• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Pemaknaan Pemilihan Ragam B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Struktur dan Pemaknaan Pemilihan Ragam B"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Struktur dan Pemaknaan:

Pemilihan Ragam Bahasa di Komunitas Multilingual1

Susi Yuliawati susi.y@unpad.ac.id

Abstrak

Strukturalisme merupakan salah satu perspektif teoretis dan pendekatan metodologis untuk mengkaji kebudayaan. Memperbincangkan strukturalisme sebagai model analisis formal tidak dapat lepas dari peran seorang ahli linguistik yang telah melahirkannya, yaitu Ferdinan de Saussure. Pendekatan strukturalisme ini selanjutnya semakin berkembang seiring seiring dengan banyaknya pemikiran-pemikiran yang mengkritisi pendekatan tersebut, seperti dari Barthes, dan Sahlins Clifford Geertz, dan Sewell. Dalam makalah ini, saya akan mencoba mengulas teori dan pendekatan strukturalisme tersebut dan proses pemaknaannya serta mencoba menerapkannya pada fenomena salah satu unsur kebudayaan2, yaitu

bahasa, khususnya yang berkenaan dengan pola pemilihan ragam bahasa (kode) di komunitas tutur multilingual di wilayah Bukavu, Zaire.

Kata Kunci: kebudayaan, strukturalisme, ragam bahasa.

Apa yang dimaksud dengan kebudayaan tampaknya sulit dipahami dalam satu konsep tunggal. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya teori kebudayaan yang ditawarkan oleh para ahli dari berbagai cabang ilmu sebagai respons ketidakpuasan terhadap teori-teori terdahulu. Bahkan hingga kini semakin banyak pihak yang mencoba meredefinisi konsep kebudayaan dengan harapan agar konsep tersebut mampu mengkaji dan memaknai berbagai gejala sosial dan budaya yang terjadi di sekeliling manusia seiring dengan perkembangan zaman secara lebih komprehensif. Salah satu perspektif teoretis dan pendekatan metodologis untuk mengkaji kebudayaan tersebut adalah melalui strukturalisme.

1 Penelitian Mandiri, 2012

2 Koentjaraningrat (2009; 164-165) mengemukakan bahwa dari setiap kebudayaan di seluruh bangsa di dunia terdapat unsur-unsur dasar yang bersifat kesemestaan atau universal. Kesemestaan itu disebutnya dengan unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universals). Koentjaraningrat pun kemudian

(2)

Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya meliputi tiga aspek yaitu (1) ide (kognitif/ideofakt); (2) perilaku (emotif/normatif/sosiofakt); dan (3) artefakt (materiil) (Hoed, 2002; Koentjaraningrat, 2009; Noerhadi, 2012). Beragam teori kebudayaan biasanya memberikan perhatian pada salah satu aspek kebudayaan tersebut sehingga kemudian munculah teori-teori yang memiliki kecenderungan idealistik dan materialistik (Hoed, 2002: 13).

Meskipun manusia sudah menaruh perhatian khusus terhadap isu kebudayaan, tetapi definisi ilmiah tentang kebudayaan pertama kali baru muncul di abad ke-19 oleh Edward B. Taylor3 (1871) (dalam Danesi & Person, 1999: 3).

Selain itu, ada pula definisi kebudayaan secara tradisional dari kajian antropologi4

(Fox & King, 2002:1). Kedua definisi tersebut intinya menyebutkan bahwa kebudayaan secara totalitas (bersifat holistik) dipandang dari banyak aspek besar (pengetahuan, keyakinan, nilai, moral, kebiasaan, dsb.) yang terpola dan diperoleh manusia melalui proses pembelajaran sebagai anggota suatu masyarakat tertentu. Kedua definisi di atas cenderung memandang kebudayaan dari aspek kognitif5,

bersifat statis, dan satu arah (determinastik terhadap perilaku). Kebudayaan tampak diterima apa adanya oleh anggota suatu masyarakat sebagai warisan leluhurnya yang membentuk persepsi mereka dalam memaknai realitas dan menjadi pedoman dalam berinteraksi secara sosial. Pendapat bahwa struktur kebudayaan yang homogen dan berkelanjutan secara konsisten dari kedua definisi di atas ternyata dirasa tidak memuaskan, di antaranya karena konsep tersebut telah mengesampingkan kemungkinan bahwa pola perilaku bisa pula mempengaruhi kebudayaan, kenyataan adanya ketidaksetaraan sosial, dan peran agensi yang ikut serta dalam melakukan perubahan struktur kebudayaan. Kritik-kritik tersebutlah

3 Menurut Edward B. Taylor (dalam Danesi & Person, 1999: 3) kebudayaan adalah “...a complex whole including knowledge, belief, art, morals, law, custom, and any other capability or habit acquired by human beings as members of society.”

4 Menurut kajian antrologi, secara tradisional kebudayaan adalah“...a highly patterned and consistent set of representation (or belief) that constitute a people’s perception of reality and that get reproduced relatively intact across generations through enculturation” (Fox & King, 2002:1).

(3)

di antaranya yang kemudian menjadi pijakan dalam mengembangkan dan memperkaya konsep kebudayaan di masa-masa selanjutnya.

STRUKTURALISME

Strukturalisme sebagai perspektif teoretis dan pendekatan metodologis dalam ilmu sosial kontemporer merupakan gabungan antara model eksplanasi formal dan pendekatan analisis dari semiotika6 (Denzin & Lincoln, 1994: 466).

Memperbincangkan strukturalisme sebagai model analisis formal tidak dapat lepas dari peran seorang ahli linguistik yang telah melahirkannya, yaitu Ferdinan de Saussure. Strukturalisme Saussure ini memperkenalkan empat konsep yang sangat esensial yang bersifat dikotomis yaitu: (1) signifier ‘penanda’ (bentuk) dan

signified ‘petanda’ (makna); (2) sintagmatik dan paradigmatik; (3) langue dan

parole; dan (4) sinkronik dan diakronik. Dalam kaitannya dengan kajian budaya,

menurut strukturalisme Saussure, pemaknaan terhadap gejala kebudayaan diperoleh melalui relasi antar tanda yang beroposisi biner. Kebudayaan dianggap sebagai realitas yang memiliki struktur yang sifatnya abstrak karena adanya deep

strucuture ‘struktur dalam’ yang ada dalam kognisi suatu kelompok masyarakat

(Hoed, 2011:27). Oleh karena itu, strukturalisme Saussure lebih fokus pada tataran langue sebagai usaha untuk mencari nilai, norma, dan ide yang mendasari realitas berupa perilaku dan interaksi sosial.

Strukturalisme yang berfokus pada relasi tanda sebagai hubungan yang sifatnya diadic ini dibuat lebih dinamis oleh Roland Barthes. Barthes dikenal dengan teorinya tentang matabahasa dan konotasi (Hoed dalam Christomy, 2002: 19). Barthes mendefiniskan tanda sebagai sistem yang terdiri atas E, ekspresi

(signifier), yang direlasikan (R) dengan C, isi (signified) membentuk: E R C.

Konsep relasi dalam sistem tanda menurut Barthes ditentukan oleh pemakainya. Dalam kehiduapan sosial budaya, pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai denotasi (makna secara umum), yang disebunya sebagai ‘sistem primer’, tetapi biasanya pemakai tanda mengembangkannya ke dua arah, yang disebutnya sebagai ‘sistem sekunder’. Jika pengembangannya ke arah E berarti bahwa

(4)

pemakai tanda memberi bentuk berbeda untuk makna yang sama (proses ke arah metabahasa). Jika pengembangannya ke arah C, yang terjadi adalah pengembangan makna ke arah konotasi7 (Hoed 2011: 13 dan Noth, 1995:

310-311). Barthes mengemukakan kemungkinan munculnya mitos dalam sistem sekunder. Menurutnya dalam kehidupan masyarakat mitos terwujud dalam perilaku ritualistik ataupun trend sosial. Ia menekankan bahwa sebagian besar konsep ritual dan sosial adalah mitos. Konsep mitos dari Barthes ini dapat mitos mengungkap alasan mengapa banyak orang yang bersedia terlibat secara emosional dan terkadang tidak realistis terhadap suatu tontonan, seperti olahraga (Danesi & Peron, 1999: 259).

Penganut aliran strukturalisme lainnya adalah Marshall Sahlins. Strukturalisme Sahlins masih mempertahankan oposisi biner, tetapi dia memperkaya pemaknaan berdasarkan nilai simbolis. Hal ini ia jelaskan melalui kasus yang terjadi di Amerika dalam menentukan hewan apa saja yang bisa dikonsumsi dan tidak. Ia menyebutkan alasannya bukanlah karena manfaat nutrisi ataupun harganya, melainkan lebih pada pemaknaan yang bernilai simbolik yang dilekatkan pada hewan-hewan tersebut. Misalnya, hewan seperti anjing dan kuda berpartisipasi dalam masyarakat Amerika sebagai subjek sehingga tidak layak untuk dikonsumsi, sedangkan hewan seperti sapi dan babi dianggap objek sehingga layak untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, Sahlins berpendapat bahwa terdapat alasan-alasan budaya yang melandasi kebiasaan makan. Suatu objek dipilih manusia bukan karena exchange-value atau use-value, tetapi lebih pada alasan nilai simbolis (Alexander & Seidman, 1990: 94-95).

Konsep lain tentang kebudayaan yang sedikit berbeda dari strukturalisme Sassure, Barthes, dan Sahlins dikemukakan oleh Clifford Geertz. Pemikiran Geertz banyak dipengaruhi oleh Max Weber. Geertz juga sangat dikenal dengan pendekatan interpretatif (simbolik) dan konsep thick description yang ia gunakan dalam memaknai perilaku berdasarkan kebudayaan lokal. Pemaknaan menurut Geertz diperoleh dari relasi yang sifatnya triadic karena dia mempertimbangkan

(5)

konteks sebagai alat untuk interpretasi. Dengan demikian Geertz lebih banyak mengkaji kebudayaan dalam tataran parole dan cenderung bersifat sinkronis. Salah satu dari kelemahan pendekatan interpretatif Geertz ini adalah kurangnya penjelasan eksplisit tentang kerangka analisis sehingga sulit untuk diaplikasikan (Christomy, 2008: 9).

Sementara itu, Sewell mengkaji kebudayaan sebagai praktik. Ia mengatakan bahwa konsep kebudayaan kini mengarah pada kategori teoretis dan kerangka keyakinan dan praktik. Menurutnya kini para ahli budaya memiliki kecenderungan menggunakan pendekatan terhadapat kebudayaan sebagai “a speher of practical activity by willful action, power relations, struggle,

contradiction, and change” (Spiegel, 2005:76). Dengan perspektif ini maka dapat

disimpulkan bahwa kebudayaan menurut Sewell memiliki struktur makna yang tidak terlalu bersifat otonom, melainkan sebagai bentuk performatif, sebagai area makna yang secara konstan diproduksi dan direproduksi oleh para aktor sejarah, yang memiliki performansi makna secara tidak sistematis dan berubah-ubah (transformasi makna terjadi). Pendekatan performatif ini cocok digunakan oleh para ahli sejarah yang cenderung tidak nyaman dengan kajian yang bersifat sinkronik (Spiegel, 2005:80).

PEMILIHAN BAHASA DALAM KOMUNITAS MULTILINGUAL

(6)

berasal dari etnis berbeda Kalala menggunakan lingua franca di wilayahnya yaitu Swahili. Dia belajar ragam Swahili standard sewaktu dia sekolah, akan tetapi ragam Swahili yang digunakan di pasar berbeda karena memiliki fitur bahasa yang distingtif dan bahkan memiliki nama tersendiri yang disebut Kingwana. Swahili standard, salah satu bahasa nasional di Zaire, digunakan di Bukavu untuk transaksi-transaksi di perkantoran selain bahasa Perancis (official language di Zaire). Kalala menggunakan Swahili standard ketika harus berurusan dengan kantor pemerintah, bertransaksi di bank, dan ketika mencari pekerjaan. Dengan teman-temannya Kalala menggunakan ragam khusus yang disebut Indoubil. Indoubil adalah ragam yang digunakan dikalangan anak-anak muda di Bukavu tanpa memandang latabelakang etnis. Indoubil semacam bahasa slang kaum muda di Bukavu. Indoubil adalah ragam baru yang dasarnya berawal dari ragam Swahili. Akan tetapi, Indoubil telah mengalami perkembangan karena dipengaruhi oleh bahasa Perancis, Inggris, dan Itali.

(7)

faktor-faktor apa saja yang melatarbelakanginya. Dalam masyarakat multilingual seperti kasus di atas, pola perilaku pemilihan ragam bahasa masyarakat tuturnya mengindikasikan adanya faktor-faktor tertentu yang melatarbelakangi mereka dalam menentukan ragam apa yang sepatutnya digunakan untuk berinteraksi dalam domain-domain yang berbeda. Alasan yang umumnya mendasari pola pemilihan ragam bahasa tersebut adalah faktor-faktor sosial, seperti: jarak sosial

(high solidarity/low solidarity), status (superordinate/subordinate), konteks

(formal/informal), dan fungsi interaksi (fungsi referensial/fungsi afektif) (Holmes, 1992: 9-10). Dapat diketahui dari data di atas bahwa Kalala berinteraksi menggunakan ragam bahasa etnisnya, yaitu informal Shi, dengan orang-orang yang berdasarkan skala solidaritasnya memiliki jarak sosial yang dekat, seperti dengan keluarga di rumah, dengan para pedagang di pasar yang berasal dari etnis yang sama, atau dengan sesama anggota kelompok etnis yang sama dalam kegiatan ritual. Perilaku berbahasa berkenaan dengan ragam bahasa etnis seperti ini bukan hanya terjadi komunitas tutur di Bukavu, tetapi juga di komunitas tutur lainnya. Umumnya ragam bahasa etnis digunakan dengan sesama anggota kelompok etnis untuk menjalin solidaritas. Sebagai contoh kasus yang terjadi pada Anahina seorang perempuan etnis Tongan New Zealand yang tinggal di Auckland (Holmes, 1992: 21). Anahana mampu berbicara dalam dua ragam bahasa, yaitu Tongan, bahasa etnisnya, dan bahasa Inggris. Anahana menggunakan bahasa Tongan di rumah untuk berinteraksi dengan keluarga memperbincangkan beragam topik. Akan tetapi, ketika Anahina berbicara dengan kakanya tentang pelajaran di sekolah dan pekerjaan rumah, maka bahasa yang digunakan bukan Tongan, melainkan bahasa Inggris.

(8)

yaitu Kingawana dan Indoubil cenderung didasari oleh kedekatan yang dibangun bukan berdasarkan alasan dari kelompok etnis yang sama, tetapi berdasarkan identitas sosial lainnya. Misalnya, Kingwana digunakan oleh Kalala ketika berinteraksi di pasar dengan orang yang bukan dari etnis yang sama. Ini berarti bahwa Kingawana digunakan karena menyesuaikan diri dengan ragam yang digunakan oleh para pedagang di pasar. Sementara itu, Indoubil (bahasa slank yang berasal dari ragam Swahili) digunakan untuk berinteraksi dengan kelompok yang memiliki kesamaan berdasarkan usia.

Jika mengacu pada Barthes maka tanda itu memiliki pemaknaan yang berlapis. Pemaknaan secara umum ada pada tataran denotasi, kemudian jika dapat dikembangkan maka makna masuk ke tataran konotasi. Berdasarkan denotasinya, keseluruhan linguistic repertoir yang dimiliki oleh Kalala merupakan bahasa yang memiliki fungsi sebagai alat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, jika memaknainya pada tataran konotasi masing-masing ragam bahasa tersebut memiliki makna bukan sekedar sebagai alat komunikasi. Misalnya ragam bahasa etnis, Shi (formal & Informal) memiliki nilai simbolis sebagai lambang identitas masyarakat tutur etnis-nya Kalala. Sementara itu, ragam bahasa nasional, standard Swahili, pada tataran konotasi digunakan bukan sekedar sebagai alat komunikasi yang memili fungsi praktis sebagai ragam bahasa penghubung antar etnis, tetapi juga sebagai simbol identitas nasional. Terakhir, dua ragam Swahili lainnya, yaitu Kingawana dan Indoubil cenderung secara konotasi dimaknai sebagai simbol identitas kelompok dalam suatu komunitas tutur berdasarkan identitas sosial lainnya (bukan kesamaan etnis). Kingwana adalah ragam bahasa yang digunakan oleh para pedagang di pasar, artinya ragam tersebut menjadi simbol identitas kelompok masyarakat berdasarkan profesi. Sementara ragam Indoubil, ragam slang yang digunakan dikalangan anak muda, menjadi simbol identitas sosial berdasarkan usia.

PENUTUP

(9)

skala formalitas (formal dan informal), dan fungsi komunikasi (referensial dan afektif). Selain itu, ragam yang dipilih untuk berinteraksi dalam domain-domain tertentu pun memiliki pemaknaan tersendiri bagi penuturnya misalnya saja ragam bahasa bukan hanya digunakan sebagai alat komunikasi, tetapu juga dijadikan sebagai simbol identitas sosial tertentu baik berdasarkan etnis, nasionalitas, profesi, maupun usia. Keseluruhan gejala pemilihan ragam bahasa oleh masyarakat penuturnya ini, menunjukkan adanya struktur yang beroperasi.

Daftar Pustaka

Alexander, Jeffrey C. & Seidman, Steven. Culture and Society. Australia: Cambridge University Press. 1990.

Christomy, Tommy. Indonesia: Tanda yang Retak. Jakarta Selatan: Wedatama Widya Sastra. 2002.

Christomy, Tommy. Signs of Wali. Australia: ANU E Press. 2008.

Danesi, Marcel & Person, Paul. Analyzing Cultures. An Introduction & Handbook. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. 1999.

Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks. London. New Delhi: Sage Publication. 1994.

Fishman, Joshua A. The Sociology of Language: An Interdisiplinary Social

Science Approach to Language in Society. Massachusetts: Newbury House

Publishing Inc. 1972.

Fox, Richard G. & King, Barbara J. Antrophology beyond culture. Oxford. New York: Berg. 2002.

Holmes, Janet. An Introduction to Sociolinguistics. England: Longman. 1992. Hoed, Benny H. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas

Bambu. 2011.

Jandt, Fred E. An Introduction to Intercultural Communication. Thousand Oaks. London. New Delhi: Sage Publication. 2004.

(10)

Noth, Winfried. Handbook of Semiotics. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. 1995.

Spiegel, Gabrielle M. Practicing History: New Direction in Historical Writing

Referensi

Dokumen terkait

Pengkajian dilaksanakan bersamaan dengan kegi- atan pembinaan kemampuan pengelolaan perpustakaan yang meliputi penataan koleksi, penataan ruang per- pustakaan, pengaturan

Alat analisis yang digunakan adalah uji korelasi pearson yang bertujuan untuk menguji hubungan antara harga spot dengan futures pada saat melakukan hedging ataupun cross

Tetapi, ada juga mahasiswa yang kerja sampingannya sama sekali tidak ada hubungan dengan bidang ilmu mereka, misalnya mereka bekerja dengan banting tenaga (bangunan),

Kemampuan pembangkit listrik berbasis flywheel pada kondisi tanpa suplai cadangan motor keadaan berbeban mampu membangkitkan daya hingga 708,75 W selama 18 detik setelah sumber

AHP berasaskan konsep penegasan linguistik sepenuhnya seperti penggunaan imbuhan “amat sangat”, “amat”, “agak” dan sebagainya untuk menilai sesuatu atribut. Umumnya,

Misalnya, suatu operasi pengolahan primer (contohnya, pabrik atau pejagalan) dapat melakukan penilaian untuk mempertimbangkan hukum yang berlaku bagi pemasoknya, terutama jika

Ha : Terdapat pengaruh tingkat pendapatan, pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempat tinggal, kesehatan anggota keluarga,

Padahal di DKI Jakarta Sendiri, terdapat 3(tiga) Instansi Badan Narkotika Nasional yaitu Badan Narkotika Nasional Pusat, Badan Narkotika Nasional Provinsi DKI Jakarta,