• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, konflik Israel-Palestina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, konflik Israel-Palestina"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA A. Sejarah Konflik Israel dan Palestina

1). Tiga Istilah Penting: Israel, Yahudi, dan Zionis

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam

"derivasinya". Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann Islam.26 Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah "Yahudi"

dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang "bersifat jelek".

Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.

Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan, bahkan kalau kita mau ingat seperti yang pernah

26Irshad Mandji, The Truble with Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change, Terjemah: Herlina Permata Sari. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta:

Nun Publisher, 2008.

(2)

dituliskan Ralph Schoenman,27 ketika seseorang berusaha untuk menguji asal usul, sejarah dan dinamika Zionisme (istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebutkan Yahudi), mereka akan bertemu dengan berbagai macam teror dan ancaman.28

Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul:

Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur.

Apa yang ditulis Schoenman mungkin cukup sugestif mengingat ia adalah korban tidak langsung yang membangun sikap anti-pati pada Zionis (Israel). Namun demikian, pelajaran tersirat yang dapat dipetik dari catatan Schoenman adalah, sebauh gambaran tentang sulitnya melacak atau mengetahui informasi tentang Yahudi.

29

Problem mendasar yang juga ditemukan ketika membicangkan Yahudi dalam berbagai aspek adalah inkonsistensi penggunaan istilah untuknya. Pada umumnya, penggunaan terminologi Zionisme dan Israel seringkali muncul sebagai kata ganti untuk menyebutkan Yahudi, padahal – menurut hemat penulis– untuk melihat

27 Ralph Scoenman adalah satu dari sekian orang yang mengalami langsung situasi konflik Israel-Palestina. Ia mengalami pengepungan dan pengeboman di Beirut Barat (1982), hidup bersama orang-orang Palestina dalam reruntuhan Ain el Helwh selama pendudukan Israel, serta menyaksikan pembinasaan di kamp-kamp Palestina. Lihat: Ralph Scoenman. 2007. "The Hidden Histroy of Zionism". Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss.

28 Ibid, hlm:1

29Buku yang ditulis Triyas Kuncahyono ini lebih dari sekedar catatan Jurnalistik, namun pengalaman spiritualitasnya sebagai seorang Katolik yang taat juga turut memperindah bahasan- bahasannya tentang Jerusalem, dan yang lebih menarik, penulisnya berusaha menggambarkan Jerusalem seobjektif mungkin berdasarkan sudut pandang tiga agama besar yang memiliki memori masing-masing dengan tanah yang menjadi simbol spiritualitas Yahudi, Nasrani, dan Islam. (Lihat:

Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas)

(3)

problem Israel-Palestina secara objektif, penggunaan ketiga istiah ini harus dapat dibedakan. Pembedaan tersebut setidaknya dapat dirumuskan dengan memaparkan:

pertama, Israel merupakan sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya penganut agama Yahudi, namun bukan berarti agama lain tidak tumbuh (diakui) di sana. John Obert Voll menyebutkan, komposisi umat Islam di negara Israel mencapai 10% pada akhir tahun 1960-an dan mereka menerima eksistensi muslim sebagai minoritas dengan sedikit tanda-tanda aktivisme Islam atau penegasan keyakinan Islam di depan umum. Perang Arab-Israel pada 1967 mengakibatkan pendudukan Israel atas wilayah West Bank milik Jordania dan wilayah lain yang secara substansial berpenduduk muslim, yang kemudian menyebabkan muslim Israel melakukan kontak dengan komunitas muslim yang lebih luas yang dapat memberikannya perasaan identitas yang lebih besar.30

Kedua, identitas Yahudi memang sulit untuk dipisahkan dengan bangsa Israel, namun terminologi ini tetap saja harus dipahami dari dimensi teologis untuk membedakannya dengan konsep teologi lain dari tiga agama besar keturunan Ibrahim:

Yahudi, Nasrani, dan Islam.31 Eratnya keterkaitan antara Yahudi dengan Israel sebagai identitas yang hampir mustahil dipisahkan setidaknya ditunjukkan oleh Law of Return Israel: "setiap orang yang memiliki kakek moyang Yahudi berhak untuk tinggal di Israel dan berhak mengklaim sebagai warga negara Israel.32

30John Obert Voll. 1997. "Islam Continuity and Change in the Modern World". Terjemah:

Ajat Sudrajat. Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan Dunia Modern. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

31 Irwansyah, dalam penelitian sederhana yang dilakukannya terhadap ayat-ayat tentang Islam di dalam al-Qur’an memberikan kesimpulan bahwa kata "Islam" mengandung muatan nilai dan bukan institusi, dengan demikian kata Islam kurang tepat disanndingkan dengan kata Yahudi dan Nasrani sebagai institusi, akan tetapi al-Qur’an menggunakan kata mu’min sebagai kata yang mendampingi kata Yahudi dan Nasrani. Lihat Irwansyah. 2008. "Teologi Islam tentang Agama-agama. " Buletin Multikultural Edisi IV/November 2008, hal:15-23. lihat juga: Irwansyah. 2004. "Perkembangan Pemikiran tentang Kerukunan Hidup Umat Beragama: Suatu Analisis", dalam: H. M. Ridwan Lubis, dkk (ed). Konsep Kerukunan Hidup Umat Beragama, Kumpulan Karya dalam Konteks Pluralitas Agama dan Budaya. Medan: LPKUB Perwakilan Sumut

32Trias Kuncahyono, op-cit, hal.105

Alih-alih, al

(4)

Qur’ān sendiri memberikan sinyal tersebut dengan istilah "bani Israel" kepada kaum nabi musa yang diidentifikasi sebagai Yahudi.

Ketiga, isme yang melekat pada kata Zionis tentulah menunjukkan suatu faham; ajaran; cita-cita; sistem; ataupun sikap,33 sebagai salah satu kelompok yang muncul dari kalangan Yahudi itu sendiri. Istilah Zionisme boleh jadi terambil dari kata Sion yang "legitimasinya" dapat ditemukan dalam kitab Suci Yahudi.34 Karen Armstrong menyebutkan, Zionisme sebagai gerakan untuk membangun tanah air Yahudi di Palestina, merupakan respon kaum Yahudi terhadap modernisasi yang paling imajinatif dan paling luas jangkauannya.35 Oleh karenanya, Zionisme hanya dapat dipahami sebagai gerakan untuk membangun negara Israel yang dalam faktanya menjadi gerakan paling berpengaruh, namun tetap saja Zinonisme tidak dapat diklaim sebagai seluruh orang Yahudi. Bahkan – seperti yang dituliskan Karen Armstong, kaum ortodoks Yahudi mengutuk gerakan zionis dengan istilah-istilah yang paling ekstrim.36

33Osman Raliby, Kamus Internasional. Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hal. 302.

34Lihat: Derk Prince, The Last World on the Midle East, Terjemah: Timur Tengah, Ungkapan Nubuat, Gandum Mas, Malang, 1982.

35Karen Armstong. 2000. "The Battle of God". Terjemah: Satrio Wahono, dkk. Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Jakarta: Serambi, hal. 231

36Ibid.

Berdasarkan tiga penggunaan terminologi (Israel, Yahudi, dan Zionisme) sebagaimaa dipaparkan di atas setidaknya telah menunjukkan perbedaan dan pembedaan secara substansial dari penggunaan ketiga istilah tersebut. Harus diakui, membedakan ketiga istilah ini merupakan pekerjaan yang sulit karena berbagai dasar dan argumentasi yang justru mempersamakan ketiganya. Namun demikian, memebdakan ketiga istilah ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan objektif dari setiap analisis yang dilakukan untuk melihat konflik Israel-Palestina.

(5)

2). Mengurai Konflik Israel-Palestina

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, konflik Israel-Palestina seringkali dipahami sebagai konflik Yahudi-Islam dan hal ini berhasil mensugesti hampir seluruh dunia Islam untuk membeci Yahudi dengan segala macam "derivasinya".

Sikap anti-pati terhadap Yahudi di kalangan mayoritas Islam bahkan telah ditanamkan demikian mengakar mulai dari lingkungan keluarga hingga institusi pendidikann Islam.37

Hampir mustahil melacak kronologis sejak kapan umat Islam dididik untuk membenci Yahudi, namun fakta yang ada justru menunjukkan hubungan keduanya cukup baik sepanjang sejarah umat Islam awal hingga periode pertengahan. Dalam literatur Islam orang Yahudi diabadikan sejarah sebagai orang yang pernah menjadi sekretaris nabi khususnya untuk keperluan korespondensi luar negeri, bahkan nabi Yahudi kerap digambarkan sebagai makhluk berwatak jelek, berwajah bengis dan berhati keji, sehingga tidak heran jika kemudian istilah "Yahudi" dijadikan sebagai bahasa cemooh untuk menyebutkan orang yang "bersifat jelek".

Segala kemungkinan bisa saja terjadi ketika kebencian telah dijadikan sebagai landasan untuk berpikir dan bertindak. Dalam konflik Israel-Palestina misalnya, seruan agar umat Islam bersatu untuk melawan Zionis-Yahudi bukan sesuatu yang aneh disuarakan meski dengan alasan yang masih sulit ditebak: apakah merasa senasib dengan warga Islam Palestina, atau justru dipicu oleh kebencian terhadap Yahudi yang telah jauh ditanamkan. Sebaliknya, umat Islam dunia bahkan sulit untuk memberikan dukungan kepada pihak mana ketika terjadi perang Saudara Sunni-Syiah di wilayah Timur tengah, tetap saja sebagai perang melibatkan korban jiwa yang tidak dapat ditolerir secara kemanusiaan.

37Irshad Mandji, The Truble with Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change, Terjemah: Herlina Permata Sari. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta, 2008, Non Publisher.

(6)

juga menunjukkan toleransinya kepada Yahudi dengan berpuasa pada saat mereka berpuasa.38 Pada periode Islam di Spanyol, umat Islam, Yahudi, dan Kristen bersama- sama membangun dan menghasilkan sebuah peradaban yang berpengaruh pada Renaisance Eropa.39

Memang kerukunan yang terjalin antara umat Islam dan Yahudi bukan berarti tanpa konflik. Ketika pengaruh Muhammad semakin kuat dan daya imbau agama yang diajarkannya semakin terasa di kalangan Yahudi, para pemuka agama Yahudi mulai mengabaikan perjanjian damai yang pernah dibuat dengan umat Islam.

Pengabaian terbuka atas perjanjian itu ditandai dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam, seorang rabi terpandang Yahudi yang sempat membujuk keluarganya untuk masuk ke agama Islam. Kondisi ini membuat Yahudi merasa terancam dan mulai melancarkan serangan teologis terhadap Muhammad dengan sejumlah pertanyaan dan perdebatan mengenai pokok-pokok dasar agama Islam. Kebijakan resmi untuk memerangi Yahudi digariskan Muhammad sejak pristiwa pelecehan seorang wanita muslim oleh sekelompok Yahudi bani Qainuqa. Sejak saat itu, satu persatu kelompok Yahudi diusir dari Madinah karena terbukti mendukung pihak Makkah. Kondisi ini – sebagaimana ditulis Hamid Basyaib – jelas menunjukkan pertikaian yang disebabkan oleh masalah politik.

40

Hingga terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini misalnya, merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Seperti

38Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad. (Terjemah: Ali Audah). Tintamas, Jakarta, 1982.

39Philips K. Hitti, History of the Arabs. (terjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi. S.

Riyad, Serambi, Jakarta, 2002.

40Hamid Basayib. 1998. "Perspektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi", dalam:

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal. 346.

(7)

ditulis Trias Kuncahyono, Israel selalu mengatakan posisi legal internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Di pihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem (al Quds) akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.41

Trias Kuncahyono mengutip Dershowitz

Pertikaian kedua belah pihak pada akhirnya sulit dihindari, sebab klaim hak atas tanah Palestina bukan sekedar menyangkut latar belakang sejarah dan wilyah politik, melainkan masalah simbol spiritualitas besar bagi kedua pihak.

42

Yahudi menganggap Palestina sebagai "tanah yang dijanjikan" dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas.

menuliskan, pembagian Jerusalem – menjadi bagian Israel dan bagian Palestina – sulit untuk dilaksanakan karena peta demografi tidak mudah diubah menjadi peta politik. Meskipun peta tersebut telah terbagi sebagai wilayah yang dihuni orang-orang Israel dan wilyah lain yang dihuni orang-orang Palestina, Jerusalem akan semakin sulit dibagi karena ia merupakan simbol tiga agama besar yang letaknya saling berdekatan. Jerusalem adalah pusat Yudaisme, tempat disalibnya Yesus dan kebangkitan serta kenaikannya ke surga, dan tempat yang diyakini umat Islam sebagai bagian dari perjalanan spiritualitas Muhammad ketika mengalami perjalanan malam dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha dan naik ke Sidratul Munthaha.

43

41Trias Kuncahyono, op-cit, hal. 256-257.

42Ibid, hal. 258

43Alwi Shihab, Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1999, hal.134

Pandangan ini mengakibatkan pergeseran paradigma politik yang mewarnai konflik Israel-Palestina ke paradigma teologis. Apalagi, mitos yang kerap

(8)

dikembangkan untuk memberikan identitas pada Yahudi, adalah: "bangsa tanpa tanah untuk tanah tanpa bangsa".44 Streotipe tentang Yahudi sebagai "bangsa yang terusir dari tanahnya" ini juga telah berhasil membentuk konsep teologis orang-orang Yahudi, bahwa – seperti ditulis Karen Armstong – Tuhan memulai penciptaan dengan tindakan yang kejam karena keinginan untuk membuat dirinya dikenal oleh para makhluknya.45 Keterkucilan dan pengasingan Yahudi bahkan pernah di alami Adam sebelumnya, karena dosa yang dilakukan Adam membuat ia terusir dari surga.

Demikian Yahudi, mengembara ke seluruh penjuru dunia, menjadi terkucil selamanya, dan merindukan penyatuan kembali dengan Tuhan.46

Ada mitos lain yang menarik menyangkut konsep teologi Yahudi, yaitu penantian terhadap datangnya sorang Messiah selama berabad-abad yang diharapkan akan membawa keadilan dan perdamaian. Dalam keyakinan Yeshiva, sebuah sekte yang didirikan R. Shalom Dov Ber yang sangat khawatir terhadap masa depan agama Yahudi, mereka akan menjadi prajurit dalam pasukan rabi yang akan berperang tanpa kenal ampun dan kompromi untuk memastikan agama Yahudi sejati tetap bertahan, dan perjuangan mereka akan meratakan jalan bagi kedatangan Messiah.47 Cukup beralasan jika kemudian keyakinan Yeshiva ini dipahami dengan pandangan: Messiah hanya akan turun ketika terjadi keberutalan dan peperangan (ingat mitos penciptaan Luria48

Jika ditinjau dari latar belakang sejarah, konflik Israel-Palestina merupakan bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas sejak 1940-an. Agresi Meliter Israel

).

44Ralph Schoenman, op-cit, hal. 2

45Karen Armstrong. 2001. op-cit, hal. 14

46Ibid, hal. 15

47Ibid, hal. 231

48Isaac Luria (1534-1572) adalah seorang Yahudi Ashkenazic yang suci yang diyakini oleh beberapa kaum Sefardik telah menemukan Messiah dalam dirinya. Pada mitos Luria diceritakan bahwa proses penciptaan dimulai dengan tindakan pengasingan atau pengucilan diri secara sukarela. Mitos ini menganggap bahwa Tuhan yang tak dapat dijangkau harus menyusutkan diri-Nya dan mengosongkan ruang dalam zatnya untuk memberikan tempat bagi dunia. Mitos penciptaan Luria ini merupakan satu proses brutal dari ledakan, bencana alam, dan permulaan yang salah. (ibid, hal. 12-5)

(9)

terakhir yang dilancarkan sejak 26 Desember 2008 pada prinsipnya merupakan bagian yang tidak terpisah dari konflik Israel-Palestina sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, kronologi konflik Israel-Palestina dapat dipahami sebagaimana penjelasan berikut: 49

Tahun

Kronologi dan Anatomi Konflik Israel-Palestina

Pristiwa Deskripsi

1917 Deklarasi Balfour

2 November 1917 Inggris memenangkan Deklarasi Balfour yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan tanah air bagi kaum Yahudi di Palestina.

1922 Mandat Palestina

1936-1939 Revolusi Arab Pimpinan Amin al Husein yang menyebabkan tidak kurang 5000 warga Arab terbunuh

1947 Rencana pembagian wilayah oleh PBB

29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui untuk mengakhiri Mandat Britania untuk Palestina dari tanggal 1 Agustus 1948 dengan pemecahan wilayah mandat

1948 Deklarasi Negara Israel

Israel diproklamirkan pada tanggal 14 Mei 1948, sehari kemudian langsung diserang oleh tentara dari Libanon, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya. Israel berhasil memenangkan peperangan dan merebut + 70%

dari luas total wilayah mandat PBB Britania Raya.

1949 Perseteujuan gencatan senjata

3 April 1949, Israel dan Arab sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan rencana pemisahan PBB

1956 Perang Suez

29 Oktober 1965, Krisis Suez, sebuah serangan meliter terhadap Mesir dilakukan oleh Britania Raya, Perancis dan Israel.

1964 Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri

Mei 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri, tujuannya untuk menghancurkan Israel.

1967

Perang enam hari

Dikenal dengan perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab: Mesir, Yordania dan Suriah, yang mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit.

Resolusi Khartoum

Sebuah pertemuan 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya perang enam hari. Resolusi ini berlanjut ke perang Yom Kippur tahun 1973.

1968 Palestina menuntut pembekuan Israel

Perjanjian Nasional Palestina dibuat, dan secara resmi Palestina menuntut pembekuan Israel.

1970 War of Attrition

Setelah perang enam hari (5-10 Juni 1967), terjadi insiden serius di Terusan Suez. Tembakan pertama dilepaskan 1 Juli 1967, ketika pasukan Mesir menyerang patroli Israel, dan ini merupakan awal dari perang War of Attrition.

1973 Perang Yom Kippur

Dikenal juga dengan Perang Ramadhan pada tanggal 6- 26 Oktober 1973 karena bertepatan dengan bulan ramadhan. Perang ini merupakan perang antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, terjadi pada hari raya

49Diakses di blog penulis: www.elomarhaendy.wordpress.com, tanggal 6 Juni 2009.

(10)

Yom Kipur, hari raya yang paling besar dalam tradisi orang-orang Yahudi.

1978 Kesepakatan Camp David

Ditandatangani pada tanggal 17 September 1978 di Gedung Putih yang diselenggarakan untuk perdamaian di Tmur Tengah. Jimmy Carter (Presiden Amerika Serikat) memimpin perundingan rahasia yang berlangsung selama 12 hari antara Presiden Mesir, Anwar Sadat, dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin.

1982 Perang Libanon Perang antara Israel dan Libanon yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika angkatan bersenjata Israel menyerang Libanon Selatan.

1990-1991 Perang Teluk

1993 Kesepakatan damai antara Palestina dan Israel

13 September 1993, Israel dan PLO sepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pertemuan Yaser Arafat dan Israel Yitzhak Rabin berhasil melahirkan kesepakatan OSLO. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa memerintah di kedua wilayah. Arafat

mengakui hak negara Israel untuk eksis secara aman dan damai.

1996 Kerusuhan teromongan al Aqsha

Israel sengaja membuka terowongan Masjid al Aqsha untuk memikiat para turis dan membahayakan fondasi mesjid bersejarah, pertempuran berlangsung beberapa hari.

1997 Israel menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat

1998 Perjanjian Wye River

Oktober 1998, Perjanjian Wye River yang berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.

2000 KTT Camp David

2002 Israel membangun tembok pertahanan di tepi Barat

diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina 2004

Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya

2005 Mahmud Abbas terpilih menjadi Presiden

9 Januari 2005, Mahmud Abbas dari al Fatah terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Yaser Arafat yang wafat pada 11 November 2004

Juni 2005, pertemuan Mahmud Abbas dan Ariel Sharon di Yerusalem. Mahmud Abbas mengulur Jadwal Pemili karena mengkhawatirkan kemenangan diraih pihak Hammas

Agustus 2005, Israel hengkang dari pemukiman Gaza dan empat wilayah pemukiman di Tepi Barat

2006 Hamas memenangkan Pemilu

Januari 2006, Hammas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi fatah selama 40 tahun

2008

Januari-Juli, ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas, Hamas dituding tidak mampu mengendalikan kekerasan

November 2008, Hamas batal ikut serta dalam pertemuan univikasi Palestina yang dilaksanakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.

26 Desember 2008, Agresi Israel ke Jalur Gaza. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas.

(11)

B. Konflik Israel dan Palestina dalam kajian Sosial, Politik dan Teologis

Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas.50

Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang

Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai "pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan" bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel- Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.

50Perang Salib seringkali dipahami sebagai perang yang dipicu oleh persoalan agama dengan sendirinya menjadi konotasi "Perang Agama", padahal jika dianalisis lebih jauh, Perang Salib pada prinsipnya merupakan benturan antara peradaban Timur dan Barat, dua peradaban yang digambarkan Samuel P Huntington sebagai peradaban yang hampir sulit diakurkan. Terbukti bahwa, banyak pihak dari kalangan Yahudi dan sejumlah kalangan Nasrani turut berjuang melawan "Tentara Salib" di pihak Timur yang berada dalam kekuasaan khalifah Islam. Penyebab utamanya adalah upaya Syaljuk merebut Syria dari Fatimiyah pada 1070 M. Ketidakmampuan Alexius Comnenus I, Raja Bizantium ketika itu, dalam menghentikan kemajuan Turki menyebabkannya meminta bantuan kepada Paus pada 1901, dan Paus Urban II mengumumkan Perang Salib I. (Lihat: Karen Armstrong. 2003. "Islam: A Short History". Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela, hal.112-13; lihat juga: James Turner Johnson. 1997 "The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Mizan, Bandung, 1997.

(12)

dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.

Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai "pasukan jihad".

Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama.

Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah "jihad" sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan

(13)

di jalan Allah,51

Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.

sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya "fakta lain" di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina.

52

Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi.

Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai "...a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals.

Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap "dimentahkan" Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai "kampung halaman Islam", dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.

53

51Kata "jihad" seringkali dipahami – jika bukan diarahkan – sebagai perang yang melibatkan insiden fisik (lihat misalnya: Safuan al Fandi. tt. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang Islam. Solo: Sendang Ilmu, hal. 20), padahal ayat al Qur’an – sebagaimana yang pernah penulis lacak – tidak menempatkan kata "jihad" sebagai padanan perang, terlebih lagi kata "jihad" yang ditemukan dalam al Qur’an sering didahului dengan kata "māl" (harta) daripada "nafs" (jiwa), ini menunjukkan bahwa istilah jihad lebih mengutamakan pengorbanan harta dari pada jiwa.

52Banyak pandangan yang menganggap Amerika bertanggung jawab terhadap konflik di Timur Tengah. Dengan berbagai alasan, kebijakan Amerika dalam kasus

53A. Oberschall, Theories of Social Conflict, Annual Review of Sociology. Vol. 4. 1978, Page:291-315

Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics

(14)

and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.

Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap "tanah yang dijanjikan" sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel- Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik.

Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan mewarnai konflik.

Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik yang kemudian meningkat

(15)

menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut.54

Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk "bertarung"

melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya.

Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel.

54Dalam sejarahnya, persoalan teologi pada mulanya muncul sebagai akibat dari tahkim siffin yang terjadi antara Muawiyah dan Ali. Problem Muawiyah dan Ali jelas merupakan problem politik menyangkut kekuasaan Islam. Namun problem ini kemudian melahirkan sejumlah aliran-aliran teologis, seperti: Syiah, Khawarij, dan Murji’ah sebagai aliran awal, menyusul aliran-aliran lain seperti Mu’tazilah. (Lihat: Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.

(16)

dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan "kolektif" hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru.55 Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam.

Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam (Imperium Utsmaniyah).56

Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif (cooperation), akan tetapi persaingan (competition) dan pertantangan maupun pertikaian (conflict) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri.57 Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan (interaksi) menunjukkan adanya sifat konflik.58

55Dalam beberapa pandangan, agama kerap ditempatkan sebagai salah satu variable pembentuk konflik, sebab semua agama yang dibawa oleh para utusan Tuhan pada hakikatnya berada dalam misi universal yang sama: pertama, memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spiritual manusia;

kedua, agama diharapkan mampu mewadahi bagi terimplementasikannya amal-amal social dan kemanusiaan. (Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama. Titian Kencana Mandiri, Jakarta, 2004, hal.

114.

56Lihat: Karen Armstong, 2001, opcit, hal: 10-11

57Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Perss, Jakarta,1996, hal. 76.

58K. J. Holsti, Politik Nasional, Kerangka untuk Analisis. Rajawali Perss, Jakarta, 1988, hal.171.

Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar

(17)

kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis.59

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai.

Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan "tangan-tangan politik".

Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti:

keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun "tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah"; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan "tanah yang dijanjikan", sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik.

59Meutia Ghani, Analisis Sosial Relasi Etno-Religius di Indonesia, Buletin: Kebebasan. No:

IV/2007, 2007, hal. 2-5

(18)

C. Peranan Amerika Serikat dalam Konflik Israel dan Palestina

Miris rasanya membaca headline berita di beberapa media massa dua minggu terakhir. Konflik Israel-Palestina kembali panas dibicarakan. Perang pun mulai membabi buta: hampir separuh warga Gaza yang tak berdosa dikorbankan, penggunaan material perang yang tidak sesuai dengan aturan Hukum Humaniter Internasional, hingga sarana fasilitas dan infrastruktur yang digunakan sebagai bantuan kemanusiaan ikut menjadi target serangan.60

Konflik antara Israel-Palestina bukanlah kali pertama. Berbagai acara perundingan damai seolah tidak berarti karena konflik Israel-Palestina masih berlangsung hingga saat ini. Sebenarnya ada dua isu penting yang menjadi alasan konflik Israel-Palestina tak kunjung padam, yakni isu politik dan isu teologis. Isu teologis karena mereka (Israel Palestina) berjuang memperebutkan wilayah “suci”

yang secara teologis-historis perjuangan untuk mendapatkannya telah “diamanatkan oleh Tuhan”. Konsep teologis kedua Negara tersebut jelas sangat kontras, Israel dengan dasar teologi Yahudi sedangkan Palestina dengan dasar teologi Islam.

Isu politik nyatanya sering digunakan pihak Israel untuk melancarkan agresi ke wilayah negara Palestina. Fokus serangan Israel saat ini adalah pada seluruh wilayah yang didiami kelompok Hamas. Harakah Muqawamah Islamiyah atau lebih dikenal dengan Hamas merupakan organisasi yang didirikan sejak 1987 dan secara sah merupakan partai politik yang mendominasi kursi parlemen Palestina (meraih 76 dari total 132 kursi). Sehingga nampak adanya pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara (state sovereignity) dalam hal ini mengingat tujuan akhir serangan Israel

60Harian Kedaulatan Rakyat, Edisi 12 Januari 2009.

(19)

adalah menggantikan posisi Hamas yang dianggap “garis keras” dengan posisi Fatah yang selama ini disuka i oleh negara Barat. Apa kata UN Charter?61

Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat sebagian negara mempertanyakan fungsi dan efektivitas adanya DK PBB. Begitu dekatnya Amerika

Dewan Keamanan (DK) PBB merupakan suatu badan eksekutif yang dilengkapi dengan segala macam wewenang dan tanggung jawab untuk mengambil tindakan-tindakan penting demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan. Fungsi sebagai “polisi dunia” ini dipertanyakan semenjak Negeri Paman Sam sangat sensitive terhadap isu-isu yang berhubungan dengan 911 bombing (Kasus WTC 11 September 2001). Pasal 39-51 Piagam PBB (United Nations Charter) menunjukkan betapa kuatnya DK PBB walaupun terkadang seringkali ditemui banyak pelanggaran terhadap penggunaan kekuatan tersebut. Misalnya saja inti dari pasal 39 ialah bahwa sebelum memberikan rekomendasi yang diperlukan bagi pemulihan perdamaian dan keamanan, Dewan akan menentukan apakah terdapat suatu keadaan yang mengancam (threat of peace), atau pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace) ataupun suatu agresi (act of aggression) melalui investigasi. Dan segala penyelesaian konflik antar negara yang berujung melalui jalur kekerasan (use of force) maka harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari DK PBB. Namun, implementasi dari pasal- pasal tersebut menjadi tidak efektif karena nuansa kebijakan politik anggota tetap DK PBB yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada common interest seluruh negara anggota PBB. Penggunaan hak veto pun terkadang sering melenceng dari garis yang telah ditetapkan DK PBB. Untuk itulah tidak sedikit negara yang merasa dirugikan akibat dijatuhkannya resolusi Dewan. Efektifkah Resolusi DK PBB?

61Dodik Setiawan Nur Heriyanto, Efektifitas Peran Dewan Keamanan PBB dalam Konflik Israel-Palestina, diakses dari situs : http://dodiksetiawan.wordpress.com/2009/01/25/efektivitas-peran- dk-pbb-dalam-konflik-palestina-israel, tanggal 5 Juni 2009.

(20)

dengan Israel dalam berbagai hal menjadikan resolusi Dewan yang dijatuhkan terasa kurang efektif. Misalnya saja implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673. Israel memang punya hak untuk mempertahankan diri, namun tidak ada yang punya hak

“mempertahankan” wilayah pendudukan. Dan ketika Mahkamah Internasional mengutuk pembangunan “dinding pemisah,” bahkan di sebuah Peradilan AS, hakim Buergenthal, menegaskan bahwa pembangunan tembok pemisah untuk mempertahankan wilayah pendudukan Israel merupakan ipso facto dalam

“pelanggaran hukum kemanusiaan internasional,” karena pendudukan itu sendiri ilegal.” Namun kenyataannya, tembok besar telah berdiri kokoh dan banyak penduduk sipil Palestina menjadi korban serta Israel seolah tidak bersalah.

Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut.

Sedangkan ke-13 anggota DK PBB (baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.62

Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun 1967. Dan itu belum termasuk

“sumbangan” teknologi militer yang canggih. Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan karena Amerika berada dibelakangnya.

62Ibid.

(21)

Sehingga muncul ketidakefektifan dan ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.

Sebagai negara adidaya tunggal, mestinya AS bersikap adil dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Namun faktanya menunjukkan sebaliknya, dan sikap ini menjadi salah satu hambatan dalam penyelesaian konflik. Sikap wishy-washy AS dan keberpihakannya terhadap Israel tersebut justru melanggengkan konflik itu sendiri. Bagi AS, Isarel adalah satu-satunya sekutu strategis di kawasan Timur Tengah. Sikap tersebut karena para pengambil kebijakan AS didominasi kelompok Israel First dan menadopsi pandangan sayap kanan (Hawkish) serta kemampuan lobi politik Israel terutama melalui AIPAC.

Keberhasilan lobi tersebut menurut Corbett disebabkan empat faktor yakni (1) orang Yahudi ratarata memiliki pendapatan dan pendidikan yang sangat tinggi, serta menunjukkan kemampuan yang luar biasa; (2) orang Yahudi sangat aktif dalam perpolitikan AS di semua negara bagian; (3) konsentrasi orang Yahudi berada di New York; (4) Yahudi sangat aktif dan gigih mencari akses terhadap kongres dan Gedung Putih. 63

63Utomo, Anif Punto dan Hery Sucipto, Irak Pasca Invasi: AS, Minyak dan Berakhirnya Pan Arab, Global Mahardika Netama, Jakarta, 2003, hal. 43.

Sementara itu, menurut Lipson dukungan dan keberpihakan AS terhadap Israel, didasarkan pada : pertama, kekuatan militer Israel yang dapat dikatakan terbesar di kawasan Timur Tengah dan kekuatan tersebut dapat diandalkan sebagai parter regional; kedua, penentangan yang kuat dari Israel terhadap negara-negara Arab radikal, yang dalam waktu panjang menjadi sekutu Soviet atau menggantikannya dan masih menjadi ancaman suplai minyak serta stabilitas politik sejumlah pemerintahan Arab sekutu AS. Ketiga, Amerika Serikat dan Penyelesaian Konflik Israel Palestina 40 kesuksesan Israel sebagai negara demokrasi yang stabil,

(22)

sehingga menarik AS untuk menjadikannya sebagai mitra di tengah wilayah yang selalu bergejolak. 64

Kesamaan kepentingan politik, ekonomi dan adanya musuh bersama mendorong kedua negara dapat melakukan kerjasama untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dan pengejaran kepentingan adalah sesuatu yang harus ditempatkan sebagai prioritas utama. 65

mendukung Israel, karena selain mewarisi semangat demokrasi liberal-sekuler, juga menjadi buffer state AS untuk menghadapi negara-negara Islam radikal. Banyak bukti yang menunjukkan keberpihakan AS terhadap Israel, antara lain :

. Dalam setiap perundingan sangat terlihat jelas bahwa AS

66

64Ibid, hal. 89.

65Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 28.

66Safari, et.al, Mengapa Mereka Mebunuh Syaik Ahmad Yasin, Aufa Press, Bogor, 2005, hal..

20.

1. Persetujuan dan dukungan AS terhadap berdirinya negara komonoleth Yahudi Israel di Palestina pasca perjanjian Balfour 2 Februari 1917.

2. Keputusan senator dan kongres AS atas dukungan penuh berdirinya negara Israel di Palestina 11 September 1922.

3. Keputusan bersama untuk merubah Palestina menjadi negara Yahudi, dan jika mereka menolak maka harus diatasi dengan kekuatan militer pada 11 Mei 1942.

4. Surat Presiden Roosevelt mendukung eksodus dan migrasi Yahudi kePalestina dan mendirikan negara Yahudi di Palestina pada 16 Maret 1945.

5. Surat Presiden Truman kepada PM Inggris Attlee menijinkan 100 ribu Yahudi segera dikirim ke Palestina pada 31 Agustus 1945.

6. AS menekan secara intensif beberapa negara untuk mendukung voting pemecahan palestina menjadi 2 wilayah, Yahudi dan bangsa Arab pada 29 November 1947.

(23)

7. Presiden Trumen mengumumkan pengakuan berdirinya negara Israel dan langsung membuka hubungan diplomatik resmi sepuluh menit terbentuknya negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948.

8. Pada tanggal 12 Juni 1966 AS menekan badan Keamanan PBB untuk menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina.

9. Pada tanggal 2 Agustus 1966 Presiden Johnson terus mendukung eksistensi Israel dan akan membantunya menjadi negara Super Power di timur Tengah.

10. Pada bulan Januari 1979 presiden AS tidak akan membuka peluang pembicaraan dengan PLO.

11. Pada tanggal 12 Juni 1982 Menlu AS Alexander Heed menegaskan tidak akan menekan Israel keluar dari Libanon.

12. Pada tanggal 12 November 1983 Presiden Reagan menegaskan bahwa sikap Washington tetap konsisten menjaga keamanan Israel.

13. Pada 28 Oktober 1984 Presiden Reagan menegaskan bahwa Israel adalah negara koalisi strategis dan sahabat Amerika.

14. Pada tanggal 15 Mei 1985 Menlu AS menegaskan bahwa Washington akan menghalangi usaha sebagian kalangan untuk membentuk negara Palestina merdeka.

15. Pada tanggal tanggal 16 Februari 1988 Juru Bicara Gedung Putih menyatakan bahwa politik AS tetap pada persepsi lamanya tentang hakikat perdamaian di Timur Tengah yakni semua rakyat Palestina dan bangsa Arab dan muslim agar melepaskan tanah Palestina kepada Israel, dan kalu itu terpenuhi, maka berarti perdamaian di kawasan itu akan cepat terwujud.

(24)

16. Hingga tahun 2004, AS melakukan 79 kali veto terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan masalah-masalah sanksi terhadap Israel, mengutuk kekerasan Israel, dan resolusi yang dianggap merugikan Israel.

17. Pada bulan Juli 2006 Bush menyatakan kepada PM Inggris Tony Blair tentang sikapnya mendukung serangan Israel ke Libanon sebagai balasan atas penculikan tentara Israel.

Banyak pakar Hukum Internasional mempertanyakan mengenai masih efektifkah DK PBB apabila hak veto di-handle oleh kelima founding fathersnya?

Bukankah fakta pada konflik Israel Palestina, kasus perang Iraq 2003, dan kasus serupa lainnya sudah jelas menunjukkan bahwa DK PBB tidak berfungsi lagi seperti tertuang pada Piagam PBB. Kasus invasi Amerika di Iraq tanpa legalisasi DK PBB serta tidak adanya resolusi tepat dalam konflik Israel-Palestina menggambarkan bahwa anggota tetap DK PBB tidak efektif dalam memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Bahkan sampai saat ini banyak dipertentangkan akan lemahnya DK PBB dalam memberikan sangsi tegas (kepada Israel) sebagai akibat pelanggaran terhadap resolusi yang telah ditetapkan. Untuk itu perlu dilakukan beberapa usaha agar citra PBB semakin baik di mata internasional, yakni merubah atau merevisi Piagam PBB, menambah jumlah anggota tetap DK PBB dengan menghitung representative setiap benua (seperti halnya anggota tidak tetap DK PBB), serta optimalisasi peran DK PBB dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan (peace and security to the whole nation).

Pasca kepemimpinan Presiden Barack Obama, dilakukan bebeapa kebijakan dalam menghadapi konflik Israel-Palestina. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan negerinya tak bisa memainkan peranan yang "jujur dan netral" dalam konteks Israel-Palestina. Sehari menjelang inaugurasi Barack Hussein Obama II

(25)

sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, salah satu topik penting yang paling ditunggu masyarakat internasional adalah bagaimana sikap pemerintahannya terhadap perang Israel-Hamas, yang kini masih berkobar. Di depan Komisi Hubungan Luar Negeri, Hillary Clinton, yang akan segera memanggul tugas sebagai Menteri Luar Negeri, menegaskan tiga elemen yang menjadi pijakannya sebagai pembantu Obama di kabinet. Untuk konflik Israel-Palestina, Amerika Serikat mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu :67

Perbedaannya adalah pada gaya lobi Israel, yang menyebabkan Obama dan Clinton berulang kali menunjukkan kepatuhan. Lobi yang mewakili kepentingan kelompok paling keras di kubu Yahudi, sekaligus juga menunjukkan sikap puluhan 1). Amerika Serikat akan tetap pada komitmennya untuk mendukung Israel, sehingga tak bisa memainkan peranan sebagai pihak yang "jujur, dan penghubung netral perdamaian".

2). Amerika Serikat tak akan berunding dengan Hamas sampai kelompok itu mengakui keberadaan negara Israel. Musykil jika berharap Hamas mengakui keberadaan Israel, kendati mereka menyatakan siap membahas ihwal gencatan senjata dengan Israel dan mengumumkan siap untuk menegosiasikan perjanjian baru yang bisa berlaku 20-30 tahun ke depan.

3). pemerintahan Obama akan bekerja untuk membawa kedua belah pihak melakukan negosiasi damai.

Saat Obama sedang berjuang memenangi tiket sebagai calon presiden dari Partai Demokrat, dia menyatakan, "Israel seharusnya melakukan negosiasi dengan Iran dan Suriah, karena keduanya merupakan ancaman yang lebih serius terhadap kepentingan Amerika dibanding Hamas."

67Strategi Permainan Obama dalam Konflik Israel-Palestina, diakses dari situs : http://media- klaten.blogspot.com/2009/01/strategi-permainan-obama-dalam-konflik.html, tanggal 5 Juni 2009.

(26)

ribu warga Kristen Zionis yang melihat dari perspektif militer untuk hubungan Arab- Palestina, ini tak lain bahwa politikus Amerika Serikat berjanji tak akan melakukan kesepakatan apa pun dengan Hamas. Ini mengingatkan pada kondisi 1980-an dan 1990-an ketika lobi-lobi Israel menekan Amerika Serikat untuk tak melakukan negosiasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di bawah pimpinan Yasser Arafat. Karena itu, "strategi permainan" yang akan dilakukan pemerintahan Obama, menurut Rabi Michael Lerner, editor Tikkun--jurnal dua bulanan Yahudi tentang politik, budaya, dan masyarakat--yang menulis di harian San Francisco Chronicle pada Kamis lalu, adalah seperti ini: Obama akan mengimbau sebuah gencatan senjata yang akan membuat posisi militer Israel tetap berada di Tepi Barat dan Jalur Gaza, setelah membiarkan Israel menggunakan waktunya untuk menyelesaikan operasi pembersihan Hamas.

Sukses operasi militer Israel itu diharapkan akan memperkuat posisi Ehud Barak (Ketua Partai Buruh Israel) dan Tzipi Livni (Ketua Partai Kadima, yang menaungi pemerintahan Israel di bawah Ehud Olmert sekarang) pada pemilu Februari mendatang. Pada saat itu, keduanya akan membentuk sebuah pemerintahan yang akan melakukan negosiasi perdamaian dengan Otoritas Palestina, yang pamornya kembali akan mengkilap setelah warga Palestina menyaksikan kekalahan strategi militer Hamas yang selama ini dibanggakan. Sayangnya, negara Palestina tak akan melihat bahwa negosiasi seperti itu akan cukup menjanjikan, baik secara politik maupun ekonomi. Barak dan Livni tak akan cukup punya kekuasaan untuk memberikan konsesi serius kepada Palestina, sehingga pemerintahan yang akan mereka bentuk (dengan dukungan dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dan sumbangsih pemerintahan Obama secara keseluruhan) akan menjadi satu-satunya pihak yang membuat tentara Israel boleh ulang-alik memasuki Palestina dengan satu

(27)

alasan sederhana: menjamin kondisi 400 ribu warga Israel yang masih ada di wilayah itu. Kondisi ini akan membuat seolah-olah adanya negara-kota Israel di Palestina, yang tidak akan terlihat seperti sebuah real estate di Palestina. 68

Di luar kebijakan luar negeri yang akan diambil pemerintahan Obama dalam konflik Israel-Hamas, sejumlah isu internasional lain yang tak kalah penting adalah menyangkut Irak, Afganistan, dan pengembangan nuklir di Iran maupun Korea Utara, dua negara yang mendapat pantauan ketat di masa pemerintahan George W. Bush.

Menyangkut Irak sudah luas diketahui bahwa sejak hari pertama Bush dan Kongres menyetujui resolusi bersama, yang mengesahkan Perang Irak, Obama langsung menanggapi dengan menggelar pidato antiperang di Federal Plaza, Chicago. Esensi pidatonya saat itu adalah "sama sekali tak terlambat" untuk menghentikan perang.

Sebelum terpilih sebagai presiden, salah satu "paket jualan" Obama adalah penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Irak dalam waktu 16 bulan sebuah jangka waktu yang kemudian disebut "perlu didefinisikan" ulang begitu terpilih.

Posisi politik dan daya tawar Otoritas Palestina yang lebih membuat mereka akan menerima model kesepakatan seperti itu, sedangkan sebagian besar warga Palestina akan menyadari bahwa pola negosiasi yang ditawarkan Amerika Serikat itu sedikit lebih bagus ketimbang membiarkan diri mereka berada di bawah pengawasan Israel, yang tetap tak mengendurkan cengkeraman dan dominasi militer mereka di Gaza dan Tepi Barat.

69

68Ibid.

69Amerika Prioritaskan Diplomasi daripada Operasi Militer, diakses dari situs : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/19/Internasional/krn.20090119.154180.id.htm tanggal 5 Juni 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Ketepatan pelayanan fisioterapi pasien peserta jaminan kesehatan nasional di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Jatinom Klaten Sebagian besar tingkat ketepatan pelayanan

[r]

(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf c dilakukan dalam penyelenggaraan sumber daya manusia di bidang transportasi sesuai dengan ketentuan

Biozonasi foraminifera menunjukkan korelasi yang sangat baik dengan data ∂ 18 O dan mencerminkan perubahan – perubahan iklim di masa lalu yang terjadi sejak 50.000 tahun yang

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pendekatan saintifik dengan model PBL dan media konkret

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang

Untuk mendukung hal tersebut, maka dalam Proyek Akhir ini akan dibangun sebuah ” Aplikasi pelaporan penggantian KTM berbasis web pada Politeknik Telkom” yang dapat

Ketika siswa memaknakan negatif peran teman sebaya sebagai reinforcement and punishment, mereka akan mengabaikan pujian dari teman sebaya yang bermasalah ketika menunjukan