf, 2002) menyebutkan secara rinci ciri khas dari keluarga

yang umum terdapat dimana-mana, yaitu:

1. Hubungan berpasangan kedua jenis.

2. Adanya perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengokohkan

hubungan tersebut.

3. Adanya pengakuan akan keturunan.

4. Kehidupan ekonomis yang dinikmati bersama.

5. Terciptanya kehidupan berumah tangga.

2.2.3. Peran dan fungsi keluarga

Keluarga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi anak. Peranan orang tua yang penuh dengan kasih sayang dan disertai dengan internalisasi nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun nilai sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang

menukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang bermanfaat.

Keluarga yang penuh dengan kebahagiaan merupakan suatu hal yang

(55)

unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, sehingga interaksi sosial

yang harmonis antar unsur dalam keluarga dapat diciptakan.

Menurut Singgih D. Gunarsa (2007) bahwa suatu keluarga akan dikatakan harmonis jika setiap anggota keluarga memiliki kemauan baik, toleransi, dan adanya kasih sayang. Adanya kemauan baik adalah adanya usaha untuk menciptakan kondisi keluarga yang harmonis yang nyaman. Memiliki toleransi dalam menyikapi berbagai perbedaan, disamping sikap orang tua

yang memi\iki kesatuan dan keserasian dalam pikiran terutama dalam masalah po\a pengasuhan anak. Sedangkan menanamkan cinta kasih atau kasih sayang berarti dalam kehidupan setiap hari antara orang tua dan anak saling mencurahkan kasih sayang.

Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan

perkawinan orang tuanya bahagia akan memersepsikan rumah mereka

sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orang tua, semakin sedikit masa\ah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi

(56)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan keharmonisan keluarga

adalah situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta

kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.

2.2.5. Aspek-aspek keharmonisan keluarga

Nick Stinnet dan John DeFrain (dalam Hawari, 1999) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan menuju hubungan perkawinan/keluarga harmonis yang di dalamnya terdapat kebahagiaan.

Aspek-aspek tersebut adalah:

1. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.

Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan Berdasarkan beberapa

penelitian ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang penanaman komitmen agamanya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali

cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan

suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat

(57)

2. Mempunyai waktu bersama dalam keluarga

Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,

menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya

dibutuhkan dan diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga anak akan betah untuk tinggal di rumah.

3. Adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga

Komunikasi yang baik, demokratis, dan tidak mementingkan keinginan sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin hubungan yang harmonis. Sering kali keluarga yang disebabkan karena adanya kesenjangan komunikasi antar anggotanya. Sebab komunikasi tidak hanya sekedar menyampaikan pesan tetapi komunikasi juga menentukan kondisi hubungan interpersonal seseorang (Rakhmat, 2002).

4. Saling menghargai satu sama lain

Dalam sebuah keluarga terdapat berbagai perbedaan antar satu sama

lain, baik dalam sikap. kepribadian maupun pola pikir. Untuk itulah sebuah keluarga akan bahagia jika anggota keluaganya berusaha saling

memahami dan menghargai berbagai perbedaan yang ada. Singgih D. Gunarsa (2007) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah

(58)

memperkecil kemungkinan terjadinya konflik yang bisa menimbulkan

keretakkan hubungan antar anggota keluarga.

5. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga. Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak

memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi

rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya

kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling

menghargai.

6. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara positif dan konstruktif

Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha

menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian

terbaik dari setiap permasalahan.

Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran

dan fungsi orang tua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau

(59)

2.2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga

Zakiah Daradjat (dalam Uswatusolihah, 2008) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya keluarga yang harmonis atau

sakinah, faktor-faktor tersebut adalah:

1. Sikap saling mengerti antara suami dan istri

Maksudnya masing-masing saling memahami dan dapat mengerti

pasangannya masing-masing. Paham bagaimana harus bersikap dalam menghadapi berbagai perbedaan dengan menghormatinya, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik atau kesalah pahaman.

2. Saling menerima

Maksudnya adalah menerima kondisi apapun terhadap semua anggota keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tidak

mempermasalahkan berbagai perbedaan yang ada, seperti, kondisi jasmani. kondisi ekonomi maupun terhadap prestasi-prestasi yang telah diraih oleh anggota keluarga.

3. Saling menghargai

Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan,

hal ini akan memberikan dampak yang positif seperti timbulnya perasaan diterima, merasa dibutuhkan, dan menumbuhkan citra diri yang baik.

(60)

Mengenai masalah kenakalan remaja, telah banyak pendapat dan penelitian

yang mengungkapkan berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya

kenakalan remaja. Jika dilihat dari beberapa faktor yang menimbulkan

kenakalan pada remaja diantaranya faktor keluarga, lingkungan, maupun

lingkungan sekolah, semuanya memiliki ikatan yang kuat untuk bisa saling

mempengaruhi dan bisa menimbulkan perilaku yang menyimpang (Hawari,

1999). Sudarsono (2004) mengungkapkan dengan jelas bahwa kondisi

keluarga memberikan kontribusi yang besar dalam terciptanya kenakalan

pada remaja, seperti keluarga broken home.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor

penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orang tua

sebagai figur tauladan bagi anak (Hawari, 1999) Selain itu suasana keluarga

yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan

keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap

usia terutama pada masa remaja.

Permasalahan keharmonisan keluarga sebenarnya terletak pada erat

tidaknya hubungan antar anggota keluarga, baik hubungan dalam bentuk

komunikasi verbal maupun secara emosional. Menurut Dadang Hawari

(1999) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing

(61)

mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, sehingga

interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga dapat diciptakan.

Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orang

tuanya bahagia akan memersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang

membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orang tua,

semakin sedikit masa\ah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan

keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga,

sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin. Dan secara

emosional suasana tersebut akan mempengaruhi rnasing-masing anggota

keluarga untuk bertengkar dengan yang lainnya.

Aspek-aspek yang dijadikan landasan teoritis terhadap harmonis atau

tidaknya suatu keluarga berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan

oleh Nick Stinnet dan John DeFrain. yang menyatakan beberapa aspek

seperti: Kehidupan beragarna dalam keluarga. rnemiliki waktu bersama dalam

keluarga. terciptanya komunikasi yang baik. saling menghargai, adanya

keterikatan, memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan

(62)

Sedangkan aspek kenakalan remaja didasarkan pada aspek-aspek

kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Singgih D. Gunarsa (1989), yang

terdiri dari aspek:

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial. Dengan indikator:

Berbohong, membolos, kabur dan keluyuran dari rumah, memiliki dan

membawa benda yang membahayakan orang lain, pergaulan negatif,

berpesta para, membaca buku porno dan kebiasaan menggunakan

bahasa tidak sopan/kasar, makan/naik bis tanpa bayar dan

minum-minuman keras.

2. Kenakalan yang bersifal melanggar hukum. Dengan indikalor: Perjudian,

pencurian, pelanggaran norma susila, menggugurkan kandungan,

penganiayaan beral dan terlibal narkoba.

Berdasarkan landasan leori di alas, mekanisme yang lerjadi pada

permasalahan di alas adalah bagaimana remaja yang merasakan bersama

keluarganya yang harmonis cenderung mempunyai perilaku positif. Hal ini

tentu berdampak semakin berkurangnya kecenderungan berperilaku nakal

alau negalif, karena di dalam keluarga harmonis anak diajarkan apa ilu

langgung jawab dan kewajiban, mengajarkan berbagai norma yang berlaku di

masyarakat dan keterampilan lainnya agar anak dapal menyesuaikan diri

dengan lingkungan serta dapal mencapai kematangan secara keseluruhan

(63)
[image:63.518.41.451.135.513.2]

Table 2.1

Skema Kerangka Berpikir

Keluarga harmonis Kenakalan remaja tinggi

Keluarga tidak harmonis J Kenakalan remaja rendah

2.4.

HIPOTESIS

Dalam penelitian ini penulis menetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut:

H0 : Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan

keluarga dengan kenakalan remaja.

Ha : Ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga

(64)

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan dan metodologi penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif karena analisa data akhir dilakukan dengan perhitungan secara statistik. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif

dengan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk mencari hubungan

antar variabel penelitian.

3.2. Definisi variabel dan operasional variabel

Variabel adalah suatu karakteristik yang mempunyai dua atau lebih nilai atau sifat yang satu sama lain terpisah (Sevilla, et al, 1993). Variabel terbagi dua macam, yaitu variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas

(independent variable).

Variabel dalam penelitian ini meliputi:

1. Variabel terikat (DV): Kenakalan remaja 2. Variabel bebas (IV): Keharmonisan keluarga

(65)

Gambar

Tabel 2.1 Skema Kerangka Berpikir .....................................................
Table 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Bobot Nilai
Tabel 3.2 Blue Print Kenakalan Remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

31  Upravljanje resursima - Upravljanje resursima samog obrta jako je bitno iz razloga što je bitno u svakom trenutku znati u kojem stupnju opremljenosti se nalazi sami obrt, što

Rata-rata jumlah buah tanaman cabe rawit tertinggi adalah 63,00 diperoleh dalam kombinasi perlakuan P2T2 (pupuk kandang kambing dengan dosis 10 ton/hektar), sedangkan

Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang kurang (mual, muntah).. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan

Penghibahan mesin pembuat pellet ayam ini sangat tepat jika disandingkan dengan mesin penetas anak ayam dan dengan adanya bantuan mesin ini sangat mungkin

PANE SMAN 3 RANTAU UTARA Lab... H SMP NEGERI 11

Dari sisi kinerja layanan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sudah menerapkan ISO 9001:2008. Pemberian sertifikat ISO ini bukan hanya di tingkat Rektorat tetapi juga di beberapa

Bilangan kompleks: sistem bilangan kompleks, geometri bilangan kompleks, dan akar bilangan kompleks. Fungsi Kompleks: pengertian fungsi kompleks, dan fungsi