HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN
KENAKALAN REMAJA
); ' . '" i '""" ;-;.;_;
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh:
Imam Fahrni Umami
NIM: 101070023073
Skripsi diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana ヲゥセセセpNj_Yゥ@ セ@ .. -. _,
•iari . NNNNNNNNMセGww`JQGキZオMゥアカLGrMセ@
fgl. ;
iエZZZ」コ[ZセZセセBGGGBGhh|hhセ@
No. lnduk :
Q.(J.J -
t1..::::-
2t'TG'o"
klasifikasi • ... __.
···
FAKULTAS PSIKOLOGI
•
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Pembimbing I
Oleh:
Imam Fahrni Umami NIM: 101070023073
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing II
S. Evangeline I. Suaidy, M.Si.. Psi NIP: 5150411217
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi yang berjudul Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan remaja telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada: Senin, 7 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 7 Desember 2009 Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D
NIP. 130 885 522 NIP. 195661223 198303 2001
Anggota: Penguji I
セMMM
Ors. Rachmat Mulyono, M.Si., Psi
NIP. 150 293 240
Pembimbing I
Dr . Fadhilah Sura a a M.Si
NIP. 195661223 198303 2001
Penguji II
NIP. 195661223 198303 2001
S. Evangeline I. Suaidy, M.Si., Psi
Kupersembahkan Karya sederhanaku ini untuk kedua orang tuaku tercinta Yang tidak pernah lelah untuk mendorong dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan kuliah ini, keringat dan cucuran air matanya takkan kusia-siakan lagi.
Untuk keponakan dan kakak-kakakku yang sangat kusayangi, Terima kasih alas semua pengorbanannya.
(A) Fakultas Psikologi (B) November 2009 (C) Imam Fahrni Umami
(D) Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan Kenakalan Remaja (E) xiv + 95 halaman
(F) Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan karena belum diperolehnya status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi dalam status anak-anak. Secara umum usia remaja berkisar antara 12 sampai 22 tahun yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan baik dalam bentuk fisik emosi maupun psikologisnya. Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menjadi masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku yang menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu. Melihat kondisi tersebut, apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai perilaku menyimpang dan tingkah laku negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat atau yang biasanya disebut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.
Kenakalan remaja adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut melanggar aturan atau norma (baik norma agama, norma hukum maupun norma-norma lainnya yang berlaku di masyarakat) yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Keharmonisan keluarga adalah situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai oleh kasih sayang dan rasa saling percaya
sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i SMP DUA MEI Ciputat
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel penelitian berdasarkan analisa koefisien korelasi.
Setelah kedua skala diuji validitasnya dengan korelasi Product Moment
dari Pearson dan diuji reliabilitasnya dengan Alpha Cronbach, untuk skala kenakalan remaja diperoleh 31 item valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0, 9110, sedangkan untuk skala keharmonisan keluarga diperoleh 26 item valid dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,8908, semua item yang valid dalam kedua skala ini digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan program SPSS versi 15 for Windows dengan teknik uji korelasi Product Moment dari Pearson. Dari hasil penelitian diperoleh rhitung sebesar -0.159 lebih kecil dari r1abe1 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0.316. Dengan demikian, maka hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja diterima. Arah hubungan yang dihasilkan menunjukkan arah yang negatif, yang
bermakna ada kecenderungan semakin tinggi keharmonisan keluarga maka semakin berkurang kenakalan remaja meskipun hubungan tersebut tidak signifikan.
Bagi peneliti selanjutnya penulis berharap dapat menggali masalah ini lebih dalam dan sebaiknya responden yang diambil lebih bervariasi atau bila memungkinkan dapat digunakan kombinasi dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan jumlah responden yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh sebuah gambaran menyeluruh
mengenai keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja. Selain itu, adanya variabel-variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap
karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah untuk Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang sempurna untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini hingga akhir zaman, serta kepada keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa mendampinginya dalam menyebaran ajaran kebenaran.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dedikasi dari berbagai pihak yang telah membantu kelancarannya sehingga penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat penulis akan memberikan rasa terima kasih kepada semua pihak tersebut, diantaranya: 1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Jahja
Umar, Ph.D beserta jajaran pimpinan lainnya.
2. lbu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Dosen Pembimbing I dan lbu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Dosen Pembimbing II, yang di tengah kesibukannya telah meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan dan saran dalam penulisan skrispsi ini.
3. lbu solicha, M.Si, Dosen Penasehat Akademik penulis serta seluruh dosen Fakultas Psikologi yang teiah banyak memberikan ilmu dan arahannya.
4. Orang tua tercinta, Hasan Djayadi dan Didoh Hidayatulmilah yang telah memberikan kasih sayang dan doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan kepada Allah SWT guna keberhasilan dan kebahagiaan anak-anaknya. Terima kasih yang tak terhingga ananda ucapkan dari hati yang paling dalam. Ya Allah, Berikanlah kemuliaan untuk kedua orang tuaku ini, Amin. 5. Untuk kakak-kakak tercinta; Neneng Fatimatu Zahra, Nunung Nurlaela,
6. Semua keponakanku tersayang: Ulfa, Fikri, Syahla, Salwa, Nabiel dan Najwa serta calon adiknya yang masih dalam kandungan, senyum kalian selalu membuat penulis rindu dan bahagia.
7. Teruntuk Furi lndriyani, orang yang sangat istimewa yang selalu
mendampingi penulis baik suka maupun duka, terutama dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih alas kepedulian, kasih sayang, bantuan moral dan materiil, saran serta kesetiaannya mendampingi dan menunggu penulis selama ini.
8. Untuk sahabatku Abdul kholiq, teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2001, Aan, Sibul, Rahmat, Akbar yang udah mau berbagi tinta printernya, saudaraku Dadang, Azis, Fikri, Mang Arif, Badrus, lntan dan Ros yang
udah minjemin kartu perpustakaannya. Serta teman-teman yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan support serta kritik yang mernbangun.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya. Amin
Jakarta, November 2009
Lembar Pengesahan ... iii
Persembahan ... iv
Abstrak ... v
Kata Pengantar ... vii
Daftar lsi ... ix
Daftar Tabel ... xiii
Daftar Skema ... xiv
BABIPENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. ldentifikasi Masalah ... 8
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
1.3.1. Pembatasan masalah ... 8
1.3.2. Perumusan masalah ... 9
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1. Tujuan penelitian ... 9
1.4.2. Manfaat penelitian ... 1 O 1. Manfaat teoritis ... 1 O 2. Manfaat praktis ... 1
o
1.5. Sistematika Penulisan ... 1 O BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kenakalan Remaja ... 122.1.4. Definisi kenakalan remaja ... 20
2.1.5. Bentuk dan aspek kenakalan remaja ... 21
2.1.6. Latar belakang kenakalan remaja ... 24
2.1.7. Karakteristik kenakalan remaja ... 25
2.1.8. faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja ... 28
2.1.9. Upaya-upaya mengatasi kenakalan remaja ... 33
2.2. Keharmonisan Keluarga ... 36
2.2.1. Pengertian keluarga ... 36
2.2.2. Ciri-ciri keluarga ... 40
2.2.3. Peran dan fungsi keluarga ... 40
2.2.4. Pengertian keharmonisan keluarga ... 41
2.2.5. Aspek-aspek keharmonisan keluarga ... 43
2.2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga ... 46
2.3. Kerangka Berpikir ... 48
2.4. Hipotesis ... 52
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jen is Penelitian ... 53
3.1.1. Pendekatan dan metodologi penelitian ... 53
3.3.2. Teknik pengambilan sampel ... 55
3.4. Teknik pengumpulan data ... 55
3.4.1. Metode dan instrumen pengumpulan data ... 55
3.4.2. Teknik uji instumen penelitian ... 60
1. Uji validitas ... 60
2. Uji reliabilitas ... 64
3.5. Teknik analisa data ... 65
3.6. Prosedur penelitian ... 66
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gamba ran Um um Subjek Peneliti ... 68
4.1.1 Gamba ran subjek berdasarkan jenis kelamin ... 68
4.1.2. Gambaran subjek berdasarkan penyebaran skor ... 68
1. Kategorisasi skor kenakalan remaja ... 68
2. Kategori skor keharmonisan keluarga ... 71
4 2 P . . enguj1an 1po es1s ... .. H.
t .
73 4.3. Hasil Tambahan ... 744.3.1. Keharmonisan keluarga __ ... _ .... _ ... _ ... 7 4 4.3.2. kenakalan remaja ... 78
DAFT AR PUST AKA ... 88
Table 3.2 Blue Print Kenakalan Remaja --- 57
Table 3.3 Blue Print Keharmonisan Keluarga --- 58
Table 3.4 Blue Print Hasil Try Out Skala Kenakalan Remaja --- 61
Tabel 3.5 Blue Print Hasil Try Out Skala Keharmonisan Keluarga --- 63
Tabel 3.6 Tingkat reliabilitas --- 64
Tabel 4.1 Jenis kelamin --- 68
Tabel 4.2 Kategorisasi Skor Kenakalan Remaja --- 69
Tabel 4.3 Tingkat kenakalan remaja berdasarkan jenis kelamin --- 70
Tabel 4.4 Tingkat keharmonisan keluarga berdasarkan jenis kelamin ___ 71 Tabel 4.5 Perbandingan antara kenakalan remaja dengan keharmonisan keluarga ... ____ --- _____ --- _______________ 72 Tabel 4.6 Hasil uji korelasi --- 74
Tabel 4.7 Nilai R square keharmonisan keluarga ___________________________________ 76 Tabel 4.8 Uji konstanta aspek keharmonisan keluarga --- 76
[image:13.518.30.454.100.585.2]PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan karena belum diperolehnya status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi dalam status anak-anak. Secara umum usia remaja berkisar antara 10 sampai 22 tahun
yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan baik dalam bentuk fisik emosi maupun psikologisnya (Santrock, 2003). Para ahli membagi rentangan usia remaja ini berdasarkan sudut pandang masing-masing sehingga terjadi perbedaan antara permulaan dan berakhirnya masa remaja.
Masa transisi tersebut kemungkinan dapat menjadi masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku yang menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang
mengganggu. Melihat kondisi tersebut, apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai perilaku menyimpang dan tingkah laku negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat atau yang
biasanya dist:ibut dengan istilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency.
Secara mayoritas pelaku kenakalan remaja berusia di bawah 21 tahun. Angka tertinggi kejahatan pada usia 15 - 19 tahun, dan sesudah usia 22 tahun kasus kejahatan menurun (dalam Kartono, 2006). Hal ini disebabkan karena mulainya proses pendewasaan, sehingga remaja mulai bisa
mempertimbangkan setiap perilaku agar tidak menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat.
Secara umum kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang bertentangan dengan norma-norma yang ada di dalam
masyarakat di mana ia hidup dan terkandungnya unsur-unsur anti-normatif.
Kartini Kartono (2006) mengatakan remaja yang nakal itu disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat sosial disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut kenakalan. lstilah kenakalan remaja atau juvenile delinquency mengacu pada suatu rentang yang luas, mulai dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial
sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2006).
pencurian, pembunuhan, penganiayaan, pemerasan dan perbuatan-perbuatan Jainnya yang bisa meresahkan masyarakat.
Jika dilihat dari aspek sikap dan jenis perbuatan, maka Johnson (dalam
Monks, 1999) membagi kenakalan remaja ke dalam dua jenis, yaitu
kenakalan sosiologis dan kenakalan individual. Kenakalan sosiologis terjadi jika seorang remaja menentang seluruh konteks (termasuk norma, adat, budaya dan lain-lainnya) sosial kecuali konteks sosialnya sendiri. Dalam
kondisi tersebut kebanyakan remaja yang nakal tidak merasa bersalah bila melakukan kejahatan yang merugikan orang lain asal bukan dari
kelompoknya sendiri. Sedangkan kenakalan individual, remaja tersebut memusuhi semua orang, baik tetangga, kawan bahkan kedua orang tuanya
sendiri.
Mengenai masalah kenakalan remaja, telah banyak pendapat dan penelitian yang mengungkapkan berbagai faktor-faktor yang melatarbelakangi
munculnya kenakalan remaja ini. Bila dihubungkan dengan kondisi
masyarakat Indonesia saat ini, terlihat bahwa remaja menghadapi pergeseran
dalam sistem nilai, terutama dalam etika pergaulan serta gaya hidup. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya tayangan di media televisi yang memperlihatkan pergaulan yang lebih permisif dan memperlihatkan budaya hedonis.
tertentu dari perkembangan di masa remaja telah menjadi model berperilaku
bagi sebagian remaja Indonesia. Akibatnya remaja mengalami kebingungan
dan kekaburan dalam dirinya, hal yang beresiko menimbulkan perilaku yang tidak sesuai/ma/adaptive (Elfida, 2005).
Remaja yang melakukan perilaku menyimpang atau kenakalan biasanya
kurang memiliki kontrol diri atau justru menyalahgunakan kontrol diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri disamping meremehkan keberadaan orang lain. Kejahatan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif subjektif, yaitu keinginan untuk mencapai sesuatu dengan disertai kekerasan dan agresi. Pada umumnya mereka sangat egoistis dan suka menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya.
Pengaruh sosial dan kultur di masyarakat memiliki peranan yang besar dalam pembentukan atau pengondisian tingkah laku kriminal remaja. Perilaku
menyimpang yang dilakukan remaja ini menunjukkan tanda-tanda kurangnya bahkan tidak adanya konformitas terhadap norma-norma, baik norma sosial maupun norma agama (Kartono, 2006).
Kenakalan yang dilakukan oleh remaja sangat beragam mulai dari perbuatan
pelanggaran hukum sampai dengan perbuatan yang melanggar hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari rumah, membawa
senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media masa (Gunarsa, 1989).
Salah satu bentuk kenakalan remaja yang sering terjadi adalah perkelahian yang melibatkan pelajar pada usia muda. Kenakalan remaja dalam hal
perkelahian, dapat digolongkan ke dalam dua jenis delikuensi, yaitu
situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi.
Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada dalam satu geng atau organisasi yang norma, aturan, dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggota termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, mereka bangga melakukan apa yang diharapkan (Tambunan, 2008). Kejadian itu berkaitan dengan emosinya yang dikenal dengan masa
"strom dan stress", yaitu perasaan frustrasi dan penderitaan, konflik dan krisis
dipengaruhi oleh faktor internal, lingkungan tempat tinggal, keluarga, dan
sekolah.
Menurut Dadang Hawari (1999) bahwa remaja hidup dalam tiga kutub yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik pengaruh yang positif maupun negatif. Ketiga kutub tersebut adalah keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Secara umum mekanisme penyimpangan perilaku pada masa
remaja dipengaruhi oleh ketiga kutub ini.
Keluarga merupakan kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat tetapi menempati kedudukan yang primer dan fundamental, oleh sebab itu keluarga mempunyai peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak, terutama pada tahap awal maupun tahap-tahap kritisnya. Keluarga yang gaga! memberi cinta kasih dan perhatian akan memupuk
kebencian, rasa tidak aman dan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Demikian pula jika keluarga tidak dapat menciptakan suasana pendidikan,
maka hal ini akan menyebabkan anak-anak terperosok atau tersesat jalannya. Kondisi keluarga yang nyaman adalah kondisi yang mampu
memberikan rasa aman, merasa dihargai dan adanya sikap saling pengertian
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orang tua sebagai figur teladan bagi anak (Hawari, 1999). Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap
usia terutama pada masa remaja.
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis
mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan di sekitarnya (Hurlock, 1973).
Kondisi keluarga yang harmonis yang di dalamnya terdapat rasa saling pengertian, saling menerima satu sama lain, saling menghargai, saling
mempercayai, dan saling mencintai, akan memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan kepribadian remaja yang termasuk dalam masa transisi tersebut (Gunarsa, 2007). Sehingga remaja akan memersepsikan rumahnya sebagai tempat yang menyenangkan dan tidak akan mencari kesenangan
ditempat lain. Orang tua menganggap anaknya sebagai manusia yang patut
1.2. ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasikan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kenakalan remaja?
2. Faktor-faktor apakah yang mendukung terbentuknya keharmonisan
keluarga?
3. Apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan
remaja?
4. Seberapa besarkah peranan keharmonisan keluarga dalam mempengaruhi kenakalan remaja?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Pembatasan masalah
Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka penelitian ini akan
diberi batasan sebagai berikut:
1. Remaja merupakan suatu periode transisi antara masa kanak-kanak dan
orang dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional; Dengan rentangan usia antara 12 - 21 tahun.
masyarakat) yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
3. Keharmonisan keluarga adalah situasi dan kondisi dalam keluarga
dimana di dalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana
yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai oleh kasih sayang dan rasa saling percaya
sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang. Dalam hal ini yang dimaksud dengan keharmonisan keluarga adalah apa yang dirasa oleh remaja itu sendiri.
1.3.2. Perumusan masalah
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: Apakah ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan penelitian
1.4.2. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi wahana
perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan, psikologi keluarga, dan psikologi sosial terutama yang berhubungan dengan kenakalan remaja.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan orang tua, pendidik
dan remaja mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja,
serta menambah pengetahuan yang bisa digunakan sebagai langkah
preventif dalam menghadapi masalah kenakalan remaja.
1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Terdiri dari: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB 2 KAJIAN PUST AKA
bentuk dan aspek-aspek kenakalan remaja, latar belakang kenakalan remaja,
karakteristik kenakalan remaja, faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan
remaja, upaya-upaya mengatasi kenakalan remaja.
Keharmonisan keluarga meliputi: Pengertian keluarga, Pengertian
keharmonisan keluarga, aspek-aspek keharmonisan keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga; Kerangka berpikir dan
hipotesis.
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Terdiri dari: Jenis penelitian meliputi: Pendekatan dan metodologi penelitian. Definisi variabel dan operasional variabel. Pengambilan sampel meliputi: populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel. Teknik pengumpulan data meliputi: metode dan instrumen penelitian, teknik uji instrumen; dan diakhiri dengan uraian tentang teknik analisa data.
BAB 4 PRESENT ASI DAN ANALISA DAT A
Terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, presentasi data dan
pembahasan hasil penelitian.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
DAFT AR PUST AKA
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kenakalan Remaja
2.1.1. Definisi remaja
Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik dan seksual sehingga mampu bereproduksi. Salzman (dalam Yusuf, 2002)
mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian
(independence), minat-minat seksual, perenungan diri dan perhatian
terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Ausubel (dalam Mi.inks, 1999) mengatakan bahwa remaja berada dalam
status interim sebagai akibat dari posisi yang sebagian diberikan oleh orang
tua dan sebagian diperoleh melalui usaha se11diri yang selanjutnya
memberikan prestise tertentu kepadanya. Status ini berhubungan dengan
masa peralihan yang timbul sesudah kematangan seksual atau masa
pubertas.
Berdasarkan perspektif relasi interpersonal, remaja merupakan suatu periode
yang mengalami perubahan dalam hubungan sosial, yang ditandai dengan
berkembangnya minat terhadap lawan jenis ataupun pengalaman pertama dalam mengapresiasikan cintanya. Kegagalan dalam menjalin hubungan sosial kemungkinan besar akan menjadi penghambat bagi perkembangan sosial selanjutnya, baik dalam persahabatan, pernikahan ataupun dalam
berkeluarga.
WHO (dalam Sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat
konseptual, dengan adanya tiga krieria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, secara lengkap definisi tersebut sebagai berikut:
a. lndividu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. lndividu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Mengenai batasan usia remaja, para ahli memberikan batasan yang bervariasi. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang harus
seperti kondisi sosio-kultural, kondisi ekonomi bahkan pengetahuan
lingkungan tempat remaja tinggal. Sehingga terdapat perbedaan rentangan
usia antara satu daerah dengan yang lainnya.
Santrock (2003) mengatakan bahwa periode remaja dimulai pad a usia 10-13
tahun dan berakhir antara usia 18-22 tahun. Sedangkan Monks (1999) memberikan batasan usia masa remaja adalah masa diantara 12-21 tahun dengan perincian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.
Sumadi Suryabrata (1981) membagi rentang masa remaja menjadi tiga,
masa remaja awal 12-15 tahun, masa remaja pertengahan 15-18 tahun dan
masa remaja akhir 18-21 tahun. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13-16 tahun, dan masa remaja akhir 17-18 tahun. Hal ini berdasarkan tanda-tanda fisik yang menunjukkan kematangan seksual dengan timbulnya gejala-gejala biologis.
Menurut Zakiah Daradjat (1977) bahwa batasan usia remaja jika dilihat dari
segi psikologis akan lebih banyak bergantung pada keadaan masyarakat di mana remaja itu tinggal. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah
anak-anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun. Akan tetapi untuk akhir masa remaja tidak sama, pada masyarakat pedesaan
jika seorang anak pertumbuhan jasmaninya telah tampak sempurna maka ia
akan diberi kepercayaan dan tanggung jawab sebagai orang dewasa, pada
remaja perempuan sudah bisa dinikahkan dan dengan demikian masa remajanya berakhir. Sedangkan di masyarakat perkotaan yang lebih maju pola pikirnya biasanya banyak persyaratan yang diperlukan agar seseorang dapat diterima sebagai orang dewasa yang mampu diberi tanggung jawab. Untuk itu perlu diperpanjang usia remaja sampai kira-kira 21 tahun.
Sarlito W. Sarwono (2001) membuat batasan mengenai remaja Indonesia.
Menurutnya remaja Indonesia adalah individu yang berada pada usia 11-24 tahun dan belum menikah. Usia 11 tahun adalah saat seseorang mulai mengalami perubahan seksualnya, yang umumnya berakhir pada usia 24 tahun. Seseorang yang sudah menikah biarpun usianya masih muda (di
bawah 18 tahun) akan tetap dianggap dan diperlakukan sebagai orang
dewasa.
sampai dengan 21 tahun bagi perempuan dan 13-22 tahun bagi laki-laki, hal ini disebabkan karena pada perempuan usia matangnya lebih cepat
dibandingkan dengan laki-laki. Jika dibagi menjadi remaja awal dan remaja
akhir, maka remaja awal berada dalam usia 12/13-17/18 tahun, sedangkan
remaja akhir berada pada usia 17/18-21/22 tahun
2.1.2. Ciri - ciri masa remaja
Pappalia (dalam Suroyah, 2003) mengungkapkan bahwa masa remaja memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Terjadinya perubahan-perubahan besar dalam diri remaja yang
membutuhkan penyesuaian diri baik dari pihak remaja maupun dari pihak orang tua. Perubahan tersebut adalah:
a. Perubahan fisik yang meliputi perubahan biologis yang terjadi begitu cepat dan kematangan organ seksual yang memungkinkan untuk melakukan reproduksi.
b. Perubahan kognitif, ditandai dengan berkembangnya kemampuan
untuk berpikir abstrak, memanipulasi dan mengoperasikan informasi, menggunakan konsep dan membuat hipotesa.
c. Perubahan psikologis yang paling menonjol pada remaja adalah emosi yang masih labil, kemampuan untuk mandiri, mengembangkan nilai-nilai kehidupan dan kemampuan untuk menjalin hubungan
2. Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Erikson (dalam Gunarsa, 1989) berpendapat bahwa pada masa remaja tujuan utama
seluruh perkembangannya adalah pembentukan identitas diri. Menurut Singgih D. Gunarsa (1989) identitas diri merupakan suatu persatuan yang terbentuk dari azas-azaz, cara hidup dan pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Persatuan ini merupakan inti pada seseorang yang menentukan cara melihat diri sendiri dalam pergaulannya
dengan orang lain. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas ini akan merasa bahwa dirinya menyenangkan dan diterima sedangkan remaja yang tidak berhasil mengatasinya akan menderita krisis identitas.
3. Masa remaja merupakan masa yang menyenangkan sekaligus membawa masalah, baik bagi remaja sendiri maupun bagi orang tua. Di satu pihak ia mempunyai keinginan kuat untuk bebas dari orang tua, namun di pihak lain ia membutuhkan orang tua untuk memberikan dukungan dan
bimbingan.
4. Awareness of sexuality merupakan aspek penting dalam pembentukan
identitas diri yang berhubungan dengan self-image dalam menjalin
hubungan terutama dengan lawan jenis. Proses ini bermula pada masa remaja dan terus berlangsung sampai masa dewasa.
6. Karakteristik lain dari remaja adalah kesadaran diri (self-consciousness)
yang berlebihan atau terlalu ekstrim. Mereka berasumsi bahwa apa yang orang lain pikirkan sama dengan apa yang ia pikirkan tentang dirinya. Begitu pula dengan se/f-centeredness, dimana remaja memiliki keyakinan
bahwa dirinya spesial, memiliki pengalaman unik dan berbeda dengan orang lain.
Menurut Singgih D. Gunarsa (1983) bahwa remaja memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Adanya kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan
sebagai akibat dari perkembangan fisik yang bisa menyebabkan timbulnya perasaan rendah diri.
2. Sikap menentang dan menantang orang tua maupun orang dewasa lainnya, hal ini merupakan ciri yang menunjukkan keinginan remaja untuk merenggangkan ikatannya dengan orang tua dan menunjukkan
ketidaktergantungannya kepada orang tua ataupun kepada orang lain. 3. Kegelisahan. Perasaan tidak tenang menguasai remaja, hal ini terjadi
karena begitu banyaknya keinginan remaja tetapi dia sendiri tidak sanggup memenuhinya.
4. Banyaknya fantasi, khayalan dan bualan.
Dari dua pendapat di alas, rumusan ciri-ciri perkembangan masa remaja
dalam penelitian ini meliputi:
1. Terjadinya perubahan besar yang membutuhkan pnyesuaian diri, perubahan tersebut meliputi: perubahan fisik yang pesat, perubahan kognitif yang ditandai dengan kemampuan berpikir abstrak, terjadinya perubahan psikologis yang ditandai dengan kondisi emosi yang labil.
2. Masa pencarian identitas diri.
3. Sikap menentang terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya, hal ini mengindikasikan adanya keinginan untuk mandiri (independence) dari
ketergantungan terhadap orang lain.
4. Kegelisahan. Perasaan tidak tenang menguasai remaja, hal ini terjadi karena begitu banyaknya keinginan remaja tetapi dia sendiri tidak sanggup memenuhinya.
5. Adanya kecenderungan membentuk kelompok atau bergaul dengan
golongan yang sebaya.
2.1.3. Tugas-tugas perkembangan remaja
Menurut Hurlock (1999) tugas-tugas perkembangan remaja itu adalah:
1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.
2. Mencapai peran sosial sebagai pria dan wanita
4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya.
6. Mempersiapkan karir ekonomi.
7. Mempersiapkan perkawinan dan keuangan.
8. Memperoleh pangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dalam mengembangkan ideologi.
Sedangkan untuk tugas-tugas perkembangan remaja awal, Mar'at
Samsunuwijati (dalam Nihayah, 2006) mengemukakan lebih spesifik tugas-tugas perkembangannya, yaitu sebagai berikut:
1. Menerima perubahan tubuh yang dialaminya.
2. Dapat berinteraksi dengan teman sebayanya.
3. Menerima peran sesuai jenis kelamin yang akan menuju ke arah dewasa.
2.1.4. Definisi kenakalan remaja
kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga
mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang (Kartono, 2005).
ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat
sebagai suatu kelainan dan disebut "kenakalan".
Simanjuntak memberikan pengertian berdasarkan tinjauan sosiokultural,
bahwa juvenile delinquency adalah suatu perbuatan apabila bertentangan
dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti-sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti-normatif (dalam Sudarsono, 2004).
Bimo Walgito dan Fuad Hasan memberikan pengertian kenakalan remaja sebagai perbuatan anti sosial yang melawan hukum yang dilakukan oleh
anak-anak khususnya remaja, dan jika dilakukan oleh orang dewasa
dikualifikasikan sebagai tindakan kejahatan (dalam Sudarsono, 2004).
Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja adalah tindakan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja
mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Jika perbuatan melanggar hukum ini dilakukan oleh orang
dewasa, maka dinamakan tindakan kejahatan. Namun apabila dilakukan oleh anak-anak tidak termasuk ke dalam tindakan kriminal, sehingga tidak
dikenakan sangsi hukum formal dan tindakan tersebut hanya disebut dengan kenakalan bukan kejahatan.
2.1.5. Bentuk dan aspek kenakalan remaja
Singgih D. Gunarsa (1989), mengatakan dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Seperti:
a. Berbohong b. Membolos
c. Kabur dari rumah d. Keluyuran
e. Memiliki dan membawa benda yang membahayakan orang lain
f. Bergaul dengan teman yang memberi pengaruh buruk g. Berpesta pora semalaman tanpa ada pengawasan
1. Secara berkelompok makan di rumah makan tanpa bayar atau naik bis
tanpa membeli karcis
J. Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri dengan berbagai tujuan
k. Berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras atau menggunakan narkoba.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum atau kejahatan dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku, sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Kejahatan ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat ringannya
pelanggaran tersebut, seperti:
a. Perjudian dan segala macam bentuknya yang menggunakan uang. b. Pencurian dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan, seperti
pencopetan, perampasan, penjambretan. c. Penggelapan barang.
d. Penipuan dan pemalsuan.
e. Pelanggaran norma susila, menjual gambar dan film porno.
f. Pemalsuan uang dan pemalsuan surat-surat keterangan resmi.
g. Tindakan-tindakan anti sosial, seperti perbuatan yang merugikan orang
lain.
h. Percobaan pembunuhan.
i. Menyebabkan kematian orang lain.
k. Menggugurkan kandungan.
I. Penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti: perusakan,
pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.
Berdasarkan bentuk-bentuk kenakalan remaja yang dikemukakan oleh
Singgih D. Gunarsa dan Jensen, maka bentuk-bentuk kenakalan remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua tindakan yang melanggar aturan atau norma yang berlaku yang dapat mengakibatkan kerugian
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam
undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Seperti: berbohong, membolos, kabur dari rumah, keluyuran, memiliki dan memba Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial dan tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan
sebagai pelanggaran hukum. Seperti: membawa senjata tajam, bergaul dengan teman yang memberikan pengaruh buruk, berpesta pora, makan dan naik kendaraan umum tanpa bayar, membaca buku porno,
berpakaian tidak pantas dan minum-minuman keras.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan undang-undang dan hukum yang berlaku. Kejahatan ini dapat diklasifikasikan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran tersebut, seperti: berjudi, pencurian,
penggelapan barang, penipuan, pelanggaran norma susila, pembunuhan, menggugurkan kandungan, penganiayaan berat.
1.1.6. Latar belakang kenakalan remaja
Singgih D. Gunarsa (1989) mengungkapkan latar belakang terbentuknya kenakalan remaja dilihat dari berbagai kondisi, yaitu sebagai berikut:
1. Kondisi remaja yang bersangkutan:
a. Kekurangan penampungan emosional. Mencapai kematangan
emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi
sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok
teman sebayanya. Apabila lingkungan keluarga cukup kondusif yang diwarnai dengan keharmonisan, saling mempercayai, saling
menghargai dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung
dapat mencapai kematang emosionalnya. Dalam menghadapi perubahan emosional tersebut tidak sedikit remaja bersifat defensif,
reaksi ini berupa tingkah laku agresif dan melarikan diri dari kenyataan
(Yusuf, 2002).
b. Kelemahan dalam mengendalikan dorongan dan kecenderungan.
c. Kegagalan prestasi sekolah atau pergaulan. d. Kekurangan dalam pembentukan hati nurani 2. Kondisi lingkungan:
a. Lingkungan keluarga. Kondisi keluarga yang tidak nyaman seperti seringnya terjadi pertengkaran antara orang tua (tension), kehilangan kehangatan (warmth less), hubungan buruk antara orang tua dan anak
(bad parent-child relationship), dan seringnya orang tua "absen" di
rumah, kesemuanya ini bisa memberikan kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku pada remaja (Hawari, 1999).
b. Lingkungan masyarakat:
2. Faktor sosial politik, sosial ekonomi, dengan mobilisasi-mobilisasi yang sesuai dengan kondisi secara keseluruhan atau kondisi-kondisi setempat, seperti di kota-kota besar dengan ciri-ciri khasnya.
3. Kepadatan penduduk yang menimbulkan persoalan demografis dan
bermacam-macam kenakalan remaja.
2.1. 7. Karakteristik kenakalan remaja
Singgih D. Gunarsa (1989) mengungkapkan beberapa ciri-ciri pokok dari kenakalan remaja, yaitu:
1. Dalam pengertian nakal, harus terlihat adanya perbuatan yang bersifat melanggar hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral. 2. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang asosial yaitu bertentangan
dengan norma sosial yang ada di lingkungannya.
3. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh remaja yang berusia antara 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan oleh batas-batas umur, juga ditentukan oleh status perkawinan. Maka dapat ditambahkan bahwa kenakalan remaja
adalah perbuatan yang dilakukan oleh remaja yang berumur antara 13-17 tahun dan belum menikah.
Sedangkan untuk karakteristik remaja yang nakal, Kartini kartono (2006),
mengungkapkan beberapa karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
1. Perbedaan struktur intelektual
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Rahayu Haditono menunjukkan bahwa kebanyakan dari jumlah anak-anak delinkuen yang diteliti mempunyai skor
inteligensi di bawah rata-rata (69,59%) dan sebagian kecil mempunyai skor yang tinggi (6,9%) (Monks, 1999).
2. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka
lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. 3. Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :
1. Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa
depan.
2. Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3. Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak
4. Mereka senang menceburkan diri dalam kegialan lanpa berpikir yang merangsang rasa kejanlanan, walaupun mereka menyadari besarnya resiko dan bahaya yang lerkandung di dalamnya.
5. Pada umumnya mereka sangal impulsif dan suka lanlangan dan
bahaya.
6. Hali nurani lidak alau kurang lancar fungsinya.
7. Kurang memiliki disiplin dan konlrol diri sehingga mereka menjadi liar danjahat.
Conger (dalam Monks, 1999) menyalakan bahwa remaja nakal biasanya mempunyai ciri-ciri seperti kepercayaan diri yang linggi, sifat memberonlak,
ambivalen lerhadap olorilas, mendendam, curiga, destruktrif, implusif dan
menunjukan konlrol balin yang kurang.
Dari beberapa karaklerislik kenakalan remaja di alas, yang dijadikan landasan dalam penelilian ini adalah:
1. Kenakalan remaja merupakan semua perbuatan yang melanggar hukum
dan pelanggaran terhadap nilai-nilai dan moral oleh remaja berusia sekilar 13-17 lahun, baik secara berkelompok maupun perorangan. 2. Secara inleleklual, remaja nakal biasanya memiliki skor inleligensi di
3. Rata-rata remaja yang nakal hnya berorientasi pada masa sekarang tanpa memikirkan masa depan dan pada umumnya mereka sangat
implusif dan menyukai tantangan yang berbahaya untuk merangsang
kejantanannya.
4. selain itu, mereka memiliki tingkat kepercayan diri yang tinggi, cenderung untuk memberontak dengan sikap ambivalen terhadap otoritas,
mendendam, curiga dan cenderung destruktifyang menunjukkan kontrol
batin yang sangat rendah.
2.1.8. Faktor - faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja
Dalam bukunya, Sudarsono (2004) mengungkapkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah kondisi keluarga.
Adapun kondisi keluarga yang dapat menimbulkan kenakalan adalah: 1. Keluarga yang broken home. Pada dasarnya kenakalan remaja yang
disebabkan karena broken home dapat diatasi dengan cara-cara tertentu. Dalam keluarga yang broken home cara mengatasinya adalah orang tua
hendaklah mampu memberikan kasih sayang sepenuhnya sehingga anak merasa tidak pernah kehilangan ayah dan ibunya. Di samping itu
keperluan anak secara jasmani (sandang, pangan dan papan) harus dipenuhi sebagaimana layaknya.
Pada prinsipnya struktur keluarga dalam broken home sudah tidak lengkap
masyarakat. Jika kondisi ketiga kutub itu tidak kondusif, maka akan memicu
timbulnya penyimpangan perilaku.
1. Kutub Keluarga
Kriteria kondisi keluarga yang tidak sehat yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang pada remaja:
a) Keluarga yang tidak utuh (broken home by death, separation, divorce).
b) Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah.
c) Hubungan interpersonal antara anggota keluarga yang tidak harmonis.
d) Substitusi ungkapan kasih sayang orang tua kepada anak hanya dalam bentuk materi bukan dari pada kejiwaan.
2. Kutub Sekolah
Kondisi sekolah yang tidak baik dapat mengganggu proses belajar mengajar yang pada saatnya dapat memberikan peluang pada anak didiknya untuk berperilaku menyimpang. Kondisi tersebut antara lain:
a) Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai.
b) Kuantitas dan kualitas tenaga pengajar yang tidak memadai. c) Kuantitas dan kualitas Tenaga non guru yang tidak memadai d) Kesejahteraan guru yang tidak memadai.
e) Kurikulum sekolah yang sering berganti-ganti, muatan agama kurang.
3. Kutub Masyarakat
Kutub rnasyarakat ini dibagi rnenjadi dua faktor, yaitu:
a. Faktor kerawanan rnasyarakat (lingkungan), terdiri dari:
1) Ternpat-ternpat hiburan yang dibuka hingga larut rnalarn bahkan sarnpai
dini hari.
2) Peredaran alkohol, narkotika dan obat-obatan terlarang. 3) Pengangguran.
4) Anak-anak putus sekolah/anak jalanan.
5) Wanita tuna susila
6) Beredarnya bacaan dan tontonan yang sifatnya porno dan rnengandung
kekerasan.
7) Perurnahan kurnuh dan padat. 8) Pencernaran lingkungan.
9) Tindak kekerasan dan krirninalitas. 10) Kesenjangan sosial.
b. Faktor daerah rawan (gangguan kearnanan), terdiri dari: 1) Penyalahgunaan alkohol, narkotika dan zat adiktif lainnya.
2) Perkelahian perorangan ataupun rnassal. 3) Kebut-kebutan.
4) Pencurian, perarnpasan, penodongan, perarnpokan. 5) Perkosaan
dimengerti bila remaja membutuhkan kesempatan untuk dapat berkomunikasi secara terbuka dengan orang yang mereka anggap dewasa, yang pada
umumnya adalah orang tua mereka. Kehidupan keluarga yang harmonis itulah yang sangat mendukung perkembangan remaja yang baik, dimana
orang tua bisa berperan sebagai figur yang penuh perhatian, memperhatikan kebutuhan secara fisik dan psikisnya, adanya komunikasi yang harmonis, serta saling menyayangi dan menghargai, sehingga remaja akan mempunyai
persepsi interpersonal yang positif tentang keluarganya.
Menurut Syamsu Yusuf (2002), Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang pada remaja adalah:
1. Kelalaian orang tua dalam mendidik anak terutama dalam memberikan ajaran dan bimbingan tentang nilai-nilai agama
2. Sikap atau perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak
3. Perselisihan atau konflik orang tua (antar anggota keluarga) 4. Kondisi ekonomi keluarga yang morat-marit (miskin)
5. Perceraian orang tua
6. Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang memperhatikan nilai moral)
7. Diperjualbelikannya minuman dan obat terlarang secara bebas 8. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang tidak terkontrol
10. Beredarnya film atau bacaan porno secara bebas 11. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok
12. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang
2.1.9. Upaya - upaya mengatasi kenakalan remaja
Menurut Singgih D. Gunarsa (1989) usaha penanggulangan masalah
kenakalan remaja dapat dibagi dalam tindakan preventif, represif dan kuratif. 1. Tidakan preventif yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah timbulnya
kenakalan-kenakalan. Tindakan ini terbagi kedalam dua bidang, yaitu: 1) Usaha pencegahan secara umum, meliputi:
a. Usaha mengenal dan mengetahui ciri-ciri umum maupun yang khas pada perkembangan remaja.
b. Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh para
remaja. Terutama yang bisa menyebabkan timbulnya kenakalan
remaJa.
c. Usaha pembinaan remaja, usaha ini terdiri dari:
a) Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
b) Memberikan pendidikan mental dan pribadi melalui pelajaran agama, budi pekerti dan etika.
c) Menyediakan sarana-sarana dan menciptakan suasana yang
d) Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial
keluarga maupun masyarakat dimana terjadi banyaknya
kenakalan remaja.
2) Usaha pencegahan secara khusus yang dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan perilaku remaja, baik itu orang tua maupun guru di
sekolah dengan memberikan pelayanan bimbingan dan konseling dengan tujuan:
a. Pengenalan diri sendiri
b. Penyesuaian diri: Mengenal dan menerima tuntutan dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.
c. Orientasi diri: Mengarahkan pribadi remaja ke arah pembatasan antara diri pribadi dan sikap sosial dengan penekanan pada
kesadaran nilai-nilai sosial, moral dan etika.
2. Tindakan represif. Usaha ini dilakukan dengan memberikan hukuman
terhadap berbagai pelanggaran terhadap norma-norma yang disepakati, baik dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini
dilakukan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kenakalan remaja. 3. Tindakan kuratif dan rehabilitasi. Tindakan ini dilakukan setelah tindakan
pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu untuk mengubah
Sedangkan menurut Sudarsono (2004) upaya penanggulangan kenakalan remaja dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Upaya menumbuhkan kesadaran hukum. Dengan memberikan
penjelasan secara luas dan rinci kepada para remaja tentang beberapa aspek yuridis yang relevan dengan perbuatan-perbuatan nakal yang
dilakukan oleh mereka. Dengan demikian, para remaja akan dapat memiliki pemahaman, penghayatan dan berperilaku hukum yang sehat.
Usaha untuk mencapai kesadaran hukum ini dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum yang dapat divisualisasikan dalam beragam bentuk dan jenisnya. Tolak ukur indikasi tersebut dapat dilihat dari pengetahuan tentang hukum, pemahaman kaidah-kaidah hukum, sikap terhadap
norma-norma hukum dan berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. lnternalisasi nilai-nilai kaidah sosial. Dalam setiap masyarakat pasti
memiliki norma-norma sosial yang harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap anggotanya. Usaha untuk memahami norma-norma yang berlaku di masyarakat hampir sama dengan internalisasi norma agama.
3. lnternalisasi nilai-nilai norma agama. Hal ini dilakukan dengan
melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangannya.
Dalam upaya menanggulangi kenakalan remaja tidak bisa hanya dibebankan kepada satu pihak saja, misalkan orang tua, akan tetapi harus adanya kerja
pentingnya upaya penanggulangan kenakalan remaja. Karena remaja tinggal dalam tiga lingkungan dasar yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, maka ketiga elemen ini harus mampu melakukan perannya masing-masing dengan
baik dengan menciptakan kondisi yang kondusif yang bisa mendukung perkembangan remaja menuju yang lebih positif. Terlebih lagi kondisi
keluarga yang harmonis dengan adanya hubungan yang ideal antar sesama anggota keluarga dan usaha-usaha untuk menanamkan nilai moral yang
positif akan mampu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kenakalan pada remaja.
2.2. KEHARMONISAN KELUARGA
2.2.1. Pengertian keluarga
Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia.
Sebagian besar manusia tumbuh dan berkembang dan didewasakan dalam lingkungan keluarga dan sejak masa bayi mereka sudah menghirup iklim
tertentu yang mengikat setiap anggota menjadi satu kesatuan (Kartono,
1986).
Mengenai pengertian keluarga, menurut Gunarsa dan Ny. Gunarsa (1995)
bahwa keluarga adalah tempat yang penting dimana anak memperoleh keterampilan dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil di dalam masyarakat, dan keluargapun sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, karena suasana dalam keluarga mempunyai pengaruh dalam perkembangan emosi, respons reaktif anggota keluarganya terutama anak-anak.
Sedangkan menurut F.J. Brown (dalam Yusuf, 2002) jika dipandang secara
sosiologis bahwa keluarga dapat diartikan menjadi dua macam, yaitu: a) dalam arti luas keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan klan atau marga; b) dalam arti sempit keluarga meliputi orang tua dan anak. Hal ini senada dengan definsi
keluarga yang terdapat dalam Kamus Lengkap Psikologi, yang menyatakan
Begitu juga dengan Dadang Hawari (1999), yang mendefinisikan keluarga
sebagai suatu matriks sosial atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spritual, dimana seluruh anggota keluarga terikat oleh status ikatan yang khusus
untuk hidup bersama dalam ikatan pernikahan.
Dari beberapa pendapat di atas hampir semuanya memiliki kesamaan bahwa yang namanya keluarga merupakan suatu kelompok individu yang di
dalamnya terdapat beberapa faktor penentu seperti adanya ikatan dan
adanya hubungan darah yang secara emosional memiliki ikatan yang sangat kuat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Sedangkan untuk bentuk dan pola keluarga sendiri terbagi menjadi dua bentuk, yaitu 1) keluarga inti (nuclear family) atau keluarga kecil, yang terdiri
dari suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir dari pernikahan termasuk juga anak tiri Qika ada). 2) Keluarga luas (extended family) atau keluarga
besar, yang keanggotaannya tidak hanya meliputi suami, istri dan anak-anak yang belum berkeluarga, tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya
tinggal dalam sebuah rumah tangga besama, seperti mertua, adik, kakak ipar
2.2.2. Ciri-ciri keluarga
Maciver (dalam Yusuf, 2002) menyebutkan secara rinci ciri khas dari keluarga
yang umum terdapat dimana-mana, yaitu:
1. Hubungan berpasangan kedua jenis.
2. Adanya perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengokohkan
hubungan tersebut.
3. Adanya pengakuan akan keturunan.
4. Kehidupan ekonomis yang dinikmati bersama.
5. Terciptanya kehidupan berumah tangga.
2.2.3. Peran dan fungsi keluarga
Keluarga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi anak. Peranan orang tua yang penuh dengan kasih sayang dan disertai dengan internalisasi nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun nilai sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang
menukung untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang bermanfaat.
Keluarga yang penuh dengan kebahagiaan merupakan suatu hal yang
unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, sehingga interaksi sosial
yang harmonis antar unsur dalam keluarga dapat diciptakan.
Menurut Singgih D. Gunarsa (2007) bahwa suatu keluarga akan dikatakan harmonis jika setiap anggota keluarga memiliki kemauan baik, toleransi, dan adanya kasih sayang. Adanya kemauan baik adalah adanya usaha untuk menciptakan kondisi keluarga yang harmonis yang nyaman. Memiliki toleransi dalam menyikapi berbagai perbedaan, disamping sikap orang tua
yang memi\iki kesatuan dan keserasian dalam pikiran terutama dalam masalah po\a pengasuhan anak. Sedangkan menanamkan cinta kasih atau kasih sayang berarti dalam kehidupan setiap hari antara orang tua dan anak saling mencurahkan kasih sayang.
Selanjutnya Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan
perkawinan orang tuanya bahagia akan memersepsikan rumah mereka
sebagai tempat yang membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orang tua, semakin sedikit masa\ah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga, sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan keharmonisan keluarga
adalah situasi dan kondisi dalam keluarga dimana di dalamnya tercipta
kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling pengertian, saling terbuka, saling menjaga dan diwarnai kasih sayang dan rasa saling percaya sehingga memungkinkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara seimbang.
2.2.5. Aspek-aspek keharmonisan keluarga
Nick Stinnet dan John DeFrain (dalam Hawari, 1999) mengemukakan enam aspek sebagai suatu pegangan menuju hubungan perkawinan/keluarga harmonis yang di dalamnya terdapat kebahagiaan.
Aspek-aspek tersebut adalah:
1. Menciptakan kehidupan beragama dalam keluarga.
Sebuah keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika kehidupan Berdasarkan beberapa
penelitian ditemukan bahwa keluarga yang tidak religius yang penanaman komitmen agamanya rendah atau tanpa nilai agama sama sekali
cenderung terjadi konflik dan percekcokan dalam keluarga, dengan
suasana yang seperti ini, maka anak akan merasa tidak betah di rumah dan kemungkinan besar anak akan mencari lingkungan lain yang dapat
2. Mempunyai waktu bersama dalam keluarga
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya, baik itu hanya sekedar berkumpul, makan bersama,
menemani anak bermain dan mendengarkan masalah dan keluhan-keluhan anak, dalam kebersamaan ini anak akan merasa dirinya
dibutuhkan dan diperhatikan oleh orang tuanya, sehingga anak akan betah untuk tinggal di rumah.
3. Adanya komunikasi yang baik antar anggota keluarga
Komunikasi yang baik, demokratis, dan tidak mementingkan keinginan sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin hubungan yang harmonis. Sering kali keluarga yang disebabkan karena adanya kesenjangan komunikasi antar anggotanya. Sebab komunikasi tidak hanya sekedar menyampaikan pesan tetapi komunikasi juga menentukan kondisi hubungan interpersonal seseorang (Rakhmat, 2002).
4. Saling menghargai satu sama lain
Dalam sebuah keluarga terdapat berbagai perbedaan antar satu sama
lain, baik dalam sikap. kepribadian maupun pola pikir. Untuk itulah sebuah keluarga akan bahagia jika anggota keluaganya berusaha saling
memahami dan menghargai berbagai perbedaan yang ada. Singgih D. Gunarsa (2007) mengatakan bahwa keluarga yang harmonis adalah
memperkecil kemungkinan terjadinya konflik yang bisa menimbulkan
keretakkan hubungan antar anggota keluarga.
5. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga. Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak
memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi
rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya
kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling
menghargai.
6. Mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara positif dan konstruktif
Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian
terbaik dari setiap permasalahan.
Keenam aspek tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Proses tumbuh kembang anak sangat ditentukan dari berfungsi tidaknya keenam aspek di atas, untuk menciptakan keluarga harmonis peran
dan fungsi orang tua sangat menentukan, keluarga yang tidak bahagia atau
2.2.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga
Zakiah Daradjat (dalam Uswatusolihah, 2008) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya keluarga yang harmonis atau
sakinah, faktor-faktor tersebut adalah:
1. Sikap saling mengerti antara suami dan istri
Maksudnya masing-masing saling memahami dan dapat mengerti
pasangannya masing-masing. Paham bagaimana harus bersikap dalam menghadapi berbagai perbedaan dengan menghormatinya, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik atau kesalah pahaman.
2. Saling menerima
Maksudnya adalah menerima kondisi apapun terhadap semua anggota keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tidak
mempermasalahkan berbagai perbedaan yang ada, seperti, kondisi jasmani. kondisi ekonomi maupun terhadap prestasi-prestasi yang telah diraih oleh anggota keluarga.
3. Saling menghargai
Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan,
hal ini akan memberikan dampak yang positif seperti timbulnya perasaan diterima, merasa dibutuhkan, dan menumbuhkan citra diri yang baik.
Mengenai masalah kenakalan remaja, telah banyak pendapat dan penelitian
yang mengungkapkan berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya
kenakalan remaja. Jika dilihat dari beberapa faktor yang menimbulkan
kenakalan pada remaja diantaranya faktor keluarga, lingkungan, maupun
lingkungan sekolah, semuanya memiliki ikatan yang kuat untuk bisa saling
mempengaruhi dan bisa menimbulkan perilaku yang menyimpang (Hawari,
1999). Sudarsono (2004) mengungkapkan dengan jelas bahwa kondisi
keluarga memberikan kontribusi yang besar dalam terciptanya kenakalan
pada remaja, seperti keluarga broken home.
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu faktor
penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya orang tua
sebagai figur tauladan bagi anak (Hawari, 1999) Selain itu suasana keluarga
yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan
keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap
usia terutama pada masa remaja.
Permasalahan keharmonisan keluarga sebenarnya terletak pada erat
tidaknya hubungan antar anggota keluarga, baik hubungan dalam bentuk
komunikasi verbal maupun secara emosional. Menurut Dadang Hawari
(1999) keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing
mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, sehingga
interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga dapat diciptakan.
Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan perkawinan orang
tuanya bahagia akan memersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang
membahagiakan untuk hidup karena makin sedikit masalah antar orang tua,
semakin sedikit masa\ah yang dihadapi anak, dan sebaliknya hubungan
keluarga yang buruk akan berpengaruh kepada seluruh anggota keluarga,
sehingga anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin. Dan secara
emosional suasana tersebut akan mempengaruhi rnasing-masing anggota
keluarga untuk bertengkar dengan yang lainnya.
Aspek-aspek yang dijadikan landasan teoritis terhadap harmonis atau
tidaknya suatu keluarga berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
oleh Nick Stinnet dan John DeFrain. yang menyatakan beberapa aspek
seperti: Kehidupan beragarna dalam keluarga. rnemiliki waktu bersama dalam
keluarga. terciptanya komunikasi yang baik. saling menghargai, adanya
keterikatan, memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah dengan
Sedangkan aspek kenakalan remaja didasarkan pada aspek-aspek
kenakalan remaja yang dikemukakan oleh Singgih D. Gunarsa (1989), yang
terdiri dari aspek:
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan asosial. Dengan indikator:
Berbohong, membolos, kabur dan keluyuran dari rumah, memiliki dan
membawa benda yang membahayakan orang lain, pergaulan negatif,
berpesta para, membaca buku porno dan kebiasaan menggunakan
bahasa tidak sopan/kasar, makan/naik bis tanpa bayar dan
minum-minuman keras.
2. Kenakalan yang bersifal melanggar hukum. Dengan indikalor: Perjudian,
pencurian, pelanggaran norma susila, menggugurkan kandungan,
penganiayaan beral dan terlibal narkoba.
Berdasarkan landasan leori di alas, mekanisme yang lerjadi pada
permasalahan di alas adalah bagaimana remaja yang merasakan bersama
keluarganya yang harmonis cenderung mempunyai perilaku positif. Hal ini
tentu berdampak semakin berkurangnya kecenderungan berperilaku nakal
alau negalif, karena di dalam keluarga harmonis anak diajarkan apa ilu
langgung jawab dan kewajiban, mengajarkan berbagai norma yang berlaku di
masyarakat dan keterampilan lainnya agar anak dapal menyesuaikan diri
dengan lingkungan serta dapal mencapai kematangan secara keseluruhan
Table 2.1
Skema Kerangka Berpikir
Keluarga harmonis Kenakalan remaja tinggi
Keluarga tidak harmonis J Kenakalan remaja rendah
2.4.
HIPOTESIS
Dalam penelitian ini penulis menetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H0 : Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan
keluarga dengan kenakalan remaja.
Ha : Ada hubungan negatif yang signifikan antara keharmonisan keluarga
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan dan metodologi penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif karena analisa data akhir dilakukan dengan perhitungan secara statistik. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk mencari hubungan
antar variabel penelitian.
3.2. Definisi variabel dan operasional variabel
Variabel adalah suatu karakteristik yang mempunyai dua atau lebih nilai atau sifat yang satu sama lain terpisah (Sevilla, et al, 1993). Variabel terbagi dua macam, yaitu variabel terikat (dependent variable) dan variabel bebas
(independent variable).
Variabel dalam penelitian ini meliputi:
1. Variabel terikat (DV): Kenakalan remaja 2. Variabel bebas (IV): Keharmonisan keluarga
Gambar
Dokumen terkait
31 Upravljanje resursima - Upravljanje resursima samog obrta jako je bitno iz razloga što je bitno u svakom trenutku znati u kojem stupnju opremljenosti se nalazi sami obrt, što
Rata-rata jumlah buah tanaman cabe rawit tertinggi adalah 63,00 diperoleh dalam kombinasi perlakuan P2T2 (pupuk kandang kambing dengan dosis 10 ton/hektar), sedangkan
Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang kurang (mual, muntah).. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan
Penghibahan mesin pembuat pellet ayam ini sangat tepat jika disandingkan dengan mesin penetas anak ayam dan dengan adanya bantuan mesin ini sangat mungkin
PANE SMAN 3 RANTAU UTARA Lab... H SMP NEGERI 11
Dari sisi kinerja layanan, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sudah menerapkan ISO 9001:2008. Pemberian sertifikat ISO ini bukan hanya di tingkat Rektorat tetapi juga di beberapa
Bilangan kompleks: sistem bilangan kompleks, geometri bilangan kompleks, dan akar bilangan kompleks. Fungsi Kompleks: pengertian fungsi kompleks, dan fungsi