SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA NIM : 108044100080
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGAFAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
iv
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).
Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.
Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan
hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah, sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom. Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1)
dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama Makasar.
v
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;
Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari
berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.
2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang
telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan.
5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai.
6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud
vi Sukarmi yang selalu memberi doa.
7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM
Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur
Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby
Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak
terlupakan.
8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath
2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan
penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Jakarta, 19 Maret 2015 Penulis
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Study Review... ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
F. Metode Penelitian ... 9
G. Teknik Penulisan ... 11
H. Sistematika Penulisan ... . 11
BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA HADHANAH ... 13
A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ... 13
B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ... 15
B. Struktur Organisasi Pengadilan ... 36
C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar ... 37
BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA PERKARA HADHONAH (analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 43
A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ... 43
B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom) ... 52
C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ... 56
D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ... 57
BAB V PENUTUP ... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran-saran ... 68
1 A. Latar Belakang Masalah
Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober
2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk
membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1
Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan
pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah
eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang
berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan
hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah
tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada
tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap
orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada
1
maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang
memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan
hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak
yang putusannya bersifat comdennatoir.
Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu
justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan,
sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih
sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2
Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan
Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan
(zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini
tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman
sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga
dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi
lain.3
Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim
dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal
2
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34
3
wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada
pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak
tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau
hukuman pokok.4
Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah
uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia
memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu
yang telah ditentukan.
Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal
yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari
dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5
Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena
bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan
perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri
atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok.
Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok
4
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71.
5
tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok.
Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini
dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya
akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi
hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan
tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana
mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala
tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom
sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom
tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat
melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya
dwangsom.
Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom
dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar
yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini
kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6
6
Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom
yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami
eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia.
Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom
dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus
dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan
kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir
menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7
Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa
dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul:
“Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam
perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih
banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari
permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan
pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya
pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
2. Perumusan Masalah
Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan
banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan
putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi
tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan
unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan
eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga
terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor
2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara
dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)? b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa
(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:
1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom).
2. Untuk mengetahui Apa saja Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa
(dwangsom).
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa
(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
D. Review Study
1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang,
oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014.
2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Timur (Putusan Nomor: 377/Pdt.G/2006/PAJT) oleh: Hadi
3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun
2009.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini
para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata.
b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal
Hukum Acara Perdata.
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan
penelitian yang serupa di masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom).
b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka Penulis menggunakan metode:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.8
b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,
literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang
didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
9
2. Sumber Hukum
Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum
Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari
buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode
dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan
sebagainya.12
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29.
12
untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan
perundang-undangan.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
G. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu,
Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang Paksa
(dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang
Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.
Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan
Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi
Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang
Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum
Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori
Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).
Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis
13
VERKOOP) HADHANAH
A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom)
Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan
kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara
untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial
dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana
pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang yang melakukan kesalahan.
Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang
paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan
kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya
komdemnatoir.1
Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan
uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan
1
hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan
apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2
Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan:
Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.3
Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia
lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis
yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang
paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau
para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan
agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan
melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4
Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan
dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam
2
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70.
3
Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17.
4
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71.
sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut:5
1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi;
2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh
hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat dijalankan eksekusi;
3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum
tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.
B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom)
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara
perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya
suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230.
6
agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan
dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan
oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk
mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa
(dwangsom).
Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan
kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim
hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya
apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan
psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi
hukuman pokoknya.7
Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman
untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini
tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang.
Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu:8
7
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
8
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan
2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld).
Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;
2. Berlakunya dwangsom;
3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom.
Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom
yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan
melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,
sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.
Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang
telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu
jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun
jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan
hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh
mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata
adanya ketidak-mungkinan tersebut.9 Ternyata undang-undang tidak
menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari
hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua
kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:
9
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik;
2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.
C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif 1. Menurut Fiqh
Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,
hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan
sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia
mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan
sayapnya).10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak,
dada, serta pinggulnya.11
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.12Hadhanahjuga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan
mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan
10
Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 296.
11
Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339.
12
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13
Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang
berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang
meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk
melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat
merusaknya.14
Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15
Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya,
pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang
membinasakannya atau membahayakannya.16
Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa
terminologis diantaranya:
13
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 293.
14
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287.
16
a. Menurut Sayyid Sabiq:17
Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.
b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18
Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus
urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan
tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
18
menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum
sanggup mengatur sendiri.19
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila
nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.20
Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak
mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja
mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu
kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam,
yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.21
Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak,
anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22
1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.
2) Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik.
4) Hak anak dalam menerima susuan.
19
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.
20
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.
21
Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.
22
5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi
kelangsungan hidupnya.
7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara
khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun
1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah
diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI,
masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23
2. Menurut Hukum Perdata
Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab
XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang
Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati
dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai
siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di
bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya.
23
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di
bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak
membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut
besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak mereka itu.24
Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua
Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa
selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak
dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau
pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang,
bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam
keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam
hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak
berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai
dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.25
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama
24
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72.
25
sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi
hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan
memelihara anak.26
Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam
pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan
perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua
atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur,
Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan
melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu
dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan
putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas
mereka dari kekuasaan orang tua.27
Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua
atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah
dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau
berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara
atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang
tua baik dari ibu maupun ayah.
26
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211.
27
Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang
Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,
“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”.
Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil
meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam
tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas
perkawinan yang sah.28
3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan
rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum
pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak
(hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim
di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan
hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan
28
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,
masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan
seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;
(2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui
anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh
seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal
yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal
pemeliharaan anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab
pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.
Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab
29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429.
30
material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan
sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai
dengan keyakinannya.31 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.32
Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua
dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.33
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
31
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149.
32
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.
33
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.34
Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut
tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun
mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa
suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala
kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.
Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi
beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar
menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat
dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau
tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik
anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan
Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat
34
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.
35
melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk
sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang
melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si
orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali,
boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan
waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu
yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi
segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik.36
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di
atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan
kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya
ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan,
pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak
di dalam dan di luar pengadilan.37 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak
melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang
mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
36
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.
37
biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun
kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38
4. Dasar Hukum Hadhanah
Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang
lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena
apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,
sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia
juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat
merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:
a. Al-Qur’an
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223:
tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
38
dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara
anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan
bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan
mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun
apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh
mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan
syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu
sendiri.39
b. As-Sunnah
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40
39
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
40
.
Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.
Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak
selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena
mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih
mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih
besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada
bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan
anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah
menjadi hilang.41
41
33 A. Histori Pembentukan Pengadilan
1. Masa Sebelum Penjajahan
Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan
Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana
kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya
disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1
Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai
agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa
Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti
pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan
keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan.
Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul
Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan
pernikahan.
2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak
mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan
1
oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan
tetap ditangani oleh Parewa Syara’.
3. Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah
Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan
Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri
Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah
Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah
hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku dan Irian Jaya.2
4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974
Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9
tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur
dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara
saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang.
5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi
dua Pengadilan Tinggi Agama, yakni Pengadilan Tinggi Agama
Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan
2
undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang
hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama
Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara.
6. Masa Sekarang
Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota
Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama
Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan
pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di
bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan
Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23
Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama
RI.3
Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk
propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah
kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan
Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi
wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.
3
C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut
perkara-perkara:4
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqah; dan
9. Ekonomi Syari’ah.
Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan.
4
Fungsi:
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai
fungsi sebagai berikut :5
1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.
2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan
administrasi peradilan lainnya.
3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam
pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana
diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim,
Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.
5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan
Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan
Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.
7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan
sebagainya.
Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
5
tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta
waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur
dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu :
1. Kewenangan relatif
Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah
meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang
satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan
pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara
Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara
Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,
sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat
pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan
peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6
6
2. Kewenangan absolut
Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan
agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum.
Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam
tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama
atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke
pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi
sebagai berikut :
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
7
menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide :
Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap
pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide:
KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide
: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :
a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain
b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8
8
43
PADA PERKARA HADHANAH
A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom)
1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan Putusan Hakim
Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal
dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam
Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal
tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama
bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun
sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya
dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom
yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan
dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan
peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah
tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan
Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di
1
Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2
Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku
lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951
karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan
berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan
resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk
daerah lainnya di Indonesia3.
Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor:
19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya
HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan
tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan
RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka
seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan
mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan
tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom
ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum.
Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv
tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan
2
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11.
3
sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan
beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung
berkaitan dengan hal ini.
Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa
meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi
karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat
melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta
oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan
Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg
melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila
benar-benar dirasakan perlu dalamperkara perdata dapat digunakan peraturan
lain seperti Rv.5
Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah
Agung) bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman
hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan
tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik
peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan
hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga
4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50
5