KONFLIK ARAB ISRAEL: PENGUSIRAN ETNIS PALESTINA DAN DIASPORA ETNIS PALESTINA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
Rian Yuliani NIM. 107022003813
KONSENTRASI TIMUR TENGAH
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
ABSTRAKSI
Setelah Perang Dunia I usai, dan Turki menjadi pihak yang kalah, Zionis menjalin hubungan dengan Inggris yang menggantikan posisi Turki sebagai penguasa Palestina. Harapan Zionis dimanfaatkan oleh Inggris. Mereka mendukung Zionisme dengan maksud agar kekuasaan mereka di kawasan Timur Tengah tetap terjamin. Maka keluarlah sebuah surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada para tokoh Zionis tentang kesediaan Inggris untuk mendukung Zionis. Surat itu kemudian dikenal dengan sebutan
“Deklarasi Balfour”.
Dengan keluarnya Deklarasi Balfour, kaum Zionis merasa mendapatkan angin segar, dan orang-orang Yahudi yang tersebar di berbagai negara mulai berimigrasi ke Palestina. Kejadian ini menimbulkan protes keras dari masyarakat Arab Palestina. Sejak itu, sering terjadi bentrokan antara orang-orang Arab Palestina dan orang-orang Yahudi. Bentrokan ini berubah menjadi perang besar ketika kaum Yahudi memploklamirkan berdirinya negara Israel.
Secara de facto, Palestina mulai jatuh ke tangan Barat setelah PD I melalui apa yang disebut dengan mandat Inggris (British Mandate Palestina). Kekalahan Turki Usmani dalam PD I memaksa Turki untuk menyerahkan sebagian wilayah yang dikuasainya kepada Blok Inggris yang keluar sebagai pemenang perang.
Pada tahun 1948, dengan diakuinya Resolusi PBB No. 181, ratusan ribu warga Palestina tiba-tiba telah menjadi orang tak bernegara di tanahnya sendiri. Menurut Resolusi ini, Palestina dibagi sebagai berikut: 55 persen dari tanah tersebut, termasuk bagian yang lebih besar yang terdiri atas pantai yang menguntungkan secara ekonomi, diserahkan kepada orang-orang Israel, sedangkan sisanya yang 45 persen termasuk jalur pantai sempit gaza, setengah Galilea, dataran tinggi Judi dan Samaria, serta sedikit Negev, diberikan kepada orang Palestina.
Pembangunan kamp-kamp pengungsi pada tahun 1948 juga merupakan elemen baru yang mempengaruhi pola pesebaran penduduk dan perkampungan di Jalur Gaza. Setiap kamp pengungsi dihuni oleh sekitar 20.000 jiwa, atau bahkan lebih. Semula kamp pengungsian berjumlah delapan. Empat di antaranya terhitung sebagai kamp besar, yakni Yabaliya, Esh-shati, Khan Yunis, dan Rafah, sedangkan empat kamp lainnya yang lebih kecil adalah Nusayrat (sebelah barat daya Gaza City, terletak agak dekat Laut Mediterania), Burayj dan Al-Mughazi (sebelah barat daya Gaza City, tetapi lebih di tengah wilayah Jalur Gaza), dan Dahir el-Balah (sebelah barat daya Al-Mughazi).
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah SWT yang tiada henti-hentinya melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam tak lupa penulis curahkan kepada
tauladan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Konflik Arab-Israel:Pengusiran Etnis Palestina dan Diaspora Etnis Palestina”.
Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu secara moril maupun materil untuk terselesaikannya skripsi ini.
Tanpa bantuan dan kerjasama mustakhil skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepeda:
1. Bapak Dr. H. Wahid Hasyim, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam dan Ibu Sholikatus Sa’diyah selaku Sekretaris
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Abd. Chair, M.A. Selaku Dosen Pembimbing Akademik
4. Dosen-dosen SPI, untuk kesabaran dan kelapangan hati dalam
mendidikku selama ini.
5. Ayahku (Alm) dan Ibuku tercinta yang telah memberikan kasih sayang
yang tak terhingga dan selalu memberikan ku semangat.
6. Kakak dan adik-adikku yang telah memberikan semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabatku Sury dan Mun yang selalu ada dikala suka dan duka dan tidak
pernah bosannya memberikanku spirit dan kesediaannya mendengarkan
semua keluh kesahku.
8. Semua pihak yang telah berpartisipasi dalam membantu terselesaikannya
skripsi ini.
Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khoiron katsiron.
Semoga skripsi ini dapar bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Jakarta, 20 Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK………. ... i
KATA PENGANTAR……… ... ii
DAFTRA ISI……….. ... iv
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah……… ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah……… ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... ... 8
D. Kajian Pustaka……… ... 9
E. Metode Penelitian……….. .... 10
F. Sistematika Penulisan……… .... 12
Bab II Selintas Tentang Palestina A. Profil Palestina……….. ... 13
B. Sejarah Palestina………... ... 16
C. Organisasi-organisasi yang ada di Palestina………. ... 19
a. Pergerakan Nasional Palestina (1918-1928)………… ... 20
b. Pergerakan Nasional Palestina (1929-1939)…………. ... 21
Bab III Palestina Pasca Perang Dunia I A. Pendudukan Palestina oleh Inggris……….. ... 23
Bab IV Pengusiran Etnis dan Diaspora Etnis Palestina
A. Penggusiran Etnis Palestina……… ... 43
B. Diaspora Etnis Palestina……….. ... 49
1. Lebanon……….. ... 51
2. Jordania………... 55
3. Syria, Arab Saudi, Dan Mesir………. ... 56
C. Kondisi kehidupan Etnis Palestina di Diaspora……….. ... 57
Bab V Penutup A. Kesimpulan……… .... 63
B. Saran………. ... 64
DAFTAR PUSTAKA………. ... 66
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada 1917 melalui Deklarasi Balfour, Inggris menyatakan dukungannya
atas pembentukan tanah air bangsa Yahudi di wilayah Palestina. Deklarasi
tersebut berbentuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Arthur James Balfour.1
Ketika Inggris merebut Palestina dari tangan Turki, mereka tidak diberi
tahu secara resmi tentang perjanjian Balfour. Banyak orang Palestina yang
menyambut Inggris dengan penuh harapan, merasakan akan tibanya hari-hari yang
lebih baik di hadapan mereka. Namun bangsa Palestina kecewa ketika Inggris
ternyata memberikan dukungan kepada Yahudi untuk mendirikan Rumah
Nasional Kaum Yahudi.
Inggris dapat menduduki selatan Palestina dan bagian tengahnya pada
bulan Desember 1917. Dan pada bulan September 1918, pasukan Inggris berhasil
menjajah Palestina bagian utara2. Pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri
Inggris Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang Zionis kaya dan
berpengaruh, Lord Rothchild, bahwa pemerintah Inggris mendukung terbentuknya
sebuah Homeland bagi Yahudi di Palestina.3
1
Istilah Zionisme berasal dari kata Zion atau Sion yang pada masa awal
sejarah Yahudi merupakan sinonim dari perkataan Yerussalem. Zion berasal dari
bahasa Inggris, dalam bahasa latin disebut Sion, dan dalam bahasa Ibraninya
adalah Tsyon. Arti dari istilah ini adalah “Bukit” yaitu bukit suci Jerussalem atau
Jerussalem Surgawi. Surga berarti Theokrasi Yahudi. Sion juga diartikan sebagai
“Bukit yang tinggi”, tempat berdirinya bait suci yang didirikan oleh Sulaiman.
Zion juga ditujukan bagi kota Jerusalem sebagai kota Allah tempat tinggal
Yahwe.
Zionisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang terkait dengan sejarah
orang-orang Yahudi di negara pembuangan untuk kembali ke negeri nenek
moyang mereka, Palestina. Bangsa Yahudi yang terpaksa diaspora menyebar di
berbagai wilayah seperti Eropa, Amerika, Afrika, Asia, dan negara-negara yang
berada di Timur Tengah.4
Kontrol Inggris atas Palestina terus berlanjut sampai pecahnya Perang
Dunia II. Banyak keluarga Yahudi berimigrasi ke Palestina, bergabung dengan
komunitas para Zionis perintis yang berupaya keras untuk hidup berdampingan
dengan orang-orang Arab. Mereka juga membangun organisasi yang di kemudian
hari menjadi bibit berdirinya negara Israel. Bentrokan yang terjadi di banyak kota
mengoyak perdamaian yang memang rapuh antara orang Arab dengan orang
Yahudi.
Di saat pasukan Inggris berusaha menentukan sikap di wilayah yang
sekarang terbagi ini, desakan orang Yahudi untuk berimigrasi semakin meningkat.
4
Inggris kemudian berubah pikiran karena pendirian negeri Yahudi akan
menghancurkan perdamaian yang memang rapuh di wilayah ini.
Karena kehabisan tenaga dan melemah akibat Perang Dunia II, Inggris
tidak dapat melanjutkan kendalinya atas negeri yang telah diamanatkan kepadanya
setelah perang Dunia I berakhir. Pada tahun 1947, Inggris mengumumkan akan
meninggalkan wilayah ini dan menyerahkan Palestina kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun itu pula PBB mengusulkan pembagian
Palestina menjadi sebuah negara Arab dan sebuah negara Yahudi. Namun,
pembagian ini hampir tidak mencerminkan ukuran populasi masing-masing. Pada
tanggal 14 Mei 1948, tanpa menghiraukan kemarahan orang Arab, Israel
mengibarkan bendera barunya dengan lambang Bintang Daud. Segera setelah itu,
orang Arab pun mengumumkan perang.5
Selama kekuasaan Inggris, lebih dari 1.500 orang Palestina yang berjuang
untuk kemerdekaanya terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan Inggris.
Selain itu adapula orang-orang Palestina yang ditahan oleh Inggris karena
menentang pendudukan Yahudi. Tekanan pemerintah Inggris menyebabkan
kekerasan serius terhadap mereka. Namun, hal itu belumlah seberapa
dibandingkan kekejaman zionis yang pecah begitu kekuasaan Inggris berakhir.6
Pembangunan kamp-kamp pengungsi pada tahun 1948 juga merupakan
elemen baru yang mempengaruhi pola pesebaran penduduk dan perkampungan di
Jalur Gaza. Setiap kamp pengungsi dihuni oleh sekitar 20.000 jiwa, atau bahkan
lebih. Semula kamp pengungsian berjumlah delapan. Empat di antaranya terhitung
sebagai kamp besar, yakni Yabaliya, Esh-shati, Khan Yunis, dan Rafah,
sedangkan empat kamp lainnya yang lebih kecil adalah Nusayrat (sebelah barat
daya Gaza City, terletak agak dekat Laut Mediterania), Burayj dan
Al-Mughazi (sebelah barat daya Gaza City, tetapi lebih di tengah wilayah Jalur
Gaza), dan Dahir el-Balah (sebelah barat daya Al-Mughazi).
Ketika terjadi perang pada 15 Mei 1948, lebih dari 750.000 orang Arab
Palestina meninggalkan segalanya yang mereka miliki dan keluar dari negaranya.
Sekitar sepertiga dari mereka tinggal di Tepi Barat, sepertiga lainnya di Jalur
Gaza, dan sisanya menempati pengungsian di negara-negara Arab tetangganya,
khususnya Yordania, Syria, dan Lebanon.
Akibat peperangan ini, ribuan pengungsi melarikan diri dari daerah perang
ke Tepi Barat dan negara-negara yang berdekatan. Menurut perkiraan PBB,
kira-kira 750.000 orang telah mengungsi. Melihat aktivitas ini sebagai kesempatan
untuk memindahkan penduduk Arab, Israel kemudian menutup perbatasannya,
menolak kembalinya pengungsi setelah perang berakhir. Tidak lama kemudian
ratusan desa Arab dihancurkan, membuat para pengungsi tidak mungkin kembali.7
Taktik pengusiran etnis Arab oleh organisasi militan Israel antara lain:
desa-desa dikepung dari tiga arah dan arah keempat dibuka untuk penerbangan
dan evakuasi. Dalam beberapa kasus, taktik ini tidak berhasil karena para
penduduk desa tetap tinggal di dalam rumah-rumah mereka. Dalam kondisi seperti
inilah dilakukan pembunuhan massal. Pengusiran etnis dilakukan dalam tiga
7
tahap. Tahap pertama adalah dari Desember 1947 hingga akhir musim panas
1948. Dalam tahap ini desa-desa palestina di sepanjang pesisir dan bagian yang
lebih dalam dihancurkan dan penduduk desa-desa diusir.
Hingga Juni 1948, sekitar 370.000 orang Palestina telah diusir dari
rumah-rumah mereka dan pada akhir tahun itu, angka orang-orang terusir itu menjadi
780.000. Pada pertemuan kabinet yang dipimpin oleh Ben Gurion tanggal 18
Agustus 1948, dilaporkan bahwa 286 desa telah dikuasai dan tiga juta dunum
lahan (setara dengan 3 miliar persegi) ditinggalkan oleh orang-orang Palestina
yang memilikinya. Selama enam bulan berikutnya (yaitu operasi tahap dua),
Haganah telah mengusir 452.780 orang-orang Palestina dari kawasan-kawasan
yang menjadi jatah Israel dalam UN Partition Plan. Sebanyak 347.220 orang
lainnya diusir dari kawasan di sekitar garis batas jatah wilayah Israel.
Tahap ketiga dilakukan hingga tahun 1954. Dari 900.00 orang Palestina
yang hidup di kawasan jatah Israel, hanya 100.000 orang yang tetap tinggal di
dekat atau di tanah dan rumah mereka. Mereka inilah yang menjadi kelompok
minoritas Palestina yang menjadi warga Israel. Sisanya (800.000) diusir,
melarikan diri karena ketakutan, atau tewas dalam pembunuhan massal. Dengan
demikian total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan jatah Israel telah
terusir dan hidup di pengungsian hingga kini.8 Akibat pendudukan Tepi Barat oleh
Isreal, 400.000 orang Palestina meninggalkan daerah itu dan menetap di
Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian saat ini
menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendasar
sekalipun. Mereka hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel
mengizinkannya dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang amat
rendah.
Mereka tidak dapat berpindah tempat dari tempat satu ke tempat lain tanpa
menggunakan pasport. Karena tentara-tentara Israel sering menutup jalan untuk
alasan keamanan, imigran Palestina sering tidak dapat pergi bekerja, pergi ke
tempat yang ingin mereka tuju, atau untuk ke Rumah Sakit sekalipun ketika
mereka jatuh sakit. Bahkan orang-orang yang hidup di kamp-kamp pengungsian
setiap hari hidup dalam perasaan takut.9
Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian,
menemukan diri mereka dibenci oleh rekan-rekan Arab mereka di tempat diaspora
mereka. Pada saat nasionalisme yang berlebihan sedang menggelora di dunia
Arab, orang-orang Palestina dicemooh karena dianggap telah menjual tanah-tanah
dan negeri mereka kepada kaum Yahudi dan karena mereka dianggap melarikan
diri.
Dalam keadaan terhina ini, wajar jika para pengungsi memandang masa
lalu mereka di Palestina dengan rasa nostalgia yang dalam. Di kamp-kamp
pengungsian, para pengungsi dari kampung yang sama akan mengelompokan diri
seakan hendak menciptakan kembali kampung mereka yang hilang di Palestina
dengan sesempurna mungkin.
9
Dengan kondisi serba sulit yang dialami oleh bangsa Palestina setelah
Perang Dunia I, kondisi keterpurukan dunia Arab yang berada di sekelilingnya,
dan dunia Islam secara umum, karena cengkraman penjajahan dan kekuasaannya.
Aktifitas politik Palestina terkonsentrasi pada tuntutan-tuntutan definitif yang
paling utama. Dengan dasar-dasar tersebut lahirlah Pergerakan Nasional yang
mengadakan muktamar pertama (konferensi Arab palestina 27 Januari-10 Febuari
1919) di Al Quds.10
Organisasi-organisasi masyarakat Palestina banyak bermunculan dan
bertujuan untuk menentang Zionisme serta menuntut Inggris agar segera
mengakhiri pemerintahan mandatnya. Pada tahun 1932, dibentuk partai politik
Palestina yang pertama, yaitu Partai Kemenangan. Partai Kemerdekaan secara
aktif menghimbau agar orang-orang Palestina tidak bekerja sama dengan
pemerintahan Mandat Inggris dan melarang adanya transaksi penjualan tanah
dengan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1933, meletus perjuangan bersenjata
melawan Inggris dan juga orang Yahudi. Di sisi lain, partai-partai politik Palestina
terus bermunculan.11
Pada tahun 1935 lahirlah sebuah Partai Arab Palestina, yang tumbuh
menjadi partai nasional pertama yang mendapat dukungan seorang mufti (al-Hajj
Amin) dan rakyat luas. Pada awal dekade 1950-an, ANM (The Arab Nasionalist
Movement) dibentuk oleh George Habash dengan dukungan Mesir. Tujuan
organisasi ini adalah berjuang melawan segala bentuk Imperialisme dan Zionisme
Pada tahun 1957, muncul organisasi Al Fatah, yang dibentuk oleh Yasser
Arafat. Al Fatah merupakan kelompok perjuangan garis keras yang bertujuan
merebut kembali wilayah Palestina dari tangan Israel.12
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Penelitian skripsi ini hanya difokuskan pada Pengusiran etnis Palestina
dan Diaspora Etnis Palestina.
Adapun perumusan masalah penelitian ini dapat dibaca dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut;
1. Apa faktor yang mempengaruhi pengusiran etnis Palestina?
2. Mana sajakah negara-negara yang menjadi tujuan para diaspora rakyat
Palestina?
3. Bagaimana kondisi kehidupan etnis palestina di diaspora?
Pertanyaan-pertanyaan diatas akan penulis jawab dalam uraian-uraian dan
analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor pengusiran etnis Palestina
2. Untuk mengetahui negara-negara yang menjadi tujuan Diaspora Etnis
Palestina.
12
3. Untuk mengetahui bagaimana kondisi kehidupan etnis Palestina di
disapora
b. Manfaat Penelitian
1. Memberikan wawasan yang luas tentang pandangan diaspora Etnis
Palestina.
2. Memberikan manfaat bagi penulis dan para pencinta studi penelitian
sejarah dalam rangka upaya pengembangan sejarah Islam umumnya.
3. Sebagai bahan perbandingan bagi penulis selanjutnya.
D. Kajian Pustaka
Buku yang saya jadikan sumber primer dalam penulisan skripsi adalah
Buku yang ditulis oleh Ilan Pape yang berjudul Pembersihan Etnis Palestina:
Holocaust ke dua. 13Buku ini berisikan tentang bagaimana upaya-upaya Yahudi
Israel menyingkirkan semua etnis Arab Palestina dalam mewujudkan impiannya
untuk mendirikan sebuah negara di atas sebuah tanah yang telah “dijanjikan“.
Rakyat Palestina perlahan terusir dari tanah airnya sendiri. Buku ini juga
menjelaskan bagaimana situasi peperangan antara Arab-Israel yang hampir selalu
dimenangkan oleh Israel, dan dampak dari peperangan yang harus ditanggung
Selain itu penulis juga memiliki sumber primer lainnya yang digunakan
dalam penulisan yaitu buku Palestina: Zionisme Dan Terorisme Israel. Buku ini
ditulis oleh Harun Yahya. Buku ini berisikan mengenai teror-teror dan
pembantaian yang dilakukan Israel terhadap orang-orang Palestina. Juga
menjelaskan bagaimana kehidupan orang-orang Palestina di kamp-kamp
pengungsian
Terdapat pula buku yang ditulis oleh Gary M. Burge yang berjudul
Palestina Milik Siapa?: Fakta yang tidak Diungkapkan kepada Orang Kristen
tentang Tanah Perjanjian14, dalam buku ini Gary M. Burge melihat masalah
Palestina secara objektif dari sudut pandang Alkitab. Selain kedua buku tersebut
terdapat pula buku Jalur Gaza: Tanah Terjanji, Intifada, Dan Pembersihan etnis.
Buku ini ditulis oleh Trias Kumcahyono. Buku ini berisikan bagaimana kondisi
rakyat Palestina saat penggempuran Israel, juga menjelaskan kondisi kehidupan
para pengungsi Palestian yang hidup di kamp-kamp pengungsian,
kesulitan-kesulitan yang dialami orang-orang Palestina.
E. Metode Penelitian
Laporan penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang
digunakan adalah metode deskriptif. Poin-poin penting yang akan ditulis
dipaparkan sesuai bentuk, kejadian, susana dan masanya.
Untuk memperoleh data serta bahan bacaan yang lebih lengkap, dalam
penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah melalui
14
kajian kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang berdasarkan pada
sumber tulisan, seperti buku, dokumen, jurnal, dan makalah yang merekam dan
memberi informasi mengenai objek yang diteliti.
Pengumpulan data atau sumber informasi primer dan sekunder yang
berkaitan dengan objek penelitian, sebagai langkah awal, dilakukan dengan
mencari data-data di beberapa tempat, Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional,
Perpustakaan LIPI, Iman Jama’ dan lain-lain. Selain itu juga penulis
menggunakan data-data pribadi seperti buku-buku yang berkaitan dengan tema
skripsi.
Setelah berbagai data dan sumber primer maupun sekunder diperoleh dan
dihimpun rapi, selanjutnya penulis melakukan klarifikasi data berdasarkan topik
dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian dan penulisan ini. Penulis
juga menguji kevalidan dan keotentikan data dan sumber informasi yang
diperoleh dengan melakukan kritik, serta memilih dan memilah data yang sesuai
dengan objek penelitian.
Adapun sumber pedoman yang digunakan dalam penulisan hasil penelitian
ini adalah buku Pedoman Penulisan Karya ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi
yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah, dengan harapan bahwa penulisan
F. Sistematika Penulisan
Untuk menyajikan laporan dan penulisan penelitian, sekaligus
memberikan gambaran yang jelas dan sistematis tentang materi yang terkandung
dalam skripsi ini. Penulis menyusun sistematika penulisan ini ke dalam 5 bab
beserta bibliografi dengan urutan sebagai berikut.
BAB I : berisikan latar belakang, pembatasan masalah dan rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, kajian pustaka, metodologi
penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : merupakan bab inti pertama yang membahas tentang Palestina. Jadi
dalam bab ini akan dijelaskan tentang profil Palestina, sejarah
Palestina, dan Organisasi-organisasi yang ada di Palestina.
BAB III : merupakan bab inti ketiga yang akan membahas Palestina Pasca Perang
Dunia I. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pendudukan Palestina
oleh Inggris, kebijakan Inggris terhadap Palestina, serta konflik Arab
Yahudi di Palestina.
BAB IV : merupakan bab inti ketiga yang akan membahas tentang faktor yang
mempengaruhi pengusiran etnis palestina, negara-negara tujuan
diaspora etnis Palestina, dan kondisi kehidupan etnis Palestina
BAB V : mengandung dua sub-bab, yaitu kesimpulan yang merupakan pandangan
penulis tentang hasil penelitian yang telah ditempuh. Sub-bab yang
kedua; saran-saran yang merupakan anjuran penulis kepada para
akademisi yang memiliki perhatian terhadap penelitian sejarah dan
BAB II
SELINTAS TENTANG PALESTINA
A. Profil Palestina
Palestina adalah suatu wilayah yang terletak di antara tepi sungai Yordan
mencapai sebelah Selatan dari Laut Mati hingga muara Teluk Aqabah. Kawasan
ini berbentuk segitiga, bagian kepala menuju ke Selatan dan ekornya ke Utara.
Pada bagian kepala bertemu dengan ujung Teluk Aqabah, sedangkan bagian ekor
memanjang dari Laut Mati hingga Laut Tengah. Wilayah Palestina berada di
ujung sebelah Barat dari Benua Asia, membentang pada garis 15˚-34˚ dan 40˚-35˚
lintang Timur serta memanjang pada garis 30˚-29˚ dan 15˚-33˚ Lintang Utara.
Palestina berbatasan dengan Lebanon di Ras El- Nakoura, di wilayah Laut
Tengah (Laut Mediterania) dengan arah mengarah ke Timur di dekat kota kecil di
Lebanon, yaitu kota Berit Jubael. Garis pemisah antara kedua negara ini berbelok
ke utara dengan sudut yang nyaris lurus. Pada titik ini, perbatasan berada dibibir
Mata Air Sungai Yordania yang menjadi bagian dari Palestina. Dari wilayah
Timur berbatasan dengan wilayah Suriah dan Danau Al Hola, Lout dan Tabariyya.
Perbatasan dengan Yordania dari wilayah Selatan Danau Tabariyya, di
Sungai Al Yarmouk, sepanjang Sungai Yordan. Dari air Sungai Yordan, arah
Selatan Palestina membelah pertengahan Laut Mati secara geometrical dan
Lembah Araba, hingga sampai ke Teluk Aqaba. Perbatasan ini dimulai dari Rafah,
Dibagian Barat, Palestina berbatasan dengan perairan lepas Internasional
dari Laut Tengah dengan jarak kurang lebih 250 KM² hingga Rafah di bagian
selatan. Karena lokasinya terletak di tengah-tengah negara-negara Arab, Palestina
membentuk kombinasi geografis natural dan humanistic. Tanah Palestina
istimewa dibandingkan dengan daerah lain karena menjadi jembatan aktivitas
komersial dan tempat penyusupan ekspedisi militer disepanjang era bersejarah
yang berbeda-beda. Lokasi strategis yang dinikmati Palestina menjadi faktor
penghubung berbagai benua Asia, Afrika, dan Eropa.15
Daerah-daerah di Palestina meliputi:
1. Daerah Pesisir
Daerah pesisir Palestina memanjang dari Ra΄s An-Naqurah hingga Rafah
pesisir Palestina hampir datar, tidak terdapat pelabuhan-pelabuhan yang
dapat dilabuhi kapal. Kota-kota terpenting dan pelabuhan-pelabuhan yang
terdapat di daerah pesisir Palestina adalah Gaza, Yafa, dan Aka. Pesisir
Palestina merupakan jembatan yang menghubungkan Asia dengan Afrika
dan jalur Laut tempur terpopuler dalam sejarahnya.
2. Daerah Pegunungan
Daerah pegunungan Palestina memanjang di tengah Negara itu dan
menempati sepertiga luas Palestina seperti Gunung Galia, Nablus, dan
Gunung Al-Quds. Di daerah pegunungan ini banyak didapati tempat-tempat
suci umat Islam, Kristen, dan umat Yahudi seperti di Al-Quds (Jerusalem),
Hebron, Bethlehem, Nasiroh, Nablus, dan Safad.
15
3. Daerah Lembah
Daerah Lembah terletak di Timur palestina melewati Sungai Jordan dengan
danaunya. Daerah itu termasuk bagian dari yang sangat indah mulai dari
Gunung Taoros di Asia kecil sampai Tenggara melewati Syria, Laut mati,
dan Teluk Aqabah dan berakhir di Danau Victoria, tengah-tengah Afrika.
4. Daerah Bi΄ru As-Sabu dan Sahana Palestina
Daerah itu menduduki setengah luas Palestina dan terletak di bagian selatan
Palestina. Daerah ini seperti segi tiga yang sudutnya terletak di Teluk
Aqabah, mencakup wilayah yang terletak di antara kedua tanah Gaza dan
Semenanjung Pulau Sinai serta Timur Jordan dan Selatan Laut Mati sebagai
sikunya. Bi΄ru Sabra merupakan satu-satunya kota kawasan Palestina yang
dihuni oleh orang-orang baduy dan seni Baduy. Ia juga merupakan
penghubung perdagangan penting dunia masa lalu dan tempat kelahiran
Nabi Ibrahim dan tempat kelahiran putranya, Ismail, nenek kabilah Arab
Kan΄an
Kawasan ini bukan merupakan kawasan yang subur dengan hasil alam
yang melimpah. Kawasan ini menjadi penting bukan karena hasil kekayaan
alamnya, melainkan lebih karena kedudukannya yang strategis. Letak wilayah ini
menghubungkan tiga benua, yaitu Eropa, Asia, dan Afrika, serta menghubungkan
Laut Tengah dengan Laut Merah. Wilayah Palestina berbatasan langsung dengan
menghubungkan negara Arab di kawasan Benua Asia dengan
negara-negara di Benua Afrika.16
B. Sejarah Palestina
Tanah Kan’aan, yang sekarang disebut Tanah Palestina memiliki sejarah
yang panjang. Dari Kan’aan hingga berubah menjadi Palestina menyimpan
banyak cerita. Banyak catatan sejarah dan prasasti yang menceritakan tentang hal
itu. Palestina adalah tanah kakek moyang semua keturunan Ibrahim atau
Abraham. Kakek moyang umat manusia ketiga agama yaitu Kristen, Yahudi, dan
Islam.
Istilah palestina muncul kembali setelah setelah wilayah itu dikuasai
Kekaisaran Romawi. Pada tahun 63 SM, Pompey atau yang sering disebut
Pompius menaklukan Tanah Israel. Pada zaman ketika Yesus lahir, penguasa
Romawi menunjukan Herodes Agung sebagai raja wilayah jajahan itu. Ia
memerintah mulai tahun 37 SM sampai 4 SM. Pada awal pemerintahan Romawi,
istilah Palestina tidak pernah digunakan. Istilah itu baru muncul setelah
pemberontakan Bar Kochba pada tahun 135 M. Setelah berhasil menaklukan
pemberontakan itu, Kaisar Hadrian merubah nama wilayah Jerusalem menjadi
Aelia Capitolina. Ia juga mengubah nama Israel dan Judea (dua kerajaan pada
masa itu) menjadi Palestina.
Kemudian ketika para penguasa Arab Muslim mampu menguasai wilayah
itu pada tahun 638 M, mereka juga menggunakan nama Palestina untuk wilayah
16
tersebut. Mereka melafalkan Palestina menjadi “Falastin” atau “Filastin”. Para
ahli geografi Arab pada abad ke-10 menyebut Palestina sebagai salah satu
propinsi Suriah. Ketika wilayah itu jatuh ke tangan orang-orang Turki dari Dinasti
Ottoman atau Utsmaniyah dan dikuasai selama 400 tahun (1517-1917), wilayah
yang sebelumnya disebut Palestina dimasukan dalam Vilayet (Propinsi) Damascus
dan diperintah dari Istanbul, berdasarkan Undang-Undang Vilayet 1864. Yang
juga dimasukan ke dalam Vilayet Transjordan.
Bagian Utara negeri itu, termasuk Acre (Arab), Haifa, Tiberias, safed,
Nablus, jenin, dan Tulkarm, menjadi bagian Vilayet Beirut. Jerusalem, Gaza,
Hebron, dan Beersheba menjadi bagian dari Sanjak (Distrik) Jerusalem. Oleh
karena itu alasan-alasan religius khusus, dan merupakan kota-kota suci serta
menjadi pusat perhatian kepentingan orang-orang Eropa, maka kota-kota itu
ditetapkan sebagai unit independen dan diperintah langsung dari Konstantinopel
atau Istanbul saat ini.
Pada masa Perang Salib, Palestina jatuh ke tangan umat Kristen. Mereka
berkeinginan untuk kembali menguasai Palestina, terutama Jerusalem. Di hadapan
orang-orang Normadia Paus Urbanus II memprovoksi mereka agar mereka
mengangkat senjata untuk kembali merebut Jerusalem dari tangan kaum Muslim.
Provokasi Paus tersebut menjadi sangat efektif pada saat orang-orang Barat
berkeinginan kuat untuk melakukan kunjungan ke Jerusalem yang mereka anggap
sebagai kampung halaman Yesus.
pada tahun 1099. Dengan penaklukan itu, tentara Salib menjadikan kota Jerusalem
sebagai Ibu kota kerajaan Katolik baru yang terbentang dari Palestina hingga
Antakiyah.
Kekuasaan Kristen di Palestina tidak berlangsung lama. Pasukan Salib
hanya menguasai kawasan ini selama 88 tahun (sampai tahun 1187). Setelah itu
kawasan Palestina kembali ke tangan kaum Muslim. Salahuddin Al-Ayubi adalah
panglima yang paling berjasa dalam mengembalikan Palestina ke pangkuan Islam.
Sejak saat itu, Palestina di bawah kekuasaan Inggris setelah Perang Dunia I,
selama 400 tahun Palestina berada di bawah kekausaan Turki Utsmani. Masa ini
menyebabkan orang-orang Palestina menikmati kedamaian dan stabilitas.
Meskipun ada pemeluk tiga keyakinan berbeda, mereka hidup berdampingan satu
sama lain.
Nama Palestina juga dihidupkan kembali setelah kekuasaan Utsmaniyah
berakhir pada Perang Dunia I. setelah Perang Dunia I, wilayah tersebut oleh Liga
Bangsa-Bangsa penguasaannya dipercayakan kepada Inggris dengan dimasukkan
ke dalam Mandat Inggris untuk Palestina. Pada akhir kekuasaan Turki Usmani
(akhir abad ke19), terjadi imigrasi besar-besaran orang-orang Yahudi dari Eropa
ke empat kota penting di Palestina, yaitu Jerusalem, Safed, Tiberias, dan Hebron.
Keempat daerah ini pada masa berikutnya menjadi
pemukiman-pemukiman Yahudi yang paling penting. Pada saat ini pula muncul gerakan
yang menghendaki orang-orang Yahudi menguasai seluruh Palestina tanpa
terkecuali. Inilah awal munculnya kekisruhan Yahudi-Arab Muslim di Palestina.17
C. Organisasi-Organisasi di Palestina
Dengan kondisi yang serba sulit dialami oleh bangsa Palestina setelah
Perang Dunia I, kondisi kehidupan dunia Arab secara umum mengalami
keterpurukan karena cengkraman dan kekuasaan Zionis. Aktifitas politis Palestina
terfokus pada tuntutan-tuntutan yang paling utama adalah sebagai berikut:
1. Penghapusan janji Balfour yang penuh dengan kezaliman, ketidakadilan
terhadap hak-hak bangsa Palestina.
2. Penghentian imigrasi Yahudi.
3. Penghentian penjualan tanah kepada Yahudi.
4. Pendirian pemerintahan nasional Palestina enggan dipilih oleh parlemen
yang menjadi penjelmaan keinginan hakiki masyarakat.
5. Masuk dalam negosiasi dengan Inggris untuk membuat kesepakatan yang
akhirnya dapat memerdekaan Palestina.
Dengan dasar-dasar tersebut, maka lahirlah sebuah Pergerakan Nasional
a. Pergerakan Nasional Palestina (1918-1928)
Gerakan Nasional Palestina ini mengadakan muktamar pertama
(Konferensi Arab Palestina 27 Januari-10 Febuari 1919) di al Quds. Konferensi
ini menolak pemecahan negeri Syam yang hanya mementingkan maslahat
penjajah. Ia menganggap bahwa Palestina adalah bagian dari Syam.
Bangsa Palestina telah mengadakan 7 kali muktamar sejenis hingga tahun
1928. Muncul beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Musa Kadhim
al-Husaini yang terus memegang pucuk kepemimpinan hingga wafat bulan Maret
1934. Adapun dari sisi riil, muncul tokoh Al-Hajj Amin al-Husaini yang
kemudian menjadi mufti al-Quds tahun 1921, dan ketua Majelis Syariah Tinggi
Islami sejak berdirinya tahun 1922 yang kemudian menjadi benteng pergerakan
nasional yang kokoh. Dengan wafatnya Musa Kadhim al-Husaini, al-Hajj Amin
menjadi pemimpin yang tak terbantahkan hingga akhir mandat Inggris 1948.
Pergerakan nasional Palestina mengkonsentrasikan pergerakannya dengan
perlawanan damai Zionis, khususnya pada masa 1918-1928, dengan cara
meyakinkan Inggris untuk menghapus Deklarasi Balfour. Karena mereka masih
menyisakan harapan, mengingat Inggris adalah sekutu Syarief Husain saat Perang
Dunia I. Apalagi proyek Zionis belum berhasil merealisasikan suatu hal konkret
yang dapat membahayakan kondisi di Palestina.
Pada saat muktamar Palestina kelima (22-25 Agustus 1922), para peserta
muktamar berhasil membuat satu kesepakatan dan piagam nasional dengan
bersumpah untuk komit padanya, “Kami selalu representasi bangsa Arab Palestina
depan Allah, sejarah, dan bangsa, untuk melanjutkan upaya-upaya yang tercecer
guna merebut kemerdekaan negeri dan mewujudkan kesatuan Arab dengan segala
cara yang legal. Kami tidak akan menerima berdirinya negara nasional Yahudi
atau imigrasi Yahudi”.
b. Pergerakan Nasional Palestina (1929-1939)
Revolusi al-Buroq tahun 1929 menjadi pembuka pintu bagi zaman di mana
perlawanan terhadap Zionisme dan Inggris telah sampai pada puncaknya, revolusi
terbesar pada tahun 1936-1939. Banyaknya proyek Yahudi-Zionis telah mulai
dirasakan oleh bangsa Arab. Khususnya setelah eksodus lebih dari 152.000
Yahudi antara tahun 1930-1935 terjadi hingga melipatgandakan jumlah Yahudi
yang pada pertengahan 1929 berjumlah 159.000.
Pada tahun 1930-an Syekh Izzuddin Al-Qassam mendirikan Young Men’s
Moslem Association yang menyerukan perlawanan terhadap imperialisme Inggris
dan pendudukan bangsa Yahudi. Ia juga kemudian Mengorganisir Haifa Youth
Association. Al Qassamlah yang memulai menyerukan gerakan perlawanan
bersenjata terhadap para penjajah yang menindas Palestina.
Pada tahun 1932 M, muslim Palestina berhasil mendirikan Partai
Kemerdekaan. Tetapi akibat dari tekanan Inggris, Partai Kemerdekaan ini tidak
dapat bertahan lebih dari satu tahun. Pada tahun 1935 M muncul pula Partai Arab
Palestina, sebuah kelompok muslim yang paling lantang dalam mensuarakan
Kemajuan ini segera disusul dengan munculnya organisasi-organisasi
rahasia bercorak militeristik. Di antara mereka yang paling terkenal adalah
Jihadiyah pimpinan Izzudin al-Qasam dan organisasi Jihad Suci pimpinan Abdul
Qadir al-Husaini. Mereka mulai menggunakan cara-cara kekerasan untuk
menyuarakan hak keadilan kepada kolonial Inggris.18
Pergerakan Jihadi didirkan oleh Syekh Izzuddin al-Qassam. Pergerakan ini
secara rahasia juga berpartisipasi dalam revolusi al-Buraq, dan melaksanakan
operasi-operasi pada masa pertengahan tahun 1930-an. Syekh al-Qssam
meninggal dalam pertempuran pertama dengan polisi dalam peperangan Ahrasy
Yu’bad tanggal 20 November 1935. Kesyahidannya tidak membuat aksi-aksi
pergerakan ini surut, karena pucuk kepemimpinan kemudian dipegang oleh Syekh
Farkhan as-Sa’adi yang punya pionir dan besar dalam revolusi besar.
Al-Jihad al-Maqdis adalah sebuah gerakan yang berkarakteristik Islami
dan nasional, dengan perlindungan dari al-Hajj Amin. Organisasi ini berpusat di
kota Al-Quds dengan kepemimpinan Abdul Qadir al-Husaini dengan jumlah
anggotanya hingga tahun 1935 sekitar 400 orang. Pergerakan ini juga
berpartisipasi dalam revolusi terbesar yang memimpin langkah praktis di wilayah
al-Quds dan al-Khalil (Hebron).19
Pergerakan muslim Palestina semakin memuncak dalam sebuah aksi
massal, hingga membuat Inggris kesulitan untuk mengendalikannya. Aksi ini
digelar tahun 1938 M yang dikenal dengan nama revolusi kubra.
18
Abu Bakar. Berebut Tanah Suci Palestina, (Yogyakarta: Pustaka Insani Mandiri, 2008), hal. 244
19
BAB III
PALESTINA PASCA PERANG DUNIA I
A. Pendudukan Palestina oleh Inggris
Inggris demikian besar perhatiannya terhadap dunia Arab dan demikian
bulat kemauannya hendak menguasai Palestina, karena dunia Arab memiliki tiga
arti penting yang tidak terdapat pada negara-negara lain. Pertama, sebagai lalu
lintas Internasional. Kedua, sebagai pusat strategi. Dan ketiga, sebagai gudang
minyak yang luar biasa besarnya.
Negeri-negeri Arab merupakan daerah-daerah lalulintas Internasional yang
vital sekali dan bersifat alamiyah menghubungkan barat dengan timur dan utara
dengan selatan dengan secara timbal balik. Sejak jaman dulu, dunia Arab sudah
menjadi lalulintas darat dan laut. Dalam jaman sekarang fungsinya bertambah lagi
sebagai lalulintas udara internasional.
Jenderal Inggris, John Glubb, dalam bukunya “A Soldier With the Arabs”
dengan jujur mengatakan bahwa Inggris sangat mengkhawatirkan hubungan
dagangnya dengan Timur akan terputus pada suatu ketika disebabkan oleh
tertutupnya lalulintas Arab. Kekhawatiran tersebut selalu membayangi
kepentingan-kepentingan Inggris sejak abad-abad lalu.
Negeri Arab juga merupakan pusat strategi yang tidak ada bandingnya di
dunia. Ia dapat menguasai tiga benua, yaitu Eropa, Afrika, dan Asia. Ia dapat pula
Barang siapa menguasai daerah ini, ia dapat dengan mudah
memindah-mindahkan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udaranya dari satu
tempat ke tempat lain, ke samudera-samudera, selat-selat, serta benua-benua
tadi.20
Pemerintahan Inggris pun mengakui kurangnya minat kaum muslim
terhadap Palestina pada masa Perang Dunia I. Dengan perundingan-perundingan
dengan Sharif Husain dari Makkah pada tahun 1915-1916 berkenaan dengan
perlawanannya terhadap Ottoman, London memutuskan untuk tidak memasukan
Palestina dalam wilayah yang harus diserahkan kepada Arab. Inggris menguasai
Palestina pada tahun 1917-1948.
Pasca Perang Dunia I usaha pendekatan kepada pemerintahan Inggris
semakin gencar dilakukan dan pada saat yang sama Turki kalah dalam perang.
Para peminpin Zionis mendesak Inggris agar mendukung deklarasi mereka,
karena mereka banyak berjasa kepada Inggris dalam menbiayai Perang Dunia.
Jika mereka mendukung, Inggris dijanjikan akan memperoleh keuntungan dengan
mengamankan terusan Suez hingga kepentingan dan keamanan Inggris di Timur
Tengah akan terjamin.
Lobi Yahudi terhadap Inggris menghasilkan Deklarasi Balfour pada
tanggal 12 November 1917 yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Inggris,
Arthur James Balfour, di mana Inggris mengakui hak-hak Yahudi yang bersejarah
atas Palestina, selanjutnya bersedia menyediakan fasilitas guna terbentuknya satu
tempat tinggal nasional bagi umat Yahudi. Pengakuan Internasional terhadap
20
Nicola Durr. Palestina: Beginilah Ia Hilang Beginilah Ia Kembali, (Bandung: PT.
Deklarasi tersebut baru terjadi tiga tahun kemudian, yaitu ketika Liga
Bangsa-Bangsa menyerahkan Palestina sebagai mandat kepada Inggris dan Inggris dapat
melaksanakan janjinya.21
Akhirnya, pada 9 Desember 1917, Inggris menduduki Palestina di bawah
pimpinan Jenderal Edmund Allenby. Pada tahun yang sama, Menteri Luar Negeri
Inggris Arthur Balfour memberikan isyarat kepada Zionis kaya dan berpengaruh
Lord Rothschild, bahwa pemerintah Inggris mendukung terbentuknya sebuah
Homeland bagi Yahudi di Palestina. Disinilah kemudian persoalan dimulai dan
berlangsung hingga kini.22
Tugas yang diberikan Liga Bangsa-Bangsa kepada Inggris untuk
mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom,
ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina,
khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan
Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri,
sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang
paling berhak untuk berada di wilayah palestina.
Keberadaan Inggris di wilayah Palestina juga untuk membantu warga
Palestina menjadi daerah otonom, akan tetapi menimbulkan resistensi dari Arab,
sehingga keberadannya tidak berfungsi maksimal dan jauh dari yang diharapkan
ketika Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Inggris.23
Israel selalu meyatakan bahwa posisi legal Internasional mereka atas
Palestina berasal dari Mandat Inggris (Palestine Mandate, 24 Juni 1922), yang
mana Liga Bangsa-Bangsa menjadi sumber utama legitimasi internasional PBB
mengakui “hubungan histories bangsa Yahudi dengan Palestina” dan
menghendaki agar Palestina menjadi National Home bagi bangsa Yahudi. Mandat
Palestina yang aslinya disebut “The British Mandate For Palestine: diputuskan
dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan pasca Perang Dunia I oleh Dewan
Tertinggi Sekutu di San Remo, Itali, pada tanggal 19-26 April 1920. Keputusan
ini disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 24 Juni 1922 dan mulai
diberlakukan pada bulan September 1923.
Istilah national home bagi bagsa Yahudi tertulis dalam Piagam PBB pasal
2 paragraf 4 dan juga dalam pembukaan tentang ketentuan Mandat Palestina.
Dalam pasal 2 itu juga disebutkan Inggris berkewajiban untuk melindungi
hak-hak sipil dan agama bagi semua penduduk Palestina, terlepas dari apa agama dan
ras mereka. Bagian ini sangat penting, namun jarang sekali disebutkan Israel.
Yang ditekankan Israel adalah tentang ketentuan national home saja. Tapi hak
Israel yang mendasarkan pada mandat Palestina yang diputuskan di San Remo,
dan juga perjanjian Serves, serta deklarasi Balfour, dibantah oleh Inggris lewat
apa yang disebut “Churchill White Paper” atau “White Paper of 1922”.
Dalam Churchill white Paper ini, Inggris menyatakan tidak mendukung
sebuah nation yang terpisah yang disebut sebagai Jewish Nation Home. Yang
didukung Inggris adalah pembentukan komunitas Yahudi di wilayah Palestina.
pembentukan sebuah negara Palestina Yahudi seluruhnya dan menyatakan bahwa
pemerintah Inggris tidak berkeinginan untuk melihat Palestina menjadi
Yahudi-nya Inggris.
Sementara Palestina juga menyatakan bahwa Jerusalem atau Al-Quds akan
menjadi ibu kota Negara Palestina Merdeka di masa mendatang, atas dasar klaim
pada agama, sejarah, dan jumlah penduduk kota itu. Saling klaim terus terjadi,
status Jerusalem itu sangat berkait dengan masa depan perdamaian Timur Tengah,
bahkan mungkin perdamaian dunia. Rasanya tidak akan pernah ada penyelesaian
konflik antara Israel-Palestina kalau tidak ada penyelesaian yang menyangkut
Jerusalem.24
Di Palestina, Resolusi terhadap kepentingan yang bertabrakan tampaknya
mustahil untuk dilakukan, dan ini menyebabkan kerusakan yang berlarut-larut
terhadap hubungan antara masyarakat Arab dan kekuatan Barat. Selama Perang
Dunia II, imigrasi Yahudi ke Palestina benar-benar mustahil, dan sebagian besar
aktifitas politik telah ditunda. Seiring dengan berakhirnya perang, jelas bahwa
hubungan kekuasaan telah berubah. Bangsa Arab Palestina, dibandingkan
sebelumnya kurang mampu menunjukan front yang padu.
Sementara itu, Yahudi Palestina disatukan oleh lembaga-lembaga manual
yang kuat. Banyak di antara mereka yang memperoleh pelatihan dan pengalaman
militer di angkatan bersenjata Inggris selama perang. Mereka memiliki dukungan
Pemerintahan Inggris selain sadar akan argumen yang mendukung
imigrasi Yahudi yang cepat dan berskala besar, juga menyadari bahwa hal itu
akan mengarah kepada tuntutan sebuah negara Yahudi, dan ini akan
membangkitkan perlawanan yang kuat oleh bangsa Arab yang telah dijajah atau
dirampas hak miliknya. Inggris juga tidak bebas berindak seperti tahun 1939,
karena hubungan dekatnya dengan Amerika Serikat dan ketergantungan ekonomi
kepadanya,.
Pada tahun 1947, Inggris memutuskan untuk menyerahkan perkara ini ke
PBB. Sebuah komisi khusus PBB dikirim untuk menyelidiki masalah dan
mengeluarkan sebuah rencana pemisahan dengan syarat-syarat yang
menguntungkan kalangan Zionis. Hal ini disetujui oleh Majelis Umum PBB pada
November 1947, dengan dukungan yang sangat aktif dari Amerika Serikat dan
Rusia, yang menginginkan Inggris menarik diri dari Palestina. Anggota PBB dari
negeri-negeri Arab dan Arab Palestina menolak rencana itu.25
B. Kebijakan Inggris Terhadap Palestina
Pihak yang bertanggung jawab atas pemandatarisan Palestina merupakan
tanggung jawab Inggris selaku negara yang menerima mandat untuk terus
mendirikan lembaga-lembaga pemerintahan regional, serta memberikan jaminan
hak-hak sipil dan agama kepada seluruh rakyat Palestina. Artinya, dengan ini
diharapkan agar janji Balfour tidak akan menghalangi anak bangsa Palestina saat
menuntut pembentukan lembaga-lembaga pendirian negara.
25
Inggris selalu lebih mengutamakan komitmen pada pemecahan wilayah
sesuai dengan janji Balfour, dan menutup telinganya serta tidak menghormati
pemecahan yang bergantung pada hak-hak bangsa Palestina yang merupakan
komposisi penduduk saat awal penjajahan. Inggris memberlakukan
undang-undang pemerintahan militer di Palestina hingga akhir Juni 1920, kemudian baru
berubah ke pemerintahan sipil. Inggris menunjuk seorang Yahudi Zionis, Herbert
Samuel sebagai Komisaris Tinggi Inggris di Palestina (1920-1925) untuk
mengemban tugas riil realisasi proyek zionis di Palestina (1920-1925).
Palestina benar-benar hidup di bawah konspirasi penjajahan Inggris yang
sangat hebat. Rakyat Palestina dilarang membangun lembaga-lembaga
konstitusional dan pemerintahan serta harus tunduk di bawah pemerintahan
Inggris secara langsung. Inggris juga terus menganjurkan bangsa Yahudi untuk
terus berimigrasi ke Palestina hingga jumlah Yahudi kian bertambah dari 55 ribu
(8 pesen dari populasi) tahun 1918 menjadi 650 ribu (31 persen dari populasi
1948). Kendati dengan seluruh daya upaya Yahudi-Inggris untuk merampas tanah
Palestina, namun Yahudi masih belum dapat menguasai wilayah tersebut kecuali
hanya 6,7 persen dari seluruh wilayah Palestina tahun 1948.
Pada tahun 1918 Inggris membatasi imigrasi Yahudi dan menahan
peralihan kepemilikan wilayah Palestina kepada orang-orang Yahudi, atas dasar
bahwa penyerahan itu akan melanggar status quo. Inggris juga melarang
“Hatikvah” (lagu kebangsaan zionis) dinyanyikan di depan umum dan menolak
kebijakan-Nasional Yahudi tinggal tunggu untuk dihapus saja. Keyakinan tersebut mungkin
telah mendorong pecahnya tindakan kekerasan orang Arab Palestina terhadap
orang-orang Yahudi di Jerusalem pada beberapa bulan di awal tahun 1920.
Selama kerusuhan rasial itu, Sir Donald Storrs, Gubernur Palestina saat
itu, tidak mengirimkan tentara keamanan dan tidak mengizinkan kaum Yahudi
mengorganisasi pertahanan mereka sendiri. Tetapi kerusuhan rasial itu
menumbuhkan kembali simpati kalangan pemerintah Inggris terhadap zionisme.
Pemerintah Inggris juga meneguhkan kembali komitmennya, sebagaimana
dinyatakan dalam Deklarasi Balfour:
Departemen Luar Negeri
2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada
Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan
simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan
kepada dan disetujui oleh Kabinet.
"Pemerintahan Sri Baginda memandang positif
pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan
akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk
memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami
bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat
merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari
komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina,
ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat
menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi
Zionis.
Salam,
Arthur James Balfour
yang sebelumnya telah menunjukan tanda-tanda akan ditinggalkan. Pada saat itu
Inggris secara remi mendukung Rumah Nasional bagi orang-orang Yahudi, tetapi
tidak mendukung negara Yahudi. Pada titik ini Inggris tetap setia pada Deklarasi
Balfour selama beberapa tahun, sehingga kaum Yahudi secara relative hidup
damai sebelum mulai membangun Rumah Nasional mereka.
Selama tahun 1930-an, Inggris tetap dingin terhadap Zionisme. Masa itu
adalah saat ketika Inggris memegang prinsip penyelesaian konflik dengan
cara-cara damai yang memang disengaja karena pemerintah berusaha untuk
mengenyahkan kemungkinan yang cukup mengerikan akan terjadinya perang
dunia. Inggris berfikir bahwa jika tanah air bagi orang-orang Yahudi yang
menyebabkan semua masalah itu, maka gagasan tersebut pasti tidak dapat berjalan
dan karena itu harus ditinggalkan.
Pada tahun 1937 muncul pemberontakan Arab Palestina terhadap
penguasa Mandat Inggris. Pemberontakan ini mendorong Inggris mengubah
kebijakan yang memperlonggar eksodus bangsa Yahudi dari berbagai belahan
dunia, terutama dari Eropa, ke Palestina. Pada tanggal 17 Mei 1939 Inggris
mengumumkan Naskah Putih yang berisi prinsip-prinsip baru tentang Palestina.
sepuluh tahun, Negara Palestina Merdeka yang dihubungkan dengan Inggris oleh
suatu perjanjian khusus.
Ketentuannya yang terpenting adalah mengenai imigrasi dan transfer
tanah. Pada kedua hal ini, Inggris sebenarnya mengabulkan tuntutan orang-orang
Arab, yaitu para imigran dibatasi hingga 75.000 orang untuk lima tahu berikutnya,
dan setelah itu dihentikan sama sekali. Sementara itu Palestina akan dibagi ke
dalam tiga zona: pertama, zona yang memperbolehkan transfer tanah dari
golongan Arab ke Yahudi. Kedua, zona yang membatasi tindakan itu. Dan ketiga,
zona yang melarang sama sekali adanya transfer tanah itu.
Naskah Putih ini, sekalipun belum memuaskan pihak Arab, namun telah
mencatat kemenangan cukup berarti bagi mereka. Pada saat yang sama Zionis
merasa sangat terganggu dengan munculnya kebijakan itu. Mereka menganggap
kebijakan itu telah menyalahi Deklarasi Balfour. Zionis Yahudi kemudian
menuntut Inggris agar mencabut kembali kebijakan itu. 26
Inggris tetap menentang Zionisme dan bertekad untuk menjaga hak-hak
orang Palestina hingga akhir pemerintahan mandat mereka. Bahkan setelah
terungkapnya fakta yang mengerikan tentang Holokaos Nazi, Inggris tetap
menentang imigrasi kaum Yahudi. Tuntutan publik dari Presiden Harry S. Turman
pada tahun 1946 untuk segera memberikan izin bagi 100.000 pengungsi Yahudi
ke Palestina ditolak oleh Inggris. Pada 29 Juni tahun itu pemerintah Inggris
memerintahkan penangkapan beberapa pemimpin Yahudi. Karena ditekan oleh
Yahudi di Palestina, sekretaris Luar Negeri Ernest Bevin mengumumkan niat
26
Inggris untuk mengembalikan mandatnya di Palestina kepada Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Februari 1947. Mandat Inggris berakhir pada
tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah Ben Gurion memproklamasikan Negara
Israel, dengan dukungan dari PBB.27
Pemerintahan Inggris dengan secara intensif melucuti senjata rakyat
Palestina. Namun pada kesempatan lain, pemerintah Inggris menutup mata pada
pihak Israel, bahkan menggalakkan pemilikan senjata secara rahasia,
mempersenjatai mereka, dan membentuk milisi serta melatih mereka. Hingga
pada saat pecahnya perang 1948, jumlah pasukan bersenjata Israel sudah
mencapai 70.000 tentara. Jumlah ini tiga kali lipat dari jumlah tentara Arab yang
ikut bagian dalam kancah perang 1948.28
Inggris menjalankan mandatnya di Palestina dan daerah di sebelah
Timurnya. Karena kewajiban yang dibebankan Deklarasi Balfour dan yang
diulangi dalam mandat, mengharuskan Inggris untuk menfasilitasi pembentukan
negara nasional bagi Yahudi, maka Inggris memerintah langsung Palestina. Dari
titik awal pemerintahan Inggris, jelas akan sulit untuk menciptakan struktur
pemerintahan lokal apapun yang akan menampung kepentingan-kepentingan
penduduk Arab Palestina asli maupun kepentingan-kepentingan Zionis itu. Bagi
Zionis yang terpenting adalah membuka terus pintu masuk untuk imigrasi, dan ini
termasuk mempertahankan kendali langsung Inggris sampai komunitas Yahudi
menjadi cukup besar dan telah mengamankan kendali yang memadai atas sumber
ekonomi negeri ini sehingga mampu mengurus kepentingan-kepentingannya
sendiri.
Bagi orang Arab Palestina yang terpenting adalah mencegah imigrasi
Yahudi agar tidak membahayakan hak untuk menentukan pemerintahan sendiri,
dan bahkan eksistensi komunitas Arab. Terperangkap diantara dua tekanan itu,
kebijakan pemerintah Inggris adalah tetap memegang kendali langsung,
mengizinkan imigrasi dalam batasan-batasan, menyokong seluruh kepentingan
ekonomi komunitas Yahudi, dan meyakinkan bangsa Arab Palestina dari waktu ke
waktu apa yang akan terjadi tidak akan mengarah kepada pendudukan atas
mereka. Kebijakan ini lebih berat memihak kepada kepentingan Zionis dari pada
bangsa Arab Palestina.
C. Konflik Arab Yahudi di Palestina
Konflik Arab-Yahudi sebetulnya sudah dimulai sejak eksodus
besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina pasca Deklarasi Balfour tahun 1917. Konflik
ini semakin menggila setelah terbit resolusi Majlis Umum PBB tentang
pembagian wilayah palestina November 1947. Konflik pada tahun itu berubah
menjadi pertempuran yang menelan korban lebih dari 2.500 korban jiwa rakyat
Palestina.29
Konflik-konflik yang terjadi sebelum tahun 1947 lebih banyak berupa
ketegangan-ketegangan diplomatik dan protes-protes keras antara bangsa Arab
Palestina yang merasa tanah mereka direbut dengan bangsa Yahudi yang begitu
29
ambisius ingin menguasai Palestina. Protes-protes biasanya diwujudkan dalam
bentuk kerusuhan-kerusuhan.
Antara tahun 1880-1919 ketegangan juga terjadi antara penguasa Turki
Utsmani dengan pihak Sekutu Eropa yang dimotori oleh Inggris. Tahun 1920
terjadi kerusuhan di Palestina, tahun 1921 terjadi di Jaffa. Kerusuhan-kerusuhan
itu kemudian mendorong pihak Sekutu Eropa untuk memberikan mandat kepada
Inggris setelah runtuhnya Turki Utsmani yang secara de jure menguasai Palestina
pada 1924 untuk meredam kerusuhan itu. Namun,
kerusuhan-kerusuhan tetap saja terjadi. Pada 1929 terjadi lagi kerusuhan-kerusuhan, kemudian antara
tahun 1936-1939, dan terakhir tahun 1946.
Pada 4 April 1920 terjadi lagi pertikaian antara Arab dan Yahudi. Massa
Arab berpencar dan menyerbu kompleks pemukiman Yahudi. Polisi Arab
berpihak kepada perusuh, pasukan Inggris tidak keluar untuk menghentikan
kekerasan itu, dan orang-orang Yahudi dilarang untuk mengorganisir pertahanan
mereka sendiri. Sebagian besar korban adalah Yahudi. Sebanyak 90 orang
terbunuh dan 244 orang mengalami luka-luka.
Ketegangan terus berkembang di kedua belah pihak, kekerasan terjadi di
seluruh Palestina. Pada akhir Agustus 1920, 133 orang Yahudi terbunuh dan 339
cedera. Polisi Inggris telah menewaskan 110 orang Arab, dan 6 orang tewas dalam
serangan balasan Yahudi ke Tel Aviv.
Pada musim panas 1929, terjadi konfrontasi berdarah pertama antara
di antaranya terluka atau dipenjara seumur hidup. Sejak akhir 1920 hingga 1935
pemberontakan bersenjata oleh Syeikh Izzudin al Qassam, pemimpin Arab
pertama di Palestina yang menyerukan perlawanan bersenjata melawan para
kolonialis dan penguasa asing.
Pada tahun 1935 al Qassam menghimpun 800 pasukan bersenjata ke Haifa
dan bergerak ke perbukitan di Tepi Barat, sebagai upaya untuk mengenyahkan
kekuatan Inggris dan memerdekakan Palestina. Mereka berkonfrontasi dengan
pasukan Inggris dan Zionis dalam sebuah pertempuran tak seimbang, dimana al
Qassam beserta beberapa pengikutnya terbunuh dan sebagian yang lain banyak
yang menjadi tawanan.
Abdul Qadir Husaini mengambil alih kepemimpinan perjuangan Palestina
pada tahun 1937, namun ia pun terbunuh bersama beberapa pengikutnya setelah
terlibat dengan banyak pertempuran. Pada tahun 1940, Hasan Salameh memikul
tanggung jawab untuk memimpin perang gerilya melawan kekuatan persekutuan
Inggris-Zionis, namun pada akhirnya ia pun terbunuh.30
Kekecewaan orang-orang Arab mencapai puncaknya menjadi
pembangkangan sipil secara terang-terangan. Kemudian terjadilah pemberontakan
Arab melawan Inggris dari 1936 hingga 1938, yang selama masa-masa itu
Palestina sangat menderita. Kerumunan orang-orang Arab dengan marah
meledakan sebuah bom di sekolah agama Yahudi yang membunuh 9 orang anak
dan 46 Yahudi tewas dalam serangan lainnya.
30
Dalam suatu peristiwa di tahun 1938, para pemberontak Palestina sempat
menguasai kota. Selama krisis ini, kepemimpinan Zionis masih menerapkan
kebijakan menahan diri, tetapi Irgun melakukan pemboman dan serangan yang
dalam peristiwa itu 48 orang Arab kehilangan nyawa mereka. Selama
pemberontakan tersebut, Jerusalem kehilangan tempatnya sebagai pemimpin
perlawanan terhadap Zionisme.
Kerusuhan-kerusahan itu sebenarnya memperlihatkan sebuah bentuk
pemberontakan bangsa Arab terhadap dominasi asing dan Yahudi. Kerusuhan
antara 1936-1939, terurama didominasi oleh gerakan yang dipimpin oleh seorang
yang sangat berpengaruh, Izzuddin Al-qassam. Pemberontakan ini amat dikenal
karena merupakan puncak perkembangan dari pergerakan bangsa Palestina.
Sejak Zionisme memasuki tanah Palestina, para pengikutnya telah
berusaha menghancurkan orang-orang Palestina. Agar memberi ruang pada para
imigran Yahudi, orang-orang Palestina terus ditekan, diasingkan, dan diusir dari
rumah-rumah dan tanah mereka. Hal ini terjadi sampai berdirinya Negara Israel
tahun 1948 dan telah menghancurkan kehidupan ratusan ribu warga Palestina.
Bahkan saat ini, sekitar 3,5 juta orang palestina masih berjuang mempertahankan
kehidupannya, menjadi pengungsi di kamp-kamp pengungsian dalam keadaan
yang sangat sulit karena pengusiran tersebut.
Setiap kedatangan orang Yahudi yang baru berati kekejaman, tekanan, dan
kekerasan baru terhadap orang-orang Palestina. Untuk memberi tempat tinggal
abad, hingga mereka harus pindah ke padang pasir dan tempat-tempat
pengungsian. Itulah yang menyebabkan orang-orang Arab merasa harus
melakukan perlawanan terhadap bangsa Yahudi yang datang ke Palestina.31
Terbentuknya negara Israel pada 14 Mei 1948 telah memicu konflik
berkepanjangan antara Arab dengan Yahudi Israel. Konflik bersenjata pertama
antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari setelah diproklamasikannya
kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang
resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Hagana dan Irgun
yang berjuang tanpa komando.
Alasan-alasan berdirinya Negara Israel selain karena dorongan religius
yang sangat kuat untuk kembali, ada empat faktor lain yang menjadi alasannya,
yaitu: Pertama, alasan keamanan. Persoalan yang biadab dari orang-orang Nazi
dimana 6.000.000 orang Yahudi terbunuh. Hal itu memberi mereka keyakinan
bahwa keamanan diri mereka hanya mungkin terjuwud bila di negeri mereka
sendiri. Kedua, alasan Psikologis. Sebagian dari mereka yakin bahwa sudut
Psikologis tidak sehat bagi orang Yahudi untuk hidup sebagai minoritas. Hal ini
dapat dihindari jika mereka memiliki identitas bangsa dalam negerinya sendiri.
Ketiga, alasan kultural. Semangat keagamaan Yahudi semakin lama semakin
luntur, dan tradisinya hampir punah sama sekali. Harus ada sebidang tanah di
muka bumi ini dimana agama yahudi itu merupakan kebudayaan utama dari
orang-orang Yahudi. Keempat, alasan idealisme. Pada suatu tempat di dunia ini
31
harus ada suatu bangsa bernegara yang diabadikan untuk mewujudkan cita-cita
serta moral-moral kenabian mereka.32
Peperangan tahun 1948 yang juga dikenal dengan nama Al Nakba
dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur. Dan
pada tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara ditegaskan dengan
diterimanya Israel sebagai anggota PBB. Perang 1948 telah memunculkan
persoalan pengungsi yang terusir dari kediamannya di Palestina.33
Orang-orang Israel juga memaksa orang-orang Palestina untuk hidup
dalam pemblokiran. Meskipun mereka hanya memiliki sejumlah kecil tanah
dibandingkan jumlah penduduk mereka, orang-orang Palestina berada dalam
kendali yang ketat dan pengawasan terus menerus. Israel terus menerapkan
kewenangan pengawasan atas 97% Tepi Barat dan 40% Jalur Gaza yang keduanya
berada di bawah Otorita otonomi Palestina. Meskipun orang-orang Palestina yang
tinggal di daerah ini tampak diatur oleh pemerintahannya sendiri, Israel telah
menentukan batasan-batasan ketat akan kemerdekaan bergerak bagi semua orang
Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan sebagian besar Jalur Gaza.34
Pada 2 Desember 1946, suatu kerumunan warga Arab bergerak melewati
gerbang Yaffa dan menjarah pusat perdagangan Yahudi. Irgun membalas dengan
cara menyerang pinggiran kota Arab di Katamon dan Syeikh Jarrah. Pada Maret
1948, Tujuh Puluh orang Yahudi dan Dua Ratus Tiga Puluh orang Arab terbunuh
dalam sebuah pertempuran di sekitar Jerusalem, bahkan sebelum selesainya secara
resmi masa kerja Mandat Inggris.
Pada Febuari 1948 warga Arab mengepung pinggiran kota Yahudi di
Jerusalem Barat, yang terputus dari bagian negeri itu hingga Haganah membuka
Jalan. Pada 10 April perang memasuki fase baru ketika Irgun menyerang
perkampungan Arab di Deir Yassin, tiga mil sebelah barat Jerusalem. Pada 13
April, orang-orang Arab menyerang sebuah konvoi yang membawa para pasukan
Irgun yang terluka di Deir Yassin ke Klinik Pusat Gunung Scopus.35
Setelah Perang 1967, status Jerusalem yang secara de facto diduduki dan
dikuasai Israel tidak jelas secara de jure. Israel bahkan melakukan “Yudaisasi”
atas Jerusalem, yakni dengan menerapkan hukumnya atas wilayah Jerusalem
Timur dan menyatakan bahwa Jerusalem secara menyeluruh dan bersatu
merupakan ibu kota abadi Israel. Hal ini diputuskan oleh Knesset pada tanggal 18
Juni 1967. Tindakan itu oleh Majelis Umun PBB dinyatakan tidak sah. Pernyataan
tersebut dituangkan dalam resolusi Nomor 2253. Resolusi yang dirancang oleh
Pakistan itu diterbitkan pada 4 Juli 1967. Yang pada intinya resolusi itu
mengganggap semua yang dilakukan oleh Isreal di Jerusalem Timur adalah illegal
dan arena itu harus dihentikan. Resolusi tersebut didukung oleh 99 anggota, 20
abstain, dan 3 absen.
Akan tetapi semua itu tidak dianggap oleh Israel. Mereka tetap
menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kotanya. Dan, setelah melalui perdebatan
panjang selama berbulan-bulan, Dewan Keamanan PBB pada tahun 1967
35