• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Kesegeraan F eedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Diah Deir Zahrani diahdeirzahrani@gmail.com

Cleoputri Al Yusainy Ika Herani

Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh dari kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik, dan untuk 2) menggambarkan pola korelasi antara stigma ekplisit dan stigma implisit. Desain penelitian menggunakan between-subject experimental design dalam setting laboratorium, dengan partisipan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya sebanyak 46 orang. Instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma implisit adalah Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) dan instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma eksplisit adalah Social Distance Scale (SDS) dan Feelimg Thermometer (FT). Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, dimana satu kelompok menerima feedback segera, dan kelompok lain menerima feedback tertunda. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara stigma eksplisit dan stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Meskipun demikian, hasil analisis tambahan menunjukkan adanya pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada sigma implisit dan strategi intervensinya pada sampel masyarakat Indonesia

Kata Kunci: stigma implisit; Single Category Implicit Association Test (SC-IAT); stigma eksplisit; feedback bias implisit

ABSTRACT

The aims of this study were to 1) investigate the role of implicit bias feedback’s timing on explicit stigma and to 2) portray the correlation between explicit and implicit stigma toward physically disabled people. Between-subject experimental design was used in laboratory setting with 46 undergraduate students of Faculty of Social and Political Science of Brawijaya University as participants. Implicit stigma was measured by Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) and explicit stigma was measured by Social Distance Scale (SDS) and Feeling Thermometer (FT). Participants were divided into two groups, where feedback was immediately given and where feedback was delayed after explicit measurements. This research found no effect of implicit bias feedback’s timing on explicit stigma and no significant correlation between explicit and implicit stigma. However, additional analysis showed that there was a significant effect of sequence of compatibility on implicit stigma toward physically disabled people. Further studies that focus on implicit stigma and its intervention strategy in Indonesia are warranted

(2)

Pada tahun 2011, World Health Organization dan World Bank menyatakan bahwa kurang lebih 1 miliar orang atau 15% populasi dunia memiliki disabilitas. Tahun 2012, Survei Kesehatan Nasional mendapatkan data bahwa penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% (Kementrian Kesehatan RI, 2014). World Health Organization (2015) memrediksi bahwa prevalensi disabilitas akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Melihat fakta ini, sudah seharusnya isu tentang pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas menjadi prioritas para pemerintah negara.

Pengadaan sekolah inklusi dan kesempatan kerja yang sama adalah contoh-contoh upaya untuk mencapai persamaan bagi penyandang disabilitas. Namun usaha mencapai persamaan bagi semua manusia diluar perkara keterbatasan yang dimiliki, tidak akan tercapai secara maksimal selama masyarakat umum masih membatasi dirinya dengan peyandang disabilitas (Wilson & Scior, 2014). Secara sederhana, sikap membatasi diri itu disebut dengan istilah stigma. Stigma adalah sebuah proses dimana suatu kelompok khusus, dalam hal ini adalah penyandang disabilitas, dimarginalkan dan dikurangi nilainya oleh lingkungan sosial, karena nilai dan karakteristik mereka yang berbeda dari kelompok yang dominan. Stigma terbentuk

melalui kombinasi dari stereotipe, prasangka, dan diskriminasi (Ali, Hassiotis, Strydom, & King, 2012).

Sejauh ini penelitian lebih banyak fokus dalam mengukur stigma eksplisit, yaitu stigma yang secara sadar dilakukan dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) seperti perilaku menghindar secara terang-terangan, atau mengatakan ketidaksukaan secara langsung. Pengukuran secara eksplisit terkait hal-hal sensitif seperti stigma terhadap penyandang disabilitas sangat dipengaruhi oleh social desirability, dimana individu termotivasi untuk memunculkan respon yang dipercaya dapat diterima secara sosial (Antonak & Livneh, dalam Wilson &Scior, 2014).

Selain stigma eksplisit, perilaku individu sebagian diprediksi oleh stigma implisit (Greenwald, Poehlman, Uhlmann, & Banaji, dalam Wilson & Scior, 2014). Stigma implisit memiliki dampak pada perilaku yang tidak dapat dikendalikan secara sadar namun tetap penting bagi pengalaman penyandang disabilitas sehari-harinya, seperti kontak mata dan bahasa tubuh. Maka, penting untuk membahas lebih jauh tentang stigma implisit agar dapat mengetahui lebih baik tentang mekanisme yang dapat mengantisipasi stigma implisit (Wilson &Scior, 2014).

(3)

satunya adalah Implicit Association Test (IAT). Cara kerja alat ini berlandaskan pada asumsi bahwa partisipan akan menglasifikasikan stimulus yang ditampilkan ketika pasangan kategori target dan kategori atribut sesuai dengan asosiasi otomatis partisipan (Wang, Huang, Jackson, & Chen, 2012).Penelitian ini menggunakan salah satu bentuk adaptasi dari IAT yaitu Single Category Implicit Association Test (SC-IAT; Karpinski & Steinman, 2006). SC-IAT terintegrasi dengan informasi terkait pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas didasarkan pada performanya selama pengukuran. Informasi ini disebut dengan istilah feedback bias implisit.

Diharapkan ketika seseorang mengetahui bagaimana sebenarnya ia memandang penyandang disabilitas dan menyadari mereka telah merespon terhadap situasi dengan cara yang stigmatik, yang kontras dengan keinginan mereka untuk memerlakukan semua orang dengan cara yang sama, isyarat untuk mengendalikan (cues for control) akan muncul, untuk kemudian mengarahkan individu agar lebih berhati-hati dalam memberikan respon diskriminatif di masa yang akan datang (Shaffer, 2011).

Penelitian ini berusaha untuk mengetahui stigma publik dengan menguji kembali pengaruh kesegeraan peberian feedback bias implisit terhadap reduksi

stigma eksplisit, menggunakan metode yang mereplikasi penelitian Menatti, Smyth, Yeachman, & Nosek (2013) dan Yusainy, Thohari, & Gustomy (2015). Pada kedua penelitian sebelumnya, hasil menunjukan hal yang bertolak belakang dengan teori yang diasumsikan menjadi mekanisme pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit. Inkonsistensi pada hasil penelitian sebelumnya, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berfokus pada pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas.

METODE Desain Penelitian

Gambar 1. Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit

kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Penelitian ini merupakan bagian dari grand design penelitian yang berjudul Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit, oleh Cleoputri Yusainy Ph.D dan Ika Herani S.Psi, M.Si yang mereplikasi penelitian Menatti, Smyth, Yeachman, & Nosek (2013).

Kondisi 1

Stigma implisit

Kondisi 2

Stigma

implisit Feedback

Feedback

Stigma eksplisit

(4)

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif eksperimen dalam setting laboratorium dengan between subjects experimental design. Partisipan dibagi ke dalam dua kondisi, yaitu 1) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pemberian feedback atas bias implisit dan pengukuran stigma implisit, dan 2) Kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pengukuran stigma eksplisit dan pemberian feedback bias implisit.

a. Partisipan Penelitian

Partisipan yang digunakan adalah mahasiswa Program Studi Psikologi semester 1 angkatan 2015 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang. Berdasarkan hasil analisis statistical power dengan menggunakan G*Power versi 3.1 menunjukkan bahwa dengan effect size kategori large (d=0.40), Alpha level sebesar 0.05, dan power sebesar 0.80, dibutuhkan total sampel N ≥ 66 untuk 3 kondisi perlakuan. Sehingga, 1 kondisi perlakuan membutuhkan 22 partisipan. Untuk mengantisipasi kemungkinan data exclusion, penelitian ini menggunakan total sampel N=73 (ditambah 10% dari total sampel), atau n=24 untuk tiap kondisi.

Instrumen Penelitian

1. Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)

Stigma implisit beserta dimensi-dimensinya diukur dengan menggunakan Single Category Implicit Association Test (SC-IAT). Instrumen SC-IAT terdiri atas dua level; incompatible dan compatible (Cronbach alpha 0,92).

Tabel 1

Struktur Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)

*Urutan level incompatible dan compatible disajikan secara random kepada partisipan

** Data practice trials tidak diolah untuk penghitungan D-score .

Secara total, terdapat tiga kategori stimulus yang harus direspon oleh partisipan, yaitu 1) empat simbol yang merepresentasikan target penyandang disabilitas, 2) dua belas atribut positif, 3) dua belas atribut negatif.

Tabel 2

Stimulus atribut dalam Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)

Elemen Atribut

Positif Negatif

SC-IAT Terpuji, Berbahaya,

Level Kategori

(kanan

(5)

Kognitif kompeten,

harga diri, kuat

abnormal, rapuh, menyedihkan

SC-IAT Afektif

Gembira, santai, riang, ceria

Bosan, takut, gugup, jijik

SC-IAT Perilaku

Pendekatan, menghormati, peduli,

mengajak

Ditolak, kabur, menghina,

menghindar

Penyajian stimulus pada level incompatible - compatible selalu diawali dengan instruksi mengenai dimensi stimulus dan respon yang tepat. Pada level compatible, target Penyandang Disabilitas + Atribut negatif tampil pada sisi kiri atas, Atribut positif pada sisi kanan atas, dan stimulus yang harus direspon tampil pada sisi tengah layar monitor. Partisipan harus secepatnya menekan huruf “P” pada keyboard jika muncul stimulus dari kategori ‘‘Penyandang Disabilitas” atau ‘‘Atribut negatif’’, dan huruf “Q” jika muncul stimulus dari kategori “Atribut positif”. Sebaliknya pada level incompatible, partisipan harus menekan huruf “P” jika muncul stimulus dari kategori “Atribut negatif”, dan huruf “Q” jika muncul stimulus dari kategori “Penyandang Disabilitas” atau ‘‘Atribut positif.’’ Apabila partisipan salah merespon, muncul tanda X warna merah di sisi bawah stimulus (150 ms). Partisipan harus merevisi respon dengan cara menekan huruf yang benar. Respon yang benar akan diikuti oleh tanda O warna hijau pada sisi bawah stimulus (150 ms). Setiap level incompatible

compatible, terdiri dari 24 stimulus latihan di awal dan dilanjutkan dengan 72 stimulus yang sesungguhnya.

Feedback yang diberikan kepada partisipan disajikan dalam bentuk D-score, yang merupakan kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur. Secara lebih spesifik, D-score adalah selisih rerata latensi respon pada level compatible dikurangi rerata latensi respon pada level incompatible dibagi dengan standar deviasi seluruh latensi respon pada kedua level ini. Makin negatif D-score, makin kuat asosiasi antara Penyandang Disabilitas dengan Atribut negatif. Makin positif D-score, makin kuat asosiasi antara Penyandang Disabilitas dengan Atribut positif.

2. Social Distance Scale (SDS)

(6)

3. Feeling Thermometer (FT)

Stigma eksplisit pada dimensi afektif diukur menggunakan skala adaptasi dari Wang dkk (2012) yaitu Feeling Thermometer (FT). FT adalah skala analog visual dalam bentuk termometer dari rentang 0 (sangat negatif) sampai 100 (sangat positif).

Analisis Data

Pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit dianalisis dengan t-test

independent sample dengan

membandingkan rerata hasil skor SDS dan FT yang dilaporkan partisipan (Hipotesis 1). Korelasi antara stigma implisit (D-score) dengan stigma eksplisit subyek terhadap penyandang disabilitas (skor total SDS dan FT) dianalisis dengan product moment pearson dengan mengorelasikan skor FT, SDS, SC-IAT D-Score kombinasi, SC-IAT D-Score kognitif, SC-IAT D-Score afektif, dan SC-IAT D-Score perilaku (Hipotesis 2).

HASIL Gambaran Umum Partisipan

Total partisipan yang terdaftar adalh 47 partisipan namun 1 partisipan tidak dapat menghadiri eksperimen sehingga didapatkan partisipan dalam penelitian ini 46 orang dengan persebaran data demografis partisipan dijelaskan pada Tabel 3.Sebagian besar partisipan melaporkan tidak memiliki pengalaman interaksi yang

intensif dengan penyandang disabilitas (86,90% partisipan melaporkan skor rerata kurang dari mid-point 3).

Tabel 3.

Data Demografis Partisipan

Data Kondisi 1 feedback segera (stigma implisit- feedback bias implisit-stigma eksplisit); kondisi 2: kelompok yang menerima perlakuan feedback tertunda (stigma implisit-stigma eksplisit-feedback bias implisit).

Analisis Pendahuluan

(7)

Tabel 4

Properti Psikometri Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N=46)

Skala Stigma Mean,SD

SDS (mid-point 2.50; rentang 1-4)

3,22

SC-IAT Kognitif -0,21a SC-IAT Afektif -0,19a SC-IAT Perilaku 0,16b

Ket. SDS= Social Distance Scale;FT= Feeling Thermometer; SC-IAT= Single Category Implicit Association Test; d-score= kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur. a= asosiasi lemah dengan atribut negatif; b = asosiasi lemah dengan atribut positif; semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT, maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik.

Uji Hipotesis 1

Hasil uji pengaruh urutan perlakuan terhadap stigma eksplisit menggunakan independent sample t-test menunjukkan perbedaan rerata antar kondisi tidaklah signifikan (ps ≥ 0,354; Hipotesis 1). Hasil ini berlawanan dengan prediksi peneliti bahwa partisipan pada kondisi 1 akan melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan partisipan pada kondisi 2.

Tabel 5

Properti psikometri stigma eksplisit dan implisit berdasarkan kondisi eksperimen

Kondisi 1 Thermometer; SC-IAT = Single-Category Implicit Association Test; Kondisi 1 = Feedback atas bias implisit segera diberikan, Kondisi 2 = Feedback atas bias implisit ditunda pemberiannya. Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT d-score kombinasi maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik

Uji Hipotesis 2

Berdasarkan data yang dijabarkan pada Tabel 6, tidak ditemukan adanya korelasi antara stigma eksplisit dengan stigma implisit partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik (ps ≥ 0,151; Hipotesis 2). Korelasi yang signifikan muncul antar kuisioner stigma eksplisit (SDS dan FT) dan antar elemen dalam stigma implisit.

Tabel 6

Korelasi antara Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N = 46)

No Variabel Koefisien

Korelasi p-value

1 SDS - FT 0,615** 0,001

2 D-Score

Kombinasi - FT 0,009

# 0,954 ScoreKognitif -

(8)

9

D-Score Afektif - D-Score Score Kognitif

-0,198 0,188

15

D-Score

Perilaku - D-Score afektif

-0,302* 0,041

Ket. SDS = Social Distance Scale, FT =Feeling Thermometer, SC-IAT = Single Category Implicit Association Test; (…) = p-value; #= korelasi antara stigma eksplisit dengan stigma implisit

*p < .05 ** p < .01

Pada stigma eksplisit, semakin tinggi skor SDS yang didapat partisipan semakin tinggi pula skor yang dilaporkan pada kuisioner FT. Pada stigma implisit, semakin rendah D-Score kombinasiSC-IAT, maka evaluasi kognitif dan reaksi afektif partisipan akan semakin negatif, dan semakin rendah D-score kombinasi SC-IAT maka kecenderungan perilaku partisipan akan semakin positif.

Analisis Tambahan

Variabel yang dianalisis adalah variabel sequence of compatibility, dimana terdapat dua kondisi yaitu kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit incompatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 1), dan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit

compatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 2).

Tabel 7

Pengaruh Sequence of Compatibility terhadap Stigma Implisit

Kelompok

Ket. SC-IAT = Single-Category Implicit Association Test;

Kelompok 1 = Level incompatible diberikan terlebih dahulu diikuti level compatible, Kelompok 2 = Level compatible diberikan terlebih dahulu diikuti level incompatible. Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik.

* p< 0,05

DISKUSI Pembahasan Utama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian feedback bias implisit dalam mereduksi stigma eksplisit serta memetakan pola korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit terhadap penyandang disabilitas fisik.

(9)

Lewis, 2010; Hsu, Huang, Liu, Ososkie, Fried, & Bezyak, 2015; Wang, Huang, Jackson, &Chen, 2012). Pandangan yang positif di level eksplisit lebih dikarenakan pengungkapan stigma secara terbuka merupakan suatu hal yang tabu di masyarakat modern (Alterado, 2013), sehingga pada taraf introspektif partisipan cenderung melaporkan respon yang menurutnya sesuai dengan standar sosial.

Adanya pengaruh social desirability dalam pengukuran stigma eksplisit didukung dengan fakta bahwa ketika dilakukan pengukuran di level implisit, partisipan menunjukan pandangan yang negatif terhadap penyandang disabilitas fisik. Partisipan dalam kedua kondisi lebih cepat mengasosiasikan disabilitas dengan atribut negatif dibandingkan dengan atribut positif (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa pengukuran stigma di level eksplisit tidak bisa menggambarkan stigma secara keseluruhan.

Penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari kesegeraan feedback bias implisit, terhadap reduksi stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas fisik (Hipotesis 1). Hal ini sejalan dengan penelitian 2 Menatti, Smyth, Yeachman, & Nosek (2013) dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata stigma eksplisit partisipan yang menerima feedback bias

implisit segera dengan partisipan yang menerima feedback bias implisit tertunda. Menatti menjelaskan bahwa ketidakefektifan pemberian feedback bisa dikarenakan stigma implisit yang dimiliki partisipan dalam penelitian ini cenderung rendah, sedangkan feedback bias implisit akan menjadi sangat efektif bagi individu dengan stigma implisit yang tinggi.

(10)

Tabel 6 menggambarkan pola korelasi antar dimensi stigma implisit yang dimiliki oleh partisipan. Korelasi yang signifikan antara d-score kombinasi dengan d-score dimensi afektif, kognitif, dan perilaku mendukung model multidimensional yang menyatakan bahwa stigma melingkupi aspek yang merefleksikan evaluasi kognitif, reaksi afektif, dan kecenderungan diskriminasi (Wang, Huang, Jackson, & Chen, 2012). Hubungan yang negatif antara d-score kombinasi dengan d-score perilaku mengindikasikan bahwa semakin besar stigma yang dimiliki partisipan pada dimensi afektif dan kognitif, akan mendorong partisipan untuk semakin menekan dirinya agar memunculkan perilaku yang berlawanan. Bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam budaya kolektif, pengungkapan stigma dalam bentuk perilaku terbuka bisa memunculkan konflik yang amat dihindari (Koentjaraningrat, dalam Yusainy, Thohari, & Gustomy, 2015).

Lebih jauh, Tabel 6 juga menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara dimensi perilaku dengan dimensi afektif, namun tidak pada hubungan antara dimensi afektif dengan kognitif dan dimensi perilaku dengan kognitif. Wang, Huang, Jackson, & Chen, (2012) berspekulasi bahwa ketiga dimensi dari stigma bersifat hierarkikal, dengan

dimensi kognitif sebagai basis dasar implisit, aspek afektif memainkan peran yang signifikan untuk menyesuaikan dengan keadaan, dan diikuti oleh komponen perilaku. Spekulasi ini juga didukung dengan skor stigma implisit partisipan dimana dimensi kognitif memiliki skor tertinggi, diikuti dimensif afektif, dan terakhir dimensi perilaku yang justru cenderung positif (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan stigma implisit yang dimiliki pada dimensi kognitif tidak termanifestasikan di level afektif dan perilaku. Partisipan bisa saja memiliki prasangka negatif terhadap penyandang disabilitas fisik, namun munculnya rasa kasihan (afektif) dan benturan dengan norma yang memunculkan kesungkanan (perilaku) mengakibatkan pola hubungan yang berbeda dengan stereotipe yang dimiliki.

Pembahasan Tambahan

(11)

Teori klasik disonansi kognitifdari Leon Festinger (dalam Metin dan Camgoz, 2011) mengungkapkan bahwa

individu akan merasakan

ketidaknyamanan psikologis ketika dihadapkan dengan kondisi yang kontradiktif dengan kepercayaan yang dimilikinya. Dalam hal ini, partisipan yang secara keseluruhan memiliki stigma di level implisit, mengalami disonansi kognitif ketika dihadapkan dengan pengukuran stigma implisit di level incompatible, dimana disabilitas justru dipasangkan dengan atribut baik. Disonansi kognitif ini akan mendorong partisipan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dialaminya, salah satu caranya adalah dengan confirmatory bias, yaitu dengan cara memilih informasi yang sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki. Pengukuran level compatible pada kelompok 1 bisa menjadi bentuk confirmation bias bagi partisipan, sedangkan level compatible pada kelompok 2 terjadi sebelum munculnya disonansi kognitif pada partisipan. Jadi, kelompok 1 memiliki stigma implisit yang lebih negatif dikarenakan pengalaman menjalani pengukuran di level compatible tidak sekedar sebagai kegiatan mengukur stigma implisit, namun juga sebagai media untuk memertahankan kepercayaan yang dimilikinya terkait penyandang disabilitas fisik.

Salah satu keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak adanya manipulation check terkait dampak pemberian feedback bias implisit. Ada kemungkinan bahwa tidak tereduksinya stigma eksplisit pada kelompok yang menerima feedback segera dikarenakan partisipan tidak membaca dengan benar feedback yang diberikan sehingga self-control tidak teraktivasi.

Terlepas dari keterbatasan yang dimiliki, penelitian ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, studi ini membahas stigma pada level yang masih sangat jarang dibahas di Indonesia yaitu di level implisit. Penelitian ini adalah penelitian kedua yang membahas paradigma bias implisit di Indonesia setelah penelitian oleh Yusainy, dkk (2015). Kedua, penelitian ini menemukan pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit. Ditemukannya pengaruh yang signifikan dari sequence of compatibility pada stigma implisit menjadi suatu terobosan dalam usaha mereduksi stigma implisit.

KESIMPULAN

(12)

variabel sequence of compatibility terhadap stigma implisit partisipan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A., Hassiotis, A., Strydom, A., & King, M. (2012). Self-stigma in people with intellectual disabilities and courtesy stigma in family carers: A systematic review. Research in Developmental Abilities, 33, 2122-2140. http://dx.doi.org/10.1016/j.ridd.2012.06 .013

Alterado, A. M. (2013). Stigma and having tuberculosis: agenda for research. Asia-Pacific E-Journal of Health Social Science, 2(1). ISSN 2244-0240

Boyle, M. J., Williams, B., Brown, T., Molloy, A., McKenna, L., Molloy, E., & Lewis, B. (2010). Attitudes of undergraduate health science students toward patients with intellectual disability, substance abuse, and acute mental illness: a cross sectional study. BMC Medical Education, 10(71). http://www.biomedcentral.com/1472-6920/10/71

Chen, S., Ma, L., & Zhan, J. (2012). Chinese undergraduate’s explicit and implicit attitudes toward persons with disabilities. Rehabilitation Counseling Bulleting, 55(1) 38-45. DOI: 10.1177/0034355211410705

Hsu, T., Huang, Y., Liu, Y., Ososkie, J., Fried, J., & Bezyak J. (2015). Taiwanese attitude and affective reactions toward individuals and coworkers who have intellectual disabilities. American Journal on Intellectual and Developmental Disabilities, 120(2), 110-124. DOI: 10.1352/1944-7558-120.2.110

Karpinski, A. & Steinman, R. B. (2006). The single category implicit association test as a measure of implicit social cognition. Journal of Personality and

Social Psychology, 91, 16-32.

http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.8.5.2.197

Kementrian Kesehatan RI. (2014). Situasi penyandang disabilitas. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Semester II. ISSN 2088 – 270x

Menatti, B. A., Smyth, F., Teachman, B. A., & Nosek, B. A. (2013). Reducing stigma toward individuals with mental illness: a brief online intervension. Stigma Research and Action. http://osf.io/8rf2b/files/

Metin, I., & Camgoz, S. M. (2011). The advances in the history of cognitive dissonance theory. International Journal of Humanities and Social Science, 1(6), 131-136.

Nosek, B.A., Hawkins, C.B., & Frazier, R.S. (2011). Implicit social cognition: from measures to mechanisms. Trends in Cognitive Sciences.

Shaffer, K. M. (2011). Impact of implicit association experience and motivation to control prejudice on stigma. Major Thesis University of Virginia.

Wang, X., Huang, X., Jackson, T., & Chen, R. (2012). Components of implicit stigma against mental illness among chinese students. Plos One, 7(9). doi:10.1371/journal.pone.0046016

Wilson, M.C & Scior, K. (2014). Attitudes towards individuals with disabilities as measured by the implicit association test: a literature review. Research in Developmental Disabilities, 35, 294-321

World Health Organisation, & World Bank. (2011). World Report on Disability. http://whqlibdoc.who.int/publication/20 11/9789240685215. Diakses pada tanggal 8 Desember 2015

(13)

eets/fs352/en/ Diakses pada tanggal 8 Desember 2015

Gambar

Gambar 1.  Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik
Tabel 1 Struktur Single Category Implicit Association Test (SC-IAT)
Tabel 6 Korelasi antara Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N = 46) Koefisien
Tabel 7 Pengaruh

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyelesaikan laporan ini, data diperoleh dari media pustaka tentang teori-teori sistem aplikasi yang digunakan dalam pembuatan Sistem Pendukung Keputusan

Dapat diketahui dari data di atas bahwa Kalala berinteraksi menggunakan ragam bahasa etnisnya, yaitu informal Shi, dengan orang-orang yang

10 derajat nilai temperatur air keluar satu kaca penutup sebesar 41,3 °C dan nilai temperatur air keluar dua r 42,3 °C, untuk 20 derajat nilai temperatur air keluar

masalah tersebut dibutuhkan sarana atau alat yang dapat membantu memberikan. informasi yang cepat, tepat dan

A photographer can easily use a specialty camera such as the XPan to obtain photographs having an elongated format and an angle of view equivalent to a classic 35 mm wide-angle

Danau Laut Tawar Bintang 1 Kawasan 2018 Rp 300.000. RTBL Kawasan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang terlah dilakukan pada perancangan Aplikasi Dekostembalang adalah sebagai berikut. 1) Aplikasi pencarian lokasi

Hasil uji R 2 pada penelitian ini diperoleh nilai adjusted R 2 sebesar 0,817 berarti pengaruh variabel suku bunga deposito rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar dan suku bunga