PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN INTENSITAS CAHAYA DAN
KETERSEDIAAN NUTRIEN DI PERAIRAN PANTAI SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN
INDAH WAHYUNI ABIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya dengan Intensitas Cahaya dan Ketersediaan Nutrien di Perairan Pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak ditertibkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
RINGKASAN
Indah Wahyuni Abida. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya dengan Intensitas Cahaya dan Ketersediaan Nutrien di Perairan Pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan. Dibimbing oleh. ENAN M. ADIWILAGA dan ARIO DAMAR.
Tujuan penelitian adalah untuk mengukur nilai produktivitas primer fitoplankton dan menganalisis hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan intensitas cahaya dan keberadaan unsur hara di perairan pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2007. Nilai kisaran produktivitas primer bersih fitoplankton pada tiga kali pengamatan di perairan pantai Selat Madura yaitu pada stasiun A didapatkan produktivitas primer bersih sebesar 5,56 – 35,11 mgC/m3/5jam, pada stasiun B sebesar 9,12 – 68,98 mgC/m3/5jam dan pada stasiun C sebesar 6,59 – 61,76 mgC/m3/5jam.
ABSTRACT
Indah Wahyuni Abida. Primary Productivity of Phytoplankton in Relation with Light Intensity and Nutrient Availability in Madura Strait Water Bangkalan District. Under the direction of ENAN M. ADIWILAGA and ARIO DAMAR.
This study are aimed to measure the value of net primary productivity of phytoplankton and analyze the relation net primer productivity phytoplankton with light intensity and nutrient availability at Madura strait water Bangkalan district. This research use discriptive methodology of ex post facto and dark-light bottle method. Value of net primary productivity phytoplankton in three measure are 5,563 – 35,11 mgCm-35h-1, 9,12 – 6,976 mgCm-35h-1 and 6.596 – 61.758 mgCm-35h-1 in station A, B and C respectively,which was measured on March-April 2007. The result of estimation shows that light intensity is significant with R2 are 0,8740 (87,40%), 0,8789 (87,89%), 0,9160 (91,60%) at station A, B and C respectively. Light intensity optimum value are 15 802 Lux (308,5 mol photon m -2
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN INTENSITAS CAHAYA DAN
KETERSEDIAAN NUTRIEN DI PERAIRAN PANTAI SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN
INDAH WAHYUNI ABIDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya dengan Intensitas Cahaya dan Ketersediaan Nutrien di Perairan Pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan
Nama : Indah Wahyuni Abida
NIM : C151050081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Dr. rer. nat. Ir. Ario Damar, MS. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi
Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS.
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur yang pertama dan yang utama atas segalanya hanya untuk ALLAH SWT. atas segala yang telah diberikan kepada hambaNya. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Ario Damar, MS. sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi. sebagai dosen penguji atas
segala masukan untuk perbaikan tulisan ini.
3. Dekan dan rekan sejawat di Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo khususnya ketua dan staf jurusan Ilmu Kelautan serta para staf teknis Laboratorium Fakultas Pertanian.
4. Kedua orang tua H. Achmad Tiyar dan Hj. Nikmah serta keluarga besar yang telah mendoakan dan memberi dorongan untuk mencapai RidhoNya. 5. Seluruh kerabat dan teman seperjuangan atas segala kebaikan dan
kerjasamanya
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat. Semoga Allah SWT. meridhoi setiap langkah kita. Amiin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Babatagung Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan Jawa Timur pada tanggal 21 Juni 1975 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan H. Achmad Tiyar dan Hj. Nikmah.
DAFTAR ISI
Hidrodinamika Perairan Pantai ………... 5
Produktivitas Primer Fitoplankton …………... 6
Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer ………... 7
Intensitas Cahaya ………... 7
Pengukuran dan Pengambilan sampel air laut ... 15
Pengukuran Produktivitas Primer ... 17
Analisis Klorofil-a ………... 18
Penghitungan Kelimpahan Fitoplankton …………... 19
Analisis Unsur Hara …....………... 19
Pengukuran Intensitas Cahaya ………... 20
Analisis Data ………... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 23
Hidrodinamika Perairan ………... 23
Intensitas Cahaya Matahari ……..……… 25
Unsur Hara ………... 30
Struktur Komunitas Fitoplankton ……….. 34
Klorofil-a ………... 40
Produktivitas Primer Perairan ………... 42
Hubungan cahaya dengan Produktivitas Primer ....…… 43
Hubungan Unsur Hara dengan Produktivitas Primer ... 48
Hubungan Klorofil-a dengan Produktivitas Primer …… 53
SIMPULAN DAN SARAN ... 56
DAFTAR PUSTAKA ………... 57
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Metode analisis dan alat yang digunakan untuk pengukuran
parameter fisika, kimia dan biologi ... 17 2 Penghitungan arah dan kecepatan angin, arus dan tinggi
gelombang di Lokasi Penelitian ... 24 3 Rata-rata hasil pengukuran parameter fisika kimia di lokasi
penelitian ... 25 4 Nilai rata-rata kecerahan, kekeruhan dan TSS tiap stasiun
pengamatan ... 26 5 Persentase intensitas cahaya selama waktu inkubasi ... 28 6 Rata-rata kedalaman dan zona eufotik di lokasi Penelitian ... 29 7 Nilai rata-rata unsur hara DIN menurut kedalaman inkubasi . 32 8 Nilai rata-rata unsur hara PO4-P dan SiO2 ... 34
9 Kelas dan Jumlah Jenis Fitoplankton ... 36 10 Rataan kelimpahan fitoplankton (sel/L) pada tiap
pengamatan... 38 11 Indeks biologi pada stasiun pengamatan di perairan pantai
Selat Madura ………... 39 12 Konsentrasi klorofil-a, b dan c menurut pengamatan... 42 13 Produktivitas primer bersih fitoplankton pada kedalaman
inkubasi ... 43 14 Hubungan Produktivitas Primer bersih dengan unsur hara ... 50
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Diagram alir pendekatan masalah produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan intensitas cahaya dan ketersediaan nutrien ………. ...
3
2 Pola hubungan fotosíntesis dengan distribusi vertikal intensitas
cahaya (Sverdrup’s 1953 diacu dalam Miller 2004) ... 10
3 Peta lokasi penelitian di Perairan Selat Madura ... 15
4 Intensitas cahaya matahari di permukaan selama pengamatan ... 28
5 Pola distribusi cahaya pada kolom perairan di setiap stasiun.. ... 31
6 Kelimpahan fitoplankton (x 105 sel/L) pada tiap kelas ...…... 36
7 Jenis-jenis fitoplankton dominan a) Skeletonema sp b) Pseudonitzschia sp c) Thalassiosira sp d) Pleurosigma sp e) Nitzschia sp f) Chaetoceros sp ………... 37
8 Rata-rata jumlah genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi... 38
9 Rata-rata kelimpahan fitoplankton dan prosentase menurut kedalaman inkubasi ...………...……….... 40
10 Komposisi klorofil a, b dan c pada tiap stasiun selama penelitian 42 11 Pola distribusi Produktivitas primer bersih fitoplankton pada tiap stasiun pengamatan …………... 46
12 Pola hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer bersih di lokasi penelitian ... 47
13 Pola hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer bersih pada lapisan kolom air di lokasi penelitian ... 48
14 Pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di Stasiun A (n = 9 pada α 0,05)... 52
15 Pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di Stasiun B (n = 12 pada α 0,05) ...……… 53
16 Pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di Stasiun C (n = 12 pada α 0,05) ... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Intensitas Cahaya (lux) di permukaan air pada perairan Selat
Madura... ... 61 2 Intensitas Cahaya (Lux) pada kolom lapisan permukaan
perairan ... 63 3 Intensitas cahaya (Lux) pada berbagai kedalaman inkubasi .. 65 4 Hasil Pengukuran Parameter utama di perairan pantai Selat
Madura ...
66
5 Kelimpahan Fitoplankton (sel/L) pada pengamatan ke-1... 68 6 Kelimpahan Fitoplankton (sel/L) pada pengamatan ke-2... 69 7 Kelimpahan Fitoplankton (sel/L) pada pengamatan ke-3 ... 70 8 Indeks Biologi menurut kedalaman inkubasi pada setiap
periode pengamatan ...
71
9 Hasil uji sidik ragam (anova) produktivitas primer terhadap stasiun ...
72
10 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air Stasiun A selama inkubasi di perairan pantai Selat Madura ...
73
11 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air Stasiun B selama inkubasi di perairan pantai Selat Madura ...
75
12 Nilai produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air Stasiun C selama inkubasi di perairan pantai Selat Madura ...
PENDAHULUAN Latar Belakang
Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian, dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas air, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton yang merupakan organisme pertama yang merespon perubahan kualitas air tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002).
Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini merupakan unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu oleh fitoplankton.
Fitoplankton dalam ekosistem perairan mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan dilaut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total suatu perairan. Peranan penting fitoplankton bagi produktivitas primer perairan, karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi.
Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan. Kondisi hidrodinamika suatu perairan juga akan mempengaruhi pola penyebaran atau distribusi fitoplankton baik secara horisontal maupun secara vertikal, sehingga akan berpengaruh pada kelimpahan dan struktur populasi fitoplanktonnya yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai produktivitas primernya.
beban masukan akibat besarnya aktivitas manusia yang berada disekitar daerah tersebut. Beban masukan ini berasal dari limbah domestik, limbah pertambakan dan pertanian. Dengan beban masukan ini akan menyebabkan perairan tersebut mempunyai sebaran nutrien dan penetrasi cahaya yang masuk ke perairan akan berbeda dari arah pantai ke laut, baik secara vertikal maupun horisontal. Hal ini disebabkan karena tiap zona akan menerima beban masukan yang berbeda. Sampainya cahaya yang masuk ke kolom perairan sangat mempengaruhi aktivitas fitoplankton dalam berfotosintesis sehingga seringkali pada perairan pantai cahaya merupakan faktor pembatas.
Perumusan Masalah
Adanya beban masukan materi bahan organik yang berasal dari daratan dan kondisi hidrodinamika pada perairan pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan akan mempengaruhi nilai produktivitas primer fitoplankton. Ketersediaan unsur hara dan cahaya yang berada dalam kolom air secara alami tersebar tidak merata dan akan menentukan nilai produktivitas primer fitoplankton. Hal ini disebabkan karena tingkat kekeruhan dalam kolom air yang ditimbulkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan organik tidak merata baik secara vertikal maupun horisontal, akibatnya akan mempengaruhi keberadaan nutrien dan transfer energi cahaya yang masuk ke perairan sehingga berpengaruh pada proses fotosintesis fitoplankton.
Gambar 1 Diagram alir pendekatan masalah produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan intensitas cahaya dan ketersediaan nutrien.
Beban masukan
Hidrodinamika
Kualitas Air
Fitoplankton
Intensitas Cahaya
Distribusi spasial - -Nutrien
-Padatan tersuspensi
Struktur Komunitas Fitoplankton
Cahaya Unsur hara
Biomasa Produktivitas Primer Fitoplankton
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menduga nilai produktivitas primer fitoplankton di perairan pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan.
2. Menganalisis hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan keberadaan unsur hara dan intensitas cahaya yang ada di perairan pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan.
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA Hidrodinamika Perairan Pantai
Produktivitas perairan merupakan fungsi dari gerakan air. Proses biologi sebagai penentu nilai produktivitas yang terjadi dilaut, akan dipengaruhi oleh proses fisik (Mann 1982). Proses fisik yang bervariasi akan mengakibatkan berpengaruhnya cahaya dilingkungan kolom air, perkembangan stratifikasi vertikal, turbulensi, suhu dan konsentrasi nutrien (Platt 1972; Therriault & Platt 1978; Therriault et al. 1978; Joint & Pomroy 1981; Pennock 1985, Pennock & Sharp 1986, diacu dalam Cervetto et al. 2002).
Angin dapat mengakibatkan difusi turbulen vertikal lewat air dan juga mengakibatkan transport horisontal massa air, dimana komunitas fitoplankton akan bereaksi terhadap komponen vertikal dan horisontal dari gerakan air yang diakibatkan oleh angin tersebut (Mackas et al. 1985, diacu dalam Kaswaji 1999). Angin yang merupakan pembangkit arus dan pasang surut yang terjadi di perairan menyebabkan tersuspensinya kembali sediment (resuspensi) sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan berkurangnya kedalaman zona euphotik pada daerah pesisir yang airnya dangkal (Pennock 1985; Alongi 1998). Selain itu proses resuspensi akibat arus dan pasang surut ini dapat berperan penting pada meningkatnya perubahan nutrien antara sedimen dan kolom air, yang pada proses kembalinya nutrien ini bisa meningkatkan produktivitas fitoplankton (Gabrielson & Lukatelich 1985, diacu dalam Cervetto et al. 2002).
Arah dan kecepatan arus sangat penting untuk mengetahui proses perpindahan dan pengadukan dalam perairan seperti misalnya mikronutrien dan material tersuspensi (Alongi 1998; Blackburn & Sorensen 1988). Arus akan membawa organisme menjauhi dan mendekati makanan, sedangkan turbulensi berperan dalam mengangkat nutrien yang terkumpul dibawah lapisan tercampur akibat tenggelamnya bahan-bahan organik maupun anorganik (Mann dan Lazier 1991).
diperairan tinggi tapi biomasa fitoplankton menunjukkan nilai yang sedang sampai rendah akibat dari ketersediaan cahaya yang terbatas, sehingga cahaya menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan fitoplankton (Cervetto et al. 2002).
Wilayah Kabupaten Bangkalan mempunyai sungai yang bermuara pada perairan Selat Madura, dimana perairan tersebut merupakan perairan semi tertutup dan relatif sempit. Perairan tersebut mempunyai arus maksimum sebesar 13,5 m/s dan kecepatan arus terendahnya sebesar 8,18 x 10-5 m/s. Dari hasil simulasi pada daerah yang diperbandingkan dengan DISHIDROS diketahui besarnya arus maksimum sebesar 8,73 m/s (pada waktu pasang), sedangkan pada saat surut besarnya sebesar 7,70 m/s (ke arah selatan) (Setiawan 2005). Besar kecilnya gelombang pada daerah ini bervariasi menurut musim, kecepatan angin dan tingginya amplitudo pasang surut.
Produktivitas Primer Fitoplankton
Produktifitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan sinar matahari (Parson et al. 1984). Produktivitas primer pada umumnya dinyatakan dalam gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air per interval waktu. Produksi merupakan jumlah karbon per m2 per hari ( g C/m2/hari ). Organisme yang berperan dalam hal ini adalah fitoplankton yang mampu menghasilkan bahan organik dari zat-zat anorganik melalui proses fotosintesis. Reaksi pada proses fotosintesis adalah :
cahaya
6 CO2 + 6 H2O C6 H12 O6 + 6 O2
energi + tumbuhan
dari reaksi diatas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini dalam prakteknya
yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Nybakken 1988).
biomassa. Laju produksi primer ditentukan oleh lingkungan fisik misalnya temperatur optimum dan cukup sinar matahari dan juga ketersediaan nutrien anorganik misalnya N dan P (Valiela 1995). Suplai unsur hara yang dibawa oleh air sebagai beban masukan ke perairan dan pergerakan air, akan mempengaruhi jumlah dan aktivitas material fotosintesis (Blackburn & Sorensen 1988; Fogg 1975 , diacu dalam Nuryanto 2001).
Kuantitas dari fitoplankton dapat dinyatakan dengan biomassa, yaitu banyaknya zat hidup per satuan luas atau per satuan volume pada satu daerah dan pada waktu tertentu (Cushing et al. 1958, diacu dalam Nontji 1984). Ada beberapa metode pendekatan untuk penentuan biomassa fitoplankton antara lain dengan pencacahan sel, pengukuran volume, berat kering, berat basah, kandungan karbon dan klorofil-a. Penentuan biomassa fitoplankton dengan pendekatan klorofil merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dan hingga kini dipandang sebagai metode rutin terbaik (Whitney dan Darley 1979; Jeffrey 1980, diacu dalam Nontji 1984).
Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer Fitoplankton
Dalam perairan, berbagai faktor lingkungan akan mempengaruhi dan menentukan terhadap besarnya biomassa dan produktivitas fitoplankton. Faktor-faktor tersebut antara lain : cahaya, suhu, ketersediaan unsur hara serta kemantapan struktur fitoplankton.
Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya secara kualitatif digambarkan melalui distribusi spektral yang bergantung pada perbedaan panjang gelombang (unit-unit seperti nm, µm dan angstrom). Intensitas cahaya dengan panjang gelombang diatas 760 nm disebut inframerah (IR), sedangkan cahaya yang kurang dari 300 nm disebut sinar ultraviolet (UV). Panjang gelombang cahaya antara UV dan IR disebut visibel (VS), dimana fraksi dari sinar ini sebagian besar penting untuk aspek-aspek biologi seperti fotosintesis dan rangsangan visual organisme. Untuk proses fotosintesis, fitoplankton membutuhkan cahaya dengan panjang gelombang antara 300-720 nm (Parsons et al. 1984). Menurut Wetzel (1983), radiasi dengan panjang gelombang antara 400-700 nm atau spektrum cahaya tampak yang dapat menembus kedalaman perairan dan diserap oleh klorofil untuk proses fotosintesis. Total radiasi pada panjang gelombang ini disebut PAR (Photosyntetically Available Radiation).
Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan sangat nyata, dimana peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding dengan peningkatan produktivitas primer. Semakin meningkatnya intensitas cahaya akan mengakibatkan prosses fotosintesis juga semakin meningkat sampai mencapai puncak dimana cahaya dalam kondisi jenuh (Riley dan Chester 1971; Parson et al. 1984).
Proses fotosintesis di perairan hanya dapat berlangsung bila ada cahaya yang sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton itu berada (Nybakken 1988). Hasil fotosintesis yang relatif besar dihasilkan dari lapisan permukaan sampai pada kedalaman dengan nilai intensitas cahaya kurang lebih tinggal 1% dari cahaya yang berada pada permukaan perairan yang disebut dengan zona eufotik (Parson et al. 1984). Pada kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi yang intensitas cahayanya tinggal 1 % dari intensitas di permukaan perairan.
kekeruhan dan berkurangnya kedalaman zona eufotik pada daerah pesisir yang airnya dangkal (Pennock 1985).
Ketersediaan cahaya yang ada dalam perairan akan ditentukan oleh besarnya cahaya yang masuk ke perairan, adanya ekstinksi cahaya pada kolom air dan kedalaman lapisan tercampur (Wofsy 1983; Pennock 1985), dimana faktor ini lebih penting dalam mengontrol level produksi fitoplankton dan biomasanya (Sverdrup 1953; Lande & Yentsch 1988; Nelson & Smith 1991; Platt et al. 1991, diacu dalam Cervetto et al. 2002). Cahaya menjadi faktor pembatas untuk produksi primer fitoplankton saat nutrien melimpah (Pennock 1985; Underwood & Kromkamp 1999). Kekeruhan akan menjadi pembatas kuatnya penetrasi cahaya dan menjadi faktor pengatur utama pada cahaya lingkungan kolom air serta penyebaran dan produksi klorofil (Hilmer & Bate 1990, Fielding et al. 1991, diacu dalam Cervetto et al. 2002).
Rasio kedalaman lapisan tercampur atau Zmix dapat diartikan sebagai
kedalaman kolom air atau lapisan permukaan tercampur pada stratifikasi kolom air sampai kedalaman eufotik (Zeu) yang dipertimbangkan sebagai indikator
ketersediaan cahaya untuk fitoplankton (Grobbelar 1985; Alphine & Cloern 1988; Underwood & Kromkamp 1999). Oleh sebab itu, cahaya yang tersedia untuk sel fitoplankton dan produksinya dapat dihubungkan dengan rasio Zmix/Zeu (Damar
2003; Alpine & Cloern 1988).
Rasio Zmix/Zeu selama sampling dapat diestimasi dengan asumsi bahwa
lapisan fotik memberikan 1.7 kali kedalaman Secchi (Margalef 1989). Rasio Zmix/Zeu = 6 dapat diidentifikasi sebagai kedalaman kritis atau pembatas dengan
memberikan inisiasi blooming fitoplankton (Alpine & Cloern 1988; Grobbelar 1990; Tett 1990; Kromkamp & Peene 1995, diacu dalam Cervetto et al. 2002). Kedalaman kritis (critical depth = Dcr) merupakan kedalaman dimana seberapa
Gambar 2 Pola hubungan fotosíntesis dengan distribusi vertikal intensitas cahaya (Sverdrup’s 1953 diacu dalam Miller 2004).
Stratifikasi Suhu
Dalam proses fotosintesis, suhu mempunyai pengaruh yang langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung dari suhu adalah mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Sedangkan pengaruh tidak langsung suhu adalah dalam menentukan struktur hidrologis suatu perairan, misalnya kerapatan air yang akhirnya akan mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton (Raymont 1963; Tomaschik et al. 1997, diacu dalam Nuryanto 2001). Suhu dan salinitas mempengaruhi densitas air, semakin dalam perairan, suhu semakin rendah dan salinitas semakin meningkat sehingga kerapatan air juga meningkat yang selanjutnya akan mempunyai stratifikasi yang kuat dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam yang sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1963).
Setiap jenis fitoplankton memiliki suhu yang optimum tersendiri dan sangat tergantung pada faktor lain seperti cahaya. Proses respirasi dan fotosintesis yang terjadi pada suatu perairan tidak terlepas dari perubahan suhu. Kenaikan suhu air sampai pada tingkat tertentu akan menyebabkan laju pertumbuhan fitoplankton meningkat, dan kenaikan suhu yang terus berlangsung akan memperlambat laju pertumbuhan yang sampai pada suhu tertentu akan menyebabkan laju pertumbuhan menjadi nol (Bayne et al. 1997; Eppley 1979, diacu dalam Hutagalung 1988).
Ketersediaan Unsur Hara
Dalam pertumbuhannya, fitoplankton membutuhkan beberapa unsur. Beberapa unsur ini dibutuhkan dalam jumlah yang relatif besar yang disebut dengan hara makro (Macro-nutrien) misalnya : C, H, O, N, P, Si, S, Mg, K dan Ca, sedangkan yang masuk dalam kelompok mikronutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co dan Na (Odum 1996). Diantara unsur-unsur tersebut, unsur N, P dan Si adalah yang sering dijumpai sebagai faktor pembatas pertumbuhan algae. Unsur N dan P diperlukan oleh semua jenis algae, sedangkan Si terutama dibutuhkan oleh jenis-jenis yang dinding selnya mengandung kerangka silika (Nybakken 1988).
Pertumbuhan dan produksi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara, tanpa unsur hara sel tidak dapat membelah, dan ketika unsur hara tersedia populasi sel mulai meningkat. Setiap species mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan konsentrasi unsur hara. Beberapa jenis dapat memanfaatkan unsur hara dari konsentrasi yang rendah sementara sebagian yang lain tumbuh dengan subur apabila unsur hara tersedia berlimpah (Mann 1982).
Di antara berbagai nutrien yang dapat berada dalam jumlah terbatas di laut, nitrat (NO3+), fosfat (PO4+) dan silikon terlarut (Si(OH)4) adalah yang paling
sering dijumpai dalam konsentrasi sangat rendah (di bawah nilai setengah jenuh) yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton yang maksimum.
Nitrogen
Dibandingkan dengan silikon dan fosfor, pendauran nitrogen merupakan proses yang lebih kompleks. Siklus nitrogen di laut sangat kompleks karena nitrogen di laut berada dalam berbagai bentuk yang tidak mudah diubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Bentuk-bentuk tersebut meliputi molekul nitrogen terlarut (N2) dan bentuk ion ammonia (NH4+), nitrit (NO2+), dan nitrat (NO3+),
seperti juga senyawa organik seperti urea (CO(NH2)2). Bentuk dominan dari
nitrogen di laut adalah ion nitrat, bentuk ini yang sering diserap oleh fitoplankton, meskipun banyak spesies lain juga dapat memanfaatkan nitrit atau ammonia. Ada beberapa spesies fitoplankton yang juga dapat menyerap molekul-molekul kecil nitrogen organik, seperti asam amino dan urea. Laju penyediaan nitrogen dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton dapat membatasi produktivitas primer di perairan oligotrofik sepanjang tahun dan di perairan temperate selama musim panas (Blackburn and Sorensen 1988).
Fosfor
Keberadaan fosfor di laut dalam bentuk yang beragam dan terutama sebagai bentuk ortofosfat anorganik (PO4). Fosfor merupakan salah satu unsur
penting dalam pembentukan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfor akan mempengaruhi penyebaran fitoplankton. Pada perairan dengan nilai fosfat yang rendah (0.00-0.02 ppm) akan dijumpai dominasi diatom terhadap fitoplankton yang lain. Pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0.02-0.05 ppm) akan dijumpai jenis Chlorophyceae, sedangkan pada perairan dengan fosfat tinggi (>0.10 ppm) akan didominasi Cyanophyceae (Prowse 1945, diacu dalam Nuryanto 2001).
Siklus fosfor relatif juga sederhana (dalam perspektif kimiawi); pada pH air laut yang biasa (bersifat alkalin), fosfat organik relatif mudah dihidrolisis kembali ke bentuk fosfat anorganik yang kemudian akan tersedia kembali untuk dimanfaatkan oleh fitoplankton. Karena fosfor berdaur dengan cepat melewati rantai makanan (food chains), unsur ini jarang menjadi pembatas dalam lingkungan laut.
Silikat
Silikat dilaut berada dalam bentuk larutan dan sebagai bahan padatan tersuspensi. Keterbatasan silikat mempengaruhi terutama organisme yang menggunakan unsur ini untuk membentuk rangka atau cangkangnya; organisme tersebut antara lain diatom dan dinoflagellata (fitoplankton) dan kelompok radiolaria (zooplankton). Siklus silikon relatif sederhana karena hanya menyangkut bentuk-bentuk anorganik, organisme memanfaatkan silikon terlarut untuk membentuk cangkangnya, dan bahan cangkang ini akan larut begitu organisme tersebut mati. Konsentrasi silikat semakin besar dengan bertambahnya kedalaman (Spencer 1975).
Struktur Komunitas Fitoplankton
jenis atau species yang terorganisir membentuk komunitas (Browner et al. 1990; Odum 1996).
Struktur komunitas fitoplankton ditentukan oleh keragaman fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas cahaya dan nutrien. Di dalam kolom perairan, kuantitas dan kualitas fitoplankton selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Fitoplankton memerlukan kondisi lingkungan yang optimal agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH, kekeruhan dan konsentrasi unsur hara serta berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1988).
54’00”
Sistem Proyeksi : UTM WGS 84 Zona 49S
Sumber: Peta Rupa Bumi Th 2003
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran dan pengambilan sampel air laut di perairan pantai Selat Madura Kabupaten Bangkalan. Daerah ini merupakan daerah yang dekat dengan daerah pemukiman, pertanian, dan perikanan. Lokasi penelitian secara geografis terletak pada 112º53’095” - 112º53’591” BT dan 7º10’819” -
7º12’328”LS (Gambar 3). Penelitian dilakukan tiga kali pengamatan pada musim hujan, dimana pengamatan pertama dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2007, pengamatan kedua dilakukan pada tanggal 5 April 2007 dan pengamatan ketiga dilakukan pada 12 April 2007.
Pengukuran dan Pengambilan Sampel Air Laut
Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan secara horisontal dan vertikal. Penentuan titik sampling secara horisontal dilakukan dengan mengambil titik – titik tegak lurus mulai dari pantai ke arah laut. Pembagian stasiun ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat kecerahan yang terkait dengan kemampuan intensitas cahaya yang menembus perairan, karena semakin jauh ke laut kecerahan perairan akan semakin bertambah. Tempat pengukuran dan pengambilan sampel air laut terbagi atas tiga stasiun sebagai titik horisontal yaitu stasiun A yang merupakan stasiun yang jaraknya ± 400m dari daerah surut terendah dengan letak geografis 112o53’59”BT dan 07o10’8”LS, stasiun B 112o53’44”BT dan 07o11’19”LS yang berjarak ± 1 600 m dari stasiun A, dan stasiun C 112o53’07”BT dan 07o12’31” LS yang berjarak ± 3 300 m dari stasiun B (Gambar 3).
Titik pengukuran dan pengambilan sampel secara vertikal ditentukan dengan mengukur tingkat kedalaman perairan pada tiap stasiun dan membaginya menjadi beberapa kedalaman dengan mempertimbangkan tingkat kecerahan dan pola umum tingkat produktivitas primer fitoplankton pada lapisan perairan. Pengukuran dan pengambilan sampel secara vertikal ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi vertikal intensitas cahaya yang semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman dan juga distribusi konsentrasi nutrien yang selalu bervariasi. Secara vertikal pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan pada sub stasiun kedalaman permukaan (A0) pada kedalaman 0,2 m, sub stasiun A1 pada kedalaman 0,8 m dan sub stasiun A2 pada kedalaman 1,5 m pada stasiun A, pada stasiun B sub stasiun kedalaman permukaan (B0), B1, B2, dan B3 masing-masing pada kedalaman 0,2 m, 0,8 m, 1,5 m, dan 2,5 m,, sedangkan pada stasiun C sub stasiun kedalaman permukaan (C0), C1, C2, dan C3 masing-masing pada kedalaman 0,2 m, 1 m, 2 m, dan 3,5 m.
pada wadah yang telah disediakan untuk dilakukan analisis unsur hara sebanyak 0,250 L, klorofil sebanyak 1 L, kekeruhan dan padatan tersuspensi 200 ml dan produktivitas primer sebanyak 1 L. Air sampel yang diperlukan untuk menghitung kelimpahan fitoplankton diambil dengan menyaring sebanyak 5 liter air sampel dengan plankton net mesh size 20 m dan diawetkan dengan larutan Lugol kuat (0,3 ml larutan Lugol/100ml sampel atau sampai sampel berwarna coklat teh). Setiap sampel air yang akan dianalisa, terlebih dahulu diberi perlakuan dengan mengawetkan pada suhu dingin dalam cool box yang diisi es dan setelah sampai di laboratorium segera dianalisis dengan menggunakan metode seperti yang terdapat pada Tabel 1 Analisis sampel air dilakukan di Laboratorium Dasar dan Laboratorium Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura.
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif yang bersifat ex post facto. Parameter yang diukur meliputi parameter utama dan parameter penunjang. Parameter utama meliputi produktivitas primer, kelimpahan fitoplankton, kandungan unsur hara (NO2–N, NO3-N, NH4–N, PO4-P, SiO2), kecerahan, dan
klorofil a, b, dan c, sedangkan parameter penunjang meliputi: suhu, kekeruhan, pH, padatan tersuspensi, salinitas. Informasi tentang parameter arus dan gelombang perairan didapatkan dari data sekunder Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Tanjung Perak II Surabaya. Metode pengukuran dari parameter utama dan parameter penunjang tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.
Tabel 1 Metode analisis dan alat yang digunakan untuk pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi
Parameter Satuan Metode analisis Alat Analisis
Utama
- Produktivitas Primer mgC/m3/5jam
Botol gelap terang Titrasi Winkler In situ
- Klorofil-a g/L Aseton 90% Spektrofotometer Lab
- Silikat mg/L Molibdosilicate Spektrofotometer Lab
- N-Nitrat mg/L Brusine sulfat Spektrofotometer Lab
- N-Amonnium mg/L Nessler Spektrofotometer Lab
- Orthophospat mg/L Stannus clorida Spektrofotometer Lab
- N-Nitrit mg/L Sulfanilamide Spektrofotometer Lab
- Jenis fitoplankton Identifikasi Mikroskop Lab
- Kelimpahan fitoplankton sel/L Microtransek Mikroskop Lab
- Kecerahan cm Penetrasi cahaya Secchi disk In situ
- Intensitas cahaya lux Photocell Luxmeter In situ
Penunjang
- Suhu oC Pembacaan skala Thermometer In situ
- Kekeruhan NTU Nephelometrik Turbidity meter In situ
- Padatan tersuspensi mg/L Gravimetrik Oven, timbangan Lab
Pengukuran Produktivitas Primer
Pengukuran produktivitas primer ditentukan dengan menggunakan metode
oksigen botol gelap-botol terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan
kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah
diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada saat matahari
optimal yaitu pada jam 09.00-14.00 WIB. Prosedur pengukurannya dilakukan menurut
Umaly dan Cuvin (1988) dengan perhitungan sebagai berikut :
NPP = (O2BT)-(O2BA)(1000) x 0,375
(PQ) (t)
Keterangan :
NPP = Fotosintesis bersih (mgC/m3/jam)
O2BT = Oksigen terlarut Botol terang (mg/l)
O2BA = Oksigen terlarut Botol awal (mg/l)
1 000 = Konversi liter menjadi m3
PQ = Photosintetic Quotient : 1,2 dengan asumsi hasil metabolisme dari
fitoplankton.
t = Lama inkubasi (jam)
0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32)
PQ adalah perbandingan O2 terlarut yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui
proses fotosintesis. Menurut Parson et al. (1984), PQ adalah sebesar 1,1 - 1,3 untuk
organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1,2 diperoleh dengan asumsi bahwa dalam
proses fotosintesis didominasi oleh fitoplankton.
Analisis Klorofil- a
Biomasa fitoplankton ditentukan dengan kandungan klorofil–a dengan mengambil
contoh air laut sebanyak 1 liter dan dimasukkan dalam botol sampel yang ditutup dengan
plastik hitam dan dimasukkan pada cool box yang bersuhu dingin. Penghitungan
konsentrasi klorofil-a dengan menggunakan metode Trichromatik yang menggunakan
persamaan menurut APHA (1998) :
Chl-a = 11,85 (OD664) – 1,54(OD647) – 0,08(OD630)
Chl-b = 21,03 (OD647) – 5,43(OD664) – 2,66(OD630)
Chlorofil –a (mg/m ) = Chl-a x V1
V2
Keterangan :
Chl-a, Chl-b dan Chl-c = Konsentrasi dari klorofil a, b dan c (mg/L)
OD664, OD647, dan OD630 = Nilai optical densities (dengan 1cm panjang
kuvet) pada masing-masing panjang gelombang
V1 = Volume yang diekstrak (L)
V2 = Volume sampel (m3)
Penghitungan Kelimpahan Fitoplankton
Metode pencacahan fitoplankton yang digunakan yaitu metode sensus. Untuk
identifikasi species fitoplankton dengan menggunakan literatur Davis (1955), Yamaji
(1979), dan Tomas (1997). Kelimpahan fitoplankton dihitung berdasarkan APHA (1998)
sebagai berikut :
N = n x (Vr / Vo) x (1/Vs) x (Oi / Op) Keterangan :
N = Kelimpahan fitoplankton (sel/ liter)
Oi = Luas gelas penutup preparat (24 mm2)
Op = Luas amatan (24 mm2)
Vr = Volume air sample yang tersaring (30 ml)
Vo = Volume air sample yang diamati (ml)
Vs = Volume air sample yang disaring (L)
n = Jumlah sel yang tercacah (sel)
Analisis Unsur Hara
Terhadap sampel air yang didapatkan dari lokasi penelitian dilakukan analisis
kadar unsur hara sesuai dengan metode yang mengacu pada APHA (1998). Sampel air
difiltrasi dengan membran filter yang berdiameter 47 mm, pore size 1,2 µm. Sampel air
yang tersaring disimpan dalam botol plastik yang diletakkan pada wadah gelap dan
berudara dingin (Grasshoff et al. 1983). Selanjutnya dianalisis dengan metode
Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan Luxmeter tipe
DX-100 (Digital luxmeter Takemura Elektric Work.Ltd) setiap 10 menit sekali yang dimulai
dari jam 06.00 sampai 17.30 WIB di wilayah daratan tempat pengambilan sampel.
Prinsip kerja alat ini adalah menangkap energi cahaya melalui sensor berupa
photoelectric cell dan merubahnya menjadi sinyal yang terbaca melalui lux selector.
Untuk memperoleh nilai intensitas yang berada pada lapisan permukaan perairan, nilai
intensitas cahaya yang diperoleh dari pengukuran di daratan dikurangi 10 % dengan
asumsi intensitas cahaya mengalami refleksi oleh permukaan air laut (Kirk 1994; Damar
2003). Sedangkan untuk nilai intensitas cahaya yang berada dalam kolom perairan
dengan menggunakan koefisien peredupan yang didasarkan pada Hukum Lambert-Beer
(Cole 1988) yaitu:
Iz = Io e-kz
Keterangan :
Iz = Intensitas cahaya pada suatu kedalaman z
Io = Intensitas cahaya pada permukaan air
e = Bilangan dasar logaritma (2,70)
k = Koefisien peredupan.
Koefisien peredupan pada kolom perairan dihitung dengan pembacaan kedalaman
keping Secchi disk (Zsd(m)) dengan menggunakan persamaan empiris k= 0,191 + 1,242/
Zsd (R2=0,853)(Tillman et al. 2000, diacu dalam Damar 2003).
Analisis Data
Data hasil pengamatan yang didapatkan, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
serta dideskripsikan. Dalam mendiskripsikan data dilakukan dengan membandingkan
hasil dari penelitian yang diperoleh di wilayah pesisir lainnya. Analisis data dilakukan
secara komputasi dengan menggunakan program Excel, Kgraph dan SPSS versi 9.0.
Analisis data tersebut meliputi :
1. Determinasi rasio Zeu:Zmix
Determinasi rasio Zeu:Zmix didasarkan pada data hasil pengukuran suhu pada
lokasi penelitian. Berdasarkan pada persamaan Margalef (1989), kedalaman eufotik
dihitung dengan 1,7 kali kedalaman Secchi disk dan kedalaman mixing diasumsikan
bahwa pada perairan dangkal Zmix sama dengan kedalaman perairan.
2. Analisis komunitas fitoplankton
Analisis komunitas fitoplankton dilakukan dengan menggunakan indeks biologi
yang meliputi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi. Untuk
menentukan indeks keanekaragaman (Diversity index) dihitung dengan indeks
keanekaragaman Shannon – Wiener dalam Odum (1996) : n
H’ = ∑ [ ni/N] ln [ni/N]
n=1
Keterangan :
H’ = indeks Keanekaragaman Shanon – Wiener
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu seluruh genera
Kisaran tersebut dengan kategori sebagai berikut ;
H’ ≤ 2,3062 =Keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2,3062 ≤ H’ ≤ 6,9078 =Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang
H’ ≥ 6,9078 = Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
Untuk indeks keseragaman populasi fitoplankton pada setiap periode pengambilan
sampel dilakukan dengan indeks keseragaman (Equitability = E) sebagai berikut :
E = H’ / H’ maks
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman
H’ = Indeks Keanekaragaman
H’ maks = Ln S
S = Jumlah species
Indeks keseragaman berkisar antara 0,0 - 1,0. Semakin kecil nilai E, semakin kecil
keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap species tidak sama
dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu species. Semakin besar nilai E berarti
tertentu pada suatu populasi maka dilakukan penghitungan indeks Simpson menurut
<0,5 artinya struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat species yang ekstrim
mendominasi species-species lainnya. Apabila D mendekati 1 >0,5 artinya struktur
komunitas yang sedang diamati ada dominansi dari satu atau beberapa species.
3. Produktivitas primer bersih
Untuk mengetahui perbedaan produktivitas primer antar stasiun dilakukan analisis
ragam. Untuk mengetahui peranan ketersediaan masing-masing nutrien (NH4-N, NO2-N,
NO3-N, PO4-P dan SiO2), kelimpahan sel dan klorofil-a terhadap produktivitas primer
digunakan analisis regresi sederhana (Steel and Torrie 1989) dengan persamaan :
Y = a + bX
dimana :
Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas
X = Peubah bebas berupa NH4-N, NO2-N, NO3-N, PO4-P dan Si O2
b = Interseps
a = Koefisien regresi parsial
Untuk mengetahui peranan ketersediaan nutrien terhadap produktivitas primer di
setiap stasiun digunakan analisis regresi berganda (Steel and Torrie, 1989) dengan
X1,X2,X3 ...,Xk = Peubah bebas berupa nutrien (NH4-N, NO2-N, NO3-N, PO4-P
dan SiO2)
bo = Interseps
b1,b2,b3,…,bk = Koefisien regresi parsial
Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui keeratan dari
peubah X terhadap Y. Jika nilai R2 lebih besar dari 0,5 atau mendekati 1, dapat diartikan
bahwa X memiliki peranan terhadap Y. Besarnya peranan X terhadap Y ditelaah dengan
sidik ragam regresi.
4. Intensitas Cahaya
Untuk mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer
dilakukan analisis dengan menggunakan model Von Platt (Platt et al. 1980, diacu dalam
Damar 2003) dengan model sebagai berikut :
Y = a(1-e-bX)e -cX
dimana :
Y = Produktivitas primer fitoplankton
X = Intensitas cahaya
a, b, dan c = Konstanta
Untuk mengetahui nilai produktivitas primer bersih yang berada dalam kolom
perairan, dilakukan penghitungan berdasar pada persamaan Von Platt yang didapat pada
masing-masing stasiun pengamatan dengan penghitungan nilai intensitas cahaya pada
tiap penambahan 5 cm ( berdasar pada hasil penghitungan nilai koefisien peredupan (k)),
sehingga mendapatkan nilai produktivitas primer bersih dan intensitas cahaya optimum.
Sedangkan nilai pengukuran dengan satuan Lux dilakukan konversi dengan 51,2 Lux
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hidrodinamika perairan
Lokasi penelitian termasuk perairan Selat Madura yang mempunyai tipe pasang
surut campuran condong ke harian ganda. Tipe pasang surut ini sama pada setiap
musimnya (musim hujan, pancaroba I, kemarau, dan pancaroba II), tetapi tinggi dan
periode pasang surut yang terjadi setiap musim tidak sama (Putri 2006). Berdasarkan
penghitungan data dari BMG Tanjung Perak II Surabaya, kondisi oseanografi di lokasi
penelitian selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Penghitungan arah dan kecepatan angin, arus, dan tinggi gelombang di Lokasi SSW=Selatan membarat daya; SE-SEE=Tenggara-Selatan menenggara; ENE=Timur laut; NNW=Utara membarat laut; N=Utara; NNE=Utara menimur laut. Sumber : BMG Tanjung Perak II Surabaya (Diolah dari data 20 tahun, 2007).
Data arus dan gelombang di atas menunjukkan bahwa arus permukaan perairan
dan gelombang disebabkan oleh adanya angin dan pasang surut. Angin merupakan faktor
penting yang menyebabkan vertical mixing di daerah estuari dan pantai yang dangkal
(Continental Self). Angin dan pasang surut akan menimbulkan gelombang yang dapat
menimbulkan energi untuk membentuk pantai, menimbulkan arus dan transport sedimen
dalam arah yang tegak lurus sepanjang pantai sehingga akan menyebabkan resuspensi
pada permukaan sedimen (Alongi 1998). Pada perairan Selat Madura, lokasi penelitian
termasuk perairan pantai yang dangkal sehingga angin dan pasang surut yang terjadi
Suhu (°°°°C)
Suhu perairan selama penelitian di perairan Selat Madura relatif sama di semua
kedalaman perairan. Pada stasiun A, B, dan C suhu berkisar antara 29-31°C (Tabel 3).
Hal ini disebabkan pada waktu pengukuran berlangsung, keadaan cuaca cenderung sama.
Sebaran suhu pada kolom perairan hampir sama. Secara umum kisaran suhu pada lokasi
pengamatan tergolong cukup tinggi. Kisaran suhu yang terukur diperairan ini masih
dalam kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Kisaran
suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di peraiaran adalah 20-30oC
(Effendi 2003).
Tabel 3 Rata-rata hasil pengukuran parameter fisika kimia di lokasi penelitian
Stasiun Sub Suhu pH Salinitas TSS Kekeruhan
Salinitas pada suatu perairan akan mempengaruhi densitas perairan selain suhu.
Salinitas di perairan Selat Madura selama pengamatan, besarnya antara 28–31‰ (Tabel
3). Nilai salinitas terendah ditemukan pada stasiun A, perbedaan nilai salinitas ini
disebabkan pada stasiun A merupakan wilayah yang dekat dengan daratan sehingga
dimungkinkan adanya masukan air tawar dari daratan. Nilai ini fluktuasinya tidak besar
dan relatif sama pada semua stasiun maupun pada kedalaman inkubasi hal ini karena
tidak ada sungai besar yang bermuara di wilayah ini.
pH
kedalaman bila dibandingkan dengan nilai pH pada stasiun A dan stasiun B. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH juga sangat mempengaruhi
proses biokimiawi perairan misalnya nitrifikasi. Namun demikian nilai pH ini masih
dalam kisaran nilai yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton dan organisme perairan
lainnya yaitu 7-8,5 (Effendi 2003).
Kekeruhan dan Kecerahan
Nilai kecerahan air tergantung pada warna air dan kekeruhan. Kekeruhan perairan
disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut dalam
air misalnya lumpur atau pasir halus maupun bahan anorganik dan organik yang berupa
plankton dan mikroorganisme lain. Nilai kekeruhan berkorelasi positif dengan padatan
tersuspensi, semakin tinggi nilai padatan tersuspensi semakin tinggi pula nilai kekeruhan
(Effendi 2003).
Terkait dengan hal tersebut diatas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kecerahan,
kekeruhan dan TSS pada tiap stasiun di Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai kekeruhan
berkorelasi positif dengan TSS. Sedangkan nilai kekeruhan dan TSS ini berkorelasi
negatif dengan nilai kecerahan perairan, semakin kecil nilai kekeruhan dan TSS maka
semakin tinggi tingkat kecerahan perairan. Tingginya nilainya TSS dan kekeruhan ini
disebabkan oleh terjadinya resuspensi sedimen yang terjadi dari dasar perairan.
Tabel 4 Nilai rata-rata kecerahan, kekeruhan, dan TSS tiap stasiun pengamatan
Stasiun Parameter
A B C
Kecerahan (m) 0,45 0,85 1,02
Kekeruhan (NTU) 96,22 88,96 61,92
TSS (mg/L) 34,89 34,65 33,89
Intensitas Cahaya Matahari
Intensitas Cahaya Matahari Permukaan
Cahaya matahari merupakan sumber energi dilaut. Radiasi cahaya matahari yang
sampai di permukaan bumi besarnya dipengaruhi oleh absorbsi pada penguapan air,
karbon dioksida, oksigen, dan ozon yang ada di atmosfer. Penetrasi cahaya matahari
terpencar di atmosfer sekitar 50% dan mencapai 50% di permukaan bumi (Valiela 1995).
Intensitas cahaya yang sampai di permukaan, bervariasi dari waktu ke waktu.
Besarnya intensitas cahaya matahari yang sampai mengikuti pola harian yaitu
terjadi peningkatan intensitas cahaya di pagi hari dan mencapai puncak sekitar tengah
hari dan menurun kembali pada waktu sore hari. Besarnya intensitas cahaya selama
pengamatan dalam waktu yang sama berbeda tiap kali pengamatan, hal ini disebabkan
kondisi awan yang berbeda pada saat pengamatan sehingga akan berpengaruh pada besar
kecilnya intensitas yang mencapai permukaan laut. Seperti yang dikemukakan oleh
Valiela (1995) awan akan mengurangi radiasi yang sampai di laut dan beberapa energi
matahari akan hilang oleh scattering dan refleksi pada permukaan laut. Pada Gambar 4
menunjukkan besarnya intensitas cahaya matahari di permukaan (di udara) selama tiga
kali pengamatan, dimana pada jam 08.00-10.40 WIB besarnya intensitas terjadi naik
turun, seharusnya intensitas cahaya matahari meningkat sampai waktu tengah hari.
Waktu intensitas puncak tiap pengamatan berbeda-beda. Pada pengamatan
pertama intensitas puncak terjadi pada jam 11.10WIB dengan nilai sebesar 123200 Lux.
Pada pengamatan ini intensitas cahaya terjadi naik turun yang cukup besar karena adanya
awan, namun nilai ini merupakan nilai tertinggi bila dibandingkan dengan nilai intensitas
puncak pada pengamatan ke-2, dan pengamatan ke-3 yang masing-masing terjadi pada
jam 12.00 WIB sebesar 113200 Lux dan jam 11.50 WIB sebesar 102 200 Lux (Lampiran
1). Nilai intensitas ini ditemukan lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Tambaru (2000) yang dilakukan pada tanggal 28 - 30 Mei 2000 di
Teluk Hurun yang intensitas puncaknya sekitar 274 000 – 294 000 Lux pada jam antara
11.50 - 12.05 WIB. Selain cakupan awan yang mempengaruhi besarnya intensitas cahaya
matahari yang sampai ke permukaan, intensitas juga dipengaruhi oleh letak lintang
daerah yang diamati yang tentunya berpengaruh terhadap ketinggian matahari terhadap
4 6 8 10 12 14 16 18
Pengamatan ke-1 Pengamatan ke-2
Pengamatan ke-3
Waktu (WIB) 14
10
6
2
Gambar 4 Intensitas cahaya matahari di permukaan selama pengamatan.
Cahaya yang masuk dalam kolom perairan
Cahaya yang sampai ke permukaan bumi akan terserap dan berpencar di atmosfer
sebesar 50% dan penetrasi cahaya matahari sisanya sebesar 50% yang sampai di daratan
akan mengalami refleksi sekitar 10% di lapisan permukaan atau 90% mencapai lapisan
permukaan laut (Kirk 1994, diacu dalam Damar 2003; Kirk 1992, diacu dalam Valiela
1995; Miller 2004). Intensitas cahaya matahari yang sampai di lapisan permukaan
perairan ini juga bervariasi dari waktu ke waktu (Lampiran 2). Data intensitas cahaya
matahari yang masuk ke kolom perairan dalam waktu sehari (mulai jam 06.00 - 17.30
WIB) dapat diperoleh persentase intensitas cahaya selama inkubasi yaitu pada jam 09.00
- 14.00 WIB sebesar 70,60% (Tabel 5).
Tabel 5 Persentase intensitas cahaya selama waktu inkubasi
Waktu 1 2 3 Rata-rata %
06.00-09.00 565 344 506 790 433 080 501 738 16,62
09.00-14.00 1 498 500 2 677 500 2 221 020 2 132 340 70,60
14.00-17.30 229 308,3 671 625 257 535 386 156,1 12,78
Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan mengalami scattering dan
absorpsi oleh partikel tersuspensi dan fitoplankton. Konsentrasi seston yang berada dalam
kolom perairan mempengaruhi ketersediaan intensitas cahaya. Hal ini karena setiap
species fitoplankton mempunyai koefisien scattering yang berbeda, sebagai contoh pada
panjang gelombang 590 nm Skeletonema costotum mempunyai koefisien scattering
sebesar 0,535 m2/mg Chl-a, sedangkan pada Chaetoceros curvisetum sebesar 0,0262
m2/mg Chl-a (Kirk 1994).
Intensitas cahaya yang masuk ke kolom air mempengaruhi zona eufotik.
Pencahayaan rata-rata untuk pertumbuhan dan fotosintesis fitoplankton pada perairan
dangkal berhubungan dengan perbandingan kedalaman eufotik terhadap kedalaman
mixing (Zmix) (Alpine & Cloern 1988). Hasil pengukuran suhu di lokasi pengamatan
menunjukkan bahwa pada lokasi tidak ditemukan lapisan berstratifikasi, sehingga
kedalaman eufotik dapat dihitung dengan persamaan Margalef (1989) yaitu 1,7 kali
kedalaman Secchi (m). Kedalaman tercampur atau lapisan mixing pada perairan yang
tercampur dengan baik diartikan Zmix sama dengan kedalaman perairan. Dari hasil
perhitungan didapatkan rasio Zeu/Zmix pada masing-masing stasiun sebesar 0,33 pada
stasiun A, pada stasiun B sebesar 0,32 dan 0,31 pada stasiun C (Tabel 6).
Tabel 6 Rata-rata kedalaman dan zona eufotik di lokasi penelitian
Stasiun A B C
Kedalaman (m) 2,30 4,50 5,50
Kecerahan (m) 0,45 0,85 1,02
Koefisien peredupan (/m) 2,97 1,66 1,41
Zona Fotik (m) 0,76 1,45 1,73
Zeu:Zmix 0,33 0,32 0,31
% Kedalaman Fotik (%) 33,00 32,11 31,41
Tabel 6 menunjukkan bahwa pertumbuhan fitoplankton di lokasi penelitian masih
dapat ditopang. Hal ini sesuai dengan pendapat Harris et al. (1980); Horn dan Paul
(1984); Grobbelar (1985) diacu dalam Alpine & Cloern (1988), bahwa dari beberapa
studi di perairan estuary dan juga di danau didapatkan bahwa dinamika populasi
fitoplankton sangat dipengaruhi oleh perbandingan Zeu:Zmix, ketika kedalaman eufotik
Distribusi cahaya yang sampai ke kolom air mengalami peredupan. Peredupan
intensitas cahaya dapat dilihat dari nilai koefisien peredupan (Tabel 6). Pada stasiun A
mempunyai koefisien peredupan yang tinggi yaitu sebesar 2,93 per meter, sedangkan
pada stasiun B dan C masing-masing sebesar 1,66 per meter dan 1,41 per meter. Semakin
besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom air
akan semakin kecil. Sebaliknya nilai k yang kecil maka nilai intensitas cahaya yang
masuk di kolom air akan semakin besar.
Apabila nilai koefisien peredupan tersebut dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Alianto (2006) di perairan Teluk Banten, nilai koefisien peredupan di
lokasi penelitian akan lebih besar karena di perairan Teluk Banten dengan nilai sebesar
0,47-0,55 per meter. Hal ini disebabkan karena pada lokasi penelitian terjadi resuspensi
sedimen sehingga nilai kekeruhan dan TSS tinggi yang berakibat pada nilai intensitas
cahaya yang menembus kolom air berkurang. Sedangkan bila dibandingkan dengan
perairan Teluk Jakarta yang berada di muara sungai Priok diperoleh nilai yang lebih kecil
dari rata-rata vertikal koefisien peredupan yaitu sebesar 8,13 per meter dan lebih besar
dari daerah offshore yaitu sebesar 0,43 per meter (Damar 2003).
Pendugaan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke kolom perairan dengan
hukum Lambert dan prosentasenya menunjukkan bahwa pola distribusi cahaya yang
berada di kolom perairan yaitu semakin dalam cahaya menembus kolom perairan maka
semakin berkurang nilai intensitas cahayanya (Lampiran 3). Pola distribusi cahaya pada
kolom perairan di setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 5. Perbedaan nilai
pencahayaan antar stasiun A, B, dan C ini disebabkan oleh berbedanya nilai koefisien
peredupan antar stasiun. Peredupan ini disebabkan oleh material-material yang ada di
perairan baik berupa bahan organik maupun partikel tersuspensi, termasuk juga
organisme planktonik. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Valiela (1995) bahwa
distribusi cahaya yang masuk ke kolom perairan akan diabsorpsi oleh air, partikel
0
Gambar 5 Pola distribusi cahaya pada kolom perairan di setiap stasiun.
Unsur Hara
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN)
Nilai rata-rata total DIN pada stasiun pengamatan cukup beragam, nilai rata-rata
total DIN pada stasiun A sebesar 557,72 M, pada stasiun B dan C masing-masing
sebesar 1735,42 M dan 793,85 M (Lampiran 4). Konsentrasi NH4-N merupakan salah
satu unsur yang memberi kontribusi yang besar terhadap nilai total DIN, tingginya DIN
pada stasiun C ini selain kontribusi dari NH4-N, juga konsentrasi NO2-N yang relatif
tinggi bila dibandingkan pada kedua stasiun. Nilai rata-rata konsentrasi unsur hara yang
diperoleh selama pengamatan antar kedalaman inkubasi menunjukkan variasi yang relatif
kecil (Tabel 7).
Unsur Hara ( M)
Konsentrasi ammonium selama pengamatan pada stasiun A diperoleh kisaran
antara 122,83 - 205,61 µM NH4-N, pada stasiun B berkisar antara 51,94 – 205,61 µM
NH4-N dan pada stasiun C berkisar 32,33 – 205,61 µM NH4-N (Lampiran 4). Nilai
konsentrasi ammonium ini diperoleh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi
ammonium yang diperoleh di Teluk Jakarta pada musim hujan dengan nilai sebesar 25,79
µM NH4-N dan hampir sama dengan konsentrasi yang ditemukan di Teluk Lampung
dekat muara sungai yaitu sebesar 2,40 - 299,01 µM NH4-N (Damar 2003).
Tingginya konsentrasi amonium di lokasi pengamatan ini diduga karena tingginya
proses dekomposisi bahan organik di kolom perairan seperti yang dikemukakan oleh
Paasche (1988), pada perairan dangkal nitrogen yang di diuraikan menjadi ammonium
oleh mikrobial benthik dan komunitas hewan yang dapat menyediakan lebih besar atau
semua N yang dikonsumsi di kolom air. Selanjutnya dikatakan oleh Blackburn &
Sorensen (1988) bahwa konsentrasi amonium jarang dijumpai mencapai 1µM pada
lapisan tercampur bagian atas di perairan terbuka atau laut dalam, namun sebaliknya
ditemukan konsentrasi yang lebih besar dari level tersebut pada perairan estuari dan teluk
yang terpolusi.
Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 1,11 - 2,04
µM NO3-N pada stasiun A 1,11 – 2,21 µM NO3-N pada stasiun B, dan 1,06 - 2,09 µM
NO3-N pada stasiun C (Lampiran 4). Sebaran vertikal konsentrasi nitrat menunjukkan
nilai yang relatif sama pada semua kedalaman (Tabel 7) Nilai ini masih dalam kisaran
hasil penelitian yang dilakukan Damar (2003) di Teluk Jakarta yang di muara Sungai
konsentrasi nitrat berkisar antara 0,22 – 16,81 µM NO3-N, sedangkan di area offshore
yang ditemukan lebih rendah yaitu berkisar antara 0,02-3,62 µM NO3-N.
Nitrat yang ditemukan mempunyai kisaran yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan konsentrasi ammonium dan nitrit, hal ini dimungkinkan karena nitrat yang
tersedia di perairan sudah dimanfaatkan oleh fitoplankton sehingga konsentrasi yang
terukur lebih rendah. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Paasche (1988) bahwa kadar
unsur nitrat yang biasa dimanfaatkan oleh fitoplankton konsentrasinya akan ditemukan
lebih rendah di perairan. Selanjutnya oleh Goes et al. (2004) dikatakan bahwa konsentrasi
nitrat yang menurun sampai sekitar 6 M menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat
dengan cepat oleh fitoplankton.
Konsentrasi nitrit yang didapatkan pada stasiun A berkisar antara 17,39-55,43 µM
NO2-N, sedangkan pada stasiun B dan C konsentrasi nitrit masing-masing adalah 9,78 –
77,17 µM NO2-N dan 39,13 – 85,34 µM NO2-N. Rata-rata konsentrasi nitrit diperoleh
nilai yang lebih tinggi pada pengamatan kedua, tetapi konsentrasi nitrat justru diperoleh
lebih rendah bila dibandingkan pada pengamatan pertama dan ketiga (Lampiran 4).
Konsentrasi nitrit merupakan bentuk peralihan dari ammonium ke nitrat atau sebaliknya,
sehingga nilai rata-rata dari nitrit ditemukan lebih rendah dari ammonium dan lebih tinggi
dari nitrat. Nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan Teluk Jakarta yang ditemukan
pada beberapa pengukuran tidak terdeteksi dan konsentrasi nitrit yang tertinggi diperoleh
konsentrasi sebesar 5,13 µM NO2-N dan juga pada muara sungai Teluk Lampung yang
diperoleh konsentrasi maksimum berkisar antara 0,28 – 13,96 µM NO2-N (Damar 2003).
Ortofosfat
Kisaran konsentrasi ortofosfat yang diperoleh selama pengamatan pada stasiun A
sebesar 4,65 – 18,82 µM PO4-P, pada stasiun B dan C masing-masing berkisar 4,32 –
21,58 µM PO4-P dan 5,16 – 27,70 µM PO4-P (Lampiran 4). Kandungan Ortofosfat akan
semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini dapat dilihat pada nilai
konsentrasi rata-rata pada stasiun B dan stasiun C (Tabel 8).
Konsentrasi ortofosfat yang ada di lokasi penelitian menunjukkan nilai yang
hampir sama dengan yang diperoleh di Teluk Jakarta yang dekat dengan muara sungai
ortofosfat dilokasi pengamatan ini diduga karena adanya masukan dari daratan.
Konsentrasi ortofosfat ini juga menunjukkan konsentrasi di atas kebutuhan minimal
untuk kebutuhan fitoplankton seperti yang dikatakan Millero dan Sohn (1991) bahwa
pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila
konsentrasi ortofosfat di bawah 0,3 µM perkembangan sel menjadi terhambat.
Tabel 8 Nilai rata-rata unsur hara PO4-P dan SiO2
Stasiun Sub Stasiun PO4-P ( M) SiO2 ( M)
Kisaran konsentrasi silikat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A
berkisar antara 0,52 – 22,35 µM SiO2, di stasiun B sebesar 3,06 – 29,3 µM SiO2 dan di
stasiun C sebesar 2,23 – 53,35 µM SiO2 (Lampiran 4). Nilai konsentrasi silikat ini lebih
rendah dari konsentrasi silikat yang diperoleh di perairan Teluk Jakarta yaitu ditemukan
minimum sebesar 0,55 M Si dan maksimum sebesar 524,08 M Si. Besarnya
konsentrasi Silikat ini diakibatkan oleh masukan dari sungai yang bermuara di Teluk
Jakarta (Damar, 2003). Konsentrasi Silikat yang diperoleh di lokasi penelitian perairan
pantai Selat Madura ini ditemukan rendah kemungkinan disebabkan 1) tidak adanya
sungai yang besar yang memberi masukan unsur silikat ke perairan, 2) silikat yang
tersedia sudah dimanfaatkan oleh diatom.
Seperti yang dikemukakan oleh Sigee (2004) bahwa pertumbuhan diatom
tergantung pada konsentrasi silikat karena silikat merupakan bagian terpenting yang
menyusun lebih dari 95 % dari dinding sel diatom dan juga pada diatom tidak ada
mekanisme penyerapan Si sebagai Luxury Consumption bila ketersediaan silikat berlebih.
sehingga konsentrasi silikat dapat dimanfaatkan dengan baik oleh diatom sehingga
konsentrasi silikat yang tersedia diperairan ditemukan nilai yang rendah.
Selanjutnya bahwa pemanfaatan dan deposisi silikat oleh diatom diimplikasikan
pada dua faktor lingkungan yang terbesar yaitu : 1) kinetik dari pemanfaatan silikat yang
berhubungan dengan pertumbuhan sel yang dideterminasi oleh kemampuan berbeda pada
species diatom untuk memperebutkan ketersediaan silikat, dan 2) pemanfaatan silikat
tersedia dan pemasukan terbesar dari deposisi silikat yang tidak tersedia dari proses
geokimia di perairan. Keberadaan populasi diatom ini akan berpengaruh pada skala
konversi dalam kemampuan menyokong dari silikat tersedia menjadi tidak tersedia (
sebagai mineralisasi atau biosilification).
Struktur Komunitas Fitoplankton
Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton
Selama pengamatan di perairan Selat Madura ditemukan 2 kelas fitoplankton.
Kedua kelas tersebut terdiri dari Bacillariophyceae dan Dinophyceae yang ditemukan
menyebar pada ketiga stasiun dan pada semua kedalaman inkubasi dengan jumlah genera
yang bervariasi (Lampiran 5, 6, dan 7). Fitoplankton pada ketiga stasiun tersebut terdiri
dari 30 genus Bacillariophyceae dan 6 genus Dinophyceae (Tabel 9). Dari kedua kelas
ini, kelimpahan sel fitoplanktonnya yang mendominasi pada ketiga stasiun adalah dari
kelas Baccillariophyceae (Gambar 6) dari genera Thalassiosira sp. dan jenis yang lain
yang juga ditemukan lebih banyak dari kelas ini adalah genera Chaetoceros, Nitzschia,
Pseudonitzchia, Pleurosigma, Skeletonema, dan Navicula (Gambar 7). Fitoplankton dari
kelas Dinophyceae genera yang banyak ditemukan adalah Gymnodinium, Gyrodinium,