• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pewarta-Indonesia, Pertama, bagaimanakah peta kepemilikan media massa di Indonesia saat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pewarta-Indonesia, Pertama, bagaimanakah peta kepemilikan media massa di Indonesia saat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Pewarta-Indonesia, Pertama, bagaimanakah peta kepemilikan media massa di Indonesia saat

ini (18 Mei 2013)? Kedua, seberapa ampuh atau hebatkah

wartawan (penulis, peneliti) media massa dan jaringan media sosial dalam menggerakkan publik melakukan berbagai perubahan sosial?

Ketiga,

lebih sakti manakah antara pengusaha media massa (konglomerat) dan wartawan itu dalam menentukan arah kebijakan redaksional dan korporasional media massa?

Keempat,

mengapakah para pengusaha media massa selalu mendominasi (menghegemoni) berbagai kepentingan "ekonomi dan politik" media massa dibandingkan pihak wartawan atau publik?

Kelima,

soal kesejahteraan hidup wartawan, memangnya berapakah gaji tertinggi yang diperoleh para wartawan di Indonesia?

Keenam,

bagaimana pula kualitas laporan jurnalistik yang dihasilkan oleh para wartawan di Indonesia melalui berbagai media massa cetak dan elektronik?

Ketujuh,

mengapakah juga para pemilik media (pengusaha/konglomerat media) kini berlomba-lomba sekaligus menjadi politisi?

Stop dulu. Rencananya saya akan melontarkan 93 model pertanyaan lagi, agar genap menjadi 100 model pertanyaan. Namun karena keterbatasan ruang dan waktu dalam forum intelektual ini, maka saya hanya mengajukan 7 model pertanyaan di atas dan dicoba dikupas secara tuntas. Dengan bertitik tolak dari 7 model pertanyaan kritis di atas, kita akan dengan mudah secara objektif sekaligus subjektif dalam memetakan secara intelektual maupun instingtif berbagai fakta, data, informasi, interpretasi dan sintesis atas problematika kompleks tersebut.

Mari kita bedah satu persatu pokok persoalan di atas. Saya akan mengupasnya dengan gaya konvensional saja, di mana akan diuraikan secara runtut dan tersistematis, agar setiap orang yang membaca makalah ini dengan segera mudah memahami gagasan (pemikiran) yang saya coba sodorkan dan konstruksikan di tengah forum yang dihelat oleh para aktivis mahasiswa UGM ini.

(2)

Tahukah Anda secara global (mondial), peta industri media massa di seluruh dunia ini hanya dikuasai oleh para pengusaha Yahudi. Fakta menunjukkan bahwa industri media massa sedunia hanya dikuasai oleh 6 perusahaan media massa milik Yahudi. Perusahaan raksasa media massa tersebut adalah Vivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney

Corporation, Bertelsmann AG, Viacom , dan News Corporation.

Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (

Ramdan, Anton A. 2009

). Para konglomerat (orang-orang terkaya sedunia) media dunia berkepentingan menguasai industri media massa di dunia, di samping untuk mengeruk keuntungan (misi materi); juga sekaligus dalam rangka menyebarkan pengaruhnya (misi non materi). Bagaimanakah implikasi jangka panjangnya, ketika industri media massa dikuasai hanya oleh 6 korporasi Internasional yang menguasai 96 persen pasar dunia? Tentulah kepentingan bisnis maupun politik dari para pemilik modal (pengusaha) media massa itu menghegemoni publik. Publik, rakyat, penduduk, masyarakat, Anda dan kita menjadi “tak berdaya” oleh kekuatan korporasional media-media massa raksasa tersebut.

Mari panca indera kita arahkan kepada peta industri media massa di Indonesia saat ini.

Siapakah para penghegemoni industri media massa di Indonesia? Adalah 13 grup perusahaan media swasta nasional. Mereka adalah MNC Group dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo

mempunyai 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak dan 1 media online; Kompas Gramedia Group milik Jacob Oetomo memiliki 10 stasiun televisi, 12 stasiun radio, 89 media cetak dan 2 media

online

; Elang Mahkota Teknologi milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja mempunyai 3 stasiun televisi dan 1 media

online

; sedangkan Mahaka Media dipunyai oleh Abdul Gani dan Erick Tohir mempunyai 2 stasiun televisi, 19 stasiun radio,

dan 5 media cetak; CT Group dipunyai Chairul Tanjung memiliki jaringan 2 stasiun televisi, 1 media

online

. Grup perusahaan lainnya adalah Beritasatu Media Holdings/Lippo Group yang dimiliki James Riady mempunyai 2 stasiun televisi, 10 media cetak dan 1 media

online

; Media Group milik Surya Dharma Paloh memiliki 1 stasiun televisi dan 3 media cetak; Visi Media Asia (

Bakrie & Brothers

) milik Anindya Bakrie mempunyai 2 stasiun televisi dan 1 media

online

; Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan dan Azrul Ananda mempunyai 20 stasiun televisi, 171 media cetak dan 1 media

(3)

; MRA Media milik Adiguna Soetowo dan Soetikno Soedarjo memiliki 11 stasiun radio, 16 media cetak; Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo mempunyai 2 stasiun radio dan 14 media cetak; Tempo Inti Media milik Yayasan Tempo memiliki 1 stasiun televisi, 1 stasiun radio, 3 media cetak dan 1 media

online

; Media Bali Post Group (KMB) milik Satria Narada mempunyai 9 stasiun televisi, 8 stasiun radio, 8 media cetak dan 2 media

online

(

Nugroho, Yanuar. dkk. 2012 dan Lim, M. 2012

).

Jika dipetakan kembali, di luar 13 grup koorporasi media massa nasional di atas; terdapat perusahaan media raksasa milik negara yakni TVRI, RRI dan Kantor Berita Antara; yang selama ini penggunaannya lebih diberdayakan sebagai “kepanjangan tangan” dari pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga publik (masyarakat) merasa kurang memilikinya. Dan juga di berbagai daerah, hingga kini masih hidup perusahaan media lokal yang terlepas dari struktur manajemen 13 perusahaan raksasa nasional di atas. Mereka adalah KR Group (SKH

Kedaulatan Rakyat, Koran Merapi Pembaruan, SKM Minggu Pagi, KR Radio), Pikiran Rakyat Group (Pikiran Rakyat, Galamedia, Pakuan, Priangan, Fajar Banten, Radio Parahyangan, Percetakan PT Granesia Bandung), Suara Merdeka Group (Suara Merdeka, Wawasan,

Cempaka, Harian Tegal, Harian Pekalongan, Harian Semarang, Harian Banyumas dll.), Bisnis Indonesia Group (Bisnis Indonesia, Solopos, Harian Jogja, Solopos FM) serta grup perusahaan daerah lain. Menurut pandangan Bambang Sadono, mantan Pemimpin Redaksi Suara Karya dan Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, karakterististik dari perusahaan-perusahan pers lokal tersebut sangat kokoh secara bisnis, politik, sosial, maupun kebudayaan dan mempunyai pelanggan fanatis. Media-media yang lahir tidak lama setelah kemerdekaan tersebut tumbuh menjadi bagian masyarakatnya, sehat secara ekonomi, sehingga menjadi rujukan dunia bisnis. Masing-masing juga

menjaga jarak secara politis, walaupun di suatu waktu terlihat dekat dengan kelompok politik tertentu, namun tidak sampai menjauhi kelompok yang lain. Media-media yang menjadi

landmark

bagi lingkungan kulturnya masing-masing, bisa disebut sebagai pintu masuk sosialisasi gagasan dan nilai baru di bidang politik, bisnis, sosial, maupun kebudayaan (

Sadono, Bambang, 2013

).

Globalisasi yang memicu terjadinya era konvergensi media, akhirnya hanya melahirkan para kongomerat media menyebabkan terjadinya pemusatan kepemilikan media massa, dan timbulnya tarik ulur antara idealisme pers, kepentingan bisnis dan kepentingan politik. Industri media massa di Indonesia kini dikendalikan sejumlah pemilik modal yang terkonsentrasi, yang mengarah ke oligopoli media, bahkan monopoli kepemilikan media (Supadiyanto, 2013).

(4)

Terkonsentrasinya kepemilikan media massa di Indonesia pada sejumlah pengusaha, melahirkan para konglomerat media massa. Sebut saja mereka misalkan adalah Chairul Tanjung dan Hary Tanoesoedibjo. Berdasarkan data yang dirilis oleh Majalah Forbes edisi November 2012, dua pengusaha di atas tercatat

sebagai orang terkaya ke-5 se-Indonesia tahun 2012 dengan total kekayaan mencapai USD 3,4 miliar dan orang terkaya ke-29 se-Indonesia dengan jumlah kekayaan mencapai USD 1,04 miliar. Sedangkan menurut versi Majalah

Globe Asia

, menempatkan Aburizal Bakrie (Visi Media Asia) menjadi orang terkaya ke-9 se-Indonesia, memiliki kekayaan sebesar USD 2,2 miliar, Chairul Tanjung (CT Group) sebagai orang terkaya ke-24 se-Indonesia dan Hary Tanoedoedibjo (MNC Group) sebagai orang

terkaya ke-26 se-Indonesia, Jakob Oetama (Kompas Gramedia Group) sebagai orang terkaya ke-46 se-Indonesia, Dahlan Iskan (Jawa Pos Group) sebagai orang terkaya

ke-80 se-Indonesia, Sukamdani Gitosardjono (Bisnis Indonesia Group) sebagai orang terkaya ke-101 se-Indonesia, Surya Dharma Paloh sebagai orang terkaya ke-102 se-Indonesia.

Di tengah cengkeraman 13 korporasi media massa swasta-nasional dan sejumlah

konglomerasi media daerah di atas, idealnya negara dalam hal ini TVRI, RRI dan Kantor Berita Antara sebagai representasi Lembaga Penyiaran Publik, harus berani vis to vis dengan 13 korporasi swasta nasional di atas. Selama ini "TVRI Grup" sudah pasti keok bersaing dengan 13 korporasi swasta nasional yang didukung dengan sumber pendanaan yang dapat dikatakan tak terbatas dan SDM yang kreatif, muda dan enerjik. Kendati “TVRI Grup” memiliki korporasi yang tak kalah besar; sebab didukung oleh 27 stasiun TVRI, puluhan stasiun RRI (dalam negeri maupun di mancanegara) dan 1 media

online

Antara; ternyata belum mampu merebut simpati publik untuk fanatik pada "TVRI Grup". Hingga saat inipun citra “TVRI Grup” sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah yang berkuasa, masih terus ada dan sulit dihilangkan, sebagaimana yang terjadi di era Orde Baru dahulu. TVRI memiliki 27 stasiun televisi, yang terdiri atas 1 stasiun nasional (Jakarta), 26 stasiun lokal (NAD, Sumut, Sumbar, Riau-Kepri, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar-Banten, Jateng,

Yogyakarta, Jatim, Bali, NTT, Kalbar, Kalsel, Kalimantan Tengah, Kaltim, Sulut, Sulsel,

Maluku-Maluku Utara, Papua, Gorontalo, NTB, Sulbar dan Sulawesi Tengah). Karyawan TVRI pada tahun 2007 berjumlah 6.099 orang, terdiri atas 5.085 PNS dan 1.014 tenaga

honor/kontrak yang tersebar di seluruh Indonesia dan sekitar 1.600 orang di antaranya adalah karyawan Kantor Pusat dan TVRI Stasiun Pusat Jakarta (

http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_Republik_Indonesia

). Bisakah mulai dari sekarang rakyat mencintai TVRI Group? Dan mampukah manajemen “TVRI Grup” sendiri terbebas dari "intervensi" pemerintah? Ingat sebagian dana operasional dari “TVRI Grup” berasal dari anggaran negara, di mana anggaran negara bersumber dari aneka pajak yang ditarik dari rakyat oleh pemerintah. Jadi Yang membiayai operasional “TVRI Grup” sesungguhnya adalah rakyat. Maka logikanya, “TVRI Grup” adalah industri media massa milik rakyat.

(5)

Wartawan, Media (Massa dan Sosial) dan Perubahan Sosial

Salah satu alat untuk melakukan perubahan sosial yakni melalui media massa. Model perubahan sosial yang bagaimanakah? Apakah perubahan sosial yang bersifat positif atau negatif? Karenanya media massa memiliki kemampuan untuk 2 hal di atas sekaligus. Media massa bisa digunakan untuk apa saja, entah dalam pengertian positif maupun negatif. Tergantung dari siapakah yang menggunakan media massa, pihak manakah juga yang

menguasai media massa serta bagaimanakah kemampuan intelektual para penikmat, pemirsa, pembaca dan pendengar (audiens) media massa tersebut. Sejarah tak lebih dari rangkaian fakta yang coba dikonstruksikan oleh berbagai media massa. Keruntuhan rezim Orde Baru yang hegemonik dan mengekang kebebasan pers; tak lain juga berkat kontribusi media massa yang mampu menggerakkan komitmen publik dalam menggelorakan gerakan Reformasi 1998.

Kini para pejabat negara dan politisi menyadari bahwa media massa memiliki kekuatan penuh dalam memengaruhi maupun mempersuasi kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa; sehingga mereka secara optimal memanfaatkan media massa maupun jejaring media sosial sebagai media kampanye politik maupun kampanye Pemilu. Jelaslah kualitas SDM wartawan sangat menentukan kualitas jurnalistik yang dihasilkan melalui berbagai media massa.

Ekonomi Politik Media dan Gaji Wartawan

Teori ekonomi politik media yang dilontarkan oleh Profesor Vincent Mosco memang sangat tepat untuk mengkritisi praktik industri media massa kontemporer. Secara prinsipiil, ada 3 ide pokok teori ekonomi politik media; yang saya lebih senang menamainya sebagai “segitiga besi ekonomi politik media”. Yakni meliputi gagasan tentang komodifikasi, strukturasi dan

spasialisasi (Mosco, Vincent, 2009). Sederhananya, bahwa seluruh kekuatan media massa digerakkan untuk mencapai keuntungan finansial (motif ekonomi-bisnis) sehingga segala berita dan informasi yang disajikan difungsikan untuk dikomodifikasikan dengan pemasukan (uang)

(6)

dari iklan melalui rating, trafict maupun oplahnya. Di

samping itu juga digerakkan untuk melakukan gerakan sosial yang berperspektif ras, gender dan kelas dengan memperhatikan kepentingan agen dan struktur (institusi). Selain itu juga industri media massa digerakkan untuk mengatasi kendala ruang dan waktu, melalui strategi integrasi vertikal dan horisontal. Secara umum, percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti penemuan internet yang memicu terjadinya globalisasi, yang kemudian mengarahkan tercapainya era konvergensi media massa; secara tak langsung menuntut kemampuan ganda dari para pekerja media. Di mana dalam konteks itu, para pekerja media termasuk di dalamnya para wartawan "dieksploitasi" untuk semakin memperkaya para pemilik media massa. Terbukti kesejahteraan wartawan di Indonesia masih cukup rendah.

Merujuk data penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2011, berikut ini disajikan daftar gaji bulanan yang diperoleh para wartawan berbagai media massa di kawasan Jakarta. Gaji wartawan Harian Bisnis Indonesia mencapai Rp 4.979.280; Harian Kompas Rp 5.500.000; Tabloid Kontan Rp 3.700.000; Harian Republika Rp 2.300.000; Harian Jurnal Nasional Rp 2.500.000; LKBN Antara Rp 2.700.000; Harian Seputar Indonesia Rp 2.250.000; Koran Tempo Rp 2.700.000; Harian Indopos Rp 3.300.000; Harian Pos Kota Rp. 1.700.000; Harian Berita Kota Rp 2.800.000; Harian Warta Kota Rp 2.700.000; Harian Jakarta Globe Rp 5.500.000; Harian Rakyat Merdeka Rp 2.000.000; Harian Sinar Harapan Rp 2.000.000; Majalah Swa Rp 2.696.990; Majalah Gatra Rp 2.500.000; TPI/MNC TV Rp 2.400.000; Trans TV Rp 2.500.000; SCTV Rp 2.500.000; DAAI TV Rp 2.480.000; Radio KBR 68H Rp 3.300.000; I Radio Rp

2.400.000; Radio Sonora FM Rp 3.300.000; Hukumonline.com Rp 1.600.000; Kompas.com Rp 2.700.000; Detik.com Rp 2.400.000; Vivanews.com Rp 2.600.000; Okezone.com Rp 2.300.000; TV One Rp 3.500.000 (AJI, 2011). Jika dibandingkan dengan perolehan gaji wartawan yang bekerja di daerah, tentunya angka jauh dari nominal di atas. Bahkan angkanya masih banyak yang berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR).

Bagaimana kondisi riil sistem penggajian di negara tetangga. Bersandarkan data penelitian yang dilakukan Universitas Indiana dan Poynter Institute di Amerika Serikat (2002), upah jurnalis di Amerika Serikat rata-rata memiliki pendapatan USD 43.600 per tahun; atau sekitar USD 3.633 per bulan. Sedangkan jurnalis di Filipina, seperti jurnalis

MindaNews

yang sudah menjadi karyawan tetap mendapat upah bulanan P 10.000 per bulan (sekitar USD 238). Untuk yang bekerja di

SunStar

, upah per bulannya rata-rata P 8.000 per bulan (USD 190). Untuk yang bekerja di koran komunitas

Iloilo

, gaji bulanannya berkisar antara P 6.000 (USD 142) sampai P 8.000 per bulan (USD 190). Di Malaysia, merujuk data

www.pressreference.com

(7)

mendapatkan upah 1.800 Ringgit atau sekitar Rp 5.124.600 per bulan.

Dengan masih relatif rendahnya perolehan gaji yang didapatkan oleh para wartawan di

Indonesia, jika disandingkan dengan gaji wartawan di negara lainnya; jelas sangat berpengaruh pada profesionalitas kerja mereka. Untuk itulah diperlukan upaya bebagai pihak (perusahaan media, organisasi wartawan, Dewan Pers, KPI, dll) untuk menaikkan gaji wartawan profesional. Program Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang sudah diberlakukan sejak tahun 2011; dan kini sudah meluluskan sekitar 3000-an wartawan profesional; seharusnya juga diikuti dengan upaya peningkatan gaji yang mereka peroleh. Sebagaimana yang berlaku dalam dunia pendidikan, di mana guru yang lulus uji sertifikasi guru; otomatis mendapatkan gaji bulanan yang besarnya dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya. Hal ini perlu dilakukan agar yang kaya dalam industri media massa tidak hanya pemiliknya saja; melainkan juga para

wartawannya juga.

Tren Pengusaha Media menjadi Politisi

Di zaman Orde Reformasi, media massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi kekuatan yang ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Dan kecenderungan yang terjadi selama ini, malahan para praktisi media massa termasuk para konglomerat media massa di Tanah Air berambisi besar menjadi penguasa politik. Entah dengan bergabung atau mendirikan organisasi politik atau dengan mendeklarasikan keikutsertaannya dalam pesta demokrasi 5 tahunan bernama Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah.

Dari analisis politik, Pemilu dan Pilkada merupakan agenda 5 tahunan yang menjadi ajang pertarungan politik paling nyata antara para politisi, pemilik modal (pebisnis), akademisi, peneliti dan massa. Sah-sah saja para pemilik media massa memiliki kepentingan besar dalam

berbagai momentum politik berupa pesta demokrasi. Sebab hajatan politik berupa Pemilu dan Pilkada, akan mengubah tatanan politik dalam skala nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas, pergantian kepemimpinan nasional maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan keamanan.

(8)

politik maupun finansial kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan jabatan eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan adanya pergantian atau pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi media massa yang dimiliki. Kompetisi bisnis antara para konglomerat media massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah perebutan pangsa pasar yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki wilayah pengaruh politik, di mana masing-masing konglomerat media merasa memiliki kepentingan politik untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan media, sekaligus kalau bisa menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan. Sebab pusat-pusat kekuasaan itu sangat efektif dalam memengaruhi pasar atau masyarakat.

Terjunnya para konglomerat media massa dalam dunia politik, apakah dapat dikatakan akan mengurangi idealisme media massa dan juga berpengaruh negatif pada masa depan politik di Indonesia? Pertanyaan di atas, sangat tepat menjadi bahan penelitian/kajian lintas sektoral, khususnya para peneliti politik, tata negara, hukum dan psikologi komunikasi. Sebab dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalkan Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampungpost dll.) melalui Partai Nasional Demokratnya, serta Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group yang kini menjadi Menteri BUMN; jelas

berpengaruh besar pada kemurnian media massa dalam mencerdaskan publik. Sebab, pada konteks itu; Media Group akan memiliki “sikap ganda” dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta berita-berita yang dinilai sebagai kontrapolitiknya. Begitu pun dengan Jawa Pos Grup, tentu saja akan memiliki

“ambiguitas” dalam menentukan sikap ketika mengkritisi keburukan/kekurangan yang dimiliki oleh Dahlan Iskan, Kementerian BUMN dan jajaran di bawahnya.

Dalam teori ekonomi politik media, sebuah gagasan yang dimunculkan oleh kelompok pemikir dari Frankfurt School Jerman; menyatakan bahwa berbagai kebijakan redaksional yang digulirkan oleh perusahaan-perusahaan media massa sangat terdekte oleh berbagai

kepentingan ekonomi (bisnis) dan kepentingan politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh idealisme dalam mendirikan media massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena

persekongkolan (konspirasi) antara para politikus dan pengusaha media massa. Sebab para politikus memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berbagai pemikiran dan gagasannya agar diketahui publik, sedangkan media massa membutuhkan sumber-sumber berita yang mampu menarik minat dari kalangan pembaca, pendengar dan pemirsa.

Dengan terjunnya para pengusaha media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi media massa tersebut seolah lebur dalam satu pihak. Kini para pengusaha media massa itu sekaligus yang menjadi politisinya. Artinya, mereka akan menggunakan perusahaan media massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni menyosialisasikan berbagai

(9)

telah berprofesi ganda menjadi politisi tersebut, untuk merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik media massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera kehidupan bangsa ini, ketika negeri ini dikuasai oleh para politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat media massa. Probabilitas lainnya, terjadi perseteruan atau pertarungan nyata antara berbagai perusahaan media massa di Indonesia yang dikuasai oleh para politisi, sebagai akibat dari politik hegemoni. Di mana seorang politisi ingin menebarkan pengaruh kuat kepada seluruh penduduk, agar mudah memenangkan berbagai kompetisi politik melalui Pemilu dan atau Pilkada. Dalam bahasa bisnis perniagaan, politik hegemoni sama artinya dengan politik monopoli. Di mana hanya ada satu pemain tunggal saja yang menguasai seluruh sendi kehidupan.

Maka tidak terelakkan lagi, media massa menjadi institusi bisnis (berfungsi untuk mengeruk keuntungan), institusi politik (bermaksud untuk menyebarkan berbagai ideologi dan pengaruh) sekaligus menjalankan fungsi keberpihakan pada publik (pembebasan publik atas ketertutupan informasi dan berusaha mencerdaskannya). Tiga fungsi yang dimainkan media massa tersebut, berimplikasi besar pada politisasi media massa di Tanah Air. Kendati pun, hal tersebut tidak bisa terbaca secara terang-terangan (vulgar), tetapi lebih bersifat tersamarkan.

Liputan Komprehensif (Liputan Mendalam, Liputan Investigatif, dan Liputan Interpretatif)

Saya sengaja membedah berbagai persoalan mengenai peta kepemilikan media massa di Indonesia sekarang; wartawan, media (massa dan sosial) dan perubahan sosial; ekonomi politik media dan gaji wartawan; dan tren pengusaha media menjadi politisi agar kita bisa

mengenai kondisi riil yang tengah dihadapi wartawan di masa kini. Sehingga berbagai kondisi di atas sangat mempengaruhi kualitas produk jurnalistik yang dihasilkan dan independensi yang dimiliki. Liputan investigatif sehingga menghasilkan berita yang berimbang dan objektif; hanya bisa dilakukan oleh para wartawan yang benar-benar memiliki 9 mental ideal sebagai jurnalis yang disebut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2006) sebagai 9 Elemen Penting Jurnalisme yakni: kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme kepada publik (masyarakat), intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi, wartawan harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, pemantau kekuasaan, jurnalisme harus

menghadirkan sebuah forum untuk kritik dan komentar publik, wartawan harus membuat hal yang penting menjadi menarik dan relevan, wartawan harus menjaga berita proporsional dan

(10)

komprehensif dan wartawan harus mendengarkan suara hati nuraninya (Kovach, Bill dan Tom

Rosenstiel, 2006 ).

Namun menurut saya, 9 elemen penting jurnalisme di atas perlu ditambahkan 1 elemen (pilar) lagi agar para wartawan pada masa kini benar-benar bisa independen dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Yakni setiap wartawan harus mendapatkan jaminan kesejahteraan hidup dari perusahaan dan negara; sekaligus memiliki "saham bersama" dalam perusahaan

tempatnya bekerja. Maka ketika 9 elemen penting jurnalisme plus 1 elemen tambahan

jurnalisme di atas dapat dimiliki oleh setiap wartawan; maka kinerja para wartawan sudah tak bisa diragukan lagi kualitasnya. Dalam praktiknya, masih sangat minim jurnalis yang mau

melakukan liputan komprehensif yang meliputi liputan mendalam, liputan investigatif dan liputan interpretatif. Sebab kebanyakan jurnalis pada saat ini inginnya menghasilkan karya jurnalistik yang serbainstan. Apalagi di masa kini, industri media massa menuntut faktor kecepatan dan ketepatan; terutama di media online yang mengandalkan pada teknologi internet.

Menurut Ullmann dan Honeyman, liputan investigatif yakni sebagai sebuah kerja menghasilkan produk dan inisiatif yang menyangkut hal-hal penting dari banyak orang atau organisasi yang sengaja merahasiakannya, yang meliputi 3 elemen dasar yang mendorong kerja penyelidikan oleh wartawan yakni laporan investigasi bukanlah laporan yang dibuat oleh seseorang, subjek kisahnya meliputi sesuatu yang penting alasannya bagi pembaca /pemirsa, dan menyangkut sejumlah hal yang disembunyikan dari hadapan publik. Namun menurut Chris White:

menerjemahkannya sebagai pekerjaan jurnalis yang bertujuan untuk mengungkapkan dan mendapatkan sebuah kisah berita yang bagus dan menjaga masyaraat untuk memiliki

kecukupan informasi dan mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka. Sedangkan menurut pendapat Rivers dan Mathews, menerjemahkannya sebagai pekerjaan membuka pintu dan mulut yang tertutup rapat. Goenawan Muhammad memgartikan investigative reporting sebagai upaya

reportase investigatif

yang tengah bergerak mengikuti naluri penciuman untuk membuka upaya pihak-pihak yang menutupi-tutupi suatu kejahatan dan Atmakusumah mengartikannya sebagai kegiatan peliputan yang mencari, menemukan dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat. Namun apapun definisi dari liputan investigatif, menurut Atmakusumah, liputan investigatif hanya memiliki 5 tujuan utama dan karakter/sifat, yakni: untuk mengungkapkan kepada publik informasi yang perlu mereka ketahui, karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka; laporan penyelidikan tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang secara operasional tidak sukses, tapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru; laporan penyelidikan memiliki risiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi, kontradiksi dan konflik, sebab jurnalis harus menggali bahan-bahan informasi yang dirahasiakan, karena itu jauh hari sebelumnya, harus dipikirkan benar berbagai akibat yang ditimbulkan terhadap subjek laporannya serta penerbitan pers itu sendiri; maka untuk menghadapi dilema di atas dibutuhkan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan publik, termasuk menjaga idealisme para jurnalis dan seluruh struktur organisasi

(11)

penerbitan pers (

Santana K, Septiawan. 2004

).

Mengingat tantangan dan hambatan yang bakal dihadapi oleh para wartawan investigatif

sangat besar, idealnya juga mereka harus memiliki karakter ideal yakni: selalu ingin tahu (wants

to know

), mampu mendapatkannya (

able to find out

), mampu memahaminya (

able to understand

), mampu menyampaikannya (

able to tell the public

), menimbulkan keinginan bereaksi (wants actions), peduli terhadap permasalahan orang lain (

cares about people also

), memiliki cukup pengetahuan fakta-fakta (

facts knowledge

), memiliki rasa iba terhadap pembaca (

private conscience/readers

), memiliki kepedulian aksi publik (

public action

), memiliki kecukupan informasi hukum untuk melawan berbagai ketamakan (

laws/against greeds

) dan memiliki kecukupan semangat untuk melakukan perbaikan sosial (

reform

).

Menurut Burgh, berbagai wilayah atau ruang lingkup liputan investigasi, meliputi: hal-hal yang memalukan yakni berhubungan dengan perkara ilegal atau pelanggaran moral;

penyalahgunaan kekuasaan; dasar faktual dari hal-hal yang tengah menjadi pembicaraan publik; keadilan yang korup; manipulasi laporan keuangan; bagaimana hukum dilanggar;

perbedaan antara profesi dan praktisi; serta hal-hal lain yang sengaja disembunyikan (Santana

K, Septiawan. 2004

).

Menurut Coronel, ada dua tahap dalam liputan investigasi. Tahap satu: petunjuk awal (first lead ); investigasi pendahuluan (

initial investigation

); pembentukan hipotesis (

(12)

); pencarian dan pendalaman literatur (

literature search

); wawancara pakar dan nara sumber (

interviewing experts

); penjejakan dokumen (

finding a paper trail

); wawancara sumber kunci dan saksi (

interviewing key informants and sources

). Tahap selanjutnya: pengamatan langsung di lapangan (

firts hand observation

); pengorganisasian data (

organizing files

); wawancara lebih lanjut (

more interviews

); analisis dan pengorganisasian data (

analyzing and organizing data

); penulisan (

writing

); pengecekan fakta (

fact checking

); dan pengecekan pencemaran nama baik (

libel

check) (

Santana K, Septiawan. 2004

).

Terlepas dari rasa suka atau tidak suka, menurut pandangan saya, Koran Tempo dan Majalah Tempo merupakan 2 buah media cetak yang layak dijadikan referensi menarik sebagai model media massa yang mengembangkan tipe "liputan investigatif" untuk setiap karya-karya

jurnalistik mereka; meskipun dalam perjalannya media cetak tersebut pernah terbentuk kasus di mana Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo menerbitkan berita berjudul: “Ada Tomy di Tenabang” di Majalah Tempo edisi 3/9 Maret 2003 yang dinilai "provokatif, berita bohong"; sehingga mengakibatkan yang bersangkutan divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta; kendati dalam perjalanannya,

Mahkamah Agung memutuskan membebaskan Bambang Harymurti dari segala dakwaan di atas.

Tak ada satupun media massa di Indonesia yang netral dan terbebas dari kepentingan ekonomi politik media. Selagi peta kepemilikan media massa di Indonesia hanya dimiliki oleh 13 grup perusahaan swasta nasional. Di mana ke depan akan mengarah terjadinya duopoli media dan akhirnya menjadi monopoli media. Monopoli media massa oleh satu perusahaan besar media

(13)

massa merupakan kiamat besar bagi peradaban industri media massa; sebab segala informasi menjadi monoton, sama dan homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yanuar Nugroho, dkk. Serta Merlyna Lim (2012), ada 13 grup perusahaan media raksasa (swasta) menghegemoni berbagai jaringan media cetak, elektronik dan media online di Indonesia. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media serta Media Bali Post Group (KMB). Konsentrasi kepemilikan industri media terjadi sebagai konsekuensi logis yang tak dapat terelakkan dari kepentingan para pemilik modal dalam mendorong perkembangan industri media di Tanah Air. Bangsa ini hanya memiliki tiga perusahaan media massa yang bisa dikatakan milik publik, yakni: TVRI, RRI dan Antara. Itupun keberadaannya, selama ini lebih dikatakan sebagai “milik penguasa” bukan milik publik atau rakyat.

Jelaslah adanya oligopoli media, yang mengarahkan terciptanya monopoli media massa mengancam hak publik dalam mengakses informasi secara liberal, demokratis, interaktif dan menyehatkan, sebab perusahaan media massa dikendalikan para pemilik modal dan digunakan untuk mengeruk keuntungan. Tentunya media masssa menjadi lahan bisnis yang sangat

menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan. Hal ini terutama terjadi dengan sejumlah pemilik media yang erat terhubung ke politik (Supadiyanto, 2013).

Media massa memang menjadi alat propaganda sekaligus menjadi alat penggerak sosial (massa) yang sangat efektif untuk melakukan berbagai perubahan sosial. Makanya para politisi dan pejabat negara memiliki kepentingan dengan media massa, dan memanfaatkan

keberadaannya untuk kepentingan mereka juga. Sudah sewajarnya juga para aktivisi

mahasiswa sebagai kaum intelektual harus memberdayakan keberadaan media massa dan jaringan media sosial untuk melakukan konterhegemoni terhadap berbagai ideologi, kebijakan dan wacana yang merugikan siapapun.

Teori ekonomi politik media massa yang dimiliki oleh Vincent Mosco, bisa menjelaskan

mengenai relasi antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik para pemilik media massa, praktisi media massa dan penguasa negara. Masih rendahnya gaji bulanan yang diperoleh para wartawan di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama mengapa karya jurnalistik yang dihasilkan sebagian wartawan masih dangkal, rendah dan masih jauh dari kategori sempurna. Progran Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang digalakkan oleh Dewan Pers sejak tahun 2011; belum diikuti dengan upaya peningkatan kesejahteraan wartawan di Indonesia. Semakin maraknya para pemilik media massa (konglomerat media) yang terjun menjadi politisi, entah dengan mendirikan partai politik baru maupun bergabung dengan partai politik lama merupakan strategi "ekonomi-politik" yang kini menjadi tren dalam industri media. Para pemilik media massa itu memiliki kepentingan untuk mengincar berbagai posisi dalam kursi kekuasaan eksekutif; misalkan dengan menjadi presiden, wakil presiden maupun menteri. Pemilu 2014

(14)

merupakan pertarungan besar-besaran antara para politisi yang merangkap sebagai

pengusaha media massa seperti Aburizal Bakrie, Harry Tanoesoedibjo, Surya Dharma Paloh dan Dahlan Iskan, bahkan Chairul Tanjung. Tidak menutup kemungkinan, para pemilik media massa yang lainnya juga memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang sama; terkait dengan pucuk kepemimpinan nasional; karena mereka sangat menentukan berbagai kebijakan

pembangunan ipoleksosbudhankamnas yang akan digulirkan di masa depan.

Liputan komprehensif yang meliputi liputan mendalam (indepth reporting), liputan investigatif (in

vestigative reporting

) dan liputan interpretatif (

interpretative reporting

); merupakan intisari atau nyawa dari kegiatan jurnalistik itu sendiri. Liputan investigatif yang sekarang ini jarang diterapkan

oleh para wartawan; mengakibatkan maraknya karya jurnalistik yang kurang berimbang (imparsialitas) dan kurang objektif. Kunci sukses untuk menjadi jurnalis investigatif yakni kecakapan mereka dalam menggali informasi yang tersembunyi, tak pernah kenal putus (pantang menyerah), berani menghadapi ancaman bahkan teror kematian dan berbagai hambatan waktu, dana dan tenaga.

Sesungguhnya liputan investigatif bukanlah karya individual, melainkan karya tim (kolegial); sehingga lebih solid, komprehensif dan multiparadigma. Untuk menjadi wartawan investigatif, sesungguhnya menjadi wartawan yang peneliti; sebab pekerjaan wartawan itu sama dengan peneliti; bahkan sama juga dengan pekerjaan intelejen. Dengan demikian, hasil liputan investigatif mempunyai kemampuan untuk memprediksi masa depan, dengan bermodalkan hasil analisis data yang diperoleh secara mendalam, kejelian dan pantang berputus asa.

Mengenai model penulisan berita investigatif, cenderung mengembangkan model penulisan sof

tnews

atau

feature

; bukan

hardnews

. Kendati sangat memungkinkan bagi jurnalis investigatif untuk menuliskan hasil laporannya dalam "bentuk

hardnews

yang berseri".

Sudah saatnya bagi Anda berstatus sebagai mahasiswa, aktivis kampus, peneliti dan dosen untuk menghegemoni media massa cetak dan elektronik dalam makna yang

(15)

akan terhegemoni oleh mereka, sadar atau tidak sadar, segera atau tempo yang akan datang. (***)

Semarang, 17 Mei 2013, pukul 21.42.10 WIB

*) Makalah pendek ini termuat juga di Kompasiana edisi Ahad, 19 Mei 2013 (bisa diklik di sini: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/05/19/ekonomi-politik-media-riset-gerak an-sosial-dan-perubahan-sosial-557390.html) dan pernah saya sampaikan dalam Sekolah Kementerian yang digagas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) “Kabinet Bangkit Bergerak” di Gelanggang Mahasiswa UGM Yogyakarta pada Sabtu, 18 Mei 2013 pukul 10.00.00 - 12.15.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana dikemukakan oleh Widyarini (2003), bahwa pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kausal yang bersifat replikasi terhadap penelitian sebelumnya dengan populasi penelitian adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di

“Analisis Laporan Keuangan”, Terjemahan Dewi yanti, Edisi Kesepuluh, Buku Satu, Salemba Empat, Jakarta. Young, S.David dan

Tabel 11 Besar Pengaruh Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja 38 Tabel 12 Persamaan Regresi Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja 38 Tabel 13 Mean Stres Kerja Subjek

Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang

Skala stres kerja disusun berdasarkan simptom-simptom stres kerja oleh Beehr dan Newman (dalam Rice, 1987) dan skala kondisi kerja disusun berdasarkan aspek-aspek kondisi

Ida Wijayanti, S.Pd selaku guru mata pelajaran matematika MTsN 2 Tulungagung yang telah memberikan saran, masukan dan bimbingan kepada peneliti dalam menyelesaikan

Puncak-puncak kromatogram yang dihasilkan dengan intesitas puncak yang relatif tinggi dilakukan analisis fragmentasi massa dan fragmen-fragmen massa yang dihasilkan