• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa perbandingan hukum kewarisan adat sunda dengan hukum kewarisan islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa perbandingan hukum kewarisan adat sunda dengan hukum kewarisan islam"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Aep Saifullah NIM: 103044128018

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AKHWAL SY AKHSHIYY AH

F AKUL T AS SY ARIAH DAN HUKUM

UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDA YA TULAH JAKARTA

(2)

SKRIP SI

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Aep Saifullah

103044128018

Di Bawah Bimbingan :

セ[ゥセ@

Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag NIP 150 050 919

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AHW AL SY AKHSHIYY AH

FAKULTAS SYARIAHDANHUKUM

UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULAH JAKARTA

(3)

Hidayatullah Jakmia pada tanggal 6 Desember 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan

Ahwal Syakhshiyyah

Jakarta, 6 Dcscrnber 2007 ... Mengesahkan

··' 'Deka

PANITIA UJIAN Ketua Drs. H. A. Basiq Dj 1lil, SH, MA

NIP. 150 169 102

Sekretaris : Kamarusdiana, MH NIP. 150 268 783

Pembimbing Drs, H. Husni Thoyyar, M.'1g NIP. 150

o:o

919

Penguji I : Drs. H. Odjo Kusnara Nursidik, l\;1.Ag NIP. 150 268 783

(4)

karena atas ridla-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAVl., karena atas suri

tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak

pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu,

dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Jalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, MH., selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah yang senantiasa

memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag., selaku Dasen Pembimbing skripsi, penulis

menghaturkan banyak terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk

membimbing dan memotivasi penulis.

4. Ayahanda H. Mukhtarudin dan Ibunda Hj. Nurohmah (Sri Sumiati), kedua orang

(5)

rumah kediaman di Cibingbin, Kuningan yang senantiasa memberikan dukungan

kepada penulis dalam menyelesaikan proses penyelesaian skripsi.

6. Bapak Ir. Herman Khoeron, M.Si., selaku Tokoh Muda Cirebon yang peduli

terhadap kaum muda, atas dorongan dan spiritnya telah banyak membantu

penulis dalam membantu proses studi sampai akhir kuliah.

7. Keluarga Besar Forum Masyarakat Peduli Daerah (FOR.Iv!ALIDA) Wilayah III

Cirebon yang selalu memberikan doa dan menaruh harapan kepada penulis

sehingga memotivasi penulis untuk dapat memberikan yang terbaik.

8. Teman-teman satu angkatan 2003 Konsentrasi Peradilar1 Agama kelas A dan

kelas B yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran, baik selama belajar

maupun hingga detik-detik pelaksanaan wisuda.

9. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam

kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai

investasi amal untuk bekal di hari akhir nanti. Amin

Jakarta, 26 Dzulqa'dah 1428 H 06 Desember 2007 M

(6)

DAFT AR 181... iii

BABI PENDAHULUAN ... .. A. Latar Belakang Masalah ... . 1 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... .. ... .. .. ... .... .. ... ... .... 1 O C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 11

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM... 15

A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam ... 15

B. Sejarah Kewarisan Islam... 20

C. Sumber Hukum Kewarisan Islam... 25

D. Rukun dan Syarat Kewarisan... 31

E. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan... 32

F. Ahli Waris dan Bagiannya... 33

(7)

B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda ... 45

C. Rukun dan Syarat Kewarisan... 46

D. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan... ... ... .. ... ... 4 7 E. Ahli Waris dan Bagiannya ... .... .. ... ... 48

F. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Adat Sunda ... 54

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM... 58

A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam... 58

B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam... 62

C. Analisis Hukum Antara Teori dan Praktek ... 67

BAB V PENUTUP ... 88

A. Kesimpulan .. .. . ... .... .... ... . ... ... ... .... ... ... .. . ... . 88

B. Rekomendasi dan Saran-saran... 90

DAFT AR PUST AKA... 92

(8)

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan

dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan

membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Menmut Joseph Sacht, tidak

mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukan

bahwa sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat

. "fik I

s1gm 1 an .

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak dalam

wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul·-Nya. Selain itu dimensi

konkrit dalam wujud perilaku membangun apa yang menjadi titah tersebut yang

bermnara pada perilaku manusia (amaliah) baik individual maupun kolektif.

Hukum Islam juga mencakup substansi yang terintemalisasi ke dalam berbagai

. 12 pranata sosia .

Hukum Islam dan pranata sosial sebagai unsur normatif dalam

penataan kehidupan manusia berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap

sumber ajaran Islam sepe1ii yang temmktub dalam Al-·Quran dan hadis. Kedua

sumber ini lalu dijadikan rujukan dalam menata hubungan antara manusia dengan

1 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No l/1974 sampai KHI. (Jakarta, Prenada Media, 2004). h.2

(9)

makhluk lainnya. Hukum dideduksi secara preskriptif dari sumbemya (mashadir

al-ahkam), sedangkan pranata diindukasi dari prapenataan untuk memenuhi

kebutuhan hidup manusia yang spesifik3.

Keduanya menjadi unsur penata tentang berbagai kehidupan dalam

suatu sistem sosial yang bersifat otonom, seperti umat Islam atau masyarakat

bangsa. Secara sosiologis hukum dan pranata dipandang sebagai pola interaksi

yang menjadi salah satu struktur dalam sistem sosial. Adapun secara antropologis,

hukum dan pranata dipandang sebagai sistem norma atau kelakuan yang dijadikan

pedoman perilaku dalam sistem sosial itu4.

Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik gradual

maupun teritorial. Ada hukum yang memiliki daya atur dan daya ikat yang

longgar dan ada pula yang ketat, di samping itu ada yang memiliki daya paksa

walaupun dalam batas-batas tertentu. Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial

memiliki dua fungsi pertama, sebagai kontrol sosial (social of control) dan kedua

sebagai nilai baru proses perubahan sosial (social of change)5•

Maka dari itu hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persolan umat

tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, kemungkinan besar

3

Amin Abdulah. Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996). Cet. Pertama. h. 65

4

Ahmad Syafi'i Ma'arif. Islam dan lv!asa!ah Kenegaraan, (Jakarta, LP3S, 1996) Cet. Pertama. h. 45

5 Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan H11k11m Dalam Rangka Pembangunan Nasional

(10)

Islam akan mengalami kemandulan fungsi-meminjam istilah Abdurrahman Wahid (Gus Dur)-fosilisasi bagi kepentingan umat Islam.

Bila formulasi hukum Islam out of date itu tetap clipaksakan penerapannya, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak dari masyarakat, sehingga akan memunculkan konflik internal dan ekstemal yang mengganggu stabilitas sosial. Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya pembaharuan hukum melalui ijitihad mutlak cliperlukan7• Hukum aclalah norma masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu yang selanjutnya disebut sebagai sistem sosial.

157

Hukum itu timbul sebagai tingkah laku anggota masyarakat dalam hubungan satu sama lain yang didorong dengan motif untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak timbul karena terjadinya konflik mengenai hak-hak orang, untuk kemuclian diselesaikan oleh suatu lembaga perwasitan tertinggi di wilayah bersangkutan, melainkan timbul dari praktek-praktek berdasarkan pertimbangan sosial dan individual bagaimana ha! terse but dilakukan 8

Untuk melihat hukum itu bekerja sebagai sebagai suatu pranata di masyarakat, perlu kiranya memasukkan satu faktor yang menentukan bagi penerapan norma-norma hukum yakni manusia. Karena itu manusia atau orang

7

Mun'im A Sirry. Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengamar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995). h.

(11)

bisa menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan hubungan dalam

menimbulkan hak dan kewajiban hukum8. Masuknya faktor manusia dalam

hubungan proses hukum, maka dapat dikatakan hukum sebagai karya atau produk

manusia yang berlaku di masyarakat. Menurut Chambliss dan Seidman, model

masyarakat dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, masyarakat non konflik yakni

masyarakat yang berdasarkan pada basis nilai-nilai dan kesepakatan. Kedua,

masyarakat konflik.9

Sekalipun hukum merupakan sarana pengatur kehidupan sosial, namun

yang menarik adalah justru hukum senantiasa tertinggal di belakang objek yang

diatumya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa hukum selalu erat kaitannya dengan

perubahan sosial masyarakat. Dengan bahasa Sinzhemer, perubahan pada hukum

akan terjadi apabila dua unsurnya bertemu pada satu titik singgung. Unsur

tersebut adalah (I) keadaan atau kondisi barn yang timbul. (2) kesadaran

masyarakat '0

Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berimplikasi terhadap

hukum yang berlaku. Hukum bagi masyarakat perkotaan dan hukum bagi

masyarakat pedesaan tidak sama dalam ha! penerapannya. Produk hukumnya

sama, tetapi antusias dan minat masyarakat dalam eksekusi di lapangan jauh

8

Hardjawijaya J. Hukum Perdata (Buku Kesatu Tentang Perorangan dan Hukum Keluarga)

(Malang, PHPM Unibraw, 1979). h. 25

9

Chambliss dan Seidman. law. Order, and Power Reading. (Massachusetts,

Addisaon-Wesley Publishing Company, 1971) h. 17

10

(12)

berbeda. Hal ini dapat terjadi mengingat antara kota dan desa sangat berbeda

kondisi dan sifat masyarakatnya.

Hal ini selaras dengan teori Marx Weber tentang tipe-tipe ideal dari sistem

hukum yang terbentuk oleh masyarakat yaitu irrasional dan rasional 11. Seperti

yang diketahui bersama bahwa dalam masyarakat selain terdapat hukum Islam,

hukum positif juga terdapat hukum adat atau tradisi yang berkembang di

masyarakat. Terlebih dengan perkembangan hukum Islam di daerah pedesaan,

sangat tergantung kepada tokoh atau ulan1a (kyai) setempat, masyarakat desa

yang nota-benenya kurang pengetahuan baik agama maupun umum.

Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti custom, kebiasaan.

Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta,

a (berarti "bukan") dan data (yang miinya"sifat"). Dengan demikian maka adat

sebenarnya bermii sifat immaterial, artinya adat menyangkut hal-hal yang

berkaitan dengan sistem kepercayaan.

Hukum adat sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, baru setelah ilmuwan

Belanda Prof. Snouck Hourgronye (1857-1936) yakni orang yang ahli dalam

11

Menurut Weber ada beberapa tipe ideal dalam pembentukan hukum yang kemudian dipakai oleh masyarakat sebagai acuan, yakni :

a. 1-lukum irrasional dan material, yaitu dimana pembentukan hukum didasarkan semata mata

alas nilai emosional tanpa menunjuk suatu kaidah apapun.

b. 1-lukum irrasional dan fom1al, yakni pembentukan hukum yang berpedoman pada

kaidah-kaidah di luar aka!, oleh karena berdasarkan pada wahyu atau ramalan.

c. Hukum rasional dan material yakni dimana pembentukan hukum merujuk pada suatu kitab

suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology.

d. Hukum rasional dan formal, yakni dimana hukum dibentuk atas dasar konsep abstrak dan

ilmu hukum. (Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakat1a, Raja Grafindo

(13)

agama dan hukum Islam dalam bukunya The Atjeh yang selanjutnya

dikembangkan dan disistemisasikan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr

Bznu Jadi istilah hukum adat dikenal di Indonesia pasca terbitnya buku tersebut.

Salah satu dari konsepnya adalah tentang Teori Receptie yang berbunyi "Hukum

is/am tidak ada, baru ada apabila sudah diterima oleh masyarakat adat dan

muncul wujud baru yaitu hukum adat"

Hukum adalah gejala masyarakat yang universal, ubi sociotes ibi ius

(dimana ada masyarakat disitu pula terdapat hukum). Namun karena suasana dan

lingkungan serta cara hidup masing-masing daerah yang berbeda, misalnya kota

dan desa. Tentu tiap daerah tersebut memiliki corak dan khas berbeda yang tidak

sama dengan lainnya.

Bila dilihat dari kaca mata hukum Islam dan hukum positif sangat

berbeda, pembagian warisan contoh kecilnya, dalam hukum Islam disebutkan

antara laki-laki dan perempuan mendapat 2: 1 juga sama dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) tertera demikian. Namun ini tidak berlaku bagi masyarakat di daerah

khususnya adat Sunda, pembagian tersebut dianggap oleh mereka tidak sesuai

dengan prinsip keadilan serta tidak mencerminkan pembagian rata. Asumsi

mereka pembagian harus dibagi imbang yakni I : I sehingga antar satu sama

lainnya saling merata.

13

(14)

Kewarisan merupakan permasalahan yang sensitif, karena berkaitan

dengan pembagian harta kekayaan orang yang meninggal dnnia kepada ahli

warisnya. Bahkan seringkali terjadi perselisihan antara para ahli waris dalam

pembagiannya. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang lebih cenderung serakah,

matrelistis, dan rela mengorbankan hak-hak orang lain demi kepentingan dan

ambisi pribadinya. Oleh karena itu perlu ada sebuah sistem hukum untuk

mengatur pembagian tersebut guna mencegah perselisihan dan ketidak-adilan.

Salah satu dari sistem hukum itu adalah hukum kewarisan yang dalam Islam

dikenal dengan istilah Fiqh Jvfawarits (faraid).

Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, di Indonesia terdapat

beraneka ragan1 sistem kewarisan yang berlaku yakni : Sistem Hukum Kewarisan

Perdata Baral (Eropa) yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab

Undang-undang Hukum Perdata) disingkat KUHPer, sistem hukum Kewarisan Adat yang

beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai

daerah lingkungan hukum adat, dan sistem hukum Kewarisan Islam yang terdiri

dari pluralisme ajaran bersifat religi 13.

Masyarakat biasanya memiliki kewenangan untuk menggunakan hukum

yang mana yang akan dipilih dipakai (hak opsi). Pelaksanaan hak opsi dalam

perkara waris dilandasi dengan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Pada penjelasan umum dari butir ke-dua alinea ke-enam berbunyi :

1J M. Idris Ramulyo, 11ukun1 Ke..,varisan !sla111, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i

(15)

"Sehubungan dengan ha! tersebut para pihak yang berperkara dapat

mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam

pembagian waris"

Hak opsi merupakan hak untuk memilih sistem hukum apa yang akan

dipergunakan dalam pembagian waris. Hak opsi hanya dapat digunakan apabila

diantara ahli waTis terdapat ketidaksepakatan dalam penyelesaiannya. Menurut M.

Yahya Harahap pemberlakuan hak opsi dalam perkara waris tersebut dianggap

pelarian diri dari kekurangberanian para pembuat undang-undang dalam

menentukan ketetapan yang memberikan bagian yang sama besar antara laki-laki

dan perempuan.14

Senada dengan itu Abdul Gani Abdullah berpendapat, bahwa asas pilih

hukum kewarisan yang akan digunakan untuk menentukan pengadilan yang

berwenang, tergantung kepada hukum yang dikehendaki oleh masing-masing

pihak akibat ketidaksepakatan menentukan hukum, dan tidak bergantung kepada

agama masing-masing. Dengan kata lain, asas pilihan hukum ini keluar atau

menghindari dari hukum yang ditentukan agama. 15

Di Indonesia hukum kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis

keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Menurut Purwoto S

14

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No 7 Tahun 1989), (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997), h. 32

15

(16)

Gandasubrata, ada tiga sistem kemasyaraktan yang mempengaruhi coraknya

yaitu17 :

1. Sistem kemasyaraktan kebapakan (patrilineal)

2. Sistem kemasyarakatan keibuan (matrilineal)

3. Sistem kebapak-keibuan (parental/bilateral)

Hukum kewarisan adat Sunda contohnya, lebih kental nuansa adatnya,

coraknya lebih sama dengan sistem parental/bilateral yalmi pembagian warisan

yang ditarik menurut garis orang tua (bapak-ibu) dimana kedudukan pria dan

wanita tidak ada perbedaan dalam pewarisan. Dalam pembagiannya tidak ada

pemilahan secara beda, sistem ini lebih menitik beratkan atas asas kekeluargaan

(musyawarah) di mana antara laki-laki dan perempuan mendapat sama rata.

Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sudah ada aturan dan

pembagian klmsus terhadap harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli

warisnya. Yang menjadi patokan adalah pembagian antara lald-laki dan

perempuan dua berbanding satu. Tentu ha! ini sangat berbeda bila dibandingkan

dengan hukum kewarisan adat Sunda.

Pada umumnya keberadaan hukum kewarisan Islam tidak berlaku,

masyarakat Sunda lebih memakai hukum kewarisan adatnya dibanding Hukum

Kewarisan Islam, bahkan lebih sering digunakan dengan musyawarah (badami)

secara kekeluargaan. Karena kebiasaan ini sering dilakukan, maka lambat laun

17 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional

(17)

menjadi jurisprudensi dan ketetapan hukum setempat kemudian menjadi adat atau

tradisi yang berlaku.

Dari pembahasan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih

lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi

dengan judul "Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis di atas dan

mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai hukum kewarisan adat Sunda

dengan hukum kewarisan Islam khususnya, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya

agar lebihjelas dan rinci bahasannya. Hukum adat Sunda yang merupakan bagian

dari kebudayaan Jawa Barat, memiliki daerah yang cukup luas, dan sunda sendiri

dibagi kepada beberapa bagian yaitu: Sunda Priangan (Bandung, Tasilanalaya,

Ciamis, Garut di!), Sunda Banten (Pandeglang, Lebak di!), Sunda Bogar (Bogar,

Sukabumi, Cianjur di!) dan Sunda Cikuning Maja Ayu ( Cirebon, Kuningan,

Majalengka, dan lndramayu).

Dalam ha! ini agar lebih jelas pembahasannya, hukum kewarisan adat

Sunda yang dimaksud pembahasan ini adalah Sunda di daerah desa Cibingbin

Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Maka pada bahasan

(18)

daerah Kuningan Jawa Barat. Adapun rumusan dalam skripsi ini adalah sebagai

berikut :

I. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum Kewarisan Adat

Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ?

2. Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum Kewarisan

Islam dalam praktiknya di masyarakat ?

3. Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian

waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

I. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara Hukum Kewarisan Islam dengan

Hukum Kewarisan Adat Sunda.

2. Dapat mengetahui keberadaan atau eksistensi hukum kewarisan adat Sunda

dan hukum kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat.

3. Mengetahui penggunaan hak opsi dalam menyelesaikan pembagian waris.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu :

I. Tersedia data tentang penyelesaian perkara waris secara hukum Islam atau

menggunakan hukum adat Sunda.

2. Sebagai sumbangsih dalam pengambilan keputusan dan yurisprudensi hukum

(19)

3. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka sebagai

sosialiasi hukum Islam dan hukum adat Sunda yang berkaitan dengan

kewarisan.

4. Sebagai bentuk khazanah keilmuan dan pengembangan keislaman serta

wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil penelitian ini.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Pembahasan skripsi ini dilakukan secara deskriptif analisis dengan

melalui pendekatan sejarah (analisis histories)17• Penulis menggunakan studi

kepustakaan (Library research) dengan menelusuri buku-buku, majalah-majalah,

artikel dan karya ilimah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini.

Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu

dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam kaiya ilmiah

ini adalah penelitian kualitatif18. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan

buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari 'ah dan Hukum UJN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2007 ".

17

Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta, Rajawali Pers, 2003). Cet. Ke-5. h. 102

(20)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Ada pun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab Pertama

Bab Kedua

Bab Ketiga

Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.

Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan Islam

yang meliputi : pengertian hukum kewarisan Islam, sejarah

kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan Islam, rukun dan

syarat kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris

dan bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum

kewarisan Islam.

Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan adat

Sunda yang meliputi : penge1iian hukum kewarisan adat Sunda,

sumber lmkum kewarisan adat Sunda, rukun dan syarat

kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris dan

bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum kewarisan

adat sunda.

Bab Keempat Pada bab ini membahas tentang analisa perbandingan terhadap hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Sunda,

selain itu juga diuraikan mengenai persamaan dan perbedaan

(21)

Bab Kelima

serta analisis hukum antara teori dan praktek dalam hukum

kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda

Bab ini merupakan bab penutup, clalmn bab ini berisikan

kesimpulan hasil penelitian clan rekomendasi atau saran-saran,

(22)

Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan nama "fiqh mawarits".

Mawarits dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal

"mirats" yang artinya harta pusaka atau warisan 1• Agar lebih jelas lagi

pembahasannya, baik kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi atau

pengertian dari kewarisan tersebut.

Secara etimologi (bahasa) kata "kewarisan" berasal dari yakni waratsa

"'oJ yang memiliki beberapa pengertian antara lain :

Pertama, Mengganti. Seperti yang tertera dalam QS. al··Naml (27): 16

( \i :\'VI J,Jll)

Artinya:

Dan Sulaifnan telah me1varisi Daud, dan dia berkata: uHai rnanusia, kami telah diberi pengerlian tentang suara burung dan katni diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (sen1ua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata".

Pada terjemahan Al-Qur'an terdapat catatan kaki no 593 kata

"mewarisi" diberikan penjelasan yaitu: "Nabi Sulaiman AS menggantikan

kenabian dan kerajaan Nabi Daud AS. serta mewarisi ilmu pengetahuan dan

1

Mahmud Yunus, Ka1nus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjernah

(23)

kitab Zabur yang diturunkan kepadanya"2• Melihat dari susunan kata tersebut

532

secara bahasa mewarisi mempunyai arti menggantikan.

Kedua, "Memberi" seperti yang tercantum dalam QS. al-Zumar (39): 74

b<

(Vi :

イセ@

I

y)\)

セi@

;..f

イセZゥ@

サuゥセNZ[NN@

Artinya:

Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan tel ah (memberi) kepada kami tempat (bumi) ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat da/am syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga ilu/ah

sebaik-baik ba/asan bagi orang-orang yang bera1na/11 ,

Pada kalimat di atas terdapat kata (GJ..'.,,) yang bila disesuaikan dengan

susunan katanya memiliki arti memberi, yakni pemberian Allah kepada

manusia berupa segala kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat yaitu surga

yang dijanjikan kepada orang-orang yang beramal baik.

Ketiga, "Mewarisi" yang terdapat dalam QS. Maryam (19): 6

Artinya:

Yang akan niewarisi Aku dan 1ne1varisi sebahagian keluarga Ya'qub; danjadikanlah fa,

Ya Tuhanku, seorangyang diridhai".

Dari tiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga macam arti

yaitu menggantikan, memberikan, dan mewarisi. Antara satu arti dengan

lainnya bagian yang tidak terpisahkan melainkan memiliki kesamaan maksud,

2

(24)

mengingat tiga arti terse but selaras dengan pengertian waris a tau kewarisan. 3

Selain itu warisan mempunyai arti yaitu pindahnya sesuatu dari orang lain atau

dari suatu kaum kepada kaum yang lain 4

Adapun menurut tinjauan terminologi, sebagaimana halnya dalarn

Karnus al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alarn adalah :

Yaitu : " Harta seseorang berpindah kepadanya setelah ia meninggal dunia"

Secara definitif, banyak dari tokoh dan ulama yang memberikan

pengertian tentang kewarisan itu sendiri, menurut Muhammad Ali As-Sabuni,

arti warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang

ditinggalkannya itu berupa benda bergerak atau tidak begerak.

Menurut Muhammad Syarbini Al-Khatib yang dikutip oleh Drs. Ahmad

Rofiq, MA dalarn bukunya "Hukum Islam di Indonesia" mengatakan bahwa

kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan mengetahui

bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak.

Selain itu M.Idris Ramulyo, SH mendefinisikan kewarisan berupa himpunan

3

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 3556

4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah)

(Bandung, CV. Diponegoro, 1988), h. 40

5

(25)

59

peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban dari harta yang

ditinggalkannya. 6

Berbicara tentang pengertian hukum kewarisan, seperti dikemukakan di

atas bahwa banyak definisi dan istilah kewarisan yang diutarakan oleh para

ulama secara hakikat adalah sama namun hanya berbeda pada redaksi. Dalam

Islam terdapat istilah-istilah yang berkenaan dengan kewarisan antara lain : 7

I. Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia.

2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan orang

yang meninggal dunia, maka ia berhak menerima bagian dari warisan.

3. Mauruts, yaitu hmia warisan (pusaka).

4. Ashabu al-Furudl (dzawi al:furud), yaitu ahli wans yang mempunyai

bagian tertentu dari harta peninggalan si mayit yang ditetapkan oleh nash

dan ijma'.

5. 'Ashabah, yaitu kelompok ahli wans yang berhak menenma dari s1sa

bagian.

6. Dzawil Arham (ulu al-arham), yaitu kerabat pewaris yang tidak termasuk

dzawil furud dan ashabah8.

6

M. Idris Ramu Iyo, Hukwn Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill, I 998), h. I

7

Hasbi Ash Shiddiqy, Fiqhul Mmvaris, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet ke-1, h. 18

(26)

7. Mawali, yakni ahli waris karena penggantian yaitu orang yang menjadi ahli

waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ini

hasil ijtihad dari Prof. Hazairin.9

Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah

ilmu

faraid10. Dalam

bahasa Arab perkataan faraid menunjukkan bentuk jamak, sedangkan bentuk

tunggalnya faridah yang berarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu

dari ahli waris yang diatur secara rinci dalam al-Quran11. Dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan pula bahwa hukum kewarisan adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan

(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing.12

Berdasarkan pengertian kewarisan dalam Islam tersebut, telah

mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan yaitu : adanya

orang yang meninggal dunia (pewaris), harta yang ditinggalkan (warisan) dan

orang yang mengurusi harta peninggalan dan berhak a1as harta peninggalan

tersebut (ahli waris). 13 Hukum waris juga termasuk hukum benda, seperti

9 1-Iazairin, Hukunz

Kei.11arisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta, Tinta

Mas. 1967), cet ke-4, h. 28

Sayyid Sabiq, Fiqh a/-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), cet ke-4, h. 424 11

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995), cet ke-2, h. I

12

Kompilasi Hukum Islam (KH!) lnpres No 1Tahun1991 Pasal 171 (a)

13

(27)

dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan hak

kebendaan adalah warisan.

B. Sejarah Tentang Kewarisan

Islam yang turun dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam

upaya merevisi atau memperbaharui tatanan hukum dalam wilayah Arab pada

masa sebelum Islam dilakukan dengan bertahap serta bijaksana tanpa

membebani penganutnya. Demikian pula yang terjadi dalam proses legislasi

hukum kewarisan Islam. Islam turun pada saat yang tepat baik membawa

informasi baru maupun menyempurnakan keberadaan hukum sebelumnya.

Dalam hal sejarah kewarisan Islan1 pun turut mewarnai kehidupan ketika itu.

I. Hukurn Kewarisan Masa Sebelurn Islam

Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam

datang diwarnai penuh oleh kultur Badui yang sering disebut dengan istilah

"Nomad Society". Keberadan atau eksistensi seseorang pada waktu itu

diukur dari kekuatan fisik atau tenaga yang hanya dimiliki oleh kaum

laki-laki saja. Sistem seperti ini sangat memberikan pengaruh cukup kuat dalam

hukum kewarisan mereka. Konsekwensi tersebut mempunyai dampak yang

buruk terhadap anak-anak laki-laki terlebih lagi bagi perempuan yang

I. Harta kekayaan yang terwujud yang dapat dinilai dengan uang tennasuk di dalamnya piutang

yang hendak ditagih

2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meningal dunia 3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri (lihat

(28)

senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif. Realitas demikian yang

direvisi bahkan dihapus oleh Islam.

Praktek demikian telah mendarah daging dalan1 masyarakat Arab

ketika itu. Bahkan hingga masa awal-awal Islam, kebiasaan tersebut masih

berlanjut. Satu ha! yang aneh bahwa yang diwariskan itu tidak hanya dalam

ha! harta peninggalan saja, melainkan juga istrinya asalkan istrinya itu

bukan ibu kandung dari anak yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan

kepada anak yang lahir di luar pernikahan.14

Pada saat itu ada seorang laki-laki bernama Mihsan Ibn Qais

al-Aslat ditinggal mati ayahnya, mendiang ayalmya meninggalkan istri yang

cantik yang secara otomatis menjadi janda. Dalarn pembagian warisan

janda tersebut tidak mendapat apa pun. Kemudian Mihsan pun berhasrat

untuk mengawini janda ayahnya itu, namun ibunya tidak segera memberi

jawaban lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin agar

diperkenankan kawin dengan Mihsan. Rasul tidak segera memberi

jawaban, kemudian turunlah firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa (4): 19

14 Ismuha,

Penggantian Ten1pat Da!a1n Hukun1 Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum

(29)

,,,

/

( \ セ@ : £ ONLwiIセ@

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita

dengan jalan paksa15 dan jangan/ah kamu menyusahkan mereka karena hendak

mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecua/i bi/a mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bi/a kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Tentu saja ayat di alas tidak dimaksudkan bahwa mengawini

janda-janda tersebut tidak dengan paksaan diperbolehkan Allah SWT dalam

ayatnya yang lain ditegaskan : 16

/ (. ) )

セ@

Lb

Lセi@

JL

li

L:

セi@

,w\

--:

,

•ti;

NZL⦅NHGセ@

G

i

:_

\Nセ@

セᆳ

u

;

;-

-

セfj@

·

c-

セ@

J

( rr : z

;.w1)

セNNZL@

;L..j

Qセᄋ。Zェ@

W

Artinya:

Dan janganlah ka111u kalvini 1-vanita-lvanita yang telah dikawini o/eh ayahn1u,

terkecuali pada masa yang telah iampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-burukjalan (yang ditempuh).

2. Hukum Kewarisan Masa Awai Islam

Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami

pernbahan. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada masa-masa awal Islam

prioritas utama ajaran-ajarannya yakni membina akidah atau keyakinan

15

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

16

(30)

bagi pemeluknya yaitu mentauhidkan Allah SWT Yang Maha Esa, Ini

dimaksudkan untuk mengoreksi keyakinan mereka (orang-orang Arab

Jahiliyyah) yang terseret ke dalam kepercayaan syirik atau menyutukan

Allah. Melihat realitas masyarakat yang belum siap itu, ayat-ayat yang mengatur tentang kewarisan belum cukup kuat dan tepat untuk diterapkan.

Salah satu strategi Islam tidak sekaligus dalam mengadakan

perubahan sosial masyarakat Arab Jahiliyyah, karena demikian sangat

menggoncangkan masyarakat, adapun dengan secara berangsur-angsur

(tadriji) saja Nabi Muhammad SAW masih banyak sekali mendapat

halangan dan rintangan.

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari firman

Tuhan dalam bentuk Al-Quran dan hadis nabi yang terdiri dari ucapan,

perbuatan, dan hal-hal yang didiamkannya. Dasar kewarisan itu ada yang

secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat bahkan hanya berisi

pokok-pokoknya saja.

Dengan demikian dasar-dasar yang dijadikan sebab dan faktor

mewarisi pada masa awal Islam adalah :

a. b. c. d. e. Al- Qarabah Al-HilfWal Mu'aqqadah At-Tabanny Hijrah Muakhah (Pertalian Kerabat) (Janji Selia)

(Adopsi atau Pengangkatan Anak)

(dari Makkah ke Madinah)

(Ikatan Persaudaraan antara golongan

(31)

Sebelum turunnya ayat Al-Quran yang mengatur pembagian

warisan, di Madinah telah meninggal seorang sahabat nabi dari golongan

Anshor, bernama Aus Bin Tsabit dan meninggalkan seorang isteri, empat

orang anak perempuan dan dua orang anak pamannya. Lalu anak pamannya

datang mengambil seluruh harta peninggalan Aus sebagai warisan, sesuai

hukum adat yang berlaku sebelum Islan1 datang.

Istri Aus merasa bahwa hukum tersebut tidak sesuai dengan prinsip

keadilan, maka kemudian dia datang menghadap Nabi Muhammad SAW

untuk mengadukan perihal tersebut. Lalu ia menjelaskan: "Ya Rasulullah !

suami saya bernama Aus telah meninggal dunia dan meninggalkan harta

warisan yang cukup banyak pula. Kemudian datanglah kedua anak

pamannya bernama Qatadah dan Afathah untuk mengambil seluruh harta

peninggalan dan ke empat anak perempuannya sama sekali tidak diberi

sedikit pun, sedangkan mereka masih tetap dalam pemeliharaan saya.

Kemudian Nabi bersabda: "Pulanglah dahulu, saya menunggu

sampai Allah memberi ketentuan mengenai mereka." Tak lama kemudian

turunlah firman Allah SWT dalam ayat QS al-Nisa ( 4 ): 7

Artinya:

(32)

Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telab mengubab hukum

waris yang berlaku pada sebelumnya yang menetapkan bahwa wanita dan

anak laki-laki yang masih kecil tidak menerima warisan. Kemudian pada

ayat-ayat berikutnya secara tadriji Allah menjelaskan dan menentukan

bagian-bagian serta keputusan lainnya.

Ketentuan tersebut merupakan landasan utama yang menunjukkan

bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama

. hak . 17

mempunym wans . Juga merupakan pengakuan Islam babwa

perempuan sebagai subyek lmkum yang mempunyai hak dan kewajiban.

Tidak demikian halnya, pada masa jabiliyab di mana wanita dipandang

sebagai obyek bagaikan benda biasa yang dapat diwm·iskan.

C. Sumber atau Dasar Hukum Kewarisan Islam

Ruang lingkup kewarisan Islam sangat jelas dasar hukumnya, maka

kemudian penulis merasa sangat perlu untuk mengupasnya. Dasar kewarisan

dalam Islam adalah :

1. Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia

menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan secara jelas dan rinci.

17

Anwar Sitompul, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum

(33)

Adapun ayat-ayat yang dijadikan sebagai dasar dari hukum kewarisan

dalam Islam, seperti QS al-Nisa (4): 11

c.,,,.,,_. J,- ,,"'t J}t,,, .,,,, ,,.... JJ ___ t }J-,.. & "',,.,,'?- J

ltl:,•<10_g\' '\·

'..U':J"-<''Ll\'".<'•L:,\;

·.:i

11·

MセL@

..-"'" · ..r

("+.!

0

-'.J

r-' ·-' r-' ·

;,i·

-'

'-1; L¢' Y- セMG@

( ' ' : £

;.w1)

セ@

1:.:c

0t?:&l01

"¥i

::._;

セN[LQス@

Artinya:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.

yaitu : bahagian seorang anak lelaki sa1na dengan bagahian dua orang anak perempuan;

dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh

separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-n1asingnya seperenarn dari

harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi o/eh ibu··bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di alas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang ruamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekar (banyak) manfaatnya bagimu. lni ada/ah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(34)

Artinya:

Dan baghnu (suan1i-suan1i) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterilnu, jika 1nereka tidak n1en1punyai anak. jika Jsteri-isterilnu itu 1nempunyai anak, Maka kan1u 1nendapat seperempal dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh

seperen1pat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak 1nernpunyai anak. jika katnu

niernpunyai anak, Maka para isteri me1nperoleh seperdelapan dari harta yang kan1u

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik !aki-!aki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara !aki-/aki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu !ebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat {kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.

Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 33 menerangkan:

QQNヲエセG@

.. f-=, ... ,\ } } .... .,t

I

-Artinya:

Bagi tiap-tiap harta peningga!an dari harta yang ditingga/kan ibu bapak dan

karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan Oika ada) orang-orang yang kamu

(35)

Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 176

( \Vi

Artinya:

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang ka/a/ah 18). Katakanlah: "Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia

tidak tnen1punyai anak dan me1npunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang

perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (se/uruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu duo orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan o/eh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki don perempuan, Maka bahagian seorang saudara-saudara laki-laki sebanyak bahagian duo orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

2. Sunnah atau Hadis

Imam al-Bukhari menghimpun hadis tentang kewarisan tidak

kurang dari empat puluh enam hadits dan Imam Muslim menyebut

hadits-hadits kewarisan kurang lebih dua puluh hadis. Namun pada bahasan kali

ini perincian hadits tersebut tidak akan dikutip semua, hanya yang pokok

(36)

saja yang akan dikemukakan, seperti hadis mengenai kewarisan yang

diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas RA19:

,.. ... ,, ,.. ,, ,.. ,.. ,.. ,.. J l>

(4.).y

セI@

⦅_セ@

セI@

J'/j..__j

セ@

Z[セエNZN⦅[@

セセ@

セ|セャャjNォャMQ@

"' "' ,.. ,, ... ,, ,.. ,,

Artinya:

"Berikan hart a pusaka kepada pemiliknya (orang yang menerima fardlu}. Sisa dari hartanya diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat kepada orang yang meninggal." (Muuafaq A/aihi}

Dali! di alas merupakan hadis shahih dan tidak diragukan

kedudukannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu 'Ala Ibnu Muhammad

dengan sanad dari Uhaib Ibnu Thowus dari bapaknya.

Artinya:

Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa nabi SAW bersabda: "Orang is/am tidak

rneivarisi orang kafir, den1ikian juga orang kajir tidak me1varisi orang isla1n. 11 (Muttafaq

Alaihi}20

"

HセIN@ . .U\) セlZj|@ o\JJ) セセ@ セ|セ|@

Artinya:

Dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dari nabi Muhammad SAW

telah bersabda: "Pen1bunuh itu tidak dapat 1neivarisi sesuatu pun dari yang terbunuh".

(HR. Nasai dan Daruquthni}21

19

Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al-Author, (Azhar, Maktabatul

Iman, t.th) Ji lid Ke-5, h. 60

20

Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajr Al-Asqalani, Bulug/111/ Maram, (Mesir, Dar al-Hadis, t.th) h.

162

21

(37)

Dari pengertian hadis pertarna dan kedua di atas, dapat dipaharni

bahwa pembagian warisan diserahkan terlebih dahulu kepada orang yang

berhak yaitu yang tergolong dalam Ashabul Furudh, sisanya kemudian

untuk Ashabah. Diketahui pula bahwa perbuatan waris mewarisi hanya

diperbolehkan bagi yang satu agarna (Islam), dan terakhir juga menjelaskan

tentang ahli waris yang tidak mendapatkan harta pusaka karena membunuh.

3. Ijma'

Yaitu kesepakatan para ularna atau para sahabat sepeninggal

Rasulullah SAW tentang ketentuan warisan yang dalam Al-Quran. Karena

telah disepakati oleh para sahabat dan ularna maka ijma' dijadikan sebagai

sumber dan referensi hukum. 22

4. Ijtihad

Y aitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan

ha!-hal pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Yang dimaksud

di sini adalah ijtihad dalam menerapkan istinbath hukum, bukan untuk

mengubah pemaharnan atau ketentuan yang sudah ada. Misalnya terhadap

masalah raad atau 'aul, di dalarnnya terdapat perbedaan pendapat yang

sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi'in atsu ularna.

22

(38)

D. Rukun, Syarat Dan Sebab-sebab Kewarisan

Agar pembagian warisan menjadi sah secara hukum maka harus

terdapat rukun dan syarat mewarisi. Rukun mewarisi adalah :

1. Muwarits, yaitu orang yang meninggal, atau disebut juga dengan pewaris.

2. Warits ( ahli waris ), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan pewaris

dengan suatu sebab menerima pusaka, seperti kekerabatan (hubungan

darah) dan perkawinan.

3. Muruts (harta atau pusaka) yakni harta dari orang yang meninggal.

Adapun syarat-syaratnya adalah :

I. Matinya Muwaris, Para ulama membedakan kepada tiga macam :

a. Mali Haqiqi, yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera.

b. Mali Hukmy, yaitu kematian berdasarkan vonis hakim karena alasan

kuat.

c. Mali Taqdiri, yaitu kematian yang berdasarkan dugaan keras seperti

kematian bayi dalam pemt ibunya karena minum racun atau pemukulan

terhadap ibunya.

2. Hidupnya ahli waris di saat kematian muwaris, ahli waris yang telah mati

disaat kematian muwaris tidak berhak menerima warisan. Karena dari segi

kecakapan hukum, orang yang mati tidak lagi menerima warisan tetapi

masih memiliki kewajiban seperti membayar hutang dari harta

(39)

3. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.23

Sedangkan yang menjadi penyebab terjadinya kewarisan antara lain :

I. Perkawinan yang sah.

2. Kekerabatan, yakni hubungan darah yang mengikat ahli warts dengan

muwar1s.

3. Wala' yaitu kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberikan)

hak budak.

E. Sebab-Sebab Atau Penghalang Tidak Menerima Warisan

Yang dimaksud penghalang di sini adalah suatu tindakan atau hal-hal

yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta pusaka. Adapun yang

menjadi penghalang untuk mendapat warisan yaitu :

I. Pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap bapalmya sendiri.

Perbuatan anak tersebut merupakan suatu tindakan makar pembunuhan

yang dapat menggugurkan haknya untuk mewarisi harta peninggalan

ayahnya, sekalipun telah memenuhi rukun dan syarat mewarisi.

2. Berlainan agama, yang menjadi penghalang adalah apabila antara ahli waris

dan muwarits berbeda agarna atau keyakinan.

(40)

F. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya

72

Seperti yang telah dibahas sebelumnya di antara salah satu faktor-faktor

yang dapat waris-mewarisi adalah ahli waris. Ahli waris yaitu orang yang

mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal dunia, dan berhak

menerima bagian dari warisan. Mengenai berapa besar ketentuan bagiannya

sudah ditetapkan dalam Al-Quran24• Antara lain:

1. Yang Mendapat Seperdua (112)

a. Anak perempuan tunggal, seperti dalam firman Allah SWT,

Artinya:

Jika anak peren1puan itu seorang saja, Maka ia me1nperoleh separo dari

hart a.

b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki ( diqiyaskan kepada anak

perempuan)

c. Saudara perempuan :

I) Saudara perempuan tunggal yang sekandung

2) Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara

perempuan yang sekandung tidak ada. Finnan Allah :

Artinya:

Dan bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya

24

(41)

d. Suami (duda)

Suami mendapat seperdua (setengah) apabila isterinya tidak

mempunyai anak atau cucu (laki atau perempuan) dari anak

laki-laki. Firman Allah SWT,

Artinya:

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingga/kan o/eh

isteri-isterimu, sjika 1nereka tidak 1nempunyai anak

2. Yang Mendapat Seperempat (1/4)

a. Suami, apabila isterinya ada dan terdapat anak atau cucu dari anak

laki-laki. Firman Allah,

Mセ@

,

セ@

セ@ セ[@

L__,<

k.

»t1\

セ@ セ|セ@

".I-

セ@ セiセ@

Lb ·

セ@

}.:-r'-' , . セ@

u--

J ,

c;..r

r - -

...\JJ セ@ (.) (.);

(\Y

:i/

セwiI@

... ___

ェN⦅セェヲセ@

セセ@

; ,

Artinya:

Jika isteri-isterin1u itu 1netnpunyai anak, Maka kamu 1nendapat seperempat

dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat a/au ( dan) seduah dibayar hutangnya

b. Isteri (seorang atau lebih), apabila suammya tidak mempunyai anak

atau cucu dari anak laki-laki. Finnan Allah,

Artinya:

"Para isteri memperoieh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu

(42)

3. Yang Mendapat Seperdelapan (118)

Isteri (seorang atau lebih), apabila suaminya mempunyai anak atau

cucu dari anak laki-laki. Firman Allah dalam QS al-Nisa 4:12,

Artinya:

".Jika kamu rnempunya; anak, Maka para isteri 1nen1peroleh seperdelapan dari harta yang kan1u tinggalkan 11

4. Yang Mendapat Dua Pertiga (2/3)

a. Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila ticlak acla anak laki-laki.

Finnan Allah clalam QS al-Nisa 4: 11,

Artinya:

" Maka jika anak itu semuanya perempuan !ebih dari dua, Maka bagi

mereka dua pertiga dari harta yang ditingga!kan"

b. Dua orang cucu perempuan atau lebih clari anak laki-laki, apabila anak

perempuan ticlak acla (cliqiyaskan kepacla anak perempuan)

c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak

(sekanclung). Firman Allah QS. al-Nisa 4: 176) :

Artinya:

"Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditingga!kan o/eh yang meninggal.

cl. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (Surat. An Nisa

(43)

5. Yang Mendapat Sepertiga (1/3)

a. Ibu, apabila anak yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu

(dari laki-laki) atau dia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau

perempuan) yang sebapak atau seibu (sekandung). Firman Allah QS.

al-Nisa (4):11:

Artinya:

"Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi a/eh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenan1

b. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

Firman Allah SWT QS al-Nisa (4):12:

セ@ # - / J ? J." _, ,- ? t G } / ,

-セi@

J

:lb:._r:.,

セ@

jャャᄋセ@

セ@

J.-f=I lylb:.

Pセ@

(f: |セ|NwiI@

Artinya:

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu /ebih dari seorang, Maka mereka

bersekutu da/a111 yang seperliga itu

Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan saudara seibu, akan tetapi

maksudnya untuk saudara seibu, sebab mengenai saudara sekandung dan

(44)

6. Yang Mendapat Seperenam (1/6)

a. Ibu, apabila anaknya meningal itu tidak mempunyai anak atau cucu

(laki-laki) atau saudara (laki-laki dan perempuan) yang sebapak dan

seibu (sekandung). Firman Allah SWT QS. al-Nisa 4: 11,

»"' J." .... セ@ ",,." -t J J, tt'"" "'.,,,. "'1<1 .,. ,,.1.

:.Uj

,4.J

(JD

ul

-

2.J_;

セ@ l.)"'..._.:....i

4:?

セj@ U"-;'. セyNセj@

, ,

(f:\ |OセwiI@

Artinya:

"Dan untuk dua orang ibu bapak bagi rnasing-rnasingnya seperenam dari

hart a yang dili11ggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak

b. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu

(laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki

c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), apabila ibu tidak ada, ha! ini

karena berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Zaid, beliau

berkata:

Artinya:

"Sesungguhnya Nabi saw re/ah menetapkan bagian nenek seperenam (116) bagian dari harta warisan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi kecua/i an-Nasai).

d. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki, apabila orang

yang meninggal mempunyai anak tunggal, akan tetapi apabila anak

perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak

(45)

Artinya:

11Nabi telah men-1berikan seperenan1 bagian unruk cucu perernpuan dari anak

/aki-laki, serta ( ada) anak perempuan." (HR. Bukhari)

e. Kakek (datuk), apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau

cucu ( dari anak laki-laki) sedang bapaknya tidak ada.

f. Saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

g. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih), apabila

saudaranya yang meninggal mempunyai seorang saudara.

G. Asas-asas dan Prinsip Kewarisan Dalam Islam

Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu

yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan

seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.25

Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan

hadits, antara lain :

1. Asas Ijbari

Asas ini dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan

harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan

sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak

pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari: compulsory) dalam

25 Keputusan Seminar Hukum Waris Islam yang diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan

(46)

hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidal

boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai

deanganjumlah yang telah ditentukan oleh Allah.26

Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari:

a. Segi peralihan harta

b. Segi jumlah pembagian

c. Segi kepada siapa harta itu beralih

Asas ijbari ini dapat dilihat pada Kompilasi Hukum Islam (KI-II)

dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 171 huruf a sampai f, Bab II

tentang ahli waris pasal 172 sampai 175 dan Bab III tentang besarnya

bagian pasal 17 6 sampai 179.

2. Asas Bilateral

Asas ini yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua

belah pihak baik keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat

dilihat dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 surat

tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan berhak

mendapat warisan dari orang tuanya secara bilateral. Asas bilateral dapat

dilihat dalam KHI pada pasal 174, Bab III tentang besamya bagian, pasal

176-191, dan bab IV tentang Aul dan Rad pasal 192 dan 193.

26

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar !/mu Hukum dan Tata Hukum Islam di

(47)

3. Asas Individual

Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada

masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam

pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalan1 nilai tertentu yang

kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak sesuai kadar

masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang

diperolehnya tanpa terikat kepada ahli waris lain, karena bagian-bagiarmya

sudah ditentukan.

4. Asas

k・。、ゥャ。セョァ@

Berimbang

Asas ini beraiti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak

dan kewajiban, baik hak yang diperoleh dengan kewajiban yai1g harus

ditunaikarmya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yai1g

sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya (kelak) dalm keluarga dan

masyarakat. Dalfilll sistem kewarisan Islfilll, haita peninggalan yang

diterima oleh ahli waris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab

pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang

diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan

tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.

KHI merumuskannya dalam pas al 183, yaitu : para ahli waris dapat

bersepakat melakukan perdamaian dalan1 pembagian ha1ta warisan setelah

(48)

5. Asas Akibat Kematian

Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian

seseorang. Menurut ketentuan hukum Islam, peralihan harta seseorang

kepada orang lain disebut dengan kewarisan, terjadi setelah orang yang

mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak dapat

beralih kepada orang lain selama ia masih hidup sedangkan dalam KHI

merumuskannya dalam pasal 211, yaitu : peralihan harta dengan jalan hibah

dapat diperhitungkan sebagai warisan.

6. Asas Hajib Mahjub

Hajib dan Mahjub berarti orang yang menjadi penghalang dan

terhalangi. Dalam hukum kewarisan Islam, tidak semua ahli waris

mendapat bagian dari harta peninggalan, karena penentuannya berdasarkan

orang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Dalam KHI pasal 174

ayat (2) disebutkan : apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak

mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Yang dimaksud semua ahli waris yaitu pertarna, golongan laki-laki

terdiri dari : ayah, anak dan saudara laki-laki, paman dan kakek. Kedua,

golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak dan saudara perempuan dan

nenek. Dari golongan laki-laki, saudara terhalang oleh ayah. Dari golongan

perempuan saudara perempuan terhalang oleh anak dan ayah, nenek

(49)

7. Asas Kesamaan Agama

Beragama Islam merupakan dasar yang menjadikan seseorang dapat

saling waris mewarisi. Dalam KHI dirumuskan pada pasal 171 huruf b :

"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan

pengadilan beragama Islam, meninggalkan al1li waris, dan harta

peninggalan". Huruf c : "ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal

dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi

ahli waris".

Ditinjau dari sudut ekonomi pembagian warisan mempunyai fungsi

guna menyalurkan hmta kekayaan dari penumpukkan pada diri seseorang.

Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Abdul

Qadir Jaelani menyatakan perbedaan zakat dengan warisan yang

menyatakan:27

"Apabila pada zakat terjadi pembagian kernbali kekayaan antm·a

generasi sekarang, maka pada harta warisan pembagian kembali kekayaan

antara generasi yang pergi dengan yang ada sekarang"

Ketentuan kewarisan dalam Islam tidak dibatasi pada kelompok

kecil saja, menurut Mustafa Husni as-Siba'i tujuan Islam dalam

memperbanyak ahli waris agar harta warisan itu tidak te1timbun oleh

27

(50)

beberapa tangan saja, melainkan terpencar-pencar dan terbagi secara

merata28. Dengan demikian Islam menentukan beberapa prinsip pembagian

warisan (pusaka) seperti halnya yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut:29

a. Adanya hubungan kekeluargaan dan perkawinan. Hubungan

kekeluaraaan mencakup hubungan karena kelahiran, dan hubungan

persaudaraan yang mencakup aspek yaitu saudara sebapak dan seibu,

saudara sebapak saja dan saudara seibu saja, sedangkan hubungan

perkawinan mencakup suan1i dan isteri.

b. Meniadakan pembedaan sifat laki-laki dan wanita se11a besar kecilnya

dalam ahli waris.

c. Bapak dan anak tidak terhalang oleh siapa pw1 dalam pembagian

warisan, meski jumlah bagian yang bakal diperolehnya sangat

tergantung oleh ahli waris yang lain.

d. Saudara laki-laki dan perempuan tidak memperoleh bagian (hak)

selama masih ada bapak dan ibu.

e. Jika ahli waris itu terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka golongan

laki-laki menerima dua kali bagian wanita.

28

Mustafa Husni as-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam (Bandung, Diponegoro, 1981), h. 161

29

(51)

A. Pengertian Hokum Kewarisau Adat Sunda

Daerah Kuningan merupakan salah satu dari wilayah Jawa Barat yang

hingga kini masih kental nuansa agamis khususnya dalam masalah kewarisan.

Hal ini mengingat adat atau tradisi di daerah ini sudah terpatri sejak sebelum

Islam masuk ke wilayah tersebut tepatnya 3500 SM.1

Sebelum Islam datang, masyarakat Kuningan menganut agama Hindu

dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang

terkenal dengan nama "Padjadjaran". Seluruh Jawa Barnt termasuk Cirebon

pada tahun 1389 M masuk bagian dari kerajaan Pajajaran. Kata sunda sendiri

memiliki arti aneka ragam, antara lain jamal, indah, atau elok. Lambat laun

kata ini selain itu sebagai salah satu suku atau bahasa di Jawa Barat.2

Mengingat hampir seluruh warga Kuningan adalah mayoritas islam

yang sangat taat pada ajaran agamanya. Sehingga hal ini membuat kuatnya

pengaruh islam yang ditunjukkan dengan kentalnya pengaruh Islam dalam

kehidupan sehari-hari. Berbagai ritual agama penting menjadi kewajiban yang

1Sejarah Ringkas Kabupalen Daerah TK. fl Kuningan, (Kuningan, Dinas Pariwisata

Daerah, 2000), h. 1

2

(52)

tidak dilepaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat setempat, seperti selametan,

muharraman, mauludan dan sebagainya.3

Dalam hal kewarisan pun yang mana berkenaan dengan harta

peninggalan, secara adat masih berlaku hingga kini. Menurut istilah adat sunda

yang dikemukakan oleh Saini KM, hukum waris ialah peraturan hukurn yang

mengatur pemindahan hak milik barang-barang, harta benda dari generasi yang

berangsur mati (generasi tua) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih

hidup, baik dari bapak kepada anak, dari anak kepada cu cu dan seterusnya. 4

B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda

Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan adat Sunda, berarti tidak

lepas dari kehidupan keagamaan orang Sunda. Mayoritas agama yang dipeluk

masyarakat Sunda adalah agama Islam, sehingga kepercayaan, sejarah dan

ajarannya tidak bisa dilepaskan antara keduanya.

Dalam pengertian antropologi, agama sebagai bagian dari kebudayaan.

Kehidupan agama tersebut juga tampak amat kuat bagi orang Sunda. Apabila

kita pelajari tahap-tahap lingkaran hidupnya dari sejak masa kelahiran,

memotong rambut, perkawinannya, sampai meninggalnya tentu saj

Referensi

Dokumen terkait

Sedangankan Tabel VI, dapat disimpulakn bahwa pengaruh interaksi Z*X 2 terhadap Y hasilnya adalah negatif yang berarti bahwa moderasi dari pengawasan kerja memperlemah

Hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan : 1) Kelompok nelayan Malos 3 merupakan kelompok nelayan yang memiliki aktivitas menangkap ikan dengan bebagai jenis alat tangkap,

Dewi Lestari, 2016, Pengaruh Kepemimpinan Komunikasi Lingkungan Kerja Dan Kompensasi Terhadap Semangat Kerja Karyawan KJKS BMT Tumang Boyolali, Jurnal Publikasi,

Atau, 10 butir cengkeh disangrai sampai halus, lalu digiling halus, dimasukkan pada lubang gigi secukupnya, lalu ditutup dengan kapas. Lakukan dua

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, atas segala kasih karunia Nya, sehingga tesis yang berjudul: PENGARUH KEPERCAYAAN DAN KEPUASAN NASABAH

Penggunaan Media Pembelajaran Fisika dengan E-Learning Berbasis Edmodo Blog Education pada Materi Alat Optik untuk Meningkatkan Respons Motivasi dan Hasil Belajar

“Iya Rizki, nanti Ibu juga akan menambahkan kata-kata lain yang khas Surabaya dan membedakan dengan bahasa Jawa pada umumnya,” tambah Ibu..

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul