• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan uang paksa (dwangsom) dalam perkara hadhanah (analisis putusan perkara nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan uang paksa (dwangsom) dalam perkara hadhanah (analisis putusan perkara nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA NIM : 108044100080

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).

Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.

Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan

hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah.

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah, sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom. Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1)

dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.

Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama Makasar.

(6)

v

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini

dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;

Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,

semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari

berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan

sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.

2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang

telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan.

5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai.

6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud

(7)

vi Sukarmi yang selalu memberi doa.

7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM

Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur

Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby

Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak

terlupakan.

8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath

2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan

penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik

demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 19 Maret 2015 Penulis

(8)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Study Review... ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

G. Teknik Penulisan ... 11

H. Sistematika Penulisan ... . 11

BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA HADHANAH ... 13

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ... 13

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ... 15

(9)

B. Struktur Organisasi Pengadilan ... 36

C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar ... 37

BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA PERKARA HADHONAH (analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 43

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ... 43

B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom) ... 52

C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ... 56

D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 57

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran-saran ... 68

(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat

Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober

2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk

membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1

Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan

pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah

eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang

berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan

hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah

tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada

tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap

orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada

1

(11)

maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang

memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan

hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak

yang putusannya bersifat comdennatoir.

Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu

justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan,

sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih

sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2

Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan

Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan

(zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini

tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman

sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga

dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi

lain.3

Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim

dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal

2

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34

3

(12)

wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada

pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak

tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau

hukuman pokok.4

Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah

uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia

memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu

yang telah ditentukan.

Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal

yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari

dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5

Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena

bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan

perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri

atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok.

Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok

4

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71.

5

(13)

tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok.

Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini

dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya

akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi

hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan

tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana

mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala

tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom

sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom

tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat

melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya

dwangsom.

Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom

dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar

yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini

kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6

6

(14)

Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom

yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami

eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia.

Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom

dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus

dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan

kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir

menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7

Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik

untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa

dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul:

Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”

7

(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam

perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih

banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari

permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan

pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya

pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

2. Perumusan Masalah

Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan

banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan

putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi

tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan

unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan

eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga

terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor

2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara

(16)

dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)? b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)?

c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:

1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom).

2. Untuk mengetahui Apa saja Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa

(dwangsom).

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

D. Review Study

1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang,

oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014.

2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Timur (Putusan Nomor: 377/Pdt.G/2006/PAJT) oleh: Hadi

(17)

3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun

2009.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini

para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata.

b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal

Hukum Acara Perdata.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan

penelitian yang serupa di masa mendatang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas

mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom).

b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas

(18)

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi

ini, maka Penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.8

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,

literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini

menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini

beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang

didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan

asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

8

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

9

(19)

2. Sumber Hukum

Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum

Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan

hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari

buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus

hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode

dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip,

buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan

sebagainya.12

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan

dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.

11

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29.

12

(20)

untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya

merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan

perundang-undangan.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

G. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu,

(21)

Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang Paksa

(dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang

Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.

Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan

Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi

Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang

Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum

Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori

Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan

Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).

Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis

(22)

13

VERKOOP) HADHANAH

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom)

Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan

kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara

untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial

dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana

pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang yang melakukan kesalahan.

Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang

paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan

kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya

komdemnatoir.1

Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan

uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan

1

(23)

hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan

apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2

Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan:

Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.3

Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia

lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis

yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang

paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau

para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan

agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan

melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4

Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan

dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam

2

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70.

3

Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17.

4

Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71.

(24)

sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap.

Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut:5

1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi;

2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh

hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat dijalankan eksekusi;

3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum

tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom)

Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara

perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya

suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim

5

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230.

6

(25)

agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan

dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan

oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk

mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa

(dwangsom).

Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan

kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim

hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya

apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan

psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi

hukuman pokoknya.7

Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman

untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini

tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang.

Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu:8

7

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.

8

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di

(26)

1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan

2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld).

Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;

2. Berlakunya dwangsom;

3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom.

Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom

yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan

melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,

sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.

Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang

telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu

jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun

jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan

hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh

mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata

adanya ketidak-mungkinan tersebut.9 Ternyata undang-undang tidak

menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari

hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua

kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:

9

Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di

(27)

1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik;

2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Menurut Fiqh

Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,

hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan

sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia

mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan

sayapnya).10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak,

dada, serta pinggulnya.11

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.12Hadhanahjuga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan

mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan

10

Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 296.

11

Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339.

12

(28)

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13

Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang

berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang

meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk

melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat

merusaknya.14

Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15

Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya,

pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang

membinasakannya atau membahayakannya.16

Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa

terminologis diantaranya:

13

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 293.

14

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67.

15

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287.

16

(29)

a. Menurut Sayyid Sabiq:17

Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.

b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18

Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus

urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan

tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah

17

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.

18

(30)

menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum

sanggup mengatur sendiri.19

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila

nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.20

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak

mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja

mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu

kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam,

yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.21

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak,

anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22

1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.

2) Hak anak dalam kesucian keturunannya.

3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik.

4) Hak anak dalam menerima susuan.

19

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.

20

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.

21

Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.

22

(31)

5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi

kelangsungan hidupnya.

7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara

khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun

1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah

diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI,

masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23

2. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab

XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang

Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati

dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai

siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di

bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya.

23

(32)

Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di

bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak

membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut

besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak mereka itu.24

Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang

Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua

Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa

selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak

dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau

pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang,

bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam

keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam

hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak

berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai

dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang

Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.25

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama

24

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72.

25

(33)

sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi

hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan

memelihara anak.26

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam

pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan

perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua

atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur,

Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan

melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu

dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan

putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas

mereka dari kekuasaan orang tua.27

Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua

atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah

dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau

berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara

atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang

tua baik dari ibu maupun ayah.

26

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211.

27

(34)

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang

Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata,

“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”.

Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil

meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam

tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas

perkawinan yang sah.28

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan

rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum

pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak

(hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim

di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan

hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan

28

(35)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,

masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan

seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana

dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;

(2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui

anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh

seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal

yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal

pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab

pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.

Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab

29

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429.

30

(36)

material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan

sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai

dengan keyakinannya.31 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105

menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu

(1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai

pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh

ayahnya.32

Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua

dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila

kepentingan anak itu menghendakinya.33

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

31

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149.

32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.

33

(37)

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.34

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum

mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut

tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun

mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa

suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala

kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.

Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi

beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar

menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat

dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau

tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik

anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan

Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat

34

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.

35

(38)

melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk

sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang

melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si

orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali,

boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan

waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu

yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi

segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang

seharusnya memberikan contoh yang baik.36

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di

atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan

kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya

ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan,

pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak

di dalam dan di luar pengadilan.37 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak

melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang

mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan

Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

36

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.

37

(39)

biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun

kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38

4. Dasar Hukum Hadhanah

Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang

lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena

apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan

mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,

sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia

juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat

merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:

a. Al-Qur’an

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223:

 tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu

38

(40)

dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara

anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan

bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan

mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun

apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh

mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan

syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu

sendiri.39

b. As-Sunnah

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40

39

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.

40

(41)

.

Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.

Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak

selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena

mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih

mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih

besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada

bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan

anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah

menjadi hilang.41

41

(42)

33 A. Histori Pembentukan Pengadilan

1. Masa Sebelum Penjajahan

Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan

Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana

kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya

disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1

Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai

agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa

Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti

pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan

keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan

perkara-perkara kewarisan.

Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul

Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan

pernikahan.

2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak

mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan

1

(43)

oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan

tetap ditangani oleh Parewa Syara’.

3. Masa Kemerdekaan

Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah

No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah

Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan

Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri

Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah

Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah

hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

Timur, Maluku dan Irian Jaya.2

4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974

Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif

pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9

tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur

dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara

saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang.

5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi

dua Pengadilan Tinggi Agama, yakni Pengadilan Tinggi Agama

Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan

2

(44)

undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang

hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama

Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara.

6. Masa Sekarang

Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota

Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama

Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan

pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di

bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI

Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan

Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,

dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23

Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama

RI.3

Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk

propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah

kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan

Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi

wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.

3

(45)
(46)

C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar

Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut

perkara-perkara:4

1. Perkawinan;

2. Waris;

3. Wasiat;

4. Hibah;

5. Wakaf;

6. Zakat;

7. Infaq;

8. Shadaqah; dan

9. Ekonomi Syari’ah.

Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang

mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar

Pengadilan.

4

(47)

Fungsi:

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai

fungsi sebagai berikut :5

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.

2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan

administrasi peradilan lainnya.

3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam

pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana

diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim,

Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.

5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan

Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan

sewajarnya.

6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan

Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.

7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan

sebagainya.

Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di

5

(48)

tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta

waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur

dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.

Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu :

1. Kewenangan relatif

Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu

pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat

banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah

meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang

satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan

pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara

Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara

Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.

Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,

sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat

pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan,

Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan

peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6

6

(49)

2. Kewenangan absolut

Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan

pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan

atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau

jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan

agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam

sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum.

Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam

tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama

atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke

pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi

sebagai berikut :

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan

Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006).

2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik

7

(50)

menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi

umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide :

Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor

KMA/080/VIII/2006).

3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera

Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar

peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53

ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap

pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide:

KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide

: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).

5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan

umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

6. Fungsi Lainnya :

a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan

instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain

(51)

b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya

serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era

keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007

tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8

8

(52)

43

PADA PERKARA HADHANAH

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom)

1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan Putusan Hakim

Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen

Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal

dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam

Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal

tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama

bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun

sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya

dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom

yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan

dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan

peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah

tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan

Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di

1

(53)

Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2

Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku

lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951

karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan

berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan

resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk

daerah lainnya di Indonesia3.

Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor:

19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya

HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan

tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan

RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka

seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan

mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan

tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom

ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum.

Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv

tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan

2

Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11.

3

(54)

sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk

menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan

beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung

berkaitan dengan hal ini.

Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa

meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi

karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat

melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta

oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan

Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg

melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila

benar-benar dirasakan perlu dalamperkara perdata dapat digunakan peraturan

lain seperti Rv.5

Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah

Agung) bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman

hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan

tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik

peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan

hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga

4

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50

5

Referensi

Dokumen terkait

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang nampak dalam suatu gejala pada objek penelitian. Teknik ini

Hasil penelitian ini didukung teori yang dikemukakan oleh Buchari (2000), dimana Buchari mengatakan bahwa dengan adanya strategi yang baik terhadap bauran pemasaran seperti

Meningkatkan Kualitas Pelayanan Internet Speedy dalam Memuaskan Pelanggan.. Penyediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas

menunjukan bahwa aplikasi layanan- layanan yang umum digunakan dapat berjalan dengan baik pada protocol IPv6 maupun IPv4 sehingga dalam masa transisi nantinya aplikasi

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dampak dari adanya klinik wirausaha yang dibentuk di UPBJJ-UT Bogor terhadap kualitas karya ilmiah dan pertumbuhan semangat

Dengan adanya kegiatan penelitian oleh mahasiswa, maka G.I Palur dapat mengambil manfaat yaitu dapat digunakan sebagai pertimbangan oleh pimpinan yang

Pada dasarnya, kesulitan mahasiswa di Universitas Terbuka, baik di Jakarta maupun mahasiswa yang berdomisili di luar negeri adalah ketika registrasi, kesulitan ini