• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Daya dan Heat Stress pada Metode Efesiensi Sel Surya Sebagai Energi Alternatif Ramah Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Daya dan Heat Stress pada Metode Efesiensi Sel Surya Sebagai Energi Alternatif Ramah Lingkungan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA METODE

EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI ENERGI

ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

TESIS

Oleh

AL FATTAH FAISAL M

067031001/MKLI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA

METODE EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI

ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Dalam Program

Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AL FATTAH FAISAL M

067031001/MKLI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISA DAYA DAN HEAT STRESS PADA

METODE EFESIENSI SEL SURYA SEBAGAI

ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN Nama Mahasiswa : Al Fattah Faisal M

Nomor Pokok : 067031001

Program Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc) (Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS) (Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah di uji pada :

Tanggal : 22 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc Anggota : 1. Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2008

(6)

ABSTRAK

Salah satu energi alternatif yang tidak menimbulkan polutan adalah pemberdayaan energi cahaya matahari dengan menggunakan panel sel surya. Telah dilakukan penelitian untuk mengoptimalkan efesiensi kemampuan sel surya dengan menggunakan lensa konvergen berkekuatan 10 dioptri dan 20 dioptri. Metode yang digunakan pada penelitian ini bersifat eksperimental dengan dua tahap. Pada tahap pertama, menganalisa pengaruh jarak sumber cahaya terhadap daya keluaran sel surya, kemudian intensitas cahaya dari sumber akan di lewatkan pada suatu lensa konvergen untuk di fokuskan ke permukaan sel surya. Dengan melakukan variasi jarak antara sumber cahaya, lensa dan sel surya akan di ketahui daya-daya maksimum yang di hasilkan. Kemudian, dilakukan pengukuran Heat Stress dengan parameter Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) terhadap daya-daya maksimum yang dihasilkan sel surya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efek Heat Stress yang dapat ditimbulkan oleh sel surya akibat energi panas yang diterima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan lensa 20 dioptri, sumber cahaya 100 W yang merupakan daya keluaran maksimum dan mampu memberikan daya keluaran maksimal 2,35 kali lebih besar dibandingkan daya awal. Juga menghasilkan daya efek (Pt) maksimum sebesar 2,23 W dengan nilai ISBB yang di hasilkan maksimal 27,3 ºC dari keadaan normal 25,7 ºC. Hasil analisa statistik dengan uji korelasi membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak sumber cahaya dan sel surya dengan ISBB (nilai p =0,001). Jarak 150 cm dari sumber cahaya di rekomendasikan karena dapat mengurangi indeks heat stress.

(7)

ABSTRACT

One of the alternative energies which does not to generates pollutant is enableness of sun light energy by using solar cell panel. Research to optimize of efficient ability of solar cell have been developed by using convergent lens with power of 10 and 20 dioptri. Thea methode appllied of this research have the character of experimental with 2 phases. At first phase, analyses of light source distance influence to solar cell output power, then light intensity of source will be passed through a certain convergent lens to be focused on surface solar cell. By doing the variation of distance between light source, lens and solar cell will be known maximum output powers. Then, done measurement of Heat Stress with Wet Bulb Globe Temperature (WBGT) index to maximum output power with yielded by solar cell. This matter is performed to know Heat Stress effect which can be generated by solar cell as result of thermal energy which accepted. The experimental result found that, the usage of lens 20 dioptri, light source 100 W, with are maximum output power and can supply maximum output power more than 2.35 bigger times. Also yields effect power (Pt) maximum 2.23 W with WBGT maximum value is 27.3 ºC from normal condition 25.7 ºC. Result of statistical analysis with correlation test proves that is relationship of significant between light source distance to solar cell with WBGT (p value = 0.001). For the distance 150 cm from light source is recommended by can lessen WBGT index.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul Analisa

Daya Dan Heat Stress Pada Metode Efisiensi Sel Surya Sebagai Energi Alternatif

Ramah Lingungan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata-2

pada Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Sekolah Pasca

Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini ucapan terima kasih saya

sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. dr. Chairuddin P Lubis, DTM & H. Sp. A (K), Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa B, M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S, Ketua Program Studi Manajemen

Kesehatan Lingkungan Industri, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

4. Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

selalu bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan

dan pemikiran di tengah-tengah kesibukannya.

5. Drs. Abdul Jalil A A, M.Kes, Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan,

saran-saran dan masukan pada Tesis ini.

6. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, M.S, selaku komisi pembanding yang telah

banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan

Tesis ini.

7. Ir. Indra Chahaya S, M.Si, selaku komisi pembanding yang telah banyak

(9)

8. Seluruh staf pengajar Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan

Industri Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan

Industri Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan

2006/2007, terutama Mahyudi, Mustar, Meirinda, Ermi, Marlinang yang

banyak membantu dalam proses perkuliahan maupun penyusunan Tesis.

10.Seluruh Staf Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan

Penyakit Menular (BTKL-PPM) Depkes RI Medan, terutama staf Instalasi

Laboratorium Fisika Udara dan Radiasi.

11.Istriku, Sulvina F, S.Si, anak – anakku : Nisalfya Al Insyrah, Faris Zidane Al

Fattah dan Yazid Gibran Al Fattah serta semua keluarga berkat doa, dukungan

dan motivasi.

12.Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan

bantuan untuk menyelesaikan Tesis ini.

Medan, September 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Al Fattah Faisal M

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 16 Maret 1970

Agama : Islam

Alamat : Jl. HM Joni No. 44 Medan Telp. 061-7323490

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Kesatria Medan : 1976-1982

2. SMP Hang Kesturi Medan : 1982-1985

3. SMA Negeri 9 Medan : 1985-1988

4. S-1 Fisika Instrumentasi Jur. Fisika FMIPA-USU Medan : 1988-1996

5. Program Magister Manajemen Kesehatan Lingkungan

Industri Sekolah Pascasarjana USU Medan : 2006-2008

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Supervisor Produksi di PT. Pan Super Bintang Surya : 1996 – 2000

(11)

DAFTAR ISI

2.5.1 Dampak heat stress terhadap kesehatan ... 21

(12)

3.5 Variabel Penelitian ... 27

4.3 Perubahan Tegangan dan Arus Pada Variasi Jarak ……... 32

4.3.1 Variasi jarak tanpa menggunakan lensa ... 32

4.3.2 Variasi jarak dengan menggunakan lensa ... 34

4.3.3 Variasi jarak dengan menggunakan variasi 2 Lensa ... 43

4.4 Variasi Jarak terhadap Pengukuran Heat Stress ... 46

4.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Parameter-Parameter Heat Stress ... 49

4.5.1 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu ... 49

4.5.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan kelembaban udara ... 51

4.5.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu radiasi lingkungan ... 54

4.5.4 Hubungan jarak sumber cahaya dengan suhu basah ... 57

4.5.5 Hubungan jarak sumber cahaya dengan ISBB ... 59

BAB V PEMBAHASAN ... 63

5.1 Kemampuan Lensa Mengubah Tegangan dan Arus Keluaran ... 63

5.1.1 Hubungan jarak sumber cahaya terhadap daya keluaran sel surya ... 63

5.1.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan lensa 10 dioptri dan 20 dioptri terhadap daya keluaran sel surya ... 65

5.1.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan kombinasi 2 lensa terhadap daya keluaran sel surya ... 66

5.2 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) sebagai indeks Heat Stress ... 67

(13)

5.2.2 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya

keluaran sel surya terhadap kelembaban udara …... 69

5.2.3 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya sel surya terhadap suhu radiasi lingkungan ……….... 70

5.2.4 Hubungan jarak sumber cahaya dengan daya keluaran sel surya terhadap suhu basah ... 72

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Pengendalian Heat Stress ……… 23

3.1 Defenisi Operasional ……… 29

4.1. Hasil Daya Keluaran pada Variasi Jarak Sumber Cahaya 40 W

dengan sel surya ... 32

4.2. Hasil Daya Keluaran pada Variasi Jarak Sumber Cahaya 100 W

dengan sel surya ... 33

4.3 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 1 Lensa pada Sumber

Cahaya 40 W ... 39

4.4 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 1 Lensa pada Sumber

Cahaya 100 W ... 40

4.5 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 2 Lensa pada Sumber

Cahaya 40 W ... 41

4.6 Hasil Eksperimen Variasi Jarak dengan 2 Lensa pada Sumber

(15)

DAFTAR GAMBAR

10 Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 40W) ………. 35

11 Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 100W) ……… 36

12 Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 40 W………. 37

13 Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 100 W……… 37

14 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS, SC-L10 =10 cm, SC 40 W……….. 43

(16)

16 Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan

2 Lensa SC-L20-L10-SS, SC = 100W... 45

(17)

33 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah ..59

34 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap ISBB ... 60

35 Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap ISBB ... 60

36 Variasi Jarak Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 D terhadap ISBB ... 61

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1.1 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri ... 79

1.2 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri ... 81

1.3 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri ... 83

1.4 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri ... 85

2.1 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri dan Lensa 10 dioptri... 87

2.2 Data Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri dan Lensa 20 dioptri ... 91

3.1 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri dan Lensa 20 dioptri ... 95

3.2 Data Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri dan Lensa 10 dioptri ... 98

4.1 Korelasi Sumber Cahaya 40 W dan 100 W ……….. 102

4.2 Korelasi Sumber Cahaya 40 W, Lensa 10 dioptri ...103

4.3 Korelasi Sumber Cahaya 40 W, Lensa 20 dioptri ...104

4.4 Korelasi Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 dioptri ...105

4.5 Korelasi Sumber Cahaya 100 W, Lensa 20 dioptri ...106

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara umum sumber energi dikategorikan menjadi dua bagian yaitu

non-renewable energy dan renewable energy. Sumber energi fosil adalah termasuk

kelompok yang pertama dan sebagaian besar aktifitas di dunia ini menggunakan

energi konvensional ini. Saat di mana semakin meningkatnya kebutuhan energi

listrik, maka biaya operasional untuk memenuhi kebutuhan ini semakin mahal. Untuk

kondisi sekarang ini, kelihatannya hanya ada dua pilihan dalam memenuhi

kebutuhan energi listrik kita dalam kehidupan sehari-hari. Kedua pilihan itu adalah

listrik murah dengan konsekuensi udara di lingkungan kita tercemar karena tidak

mengindahkan faktor kesehatan lingkungan, atau udara di atmosfer kita bersih tetapi

harga listrik mahal akibat teknologi yang di gunakan.

Salah satu upaya protektif dari pemerintah untuk melindungi atmosfer kita

adalah mulai diberlakukannya Baku Mutu Emisi (BME) baru dari sumber tidak

bergerak yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.:

KEP.13/MENLH/3/1995. Surat keputusan ini menetapkan dua tahap pemberlakuan

BME. Tahap pertama berlaku tahun 1995-1999 (BME 1995), dan tahap kedua

berlaku mulai 1 Januari 2000 (BME 2000). Terjadi penurunan hingga dua kali lebih

(20)

untuk lepasan total partikel, SO2 dan NO2 berturut-turut adalah 300, 1500 dan 1700,

maka pada BME 2000 nilainya turun menjadi 150, 750 dan 850, yang berarti

setengah dari batas semula (Akhadi, 2000).

Polusi udara menimbulkan masalah kesehatan di seluruh dunia serta paling

sering dihubungkan dengan industri, transportasi dan faktor alam lainnya. Tidak

dapat diingkari bahwa pencemaran udara menyebabkan gangguan pada manusia

mulai dari iritasi mata dan sakit kepala sampai asma, bronkhitis dan kanker paru.

Pencemar udara primer yang komposisinya tidak akan mengalami perubahan

di atmosfer baik secara kimia maupun fisika dalam jangka waktu yang relatif cepat

misalnya karbon monoksida (CO) yang dapat mengikat oksigen dari hemoglobin

menghasilkan karboksi hemoglobin. Pengaruh dari reduksi ini mengakibatkan darah

mengangkut oksigen menurun. Tingkat kandungan COHb dalam darah naik dengan

kenaikan CO di atmosfer dan aktivitas fisik individu. Dengan konsentrasi 250 ppm

akan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Kenaikan CO mengakibatkan

menurunnya fungsi sistem saraf sentral, perubahan – perubahan fungsi jantung dan

paru-paru, mengantuk, koma, sesak napas dan akhirnya meninggal.

Pengaruh utama polutan SO2 adalah iritasi yang langsung mempengaruhi

sistem pernapasan. Kadar 8 – 12 ppm SO2 merupakan jumlah terkecil yang segera

mengakibatkan iritasi tenggorokan. SO2 di atmosfer akan diubah menjadi asam sulfat.

Sehingga di daerah dengan konsentrasi SO2 yang tinggi, tanaman dan bangunan akan

rusak oleh aerosol asam sulfat (Depkes, 2001). Polutan NO2 mempengaruhi iritasi

(21)

– 75 ppm dapat menyebabkan radang parenkim paru-paru dan bronkhitis. Kematian

biasanya terjadi dari 2 – 10 hari setelah terpapar lebih dari 500 ppm NO2. Sedangkan

ukuran partikulat yang membahayakan kesehatan pada umumnya berukuran 0,1 s/d

10 mikron. Inhalasi merupakan satu-satunya jalan menuju pemajanan. Pada umumnya

ukuran partikel sekitar 5 mikron dapat masuk ke paru-paru dan mengendap di

alveoli. Adanya sejenis logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara

merupakan bahaya yang terbesar bagi kesehatan (Depkes RI, 2001).

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penggunaan energi fosil secara

besar-besaran menimbulkan dampak negatif perubahan iklim yang disebabkan oleh

emisi gas rumah kaca. Problem ini dikenal sebagai Trilemma-3E yaitu

Energy-Environment-Economy seperti peningkatan polusi, pemanasan global dan persoalan

lingkungan hidup. Data-data di atas merupakan hal yang relevan kita hadapi, jika

dunia industri sebagai kontributor polutan yang cukup besar tidak memperhatikan

kesehatan dan lingkungan (Wenas, 2008).

Pada saat mulai diberlakukannya BME 2000 ini, para pengelola energi

batubara dihadapkan pada peraturan yang lebih ketat. Mereka harus mengendalikan

emisi pencemar dua kali lebih rendah dibandingkan semula. Untuk itu perlu adanya

upaya konversi dan pemanfaatan sumber energi lain atau energi sampingan yang

terbuang yang dapat dimanfaatkan menjadi energi listrik yang ramah lingkungan.

Pemberdayaan energi cahaya matahari salah satunya adalah Pembangkit Listrik

Tenaga Surya (PLTS) yang memanfaatkan energi foton cahaya matahari menjadi

(22)

dan menerima panas matahari yang lebih banyak daripada negara lain, mempunyai

potensial yang sangat besar untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya

sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil (batubara dan diesel) yang bersih, tidak

berpolusi, aman dan persediaannya tidak terbatas. Berdasarkan ide dasar inilah akan

dicoba merancang suatu eksperimen yang bertujuan sebagai pembangkit daya listrik

dari cahaya yang minimal polutan yang mempunyai mobilitas tinggi serta lebih

fleksibel di gunakan di industri maupun rumah tangga dibandingkan sumber energi

alternatif lain seperti energi angin, ombak pantai, biodiesel, air terjun dan lain – lain.

Secara teori, dengan luas permukaan sel surya yang kecil akan menghasilkan

besar tegangan dan kuat arus yang relatif kecil pula. Untuk itu dilakukan proses “

amplifikasi “ yaitu dengan berkas cahaya jatuh kepermukaan sel surya melalui media

lensa konvergen.

Tetapi akibat perlakuan ini akan timbulnya peningkatan suhu di lingkungan

karena terjadinya konduksi pada permukaan sel surya yang panas. Efek dari suhu

terhadap kinerja modul sel surya ditentukan secara kuantitatif dengan koefisien

temperatur yang dapat digunakan sebagai parameter masukan untuk penelitian ini.

Dengan tujuan untuk membuktikan asumsi tersebut, maka dalam penelitian ini,

koefisien-koefisien temperatur untuk arus listrik dan tegangan listrik pada daya

maksimum (selanjutnya disebut arus listrik maksimum dan tegangan listrik

maksimum), serta daya listrik pada keluaran maksimum (daya listrik maksimum)

akan diteliti pada jarak, media lensa dan sumber cahaya yang berbeda-beda. Jika suhu

(23)

inframerah yang dapat menambah panas pada manusia, apalagi kalor yang diserap

adalah permukaan plat hitam (OSHA, 2007).

Hal ini di curigai dalam waktu tertentu akan menimbulkan heat stress. Heat

Stress merupakan panas yang dihasilkan tubuh baik secara internal pada penggunaan

otot atau secara eksternal oleh lingkungan. Di lingkungan, manusia selalu berada di

bawah sejumlah besar tekanan yang berkenaan dengan panas sehingga akan terus

melakukan penyesuaian derajat panas yang konstan dan tepat. Tetapi karena toleransi

suhu tubuh manusia mempunyai titik kritis yang sempit yakni di sekitar 37°C

(98.6°F), maka akibat paparan ini dapat mengganggu kesehatan terutama heat stress

misalnya kelelahan (heat fatigue), dehidrasi, ruam (heat rashes), kram (heat cramp),

heat stroke dan lain – lain (OSHA, 2007).

Di tahap ini kami menitik beratkan pada kinerja modul sel surya pada titik

daya-maksimum dengan tujuan akan memberikan informasi pengukuran pengamatan

paparan heat stress yang mungkin timbul akibat proses amplifikasi. Kemudian variasi

apa yang diperlukan untuk menghasilkan daya maksimal tetapi memberikan paparan

heat stress yang minimum.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana paparan heat stress yang ditimbulkan dari efesiensi sel surya.

2. Sejauh mana lensa mampu mengubah tegangan dan arus pada sel surya

3. Bagaimana korelasi antara variabel – variabel yang di gunakan terhadap

(24)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui paparan heat stress pada lingkungan akibat efesiensi sel

surya sebagai suatu energi alternatif yang tidak berbahan bakar atau effesiensi

energi yang minim pencemaran.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisa perubahan kuat arus, besar tegangan dengan variasi jarak,

variasi sumber cahaya dan variasi dioptri lensa.

2. Menganalisa efek heat stress pada daya keluaran yang di hasilkan.

1. 4. Manfaat Penelitian

Dalam rangka pengembangan energi alternatif dan pengelolaan lingkungan,

diharapkan hasil penelitian dapat bermanfaat untuk menambah wawasan ilmu

pengetahuan, informasi mengenai penggunaan lensa tipis terhadap efesiensi

sel surya, paparan heat stress yang ditimbulkannya serta merupakan dokumen

ilmiah yang dapat dikembangkan pada penelitian selanjutnya.

1. 5. Ruang Lingkup

1. Menganalisa kuat arus, besar tegangan dan paparan heat stress dengan

(25)

2. Menganalisa perubahan besar tegangan, heat stress dan kuat arus dengan

variasi kekuatan lensa (dioptri) konvergen.

3. Daya keluaran maksimum yang dihasilkan, paparan heat stress yang

minimum dari beberapa variabel independen yang diobservasi diharapkan

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Intensitas Cahaya

Gelombang elektromagnet yang terlihat oleh panca indera manusia adalah

cahaya dengan panjang gelombang berkisar pada 300 - 700 nm (nanometer).

Gelombang dengan panjang gelombang di atas 700 nm berada pada daerah

inframerah dan dibawah 300 nm merupakan daerah ultraviolet. Cahaya merupakan

kumpulan foton yang mempunyai energi yang bisa dimanfaatkan dan sebagian lagi di

ubah menjadi cahaya tampak. Perambatan cahaya di ruang bebas di lakukan oleh

gelombang elektromagnetik dengan kecepatan 3 x 108 m/detik (Beisser, 1968).

Eksperimen menunjukan bahwa cahaya berjalan menempuh garis lurus pada

berbagai keadaan. Misalnya, sebuah sumber titik cahaya menghasilkan bayangan, dan

sinar lampu senter tampak merupakan garis lurus.

Suatu sumber cahaya memancarkan cahaya ke semua arah, tetapi energi

radiasinya tidak merata karena juga dipengaruhi oleh sudut penerangan, walaupun

perubahannya tidak terlalu signifikan.

Jumlah energi radiasi yang dipancarkan sebagai cahaya ke suatu arah tertentu

di sebut intensitas cahaya (I) dengan satuan candela (cd). Jika intensitas cahaya suatu

sumber sebesar 1 cd melalui sudut ruang sebesar 1 steradian maka akan mengalir

fluks cahaya sebesar 1 lumen (Hecht, 1994).

(27)

)

Fluks cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya ialah seluruh jumlah

cahaya yang dipancarkan dalam satuan detik. Jika sebuah lampu pijar ditempatkan

pada reflektor, maka cahayanya akan diarahkan, tetapi jumlah atau fluksnya tetap.

Dan jika lampu pijar ini ditempatkan di titik tengah bola dengan jari-jari 1 m,

memancarkan cahaya dengan I = 1 cd ke segala arah, maka fluks cahaya dalam 1 strd

akan sama dengan 1 lumen. Intensitas penerangan dipermukaan bola yang dibatasi

oleh sudut ruang 1 strd akan sama dengan 1 lux. Sumber cahaya yang ditempatkan di

titik tengah bola tersebut di lingkupi oleh 4 I lumen, maka = 4 lumen (Waldman,

1990).

Intensitas penerangan (iluminasi) di suatu bidang ialah fluks cahaya yang

jatuh pada 1 m2 dari bidang tersebut, dengan satuan lux. Jika suatu bidang di terangi

(28)

2. 2 Sel Surya ( fotovoltaik )

Bahan sel surya sendiri terdiri kaca pelindung dan material adesive transparan

yang melindungi bahan sel surya dari keadaan lingkungan, material anti-refleksi

untuk menyerap lebih banyak cahaya dan mengurangi jumlah cahaya yang

dipantulkan, semi-konduktor jenis-P dan jenis-N (terbuat dari campuran Silikon)

untuk menghasilkan medan listrik, saluran awal dan saluran akhir (tebuat dari logam

tipis) untuk mengirim elektron ke instrumen elektronik.

Cara kerja sel surya sendiri sebenarnya identik dengan piranti semikonduktor

dioda. Ketika cahaya bersentuhan dengan sel surya dan diserap oleh bahan

semi-konduktor, terjadi pelepasan elektron. Apabila elektron tersebut bisa menempuh

perjalanan menuju bahan semi-konduktor pada lapisan yang berbeda, terjadi

perubahan jumlah gaya-gaya pada bahan.

Arus listrik

Cahaya

Tipe-n Tipe-p Konduktor

(29)

Gaya tolak antar bahan semi-konduktor, menyebabkan aliran medan listrik

(efek fotovoltaik) dan menyebabkan elektron dapat disalurkan ke saluran awal dan

akhir untuk digunakan pada instrumen (Ridha, 2006).

Kutub Positip

Lubang bekas elektron

Aliran

arus Aliran Elektron Kutub

Negatif

Gambar 2. Proses alir foton – elektron pada sel surya

Semua sel surya memerlukan cahaya untuk menyerap foton-foton ke

dalam struktur sel sehingga menghasilkan elektron-elektron via efek fotovoltaik. Pada

bagian silikon tipe-n, elektron sebagai pembawa arus, sedangkan di silikon tipe-p,

lubang merupakan pembawa arus.

Bagian utama perubah energi sinar matahari menjadi listrik adalah absorber

(penyerap), meskipun demikian, masing-masing lapisan juga sangat berpengaruh

terhadap efisiensi dari sel surya. Sinar matahari terdiri dari bermacam-macam jenis

(30)

panjang gelombang 10-7 s/d 10-5, frekuensi 1014 s/d 1015 Hz dan energi foton 10-1 s/d

101 eV. Oleh karena itu absorber disini diharapkan dapat menyerap sebanyak

mungkin solar radiation yang berasal dari cahaya matahari (Beisser, 1968). Energi

panas matahari hanya tersedia 10 – 11 jam per hari. Sel surya merupakan suatu bahan

semikonduktor, yang mengabsorbsi energi cahaya matahari secara langsung menjadi

energi listrik, melalui 3 tahapan, yaitu :

a) Absorpsi cahaya matahari oleh material semikonduktor

b) Membangkitkan dan memisahkan daerah bebas positip dan negatip dari

sel surya sehingga menghasilkan beda potensial.

c) Mentransfer hasil pemisahan melalui terminal listrik ke beban berupa arus

listrik.

Sinar matahari yang terdiri dari foton-foton, jika menimpa permukaaan bahan

sel surya (absorber), akan diserap, dipantulkan atau dilewatkan begitu saja, dan hanya

foton dengan level energi tertentu yang akan membebaskan elektron dari ikatan

atomnya, sehingga mengalirlah arus listrik. Untuk membebaskan elektron dari ikatan

kovalennya, energi foton (hc/v) harus sedikit lebih besar atau diatas daripada energi

pembebas elektron. Jika energi foton terlalu besar dari pada energi pembebasan

elektron, maka ekstra energi tersebut akan dirubah dalam bentuk panas pada solar sel.

Umumnya koefisien temperatur, yang menggambarkan sensitivitas terhadap

temperatur, diberikan oleh pembuat (pabrik) modul fotovoltaik untuk 3 buah

(31)

rangkaian-terbuka, Voc (volt (V)/ oC), dan tahanan seri, R (ohm ( )/ oC). Koefisien-koefisien

temperatur tersebut diukur menggunakan modul fotovoltaik bentuk datar dan pada

intensitas cahaya 100 mW/cm2 yang diasumsikan mempunyai nilai yang konstan

pada selang panjang-gelombang (spektrum) cahaya yang digunakan.

Tentu saja agar efisiensi dari sel surya bisa tinggi maka foton yang berasal

dari sinar matahari harus bisa diserap yang sebanyak banyaknya, kemudian

memperkecil refleksi dan rekombinasi serta memperbesar konduktivitas dari

bahannya. Untuk bisa membuat agar foton yang diserap dapat sebanyak banyaknya,

maka absorber harus memiliki energi pembebas elektron dengan range yang lebar,

sehingga memungkinkan untuk bisa menyerap sinar matahari yang mempunyai energi

yang bermacam – macam tersebut ( Widodo, 2008 ).

2.3 Energi Ramah Lingkungan

Penggunaan energi fosil yang eksesif telah menimbulkan dampak negatif

perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca terutama

karbondidoksida, lebih dari 6 giga ton per tahun saat ini dan pada tahun 2050

diperkirakan sampai 15 giga ton per tahun bila tanpa tindakan mitigasi. Kondisi ini

akan membawa dampak yang ekstrim bagi kehidupan kita. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, perlu adanya pendekatan yang holistik dalam pengelolaan

energi yaitu energi berkelanjutan (sustainable energy), yang meliputi tiga dimensi,

sosial, ekonomi dan lingkungan dan tidak hanya mementingkan kebutuhan energi saat

(32)

menggunakan prinsip hirarki energi dalam memprioritaskan penyelesaian

berdasarkan tingkat keberlanjutan suatu aktivitas yaitu: konservasi energi – merubah

perilaku dalam menurunkan permintaan energi, efisiensi energi – menggunakan

teknologi untuk mereduksi permintaan energi dan emisi polutan, energi terbarukan –

sebagai sumber energi berkelanjutan untuk mengganti bahan bakar fosil, energi

konvensional (minyak, gas dan batubara) - dengan menggunakan teknologi energi

energi rendah/bebas karbon dan eksploitasi energi konvensional – seperti yang kita

kerjakan saat ini ( Widodo, 2008).

Tidak diragukan lagi bahwa sel surya adalah salah satu sumber energi yang

ramah lingkungan dan sangat menjanjikan pada masa yang akan datang, karena tidak

ada polusi yang dihasilkan selama proses konversi energi (bersih lingkungan), tidak

memerlukan fluida (air dan gas) untuk mentransfer, memicu dan menimbulkan energi

yang di hasilkannya. Karena fluida merupakan media pembawa polutan dari suatu

tempat ke tempat lain, sehingga polutan yang dikeluarkan/diemisikan semakin

menyebar dan berakumulasi dengan polutan lain ke lokasi yang jauh dari sumber

energi. Hal inilah yang menyebabkan energi yang bersumber bahan bakar batu bara,

minyak dan lain-lain menjadi tidak ramah lingkungan. Sel surya juga mempunyai

sumber energi yang banyak tersedia di alam, yaitu sinar matahari, terlebih di negeri

tropis semacam Indonesia yang menerima sinar matahari sepanjang tahun. Biaya

energi yang dihasilkan dari sel surya per kWH pada masa yang akan datang dapat

berkompetisi dengan energi terbarukan lainnya dan juga dengan sumber energi

(33)

Indonesia menerima sinar matahari rata-rata 250 – 300 W/m² pertahun, dan 14

jam/hari, potensi ini yang harus bisa dimanfaatkan untuk penggunaan energi alternatif

sel surya ini. Permasalahan mendasar dalam teknologi sel surya adalah efisiensi yang

sangat rendah dalam merubah energi surya menjadi energi listrik, yang sampai saat

ini efisiensi tertinggi yang dicapai tidak lebih dari 20%, itupun pada skala

laboratorium (Astawa, 2007).

2. 4 Lensa Tipis

Ketika cahaya menimpa permukaan benda, sebagian cahaya dipantulkan,

sisanya diserap oleh benda (dan di ubah menjadi energi panas). Jika benda tersebut

transparan seperti kaca atau air, sebagian besar akan diteruskan. Untuk benda – benda

seperti cermin berlapis perak, lebih dari 95% cahaya dapat dipantulkannya kembali.

Permukaan – permukaan yang memantulkan cahaya tidak harus selalu datar.

Cermin cembung menimbulkan pantulan pada permukaan luar bentuk sferis sehingga

pusat permukaan cermin menggembung keluar menuju orang yang melihat. Cermin

dikatakan cekung jika permukaan pantulnya ada pada permukaan dalam bola

sehingga pusat cermin melengkung menjauhi orang yang melihat. Pemantulan cahaya

berbeda pada bidang datar dan bidang tidak datar, pada bidang tidak datar pemantulan

cahaya menyebar secara acak (Hecht, 1994).

Lensa tipis biasanya berbentuk cekung, cembung, datar atau kombinasi dari

ketiganya. Keutamaan lensa adalah karena dapat membentuk bayangan benda. Lensa

(34)

Gambar 3. Pemantulan cahaya pada bidang datar & tidak datar (Zemansky, 1972)

Pada lensa cekung cahaya yang sejajar dan dekat dengan sumbu optik

(paraksial) dibiaskan menyebar seakan-akan berasal dari suatu titik fokus maya di

belakang lensa, oleh sebab itu lensa cekung dikatakan bersifat divergen. Sedangkan

pada lensa cembung cahaya paraksial dibiaskan menuju ke titik fokus nyata di depan

lensa, sehingga lensa cembung dikatakan bersifat konvergen. Jarak antara lensa

dengan titik fokusnya dinamakan jarak fokus.

f f

f = titik fokus

Gambar 4. Berkas cahaya pada lensa bikonveks ( Halliday, 1996 )

Gambar 4. di atas, menunjukkan bahwa cahaya yang datang dari tempat jauh

(tak berhingga), maka akan dibelokkan menuju ke titik fokus (f), sedangkan untuk

cahaya yang datang dari titik fokus f suatu lensa, maka cahaya akan di paralelkan

(35)

lensa dan tegak lurus terhadap kedua permukaannya. Dari hukum Snell, kita dapat

melihat bahwa setiap berkas dibelokkan menuju sumbu pada ke dua permukaan lensa.

Jika suatu objek berada didepan lensa (di luar titik fokus lensa), maka

bayangan objek tersebut dapat diperbesar dan mempunyai posisi bayangan yang

terbalik dan berada di belakang lensa seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

objek V

f f V’

Gambar 5. Sifat pemantulan cahaya pada lensa ( Halliday, 1996 )

Jika berkas-berkas yang paralel dengan sumbu jatuh pada lensa tipis, maka

akan di fokuskan pada satu titik (f). Berkas-berkas paralel akan difokuskan pada satu

bagian kecil yang hampir berupa titik jika diameter lensa lebih kecil dibandingkan

dengan radius kelengkungan kedua permukaan lensa. Kriteria ini dipenuhi oleh lensa

yang sangat tipis dibandingkan dengan diameternya. Titik fokus lensa bisa ditemukan

dengan menentukan titik – titik dimana berkas – berkas cahaya matahari atau benda

jauh lainnya dibentuk menjadi bayangan yang tajam.(Robert, 1995).

Agustin Fresnel mengurangi berat dan ketebalan lensa dengan memindahkan

“bagian silindris” dari lensa seperti mengubah bentuknya namun tanpa mengubah

(36)

intensitas cahaya, digunakan untuk mercusuar, dengan meningkatkan kekuatan lensa

(lensa semakin tebal). Ia mengamati bahwa ada semacam bagian prisma bersusun

yang mengelilingi lampu tersebut. Hal inilah yang membuat mengapa lampu

mercusuar dapat memancarkan cahaya begitu kuat meskipun dilihat pada jarak yang

sangat jauh (Zemansky, 1972).

2. 5 Heat Stress

Perpindahan panas dari proses aktifitas ke lingkungan terjadi secara radiasi

adalah proses perpindahan panas dimana permukaan obyek seluruhnya secara konstan

memancarkan panas dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Laju pancaran

ditentukan oleh suhu dari permukaan radiasi (Ganong, 2001).

Konduksi adalah transfer panas dari atom ke atom atau dari molekul ke

molekul melalui transfer berturut -turut dari energi kinetik. Kehilangan panas melalui

konduksi udara akan menyebarkan panas dari proses aktifitas yang cukup besar

walaupun dalam keadaan normal. Panas adalah suatu energi kinetik dari molekul, dan

molekul yang menyusun mesin terus-menerus mengalami gerakan vibrasi.

Sebagian besar energi dari gerakan ini dipindahkan ke udara bila suhu udara

lebih rendah dan mengakibatkan meningkatnya kecepatan gerakan molekul udara.

Suhu mesin yang berlekatan dengan udara menjadikan suhu udara sama dengan suhu

permukaan mesin. Jika suhu udara dan permukaan mesin sama, maka tidak terjadi

lagi kehilangan panas dari permukaan mesin ke udara. Oleh sebab itu konduksi panas

(37)

dipanaskan bergerak sehingga timbul udara baru. Udara yang tidak panas secara terus

menerus disebarkan melalui udara yang bergerak, fenomena semacam ini disebut

konveksi udara (Mumford, 2004).

Kehilangan panas melalui konveksi udara disebut konveksi. Panas dapat

diperoleh atau dihilangkan dengan jalan konveksi ke udara, air atau cairan lain yang

kontak dengan tubuh dan media lain yang berdekatan menghasilkan perpindahan

panas dengan konduksi sejalan atau sesuai dengan tingkat panas. Hal tersebut adalah

pertukaran panas dengan cara konveksi, analog dengan pertukaran dari larutan

melalui besarnya aliran. Walaupun ketika kita diam tak bergerak, udara di sekitar kita

bergerak karena udara mengembang akibat menyerap panas dari tubuh kita.

Panas yang dihasilkan selama proses produksi akan menyebar ke seluruh

lingkungan kerja, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga

meningkat. Lingkungan kerja yang panas diukur dengan beberapa pengukuran seperti

suhu kering, suhu basah, suhu bola, kecepatan angin dan kelembaban udara.

Gabungan dari pengukuran suhu basah, suhu kering, suhu bola, kelembaban udara

dan kecepatan angin disebut dengan iklim kerja (Quest, 2004).

Heat Stress timbul dari bermacam – macam kondisi di mana tubuh mendapat

paparan dari pemanasan yang berlebih. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi

heat stress antara lain :

1. Suhu

2. Kelembaban udara

(38)

4. Suhu basah alami

5. Gerak aliran udara

6. Pakaian yang dikenakan

7. Keaktifan fisik ( metabolisme tubuh )

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-51/MEN/1999,

tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 5 berbunyi:

“Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan gerakan

udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja

sebagai akibat pekerjaannya”.

Parameter yang digunakan untuk menilai tingkat iklim kerja adalah Indeks

Suhu Basah dan Bola (ISBB). Keputusan Menaker Nomor: Kep-51/MEN/1999,

Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja, pasal 1 ayat 9 berbunyi

“Indeks suhu Basah dan Bola (Wet Bulb Globe Temperature Index) yang disingkat

ISBB adalah parameter untuk menilai tingkat iklim kerja yang merupakan hasil

perhitungan antara suhu udara kering, suhu basah alami dan suhu bola”.

Pengukuran suhu basah dan suhu kering menggunakan peralatan yang sama

yaitu termometer suhu udara, perbedaannya terletak pada pemasangan kain katun

pada bola (bulb) termometer tersebut. Suhu basah menunjukkan keadaan uap air dan

angin di udara. Suhu bola atau suhu radiasi merupakan pengukuran suhu akibat

adanya radiasi panas di lingkungan. Radiasi panas bisa berasal dari sinar matahari,

(39)

banyaknya uap air yang berada di udara sedangkan kecepatan gerakan udara atau

angin merupakan pengukuran terhadap gerakan udara.

Indeks suhu basah dan bola di luar ruangan dengan panas radiasi:

ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,2 suhu bola + 0,1 suhu kering

Indeks suhu basah dan bola di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi:

ISBB = 0,7 suhu basah alami + 0,3 suhu bola

2.5.1 Dampak Heat Stress Terhadap Kesehatan

Tubuh kita selalu menimbulkan panas dan dipengaruhi serta mempengaruhi

lingkungan. Panas tubuh akan lebih meningkat lagi jika beraktifitas, sehingga

semakin banyak panas yang harus dikurangi. Ketika lingkungan mempunyai panas

atau kelembaban atau mempunyai suatu sumber dari pancaran panas (misalnya, suatu

tanur atau matahari), tubuh harus bekerja lebih keras untuk membebaskan panas nya.

Jika ada pergerakan udara (misalnya dari kipas) hal ini mempermudah proses

pendinginan bagi tubuh akibat panas pada lingkungan (OSHA, 2007).

Toleransi suhu tubuh berada pada daerah yang sempit, 36 - 37,5 ºC.

Peningkatan di dalam suhu tubuh dari lebih dari 1 derajat berarti tubuh itu

mempunyai kesulitan berhadapan dengan panas di lingkungan. Respon tubuh

terhadap panas antara lain :

1. Peningkatan suhu tubuh

2. Peningkatan denyut jantung / nadi

(40)

4. Peningkatan kebutuhan oksigen

5. Peningkatan asam laktat dalam otot dapat mempercepat kelelahan

6. Berkeringat dan terjadi pengeluaran elektrolit mengakibatkan dehidrasi

Jika faktor-faktor di atas terus berlanjut maka akan menyebabkan heat stroke

(sengatan panas), heat exhaustion (kelelahan karena panas), heat cramp (kejang

panas), heat collapse (fainting), heat rashes, heat fatigue dan heat burn (luka bakar).

Heat Stress merupakan salah satu faktor yang pengaruhnya cukup dominan

terhadap kinerja sumber daya manusia bahkan pengaruhnya tidak terbatas pada

kinerja saja melainkan dapat lebih jauh lagi, yaitu pada kesehatan dan keselamatan

tenaga kerja. Untuk itu diperlukan standar mengenai pengukuran iklim kerja (heat

stress) dengan parameter indeks suhu basah dan bola. Standar pengukuran iklim kerja

(heat stress) dengan parameter indeks suhu basah dan bola mencakup prinsip

pengukuran, peralatan, prosedur kerja, penentuan titik pengukuran dan perhitungan.

Standar pengukuran ini merupakan cara pemantauan lingkungan yang mempunyai

potensi bahaya bagi manusia yang bersumber dari iklim kerja (heat stress).

Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas) dengan Indeks Suhu Basah dan Bola

(ISBB) tidak diperkenankan melebihi:

a) Untuk beban kerja ringan : 30,0 ºC

b) Untuk beban kerja sedang : 26,7 ºC

(41)

Catatan :

1. Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100 – 200 kilo kalori/jam.

2. Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih besar 200 – 350 kilo kalori/jam.

3. Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih besar dari 350–500 kilo kalori/jam

SNI 16-7063(2004).

Contoh klasifikasi beban kerja, antara lain :

a. Pekerjaan ringan ( tangan ) : menulis,

b. Pekerjaan berat ( tangan ): mengetik

c. Beban kerja Berat untuk satu tangan : memalu ( pembuat sepatu )

d. Beban kerja ringan dengan dua tangan : berkebun

e. Beban kerja sedang untuk tubuh : mengepel lantai, membersihkan karpet

f. Beban kerja berat untuk seluruh tubuh : menebang pohon

Pengendalian Heat Stress dilakukan dengan mengatur waktu beraktifitas

sehubungan dengan tingkat paparan ISBB nya seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 Pengendalian Heat Stress

Pengaturan Waktu Aktif ISBB (ºC)

Waktu Aktif Waktu Istirahat Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75% 25% 30,6 28,0 25,9

50% 50% 31,4 29,4 27,9

25% 75% 32,2 31,1 30,0

(42)

2.6Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 6. Kerangka Konsep Penelitian

- Daya Output Max

- Suhu

- Kelembaban Udara

- Suhu Radiasi Lingkungan

- Suhu Basah - Kuat Arus

- Besar Tegangan

Variasi Jarak : - 10, 20 … 100 cm

Variasi Sumber Cahaya :

Variasi Dioptri Lensa - 10 dioptri

- 20 dioptri - 40 Watt - 100 Watt

(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Spesifikasi Sel Surya

Sel surya yang digunakan pada penelitian eksperimen ini mempunyai data –

data sebagai berikut :

Ukuran sel : 6 x 6 cm

Tipe : polycrystalline module

Voc : 4 volt

Ic : 20 µA

Ppeak : 80 µW

Kondisi di atas merupakan nilai puncak (kemampuan maksimal) dari sel surya

ini jika di sinari matahari penuh ( pukul 11.00 )

4.2 Kondisi Awal Indoor

Untuk mendapatkan gambaran awal dari kondisi, perlu dilakukan pengukuran

parameter – parameter tertentu sebagai nilai referensi sebelum perlakuan eksperimen.

Parameter – parameter yang di ukur adalah :

Suhu ruangan : 26,3 ºC

(44)

Suhu Bola Basah : 25,0 ºC

Kecepatan alir udara : 0,2 m/s

Suhu radiasi lingkungan : 26,5 ºC

ISBB : 25,5 ºC

Intensitas Cahaya : 11 Lux

4.3 Perubahan Tegangan dan Arus pada Variasi Jarak 4.3.1 Variasi Jarak tanpa menggunakan Lensa

Variasi jarak yang dilakukan adalah perubahan jarak antara panel sel surya

terhadap sumber cahaya dalam rentang 100 cm. Tegangan (V) dan arus (i) yang di

tampilkan merupakan nilai rata-rata. Data ini merupakan gambaran kapasitas standar

(45)

Jarak SC40W - Sel Surya (cm)

P

Gambar 8. Daya Keluaran pada variasi jarak SC Frosted 40 W dengan sel surya

Pada Tabel 4.1 di atas, tegangan maksimum V (3,007 volt), kuat arus i (0,5 µA) dan

daya maksimum P (sekitar 1,5 µW) dihasilkan pada jarak sel surya 10 cm dari

(46)

0

Jarak SC100W - Sel Surya (cm)

P

daya maksimum ( 2,472 µW ) tercapai pada posisi sel surya 5 cm dari sumber cahaya.

Pada jarak 10 cm dari sumber cahaya, sel surya menghasilkan daya sekitar 2,258 µW

lebih besar dibandingkan pada posisi yang sama jika menggunakan sumber cahaya 40

W seperti pada tabel 4.1 sebelumnya.

4.3.2 Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa

Pada Lampiran 1.1, 1.2, 1.3 dan 1.4 di tampilkan nilai tegangan rata-rata

maksimum dan kuat arus rata–rata maksimum masing – masing grup variasi. Hasil

data-data pada Lampiran 1.1, akan di pilih beberapa posisi yang memberikan daya

(47)

untuk mewakili masing – masing variasi jarak pada jenis sumber cahaya 40 W. Ini

terlihat pada jarak Sumber Cahaya 40 W dengan sel surya pada range 20 – 60 cm, dan

jarak sumber cahaya terhadap lensa 10 dioptri berada pada range 9 – 30 cm ada

kenaikan nilai daya yang cukup signifikan.

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0

(48)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

Gambar 11. Pengaruh variasi jarak SC-SS, SC-L10 terhadap Daya Keluaran Maksimum (SC 100W)

Pada Lampiran 1.3, di lakukan langkah identifikasi seperti di atas untuk

memilih daya – daya besar saja. Dan daya keluaran yang besar terdapat pada range

jarak sumber cahaya 100 W terhadap sel surya 10 – 90 cm, range jarak sumber

cahaya terhadap lensa 5 – 30 cm. Data – data hasil identifikasi ini kemudian di

tabulasikan pada Tabel 4.3 dan 4.4.

Untuk melihat efek parameter – parameter daya ( kuat arus i dan tegangan V )

akibat perubahan jarak dan penggunaan lensa 20 dioptri, maka langkah – langkah

seperti di atas juga di terapkan. Hal ini dapat di lihat dari Gambar 13 dan Gambar 14

(49)

Variasi SC40W-L20-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0 P 0.1870.236 0.2560.276 0.2810.4060.416 0.4470.519 0.5490.585 0.6900.9080.980 1.0321.467 1.831

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Gambar 12. Pengaruh Daya Maksimum pada Variasi Jarak dengan menggunakan Lensa 20 dioptri dan Sumber Cahaya 40 W

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Daya-Daya Maksimum

0

(50)

Keterangan :

SC = Sumber Cahaya SS = Sel Surya

L10 = Lensa 10 dioptri L20 = Lensa 20 dioptri

Dengan cara yang sama pada Lampiran 1.1 dan 1.3, juga akan dilakukan

untuk Lampiran 1.2 dan 1.4. Pada penggunaan sumber cahaya 40 W dan lensa

20 dioptri, daya keluaran yang besar terdapat pada range jarak sumber cahaya

terhadap sel surya yaitu 10 – 50 cm, range jarak sumber cahaya terhadap lensa

20 dioptri pada 5 – 30 cm. Dengan menggunakan sumber cahaya 100 W daya

keluaran yang besar terdapat pada range jarak sumber cahaya terhadap sel

surya : 10 – 90 cm, range jarak sumber cahaya terhadap lensa 20 dioptri pada

(51)

4.3.3 Variasi Jarak dengan menggunakan Variasi 2 Lensa

Dari Lampiran 2.1, 2.2, 3.1 dan Lampiran 3.2 di tampilkan nilai tegangan dan

arus rata – rata maksimum masing – masing grup variasi 2 lensa.

0

Gambar 14. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS, SC-L10 =10 cm, SC 40 W

Keterangan :

SC = Sumber Cahaya SS = Sel Surya

L10 = Lensa 10 dioptri L20 = Lensa 20 dioptri

Po = Daya Maksimum Awal Pt = Daya Maksimum Efek

Pada Gambar 14 di atas, posisi sumber cahaya dengan sel surya yang

dipilih berada pada range jarak 30 – 60 cm, posisi sumber cahaya pada lensa

(52)

maksimum terjadi pada posisi lensa pertama (L10) di 10 cm. Kemudian data

tersebut di tabulasikan pada Tabel 4.5.

Pada tahap ini juga dilakukan pengukuran tingkat intensitas cahaya awal

sebelum pengukuran dan pada saat pengukuran.

Gambar 15. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC40W-L20-L10-SS

Kemudian dilakukan langkah yang sama seperti di atas untuk memilih posisi

yang memberikan nilai maksimum yang mewakili keadaan tiap kelompok jarak

tersebut. Posisi sumber cahaya 40 W dengan sel surya yang dipilih berada pada range

(53)

jarak 20 – 30 cm dan ternyata daya maksimum terjadi pada posisi lensa pertama

(54)

Gambar 17. Daya Awal dan Daya Efek pada variasi jarak dengan menggunakan 2 Lensa SC-L10-L20-SS; SC=100 W

Posisi sumber cahaya 100 W dengan sel surya yang dipilih berada pada range

jarak 20 – 90 cm, posisi sumber cahaya pada lensa ke dua (L10) berada pada range

jarak 10 – 50 cm dan ternyata daya maksimum terjadi pada posisi lensa pertama

(L20) di 10 cm. Kemudian data di tabulasi pada Tabel 4.5 dan 4.6. Fenomena ini juga

terjadi pada susunan SC100W-L10-L20-SS, daya maksimum terjadi pada posisi

lensapertama (L10) di 10 cm, lensa kedua (L20) pada 15-20 cm dan SC-SS pada 30 –

50 cm.

(55)

Pada data primer yang di dapatkan melalui eksperimen (hasil tabulasi dari

Lampiran 1.1, 1.2, 1.3, 1.4, 2.1, 2.2, 3.1 dan 3.2), pengukuran heat stress hanya

dilakukan pada kondisi yang memberikan daya maksimum. Nilai heat stress di

bandingkan pada Nilai Ambang Batas (di bawah NAB untuk beban / aktifitas ringan

< 30.0 ºC atau di atas NAB > 30.0 ºC). Nilai heat stress (WBGT = ISBB) merupakan

hasil perimbangan dari parameter suhu (DB), suhu bola basah (WB), suhu radiasi

lingkungan (Globe), Kelembaban Udara (Relative Humidity) dan Kecepatan Alir

Udara (Air Flow).

Hal ini dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6. Di mana sebelum di

lakukan pengambilan data utama, pengukuran kondisi ISBB awal serta tingkat

intensitas cahaya di lakukan untuk setiap sumber cahaya yang berbeda. Selanjutnya

dilakukan pengukuran ISBB pada jarak 150 cm dari sumber cahaya yang berbeda.

Pada Tabel 4.3, dengan menggunakan lensa 10 dioptri terlihat sel surya pada

jarak 60 cm dari sumber cahaya 40 W dan lensa 30 cm dari sumber cahaya

memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 169,3 %, dengan ISBB sebesar 25,8 ºC.

Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 20 cm dari sumber

cahaya dan lensa berada pada 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 1,02 µW,

dengan ISBB sebesar 26,3 ºC. Sedangkan jika menggunakan lensa 20 dioptri, sel

surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya 40 W dan lensa berjarak 15 cm dari sumber

(56)

ºC. Dan daya keluaran terbesar dihasilkan dari sel surya berjarak 10 cm dan lensa

berjarak 5 cm dari sumber cahaya, yaitu 1,83 µW dengan ISBB sebesar 26,4 ºC.

Pada Tabel 4.4, , dengan menggunakan lensa 10 dioptri terlihat sel surya pada

jarak 70 cm dari sumber cahaya 100 W dan lensa 20 cm dari sumber cahaya

memberikan efesiensi daya terbesar, yaitu 178,26 %, dengan ISBB sebesar 26,5 ºC.

Tetapi daya keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 10 cm dari sumber

cahaya dan lensa berada pada 5 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 2,24 µW,

dengan ISBB sebesar 27,0 ºC. Sedangkan jika menggunakan lensa 20 dioptri, sel

surya berjarak 50 cm dari sumber cahaya 100 W dan lensa berjarak 10 cm dari

sumber cahaya mempunyai efesiensi daya terbesar yaitu 235,22 % dengan ISBB

sebesar 27,0 ºC. Dan daya keluaran terbesar dihasilkan dari sel surya berjarak 10 cm

dan lensa berjarak 5 cm dari sumber cahaya, yaitu 2,23 µW dengan ISBB sebesar

27,3 ºC.

Pada Tabel 4.5, dengan memposisikan sel surya pada jarak 60 cm dari

sumber cahaya 40 W dan menggunakan lensa I 10 dioptri pada jarak 10 cm, lensa II

20 dioptri berjarak 35 cm dari sumber cahaya akan memberikan efesiensi daya

terbesar, yaitu 168,63 %, dengan ISBB sebesar 26,4 ºC. Tetapi daya keluaran terbesar

di hasilkan dari sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya dan lensa I 10 dioptri

berada pada 10, lensa II 20 dioptri pada 15 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 0,93

µW, ISBB sebesar 26,7 ºC. Sedangkan jika menggunakan susunan lensa I 20 dioptri

(57)

W akan memberikan efesiensi daya terbesar yaitu 146,65 % sekaligus daya keluaran

terbesar yaitu 0,91 µW dengan ISBB sebesar 26,5 ºC.

Tabel 4.6 memberikan gambaran bahwa, dengan memposisikan sel surya

pada jarak 40 cm dari sumber cahaya 100 W dan menggunakan lensa I 10 dioptri

pada jarak 10 cm, lensa II 20 dioptri berjarak 15 cm dari sumber cahaya memberikan

efesiensi daya terbesar, yaitu 150,91 %, dengan ISBB sebesar 27,4 ºC. Tetapi daya

keluaran terbesar di hasilkan dari sel surya berjarak 30 cm dari sumber cahaya dan

lensa I 10 dioptri berada pada 10, lensa II 20 dioptri pada 15 cm dari sumber cahaya

yaitu sebesar 1,50 µW, dengan ISBB sebesar 27,4 ºC. Sedangkan jika menggunakan

susunan lensa I 20 dioptri 10 cm, lensa II 10 dioptri 40 cm dan sel surya berjarak 70

cm dari sumber cahaya 100 W akan memberikan efesiensi daya terbesar yaitu 259,57

% . Daya keluaran terbesar di capai jika posisi lensa I 20 dioptri 5 cm, lensa II 10

dioptri 10 cm dan jarak sel surya 20 cm dari sumber cahaya 100 W yaitu 2,13µW

dengan ISBB sebesar 27,5 ºC.

4.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Parameter-Parameter Heat Stress

4.5.1 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel

(58)

Variasi Jarak SC40-L10-SS terhadap Suhu

0

Gambar 18. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 10 dioptri terhadap Suhu

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10

dioptri, suhu maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel surya 20 cm

dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 29,2 ºC. Sedangkan jika posisi

lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber cahaya dengan sel

surya 10 cm akan memberikan suhu 29,5 ºC. Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W

dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak

10 cm terhadap sel surya akan memberikan suhu 29,6 ºC. Sedangkan jika posisi lensa

20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10

(59)

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu

0

Gambar 19. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W-Lensa 20 dioptri terhadap Suhu

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu

(60)

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu

4.5.2 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Kelembaban Udara

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel

surya terhadap kelembaban udara dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6.

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10

dioptri, kelembaban udara (humidity) minimum tercapai pada jarak sumber cahaya

dengan sel surya 30 cm dan posisi lensa 14 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 57,6

%. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak

sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai kelembaban udara

(humidity) 56,3%. Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya

(61)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Kelembaban

Humidity 60.6 60.5 59.0 57.6 57.9

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 22. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Kelembaban Udara

Humidity 58.2 58.0 57.5 56.6 56.3

1 2 3 4 5 6 7

(62)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Kelembaban

Humidity 62.6 62.1 62.1 61.8 61.4

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 24. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Kelembaban Udara

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Kelembaban Udara

Humidity 61.5 61.5 61.4 61.3 61.3 61.2

1 2 3 4 5 6 7 8

(63)

Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri

pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan

memberikan kelembaban udara (humidity) minimum 61,4%. Sedangkan jika posisi

lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel

surya 10 cm akan memberikan kelembaban udara (humidity) minimum 61,2%.

4.5.3 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu Radiasi Lingkungan

Hasil pengukuran untuk mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel

surya terhadap suhu radiasi lingkungan (Globe) dapat di lihat pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5

dan 4.6. Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10

dioptri, suhu radiasi lingkungan (Globe) maksimum tercapai pada jarak sumber

cahaya dengan sel surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu

sebesar 29,8 ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40

W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai suhu radiasi

lingkungan (Globe) sebesar 30,1ºC.

Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya 100W. Untuk

pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri pada posisi 5 cm

dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan memberikan suhu

radiasi lingkungan (Globe) maksimum sebesar 30,9 ºC. Sedangkan jika posisi lensa

20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10

(64)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Suhu Radiasi

T.Radiasi 29.0 29.4 29.5 29.6 29.8

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 26. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

T.Radiasi 29.6 29.7 29.8 29.9 30.1

1 2 3 4 5 6 7

(65)

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

T.Radiasi 29.7 29.7 30.1 30.5 30.9

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 28. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 10 D terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu Radiasi Lingkungan

T.Radiasi 30.2 30.5 30.6 30.7 31.0 31.6

1 2 3 4 5 6 7 8

(66)

4.5.4 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan Suhu Basah

Pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6, diperlihatkan hasil pengukuran untuk

mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap suhu basah.

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10

dioptri, suhu basah (WB) maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya dengan sel

surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 24,8 ºC.

Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak sumber

cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai suhu basah (WB) maksimum

sebesar 24,8 ºC.

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap Suhu Basah

0

T. Basah 24.4 24.5 24.5 24.6 24.8

1 2 3 4 5 6 7

(67)

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap Suhu Basah

T. Basah 24.5 24.6 24.7 24.7 24.8

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 31. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah

Pengamatan yang sama juga di lakukan untuk sumber cahaya 100W.

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap Suhu Basah

0

T. Basah 25.0 25.2 25.3 25.4 25.7

1 2 3 4 5 6 7

(68)

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap Suhu Basah

T. Basah 25.4 25.4 25.5 25.5 25.6 25.6

1 2 3 4 5 6 7 8

Gambar 33. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100W, Lensa 20 D terhadap Suhu Basah

Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri

pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan

memberikan suhu basah (WB) maksimum sebesar 25,7 ºC. Sedangkan jika posisi

lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel

surya 10 cm akan memberikan suhu basah (WB) maksimum sebesar 25,6 ºC.

4.5.5 Hubungan Jarak Sumber Cahaya dengan ISBB

Pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5 dan 4.6, diperlihatkan hasil pengukuran untuk

mengetahui hubungan jarak sumber cahaya – sel surya terhadap heat stress, Indeks

(69)

Variasi Jarak SC40W-L10-SS terhadap ISBB

ISBB 25.8 25.9 26.0 26.1 26.3

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 34. Variasi Jarak Sumber Cahaya 40W, Lensa 10 D terhadap ISBB

Variasi Jarak SC40W-L20-SS terhadap ISBB

0

ISBB 26.0 26.1 26.3 26.3 26.4

1 2 3 4 5 6 7

(70)

Pada eksperimen yang menggunakan sumber cahaya 40 W dan lensa 10

dioptri, ISBB (indeks heat stress) maksimum tercapai pada jarak sumber cahaya

dengan sel surya 20 cm dan posisi lensa 9 cm dari sumber cahaya yaitu sebesar 26,3

ºC. Sedangkan jika posisi lensa 20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 40 W, jarak

sumber cahaya dengan sel surya 10 cm akan memberikan nilai suhu basah (WB)

maksimum sebesar 26,4 ºC.

Variasi Jarak SC100W-L10-SS terhadap ISBB

0

ISBB 26.4 26.5 26.8 26.9 27.0

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 36. Variasi Jarak Sumber Cahaya 100 W, Lensa 10 D terhadap ISBB

Untuk pemakaian sumber cahaya 100 W dan penggunaan lensa 10 dioptri

pada posisi 5 cm dari sumber cahaya yang berjarak 10 cm terhadap sel surya akan

memberikan indeks heat stress (ISBB) maksimum sebesar 27,0 ºC. Jika posisi lensa

20 dioptri 5 cm dari sumber cahaya 100 W, jarak sumber cahaya dengan sel surya 10

(71)

Variasi Jarak SC100W-L20-SS terhadap ISBB

ISBB 26.8 27.0 27.0 27.1 27.2 27.3

1 2 3 4 5 6 7 8

(72)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Kemampuan Lensa Mengubah Tegangan dan Arus Keluaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lensa mampu mengubah tegangan dan

arus, karena mempunyai kemampuan memfokus cahaya datang ke suatu titik tertentu

sesuai dengan nilai titik apinya. Cahaya datang tersebut mempunyai tingkat intensitas

yang tinggi sehingga mampu menggerakkan elektron – elektron di permukaan

semikonduktor p-n ( dalam hal ini : sel surya ) ke hole – hole (lubang-lubang bekas

elektron) yang lain, dan meninggalkan hole yang di tempatinya tadi yang kemudian di

isi oleh elektron lain (Beisser, 1968).

Apabila titik fokus ini diperluas diameternya untuk memenuhi permukaan sel

surya, maka seluruh elektron dan hole akan aktif secara maksimal yang

mengakibatkan besar tegangan dan kuat arus semakin tinggi, lebih besar dari semula.

Jika rancangan ini di susun secara seri untuk membangkitkan perangkat elektronik,

kemudian perangkat elektronik ini akan menggerakkan perangkat berikutnya, berarti

kita hanya membutuhkan energi listrik yang minimal untuk efek berantai ini.

5.1.1 Hubungan Jarak Sumber Cahaya terhadap Daya Keluaran Sel Surya

Daya keluaran yang di hasilkan sel surya akibat penyinaran yang lebih luas di

(73)

(ampere). Dari data-data hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan tegangan

dan kuat arus dengan berubahnya jarak antara sumber cahaya dengan sel surya, ini di

tunjukkan pada Tabel 4.1 (sumber cahaya 40 W) dan Tabel 4.2 (sumber cahaya 100

W). Semakin dekat dengan sumber cahaya, maka semakin besar tegangan dan kuat

arus yang di hasilkan, karena semakin maksimalnya cahaya/energi yang diterima

pada permukaan sel surya. Hal ini terbukti dari uji korelasi yang memberikan nilai p

berturut-turut (0.001) dan (0,000).

Hasil analisis statistik dengan uji korelasi untuk mengetahui kekuatan

hubungan jarak sel surya dari sumber cahaya dengan daya keluaran terlihat

mempunyai nilai p < 0,01, ini berarti Ho di tolak atau dengan kesimpulan bahwa pada

taraf nyata ( ) = 1% terdapat hubungan yang signifikan antara daya keluaran dengan

jarak sel surya dari sumber cahaya.

Daya maksimum yang dihasilkan sel surya jika disinari sumber cahaya 100 W

lebih besar 164,4 % di banding jika di sinari sumber cahaya 40 W. Pada jarak terjauh

(100 cm) dari sumber cahaya, dengan di sinari sumber cahaya 100 W memberikan

daya keluaran 0,33 µW, sedang jika di sinari sumber cahaya 40 W menghasilkan

daya keluaran 0,22 µW. Di titik terdekat (10 cm) dari sumber cahaya, sel surya yang

di sinari sumber cahaya 100 W menghasilkan daya keluaran 2,258 µW dan jika di

sinari sumber cahaya 40 W memberikan daya keluaran 1,50 µW.

Sesuai dengan persamaan efesiensi konversi energi

EA Pm

=

η bahwa daya (Pm)

Gambar

Gambar 2.  Proses alir foton – elektron pada sel surya
Gambar 4.   Berkas cahaya pada lensa bikonveks ( Halliday, 1996 )
Gambar 5.   Sifat pemantulan cahaya pada lensa ( Halliday, 1996 )
Tabel  2.1 Pengendalian Heat Stress
+7

Referensi

Dokumen terkait

arti inkulturasi sesuai dengan pemaknaan yang ada pada liturgi, maka akan dibandingkan unsur fisik antara Budaya Jawa dan budaya Gereja Katolik untuk mencari kesesuaian makna

Pemasangan pipa saluran inlet dilakukan dengan cara menghubungkan bak pemasukan bahan baku dengan lubang pemasukan di dinding tangki pencerna (digester) menggunakan pipa

Hooker (2004) juga mendukung hasil penelitian tersebut dimana return pasar dipengaruhi secara positif signifikan oleh pertumbuhan PDB. 6) Sinaga (2013), dalam penelitian

Riset Unggulan Terpadu (RUT) merupakan kegiatan riset yang dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan Sistem Iptek Nasional, dengan memadukan dan mendayagunakan

Good Coorporate Governance (GCG) sendiri merupakan kaidah, norma ataupun pedoman harus digunakan oleh pimpinan perusahaan dan para pegawai agar segala tindakan

[r]

Dengan luasan yang relatif kecil dan dikelilingi oleh APL (Area Penggunaan Lain) berupa kebun milik warga sehingga tidak jarang monyet ekor panjang dari kawasan Cagar Alam