OLEH: SANTRI MEI
120100067
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
OLEH: SANTRI MEI
120100067
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari yang disebabkan oleh virus dan bakteri. ISPA sering terjadi pada anak dan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas penyakit menular. Salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah riwayat pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif berperan penting dalam pembentukan imunitas pada masa bayi sehingga mampu menjadi faktor protektif terhadap berbagai penyakit infeksi.
TUJUAN DAN METODE: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analitik dengan desain penelitian adalah cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi yang dibawa oleh ibu ke puskesmas. Jumlah sampel dalam penelitian ini 100 orang yang diambil secara consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang didapatkan dianalisis dengan program SPSS menggunakan uji chi square.
HASIL: Hasil dari penelitian didapatkan 57% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dan 43% bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang menderita ISPA 48% sedangkan bayi yang tidak menderita ISPA sebanyak 52%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian ISPA pada bayi yang ASI eksklusif (31,3%) dan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (68,8%). Dari hasil uji hipotesis didapatkan (RP-0,3; 95%CI=0,66-0,48; p <0,001).
KESIMPULAN: Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi.
ABSTRACT
BACKGROUND: Acute respiratory infections (ARI) is a respiratory infection that lasts for 14 days caused by viruses or bacteria. ARI is frequently found in children and being the major cause of morbidity and mortality of infectious disease in pediatric patients. One of the factors that determines ARI incidence in children is the history of exclusive breastfeeding. Exclusive breastfeeding plays an important role in the formation of immunity in infants body, so exclusive breastfeeding can be a protective factor to against various infectious diseases.
OBJECTIVES and METHODS: The goal of this research is to analyze the relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of ARI in infants by using cross-sectional study design. All mothers with their babies who visited Puskesmas were included in this research as population. The sample was determined by using consecutive sampling method thus 100 mothers and infants have been selected in this research. The data was collected by using a questionnaire guided interview method and then analyzed by using chi square test.
RESULTS: Percentage of infants with and without history of exclusive breastfeeding consecutively is 57% and 43 respectively. Infants with ARI were found 48% and without ARI were found 52%. There is significant difference between incidence of ARI among infants with history of exclusive breastfeeding (31,3%) and infants without history of exclusive breastfeeding (68,8%) (RP=0,3; 95%CI=0,66-0,48; p <0,001).
CONCLUSION: There is a relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of ARI in infants.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillaah, segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT atas
semua rahmat dan karuniaNya yang berlimpah dan tak terhingga, sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Adapun judul penelitian
“HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN ISPA
PADA BAYI USIA 0-12 BULAN”ini disusun sebagai tugas akhir serta sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Proses penyelesaian penelitian ini tak terlepas dari bantuan, bimbingan dan
dukungan banyak pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-sebarnya kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Wisman Dalimunthe, Sp.A(K) selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, nasehat, ide serta masukan sehingga
laporan hasil karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. dr. Tri Widyawati, M.Si dan dr. Irina Kemala, Sp.S, selaku Dosen
Penguji yang telah memberikan berbagai saran dan kritik untuk
kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.
4. dr. Kus Puji Astuti, selaku Kepala Puskesmas Teladan yang
memberikan izin penelitian di Puskesmas Teladan, medan.
5. Para Responden yang telah membantu penulis dalam melaksanakan
penelitian ini.
6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda J. Marpaung dan Ibunda R.
Hutagalung yang selalu mendoakan, senantiasa mencurahkan cinta dan
kasih sayang, mendidik dan mengajarkan tentang kehidupan serta
7. Kakanda terkasih, Monika Marpaung, yang selalu memberi kasih
sayang, menjadi motivator dan selalu memberi semangat, Adinda
tersayang Katelino Marpaung dan Marcelino Marpaung yang selalu
memberikan kasih sayang, nasehat dan semangat kepada penulis.
8. Kedua opung tersayang, J. Hutagalung dan M.tobing yang senantiasa
mendoakan, memberikan dukungan baik moril maupun materil.
9. Sandra Maghfira Nauli Hasibuan dan Puvana Sre A/P Manirao, selaku
teman satu bimbingan. Terima kasih atas segala suka dan duka yang
kita bagi bersama dalam penyelesaian penelitian iniserta segala bentuk
dukungan yang kalian berikan.
10. “The Dodongku” Dyan Riza Indah Tami, Putri Nahrisa Nst, Riski
Hakiki, Raudhah Sari, Khairatul Ummah dan Syaida Maysarah
Panjaitan yang selalu setia mengisi hari-hari, berbagi canda dan tawa
dan selalu memberi dukungan dalam penyelesaian karya tulis ilmiah
ini.
11. Guru, senior, teman-teman, dan junior yang selalu memberikan
semangat dan saran dalam penulisan proposal penelitian serta
memberikan rasa kekeluargaan kepada penulis.
Demikianlah karya tulis ilmiah ini penulis perbuat. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan karya
tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai
sumbangan untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
kesehatan bagi Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara dan pihak terkait.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Medan, Desember 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
ABSTAK... ii
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
DAFTAR SINGKATAN... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Menfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. ISPA ... 5
2.1.1. Pengertian ISPA ... 5
2.1.2. Epidemiologi ... 5
2.1.3. Klasifikasi ... 5
2.1.4. Etiologi ... 6
2.1.5. Faktor Resiko ... 7
2.1.6. Patofisiologi ... 10
2.1.7. Manifestasi Klinis ... 11
2.1.8. Diagnosa ... 12
2.1.9. Penatalaksanaan ... 13
2.2. ASI ... 14
2.2.1. Pengertian ASI ... 14
2.2.2. Komposisi ASI... 14
2.2.4. Faktor –Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI.. 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 19
3.1. Kerangka Konsep ... 19
3.2. Variabel dan Definisi Operasional ... 19
3.3. Hipotesa ... 21
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 22
4.1. Jenis Penelitian ... 22
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 22
4.3.1. Populasi Penelitian ... 22
4.3.2. Sampel Penelitian ... 22
4.3.3. Kriteria Inklusi ... 22
4.3.4. Kriteria Ekslusi ... 23
4.3.5. Estimasi Besar Sampel ... 23
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24
4.5. Metode Pengolahan Data ... 24
4.6. Analisa Data ... 25
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
5.1. Hasil Penelitian ... 26
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ... 26
5.1.3. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif ... 28
5.1.4. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA ... 28
5.1.5. Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Pemberian ASI... 29
5.1.6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA ... 29
5.2. Pembahasan ... 30
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 32
6.1. Kesimpulan ... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden... . 27
5.2 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif... 28
5.3 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA... . 28
5.4 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan
Pemberian ASI... 29
5.5 Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup... 35
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian... 36
Lampiran 3 Lembar Penjelasan... 39
Lampiran 4 Lembar Persetujuan... 41
Lampiran 5 Data Induk... 42
Lampiran 6 Hasil Analisis... 47
Lampiran 7 Surat Ethical Clearance Penelitian... .. 50
Lampiran 8 Surat Izin Penelitian dari DINKES... .. 51
DAFTAR SINGKATAN ASI : Air Susu Ibu
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
IgA : Immunoglobulin A
IGF : Insulin – Like Growth Factor
IgG : Immonoglobulin G
IgM : Immunoglobulin M
IL : Interleukin
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
RP : Rasio Prevalens
RSV : Respiratory Synsitial Virus
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung selama 14 hari yang disebabkan oleh virus dan bakteri. ISPA sering terjadi pada anak dan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas penyakit menular. Salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah riwayat pemberian ASI eksklusif. ASI eksklusif berperan penting dalam pembentukan imunitas pada masa bayi sehingga mampu menjadi faktor protektif terhadap berbagai penyakit infeksi.
TUJUAN DAN METODE: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analitik dengan desain penelitian adalah cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh bayi yang dibawa oleh ibu ke puskesmas. Jumlah sampel dalam penelitian ini 100 orang yang diambil secara consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data yang didapatkan dianalisis dengan program SPSS menggunakan uji chi square.
HASIL: Hasil dari penelitian didapatkan 57% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dan 43% bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Bayi yang menderita ISPA 48% sedangkan bayi yang tidak menderita ISPA sebanyak 52%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kejadian ISPA pada bayi yang ASI eksklusif (31,3%) dan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (68,8%). Dari hasil uji hipotesis didapatkan (RP-0,3; 95%CI=0,66-0,48; p <0,001).
KESIMPULAN: Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi.
ABSTRACT
BACKGROUND: Acute respiratory infections (ARI) is a respiratory infection that lasts for 14 days caused by viruses or bacteria. ARI is frequently found in children and being the major cause of morbidity and mortality of infectious disease in pediatric patients. One of the factors that determines ARI incidence in children is the history of exclusive breastfeeding. Exclusive breastfeeding plays an important role in the formation of immunity in infants body, so exclusive breastfeeding can be a protective factor to against various infectious diseases.
OBJECTIVES and METHODS: The goal of this research is to analyze the relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of ARI in infants by using cross-sectional study design. All mothers with their babies who visited Puskesmas were included in this research as population. The sample was determined by using consecutive sampling method thus 100 mothers and infants have been selected in this research. The data was collected by using a questionnaire guided interview method and then analyzed by using chi square test.
RESULTS: Percentage of infants with and without history of exclusive breastfeeding consecutively is 57% and 43 respectively. Infants with ARI were found 48% and without ARI were found 52%. There is significant difference between incidence of ARI among infants with history of exclusive breastfeeding (31,3%) and infants without history of exclusive breastfeeding (68,8%) (RP=0,3; 95%CI=0,66-0,48; p <0,001).
CONCLUSION: There is a relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of ARI in infants.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat
ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia,
terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.
Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat
inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak
(WHO, 2007).
ISPA merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Insiden
menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di
negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini
menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151
juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. ISPA merupakan salah satu
penyebab utama kunjungan pasien ke Puskesmas (40-60%) dan rumah sakit
(15-30%) (Kemenkes RI, 2011).
Hasil survei morbiditas yang dilaksanakan oleh subdit ISPA dan
Balitbangkes menunjukkan angka kesakitan 5,12% , namun karena jumlah sampel
dinilai tidak representatif maka subdit ISPA tetap menggunakan angka WHO
yaitu 10% dari jumlah balita. Angka WHO ini mendekati angka SKDI 2007 yaitu
11,2% (Kemenkes RI, 2011).
ISPA, khususnya pneumoni masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia terutama pada balita. Menurut hasil Riskesdas 2007,
pneumoni merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita (13,2%) setelah
Faktor resiko yang berkontribusi terhadap insiden pneumoni antara lain
gizi kurang, ASI eksklusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan,
cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR (Kemenkes RI, 2012).
Upaya pencegahan merupakan komponen yang paling strategis untuk
memberantas ISPA pada bayi terdiri atas pencegahan imunisasi dan
non-imunisasi. Tindakan yang tidak kalah penting adalah pencegahan non-imunisasi
seperti nutrisi, keadaan lingkungan, dan pemberian ASI Eksklusif. Balita dengan
gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan
gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Asap rokok dan asap
hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga akan memudahkan timbulnya
ISPA. Pemberian ASI eksklusif pada bayi dapat menghindarkan resiko terhadap
penularan penyakit ISPA. Adanya immunoglobulin A yang terkandung dalam
ASI, maka pemberian ASI sedini mungkin dapat meningkatkan antibody di dalam
tubuh bayi (Misnadiarly 2008, h. 28 dalam Muslikha, 2012).
Pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya.
Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya
ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya
mendukung program Peningkatan Pemberian ASI (PP - ASI), dan gencarnya
promosi susu formula dan ibu bekerja (Arimurti dalam Harahap, 2010 ) Selain itu,
rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat pemberian ASI eksklusif juga
menjadi salah satu faktor penyebab permasalah an di atas (Fuadi, 2011).Di
provinsi Sumatera Utara, cakupan persentase bayi yang diberi ASI eksklusif dari
tahun 2004 – 2012 cenderung menurun secara signifikan, hanya pada tahun 2008
mengalami peningkatan sebesar 10,33% dibandingkan tahun 2007 (Dinkes
Provinsi Sumut, 2013 dalam Sinaga, 2014).
Tingginya angka kejadian ISPA, serta masih rendahnya cakupan ASI
eksklusif, merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian.
pemberian ASI terhadap keajdian ISPA yang terjadi pada bayi usia 0-12 bulan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik mengangkat judul
“Hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 0-12
bulan”.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah yang
akan dikemukakan yaitu apakah ada hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Khusus
Mengetahui hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap kejadian ISPA pada bayi
usia 0-12 bulan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan.
2. Mengetahui riwayat pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-12
bulan.
3. Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian
ISPA pada bayi usia 0-12 bulan.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Sebagai proses dalam menambah pengetahuan dan wawasan peneliti
dengan cara mengaplikasikan ilmu dan teori – teori yang diperolehnya
dalam masa perkuliahan serta mendapatkan pengalaman nyata dalam
menganalisis sebagai penelitian pemula terhadap pemberian ASI
2. Bagi Pelayan Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat
untuk meningkatkan pengetahuan pelayan kesehatan dan
meningkatkan pelayanan kesehatan serta mengadakan penyuluhan
kepada para ibu tentang pentingnya manfaat pemberian ASI.
3. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat untuk
menambah pengetahuan tentang pentingnya pemberian ASI dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ISPA
2.1.1. Pengertian ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting
morbiditas dan mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi saluran pernapasan
adalah mulai dari infeksi saluran atas dan adneksanya hingga parenkim paru.
Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Wantania et al,
2010).
2.1.2. Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini
diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau
nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Period prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah
Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara
Barat (28,3%). Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan
provinsi tertinggi dengan ISPA.
Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Meurut jenis kelamin, tidak berbeda antara
laki-laki dan perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok
penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah
(Riskesdas, 2013).
2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi saluran pernapasan akut dibagi menjadi 2, yaitu ( Wantania et
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Infeksi saluran atas adalah infeksi primer saluran di atas laring. Infeksi
saluran pernapasan atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis,
rinosinusitis, dan otitis media.
2. Infeksi Saluran Pernapasan Bawah
Infeksi laring ke bawah disebut infeksi saluran bawah. infeksi saluran
bawah terdiri atas terdiri atas epligotitis, croup
(laringotrakeobrinkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
Sebagian besar ISPA biasanya pada ISPA atas saja, tapi sekitar
5%-nya melibatkan laring dan saluran bawah berikut5%-nya, sehingga
berpotensi menjadi serius.
2.1.4. Etiologi
Infeksi saluran pernapasan akut biasanya disebabkan oleh virus,bakteri dan
jamur.Virus paling banyak penyebab infeksi saluran pernapasan atas meliputi
Rhinovirus, Parainfluenza virus, Coronavirus, Adenovirus, Respiratory syncytial virus, Coxsackivirus, dan Influenza virus. Sedangkan bakteri yang sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan beta-hemolytic streptococci, Corynebacterium diphteriae, Neisseria gonorrhoeae, Arcanobacterium haemolyticum, Chlamidya pneumoniae, Haemophilus influenzae, Bordetella pertusis, dan Moraxella catarrhalis (Rohilla et al, 2013).
1. Respiratory Syncytial Virus (RSV) merupakan satu penyebab utama
bronkiolitis, kira-kira meliputi sepertiga dari semua kasus. Virus ini
merupakan penyebab yang lazim penyakit pneumonia, croup, dan bronkiolitis, juga penyakit infeksi saluran pernapasan atas yang tidak
terdiferensiasi.
2. Parainfluenza virus menyebabkan sebagian besar kasus sindrom croup
tetapi dapat juga menimbulkan bronkitis, bronkiolitis, dan penyakit
dalam berbagai sindrom pernapasan kecuali selama epidemi. Pada bayi
dan anak, virus influenza lebih menyebabkan penyakit saluran
pernapasan atas daripada penyakit aluran pernapasan bawah.
3. Adenovirus menyebabkan kurang dari 10% penyakit pernapasan,
sebagian besar bersifat ringan atau tidak bergejala. Infeksi faringitis dan
infeksi faringokonjungtivitis adalah manifestasi klinis yang paling sering
pada anak. Namun, Adenovirus kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran pernapasan bawah yang lebih berat.
4. Rhinovirus dan Coronavirus biasanya menimbulkan gejala yang terbatas
pada saluran pernapasan atas, paling sering hidung dan merupakan
bagian yang berarti dari sindrom “common cold” .
5. Coxsackivirus A dan Coxsackivirus B terutama menimbulkan penyakit
nasofaring. Mikoplasma dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan
atas dan bawah, termasuk bronkiolitis, pneumonia, bonkitis,
faringotonsilitis, dan otitis media (Nelson, 2012).
2.1.5. Faktor Resiko
Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal
ini berhubungan dengan penjamu, agen penyakit, dan lingkungan (Wantania,
2010).
1. Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30%
anak usia 5-12 tahun. Rahman dkk mendapatkan 23% kasus ISPA berat
dari seluruh kasus ISPA pada anak berusia di atas 6 bulan. World Health Organization melaporkan bahwa di negara berkembang, ISPA termasuk infeksi resporatori bawah (pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain) adalah
penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan
2. Jenis kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau
bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insiden lebih pada
anak laki-laki berusia 6 tahun.
3. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia.
Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal
ini dikarenakan adanya gangguan respon imun. Deb SK menyatakan
riskratio (RR) anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3.
Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant
melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak
mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan
pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi
vitamin A untuk mencegah ISPA.
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunujukkan hubungan antara
pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai
proteksi terhadap pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Lopez
mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan lamanya
pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami
ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1
bulan. Cesar JA dkk melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan
17 kali lebih rentan mengalami perawatan di rumah sakit akibat
pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian
ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap
ISPA bawah selama tahun pertama.
5. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA.
Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada
BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR
kematian 6,4 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6. Imunisasi
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko
terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini
dapat dicegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6
bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada
anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri
bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan
dengan ISPA. Deb SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada kelompok anak
yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksi campak cukup efektif dan dapat
mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan
cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian
ISPA akibat kedua penyakit ini.
7. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini
berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan
dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan
sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.
8. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor
lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak
yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah
mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ISPA. Rahman
menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi
pada anak dengan status sosial ekonomi rendah.
9. Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak
mencerminkan tingginya insiden ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan
rawat jalan di puskesmas dan 20-40% dari kunjungan rawat jalan dan
rawat inap rumah sakit. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat
berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara
berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah.
10. Lingkungan
Polusi udara Penyakit lain Bancana alam
2.1.6. Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya mikroba dengan
tubuh. Masuknya mikroba sebagai antigen ke saluran pernapasan menyebabkan
silia yang terdapat pada permukaan saluran napas bergerak ke atas mendorong
mikroba atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks
tersebut gagal, maka mikroba akan bereplikasi dan merusak lapisan epitel mukosa
saliran pernapasan. Sel epitel yang rusak akan merangsang natural killer dan limfosit untuk menghasilkan sitokin. Setelah melintasi epitel, partikel mikroba
memasuki membran basal. Dibawah membran basal terdapat sub-epitel, dimana
mikroba bertemu dengan cairan jaringan, sistem limfatik, dan fagosit yang
menguraikan beberapa sitokin dan interferon untuk mencegah replikasi lebih
lanjut. Pelepasan mikroba pada membran basal menyediakan akses penyebaran
secara sistemik (Manjarrez-Zavala et al dalam Sari, 2014).
Sel yang rusak juga akan meningkatkan produksi IL-8, sebagai
akibatnya mukosa saluran pernapasan dirangsang untuk menghasilkan sekresi
mukus yang cukup banyak. Sekresi mukus yang berlebih menyebabkan penderita
batuk sebagai usaha untuk mengeluarkan mukus (Treanor, 2008). Apabila
seseorang mengalami gangguan imunitas yang rendah tanpa adanya kerusakan
saluran pernapasan, maka agen-agen yang masuk akan sulit dibunuh sehingga
menimbulkan gejala infeksi. Gejala pada ISPA bukan merupakan efek langsung
disebabkan oleh mediator inflamasi yang dihasilkan (Riyadi, 2009 dalam Sari,
2014)
2.1.7. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis ISPA adalah sebagai berikut (Djojodibroto, 2009):
A. Infeksi saluran pernapasan atas
Penyakit infeksi saluran pernapasan bagian atas dapat memberikan
gejala klinik yang beragam, antar lain:
1. Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge)
nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis
ringan. Sakit tenggorokan (sore throat), rasa kering pada bagian posterior
palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, nyeri otot, lesu serta rasa
kedinginan (chiliness). Demam jarang terjadi.
2. Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat.
Peradangan pada faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang
dapat menyebabkan obstruksi nasal, batuk sering terjadi, tetapi gejala
koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan, malaise, rasa sakit di
seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, parau (hoarseness).
3. Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal.
Gejala faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia
dan sering pula disertai rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang
konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan hilang setelah seminggu sampai
dua minggu, dan setelah gejala lain hilang. Sering terjadi epidemi.
4. Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit berat. Demam,
menggigil, lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, dan
anoreksia yang timbul tiba-tiba, batuk, sakit tenggorokan dan nyeri
retrosternal. Keadaan ini dapat dapat menjadi berat. Dapat terjadi
pandemik yang hebat dan ditumpangi oleh infeksi bakterial.
5. Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit
menimbulkan vesikel faringeal, oral dan gingival yang berubah menjadi
ulkus.
6. Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (croup), yaitu suatu kondisi
serius yang mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, stridor
inspirasi yang disertai sianosis.
B. Infeksi saluran pernapasan bawah
Biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian
atas seperti hidung buntu (stuffy). Pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai dengan
batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu di waktu malam.
Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang
terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh adanya nyeri retrosternal, dan rasa
gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang
banyak; dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Sesak napas
hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal. Peradangan
bronkus biasanya menyebabkan hiperaktivitas saluran pernapasan yang
memudahkan terjadinya bronkospasme. Pada penderita asma, penyakit ini
dapat menjadi pencetus serangan asma. Pada pemeriksaan fisik, biasanya
ditemukan keadaan normal, dan kadang-kadang terdengar suara wheezing di bebrapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika produksi sputum meningkat. Foto
toraks menunjukkan gambaran normal.
2.1.8. Diagnosa
Diagnosis ISPA bisa ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul pada bayi/balita
seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis diatas .
Diagnosis ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegakkan karena
pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum
bisa memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA.
Pemeriksaan darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa
2.1.9. Penatalaksanaan 2.1.9.1. Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak
menggunakan medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk
mengatasi hidung tersumbat, misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan
untuk melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada bayi dan anak direkomendasikan
untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat, karena pemberian minum
dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan.
2.1.9.2. Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk
memberikan obat untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak
nyaman biasanya adalah demam, malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk
persisten.
Dalam penanganan ISPA yang menjadi pusat perhatian adalah
meringankan gejala dari demam, hidung tersumbat, dan batuk. Adrenergic agonist, anticholinergic, antihistamin, antitussives dan expectoran adalah obat-obat yang tersedia di pasaran. Pemilihan obat-obat yang seing digunakan adalah
antihistamin generasi pertama, antipiretik (paracetamol) atau anti-inflamasi (ibuprofen), penekan batuk seperti dextromethorphan, expectoran dan dekongestan seperti pseudoefedrin dan phenilpropanolamin. Penggunaan antibiotik pada anak digunakan karena lebih dari 90% adalah terinveksi virus
2.2. ASI
2.2.1. Pengertian ASI
ASI eksklusif merupakan pemberian ASI dalam 6 bulan pertama kelahiran tanpa
disertai pemberian makanan dan minuman apapun (WHO dalam harahap, 2010).
2.2.2. Komposisi ASI
Air susu ibu menurut stadium laktasi:
1. Kolostrum
Kolostrum adalah susu awal yang diproduksi oleh ibu yang baru
melahirkan yakni dihasilkan dalam waktu 24 jam pertama setelah melahirkan.
Cairan ini berwarna kuning, atau jernih, merupakan bahan yang sangat kaya akan
anti infeksi, dapat membersihkan alat pencernaan bayi dari zat-zat yang tidak
berguna. Protein utama dalam kolostrum adalah immunoglobulin (IgG, IgA, IgM),
yang merupakan antibodi guna menangkal dan menetralisir bakteri, virus, jamur,
dan parasit. IGF-1 dan IGF-2 merupakan kelompok lain dalam kolostrum, dan keduanya dapat memicu dan mempercepat pertumbuhan sel dan mempunyai
kemampuan untuk membantu pengeluaran hormon dari berbagai sistem tubuh.
Protein lain termasuk hormon, enzym, gula kompleks serta faktor pertumbuhan
akan mempercepat proses pemulihan. Kolostrum juga mengandung proline-rich-polipeptides (PRP) yang dapat membantu menormalkan sistem imun yang terlalu aktif ataupun kurang aktif.
Bahan-bahan protein antibodi tersebut diatas zat anti-infeksi yang
keberadaannya adalah 10-17 kali lebih banyak, dibanding ASI yang matang.
Kadar karbohidrat dan lemak lebih rendah dibanding ASI matang. Total energi
lebih rendah jika dibanding susu matang. Volume kolostrum antara 150-300
ml/24 jam (Suherni et al, 2010).
2. ASI transisi
ASI peralihan adalah ASI yang keluar setelah kolostrum sampai dengan
merendah, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin meninggi. Volumenya
akan semakin meningkat (Suherni et al, 2010).
3. ASI matur
Adapun ciri dari ASI matur adalah sebagai berikut (saleha, 2009):
1. Merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya,
komposisi relatif konstan (ada pula yang mengatakan bahwa komposisi
ASI relatif konstan baru dimulai pada minggu ke-3 sampai minggu ke-5)
2. Pada ibu yang sehat, maka produksi ASI untuk bayi akan tercukupi, ASI
ini merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk
bayi sampai usia 6 bulan.
3. Merupakan suatu cairan berwarna putih kekuning-kuningan yang
diakibatkan warna dari garam kalsium caseinat, riboflavin, dan karoten
yang terdapat di dalamnya.
4. Tidak menggumpal jika dipanaskan.
5. Terdapat antimikrobial faktor, antara lain sebagai berikut.
a) Antibodi terhadap bakteri dan virus.
b) Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit tipe T).
c) Enzim (lisozim, laktoperosidase, lipase, katalase, fosfatase,
amilase, fosfodiesterase, dan alkalin fosfatase). d) Protein (laktoferin, B12binding protein).
e) Resistensi faktor terhadap stafilokokus. f) Komplemen.
g) Interferon producting cell.
h) Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya
faktor bifidus.
2.2.3. Manfaat ASI
Manfaat ASI adalah sebagai berikut (Medforth et al, 2013):
1. Komposisi nutrisionalASI
Karbohidrat: tipe utamanya adalah laktosa, sebuah disakarida. Lemak: unsur pokok yang paling beragam. memberikan 50%
energi yang disuplai dari ASI. linoleat dan asam linoleat diubah
menjadi asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang, yang penting
untuk perkembangan saraf.
Protein: dalam bentuk protein dadih, dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan energi. Terdiri dari faktor anti-infeksi, termasuk
laktalbumin, imunoglobulin, laktoferin, lisozim, dan enzim lain,
hormon serta faktor pertumbuhan.
Nitrogen non-protein: tiga yang paling penting adalah taurin,
nukleotida, dan karnitin. Taurin penting untuk konjugasi asam
empedu, untuk perkembangan otak dan retina. Nukleotida penting
untuk fungsi membran sel dan untuk perkembangan normal otak.
Karnitin memiliki peran penting dalam metabolisme lemak dan
diduga penting dalam termogenesis dan metabolisme nitrogen.
Mineral dan unsur renik: yang utama adalah natrium, kalsium,
fosfor, magnesium, zinc, tembaga, dan zat besi. Kuantitas dan rasio
elemen tersebut bergantung pada kekhususan spesies; susu
manusia dan sapi berbeda secara bermakna.
Vitamin: ASI mengandung semua vitamin yang dibutuhkan
neonatus cukup bulan, dengan kemungkinan pengecualian vitamin
D dan K.
Enzim: ASI mengandung minimal 70 enzim. Enzim berperan
dalam pencernaan dan pekembangan. Kemungkinan dua enzim
yang paling penting adalah amilase dan lipase. Keberadaan enzim
amilase dan lipase pankreas pada bayi baru lahir sehingga
membantu pencernaan.
2. Kandungan imunologis ASI
ASI memiliki peranan protektif non-nutrisi untuk bayi dan juga
melindungi payudara dari infeksi. Unsur pokok penting adalah:
Imunoglobulin: IgA, IgG, IgM, IgD, dan IgE, yang aktif melawan
orgnisme spesifik, misalnya, spesies salmonella dan poliovirus. Sel: limfosit B, limfosit T, makrofag, dan neutrofil.
Kerja sel-sel inti terdiri dari:
Produksi antibodi melawan mikroba spesifik. Membunuh sel yang terinfeksi.
Produksi lisozim dan aktivasi sistem imun. Fagositosis bakteria.
Faktof lakto bifidus: meningkatkan lingkungan asam yang cocok
untuk pertumbuhan lactobacillus bifidus dan mengahnbat pertumbuhan organisme patogenik.
Laktoferin: mengurangi ketersediaan zat besi untuk pertumbuhan
bakteri, dengan mengikat zat besi. Laktoferin juga bekerja sebagai
agens bakteriostatik.
Protein pengikat: meningkatkan absorbsi nutrien sehingga
mengurangi nutrien yang tersedia untuk digunakan bakteri.
Komplemen, lipid, fibronektin, y-interferon, musin, oligosakarida,
lipase yang distimulasi oleh garam empedu, faktor pertumbuhan
epidermal, dan banyak lagi.
2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI
Menurut Suraatmaja (1997) dalam Harahap (2010) ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi pemberian ASI antara lain:
1. Terjadinya perubahan sosial budaya
- Meniru teman, tetangga, atau orang terkemuka yang memberikan
susu botol.
- Merasa ketinggalan zaman jika menyusui bayinya.
2. Faktor psikologis
- Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita.
- Tekanan batin.
3. Faktor fisik ibu
- Ibu sakit, misalnya mastitis.
4. Faktor kurangnya petugas kesehatan, sehingga masyarakat kurang
mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI
5. Meningkatnya promosi susu kaleng sebagai pengganti ASI.
6. Keterangan mengenai ASI yang salah, terkadang berasal dari petugas
kesehatan sendiri yang menganjurkan penggantian ASI dengan susu
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL PENELITIAN 3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan dari tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, maka
kerangka konsep dari penelitian ini :
variabel independen variabel dependen
3.2. Variabel dan Definisi Operasional No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 ASI
eksklusif Memberi nutrisi kepada bayi hanya menggunakan ASI sampai
usia 6 bulan
Wawancara Kuesioner 1. Ya,
apabila bayi diberikan ASI eksklusif 2. Tidak, apabila bayi tidak diberi ASI eksklusif Nominal
2 ISPA Penyakit
infeksi yang
menyerang
Wawancara Kuesioner 1. ISPA
2. Tidak
ISPA
Nominal Kejadian infeksi saluran
saluran
pernafasan
bagian atas
maupun
bagian bawah
dengan gejala
klinis yang
berlangsung
dalam waktu
14 hari
3 Frekuensi
ISPA Tingkat keseringan bayi mengalami serangan
ISPA dalam
waktu kurun
waktu 1
bulan terakhir
Wawancara kuesioner 1.tidak
pernah
2. ≤ 3 kali
dalam
sebulan
terakhir
(jarang)
3. >3 kali
dalam
sebulan
terakhir
(sering)
Ordinal
4 Responden Ibu yang
membawa
balita
wawancara kuesioner Responden
adalah ibu
yang
membawa
bayi
3.3. Hipotesis
Ha: Adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian ISPA pada bayi.
H0: Tidak adanya hubungan yang bermakna antara pemberian ASI
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik untuk
mengetahui hubungan riwayat ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Dimana peneliti
mencari hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan
melakukan pengukuran sesaat (Sastroasmoro, 2011).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Teladan pada bulan september-oktober 2015.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi berusia 6-12 bulan yang dibawa
ibunya datang ke puskesmas Teladan.
4.3.2. Sampel Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non-probability sampling jenis
consecutive sampling, dimana semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek
yang diperlukan terpenuhi.
4.3.3. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:
a) Bayiberusia 0-12 bulan yang datang ke Puskesmas
b) Ibu yang membawa bayi
4.3.4. Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi subjek penelitian adalah:
a) Responden tidak mengembalikan kuesioner
b) Responden tidak menjawab kuesioner dengan lengkap
c) Ibu yang memiliki bayi yang menderita penyakit infeksi saluran
pernapasan kronik
4.3.5. Estimasi Besar Sampel
Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah (Sastroasmoro,
2011):
n=
n = esrtimasi besar sampel
zα= deviat baku normal untuk α. Karena nilai interval kepercayaan diinginkan
adalah sebesar 95% maka nilai α (tingkat kemaknaan) yang dipilih adalah
0,05 maka besar zα= 1,96
P = point estimate, statistik yang diperoleh dari sampel yang dapat berupa proporsi, rerata, beda proporsi, beda rerata, resiko relatif, rasio odds, dan
lain-lain. Karena nilai P belum diketahui maka dipergunakan P = 0,5.
Q = 1-P
d = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki 10%
maka besar sampel dari penelitian ini adalah :
1,96 2 x 0,5 x (1-0,5)
n =
0,1 2
n = 96
4.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan cara
wawancara. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh
langsung dari subjek penelitian.
4.5. Metode Pengolahan Data
Seluruh kuesioner yang lengkap yang diperoleh dari wawancara akan
dikumpulkan dan ditabulasi kemudian dilakukan pengolahan data dengan
komputerisasi menggunakan sistem SPSS versi 21.
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan atau angka ringkasan dengan mengguanakan cara-cara tertentu
(Wahyuni, 2011).
a) Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan
data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan data
dilengkapi dengan mewawancarai ulang responden.
b) Coding
Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan
kelengkapannya dan diberi kode oleh peneliti secara manual
sebelum diolah dengan komputer.
c) Entri
Data yang telah dibersihkan kemudian dimasukan ke dalam
program komputer.
d) Cleaning Data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukan ke dalam komputer
guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data.
e) Saving
Penyimpanan data untuk siap dianalisis.
4.6. Analisa Data
Analisis data dilakukan secara analisis univariat dan analisis bivariat.
1. Analisis univariate (Analisis Deskriptif)
Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini
hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel.
2. Analisis bivariate
Apabila telah dilakukan analisi univariate, hasilnya akan diketahui
karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis
bivariate.
Analisis bivariate yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Puskesmas Teladan terletak di jalan Sisingamangaraja, Wilayah Kelurahan
Teladan Barat Kecamatan Medan Kota. Dalam melaksanakan kegiatannya,
Puskesmas teladan melayani lima kelurahan yaitu Kelurahan Teladan Barat,
Kelurahan Mesjid, Kelurahan Pasar Baru, Kelurahan Pusat Pasar, Kelurahan
Pandau Hulu I. Luas wilayah kerja Puskesmas Teladan 243,7 Ha dan terdiri dari
44 lingkungan. Puskesmas ini dibangun di atas tanah 20 x26 m² dengan luas
bangunan 185 m².
Letak wilayah kerja Puskesmas Teladan memiliki batas wilayah sebagai
berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Pandau Hulu.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Siti Rejo.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Area.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Sei Mati.
5.1.2. Deskripsi karakteristik Sampel
Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah ibu yang memiliki bayi usia
0-12 bulan yang datang ke puskesmas dengan tujuan membawa bayi berobat
ataupun imunisasi. Ibu-ibu yang menjadi responden lebih banyak datang dengan
tujuan membawa bayi imunisasi dibandingkan dengan tujuan membawa bayi
berobat. Sebelum dilakukan penelitian, responden harus mengerti tentang
penelitian yang dilakukan dan menyetujui dilakukannya penelitian terhadap
responden.
Karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan jenis
kelamin, usia, status pemberian ASI eksklusif, status ISPA, dan frekuensi ISPA.
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Jenis Kelamin
Laki-laki 47 47
Perempuan 53 53
Usia (bulan)
0-6 73 73
>6-12 27 27
Pemberian ASI eksklusif
Ya 57 57
Tidak 43 43
ISPA
Ya 48 48
Tidak 52 52
Frekuensi ISPA
<3 (jarang) 33 33
>3 (sering) 15 15
Tidak pernah 52 52
Total 100 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa jumlah responden pada
penelitian ini adalah 100 orang. Dapat diketahui juga bahwa jumlah responden
terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 53 orang (53%)
dibandingkan dengan jumlah responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 47
orang (47%).
Dari seluruh sampel penelitian, jumlah responden yang kategori usia
0-6 sebanyak 73 orang sedangkan yang kategori usia >0-6-12 bulan sebanyak 27
orang dengan rata-rata usia 4,8. Usia responden terendah adalah 1 bulan
sedangkan usia tertinggi adalah 12 bulan.
Kebanyakan responden diberi ASI eksklusif yaitu 57 orang (57%)
Responden yang mengalami ISPA didapatkan sebanyak 48 orang (48%)
dengan frekuensi <3 (jarang) sebanyak 33 0rang (33%) dan frekuensi >3 (sering)
sebanyak 15 orang (15%). Responden yang tidak pernah mengalami ISPA
sebanyak 52 orang (52%).
5.1.3. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif
Dari penelitian ini dapat diketahui besar pemberian ASI eksklusif pada responden
[image:43.595.149.420.299.386.2]yang datang ke Puskesmas Teladan.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif N %
Ya 57 57
Tidak 43 43
Total 100 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa jumlah sampel yang dapat
ASI eksklusif lebih tinggi yaitu sebesar 57% dibandingkan dengan yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif yaitu 43%.
5.1.4. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA
Dari penelitian ini dapat diketahui besar kejadian ISPA di Puskesmas Teladan.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA
ISPA N %
Ya 48 48
Tidak 52 52
Total 100 100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa besar kejadian ISPA di
wilayah penelitian adalah sebesar 48% sedangkan yang tidak mengalami ISPA
[image:43.595.147.414.548.635.2]5.1.5. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI
Pada penelitian ini dapat diketahui besar kejadian ISPA berdasarkan pemberian
ASI eksklusif pada bayi.
Tabel 5.4. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI
Esklusif.
ASI Eksklusif
ISPA
Total
Ya Tidak
N % N % N %
Ya 15 31,3 42 80,8 57 57%
Tidak 33 68,8 10 19,2 43 43%
Total 48 100 52 100 100 100%
Berdasarkan tabel 5.4 didapati bahwa kejadian ISPA tertinggi dialami
oleh bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu sebesar 68,8% dibanding
yang mendapat ASI eksklusif yaitu sebesar 31,3%.
5.1.6. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara
pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan.
Tabel 5.5. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif terhadap
Kejadian ISPA.
ASI Eksklusif
ISPA Total RP P
value
Ya Tidak
N % N % n %
Ya 15 31,3 42 80,8 57 57 0,000
Tidak 33 68,8 10 19,2 43 43 0,3
Total 48 100 52 100 100 100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa secara keseluruhan
[image:44.595.108.507.215.345.2]tidak mengalami ISPA. Dari 57 bayi yang mendapat ASI eksklusif mengalami
ISPA 15 orang (31,3%) sedangkan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 42
orang (80,8%). Terdapat 43 orang yang tidak mendapat ASI eksklusif dan 33 bayi
(68,8%) diantaranya mengalami ISPA dan 10 0rang (19,2%) yang tidak
mengalami ISPA.
Setelah dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan metode chi square
dengan tingkat kemaknaan 0,05 (α=5%) diperoleh nilai p ( p value) sebesar <0,001 (p<0,05), maka H0 ditolak yang berarti ada hubungan yang bermakna
antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan.
Berdasarkan penelitian ini juga dapat dihitung besar rasio prevalens dan
didapatkan hasilnya 0,3, berarti ASI justru merupakan faktor pencegah terjadinya
ISPA pada bayi, yakni bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko
untuk menderita ISPA 0,3 kali dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan
ASI eksklusif.
5.2. Pembahasan
Pada penelitian ini menggunakan responden sebanyak 100 orang. Dari seluruh
responden yang ada, yang mendapat ASI eksklusif lebih banyak dibandingkan
yang tidak mendapat ASI eksklusif. Jumlah responden yang mendapat ASI
eksklusif sebanyak 57 orang (57%) berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan Sinaga (2014) dengan jumlah responden yang tidak mendapat ASI lebih
banyak (68%) dibanding yang mendapat ASI eksklusif.
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa kejadian ISPA terbanyak
terjadi pada responden yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (68,8%). Hasil
yang sama juga ditemukan pada penelitian Fanada dkk (2012) bahwa kejadian
ISPA pneumonia tertinggi terjadi pada balita yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif (61,7%). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Muslikha (2012) bahwa kejadian ISPA terbanyak terjadi pada bayi yang tidak
Dari hasil uji hipotesis didapatkan hasil p<0,001yang artinya ada hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Fanada dkk (2012) dengan hasil uji
statistik diperoleh p=0,0001 yang dapat disimpulkan ada hubungan yang
bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian penyakit pneumoni.
Hasil ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2014) yang
memperoleh nilai p=0,006. Penelitian Harahap (2010) juga mendapati adanya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA (p=0,011).
Berdasarkan nilai RP=0,3 yang berarti ASI merupakan faktor protektif
terjadinya ISPA pada bayi. Adanya faktor protektif dan nutrien yang sesuai dalam
ASI menjamin status gizi bayi baik serta kesakitan dan kematian anak menurun.
Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan bahwa ASI melindungi bayi dan
anak dari penyakit infeksi. Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih
banyak dari susu matang (matur). Zat kekebalan yang terdapat pada ASI antara
lain melindungi bayi dari penyakit ISPA (Kemenkes, 2014). Aldy dkk (2009) juga
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa sekretori IgA pada ASI merupakan
sumber utama imunitas didapat secara pasif sebelum produksi endogen sIgA,
konsentrasi paling tinggi pada beberapa hari pertama post partum.
Disamping ASI merupakan salah satu faktor terjadinya ISPA pada bayi,
masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya ISPA. Fanada dkk
(2012) dalam penelitiannya memperoleh nilai p=0,000 untuk melihat hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA dan memperoleh nilai p=0,044 untuk hubungan stsus gizi dengan kejadian ISPA. Sedangkan Nasution dkk (2009)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
1. Ada hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif terhadap
kejadian ISPA pada bayi usia 0-12 bulan (p<0,05)
2. Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko terkena ISPA 0,3
kali dibanding bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif
3. Bayi yang menderita ISPA terbanyak terjadi pada bayi yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif
6.2. Saran
1. Bagi pelayan kesehatan
Bagi pelayan kesehatan diharapan dapat memberikan motivasi untuk lebih
meningkatkan lagi proram sosialisasi, penyuluhan serta pelayanan ASI
eksklusif di masyarakat sehingga tingkat keberhasilan program ASI
eksklusif lebih ditingkatkan lagi.
2. Bagi peneliti lain
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti
selanjutnya yang sejenis dengan lebih meningkatkan jenis variabelnya,
sehingga dapat mengetahui informasi lebih mendalam tentang faktor yang
mempengaruhi kejadian ISPA.
3. Bagi masyarakat
Diharapkan penelitian ini bisa lebih meningkatkan pemahaman masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Aldy, O.S et al., 2009. Dampak Proteksi Air Susu Ibu Terhadap Infeksi. Sari Pediatri 11 (3): 167-172. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013.
Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Cotton, M.F et al.,2008. Management of Upper Respiratory Tract Infections in Children. South Africa Family Practice, 50:6-12.
Djojodibroto D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Fanada, M et al., 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2012. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan.
Fuadi, M., 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan Terhadap Pentingnya pemberian ASI Eksklusif di RSUP H.ADAM MALIK Medan Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Gulo, R. R., 2010. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias Tahun 2008. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Harahap, Okto M. F., 2009. Riwayat ASI Eksklusif Pada Balita Di Puskesmas Sering. Medan: Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Pusat Data Dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Muslikha, I., 2012. Hubungan Antara Pemberian ASI Dengan Penyakit ISPA Pada Bayi Usia 7-12 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kajen I Kabupaten Pekalongan Tahun 2012. Program Studi Diploma III Kebidanan
STIKES Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan. Skripsi.
Medforth, J. et al., 2013. Kebidanan Oxford dari Bidan Untuk Bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Nasution, K et al., 2009. Infeksi Saluran Napas Akut Pada Balita Di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri 11 (4): 223-227. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Nelson, 2012. Ilmu Kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Prameswati, A., 2013. Hubungan Pemberian ASI Dengan Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Di Wilayah Kerja Puskesmas Mayong I Kabupaten Jepara Tahun 2013. Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Ngudi Waluyo Ungaran. Skripsi.
Rohilla, A., Sharma, V., Kumar, S., Sonu, 2013. Upper Respiratory Tract
Infections:on Interview. International Journal of Current Pharmaceutical
Research, 5 (3):1-3.
Sari, L.O., 2014. Hubungan Paparan Asap Rumah Tanngga dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Bagian Atas pada Balita di Puskesmas Tegal Sari-Medan Tahun 2014. Medan: Universitas Sumateta Utara.
Sastroasmoro, S., Ismail, S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Penerbit Sagung Seto.
Saleha, S., 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Salemba Medika.
Sinaga, S.S., 2014. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Bayi Di Puskesmas Padang Bulan,Medan. Medan: Universitas Sumatra Utara. Skripsi.
Suherni, Widyasih, H., Rahmawati, A., 2010. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya.
Wahyuni, A., 2011. Statistika Kedokteran. Jakarta: Bamboedoea Communication.
Wantania J. M., Naning, R., dan Wahani, A., 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
World Health Organization, 2007. Infection Prevention and Control of Epidemic-
Nama : Santri Mei
Tempat/Tanggal Lahir : Padang/03 Mei 1994
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Alamat : Jalan Dr. Sumarsono No. 32/36, Medan
Orangtua
Ayah : Jatmar Marpaung
Ibu : Rosdermawati Hutagalung
Riwayat Pendidikan :
1. Sekolah Dasar ST. Vincentius 2000-2006
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pagai Utara Selatan 2006-2009
3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pagai Utara Selatan 2009-2012
Riwayat Organisasi :
1. Anggota OSIS SMAN 1 PUS
2. Anggota Divisi Keputrian PHBI FK USU 2014
3. Anggota Divisi Kajian Muslimah UAD USU 2014
4. Sekretaris Divisi kenaziran BKM Ar-Rahmah FK USU 2015
BULAN Nomor Responden :
Tanggal Pengambilan Data :
Petunjuk pengisian kuesioner.
1. Sebelum menjawab pertanyaan, bacalah terlebih dahulu pertanyaan yang
diteliti.
2. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban yang
dianggap benar dengan memberikan tanda (√).
3. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner mohon dilakukan
dengan memberikan jawaban yang sejujurnya.
4. Mohon diteliti ulang, agar tidak ada pernyataan yang terlewatkan untuk
dijawab.
5. Mohon jawaban diisi sendiri sesuai dengan apa yang diketahui tanpa ada
unsur paksaan maupun rekayasa, demi tercapainya hasil yang diharapkan.
6. Data yang dikumpulkan semata-mata untuk keperluan ilmiah yang saya
jamin kerahasiaannya.
A. Data Ibu Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Alamat :
Alasan Dibawa ke Puskesmas:
C. Kuesioner penelitian a. Pemberian ASI Eksklusif
NO PERTANYAAN YA TIDAK
1 Jika bayi berusia di atas 6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI pada
bayi sampai berusia 6 bulan?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan
makanan tambahan atau susu formula
sampai berusia 6 bulan?
2 Jika bayi berusia dibawah 6 bulan /berusia
6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI
kepada bayi?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan
makanan tambahan atau susu
formula?
Keterangan:
- Ya, diberikan ASI secara eksklusif, apabila pertanyaan nomor 1a atau 2a
dijawab ya dan nomor 1b atau 2b dijawab tidak.
disertai demam?
2 Apakah kejadian batuk/pilek berlangsung
lebih dari 14 hari?
3 Apakah bayi ibu mengalami kejadian batuk
/pilek lebih dari 3X dalam kurun waktu satu
bulan terakhir?
Keterangan:
Kejadian ISPA ditentukan oleh pertanyaan nomor 1 dan 2.
- Ya, ISPA, apabila pertanyaan nomor 1 dijawab Ya dan nomor 2 dijawab Tidak
- Bukan ISPA, apabila pertanyaan nomor 1 dijawab tidak.
Untuk melihat seberapa sering bayi dalam 1 bulan terakhir mengalami ISPA
ditentukan oleh pertanyaan no 3 dengan hasil :
1. ≤ 3 kali dalam kurun waktu 1 bulan terakhir
Saya Santri Mei, mahasiswi semester VII Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang sedang melakukan penelitian berjudul Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian ISPA pada Bayi Usia 0-12 Bulan.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merup