• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MOHAMMAD BIROWO KARNAN

097011023/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MOHAMMAD BIROWO KARNAN

097011023/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

USAHA TIDAK SEHAT

Nama Mahasiswa : MOHAMMAD BIROWO KARNAN

Nomor Pokok : 097011023

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, MLi Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

(5)

Nama : MOHAMMAD BIROWO KARNAN

NIM : 097011023

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : PERANAN NOTARIS DALAM PERSEKONGKOLAN TENDER BARANG/JASA PEMERINTAH TERKAIT

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya

saya sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya

tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi

sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya

tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat

Medan,

Yang Membuat Pernyataan

Nama : MOHAMMAD BIROWO KARNAN

(6)

persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Persekongkolan tender (atau kolusi tender) terjadi ketika pelaku usaha, yang seharusnya bersaing secara tertutup, bersekongkol untuk menaikkan harga atau menurunkan kualitas barang atau jasa untuk para pembeli yang ingin memperoleh produk atau jasa melalui suatu proses pengadaan. Notaris sebagai pembuat akta para peserta yang mengikuti tender juga dapat dijadikan subjek dalam persekongkolan tender.

Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, yaitu Bagaimana peranan Notaris apabila terbukti adanya persekongkolan dalam tender terkait Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan bagaimana mekanisme untuk mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan yuridis normatif. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Seorang notaris tidak bisa dihukum apabila telah menjalankan tugasnya dengan benar. Persekongkolan tender seringkali mencakup mekanisme untuk mengalokasikan dan mendistribusikan laba diperoleh sebagai hasil harga kontrak yang lebih tinggi diantara para pelaku usaha yang bersekongkol. Berdasarkan Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008, indikasi keterlibatan notaris dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain masuknya Akta Perubahan Anggaran Dasar. Notaris bukan berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja

Mekanisme untuk mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait UU Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha maupun panitia/ penyelenggara dapat mencari informasi sebelum menyusun proses pengadaan, menyusun proses tender untuk memaksimalkan partisipasi penawar potensial yang bersaing, tentukan persyaratan dengan jelas dan hindari adanya perkiraan, merancang proses tender diantara peserta tender, hati-hati dalam memilih kriteria untuk mengevaluasi dan mengumumkan pemenang tender.

(7)

circumstances. One form of the actions that could lead to unhealthy competition is a conspiracy in the tender which is one form of activity that is prohibited by Law No. 5/1999. Tender conspiracy (collusive tendering) occurs when a businessman, who is supposed to compete in a closed athmosphere, conspires to raise prices or lower quality of goods or services for buyers who want to acquire products or services through a procurement process. A notary who deeds of the people who participate in the tender can also be used as subjects in the tender conspiracy.

There were several issues to be addressed in this study. First, how the role of a notary if he was proven to commit a conspiracy in the tender relating to the Law No. 5 year 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unhealthy Business Competition was. Secondly, how the mechanisms to anticipate the event of tender conspiracy of goods / services of the government relating to Law No. 5 year 1999 was. The nature of this research was descriptive analysis using a normative juridical approach. The main source of this research was secondary data obtained by collecting materials in the form of primary law, secondary law, and tertiary law.

A notary cannot be punished if he has done his job properly. Tender conspiracy often includes mechanisms to allocate and distribute the profits derived from the contract price which was higher among the conspiring businessmen. Based on the decision of KPPU No. 41/KPPU-L/2008, an indication of the involvement of a notary can be considered from several matters, among others, the inclusion of Amendment of Articles of Association. A notary cannot be concerned to the law. He may be convicted of a crime, if he can be proven together with the parties to make the deed with the intention to benefit a particular party.

The mechanisms to anticipate the event of tender conspiracy of goods / services of the government relating to Law No. 5 year 1999 are that the businessmen and the committees / organizers may seek information before making the procurement process, prepare the tender process to maximize the participation of potential competing bidders, determine the requirements clearly and avoid any estimation, design the tender process among bidders, and be careful in selecting criteria to evaluate and announce the winning bidders.

(8)

yang telah memberikan Rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul“PERANAN NOTARIS DALAM PERSEKONGKOLAN TENDER BARANG/JASA PEMERINTAH TERKAIT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.”

Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.

Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K)selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

(9)

4. IbuDr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

5. IbuProf. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan kritikan kepada penulis.

7. BapakNotaris Dr. Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. selaku Dosen Pembimbing III yang telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

8. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda dan ibunda yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan dalam dukungan moril dan finansial kepada ananda, serta do’anya yang tak pernah putus pada ananda, sehingga ananda dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 10. Kepada istriku yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan

study secepat mungkin. terima kasih atas doa dan dukungannya.

(10)

sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalam

Medan, Januari 2012 Penulis

(11)

Nama : MOHAMMAD BIROWO KARNAN Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 25 Desember 1981

Jenis Kelamin : Laki-Laki Status : Kawin Agama : Islam

II. KELUARGA

Nama Ayah : H. M. Akyas Karnan, S.H., M.M. Nama Ibu : Titik Kadarsono

Nama Istri : dr. Wahyu Astuti

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri Kemang Raya, Bekasi 2. SMP Negeri 195, Jakarta Timur 3. SMA Negeri 91, Jakarta Timur

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Semarang

(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian... 32

1. Spesifikasi Penelitian ... 32

2. Metode Pendekatan... 33

3. Sumber Data ... 33

4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

5. Alat Pengumpulan data ... 36

6. Analisis Data... 37

BAB II PERANAN NOTARIS APABILA TERBUKTI ADANYA PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER TERKAIT UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT………. 38

(13)

E. Bentuk Umum Persekongkolan Tender... 62

F. Keterlibatan Notaris Dalam Persekongkolan Tender ... 66

BAB III MEKANISME UNTUK MENGANTISIPASI ADANYA PERSEKONGKOLAN TENDER BARANG/JASA PEMERINTAH TERKAIT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 ………... 80

A. Antisipasi Yang Dilakukan Untuk Mengurangi Risiko Adanya Persekongkolan Dalam Tender ... 80

B. Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sebagai Lembaga Pengawas Terhadap Penegakan Hukum UU No. 5 Tahun 1999 ... 91

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A.Kesimpulan ... 110

(14)

persekongkolan dalam tender, yang merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Persekongkolan tender (atau kolusi tender) terjadi ketika pelaku usaha, yang seharusnya bersaing secara tertutup, bersekongkol untuk menaikkan harga atau menurunkan kualitas barang atau jasa untuk para pembeli yang ingin memperoleh produk atau jasa melalui suatu proses pengadaan. Notaris sebagai pembuat akta para peserta yang mengikuti tender juga dapat dijadikan subjek dalam persekongkolan tender.

Ada beberapa permasalahan yang akan dibahas, yaitu Bagaimana peranan Notaris apabila terbukti adanya persekongkolan dalam tender terkait Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan bagaimana mekanisme untuk mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan yuridis normatif. Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Seorang notaris tidak bisa dihukum apabila telah menjalankan tugasnya dengan benar. Persekongkolan tender seringkali mencakup mekanisme untuk mengalokasikan dan mendistribusikan laba diperoleh sebagai hasil harga kontrak yang lebih tinggi diantara para pelaku usaha yang bersekongkol. Berdasarkan Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008, indikasi keterlibatan notaris dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain masuknya Akta Perubahan Anggaran Dasar. Notaris bukan berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja

Mekanisme untuk mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait UU Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha maupun panitia/ penyelenggara dapat mencari informasi sebelum menyusun proses pengadaan, menyusun proses tender untuk memaksimalkan partisipasi penawar potensial yang bersaing, tentukan persyaratan dengan jelas dan hindari adanya perkiraan, merancang proses tender diantara peserta tender, hati-hati dalam memilih kriteria untuk mengevaluasi dan mengumumkan pemenang tender.

(15)

circumstances. One form of the actions that could lead to unhealthy competition is a conspiracy in the tender which is one form of activity that is prohibited by Law No. 5/1999. Tender conspiracy (collusive tendering) occurs when a businessman, who is supposed to compete in a closed athmosphere, conspires to raise prices or lower quality of goods or services for buyers who want to acquire products or services through a procurement process. A notary who deeds of the people who participate in the tender can also be used as subjects in the tender conspiracy.

There were several issues to be addressed in this study. First, how the role of a notary if he was proven to commit a conspiracy in the tender relating to the Law No. 5 year 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unhealthy Business Competition was. Secondly, how the mechanisms to anticipate the event of tender conspiracy of goods / services of the government relating to Law No. 5 year 1999 was. The nature of this research was descriptive analysis using a normative juridical approach. The main source of this research was secondary data obtained by collecting materials in the form of primary law, secondary law, and tertiary law.

A notary cannot be punished if he has done his job properly. Tender conspiracy often includes mechanisms to allocate and distribute the profits derived from the contract price which was higher among the conspiring businessmen. Based on the decision of KPPU No. 41/KPPU-L/2008, an indication of the involvement of a notary can be considered from several matters, among others, the inclusion of Amendment of Articles of Association. A notary cannot be concerned to the law. He may be convicted of a crime, if he can be proven together with the parties to make the deed with the intention to benefit a particular party.

The mechanisms to anticipate the event of tender conspiracy of goods / services of the government relating to Law No. 5 year 1999 are that the businessmen and the committees / organizers may seek information before making the procurement process, prepare the tender process to maximize the participation of potential competing bidders, determine the requirements clearly and avoid any estimation, design the tender process among bidders, and be careful in selecting criteria to evaluate and announce the winning bidders.

(16)

A. Latar Belakang

Semua kegiatan operasional dalam rangka melaksanakan fungsi dan tugas pokok setiap instansi atau lembaga khususnya di lingkungan pemerintah diperlukan tersedianya sarana prasarana. Kebutuhan sarana prasarana tersebut untuk setiap tahun anggaran pada umumnya direncanakan dalam rencana kerja dan kegiatan masing-masing instansi yang penyusunannya dilaksanakan menjelang tahun anggaran baru. Kebutuhan terhadap ketersediaan sarana prasarana sebagai unsur penunjang bagi berjalannya suatu proses kegiatan dalam rangka pelaksanaan kegiatan atau program-program yang telah digariskan pada umumnya dianggarkan pada pos/beban anggaran pengeluaran belanja barang dan jasa. Untuk merealisasikan rencana belanja barang/jasa tersebut dilaksanakan melalui suatu proses atau beberapa tahapan kegiatan yang keseluruhannya disebut sebagai kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

(17)

selanjutnya disebut KKN) yang rupanya sampai saat ini seolah enggan berpisah dari kegiatan ini.1

Perkembangan dan dinamisnya bidang pengadaan barang dan jasa ditandai dengan adanya delapan kali revisi terhadap Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (untuk selanjutnya disebut Keppres No. 80 Tahun 2003) sampai akhirnya Keputusan Presiden inipun dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 2011. Sebagai gantinya adalah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (untuk selanjutnya disebut Perpres No. 54 Tahun 2010) Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada tanggal 6 Agustus 2010 di Bogor. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang relatif lebih komprehensif diharapkan mampu untuk mengatur ketertiban dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Pemerintah memberi peluang seluas-luasnya kepada usaha kecil, usaha mikro dan koperasi untuk mengikuti tender paket pekerjaan pengadaan barang/jasa. Peraturan ini pun mengalami revisi lagi tentang ketentuan penunjukkan langsung penyedia jasa konsultasi pada Pasal 44 ayat (2) yang diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011.

Berlakunya aturan baru tentang pengadaan barang jasa pemerintah maka sesuai dengan aturan lain-lain dalam Perpres 54 Tahun 2010, dinyatakan bahwa: 1. Perpres No. 54 Tahun 2010 berlaku sejak 6 Agustus 2010;

(18)

2. Pengadaan yang dilaksanakan sebelum 1 Januari 2011 tetap dapat berpedoman pada Keppres No. 80 Tahun 2003.

3. Pengadaan yang sedang dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003, dilanjutkan dengan tetap berpedoman pada Keppres No. 80 Tahun 2003. 4. Perjanjian/Kontrak yang telah ditandatangani berdasarkan Keppres No. 80 Tahun

2003, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perjanjian/Kontrak. 5. Keppres No. 80 Tahun 2003 dicabut mulai 1 Januari 2011.

Jadi secara penuh peraturan baru tentang pengadaan barang jasa ini akan dimulai pada 1 Januari 2011, pengadaan yang dilakukan sebelum tanggal tersebut dapat berpedoman pada Keppres No. 80 Tahun 2003 atau kalau sudah siap lebih baik menggunakan peraturan baru ini. Sedangkan pengadaan atau kontrak yang sudah dilaksanakan dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 maka dilanjutkan dengan tetap berdasarkan pada Keppres No. 80 Tahun 2003.

(19)

mengatur dan atau menentukan pemenang tender sebagaimana diatur oleh Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.

Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang dan atau jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah (government procurement), BUMN, dan perusahaan swasta. Untuk itu Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tidak hanya mencakup kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara (BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta.2

Berdasarkan Penjelasan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung).

Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk: 1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.

2. Mengadakan barang dan atau jasa. 3. Membeli suatu barang dan atau jasa. 4. Menjual suatu barang dan atau jasa

(20)

yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan dalam tender adalah transparansi, penghargaan atas uang, kompetisi yang efektif dan terbuka, negosiasi yang adil, akuntabilitas dan proses penilaian, dan non-diskriminatif. Sejalan dengan hal tersebut, UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang larangan persekongkolan dalam tender sebagaimana digariskan pada Pasal 22.

Persekongkolan tender (atau kolusi tender) terjadi ketika pelaku usaha, yang seharusnya bersaing secara tertutup, bersekongkol untuk menaikkan harga atau menurunkan kualitas barang atau jasa untuk para pembeli yang ingin memperoleh produk atau jasa melalui suatu proses pengadaan. Organisasi publik dan swasta sering bergantung kepada suatu proses yang kompetitif untuk memperoleh hasil terbaik dengan dana yang tersedia.

(21)

sumber daya dari para pembeli dan pembayar pajak, mengurangi kepercayaan publik dalam proses yang kompetitif, dan mengurangi manfaat suatu pasar yang kompetitif.3

Persekongkolan usaha bukan sekedar menimbulkan kerugian negara. Memang berbagai kondisi itu diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi dan kolusi, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah. Keadaan yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien serta menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kinerja industri dan perkembangan ekonomi.

Banyak pihak yang bisa terlibat dalam persekongkolan tender. Notaris sebagai pejabat Negara juga bisa terlibat. Salah satunya pada kasus pengadaan barang berupa persekongkolan dan penyelewengan tender pengadaan televisi, DVD, dan peralatannya di Dinas Pendidikan Sumatera Utara mengindikasikan keterlibatan Notaris. Menurut Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha Erwin Syahril, Notaris melegalisasikan akta pinjam meminjam perusahaan peserta tender.4

Dalam tender pengadaan televisi dan DVD pendidikan Dinas Pendidikan Sumut, indikasi pinjam meminjam perusahaan sangat kentara. "Ada indikasi satu orang menandatangani daftar absensi empat perusahaan. Modus pinjam meminjam perusahaan ini, mengakibatkan terjadinya inefisiensi dalam proyek-proyek pemerintah. Mestinya ada perusahaan yang sanggup mengerjakan proyek dengan

3 Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. (Cet.1. Jakarta, Kencana, 2001), hal. 34.

(22)

nilai lebih rendah, tetapi karena perusahaannya dipinjam agar mundur atau mengalah dari tender, sehingga pemenang tender merupakan perusahaan yang penawarannya lebih tinggi.

Praktik pinjam meminjam ini sudah sangat lazim di Sumut. Perusahaan yang kalah biasa minta uang mundur, sementara perusahaan yang menang dapat uang persentase dari si peminjam

Tindakan Notaris melegalkan peminjaman perusahaan melalui Akta Perubahan Anggaran Dasar perusahaan dan Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 31 Oktober 2007, perlu mendapat perhatian penting karena dengan dilegalkannya pinjam-meminjam perusahaan akan mengurangi persaingan yang seharusnya terjadi dalam setiap pengadaan barang dan jasa pada umumnya dan dalam pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN/APBD pada khususnya

Kegiatan persekongkolan dalam tender yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat dan merupakan salah satu hal yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan tersebut terjadi bilamana ada kerjasama antara dua orang atau lebih dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.

(23)

pasar internasional. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum persaingan dan implementasi kebijakan persaingan yang efektif akan menjadi pengawal bagi terimplementasinya sistem ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Implementasi UU No. 5 Tahun 1999 oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) telah dijalankan selama beberapa tahun, sepanjang periode tersebut KPPU telah menerima kurang lebih 450 laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran persaingan usaha, dan hampir 60 % (persen) dari kasus yang ditangani KPPU adalah kasus dugaan persekongkolan tender.5 Fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan anti persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktek persekongkolan, serta melakukan kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir lelang.

Berbagai kondisi tersebut diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi dan kolusi di Indonesia, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek pemerintah. Keadaan yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien serta menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kinerja industri dan perkembangan ekonomi.

(24)

Padahal proses pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan secara kompetitif dan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat akan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat (public welfare) karena sebagian besar proyek-proyek pemerintah memang merupakan kegiatan pemerintah atau government

spendingyang ditujukan untuk memacu kegiatan dan pertumbuhan ekonomi

Penawaran palsu (cover bidding) merupakan metode persekongkolan tender yang paling sering digunakan. Penawaran palsu dapat juga disebut sebagai hadiah, persahabatan, atau simbol. Ia muncul ketika individu atau perusahaan setuju untuk memasukkan penawaran yang melibatkan minimal salah satu faktor berikut:

1. Pesaing setuju untuk memasukkan penawaran yang lebih tinggi daripada penawaran pelaku usaha yang disepakati sebagai pemenang,

2. Pesaing memasukkan penawaran yang diketahui terlalu tinggi untuk diterima, atau 3. Pesaing memasukkan penawaran yang mencantumkan kondisi khusus yang

diketahui tidak dapat diterima oleh pembeli. Penawaran palsu ditujukan untuk memberikan kesan telah terjadi persaingan yang sehat.6

Pengaturan penawaran (bid suppression) merupakan metode pengaturan penawaran yang melibatkan perjanjian di antara pesaing dimana satu atau lebih perusahaan setuju untuk keluar dari pengadaan atau menarik penawaran yang dimasukkan sebelumnya sehingga penawaran pemenang yang akan ditetapkan akan diterima. Secara nyata, pengaturan penawaran diartikan bahwa suatu perusahaan tidak ingin memasukkan penawaran untuk dipertimbangkan.

(25)

Metode Rotasi penawaran (bid rotation) merupakan penawaran perusahaan yang bersekongkol untuk melakukan penawaran, tetapi mereka setuju untuk mengambil giliran sebagai pemenang tender (kualifikasi paling rendah). Cara-cara perjanjian rotasi penawaran tersebut digunakan dapat beragam. Sebagai contoh, para pelaku konspirasi mungkin akan memilih untuk mengalokasikan nilai uang yang hampir sama dari kontrak tertentu kepada setiap perusahaan, atau untuk mengalokasikan jumlah yang berkaitan dengan ukuran tiap perusahaan.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas maka penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang kedudukan Notaris dalam pengadaan barang/jasa pemerintah terkait dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta terkait dengan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka penulis menyusun usulan penelitian dengan judul: “Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat .” B. Perumusan Masalah

(26)

1. Bagaimana peranan Notaris apabila terbukti adanya persekongkolan dalam tender terkait Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?

2. Bagaimana mekanisme untuk mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peranan Notaris apabila terbukti adanya persekongkolan dalam tender terkait Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Untuk mengetahui mekanisme dalam mengantisipasi apabila terjadi persekongkolan tender barang/jasa pemerintah terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum kenotariatan, terutama tentang peranan Notaris dalam persekongkolan tender.

(27)

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan Notaris dalam menjalankan profesinya serta menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum dalam pembuatan rtender pengadaan barang dan jasa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul yang sama adalah sebagai berikut:

1. Marisi dengan judul PENERAPAN PRINSIP-PPRINSIP GOOD CORPORATE

GOVERNANCE, KHUSUSNYA PRINSIP KETERBUKAAN DALAM PROSES

PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DI LINGKUNGAN BUMN PERKEBUNAN (STUDI PADA PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) dengan perumusan masalah:

a. Bagaimana pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN) berbentuk persero

b. Bagaimana penerapan prinsip-prinsipgood corporate governance, khususnya prinsip keterbukaan dalam pengadaan barang dan/atau jasa di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero.

(28)

2. Ahmad Feri Tanjung dengan judul TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGGUNA ANGGARAN ATAS PERUBAHAN TEKNIS PEKERJAAN PASCA PENANDATANGANAN SURAT PERJANJIAN KONTRAK PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA

Tesis yang berjudul “Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti-peneliti pendahulu yang pernah melakukan peneliti-penelitian mengenai masalah tugas jabatan Notaris, namun secara judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.7

(29)

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.8

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”9

Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.10

Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya kesenjangan sosial.

8

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80. 9Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6.

(30)

Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Kedudukan monopoli yang ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah.11 (antara lain melalui tata niaga) serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business practices) seperti persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakanbarrier to entry,12dan terbentuknya integrasi baik horizontal dan vertikal.

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep tanggung jawab hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.13

Apabila didasarkan pada sifat-sifat atau jenis-jenis perjanjian di atas maka perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai

11 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo Persada,1999), hal. 7.

12Barrier to entryadalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial, barrier toentryini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah

(31)

kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan Barang/Jasa inipun sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapan/formalitas yang sudah ditentukan.

Dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa:“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Para penyedia barang/jasa pemerintah dilarang untuk melakukan pengaturan-pengaturan berupa dan berbentuk apapun untuk menentukan pemenang tender. Pengaturan-pengaturan tersebut bisa saja dilakukan oleh penyedia barang/jasa selaku peserta tender pengadaan barang/jasa pemerintah dengan panitia/pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah dan atau oleh para penyedia barang/jasa selaku peserta tender dengan panitia/pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah, atau bahkan dengan malalui pihak-pihak lain yang tidak terkait dengan tender pengadaan barang/jasa pemerintah yang dapat memenangkan tender pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut.14

(32)

Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.15

Pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan antara lain:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan.

b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan:

a. Mengembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat.

b. Mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan kepentingan sosial dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar.

c. Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi Negara.

Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk–bentuk kejahatan bisnis tersebut. Lahirnya undang-undang anti monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk

(33)

menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari undang-undang antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persekongkolan bisnis. Bagaimanapun juga ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (untuk selanjutnya disebut DPR) untuk memiliki undang-undang (untuk selanjutnya disebut UU) Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoli disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka.

(34)

tender tanpa melakukan elaborasi cara-cara atau indikator apakah yang dapat dikatakan sebagai penentuan/pengaturan pemenang tender.

Berkaitan dengan sifat keumuman dari Pasal 22 maka keinginan untuk membuat suatu pedoman pelaksananaan tender perlu dihargai sebagai salah satu pelaksanaan tugas KPPU (Pasal 35 huruf f UU No. 5/1999). Sehingga diperlukan upaya untuk menggali situasi yang dapat ditentukan sebagai penentuan atau pengaturan pemenang tender. Akan tetapi agar pedoman dapat menjadibenchmark

bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses tender maka KPPU harus memperhatikan ”yurisprudensi” dari putusan KPPU. Karena putusan KPPU merupakan sumber hukum untuk mengetahui kondisi atau situasi yang oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai bersekongkol untuk menentukan atau mengatur pemenang tender.

Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Sebelum berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dilihat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

(35)

dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya,” tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat juga berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(36)

Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas, yakni sebagai berikut:

a. Bahwa akta itu dibuat dalam bentuk menurut hukum; b. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;

c. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.

Berkaitan dengan tugas dan wewenang Notaris yang diberikan oleh pemerintah kepadanya, untuk itu Notaris dalam menjalan tugas jabatannya harus berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan yang ada, baik itu Undang-undang maupun Kode Etik Profesi Notaris. Notaris adalah merupakan suatu profesi, karena itu, terhadapnya perlu diberikan aturan etika profesi dalam bentuk kode etik, di samping diberikan kepadanya tempat bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris Indonesia, atau yang disingkat dengan INI.16

Notaris dalam profesinya sesungguhnya adalah merupakan pejabat umum, yang dengan akta-aktanya akan menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik, sehingga dengan adanya peran Notaris akan mendorong masyarakat untuk mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis (otentik). Oleh karena itu Notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia melayani masyarakat manapun juga yang membutuhkan jasa-jasanya. Negara merasa perlu menata kelembagaan notariat melalui sejumlah pembatasan-pembatasan, mengingat kewenangan lembaga Notariat diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan masyarakat. Garis

(37)

kewenangan formal yang diderivasi dari kekuasaan umum inilah yang membedakan jabatan Notaris dengan profesi-pofesi lainnya.17

Berdasarkan hal di atas, pembatasan-pembatasan yang dimaksud dapat berupa peraturan yang mengikat di kalangan Notaris (self regulation) yang diwujudkan dalam kode etik Notaris. Di dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris selain terikat dengan segala ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, juga harus ikut serta menegakkan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

Sehubungan dengan pelaksanaan tugas jabatannya, maka Notaris harus dikontrol dengan Kode Etik Profesi, lebih lanjut Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa organisasi profesi memiliki kepentingan untuk memperoleh jaminan agar anggotanya menjalankan tugasnya dengan memenuhi standar etika profesi. Hal ini sangat penting, mengingat profesi hukum merupakan profesi mulia atau luhur, yang sangat berkaitan dengan kepentingan umum.18

Selain diikat oleh kode etik Notaris, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan Notaris pada saat pembuatan akta. Aspek-aspek ini berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu:19

a. Lahiriah(uitwendige bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant

17Irsyadul Anam Malaba,Pluralitas Organisasi Notaris Di antara Hak, Kebutuhan, Inefiensi dan Tafsir Pemerintah,(Jakarta: Jurnal Renvoi, Nomor 2. 26. III Tahun Ketiga 2005), hal. 35.

18 Frans Hendra Winarta, Persepsi Sebagian Masyarakat Terhadap Profesi Hukum Di Indonesia, Media Notariat, Edisi Oktober – Desember 2003, Nomor 3, (Jakarta: CV. Pandeka Lima, 2003) hal. 59.

(38)

sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik adalah adanya tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta otentik.

(39)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.

(40)

tersebut harus diterima oleh siapa pun. Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dibuat oleh si Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut dapat mengajukan tuntutan untuk menggugat Notaris, dan penguggat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.20

c. Materil (materielebewijskracht)

Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan

(41)

Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata.

Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak rnenerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.21

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengelompokkan persekongkolan tender sebagai Pasal yang menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam pendekatan Rule of reason pelanggaran pasal terjadi bila terdapat akibat yang

21J. J. Amstrong Sembiring, “Analisa Hukum Terhadap Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam Implementasi Penyelenggaraan Fungsional Notaris”,

(42)

merugikan pesaing, menghambat persaingan dan kepentingan umum. Pembuktian dalam hal ini meliputi:

a. Ada tidaknya pelanggaran

b. Akibat pelanggaran itu yang berupa akibat ekonomis yang dapat berupa kerugian pada pesaing, persaingan, dan konsumen.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwasanya dalam indikasi persekongkolan tender harus dibuktikan ada tidaknya kerugian atau keberatan dari pelaku usaha lain. Artinya setelah pengumuman pemenang tender tidak terdapat sanggahan dari peserta lain maka peserta lain dianggap menerima. Sebelumnya Peserta pemilihan penyedia barang/jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barang/jasa apabila ditemukan:

a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;

b. Rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat; c. Penyalahgunaan wewenang oleh panitia/pejabat pengadaan dan/atau pejabat

yang berwenang lainnya;

d. Adanya unsur KKN di antara peserta pemilihan penyedia barang/jasa;

e. Adanya unsur KKN antara peserta dengan anggota panitia/ pejabat pengadaan dan/atau dengan pejabat yang berwenang lainnya.

(43)

a. Konsumen membayar harga yang lebih mahal dari pada yang sesungguhnya b. Barang dan atau jasa yang diperoleh sering kali lebih rendah dari yang akan

diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur

c. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender.

d. Nilai proyek menjadi lebih tinggi akibatmark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui APBN, maka persekongkolan tersebut berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Dampak tersebut ialah pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah, indikasi persekongkolan yang terjadi dalam evaluasi dan penetapan pemenang lelang maka harga penawaran peserta yang terendah dan menguntungkan bagi negara justru tidak dimenangkan. Padahal tujuan awal ialah memperoleh pemenang lelang dengan harga penawaran terendah dengan kualitas bagus dan menguntungkan negara.

(44)

membagi keuntungan persekongkolan tender selama periode bulanan atau tahunan. Persekongkolan tender mungkin akan mencakup pembayaran uang dengan menetapkan

penawaran yang akan menang (bidding winner) kepada satu atau lebih pihak yang bersekongkol. Ini biasa disebut dengan pembayaran kompensasi yang kadang diasosiasikan.

Di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pengadaan publik dapat mencapai sekitar 15% dari PDB. Di Negara non OECD, angka

tersebut justru lebih tinggi. Lihat OECD, Penyuapan dalam Pengadaan, Metode, Pelaku dan

Upaya Mengatasinya.22 dengan para perusahaan memasukkan penawaran “palsu” (cover bidding) yang tinggi. Walaupun individu dan perusahaan mungkin setuju untuk mengimplementasikan metode persekongkolan tender dalam berbagai cara, mereka biasanya

mengimplementasikan satu atau lebih strategi yang serupa. Teknik-teknik ini biasanya tidak

terlalu ekslusif. Sebagai contoh, penawaran palsu mungkin digunakan bersamaan dengan

metode rotasi pemenang (bid-rotation). Strategi tersebut akan menghasilkan pola yang dapat dideteksi oleh pejabat pengadaan dan dapat membantu pengungkapan metode

persekongkolan tender tersebut.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”23 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis

(45)

yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”24

Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep, yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.25 Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.

Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

b. Pihak lain di sini adalah para pihak yang terlibat dalam proses tender yang

(46)

melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tertentu.

c. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris).26

d. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang di tetapkan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris).27

e. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula parap, teraan atau cap tanda tangan atau cap parap, teraan cap nama atau lainnya sebagai pengganti tanda tangan.28

f. Persekongkolan adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk mengusasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.29 Bersekongkol merupakan kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.

g. Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu 26Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1.

27Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 7.

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, Pasal 1 Ayat 2 (b).

(47)

pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.30 h. Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa

yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.31

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge trough judicial process)”.32

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu

30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(48)

penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimasudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk(teoritis).

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Dimana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur tentang jabatan profesi Notaris, sehingga akan diketahui secara hukum tentang kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dalam pembuatan akta otentik.

3. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, cacatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

(49)

atas putusan pengadilan.

Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan Hukum Primer

(50)

2003, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 dan Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.”33

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku,

(51)

literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. “Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier”.34

Sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk mengadakan wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara secara langsung.

(52)

6. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.35

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan metodededuktif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

(53)

DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Peranan Notaris Sebagai Pembuat Akta

Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan tentang pengertian Notaris: “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.” Untuk memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang tertentu, bukan pejabat lain, dapat dilihat dari definisi di atas bahwa:

a. Notaris adalah pejabat umum.

b. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik yang diberikan oleh Undang-undang.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Pemberian wewenang itu bertujuan untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum kepada masyarakat.36

Sehubungan dengan wewenang yang diberikan bagi Notaris oleh Undang-undang maka selain Notaris, pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu, artinya wewenang mereka tidak sampai pada pembuatan akta otentik sebagaimana

36

(54)

telah ditugaskan oleh Undang-undang kepada Notaris. Adapun pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:

1) Consul (berdasarkanConculair Wet);

2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3);

3) Notaris Pengganti;

4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri; 5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.37

Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan:

Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai “pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.38

Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada

pihak-37H. Budi Untung,Visi Global Notaris,Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 43-44.

(55)

pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

Menjalankan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti menyusun, membacakan dan menandatangani dan dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya,” tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat jugat berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetap oleh undang-undang.

(56)

menjalankan tugas jabatannya juga dituntut harus memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan Undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat Notaris.

Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas, yakni sebagai berikut:

a. Bahwa akta itu dibuat dalam bentuk menurut hukum; b. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;

c. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.

(57)

bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris Indonesia, atau yang disingkat dengan INI.39

Notaris dalam profesinya sesungguhnya adalah merupakan pejabat umum, yang dengan akta-aktanya akan menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik, sehingga dengan adanya peran Notaris akan mendorong masyarakat untuk mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis (otentik). Oleh karena itu Notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia melayani masyarakat manapun juga yang membutuhkan jasa-jasanya.

Negara merasa perlu menata kelembagaan notariat melalui sejumlah pembatasan-pembatasan, mengingat kewenangan lembaga Notariat diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan masyarakat. Garis kewenangan formal yang diderivasi dari kekuasaan umum inilah yang membedakan jabatan Notaris dengan profesi-pofesi lainnya.40

Berdasarkan hal di atas, pembatasan-pembatasan yang dimaksud dapat berupa peraturan yang mengikat di kalangan Notaris (self regulation) yang diwujudkan dalam kode etik Notaris. Di dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris selain terikat dengan segala ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, juga harus ikut serta menegakkan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

39

H. M. N. Purwosujtipto,Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang,Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 16.

(58)

B. Perlunya Akta Notaris Dalam Tender Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Notaris sebagai pejabat umum yang berfungsi untuk menghubungkan kepentingan para pihak dengan cara menuliskannya dalam sebuah akta. Dalam suatu pembuatan akta, para pihak menerangkan kepada Notaris hal-hal yang dikehendaki untuk dituangkan dalam akta tersebut. Notaris berkewajiban meneliti segala sesuatu yang diterangkan oleh para penghadap apakah cocok dengan dokumen yang diperlihatkan kepadanya (bunyi, isi surat kuasa, akta Notaris, berita negara, akta asal-usul sebuah harta dan sebagainya).

Akta Notaris adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris. Akta yang dibuat dihadapan Notaris dikenal dengan partij akta yaitu akta dibuat karena dikehendaki oleh para pihak, contohnya akta jual beli, perjanjian kerja sama, pendirian PT, CV, Firma, Yayasan dan sebagainya Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut dengan akta Notarial (otentik) karena di buat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat tersebut juga dapat berfungsi sebagai alat bukti tertulis, terutama jika terjadi permasalahan hukum. Apabila Notaris melakukan tindak pidana, maka tindak pidana tersebut termasuk tindak pidana yang dilakukan pejabat yang masuk dalam kategori

white collar crime.

Referensi

Dokumen terkait

Penegakan hukum persekongkolan tender dengan menggunakan pendekatan rule of reason dapat dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, namun kurang efektif karena

Dengan adanya persekongkolan tersebut, pihak-pihak yang terlibat persekongkolan dapat memperoleh keuntungan, antara lain peningkatan pendapatan, kepastian usaha

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

a) Melakukan pendekatan serta mengadakan kesepakatan dengan instansi terkait penyelenggara/panitia tender sebelum pelaksanaan tender yang berkaitan dengan berbagai

Sedangkan yang dimaksud dengan praktek monopoli menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, dipandang perlu menetapkan Peraturan

Istilah persekongkolan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur dalam Pasal 1 angka 8, yaitu bahwa:

peranan KPPU dalam menegakkan Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 khususnya yang