• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNSUR TEKS MEDIA MASSA doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UNSUR TEKS MEDIA MASSA doc"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

UNSUR TEKS MEDIA MASSA

KORAN JAWA POS DAN REPUBLIKA

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi

Tugas UTS 2016/2017 Analisis Wacana

Dosen Pengampu:

Cicik Trijayanti, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:

FATHOR RAHMAN

NIM: 140621100083

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sekarang Indonesia telah memasuki era di mana media massa mengalami mengalami perkembangan sangat pesat, baik dari sisi teknologi media maupun konten media itu sendiri. Media massa yang jumlahnya semakin meningkat hingga saat ini, menuntu mahasiswa untuk lebih cerdas menggunakan medua. Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mampu mengoperasikan media, namun juga kritis terhadap konten-konten yang ada di dalamnya. Pesan-pesan yang disampaikan oleh medua massa sangat banyak dan beragam. Selain itu, perlu diketahui bahwa media massa sesungguhnya lebih dari sekedar merefleksi realitas melainkan merepresentasikan realitas lainnya.

Semua media massa merekonstruksi realitas, namun hasil konstruksi itu tentu saja tidak sam dengan fakta. Bahasa yang digunakan media kha untuk setiap bentuk komunikasi. Khalayak menegosiasi makna, dan media mengandung bias nilai dan komersial. Semua itu menunjukkan bagaimana media massa di Indonesia bukan menjalan peran merefleksi realitas, melainkan merepresentasikan realitas. Konsekuensinya, media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk merumuskan tentang realitas politik, cultural, dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak.

Media di Indonesia memang sudah menjadi hegemoni penguasa ataupun pengusaha dalam membentuk opini public, karena media merepresentasikan kepentingan pemilik saha, para elit dan para politikus dalam melanggengkan kekuasaan dan pengaruhnya di bumi pertiwi ini.

Berangkat dari beberapa argumen di atas, maka perlu adanya analisis terkait tajuk yang ditulis oleh redaktur pada suatu koran. Kedua koran tersebut cukup berkuasa di kawasan jawa timur.

1.2 Rumusan Masalah

a) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober 2016?

b) Bagaimana Struktur Teks Tajuk Rencana Koran Republika 11 Oktober 2016? c) Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Tajuk Rencana dari Kedua Koran

Tersebut?

(3)
(4)

2.1 Landasan Teori

Dari sekian banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Djik adalah model yang sering digunakan. Hal ini kemungkinan karena van Djik mengolaborasi elemen-elemen sehingga didayagunakan dan dipakai secara praktis.

Di antaranya adalah struktur teks. Teks bukan suatu yang datang dari langit, bukan juga ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Elemen-elemen di dalam struktur teks ini sebagi berikut.

a) Tematik

Tema termasuk ke dalam tingkatan analisis teks pertama yakni struktur makro. Tema merupakan gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Tema atau kadang disebut topik ini menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh pemberita dalam berita yang dibuatnya, (Eriyanto, 2012: 229).

b) Skematik

Tingkatan yang kedua dalam analisis wacana van Djik adalah superstruktur. Skematik ini merupakan bagian dalam tingkatan superstruktur. Teks wacana pada umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan serta akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membuat kesatuan arti, (Eriyanto, 2012: 232).

c) Latar

Latar termasuk dalam bagian tingkat analisis struktur mikro. Latar merupakan bagian berita yang dapat memengaruhi semantik yang ingin ditampilkan. Latar biasanya ditulis sebagai latar belakang berita atau peristiwa. Latar yang ditulis tersebut menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa oleh wartawan atau penulis. Latar dapat dijadikan alasan pembenaran gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Sebab itu, latar teks merupakan elem yang berguna karena dapat membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan, (Eriyanto, 2012: 235).

d) Detil

(5)

Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit.

e) Maksud

Elemen maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya, jika dalam detil informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan detil panjang, maka dalam elemen Maksud, informasi yang menguntungkan komunikatorakan diuraikan secara eksplisit. Sebaliknya, informasi yang kurang mendukung akan diuraikan secara sama atau implisit, (Eriyanto, 2012: 240-241).

f) Koheren

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya, (Eriyanto, 2016: 242).

g) Koherensi Kondisional

Koherensi kondisional di antaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua merupakan penjelas dari kalimat pertama.

h) Koherensi Pembeda

Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan atau dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanmyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan.

i) Pengingkaran

Pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuan tersebut, (Eriyanto, 2012: 249).

j) Bentuk Kalimat

(6)

k) Kata Ganti

Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana, (Eriyanto, 2012:254).

l) Leksikon

Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Pilihan kata yang dipakai menunjukkan sikap dan ideology tertentu. Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda, (Eriyanto, 2012: 255). m) Praanggapan

Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercayai kebenarannya, (Eriyanto, 2012: 256).

n) Grafis

Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (apa yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain.

o) Metafora

Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita.

2.2 Analisis Teks Koran Jawa Pos Edisi 11 Oktober 2016

Setelah Ahok

Minta Maaf

(7)

Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para kandidat.

Cukup banyak yang perlu dibicarakan dalam setiap kampanye pilkada, termasuk di DKI. Pekerjaan yang mengurus rakyat itu luar biasa banyak. Untuk itu, Ahok-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno perlu didorong untuk berada dir el kerja konkret. Bagaimana mereka akan mengatasi kemacetan, banjir, transparansi anggaran, reklamasi, hak nelayan, hak rakyat kecil, partisipasi masyarakat, dan aneka kerja pemerintahan lainnya.

Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara. Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat, boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.

Coblosan Pilgub DKI 15 Februari 2017 itu jadi pelajaran penting. Karena panggungnya Jakarta, seakan seluruh anak bangsa merasa berkepentingan. Tak peduli bahwa yang punya hak pilih hanya yang ber-KTP DKI. Raihan Joko Widodo (Jokowi) yang menjadikan kursi gubernur DKI sebagai lompatan ke-RI membuat panggung Pilgub DKI makin seru dan gampang panas.

Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang serangan yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan diuji di bilik suara, apakah masih direstui rakyat. Sebab, dalam Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara utama adalah Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.

Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam perdebatan kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan tergoda overdosis bicara SARA (yang sebagian memang dari sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.

(8)

2.2.1 Tematik

Adanya pilgub DKI Jakarta yang akan dilaksanakan pada 15 Februari 2017 ini telah menuai banyak kontroversi, terutama dari kandidat Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab dipanggil Ahok. Tema yang terkandung dalam Tajuk Rencana “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah “bagaimana masyarakat mampu bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi. Penulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa momentum pilgub ini, masyarakat DKI Jakarta harus secara cerdas dalam menghadapinya. Tidak boleh terkecoh dengan isu-isu yang berbau SARA (provokasi) kemudian memarginalkan satu pihak tanpa telaah yang objektif dari berbagai sudut pandang.

“Ahok Sudah Minta Maaf” merupakan judul yang disajikan oleh penulis untuk mengangkat kembali citra Ahok yang termarginalkan oleh pernyataannya sendiri tentang Al-quran surah Al-maidah. Namun, ternyata penulis masih tetap menggunakan prinsip keberimbangan. Artinya, pihak lawan dari Ahok juga dibela agar tidak terkesan timpang sebelah seperti pada kutipan berikut.

“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?)”.

“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”

Penulis berusaha tidak ikut terjerat dalam isu-isu yang sarat akan intrik dan profokasi satu pihak. Sebab itu, penulis menekankan pada opini pada masyarakat untuk menjadi peserta pilgub yang cerdas. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipat berikut.

“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara. Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat, boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”

(9)

masing-masing kandidat. Tentu penulisan tersebut sebagai sarana pendukung terhadap ‘tema utama’ yang telah ditetapkan oleh penulis. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipat berikut.

“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.

Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”

2.2.2 Skematik

Mula-mula redaktur sebagai penulis menampilkan judul “Setelah Ahok Minta Maaf”. Kemudian, penulis menampilkan lead berupa ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara utuh. Hal itu dilakukan dengan menampilkan kalimat verbal langsung dari Ahok terkait fakta permintaan maafnya.

“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf”.

Setelah itu, pada paragraph kedua, penulis juga menyuguhkan pihak yang mempermasalahkan Ahok.

“Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?).”

Hal ini merupakan strategi bagi penulis dalam mencapai tema yang dipilih, yakni bagaimana masyarakat mampu bersikap mandiri dalam pilgub; tidak terprovokasi.

“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para kandidat.”

(10)

keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”

Proses selanjutnya yakni kembali pada permasalahan yang terjadi, yaitu pesoalan apa yang telah dialakukan oleh Ahok.

“Karakter dan lisan Ahok yang “kayak gitu” turut mengundang serangan yang melebar ke mana-mana. Ahok benar-benar akan diuji di bilik suara, apakah masih direstui rakyat. Sebab, dalam Pilgub DKI 2012, diyakini pendulang suara utama adalah Jokowi, pasangan Ahok. Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”

Namun, itu hanya sebagai stimulus saja untuk dijadikan referensi bagi masyarakat dalam membentuk pola pikir dan sikap mandiri tentang pemilu. Akhirnya, pada bagian akhir, penulis kembali pada alur dan tema utama.

“Hal-hal konkret seperti itu yang perlu banyak dikupas dalam perdebatan kampanye (dan prakampanye) Pilgub. Jangan tergoda overdosis bicara SARA (yang sebagian memang dari sononya, bukan?). Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.”

“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”

Tentu dengan menempatkan tema utama pada alur terakhir, pembaca secara tidak sadar diberi kesan bahwa mereka harus memiliki pola pikir yang sama dengan penulis.

Skematik yang telah dirancang dan ditulis tersebut akhirnya membentuk satu kesatuan yang koheren dan padu. Apa yang diungkap dalam superstruktur pertama didukung oleh bagian-bagian lain dalam berita, (Eriyanto, 2012: 233).

2.2.3 Latar

(11)

Hendaknya juga jadi tuntunan. Penulis ingin menyampaikan bahwa merupakan hal biasa jika DKI akan menjadi rebutan para calon pemimpin. Karena melalui DKI yang merupakan ibukota Negara, tentu citra yang dihasilkannya pun akan besar. Tentu juga hal itu akan cukup berpengaruh jika mereka hendak mencalonkan diri sebagai presiden RI.

Dari asumsi itulah, penulis ingin menegaskan bahwa rakyat harus jeli terhadap permasalah yang ada. Adanya “gesekan” antar kandidat pasti tidak akan terakkan. Oleh sebab itu, kembali penulis menyampaikan bahwa masyarakat haruslah cerdas untuk bagaimana ia akan mempertanggungjawabkan hak suaranya nanti.

2.2.4 Detail

Detil yang hendak disampaikan penulis dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah:

“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para kandidat.”

“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara. Mengajak, yakni lewat kampanye atau pengunggulan kandidat, boleh saja. Tetapi akan produktif bila terpacak pada program yang konkret. Isu SARA memang tak terhindarkan karena keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”

“Rakyat perlu diajak makin cerdas untuk mengukur kinerja konkret serta rekam jejak perlakuan terhadap masyarakat.”

“Bagaimanapun, Pilgub DKI jadi tontonan seluruh rakyat Indonesia. Hendaknya juga jadi tuntunan.”

(12)

suaranya. Kalimat ketiga, barulah penulis menyampaikan maksud dari pemaparan kalimat satu dan dua bahwa rakyat perlu berpikir cerdas untuk mengoreksi secara objektif dari masing-masing kandidat. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak muda dibohongi dan terbohongi oleh isu yang ada. kalimat keempat, penulis memberikan saran dan penutupnya, bahwa DKI adalah kota yang bersar dengan tanggungjawab yang besar pula. Bisa jadi hal itu adalah ajang bagi politisi untuk medobrak popularitas di media untuk selanjutnya menuju ke meja Presiden Republik Indonesia. Oleh sebab itu, maka tidak ayal jika meski bukan penduduk yang berdomisili Jakarta seakan ikut andil dalam prosesnya.

2.2.5 Maksud

Elemen maksud yang terdapat dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf’ dapat dilihat pada tabel berikut. itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?).

Tabel di atas menunjukkan dua contoh kalimat yang ekplisit dan implisit. Kalimat pertama digambarkan secara jelas bahwa rakyat perlu cerdas dalam mengukur kinerja konkret serta rekam jejak masing-masing kandidat atas pelayanannya kepada masyarakat. Kalimat kedua, penulis secara tidak langsung mengajak pembaca atau masyarakat agar tidak terjebak dan larut dalam permasalahan politik yang terjadi. Tentu tujuannya adalah agar pembaca atau masyarakat mampu berpikir cerdas sesuai dengan kalimat eksplisit tadi yang sesuai dengan tema yang ambil.

2.2.6 Koherensi

(13)

“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu.

-Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?).

-Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para kandidat.”

Kalimat pertama dan kalimat kedua saling bertentangan. Kalimat pertama seakan membela Ahok dan kalimat kedua seakan membela pihak oposisi. Namun pada kalimat ketiga dengan menggunakan konjungsi “Tapi” pada awal kalimat, membuat kedua kalimat tadi menjadi berhubungan. Sehingga, maksud yang ingin disampaikan akan selaras dengan tema.

2.2.7 Koherensi Kondisional

Koherensi Kondisional yang terkandung dalam tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah pada kutipan berikut.

“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.

Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan bahwa anggapan apapun dari masyarakat terkait dengan isu yang beredar tentang kandidat gubernur DKI Jakarta, agar dibesar-besarkan di luar. Lebih baik hal itu menjadi privasi masing-masing individu untuk diselesaikan di dalam bilik suara pada saat pemilihan tiba. Sebab itu, penulis menjabarkan lebih lanjut tentang gagasannya melalui kalimat berikutnya atau yang biasa disebut anak kalimat. Penjelas yang digunakan merupakan penjelas yang positif, seperti tampak pada kutipan berikut.

(14)

keberagaman gampang dijadikan garis berpihak. Namun, itu tak boleh dominan. Dominasinya harus bicara kerja dan solusi.”

2.2.8 Pengingkaran

Pengingkaran yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah pada kutipan berikut.

“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”

Pada kalimat pertama, penulis terkesan menyetujui Ahok yang mencalonkan diri sebagai gubernur DKI. Penulis mengungkapkan opini bahwa Ahok memang telah melakukan banyak perubahan. Namun, pada kalimat berikutnya, penulis melakukan pengingkaran dengan berpendapat bahwa Ahok bisa saja melakukan keberpihakan pada suatu partai, perusahaan, organisasi, dll. dalam melakukan pembangunan di DKI Jakarta. Dengan kata lain, wartawan secara tidak tegas dan eksplisit menyampaikan gagasannya kepada khalayak, (Eriyanto, 2012: 249).

2.2.9 Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah pada kutipan berikut.

“Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif.”

(15)

2.2.10 Kata Ganti

Elemen kata ganti yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” adalah pada kutipan berikut.

“Setuju atau tidak setuju, kita sampaikan di bilik suara.”

Penggunaan kata ganti “kita” pada kutipan di atas menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas/pembaca secara keseluruhan.

2.2.11 Leksikon

Leksikon yang terdapat pada tajuk “Setelah Ahok Minta Maaf” dapat cermati pada kutipan berikut.

“Karakter dan lisan Ahok yang ‘kayak gitu’ turut mengundang serangan yang melebar ke mana-mana.”

(16)

2.2.12 Praanggapan

Praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Hampir serupa dengan latar yang berupaya mendukung pendapat dengan jalan memberikan latarbelakang pada suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercayai kebenarannya.

“Memang Ahok dianggap sudah melakukan banyak perubahan. Namun, keraguan kepada siapa dia berpihak dalam pembangunan juga banyak dipersoalkan.”

Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Penulis yang membenarkan bahwa masyarakat harus bersikap cerdas dan kritis dalam menanggapi isu-isu politik dalam pilgub tersebut, memakan praanggapan, demokrasi yang solutif. Pernyataan ini adalah suatu premis dasar yang akan menentukan proposisi dukungan penulis terhadap praanggapan tersebut. Maka pada kalimat pertama pada kutipan di atas, penulis memberikan praanggapan Ahok yang telah teruji kepemimpinannya. Namun, pada kalimat kedua, Ahok diposisikan berbeda untuk suatu hal yang tidak koheren. Hal itu bertujuan bahwa, penulis ingin memberikan pemikiran yang memperhatikan pada setiap sudut pandang. Sehingga, diyakini dengan cara seperti itu pembaca akan belajar berpikir kritis demi terwujudnya demokrasi yang selutif. Maka, jika hal itu benar terjadi, dapat dikatakan bahwa maksud dari penulis telah diamini oleh pembaca.

2.4 Persamaan dan Perbedaan

Meskipun kedua media pers tersebut berbeda namun, keduanya memiliki persamaan dalam bagaimana cara mengajinya, atau sudut pandangnya. Berikut merupakan beberapa aspek persamaan dan perbedaan antara tajuk rencana di Koran Jawa Pos dan Republika edisi 11 Oktober 2016.

(17)

b. Secara skematik, keduanya menggunakan teknik yang sama yaitu memberikan judul yang menarik dan peenggunaan elemen pengantar ringkasan materi yang secara substansi sama.

c. Secara latar, keduanya sama-sama membahas tentang bagaimana pilihan gubernur benar-benar dijadikan perhatian dalam momen pilkada oleh masyarakat. Hanya saja, Republika mengambil kasus di AS dan Jawa Pos pada pilkada DKI Jakarta.

d. Scara Detail, keduanya sama-sama menguraikan secara panjang dan dominan dibandingkan gagasan yang lain.

e. Secara maksud, hanya penulis di Jawa Pos-lah yang menggunaan struktur maksud.

f. Secara koherensi, hanya Jawa Pos-lah yang terdapat struktur koherensi di dalam tajuk rencana.

g. Secara koherensi pembeda, keduanya sama-sama terdapat struktur ini. h. Secara pengingkaran, hanya Jawa Pos terdapar struktur ini.

i. Secara bentuk kalimat, Jawa Pos dan Republika menggunakan pola ‘subjek-menerangkan objek’.

j. Secara kata ganti, keduanya sama-sama menggunakan menggunakan kata ganti kita untuk mendapatkan dukungan dari pembaca.

k. Secara leksikon, keduanya sama-sama menggunakan bahasa yang berdenotasi negatif.

l. Secara praanggapan,

m. Secara praanggapan, keduanya sama-sama menggunakan praanggapan. Hanya saja Jawa Pos menggunakan Praanggapan Demokrasi yang Sprortif sedangkan Republika berpraanggapan Debat bukan. Suatu yang Mudah.

2.3 Analisis Unsur Teks Koran Republika Edisi 11 Oktober 2016

Belajar Debat di AS

(18)

Dari dua kali debat, yang terakhir Ahad (9/10), terlihat satu hal yang sangat menonjol. Itu adalah bagaimana kemampuan kedua kandidat membedah pertanyaan dan kemudian menjawab pertanyaan dalam waktu yang singkat, hanya dua menit.

Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masing-masing kandidat sepanjang debat berjalan.

Lewat debat itu Clinton, yang maju dari partai democrat dan Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS. Rakyat menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab dengan baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai materi, serta mampu mengupas kelemahan lawan.

Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru “melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan lawannya.

Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan mengatakan beberapa kalimat pembuka menjawab pertanyaan, lalu kemudian mereka beralih menyoroti kekuarangan lawan, kebijakan masa lalu, dan kesalahan-kesalahan lawan. Begitu seterusnya kedua kandidat sepanjang waktu debat.

Tidak ada upaya untuk menjawab sistematis pertanyaan. Padahal, pertanyaan itu penting temanya bagi publik AS seperti perekonomian nasional, utang, lapangan kerja, terorisme, jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional, nuklir, Timur Tengah, dan lain sebagainya.

Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.

Pada Februari 2017 akan berlangsung pemilihan kepala daerah serentak di berbagai provinsi, kabupaten/kota. Ratusan kandidat sudah mendaftar.

Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar program pasti akan dilakukan seluruh kandidat. Perang pernyataan pasti akan terjadi. Politik akan menjadi sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar menentukan pilihan karena terlalu berisik.

Di sinilah pentingnya kita kembali mencermati beberapa hal. Bagi sebagian kelompok, faktor yang menentukan dalam memilih pemimpin adalah agama. Bagi kelompok lain, faktor itu dapat berupa sosok, pembawaan, perilaku, kesantunan, gaya bicara, ketampanan, atau kegagahan.

(19)

Barrack Obama dan Joko Widodo adalah contoh nyata. Keduanya “bukan siapa-siapa” sebelum mencalonkan diri menjadi calon presiden. Obama adalah senator pemula di Chicago. Jokowi adalah pengusaha mebel yang menjadi wali kota.

Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni jawaban-jawabannya mampu membangkitkan optimisme pemilihannya bahwa ada harapan perbaikan pascapemilihan, terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.

Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak merasa aura optimisme yang serupa. Malah kita menjadi ragu, mampukah keduanya memerintah Negara super power itu? Optimismee bagi masyarakat adalah barang langka tempo-tempo ini. Masyarakat lebih sering merasa dan melihat realitas yang pahit daripada mencecap optimisme yang manis. Pada akumulasinya, realitas pahit itu menciptakan warga yang cenderung apatis terhadap harapan.

Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimisme dan harapan perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses penemuan kandidat macam ini harus kita mulai dari melihat jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat yang menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu peta situasi di lapangan, dan pandai menempatkan diri di berbagai level masyarakat.

(20)

2.3.1 Tematik

Tematik yang dapat ditemui dalam tajuk “Belajar Debat di AS” adalah realitas kandidat pemimpin yang tidak memiliki sikap leadership, khususnya sikap optimisme. Berikut kutipan yang dapat dijadikan sampel.

“Menemunkan kandidat yang mampu meniupkan optimismee dan harapan perbaikan kepada pemilih itu sukar. Proses penemuan kandidat macam ini harus kita mulai dari melihat jawaban-jawabannya atas permasalahan kita: kandidat yang menjawab dengan solusi cerdas, mengerti permasalahan, tahu peta situasi di lapangan, dan pandai menempatkan diri di berbagai level masyarakat.”

Kutipan di atas memaparkan bahwa realitas kandidat yang ada saat ini terkesan tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Hal itu dapat diamati dalam kampanye ataupun debat yang terlaksana di dalam sebuah wilayah. Jika dalam hal ini adalah, Amerika Serikat yang merupakan Negara yang besar. Maka, melalui tajuk ini, penulis menyampaikan bahwa hal itu harus menjadi koreksi tersendiri bagi kandidat di Indonesia. Selain itu, secara masyarakat harus peka dengan keadaan tersebut.

2.3.2 Skematik

Skematik yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS”, pertama pada kategori summary. Penulis memberikan judul Belajar Debat di AS sebenarnya ingin mengikat pembaca pada persoalan inti yang hendak dipaparkan di dalamnya. Kemudian, penulis menggunakan teknik lead berupa pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan, seperti tampak pada kutipan di bawah.

Debat dua calon presiden Amerika Serikat, Hilarry Rodham Clinton dan Donald Trump, menarik untuk dicermati publik Indonesia. Kedua kandidat sudah dua kali berdebat dan akan menghadapi debat terakhir kalinya sebelum rakyat AS menentukan pilihan November mendatang.”

(21)

“Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru kandidat pemimpin wilayah yang kurang berkapasitas yang mengambil contoh di AS. Hal tersebut dilakukan agar penekanan atas tema yang diambil lebih tertonjol setelah penulis memaparkan ringkasan sebagai pengantar materinya.

2.3.3 Latar

Latar yang terdapat dalam tajuk “Belajar Debat di AS” ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.”

Jika disinkronkan dengan tema yang terkandung, maka dapat dikatakan bahwa kutipan di atas merupakan latar belakang dari tema tersebut. Kondisi kandidat yang ada di Amerika Seritkat sebaiknya sudah menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat yang memiliki predikat Negara paling demokratis pun masih terdapat peluang kualitas kandidat yang tidak berkualitas. Apalagi Indonesia yang dapat dikatakan masih di bawah Amerika Serikat.

2.3.4 Detail

Detil yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada kutipa berikut.

“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masing-masing kandidat sepanjang debat berjalan.

(22)

sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS. Rakyat menjadi penilainya, apakah kandidat mereka menjawab dengan baik, menunjukkan kepemimpinan yang solid, menguasai materi, serta mampu mengupas kelemahan lawan.

Namun, dalam dua sesi debat, kedua kandidat justru “melewatkan” kesempatan menjawab pertanyaan. Lho, kalau tidak menjawab pertanyaan, apa yang mereka lakukan? Yang keduanya lakukan justru terus menyerang kelemahan lawannya.

Clinton dan Trump akan membuka sesi mereka dengan Padahal, pertanyaan itu penting temanya bagi public AS seperti perekonomian nasional, utang, lapangan kerja, terorisme, jaminan kesehatan sosal, keamanan nasional, nuklir, Timur Tengah, dan lain sebagainya.

Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.”

Kutipan pertama mencoba memberikan pemahaman terhadap pembaca bahwa debat bukanlah hal gampang, apalagi debat dari kandidat pemimpin. Kutipan kedua, penulis mulai mengambil kasus yang terjadi pada kandidat AS yaitu Clinton dan Trump yang dalam hal ini seluruh bangsa Amerika Serikat menyaksikan dan menilai bagaimana keduanya. Kutipan ketiga penulis menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh kedua kandidat dari Amerika Serikat tersebut. Keempat, kesalahkaprahan dari kedua kandidat tersebut diperjelas dengan kasus nyata. Kelima, penulis berpendapat untuk memberikan kesan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua kandidat tersebut memang salah kaprah dan menyeleweng. Kemudian, terakhir penulis memberikan saran kepada pembaca agar kasus tersebut dapat dijadikan referensi bagi pembaca.

(23)

paragraph berikutnya, penulis lebih mendetilkan permasalahan dari stori yang digunakan.

2.3.5 Koherensi Kondisional

Koherensi kondisional yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” adalah pada kutipan berikut.

“Lewat debat itu Clinton yang maju dari partai demokrat dan Trump yang meluncur dari Partai Republik menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS.”

Kalimat kutipan di atas tidak akan berubah arti kalimat seumpama anak kalimat dihilangkan. Contoh, lewat debat itu menunjukkan sebagian sisi kepemimpinan mereka kepada rakyat AS. Anak kalimat Clinton yang maju dari partai democrat dan Trump yang meluncur dari Partai Republik berfungsi sebagai penjelas. Padahal meskipun tidak diberi anak kalimat, kalimat itu sudah bisa dimaknai karena pada akhir kalimat sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah Clinton dan Trump dengan menyebut “rakyat AS”.

2.3.6 Bentuk Kalimat

Bentuk kalimat yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat diamati pada kalimat, Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar program pasti akan dilakukan seluruh kandidat. Tebar janji, bedah masalah, dan program diposisikan di awal untuk menjelaskan bagaimana lumrah dilakukan oleh kandidat manapun. Selain itu, dengan penempatan tersebut penulis menginginkan agar akibat-akibat yang selalu dilakukan objek terkesan lebih menonjol. Dengan cara seperti itu, maka akan lebih sinkron dengan tema yang diangkat.

2.3.7 Kata Ganti

Kata ganti yang terdapat pada tajuk “Belar Debat di AS” dapat dikatakan banyak. Berikut salah satu contoh sampelnya.

“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak.”

(24)

“Namun, kita akui, keduanya memiliki satu faktor utama, yakni jawaban-jawabannya mampu membangkitkan optimisme pemilihannya bahwa ada harapan perbaikan pascapemilihan, terlepas dari apa pun kekuarangan Obama dan Jokowi.”

“Sementara, kalau kita lihat Hilarry dan Trump, kita tidak merasa aura optimismee yang serupa.”

Kutipan di atas, penulis tampak sering menggunakan kata ganti “kita” dapat menyampaikan argumentasinya. Tentu hal ini bukan semata-mata tidak disengaja. Pemakaian kata ganti jamak mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi ke pada diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata ganti ini bertujuan untuk menarik simpati pembaca untuk menyetujui sudut pandangnya.

2.3.8 Leksikon

Leksikon yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat di amati pada kutipan berikut.

“Optimisme bagi masyarakat adalah barang langka tempo-tempo ini.”

“Sebentar lagi musim kampanye. Tebar janji, bedah masalah, sampai umbar program pasti akan dilakukan seluruh kandidat. Perang pernyataan pasti akan terjadi. Politik akan menjadi sangat riuh. Pada satu titik, masyarakat akan sukar menentukan pilihan karena terlalu berisik. “

(25)

2.3.9 Praanggapan

Praanggapan yang terdapat pada tajuk “Belajar Debat di AS” dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Debat bukanlah hal yang mudah. Butuh persiapan materi yang matang, skenario jawaban, reaksi atas pertanyaan sekaligus reaksi atas serangan lawan, serta kedewasaan emosional masing-masing kandidat sepanjang debat berjalan.”

Penulis memberikan praanggapan melalui presmis bahwa debat merupakan hal yang sulit sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Meskipun praanggapan tersebut merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasannya.

2.5 Fungsi Bahasa

2.5.1 Fungsi Bahasa pada Koran Jawa Pos

Dari keseluruhan, koran ini memiliki dominasi fungsi bahasa konatif. Penggunaan kata ”kita” oleh penulis mengandung unsur mengajak atau memengaruhi. Maka dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Kita hargai permintaan maaf sosok bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu. Kita hargai juga yang membawa kasus tersebut ke polisi (langkah hukum itu sah, bukan?). Tapi, kita perlu kembali fokus pada berdemokrasi yang solutif. Yakni berbicara tentang rekam jejak dan apa yang akan dilakukan para kandidat.”

Penulis mengajak pembaca dengan menggunakan bahasa “kita” untuk turut sependapat dengannya. Selaras dengan tema yang diguankan adalah untuk mengajak masyarakat agar berpikir kritis dalam menghadapi pemilu raya. Jadi, tulisan tersebut sarat akan subjektivitas.

2.5.2 Fungsi Bahasa pada Koran Republika

(26)

menghilangkan batasan antara si penulis dan si pembaca. Fungsi konatif tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Dari dua debat ini kita bisa belajar banyak. Bahkan, di Negara yang katanya paling demokratis dan kerap mengajarkan demokrasi ke Negara lain, kualitas kandidat ternyata tidak mencerminkan hal itu.”

(27)

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan

Model penelitian wacana dari van Djik merupakan model yang paling banyak digunakan. Teori van Djik ini meneliti teks dari segi tematik, skematik, latar, detil, maksud, koheren, koherensi kondisional, koherensi pembeda, pengingkaran, bentuk kalimat, kata ganti, leksikon, praanggapan, grafis, dan metafora.

Kora Jawa Pos dan Republika pada tanggal 11 Oktober 2016 sama-sama membahas tentang bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi pemilihan umum. Setelah dianalisis menggunakan teori van Djik, tidak semua aspek terdapat di dalam kedua koran tersebut. Namun, pada intinya, kedua koran tersebut memiliki fungsi bahasa memengaruhi atau fungsi konatif.

3.2 Saran

(28)

DAFTAR PUSTAKA

(29)
(30)

Gambar

Tabel di atas menunjukkan dua contoh kalimat yang ekplisit dan implisit.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini didasari atas sebuah fenomena yang menunjukkan perkembangan media massa 

Sebagai catatan penutup, sebagaimana telah disampaikan di awal tulisan ini, bahwa realitas media di era budaya massa kini adalah sebuah paradoks, yang di satu sisi

Perkembangan media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks sebagai institusi sosial dan politik belaka, melainkan juga harus dilihat dalam konteks

Posisi kuasa media yang begitu strategis dalam komunikasi massa, di satu sisi menjadi penjaga kepentingan publik dan menyuarakan kepentingan publik, namun di sisi lain dengan

Media massa di satu sisi diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran dari berbagai kelompok yang ada di dalam masyarakat, tetapi di sisi yang lain, pengaruh pemilik modal

Perkembangan media massa modern menempatkan media tidak lagi dipahami dalam konteks sebagai institusi sosial dan politik belaka, melainkan juga harus dilihat dalam konteks

Konten yang terkandung dalam media massa yang sudah dipengaruhi dan dikendarai oleh kepentingan pemilik media cenderung berpotensi merugikan publik karena lama-kelamaan masyarakat akan

Saya sengaja membedah berbagai persoalan mengenai peta kepemilikan media massa di Indonesia sekarang; wartawan, media (massa dan sosial) dan perubahan sosial; ekonomi politik media